You are on page 1of 7

Desa, Kala, Patra Tri Kaya Parisudha Tri Kaya Parisudha yang menjadi konsentrasi pembahasan kali ini

adalah merupakan salah satu aplikasi dan perbuatan baik (subha karma). Secara etimologi Tri Kaya Parisudha (bahasa Sanskerta) dari kata Tri berarti tiga, Kaya berarti perbuatan/prilaku dan Parisudha berarti (amat) disucikan. Adapun rinciannya (Tri Kaya Parisudha) terdiri dari:

a. Manacika, yaitu berpikir yang bersih dan suci. b. Wacika, yaitu berkata yang baik, sopan dan benar c. Kayika, yaitu berbuat yang jujur, baik dan benar.

Secara hirarki bermula dan pikiran yang baik dan benarlah akan mengalir ucapan dan perbuatan yang baik dan benar pula. Jadi kuncinya adalah pada pikiran, yang dalam pepatah sama dengan dan telaga yang jernihlah mengalir air yang jernih pula. Kalau pikirannya kacau, apalagi memikirkan yang macam-macam dan bukan-bukan niscaya perkataan dan perbuatannyapun akan amburadul yang bermuara pada kehancuran dan penderitaan.

Tri Hita Karana

Latar belakang historis Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat. Pengertian. Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: Manusia dengan Tuhannya. Manusia dengan alam lingkungannya. Manusia dengan sesamanya. Unsur- unsur Tri Hita Karana.

Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi: Sanghyang Jagatkarana. Bhuana. Manusia Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut: Bagawad Gita (III.10) Sahayajnah prajah Artinya : sristwa Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan

pura waca prajapatih anena manusia dengan yadnya dan bersabda: prasawisya dhiwan esa dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.

wo'stiwistah kamadhuk

Dalam sloka Bhagavad-Gita tersebut ada nampak tiga unsur yang saling beryadnya untuk mendapatkan yaitu terdiri dari: Prajapati = Tuhan Yang Maha Esa Praja = Manusia Penerapan Tri Hita Karana. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan: Parahyangan untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan Jagat Di tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan 1 Parhyangan Tiga Di tingkat keluarga berupa pemerajan

atau sanggah 2 Pelemahan Pelemahan di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali

Di tingkat desa adat meliputi "asengken" bale agung Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan Pawongan untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali 3 Pawongan Untuk di desa adat meliputi krama desa adat Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga

Nilai Budaya. Dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti bakti terhadap Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya

Catur Warna

Catur Warna berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Catur berarti empat, sedangkan Warna berarti tutup, penutup, warna, bagian luar, jenis, watak, bentuk dan kasta. Berarti Catur Warna adalah empat pengelompokan masyarakat dalam tata kemasyarakatan agama Hindu yang ditentukan berdasarkan profesinya. Brahmana Warna adalah individu /golongan masyarakat yang berkecimpung dalam bidang kerohanian. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan karena ia mendapat kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas itu. Seseorang disebut Brahmana karena ia memiliki kelebihan dalam bidang kerohanian. Ksatria Warna ialah individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian dalam memimpin bangsa dan negara. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan karena ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas itu. Seseorang disebut Ksatria karena ia memiliki kelebihan dalam bidang kepemimpinan. Waisya Warna adalah individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian di bidang pertanian dan perdagangan. Keberadaan golongan ini tidak didasarkan pada keturunan, melainkan ia mendapat kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas-

tugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seseorang disebut waisya karena ia memiliki kelebihan dalam bidang pertanian dan perdagangan. Sudra Warna ialah individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian di bidang pelayanan atau membantu. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan karena ia memiliki kemampuan tenaga yang kuat dan mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan tugas-tugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Seseorang disebut sudra karena ia memiliki kelebihan dalam bidang pelayanan.

Rwa Bhineda

Kain HITAM PUTIH sendiri bermakna adanya sebuah konsep dua yg berbeda tapi satu. Secara luas, Tuhan menciptakan hitam, juga menciptakan putih sebagai lawannya. Juga hal lain seperti kebaikan, yaitu konsep tentang suatu perbedaan yang harus ada di dunia ini untuk menciptakan keharmonisan dan keseimbangan alam semesta. Dalam Chinese filosofi lebih dikenal dengan Yin-Yang. Konsep Rwa Bhineda merupakan suatu hal yg membentuk karakter orang Bali. Orang Bali tidak menjadikan perbedaan sebagai suatu permusuhan atau alasan utk menunjukan ego kita. Perbedaan adalah suatu keindahan yg justru harus diseimbangkan demi terwujudnya keharmonisan dalam hidup manusia dan alam semesta ini. Mungkin konsep ini juga yg mempengaruhi karakter orang Bali utk tidak terlalu agressive dalam menanggapi kasus atau isu yg sedang berkembang. Dalam kehidupan sehari-hari, konsep Rwa Bhineda merupakan suatu bentuk penghormatan akan pilihan hidup manusia, mau jadi kita apa nantinya. Seperti halnya semboyan negara kita, BHINEKA TUNGGAL IKA...berbeda tapi tetap satu juga, maksudnya kita berbeda ras, wajah, warna kulit, pekerjaan, nasib, nama dll..tapi masih satu juga yaitu MANUSIA ciptaan TUHAN.

