You are on page 1of 40

LINGUISTIK

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Menulis yang dipimpin oleh Dani Hermawan, S.Pd

* MAKALAH *

Oleh : NAMA NIM : ANI NURHAYATI :

Prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNIVERSITAS BALE BANDUNG 2012

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Ilmu Linguistik sampai saat ini masih dianggap sulit oleh sebagian besar manusia. Padahal Ilmu Linguistik bersifat umum yang hanya mengkaji sebuah bahasa saja, melainkan mengkaji seluk beluk bahasa pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Ilmu Linguistik umum merupakan media komunikasi penting yang bersifat komunikatif. Banyak yang beranggapan bahwa Ilmu Linguistik itu sulit dan perlu segera ditepis. Masalahnya sekarang, sampai saat ini panduan Ilmu Linguistik umum yang benar-benar dan detai masih sangat sulit untuk ditemukan. Padahal buku jenis Ilmu Linguistik akan sangat membantu para penulis pemula untuk mulai mengasah kemampuan. Problematika diatas perlu segera dipecahkan, salah satu langka yang dapat ditempuh adalah menyajikan makalah tentang ke Ilmuan Linguistik Umum.. Secara umum makalah ini dapat dikategorikan kedalam bagian besar yakni begian awal berupa pembahasan objek keilmuan Linguistik dalam bahasa dan bagian akhir yang membahasa tatanan dan sejarah Linguistik. serta menyajikan tatanan sejarah keilmuan Linguistik sampai saat ini belum banyak ditemukan.

Rumusan Masalah Apakah hakikat bahasa dan hakikat linguistik? Bagaimanakah prinsip-prinsip fonologi dan morfologi? Bagaimanakah prinsip sintaksis dalam menjelaskan gejala sintaksis suatu bahasa? Bagaimanakah prinsip semantik dalam menerangkan gejala makna satuan bahasa? Bagaimanakah prinsip wacana dalam menjelaskan gejala kewacanaan suatu bahasa Bagaimanakah prinsip-prinsip sosiolinguistik? C. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui: Hakikat bahasa dan hakikat linguistik; Prinsip-prinsip fonologi dan morfologi; Prinsip sintaksis dalam menjelaskan gejala sintaksis suatu bahasa; Prinsip semantik dalam menerangkan gejala makna satuan bahasa; Prinsip wacana dalam menjelaskan gejala kewacanaan suatu bahasa; Prinsip-prinsip sosiolinguistik BAB II PEMBAHASAN A. Hakikat Bahasa Dan Hakikat Linguistik Sesungguhnya, para penyelidik hingga saat ini masih belum mencapai kesepakatan tunggal tentang asal-usul bahasa. Diskusi tentang asal-usul bahasa sudah dimulai ratusan tahun lalu, Malahan masyarakat linguistik Perancis pada tahun 1866 sempat melarang mendiskusikan asal-usul bahasa. Menurut mereka mendiskusikan hal tersebut tidak bermanfaat, tidak ada artinya karena hanya

bersifat spekulasi.Penelitian Antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif meyakini keterlibatan Tuhan atau Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa. Teori-teori ini dikenal dengan istilah divine origin (teori berdasarkan kedewaan/kepercayaan) pada pertengahan abad ke-18. Namun teoriteori tersebut tidak bertahan lama. Teori yang agak bertahan adalah Bow-wow theory, disebut juga onomatopoetic atau echoic theory Menurut teori ini kata-kata yang pertama kali adalah tiruan terhadap bunyi alami seperti nyanyian ombak, burung, sungai, suara guntur, dan sebagainya. Ada pula teori lain yang disebut Gesture theory yang menyatakan bahwa isyarat mendahului ujaran.Teori-teori yang lahir dengan pendekatan modern tidak lagi menghubungkan Tuhan atau Dewa sebagai pencipta bahasa. Teori-teori tersebut lebih memfokuskan pada anugerah Tuhan kepada manusia sehingg dapat berbahasa. Para ahli Antropologi menyoroti asal-usul bahasa dengan cara menghubungkannya dengan

perkembangan manusia itu sendiri. Dari sudut pandang para antropolog disimpulkan bahwa manusia dan bahasa berkembang bersama. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia menjadi homo sapiens juga mempengaruhi perkembangan bahasanya. Dengan kata lain, kemampuan berbahasa pada manusia berkembang sejalan dengan proses evolusi manusia. Perkembangan otak manusia mengubah dia dari agak manusia menjadi manusia sesungguhnya. Hingga akalnya manusia mempunyai kemampuan berbicara. Pembicaraan tentang asal-usul bahasa dapat dibicarakan dari dua pendekatan, pendekatan tradisional dari modern para ahli dari beberapa disiplin ilmu masing-masing mengemukakan pandangannya dengan

