You are on page 1of 8

Oleh

FORMULA SEDIAAN OBAT HERBAL TABLET PENAMBAH NAFSU MAKAN CURMATAB : Yoga Kevan Rahmat, NIM : 31109071, Farmasi STIKes BTH Tasikmalaya

1. Pendahuluan Penggunaan obat tradisional saat ini sudah hampir berkurang dibanding beberapa puluh tahun yang lalu. Obat tradisional dalam bentuk jamu seakan terdesak oleh obat modern atau obat kimia yang terus berkembang hingga saat ini. Penggunaan obat tradisional seakan memperlambat proses penyembuhan, tetapi bersifat konstruktif dibanding dengan obat modern yang menghasilkan efek yang lebih cepat tetapi bersifat destruktif. Obat tradisional di Indonesia sebenarnya dapat dikembangkan lebih baik lagi. Terbukti hingga saat ini jenis obat tradisional di Indonesia cukup banyak, tetapi tingkat konsumsinya masih jauh dari obat modern saat ini. Jamu adalah obat tradisional yang pertama kali dikenal dalam dunia pengobatan. Jamu mempunyai peranan yang sangat penting dalam sejarah dunia pengobatan, karena sifatnya yang turun temurun sampai saat ini atau bahkan sampai saat nanti akan terus dikenal sebagai pelopor pengobatan. Kelemahan dari jamu ini dalam pemberian dosis serta khasiatnya masih dibuktikan berdasarkan pengalaman atau empiris. Obat tradisional lainnya yaitu Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka yang saat ini telah dikembangkan dari jamu. Kelebihan kedua obat tradisional ini khasiatnya telah dibuktikan secara ilmiah baik pra klinik maupun klinik disisi lain secara empiris.

Bentuk sediaan obat tradisional cenderung tidak mendapat nilai estetika yang begitu menarik dibanding obat modern. Seiring berkembangnya jaman dan teknologi saat ini, pengembangan sediaan obat tradisional terus dilakukan. Bentuk sediaan obat tradisional tidak hanya dalam bentuk serbuk yang terkesan memberikan rasa pahit, tetapi banyak dikembangkan bentuk sediaan dalam bentuk seperti kapsul, tablet, potio, dsb. Pada umumnya sediaansediaan tersebut telah mengalami perkembangan dari obat tradisional jenis jamu ke dalam bentuk Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Salah satu jenis obat tradisional yang banyak berkembang saat ini yaitu obat penambah nafsu makan yang sebagian besar bahan utamanya berasal dari Curcuma domestica Rhizoma atau kunyit. Kandungan Curcumin di dalamnya diketahui dapat meningkatkan nafsu makan. Proses yang dibutuhkan untuk memperoleh kandungan senyawa tersebut sangatlah memerlukan waktu yang panjang. Selain itu juga tidak hanya satu komponen zat aktif atau satu simplisa saja yang diharapkan memberikan efek cepat, tetapi dapat dikombinasikan dengan simplisia lain yang mempunyai kemampuan sama untuk meningkatkan nafsu makan, salah satunya adalah Curcuma aeruginosa atau temu hitam.

2. Tinjauan Pustaka 2.1 Obat Tradisional Obat Tradisional adalah obat jadi atau obat terbungkus yang berasal dari alam, baik tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang belum mempunyai data klinis dan dipergunakan dalam usaha pengobatan berdasarkan pengalaman. (MENKES RI No. 179 / MENKES / per/ VII / 1976). Jenis obat tradisional ada 3 macam yaitu Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang dibuat dari tumbuhan, bahan hewan, mineral, dan sediaan galenik, atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. (Ning Harmanto & M. Ahkam Subroto, 2007) Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik pada hewan coba dan bahan bakunya telah distandarisasi. (http://kliniksehat.com) Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi. (http://mariskasyafri.blogspot.com/2011/02/ fitofarmaka.html)

