You are on page 1of 22

TINJAUAN PUSTAKA

VISUM ET REPERTUM

Oleh: Cokorda Agung Arbi Maranggi 0802005163

Pembimbing: dr. Dudut Rustyadi, Sp.F

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK FK UNUD/RSUP SANGLAH JUNI 2012

KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmatNya, penulisan Tinjauan Pustaka yang berjudul Visum et Repertum ini dapat selesai tepat pada waktunya. Tugas tulisan ilmiah ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. dr. Dudut Rustyadi, Sp.F selaku Kepala Instalasi Kedokteran Forensik RSUP

Sanglah Denpasar sekaligus sebagai pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini.
2. dr. Ida Bagus Putu Alit, Sp.F, DFM selaku Kepala Bagian Ilmu Kedokteran

Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. 3. dr. Kunthi Yulianti, Sp.KF selaku Koordinator Pendidikan Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. 4. dr. Henky, Sp.F selaku dosen di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah yang telah banyak memberikan ilmu.
5. Para pegawai dan staf di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah yang telah banyak membantu dalam berbagai kegiatan dan aktivitas selama proses KKM.
6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ilmiah

ini, yang tidak bisa disebutkan semuanya. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada penyusunan laporan kasus ini, sehingga bimbingan, saran, dan kritik yang membangun dan bermanfaat sangat diharapkan. Atas perhatian pembaca, penulis ucapkan terimakasih. Denpasar, Juni 2012 Penulis

ii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................ KATA PENGANTAR .............................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................ BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................ 1.4 Manfaat Penulisan .............................................................................. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Visum et Repertum ................................................................ 2.2 Dasar Hukum Visum et Repertum ....................................................... 2.3 Fungsi dan Peran Visum et Repertum ................................................. 2.4 Jenis Visum et Repertum ..................................................................... 2.5 Struktur Visum et Repertum ................................................................ BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan ............................................................................................. 3.2 Saran ................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA 17 17 4 4 7 8 14 1 3 3 3 i ii iii

iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Ilmu Kedokteran Forensik, yang juga dikenal dengan nama Legal Medicine adalah salah satu cabang spesialistik dari Ilmu Kedokteran, yang mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan. Dalam bentuknya yang masih sederhana, ilmu kedokteran forensik telah dikenal sejak zaman Babilonia, yang mencatat ketentuan bahwa dokter saat itu mempunyai kewajiban untuk memberi kesembuhan bagi para pasiennya dengan ketentuan ganti rugi bila hal tersebut tidak tercapai. Anthitius, seorang dokter pada zaman Romawi Kuno yang dalam suatu Forum semacam institusi pengadilan waktu itu menyatakan bahwa dari 21 luka yang ditemukan pada tubuh Julius Caesar, hanya satu luka yang menembus sela iga ke-2 sisi kiri depan yang merupakan luka mematikan. Nama kedokteran forensik berasal dari kata Forum tersebut.1 Di masyarakat, sering terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Peristiwa tersebut tentu saja mengakibatkan adanya korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Peristiwa yang sering menimbulkan korban misalnya kecelakaan lalulintas, kecelakaan kerja, pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, bunuh diri, bencana, maupun terorisme. Untuk pengusutan dan penyidikan, serta penyelesaian masalah hukum tersebut di tingkat lebih lanjut sampai akhirnya pemutusan perkara di pengadilan, diperlukan bantuan berbagai ahli di bidang terkait untuk menjelaskan dan membuktikan kebenaran peristiwa tersebut, salah satunya adalah dokter spesialis forensik. Dalam tugas sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik, memberikan pengobatan, dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai tugas membuat suatu surat keterangan medis yang bertujuan untuk membantu penegakan hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati. Surat keterangan medis tersebut adalah Visum et Repertum, yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan yang sering diminta oleh pihak penyidik

(polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Jadi, pada satu saat yang sama dokter dapat bertindak sebagai seorang klinisi yang bertugas mengobati penyakit sekaligus sebagai seorang petugas forensik yang bertugas membuat Visum et Repertum. Sedangkan pasien bertindak sebagai seorang yang diobati sekaligus sebagai korban yang diperiksa dan hasilnya dijadikan alat bukti.2 Sebagai pasien, seseorang mempunyai hak dan kewajiban yang timbul karena hubungan dokter-pasien (kontak terapeutik). Berbagai hak yang dimiliki pasien, seperti hak atas informasi, hak menolak atau memilih jenis pemeriksaan/terapi, hak atas rahasia kedokteran, dan lain-lain harus dipatuhi oleh dokter. Namun sebagai korban, pada orang tersebut berlaku ketentuan-ketentuan seperti yang diatur dalam hukum acara pidana. Orang tersebut tidak dapat begitu saja menolak pemeriksaan forensik yang akan dilakukan terhadap dirinya.1 Dokter telah cukup tersita energinya dalam menangani begitu banyak pasien di Rumah Sakit, khususnya bagian bedah dan kebidanan yang banyak unsur kedaruratannya. Padahal permintaan keterangan (Visum et Repertum) yang paling banyak justru menyangkut masalah bedah dan kebidanan sehingga sangat dapat dimaklumi bila pembuatan keterangan untuk peradilan itu hanya seadanya saja sesuai dengan segala keterbatasan yang ada pada dokter. Hal ini akan mengakibatkan banyak hal-hal yang penting bagi pengungkapan perkara akan luput dari perhatian dokter. Penelitian di Jakarta memperlihatkan bahwa hanya 15,4% dari Visum et Repertum perlukaan rumah sakit umum DKI Jakarta yang berkualitas baik, dan sebuah penelitian di Pekanbaru menunjukkan bahwa 97,06% yang berkualitas jelek dan tidak satu pun yang memenuhi kriteria Visum et Repertum yang baik. Dari kedua penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa bagian pemberitaan dan bagian kesimpulan merupakan bagian yang paling kurang diperhatikan oleh dokter.2 Visum et Repertum tidak hanya memenuhi standar penulisan rekam medis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan. Sebuah Visum et Repertum yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang cukup.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan jenis-jenis Visum et Repertum? 2. Apakah dasar hukum dari Visum et Repertum? 3. Apakah fungsi dan peran Visum et Repertum?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian dan jenis-jenis Visum et Repertum. 2. Untuk mengetahui dasar hukum dari Visum et Repertum. 3. Untuk mengetahui fungsi dan peran Visum et Repertum.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Dapat menambah pengetahuan penulis mengenai pembuatan Visum et

Repertum.
2. Dapat menambah informasi dan sebagai sumber referensi pembelajaran di

bidang ilmu kedokteran forensik.

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Visum et Repertum

Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan tertulis penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.1-2 Rumusan yang jelas tentang pengertian Visum et Repertum telah dikemukakan pada seminar forensik di Medan pada tahun 1981 yaitu laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atau janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, yang memuat pemberitaan tentang segala hal atau fakta yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-baiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut.2 Istilah Visum et Repertum ini dapat ditemukan dalam Lembaran Negara Tahun 1937 Nomor 350 Pasal 1 yang terjemahannya adalah Visum et Repertum pada dokter yang dibuat, baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajarannya di Negeri Belanda atau Indonesia, maupun atas sumpah khusus seperti tercantum dalam Pasal 2, dan mempunyai daya bukti yang sah dalam perkara pidana selama visa et reperta tersebut berisi keterangan mengenai hal-hal yang diamati oleh dokter itu pada benda-benda yang diperiksa.3
2.2 Dasar Hukum Visum et Repertum

Dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut:1,2,4,5 Pasal 133 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan: (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk

pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi Pasal 7 (1) butir h dan Pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan Pasal 6 (1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena Visum et Repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7 (2) KUHAP). Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik adalah sanksi pidana:1,2 Pasal 216 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan Visum et Repertum telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yang menyatakan penyidik Polri berpangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada wilayah kepolisian tertentu yang komandannya adalah seorang bintara (Sersan), maka ia adalah penyidik karena jabatannya tersebut. Kepangkatan bagi penyidik pembantu bintara serendah-rendahnya Sersan Dua. Untuk mengetahui apakah suatu surat permintaan pemeriksaan telah ditandatangani oleh orang yang berwenang, maka yang penting adalah bahwa si penanda tangan menandatangani surat tersebut selaku penyidik.1 Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang dalam Pasal 179 KUHAP sebagai berikut:1