berbagai argumentasi. Diskusi tentang hal ini hingga sekarang belum menemukan kesepakatan, pendapat mana dan pendapat siapa yang paling tepat. Banyak definisi tentang konsep bahasa yang dinyatakan para ahli bahasa. Pada umumnya definisi tersebut berpendapat bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang bersifat arbitrer dan konvensional, merupakan lambang bunyi. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai ciri-ciri bahasa, yaitu (1) bahasa itu adalah sebuah sistem, (2) bahasa itu berwujud lambang, (3) bahasa itu berupa bunyi, (4) bahasa itu bersifat arbitrer, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa itu bersifat konvensional, (7) bahasa itu bersifat unik, (8) bahasa itu bersifat universal, (9) bahasa itu bersifat produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu bersifat dinamis, (12) bahasa itu bersifat manusiawi. Linguistik berarti ilmu bahasa. Kata linguistik berasal dari kata Latin lingua yang berarti bahasa. Orang yang ahli dalam ilmu linguistik disebut linguis. Ilmu linguistik sering juga disebut linguistik umum (general linguistic) karena tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja. Ferdinand de Saussure seorang sarjana Swiss dianggap sebagai pelopor linguistik modern. Bukunya yang terkenal adalah Cours de Linguistique Generale (1916). Buku tersebut dianggap sebagai dasar linguistik modern. Beberapa istilah yang digunakan olehnya menjadi istilah yang digunakan dalam linguistik. Istilah tersebut adalah langue, language, dan parole. Langue mengacu pada suatu sistem bahasa tertentu yang ada dalam benak seseorang yang disebut competence oleh Chomsky. Langue ini akan muncul dalam bentuk parole, yaitu ujaran yang diucapkan atau yang didengar oleh kita. Jadi, parole merupakan performance dari langue. Parole inilah yang dapat diamati

langsung oleh para linguis. Sedangkan language adalah satu kemampuan berbahasa yang ada pada setiap, manusia yang sifatnya pembawaan. Pembawaan ini pun harus dikembangkan melalui stimulus-stimulus. Jika dikaitkan dengan istilah-istilah dari Ferdenand de Saussure, maka yang menjadi objek dalam linguistik adalah hal-hal yang dapat diamati dari bahasa yakni parole dan yang melandasinya yaitu langue. Bagi linguis, pengetahuan yang luas tentang linguistik tentu akan sangat membantu dalam menyelesaikan dan melaksanakan tugasnya. Seorang linguis dituntut untuk dapat menjelaskan berbagai gejala bahasa dan memprediksi gejala berikutnya. Bagi peneliti, kritikus, dan peminat sastra, linguistik akan membantu mereka dalam memahami karya-karya sastra dengan lebih baik. Bagi guru bahasa pengetahuan tentang seluruh subdisiplin linguistik fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) akan sangat diperlukan. Sebagai guru bahasa, selain dituntut untuk mampu berbahasa dengan baik dan benar mereka juga dituntut untuk dapat menjelaskan masalah dan gejala-gejala bahasa. Pengetahuan tentang linguistik akan menjadi bekal untuk melaksanakan tugas tersebut. Bagi penyusun kamus, pengetahuan tentang linguistik akan sangat membantu dalam menjalankan tugasnya. Penyusun kamus yang baik harus dapat memahami fonem-fonem bahasa yang akan dikamuskan, penulisan fonem tersebut, makna seluruh morfem yang akan dikamuskan, dan sebagainya. Para penyusur buku pelajaran tentu banyak membutuhkan konsep-konsep linguistik dalam benaknya. Buku pelajaran yang akan disusun harus menggunakan kalimat yang sesuai dengan tingkat pemahaman siswa yang akan membaca buku tersebut. Di samping

itu mereka harus mampu menyajikan materi dengan kosakata dan kalimat yang tepat sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Linguistik akan sangat bermanfaat bagi mereka. Sebagai sebuah gejala yang kompleks, bahasa dapat diamati atau dikaji dari berbagai segi. Hal ini melahirkan berbagai cabang linguistik. Berdasarkan segi keluasan objek kajiannya, dapat dibedakan adanya linguistik umum dan linguistik khusus. Berdasarkan segi keluasan objek kajiannya, dapat dibedakan adanya linguistik sinkronik dan diakronik. Berdasarkan bagian-bagian bahasa mana yang dikaji, dapat dibedakan adanya linguistik mikro dan makro yang sering juga diistilahkan dengan mikrolinguistik dan makrolinguistik. Berdasarkan tujuannya, dapat dibedakan antara linguistik teoritis dan linguistik terapan. Berdasarkan alirannya, linguislik dapat diklasifikasikan atas linguistik tradisional, linguistik struktural, linguistik trasformasional, linguistik generatif, linguistik relasional, dan linguistik sistemik. Di samping cabang-cabang linguistik di atas, Verhaar juga memasukkan pembahasan fonetik dan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik sebagai cabang linguistik