terkesan tradisonal lagi. Banyak produsen jamu yang sudah memproduksinya dalam bentuk, pil, kapsul, kaplet, maupun cair. 3. Metode Penelitian 3.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada proses pembuatan sediaan obat tradisional ini yaitu alat ekstraksi (Maserasi) untuk mendapatkan ekstrak kental dari masingmasing simplisia, alat pengujian evaluasi granul dan tablet, dll. Bahan yang digunakan pada pembuatan sediaan ini yaitu ekstrak kental kunyit, ekstrak kental temu hitam, ekstrak kental lempuyung wangi, madu, dan zat tambahan lain yang digunakan untuk pembuatan sediaan tablet seperti amilum, talk, gom arab, Mg stearat dan laktosa. 3.2 Metode Ekstraksi Proses ekstraksi atau penyarian ekstrak untuk mendapatkan senyawa atau kandungan zat aktif yang dibutuhkan dari masing-masing simplisia dilakukan penyarian menggunakan ekstraksi (Maserasi). Simplisia dalam bentuk serbuk halus direndam dalam sebuah bejana berukuran besar (Maserator) dengan menggunakan cairan penyari (Etanol 70%) 750 mL, kemudian diaduk selama beberapa jam dan disimpan pada keadaan terlindung dari cahaya dengan bagian atas tertutup. Hasil ekstraksi akan tertampung pada wadah dan ekstrak dilakukan pemekatan. 3.3 Pengujian Mutu Ekstrak Ekstrak yang telah didapatkan kemudian dilakukan beberapa pengujian parameter-parameter mutu ekstrak yang

2.2

Bentuk Sediaan Obat Tradisional Ada beberapa bentuk formula obat tradisional yang siap pakai. Bentuk serbuk atau powder merupakan bentuk yang paling umum. Namun adanya perkembangan teknologi membuat bentuk jamu tidak

meliputi uji skrining fitokimia (dilakukan saat ekstrak masih kering), uji organoleptis, perhitungan rendemen, penentuan kadar air ekstrak, penentuan kadar abu (tidak larut asam dan larut air), penentuan kadar sari, penentuan kadar minyak atsiri, dsb. Pengujian tersebut dilakukan untuk masingmasing ekstrak. 3.4 Formulasi Sediaan Tiap tablet 500 mg mengandung : Curcuma domestica Rhizoma 110 mg Curcuma aeruginosa 75 mg Zingiberis aromaticum 80 mg Mel depuratum 50 mg Amilum 15% Talkum 5% Gom arab 10% Mg Stearat 2% Laktosa ad 100% Perhitungan untuk 1 tablet : Curcuma domestica Rhizoma 110 mg Curcuma aeruginosa 75 mg Zingiberis aromaticum 80 mg Mel depuratum 50 mg Amilum 15/100 x 500 75 mg Talkum 5/100 x 500 25 mg Gom arab 10/100 x 500 50 mg Mg stearat 2/100 x 500 10 mg Laktosa 500 mg 475 mg 25 mg Perhitungan untuk 50 tablet Curcuma domestica Rhizoma 5500 mg Curcuma aeruginosa 3750 mg Zingiber aromaticum 4000 mg Mel depuratum 2500 mg Amilum 75 mg x 50 3750 mg Talkum 25 mg x 50 1250 mg Gom arab 50 mg x 50 2500 mg

Mg stearat 10 mg x 50 Laktosa 25 mg x 50 3.5

500 mg 1250 mg

Metode Pembuatan Tablet Pembuatan tablet ini menggunakan metode granulasi basah, yang pada prinsipnya zat berkhasiat, zat pengisi dan zat penghancur dicampur, lalu dibasahi dengan bahan pengikat. Setelah itu diayak menjadi granul dan dikeringkan dalam alat pengering pada suhu 40 C - 50 C. Setelah kering diayak lagi untuk memperoleh granul dengan ukuran yang diperlukan kemudian dilakukan evaluasi granul dan ditambahkan bahan pelicin dan dicetak menjadi tablet dengan mesin tablet. 3.6 Evaluasi Sediaan Evaluasi sediaan meliputi evaluasi granul dan sediaan tablet. Evaluasi granul meliputi uji waktu alir, uji pembentukan sudut, uji kompresibilitas/kemampatan. Evaluasi sediaan fisik tablet meliputi uji keseragaman ukuran, uji keseragaman bobot, kerapuhan, uji kekerasan, uji waktu hancur dan kelarutan.

4. Hasil dan Pembahasan Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia yang dilakukan pada pembuatan sediaan obat tradisional herbal ini antara lain ekstrak Curcuma domestica Rhizoma (Rimpang Kunyit), Curcuma aeruginosa (Temu Hitam), Zingiberis