(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Dari bunyi Staatsblad 350 Tahun 1937 terlihat bahwa:1
1. Nilai daya bukti Visum et Repertum dokter hanya sebatas mengenai hal yang

dilihat atau ditemukannya saja pada korban. Dalam hal demikian, dokter hanya dianggap memberikan kesaksian (mata) saja.
2. Visum et Repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah mengucapkan

sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, dengan lafal sumpah dokter seperti yang tertera pada Staatsblad No. 97 Pasal 38 Tahun 1882. Lafal sumpah dokter ini memang tepat bila digunakan sebagai landasan pijak pembuatan Visum et Repertum. Pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yang sepadan dengan Visum et Repertum adalah Pasal 186 dan 187 (c), yang berbunyi:1 Pasal 186: Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Penjelasan Pasal 186 KUHAP: Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Pasal 187: (c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Berdasarkan penjelasan pada kedua pasal di atas, maka Visum et Repertum dapat digolongkan sebagai alat bukti yang sah berupa keterangan ahli, surat, dan petunjuk sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP. Alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah:1,3 a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa
2.3 Fungsi dan Peran Visum et Repertum

Visum et Repertum dapat berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 184 KUHAP, Visum et Repertum merupakan alat bukti yang sah dalam proses peradilan, yang berupa keterangan ahli, surat, dan petunjuk. Dalam penjelasan Pasal 133 KUHAP, dikatakan bahwa keterangan ahli yang diberikan oleh dokter spesialis forensik merupakan keterangan ahli, sedangkan yang dibuat oleh dokter selain spesialis forensik disebut keterangan. Hal ini diperjelas pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 Tahun 1982 yang menjelaskan bahwa keterangan yang dibuat oleh dokter bukan ahli merupakan alat bukti petunjuk. Dengan demikian, semua hasil Visum et Repertum yang dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik maupun dokter bukan spesialis forensik merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. Di dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah tersebut berturut-turut adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Beban pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut berbeda sesuai dengan urutannya. Sebagai contoh, keterangan saksi harus lebih dipercaya oleh hakim bila dibandingkan dengan keterangan terdakwa. Demikian halnya dengan keterangan ahli yang diberikan oleh seorang dokter spesialis forensik tentunya akan mempunyai beban pembuktian yang lebih besar bila dibandingkan dengan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan spesialis forensik. Sehingga, kedudukan Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter spesialis forensik masih lebih tinggi dibandingkan dengan Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter bukan spesialis forensik.1,2 Visum et Repertum juga dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti karena segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medis telah diuraikan di dalam bagian Pemberitaan. Karena barang bukti yang diperiksa tentu saja akan mengalami perubahan alamiah, seperti misalnya luka yang telah sembuh, jenazah yang mengalami pembusukan atau jenazah yang telah dikuburkan yang tidak

mungkin dibawa ke persidangan, maka Visum et Repertum merupakan pengganti barang bukti tersebut yang telah diperiksa secara ilmiah oleh dokter ahli.1,2 Apabila Visum et Repertum belum dapat menjernihkan suatu duduk persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru. Sesuai dengan Pasal 180 KUHAP, hakim tersebut dapat meminta kemungkinan untuk dilakukan pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti jika memang timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.1,2
2.4 Jenis Visum et Repertum

Berdasarkan objek yang diperiksa, Visum et Repertum dibagi menjadi dua, yaitu:1,6
1. Objek psikis

Visum et Repertum berupa objek psikis adalah Visum et Repertum psikiatrikum. Visum et Repertum ini perlu dibuat karena adanya Pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. Jadi, yang dapat dikenakan pasal ini tidak hanya orang yang menderita penyakit jiwa (psikosis), tetapi juga orang dengan retardasi mental. Apabila penyakit jiwa (psikosis) yang ditemukan, maka harus dibuktikan apakah penyakit itu telah ada sewaktu tindak pidana tersebut dilakukan. Tentu saja, jika semakin panjang jarak antara saat kejadian dengan saat pemeriksaan, maka akan semakin sulit bagi dokter untuk menentukannya sehingga diperlukan pemeriksaan lanjutan. Demikian pula jenis penyakit jiwa yang bersifat hilangtimbul juga akan mempersulit pembuatan kesimpulan dokter. Visum et Repertum psikiatrikum dibuat untuk tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana Visum et Repertum lainnya. Selain itu, Visum et Repertum psikiatrikum menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Oleh karena Visum et

Repertum psikiatrikum menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka lebih baik pembuat Visum et Repertum psikiatrikum ini adalah dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.
2. Objek fisik, yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a. Visum et Repertum orang hidup 1) Visum et Repertum perlukaan atau keracunan

Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah untuk mengetahui penyebab luka atau sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya tersebut. Terhadap setiap pasien, dokter harus membuat catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya. Pada korban yang diduga korban tindak pidana, pencatatan harus lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan Visum et Repertum. Catatan medis yang tidak lengkap dapat mengakibatkan hilangnya sebagian barang bukti di dalam bagian Pemberitaan Visum et Repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik atau pejabat kepolisian, sehingga mereka datang dengan membawa serta surat permintaan Visum et Repertum. Sedangkan para korban dengan luka sedang dan berat akan datang ke dokter atau rumah sakit sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan Visum et Repertum-nya akan datang terlambat. Keterlambatan surat permintaan Visum et Repertum ini dapat diperkecil dengan diadakannya kerja sama yang baik antara dokter atau institusi kesehatan dengan penyidik atau instansi kepolisian. Baik terhadap surat permintaan Visum et Repertum yang datang bersamaan dengan korban maupun yang datang terlambat, tetap harus dibuatkan Visum et Repertum. Visum et Repertum ini dibuat setelah perawatan/pengobatan selesai, kecuali pada Visum et Repertum sementara yang memerlukan pemeriksaan ulang pada korban bila surat permintaan pemeriksaan datang terlambat.

Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP), korban dengan luka sedang dapat merupakan hasil dari tindak penganiayaan (Pasal 351 (1) atau 353 (1) KUHP), dan korban dengan luka berat (Pasal 90 KUHP) dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan dengan luka berat (Pasal 351 (2) atau 353 (2) KUHP) atau akibat penganiayaan berat (Pasal 354 (1) atau 355 (1) KUHP). Perlu juga diingat bahwa luka-luka tersebut dapat juga timbul akibat kecelakaan atau usaha bunuh diri. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 352 KUHP, penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Umumnya, yang dianggap hasil dari penganiayaan ringan adalah korban tanpa luka atau dengan lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya atau tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Luka-luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori luka ringan atau luka derajat satu. KUHP tidak menjelaskan pengertian penganiayaan, tetapi yurisprudensi Hoge Raad tanggal 25 Juni 1894 menjelaskan bahwa menganiaya adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, yang semata-mata merupakan tujuan dari perbuatan tersebut. Bagi dokter, yang terpenting adalah menentukan keadaan yang dimaksud dengan sakit atau luka. Oleh karena batasan luka ringan sudah disebutkan di atas, maka semua keadaan yang lebih berat dari luka ringan dimasukkan ke dalam batasan sakit atau luka. Selajutnya dokter membaginya ke dalam kategori luka sedang (luka derajat dua) atau luka berat (luka derajat tiga). Pasal 90 KUHP memberikan batasan tentang luka berat, yaitu jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut; menyebabkan seseorang terusmenerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; menyebabkan kehilangan salah satu panca indera; menimbulkan cacat berat (verminking); mengakibatkan terjadinya keadaan lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu atau

10

lebih; serta terjadinya gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Di dalam bagian Pemberitaan Visum et Repertum biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang ditemukan pada pemeriksaan fisik beserta uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat pengobatan/perawatan selesai. Gejala atau keluhan yang dapat dibuktikan secara objektif dapat dimasukkan ke dalam bagian Pemberitaan, misalnya sesak nafas, nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri sumbu, dan lain sebagainya. Sedangkan keluhan subjektif yang tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam Visum et Repertum, misalnya keluhan sakit kepala, mual, dan lain sebagainya.
2) Visum et Repertum korban kejahatan susila

Pada umumnya, korban kejahatan susila yang dimintakan Visum et Repertum-nya kepada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP. Persetubuhan yang diancam pidana oleh KUHP meliputi perzinahan, pemerkosaan, persetubuhan pada wanita yang tidak berdaya, dan persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur. Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan, adanya kekerasan (termasuk pemberian racun atau obat untuk membuat orang menjadi tidak berdaya), serta usia korban. Selain itu, dokter juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatri atau kejiwaan sebagai akibat dari tindak pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Untuk dapat memeriksa korban wanita tersebut, selain adanya surat permintaan Visum et Repertum, dokter sebaiknya juga mempersiapkan korban atau orang tuanya bila ia masih belum cukup umur agar dapat