Sejarah linguistik yang sangat panjang telah melahirkan berbagai aliranaliran linguistik yang pada akhirnya mempengaruhi pengajaran bahasa. Masingmasing aliran tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang bahasa sehingga melahirkan berbagai tata bahasa. Aliran tradisional telah melahirkan sekumpulan penjelasan dan aturan tata bahasa yang dipakai kurang lebih selama dua ratus tahun lalu. Menurut para ahli

sejarah, tata bahasa yang dilahirkan oleh aliran ini merupakan warisan dari studi preskriptif (abad ke 18). Studi preskriptif adalah studi yang pada prinsipnya ingin merumuskan aturan-aturan berbahasa yang benar. Sejak tahun 1930-an sampai akhir tahun 1950-an aliran linguistik yang paling berpengaruh adalah aliran struktural. Tokoh linguis dari Amerika yang dianggap berperan penting pada era ini adalah Bloomfield. Linguistik Bloomfield berbeda dari yang lain. Dia melandasi teorinya berdasarkan psikologi behaviorisme. Menurut Behaviorisme ujaran dapat dijelaskan dengan kondisikondisi eksternal yang ada di sekitar kejadiannya. Kelompok Bloomfield menyebut teori ini mechanism, sebagai kebalikan dari mentalism. Bloomfield berusaha rnenjadikan linguistik sebagai suatu ilmu yang besifat empiris. Karena bunyi-bunyi ujaran merupakan fenomena yang dapat diamati langsung maka ujaran mendapatkan perhatian yang

istimewa. Akibatnya, kaum strukturalis memberikan fokus perhatiannya pada fonologi, morfologi, sedikit sekali pada sintaksis, dan sama sekali tidak pada semantik. Tata bahasa tagmemik dipelopori oleh Kenneth L. Pike, Bukunya yang terkenal adalah Linguage in Relation to a United Theory of The Structure of Human Behaviour (1954). Menurut aliran Ini, satuan dasar dari sintaksis adalah tagmem (bahasa Yunani yang berarti susunan). Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisi slot tersebut.

Linguistik

transformasi

melahirkan

tata

bahasa

Transformational

Generative Grammar yang sering disebut dengan istilah tata bahasa transformasi atau tata babasa generatif. Tokoh linguistik transformasi yang terkenal adalah Noam Comsky dengan bukunya Syntactic Structure (1957). Buku tersebut terus diperbaiki oleh Chomsky sehingga terlahir buku kedua yang berjudul Aspect of the Theory of Sintax. Chomsky menyatakan bahwa setiap tata bahasa dari suatu bahasa merupakan teori dari bahasa itu sendiri. Syarat tata bahasa menurutnya adalah: Pertama, kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahwa tersebut sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat. Kedua, tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya harus sejajar dengan teori linguistik tertentu (Chaer, 1994). Selain hal di atas konsep dari Chomsky yang populer hingga sekarang adalah istilah dan competence, dan performance. Competence adalah pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya. Hal ini tersimpan dalam benak para pengguna bahasa. Sedangkan performance adalah penggunaan suatu bahasa dalam keadaan real (situasi sesungguhnya). Kedua konsep ini kiranya sejalan dengan konsep langue dan parole yang dikemukakan de Saussure. Menurut teori semantik generatif, struktur sintaksis dan semantik dapat diteliti bersamaan karena keduanya adalah satu. Struktur semantik ini serupa dengan logika, berupa ikatan tidak berkala antara predikat dengan seperangkat argumen dalam suatu proposisi. Menurut teori ini argumen adalah segala sesuatu yang

dibicarakan, predikat adalah semua yang menunjukkan hubungan, perbuatan, sifat, keanggotaan, dan sebagainva. Jadi, dalam menganalisis sebuah kalimat, teori ini berusaha untuk menguraikannya lebih jauh sampai diperoleh predikat yang tidak dapat diuraikan lagi. Charles J. Fillmore dalam buku The Case for Case tahun 1968 yang pertama kali memperkenalkan tata bahasa kasus. Dalam bukunya ini Fillmore membagi kalimat atas (1) modalitas yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia; dan (2) proposisi terdiri dari sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus (Chaer, 1994). Pengertian kasus dalam teori ini adalah hubungan antara verba dengan nomina. Verba di sini sama dengan predikat, sedangkan nomina sama dengan argumen dalam teori semantik generatif. Hanya argumen dalam teori ini diberi label kasus. Dalam tata bahasa kasus dikenal istilah-istilah seperti agent (pelaku), experiencer (pengalami), object (objek, yang dikenai perbuatan), source (keadaan, tempat, waktu), goal (tujuan), dan referential (acuan). Fonologi Fonetik merupakan cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar fisik bunyibunyi bahasa, tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut berfungsi sebagai pembeda makna. Objek kajian fonetik adalah fon. Fonemik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji bunyi bahasa sebagai pembeda makna. Objek kajian fonemik adalah fonem. Alat-alat ucap yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bahasa adalah paruparu, pangkal tenggorokkan, rongga kerongkongan, langit-langit lunak, langitlangit keras, gusi, gigi, bibir, dan lidah. Fonem adalah satuan bunyi bahasa