aromaticum (Lempuyung Wangi), dan Madu (Mel depuratum). Simplisia nabati yang didapat dilakukan pengolahan seperti pengumpulan bahan baku terlebih dahulu, kemudian dilakukan sortasi basah yang bertujuan untuk membersihkan masing-masing simplisia dari cemaran atau kotoran seperti tanah, rumput, atau bagian tanaman yang rusak yang tidak diharapkan. Proses selanjutnya adalah pencucian simplisia, pencucian ini sebaiknya harus dilakukan dengan menggunakan sumber air yang bersih dan air yang mengalir agar kotoran yang menempel pada simplisia dapat terbuang secara sempurna. Proses setelah pencucian kemudian pengubahan bentuk simplisia menjadi ukuran yang diharapkan, misalnya dalam bentuk kecil atau bentuk yang terpotong-potong agar memudahkan saat proses pengeringan. Proses selanjutnya yaitu pengeringan yang dilakukan agar simplisia dapat disimpan tahan lama, awet dan kemungkinan tercemar mikroba sangat kecil, seperti yang diketahui bahwa pertumbuhan mikroba akan cepat pada keadaan lembab atau mengandung kadar air yang cukup tinggi. Proses sortasi kering dilakukan setelah pengeringan, sortasi kering ini dilakukan untuk menghilangkan sisa cemaran/kotoran yang tertinggal setelah proses pengeringan. Simplisia yang telah didapatkan dalam bentuk kering kemudian dilakukan penghalusan untuk mendapatkan simplisia dalam bentuk serbuk (dilakukan penyerbukan) dengan menghaluskan menggunakan alat (blender) agar didapatkan simplisia yang halus. Semakin halus simplisia dan semakin kecil luas

permukaan maka pada saat proses penyarian ekstrak yang akan dilakukan akan semakin besar kandungan aktif yang tersarinya. Kemampuan pelarut yang menyari zat aktif pun akan tinggi, karena dapat menembus dinding sel dari simplisia dengan cepat dan zat aktif dalam rongga sel simplisia akan cepat terdesak keluar. Pada pengujian mutu simplisia, skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan apa saja yang terdapat dalam masing-masing simplisia, dilakukan dengan mereaksikan serbuk simplisia dengan reagen kimia tertentu. Seperti misalnya dalam kunyit mengandung saponin, flavonoid, polifenol, minyak atsiri (sesquiterpen) yang direaksikan dengan reagen tertentu akan menghasilkan nilai positif. Simplisia dalam bentuk serbuk kemudian dilakukan proses penyarian menggunakan ekstraksi. Ekstraksi adalah suatu proses penyarian simplisia menggunakan larutan penyari yang cocok dengan menggunakan metode yang cocok pula. Proses penyarian zat aktif dari masingmasing simplisia ini dilakukan dengan menggunakan proses maserasi. Maserasi adalah salah satu proses ekstraksi yang dilakukan dengan tidak menggunakan proses pemanasan. Maserasi ini dilakukan untuk zat-zat yang tidak tahan panas. Keuntungan dari maserasi ini peralatannya sangat sederhana tetapi kerugiannya adalah masih terdapat kandungan zat aktif yang tidak tersari sempurna, karena adanya kejenuhan pelarut. Proses ini dilakukan dengan menggunakan etanol 70%, karena etanol mempunyai kemampuan mengambil senyawa aktif dalam sel tanaman yang

cukup tinggi dibandingkan air, Menurut Voight 1995, etanol dapat menyari bahan aktif secara optimal, zat pengotor yang ikut tersari juga relative sedikit dibandingkan dengan air. Proses ektraksi dilakukan selama kurang lebih 3 hari dengan volume etanol 70% yang digunakan 750 mL untuk setiap 100 gram simplisia kering. Perlu dilakukan pengadukan tahap awal untuk untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia sehingga tetap terjaga adanya derajat konsentrasi yang sekecilkecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Hasil ekstraksi (ekstrak) yang telah didapat kemudian dilakukan pemekatan untuk kemudian dilakukan penilaian mutu ekstrak lainnya seperti penentuan kadar air dalam ekstrak, kadar abu, kadar minyak atsiri, kadar sari larut air dan etanol, dsb. Pengujian parameter non spesifik tersebut sangat mempengaruhi mutu simplisia, misalnya saja penentuan kadar abu yang tidak larut asam jika kadarnya tinggi berarti ekstrak tersebut tidak layak untuk dijadikan bahan pengobatan karena kadar mineral/zat anorganik yang tinggi yang dapat mempengaruhi aktivitas / kerja zat aktif dari simplisia tersebut. Nilai dari masing-masing parameter yang telah didapat kemudian dilakukan perbandingan nilai dengan ketentuan yang berlaku atau yang ditetapkan untuk masingmasing simplisia. Jika memenuhi persyaratan yang ditetapkan, maka dapat dilakukan proses pembuatan sediaan. Nilai dari masing-masing parameter simplisia ini didapatkan hasil yang memenuhi