Tat Twam Asi

Tat Twam Asi berasal dari bahasa sansekerta. Tat artinya: itu (ia), Twam artinya: kamu, dan Asi artinya: adalah. Tat Twam Asi adalah kata-kata dalam filsafat Hindu yang mengajarkan kesosialan yang tanpa batas karena diketahui bahwa ia adalah kamu saya adalah kamu dan segala mahluk adalah sama memiliki Atman yang bersumber dari Brahman, sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri. Tat Twam Asi adalah ajaran moral yang bernafaskan ajaran agama Hindu.

Filosofi yang diajarkan dalam Ajaran Tat Twam Asi sangatlah bagus untuk dijadikan pedoman dalam menjalani lika-liku kehidupan di Dunia ini.

Kita semua yang tercipta dan lahir di Dunia ini adalah sama. Berasal dari satu sumber, yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sebagai contoh, berikut ada sebuah cerita yang mengajarkan kita mengenai kebenaran dasar dari ajaran Tat Twam Asi. Di suatu bukit, ada sebuah batu besar. Seorang pemahat duduk di batu dan memahat sebuah patung Siwa. Dalam pembuatan patung tersebut potongan batu-batu kecil bekas pahatan dibuang. Patung Siwa kemudian dipasang di Pura untuk upacara. Tidak ada yang memperhatikan batu yang tersisa di bukit. Tapi diam-diam mereka(batu sisa) menyatakan kebenaran 'Tat Twam Asi'. 'Kami sama dengan patung yang kaupuja itu'. Patung batu Siwa dan dan pecahan batu di bukit berasal dari batu yang sama. Pada awal mulanya mereka itu satu. Kemudian sebagian menjadi patung dan bagian lain menjadi bahan bangunan atau hal yang lain. Tapi semuanya dari batu yang sama. Inilah kebenaran dasar dari ajaran Tat Twam Asi yang harus dipahami. Apakah kita menghormatinya dalam suatu bentuk atau menggunakannya untuk membangun rumah, semuanya dari bahan yang sama.

Mulai dari diri kita sendiri, kita sebagai makhluk sosial tentunya tak dapat hidup sendiri tanpa adanya orang lain. Kita ingin diperlakukan dengan baik, dengan ramah, dan tak ingin orang lain berbuat atau melakukan sesuatu tidak baik kepada kita. Maka dari itu, sepantasnya kita selalu berpegang teguh dengan ajaran Tat Twam Asi. Bahwasannya jika kita selalu berbuat baik dan berusaha menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan kita, niscaya kita pun akan mendapatkan kebaikan dari orang lain juga.

Tapi apakah implementasi Tat Twam Asi dalam Kehidupan jaman/masa sekarang ini selalu berjalan dengan baik dan tanpa hambatan? Tentu saja selalu ada kata tapi yang mengganjal. Selalu saja ada sisi baik dan sisi buruk, selalu ada hitam berpasangan dengan putih, selalu ada gelap yang berpasangan dengan terang (Rwa Bhineda). Terlepas dari semua itu, seandainya saja setiap orang di Dunia ini memegang prinsip dan ajaran Tat Twam Asi, tentunya kehidupan ini akan penuh dengan kasih sayang dan kedamaian. Karena di dalam setiap diri seseorang, terdapat hati yang merasakan perasaan atau hati orang lain, dan kasih sayang yang selalu ingin dibagikan kepada orang lain. Karma Phala

Karmaphala terdiri dari dua kata yaitu karma dan phala, berasal dari bahasa Sanskerta. "Karma" artinya perbuatan dan "Phala" artinya buah, hasil, atau pahala. Jadi Karmaphala artinya hasil dari perbuatan seseorang. Kita percaya bahwa perbuatan yang baik (subha karma) membawa hasil yang baik dan perbuatan yang buruk (asubha karma) membawa hasil yang buruk. Jadi seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang akan diterimanya, demikian pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya. Karmaphala memberi keyakinan kepada kita untuk mengarahkan segala tingkah laku kita agar selalu berdasarkan etika dan cara yang baik guna mencapai cita- cita yang luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang buruk. Phala dari karma itu ada tiga macam yaitu: Sancita Karmaphala Prarabda Karmaphala Kriyamana Karmaphala Phala dari perbuatan dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang. Phala dari perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi. Phala perbuatan yang tidak dapat dinikmati pada saat berbuat sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.

Dengan pengertian tiga macam Karmaphala itu maka jelaslah, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk Surga atau masuk neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang didapat adalah Surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma buruk maka hukuman nerakalah yang diterimanya. Dalam pustaka- pustaka dan ceritera- ceritera keagamaan dijelaskan bahwa Surga artinya alam atas, alam suksma, alam kebahagiaan, alam yang serba indah dan serba mengenakkan. Neraka adalah alam hukuman, tempat roh atau atma mendapat siksaan sebagai hasil dan perbuatan buruk selama masa hidupnya. Selesai menikmati Surga atau neraka, roh atau atma akan mendapatkan kesempatan mengalami penjelmaan kembali sebagai karya penebusan dalam usaha menuju Moksa.

You might also like