terkecil yang fungsional atau dapat membedakan makna kata. Untuk menetapkan apakah suatu bunyi berstatus sebagai fonem atau bukan harus dicari pasangan minimalnya. Alofon merupakan realisasi sebuah fonem. Alofon dapat dilambangkan dalam wujud tulisan atau transkripsi fonetik yaitu penulisan pengubahan menurut bunyi, dan tandanya adalah []. Grafem merupakan pelambangan fonem ke dalam transkripsi ortografis, yaitu penulisan fonem-fonem suatu bahasa menurut sistem ejaan yang berlaku pada suatu bahasa, atau penulisan menurut huruf dan ejaan suatu bahasa. Fonem dapat dibagi atas vokal dan konsonan. Pembedaan kedua fonem ini didasarkan ada tidaknya hambatan pada alat bicara. Sebuah bunyi disebut vokal apabila tidak ada hambatan pada alat bicara. Sebuah bunyi disebut konsonan apabila dibentuk dengan cara menghambat arus udara pada sebagian alat bicara. Fonem yang berwujud bunyi disebut fonem segmental. Fonem dapat pula tidak berwujud bunyi, tetapi merupakan tambahan terhadap bunyi yaitu tekanan, jangka, dan nada yang disebut ciri suprasegmental atau fonem nonsegmental. Asimilasi merupakan peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi lain sebagai akibat dari bunyi yang ada di lingkungannya. Disimilasi yaitu perubahan dua buah fonem yang sama menjadi fonem yang berlainan. Kontraksi adalah pemendekan bentuk ujaran yang ditandai dengan hilangnya sebuah fonem atau lebih. Morfologi

Morfologi atau tata kata adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk pembentukan kata. Morfologi mengkaji seluk-beluk morfem, bagaimana mengenali sebuah morfem, dan bagaimana morfem berproses membentuk kata. Morfem adalah bentuk bahasa yang dapat dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil, yang kemudian dapat dipotong lagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi begitu seterusnya sampai ke bentuk yang jika dipotong lagi tidak mempunyai makna. Morfem yang dapat berdiri sendiri dinamakan morfem bebas, sedangkan morfem yang melekat pada bentuk lain dinamakan morfem terikat. Alomorf adalah bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama. Morf adalah sebuah bentuk yang belum diketahui statusnya. Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, harus dibandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Morfem utuh yaitu morfem yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Morfem terbagi yaitu morfem yang merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi karena disisipi oleh morfem lain. Kata adalah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata dapat berwujud dasar yaitu terdiri atas satu morfem dan ada kata yang berafiks. Kata secara umum dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu verba, adjektiva, averbia, nomina, dan kata tugas. Dalam bahasa Indonesia kita kenal ada proses morfologis; afiksasi, reduplikasi, komposisi, abreviasi, metanalisis, dan derivasi balik. Afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks. Di dalam bahasa Indonesia

dikenal jenis-jenis afiks yang dapat diklasifikasikan menjadi prefiks, infiks, sufiks, simulfiks, konfiks, dan kombinasi afiks. Reduplikasi merupakan pengulangan bentuk. Ada 3 macam jenis reduplikasi, yaitu reduplikasi fonologis, reduplikasi morfemis, dan reduplikasi sintaktis. Reduplikasi juga dapat dibagi atas: dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin swara, dwiwasana, dan trilingga. Pemajemukan atau komposisi adalah proses penghubungan dua leksem atau lebih yang membentuk kata. Secara empiris ciri-ciri pembeda kata majemuk dari frasa adalah ketaktersisipan, ketakterluasan, dan ketakterbalikan. Abreviasi adalah proses penggalangan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Istilah lain untuk abreviasi ialah pemendekan, sedangkan hasil prosesnya disebut kependekan. Bentuk kependekan itu dapat dibagi atas singkatan, penggalan, akronim, kontraksi, dan lambang huruf, derivasi balik adalah proses pembentukan kata berdasarkan pola-pola yang ada tanpa mengenal unsur-unsurnya. Sintaksis Secara etimologi, sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti dengan dan tattein yang berarti menempatkan. Jadi, sintaksis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Dalam setiap bahasa ada seperangkat kaidah yang sangat menentukan apakah kata-kata yang ditempatkan bersama-sama tersebut akan berterima atau tidak. Perangkat kaidah ini sering disebut sebagai alat-alat sintaksis, yaitu urutan kata, bentuk kata, intonasi, dan konektor yang biasanya berupa konjungsi.