persyaratan dan dapat dilanjutkan untuk proses pembuatan sediaan. Ekstrak yang didapatkan harus dalam sediaan kental atau kering, karena ekstrak kering tidak dimungkinkan maka ekstrak kental dapat dijadikan persyaratan pada proses pembuatan tablet ini. Hasil ekstrak yang didapatkan kemudian diambil sesuai yang dibutuhkan untuk sediaan. Penggunaan dosis masih belum pasti karena obat tradisional ini yang dikemas secara modern dalam bentuk tablet belum dapat dipastikan berapa dosis yang tepatnya, pemakaian takaran atau dosis masing-masing ekstrak hanya didasarkan pada perkiraan dosis untuk menghasilkan efek terapi. Hanya saja secara pra klinik dan klinik dari beberapa sumber telah dibuktikan bahwa rimpang kunyit dapat menambah nafsu makan dengan pemakaian dan dosis rata-rata sehari 2 gram rimpang kering yang dididihkan dengan air pada suhu 90o C selama 15 menit. Ekstrak lainnya seperti temu hitam dan lempuyung wangi mempunyai efek yang sama sebagai penambah nafsu makan dengan ditunjang penambahan madu alami yang mempunyai banyak khasiat. Metode pembuatan sediaan obat tradisional ini akan dikemas dalam bentuk tablet. Selain kandungan dari tiap ekstrak yang digunakan, ditambahkan pula beberapa zat tambahan sebagai penyusun tablet akan ditambahkan dan diketahui tidak akan mempengaruhi efek kerja zat aktif seperti adanya penambahan zat penghancur seperti amilum, pengikat (gom arab), lubrikan (talkum) (Mg stearat), dan zat pengisi atau penambah bobot seperti laktosa.

Metode granulasi basah digunakan untuk pembuatan sediaan tablet ini. Dicampurkan terlebih dahulu semua zat aktif, amilum, dan laktosa. Dibuat campuran pengikat gom arab dan air (sebanyak 2x berat gom arab), kemudian dicampurkan sedikit demi sedikit pada campuran zat aktif dan laktosa hingga didapat sediaan yang dapat dikepal. Gom arab mempunyai kohesivitas yang baik dibandingkan dengan pengikat yang lain. Selain itu, air yang digunakan pada bahan tersebut relatif sedikit yaitu 2x bobot gom arab. Jadi, dengan konsentrasi air yang relatif sedikit mempermudah pengayakan pada granul basah. Penambahan laktosa untuk granulasi basah dipakai laktosa hidrat karena menyerap lembab dari campuran ekstrak yang masih terdapat cairan pelarut, dan juga granulnya cepat kering, sifat alir yang baik, serta stabilitas laktosa baik dalam gabungan zat aktif. Pemakaian amilum sebagai zat pengancur karena keunggulan dari amilum manihot dibandingkan dengan pati lain adalah memiliki satu gelatinasi terendah, pati singkong memiliki viskositas paling tinggi bila dibandingkan dengan pati-pati yang lain. Setelah didapatkan sediaan yang dapat dikepal kemudian diayak pada mesh no. 12, setelah itu dikeringkan pada suhu 40o C 50o C selama kurang lebih 24 jam. Setelah granul kering, kemudian diayak dengan menggunakan mesh no. 14, pengayakan ini dilakukan untuk pengujian granul seperti waktu alir granul, uji pembentukan sudut dan uji kompresibilitas / kemampatan. Kemampatan sangat berpengaruh sekali pada proses pencetakan

tablet, semakin baik pemampatan maka tablet yang akan dibentuk juga semakin baik. Nilai kompresibilitas yang baik adalah berkisar antara 5-15% menurut Lachman, 1994. Penambahan talk dan mg stearat dilakukan sebelum proses pencetakan. Penambahan talk berfungsi sebagai glidan pada formulasi sediaan tablet, pemilihan talkum sebagai glidan adalah karena talkum merupakan glidan yang baik dan dapat dikombinasikan dengan Mg stearat untuk memperbaiki sifat aliran dari granul. Penambahan pelicin menggunakan magnesium stearat karena mempengaruhi sifat fisik campuran bahan baku dan tablet. Magnesium stearat sebagai bahan pelicin mempunyai sifat hidrofob dan bisa mempengaruhi sifat-sifat tablet seperti keseragaman bobot, kekerasan, kerapuhan dan waktu hancur. Setelah semua bahan dicampurkan, kemudian dilakukan pencetakan tablet dengan dicetak kempa dengan menyesuaikan ukuran tablet yang akan dicetak. Tablet yang sudah dicetak kemudian dilakukan pengujian / evaluasi fisik sediaan tablet yang meliputi uji keseragaman ukuran, uji keseragaman bobot, kerapuhan, kekerasan, waktu hancur dan kelarutan. Pengujian keseragaman ukuran dilakukan untuk mengetahui sama atau tidaknya ukuran tablet dengan melihat ukuran diameter masing-masing tablet menggunakan jangka sorong. Tablet dengan ukuran yang sama dimungkinkan akan mempunyai bobot/kandungan zat aktif yang sama pula. Pengujian keseragaman bobot dilakukan dengan menimbang 20 tablet