11

dilakukan pemeriksaan serta sebagai saksi atau pendamping perawat wanita, dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam ruang tertutup yang tenang. Pembuktian adanya persetubuhan dilakukan dengan pemeriksaan fisik terhadap kemungkinan adanya deflorasi himen, laserasi vulva atau vagina, serta adanya cairan mani dan sel sperma dalam vagina terutama dalam forniks posterior. Dalam bagian Kesimpulan Visum et Repertum korban kejahatan susila diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan, dan bila mungkin menyebutkan kapan perkiraan terjadinya dan ada atau tidaknya tanda kekerasan.
b. Visum et Repertum untuk orang mati (jenazah)

Visum et Repertum jenazah dibuat terhadap korban yang meninggal. Tujuan pembuatan Visum et Repertum ini adalah untuk menentukan sebab, cara, dan mekanisme kematian. Jenazah yang akan dimintakan Visum et Repertum-nya harus diberi label yang memuat identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan, yang dikaitkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan Visum et Repertum-nya harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah hanya pemeriksaan luar jenazah atau pemeriksaan bedah jenazah (autopsi) (Pasal 133 KUHAP).
1) Visum et Repertum dengan pemeriksaan luar

Pemeriksaan luar jenazah adalah pemeriksaan berupa tindakan tanpa merusak keutuhan jaringan jenazah. Pemeriksaan ini dilakukan dengan teliti dan sistematik, serta kemudian dicatat secara rinci, mulai dari bungkus atau tutup jenazah, pakaian, benda-benda di sekitar jenazah, perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologi, gigi geligi, dan luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan di seluruh bagian luar. Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka kesimpulan Visum et Repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab

12

matinya tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan pemeriksaan bedah jenazah. Bila dapat diperkirakan, lama mati sebelum pemeriksaan (perkiraan Kesimpulan.
2) Visum et Repertum dengan pemeriksaan luar dan dalam

waktu

kematian)

dapat

dicantumkan

dalam

bagian

Bila juga disertakan pemeriksaan autopsi, maka penyidik wajib memberi tahu kepada keluarga korban dan menerangkan maksud dan tujuan pemeriksaan. Autopsi dilakukan jika keluarga korban tidak keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga korban (Pasal 134 KUHAP). Jenazah yang diperiksa dapat juga berupa jenazah yang didapat dari penggalian kuburan (Pasal 135 KUHAP). Pemeriksaan autopsi dilakukan menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan lain sebagainya. Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian korban, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan perkiraan waktu kematian. Berdasarkan kelengkapan isinya, Visum et Repertum dapat dibagi menjadi dua, antara lain:
1. Visum et Repertum sementara

Pada korban hidup, Visum et Repertum ini dibuat untuk sementara waktu karena korban memerlukan perawatan dan pemeriksaan lebih lanjut sehingga menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka belum dapat ditentukan dan tidak dapat ditulis pada bagian Kesimpulan. Pada saat pemeriksaan pertama kali, dokter sering tidak dapat menentukan apakah suatu perlukaan yang sedang diperiksanya adalah luka derajat dua atau luka derajat tiga. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan derajat suatu perlukaan yang belum berhenti sebelum pengobatan/perawatan selesai. Kadang-kadang ketidakpastian derajat luka tersebut terjadi berkepanjangan sehingga pada saat penyidik membutuhkan Visum et Repertum-nya, dokter hanya bisa memberikan Visum

13

et Repertum sementara, dan Visum et Repertum yang lengkap baru bisa dibuat setelah perawatan selesai dan derajat lukanya sudah dapat ditentukan. Visum et Repertum sementara pada jenazah dibuat karena sebab kematian belum dapat ditentukan karena masih menunggu hasil pemeriksaan penunjang seperti histopatologi dan toksikologi. Ada lima manfaat dibuatnya Visum et Repertum sementara, yaitu: - Menentukan ada/tidaknya tindak pidana. - Mengarahkan penyelidikan. - Berpengaruh terhadap putusan untuk melakukan penahanan sementara terhadap terdakwa. - Menentukan tuntutan jaksa. - Medical record.
2. Visum et Repertum definitif

Visum et Repertum ini dibuat seketika, dimana korban tidak memerlukan


perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga tidak menghalangi pekerjaan

korban. Kualifikasi luka yang ditulis pada bagian Kesimpulan adalah luka derajat satu.
2.5 Struktur Visum et Repertum

Unsur penting dalam Visum et Repertum yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai berikut:1,2,5 1. Kata Pro Justitia Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas sehingga Visum et Repertum tidak perlu bermeterai. 2. Bagian Pendahuluan Pendahuluan memuat identitas pemohon Visum et Repertum, tanggal dan pukul diterimanya surat permohonan Visum et Repertum, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa (nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan), kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat dilakukan pemeriksaan.