Keunikan setiap bahasa berhubungan dengan alat-alat sintaksis ini. Ada bahasa yang lebih mementingkan urutan kata daripada bentuk kata. Ada pula bahasa yang lebih mementingkan intonasi daripada bentuk kata. Bahasa Latin sangat mementingkan bentuk kata daripada urutan kata. Sebaliknya, bahasa Indonesia lebih mementingkan urutan kata. Satuan Sintaksis dan Hubungan Antarsatuan Sintaksis Sintaksis memiliki unsur-unsur pembentuk yang disebut dengan istilah satuan sintaksis. Satuan tersebut adalah kata, frase, klausa, dan kalimat. Pembahasan kata dalam tataran sintaksis berbeda dengan pembahasan kata pada tataran morfologi. Dalam tataran sintaksis, kata merupakan satuan terkecil yang membentuk frase, klausa, dan kalimat. Oleh karena itu kata sangat berperan penting dalam sintaksis, sebagai pengisi fungsi sintaksis, penanda kategori sintaksis, dan sebagai perangkai satuan-satuan sintaksis. Kata dapat dibedakan atas dua klasifikasi yaitu kata penuh dan kata tugas. Frase biasa didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih dan tidak memiliki unsur predikat. Unsur-unsur yang membentuk frase adalah morfem bebas. Berdasarkan bentuknya, frase dapat dibedakan atas frase eksosentrik, frase endosentrik, dan frase koordinatif. Klausa adalah satuan sintaksis berbentuk rangkaian kata-kata yang berkonstruksi predikatif. Di dalam klausa ada kata atau frase yang berfungsi sebagai predikat. Selain itu, ada pula kata atau frase yang berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan.

Kalimat adalah satuan sintaksis yang terdiri dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan dan disertai intonasi final. Analisis Sintaksi Struktur kalimat dapat dianalisis dari tiga segi, yaitu segi fungsi, kategori, dan peran semantis. Berdasarkan segi fungsi, struktur kalimat dapat terdiri atas unsur subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Subjek biasanya

didefinisikan sebagai sesuatu yang menjadi pokok, dasar, atau hal yang ingin dikemukakan oleh pembicara atau penulis. Predikat adalah pernyataan mengenai subjek atau hal yang berhubungan dengan subjek. Setelah predikat, biasanya diletakkan objek. Keberadaan objek sangat tergantung pada predikatnya. Jika predikatnya berbentuk verba transitif maka akan muncul objek. Namun, jika predikatnya berbentuk verba intransitif maka yang akan muncul kemudian adalah pelengkap. Unsur selanjutnya adalah keterangan, yaitu unsur kalimat yang berisi informasi tambahan. Informasi tersebut biasanya berhubungan dengan tempat, waktu, cara, dan sebagainya. Kalimat dapat pula dianalisis berdasarkan kategorinya. Dalam tata bahasa tradisional, istilah kategori sering disebut dengan istilah kelas kata. Dalam bahasa Indonesia ada empat kategori sintaksis utama, yaitu: Nomina atau kata benda, Verba atau kata kerja, Ajektiva atau kata sifat, dan Adverbia atau kata keterangan.

Analisis yang ketiga adalah analisis sintaksis dari segi peran. Analisis ini berhubungan dengan semantis. Suatu kata dalam konteks kalimat memiliki peran semantis tertentu. Beberapa pakar linguistik

menggunakan istilah yang berbeda untuk pembicaraan peran-peran dalam sintaksis, namun sebenarnya substansinya sama. Semantik Semantik, baru banyak dibicarakan orang ketika Chomsky sebagai tokoh linguistik transformasi mengungkapkan pentingnya makna dalam linguistik, dan menyatakan bahwa semantik adalah bagian dari tatabahasa. Komunikasi berbahasa hanya dapat berjalan dengan baik jika para pelaku komunikasi memahami makna yang disampaikan. Untuk itu, studi tentang makna (semantik) sudah selayaknya diperhatikan. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema (katabenda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti menandai atau melambangkan. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini adalah tanda linguistik (signe) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu yang terdiri dari: Komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa Komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Jadi, setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan makna. Keduanya merupakan

unsur dalam bahasa (intralingual) yang merujuk pada hal-hal di luar bahasa (ekstralingual). Pada perkembangannya kemudian, kata semantik ini disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. (Chaer, 1995). Sebagai studi linguistik, semantik tidak mempelajari makna-makna yang berhubungan dengan tanda-tanda nonlinguistik seperti bahasa bunga, bahasa warna, morse, dan bahasa perangko. Hal-hal itu menjadi persoalan semiotika yaitu bidang studi yang mempelajari arti dari suatu tanda atau lambang pada umumnya. Sedangkan semantik hanyalah mempelajari makna bahasa sebagai alat komunikasi verbal. Mengkaji makna bahasa (sebagai alat komunikasi verbal) tentu tidak dapat terlepas dari para penggunanya. Pengguna bahasa adalah masyarakat. Oleh karena itu studi semantik sangat erat kaitannya dengan ilmu sosial lain, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, dan filsafat. Jenis-jenis Makna Pembicaraan tentang jenis makna dapat menggunakan berbagai kriteria atau sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya, makna dapat diklasifikasikan atas makna leksikal dan gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan nonreferensial,

berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan istilah atau makna khusus dan umum. Agar lebih jelas Anda dapat memperhatikan tabel berikut ini. SUDUT PANDANG jenis semantik makna leksikal dan gramatikal referen makna referensial dan nonreferensial nilai rasa makna konotatif dan denotatif ketepatan makna kata dan istilah makna khusus dan umum Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem atau bersifat kata. Karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai referennya, makna sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam hidup kita. Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Referen, adalah sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh suatu kata. Bila suatu kata mempunyai referen, maka kata tersebut dikatakan bermakna referensial. Sebaliknya, jika suatu kata tidak mempunyai referen maka kata tersebut bermakna nonreferensial. JENIS MAKNA