secara acak dan dihitung nilai rata-rata untuk bobot tablet tidak boleh melebihi nilai yang ditentukan Depkes RI (1979) yaitu tidak boleh lebih dari 2 tablet yang penyimpangannya melebihi 5% dan tidak boleh lebih dari 1 tablet pun melebihi 10% untuk bobot tablet > 300 mg. Uji friabilitas diilakukan untuk melihat tingkat kerapuhan tablet. Dikhawatirkan pada saat pengemasan atau saat perlakuan obat oleh pasien akan mudah mengalami kerapuhan dan mempengaruhi kandungan zat aktif, oleh karena itu dilakukan pengujian ini. Tingkat kerapuhan yang baik adalah tidak melebihi 1% dari perbandingan nilai sebelum dan sesudah dilakukan pengujian. Pengujian kekerasan dengan menggunakan hardness tester dilakukan untuk mengetahui tingkat kekerasan tablet, tablet yang dilakukan pengujian harus berada pada rentang 4-6 kg tingkat kekerasannya, jika kurang dari nilai tersebut dimungkinkan kurangnya zat tambahan seperti pengikat atau penghancur. Jika bobot kekerasan (kg) melebihi batas yang disyaratkan, maka akan berpengaruh pada kelarutan dan waktu hancur yang membutuhkan waktu yang lama untuk melarut. Pengujian waktu hancur / desintegrasi dilakukan untuk mengetahui seberapa lama tablet tersebut hancur di dalam tubuh. Waktu hancur dilakukan pada suhu tubuh 37o C, untuk tablet tidak bersalut harus kurang dari 20 menit. Uji disolusi dilakukan untuk mengetahui tingkat melarutnya obat dalam tubuh. Kelarutan obat akan mempengaruhi proses metabolismenya. Tablet yang

dilakukan pengujian disolusi menggunakan larutan dapar yang seakan bersifat sama seperti cairan tubuh. Waktu yang dibutuhkan akan jelas berbeda, setiap 10 menit sekali selama 60 menit dilakukan pengambilan hasil pelarutan untuk diketahui tingkat pelarutan yang baik dengan menggunakan alat spektrofotometri. Sediaan obat tradisional tablet ini masih dalam bentuk jamu, hanya saya untuk bentuk sediaannya dikembangkan sedemikian rupa untuk menambah nilai estetika sediaan obat tradisional. Sediaan ini dapat dikembangkan menjadi Obat Herbal Terstandar atau Fitofarmaka dengan dilakukannya pembuktian nyata secara pra klinik dan klinik agar dapat diketahui dosis yang pasti untuk masing-masing komponen zat aktif. 5. Kesimpulan Sediaan obat tradisional tidak hanya dibuat dalam sediaan serbuk, tetapi dapat juga dibuat dan dikembangkan dengan bentuk sediaan lain seperti tablet untuk menambah nilai estetika obat tradisional itu sendiri. Sediaan obat tradisional Curmatab yang berkhasiat sebagai penambah nafsu makan ini dikemas dalam bentuk sediaan tablet dengan kandungan zat aktif herbal seperti Curcuma domesticae Rhizoma, Curcuma aeruginosa, Zingiberis aromaticum dan Madu dengan penambahan zat lain penyusun komponen tablet seperti pengikat, pelicin, penghancur, dan pengisi.

6. Daftar Pustaka Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI press [akses online : 18 Des 2012] Depkes RI 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Jakarta Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : UI Press [akses online : 18 Des 2012] Ning Harmanto & M. Ahkam Subroto, 2007. Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek Samping. Bandung : Elex Media [akses online : 18 Des 2012] Voight. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM Press [akses online : 18 Des 2012] MENKES RI No. 179 / MENKES / per/ VII / 1976. [akses online : 18 Des 2012] http://mariskasyafri.blogspot.com/2011/02/f itofarmaka.html [akses online : 18 Des 2012] http://kliniksehat.com [akses online : 18 Des 2012] http://id.wikipedia.org/wiki/Kunyit online : 18 Des 2012] [akses

http://healthcarepharmacist.blogspot.com/2011/06/pembuata n-simplisia-dan-ekstrak.html [akses online : 18 Des 2012]

You might also like