14

3. Bagian Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan) Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati, terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsi lukanya mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristik serta ukurannya. Rincian tersebut penting terutama pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali. Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari:
a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan dan

apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang penyakit yang diderita korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga kekerasan.
b. Hasil

pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik

pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya atau pada keadaan sebaliknya,

alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukan tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat/tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil.
d. Keadaan akhir korban terutama tentang gejala sisa dan cacat badan yang

merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas. Pada bagian Pemberitaan memuat enam unsur, yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan/perawatan yang diberikan.

15

4. Bagian Kesimpulan Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat Visum et Repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya Visum et Repertum tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal dua unsur, yaitu jenis luka dan kekerasan serta derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan Visum et Repertum adalah pendapat dokter pembuatnya yang bebas dan tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi, dan ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan Visum et Repertum harus dapat menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan tidak hanya resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. 5. Bagian Penutup Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat Visum et Repertum.

16

BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan tertulis penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan. Dasar hukum Visum et Repertum telah diatur dalam Pasal 133, Pasal 179, Pasal 184, Pasal 186 dan 187 KUHAP, Pasal 216 KUHP, dan Staatsblad 350 tahun 1937. Jenis Visum et Repertum menurut objek yang diperiksa adalah:
1. Objek psikis, yaitu Visum et Repertum psikiatrikum.

2. Objek fisik, dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:


a. Visum et Repertum orang hidup: 1) Visum et Repertum perlukaan atau keracunan 2) Visum et Repertum korban kejahatan susila b. Visum et Repertum orang mati (jenazah): 1) Visum et Repertum dengan pemeriksaan luar 2) Visum et Repertum dengan pemeriksaan luar dan dalam

Jenis Visum et Repertum menurut kelengkapan isinya adalah:


1. Visum et Repertum sementara 2. Visum et Repertum definitif

3.2 Saran Berdasarkan simpulan di atas, penulis dapat memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi praktisi kesehatan diharapkan agar dapat mengupayakan prosedur

pembuatan Visum et Repertum yang baik karena Visum et Repertum merupakan alat bukti yang sah dalam proses peradilan dan harus mampu membuat terang suatu perkara tindak pidana dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang memiliki dampak yuridis luas dan dapat menentukan nasib seseorang.

17

2. Bagi rumah sakit perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional (SPO)

tentang petatalaksanaan pengadaan Visum et Repertum karena Visum et Repertum berguna bagi penyidik (polisi/polisi militer) maupun Penuntut Umum (Jaksa) untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum.
3. Bagi praktisi kesehatan dan rumah sakit diharapkan agar dapat mengupayakan

prosedur pembuatan Visum et Repertum yang baik dan memenuhi standar. Hal ini dikarenakan pembuatan Visum et Repertum merupakan salah satu bentuk pelayanan medikolegal di rumah sakit, di mana kualitas pelayanan Visum et Repertum secara langsung akan mencerminkan kualitas pelayanan medikolegal di rumah sakit tersebut.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Munim A, Sidhi, Hertian

S, Rizkiwijaya, Herkutanto, Atmadja DS, Budiningsih Y, Purnomo S. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Afandi D. 2010. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan

Penentuan Derajat Luka. Maj Kedokt Indon, 60(4):188-95.


3. Pratama AB. 2008. Verifikasi Citra Sidik Jari Poin Minutiae dalam Visum et

Repertum (VeR) Menggunakan K-Means Clustering. Jurnal Ilmu Komputer UB, Volume XX, Nomor XX.
4. Priambada BS. Peran Visum et Repertum dalam Pembuktian Perkara Tindak

Pidana. Fakultas Hukum Universitas Surakarta.


5. Afandi D. 2008. Visum et Repertum pada Korban Hidup. Bagian Ilmu

Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau.


6. Anonim.

2012. Visum et Repertum. http://id.wikipedia.org/wiki/Visum_et_repertum [diakses pada tanggal 12 Juni 2012]

You might also like