Sebuah kata disebut bermakna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi atau disebut netral. Makna denotatif sebenarnya sama dengan makna referensial. Makna ini biasanya diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi (penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan) atau pengalaman lainnya. Pada dua kata yang bermakna denotasi sama dapat melekat nilai rasa yang berbeda sehingga memunculkan makna konotasi. Jika suatu kata digunakan secara umum maka yang muncul adalah makna kata yang bersifat umum, sedangkan jika kata-kata tersebut digunakan sebagai istilah dalam suatu bidang maka akan muncul makna istilah yang bersifat khusus. Istilah memiliki makna tetap dan pasti karena istilah hanya digunakan dalam bidang ilmu tertentu. Relasi Makna dan Perubahan Makna Relasi makna atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau satuan bahasa (frase, klausa, kalimat) dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan ini dapat berupa kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi), kelainan makna (homonimi), ketercakupan makna (hiponimi), dan ambiguitas. Secara harafiah, kata sinonimi berarti nama lain untuk benda atau hal yang sama. Sedangkan Verharr secara semantik mendefinisikan sinonimi sebagai

ungkapan (dapat berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain (Verhaar, 1981). Sinonimi dapat dibedakan atas beberapa jenis, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Yang harus diingat dalam sinonim adalah dua buah satuan bahasa (kata, frase atau kalimat) sebenarnya tidak memiliki makna yang persis sama. Menurut Verhaar yang sama adalah informasinya. Hal ini sesuai dengan prinsip semantik yang mengatakan bahwa apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Selain itu, dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang bersinonim belum tentu dapat dipertukarkan begitu saja Antonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno yang terdiri dari kata onoma yang berarti nama, dan anti yang berarti melawan. Arti harfiahnya adalah nama lain untuk benda lain pula. Menurut Verhaar antonim ialah ungkapan (biasanya kata, frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain.

Polisemi adalah satuan bahasa yang memiliki makna lebih dari satu. Namun sebenarnya makna tersebut masih berhubungan. Polisemi kadangkala disamakan saja dengan homonimi, padahal keduanya berbeda. Homonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onoma yang berarti nama dan homos yang berarti sama. Jadi, secara harafiah homonimi dapat diartikan sebagai nama sama untuk benda lain. Secara semantis, Verhaar mendefinisikan homonimi sebagai ungkapan (kata, frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi berbeda makna.

Kata-kata yang berhomonim dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu: Homonim yang: (a) homograf, (b) homofon, dan (c) homograf dan homofon. Kata hiponimi berasal dari Yunani Kuno yang terdiri dari kata onoma nama dan hypodi bawah. Secara harfiah hiponimi berarti nama yang termasuk di bawah nama lain (Verhaar, 1993). Secara semantis, hiponimi dapat didefinisikan sebagai ungkapan (kata, frase, ata kalimat) yang maknanya dianggap merupakan lain. Istilah ambiguitas berasal dari bahasa Inggris (ambiguity) yang menurut Kridalaksana berarti suatu konstruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari satu arti (Kridalaksana, 1982).Ambiguitas dapat terjadi pada komunikasi lisan maupun tulisan. Namun, biasanya terjadi pada komunikasi tulisan. Dalam komunikasi lisan, ambiguitas dapat dihindari dengan penggunaan intonasi yang tepat. Ambiguitas pada komunikasi tulisan dapat dihindari dengan penggunaan tanda baca yang tepat. Makna-makna dalam bahasa Indonesia dapat mengalami perubahan makna, seperti perluasan makna, penyempitan makna, penghalusan makna, dan pengasaran makna. Wacana bagian dari makna ungkapan

Wacana

adalah

rangkaian

ujaran

lisan

maupun

tulisan

yang

mengungkapkan suatu hal, disajikan secara teratur (memiliki kohesi dan koherensi), dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental bahasa. Mempelajari wacana berarti pula mempelajari bahasa dalam pemakaian. Di samping itu, pembicaraan tentang wacana membutuhkan pengetahuan tentang kalimat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kalimat. Untuk mencapai wacana yang kohesi dan koherensi diperlukan alat-alat wacana. Baik yang berupa alat gramatikal , aspek semantik,atau gabungan keduanya. Alatalat gramatikal yang dapat digunakan agar suatu wacana menjadi kohesi, antara lain adalah (a) konjungsi, (b) kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis, (c ) menggunakan elipsis (Chaer, 1994). Penggunaan aspek semantik juga dapat dilakukan agar suatu wacana menjadi kohesi dan koherensi. Menurut Chaer hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: (1) menggunakan hubungan pertentangan antarkalimat, (2) menggunakan hubungan generik-spesifik atau sebaliknya spesifik-generik, (3) menggunakan hubungan perbandingan antara dua kalimat dalam satu wacana, (4) menggunakan hubungan sebab akibat antara dua kalimat, (5) menggunakan hubungan tujuan dalam satu wacana, dan (6) menggunakan hubungan rujukan yang sama pada dua kalimat dalam satu wacana. Jenis-jenis Wacana Wacana dapat dikaji dari segi eksistensinya (realitasnya), media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian. Menurut realitasnya, wacana dapat digolongkan atas wacana

verbal dan nonverbal. Berdasarkan media komunikasinya, wacana dapat diklasifikasikan atas wacana lisan dan tulisan. Berdasarkan cara pemaparannya, wacana dapat digolongkan atas wacana naratif, deskriptif, prosedural, ekspositori, dan hortatori. Sedangkan darisegi jenis pemakaiannya, wacana dapat kita klasifikasikan atas wacana monolog, dialog, dan polilog. Jenis-jenis wacana tersebut dapat ditabelkan seperti di bawah ini SUDUT PANDANG JENIS WACANA Eksistensi/realitas nonverbal Media Komunikasi tulisan Cara Pemaparan deskriptif prosedural ekspositori hortator Jenis Pemakaian dialog polilog Analisis Wacana monolog naratif lisan verbal

Dalam studi wacana kita tidak hanya menelaah bagian-bagian bahasa sebagai unsur kalimat, tetapi juga harus mempertimbangkan unsur kalimat sebagai bagian dari kesatuan yang utuh. Di Eropa penelitian wacana dikenal sebagai penelitian texlinguistics atau textgrammar. Para sarjana Eropa tidak membedakan teks dari wacana; wacana adalah alat dari teks (Djajasudarma, 1994). Analisis wacana dapat dilakukan pada wacana dialog maupun monolog. Analisis wacana dialog atau wacana percakapan dapat dibagi dua macam, yaitu analisis pada dialog sesungguhnya (real conversation) dan dialog teks. Analisis wacana pada dialog sesungguhnya adalah analisis pada percakapan spontan yang ditunjang dengan segala situasinya, dialog jenis ini dilakukan dengan cara tatap muka. Selain itu, percakapan di sini bukan merupakan percakapan imitasi atau hafalan dari suatu teks seperti drama. Analisis pada dialog teks adalah analisis pada percakapan imitasi. Percakapan imitasi terjadi jika suatu teks dilatihkan sebagai bahan percakapan, seperti teks drama, film, dan percakapan lain yang dituliskan. Dialog jenis ini pun memerlukan tatap muka. Namun, kalau teks itu tidak dipercakapkan maka tatap muka tidak diperlukan. Menurut Jack Richard dalam Syamsudddin dkk., hal-hal pokok yang harus menjadi perhatian analisis wacana dialog, yaitu aspek : 1) kerjasama partisipan percakapan, 2) tindak tutur, 3) penggalan pasangan percakapan, 4) pembukaan dan penutupan percakapan,

5) pokok pembicaraan, 6) giliran bicara, 7)percakapan lanjutan, 8) unsur tatabahasa percakapan, dan 9) sifat rangkaian percakapan. Bentuk bahasa lisan atau tulisan yang tidak termasuk dalam lingkup percakapan atau tanya jawab digolongkan sebagai jenis wacana monolog. Yang termasuk jenis ini antara lain, pidato, dan khotbah, yang dituliskan. Selain itu juga berita yang tertuang dalam bentuk teks seperti surat kabar, sepucuk surat, dan lain-lain. Analisis wacana ini sebenarnya banyak kesamaannya dengan analisis dialog. Namun, pada wacana monolog tidak ada aspek: tatap muka, penggalan pasangan percakapan, dan kesempatan berbicara. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis wacana monolog adalah hal-hal yang berhubungan dengan (1) rangkaian dan kaitan tuturan (cohesions and coherents) (2) penunjukan atau perujukan (references), dan (3) pola pikiran dan pengembangan wacana (topic and logical development).

B. Masyarakat bahasa dan variasi bahasa Berdasarkan segi penutur, variasi bahasa Corder dalam Alwasilah menyatakan bahwa suatu masyarakat bahasa atau masyarakat ujaran adalah sekelompok orang yang satu sama lain bisa saling mengerti sewaktu mereka berbicara. Sedangkan Fishman menyatakan suatu masyarakat bahasa adalah satu

masyarakat yang semua anggotanya memiliki bersama paling tidak satu ragam ujaran dan norma-norma untuk pemakaiannya yang cocok. Dari definisi ini jelaslah bahwa persetujuan dari para anggota masyarakat suatu bahasa tentang penggunaan kata-kata untuk merujuk pada makna tertentu sangat memegang peranan penting. Dalam definisi Fishman malah ditambahkan tentang kesamaan norma-norma dalam pemakaiannya. Jika ada penutur yang tidak menggunakan norma-norma pemakaian bahasa tersebut maka kemungkinan besar penutur tersebut akan sulit berkomunikasi dalam masyarakat itu. Pada prinsipnya menurut Alwasilah, masyarakat bahasa itu terbentuk karena adanya saling pengertian, terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik (seperti sistem bunyi, sintaksis, dan semantik). Hal senada juga dikemukakan oleh Bloomfield yang menyatakan bahwa sekelompok orang yang menggunakan sistem tanda-tanda ujaran yang sama disebut satu masyarakat bahasa Sekarang, jika pedoman yang digunakan untuk menentukan masyarakat bahasa adalah segi sosial psikologi merasa menggunakan bahasa yang sama, maka konsep masyarakat bahasa dapat menjadi luas atau sempit. Masyarakat bahasa Inggris akan sangat luas, melewati batas benua. Keadaan masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika

memungkinkan masyarakatnya menjadi anggota masyarakat bahasa ganda. Maksudnya, selain menjadi anggota masyarakat bahasa Indonesia, pada umumnya orang Indonesia pun menjadi anggota masyarakat bahasa daerahnya. Variasi Bahasa

Masyarakat sebagai pengguna bahasa terdiri atas berbagai anggota yang memiliki berbagai latar belakang. Baik latar belakang usia, jenis kelamin, pendidikan, maupun pekerjaan. Setiap anggota masyarakat tersebut tentu saja melakukan kegiatan yang beragam pula. Atau secara sederhana dapat dikatakan kita semua memiliki urusan masing-masing. Keberagaman latar belakang dan kegiatan kita sebagai anggota masyarakat akhirnya berdampak pula pada keragaman bahasa yang kita gunakan sebagai alat komunikasi. Cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan adalah Sosiolinguistik. Ada dua pandangan untuk melihat hal variasi bahasa. Pertama, variasi bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi itu tidak akan ada, artinya bahasa menjadi seragam. Banyak pakar linguis mencoba untuk membedakan variasi bahasa dengan menggunakan berbagai sudut pandang. Di antaranya adalah Preston dan Shuy (1979) yang membedakan variasi bahasa (bahasa Inggris Amerika) berdasarkan (1) penutur, (2) interaksi, (3) kode, dan (4) realisasi. Sedangkan Mc David (1969) membagi variasi bahasa berdasarkan dimensi regional, (2) dimensi sosial, dan (3) dimensi temporal (Chaer, 1995), dapat dibedakan atas idiolek, dialek, kronolek, dan sosiolek. Berdasarkan segi pemakaian atau fungsiolek, variasi bahasa dapat dibedakan atas bahasa sastra, jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, dan

kegiatan keilmuan. Berdasarkan tingkat keformalannya Martin Joos dalam Chaer membagi variasi bahasa atas lima macam, yakni ragam beku, ragam formal, ragam konsultatif atau usaha, ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate). Berdasarkan segi sarananya, variasi bahasa dapat dibedakan atas ragam lisan dan tulisan.

BAB III PENUTUP


Kesimpulan Penelitia bahasa sudah di mulai sejaksejak abad ke 6 SM, bahkan perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan sudah dibangub sejak awal abad ke 3 SM di kota Alexandrea. Kamus bahasa Inggris, Dectionary of the English Language, yang terdiri atas dua volume, pertama kali diterbitkan pada tahun 1755; dan pda tahun 1884 telah diterbitkan Ocford English Dectionary yang terdiri atas 12 volume. Antara 1820 1870 para ahi linguistik berhasl membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologis. Salah satu buku awal yang menjelaskan mengenai ilmu bahasa adalah An Introduction as Lingualistic Science yang di tulis Bloomfield pada tahun 1914. Jurnal ilmiah internasuonal ilmu bahasa, yang berjudul Unternational Jurnal of American Linguistics, pertama kali diterbitkan pada tahun 1917. Ilmu bahasa terus berkembang dan semakin memainkan peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan semakin majunya program pascasarjana bdang linguistic di berbagai universitas terkemuka (UCLA,

MIT, Ocford, dll). Buku-buku karya ahli bahasa pun semakin mendapat perhatian. Salah satu bukunya adalah buku The Comprehensive Grammer of the English Language, yang terdiri atas 1778 halaman., yang acara peluncurannya dibuka oleh Margareth Thatcher, pada tahun 1985. Respon yang luar biasa terhadap buku tersebut membuatnya dicetak sebanyak tiga kali dalam tahun yang sama. Buku tata bahasa yang terbaru, The Cambridge Grammer of the English Language, tahun 2002, yang terdiri atas 1842 halaman, ditulis oleh para ahli bahasa yang bergabung dalam tim peneliti Internasional dari lima negara.

Saran Berdasarkan menyampaikan Saran. Saran tersebut sebagai berikut: Penulis mengharapkan kepada pembaca untuk lebih memahami materi dalam makalah ini karena sangat berguna bagi mahasiswa yang mempelajari Linguistik. Penulis mengharapkan agar pembaca dapat mengetahui gambaran umum linguistik melalui pemaparan makalah ini. uraian di atas, maka penulis menganggap perlu

MAKALAH SOSIO LINGUISTIK JUDUL BAHASA DAN SASTRA


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah wasyukru lillah, Sholawat dan Salam buat Rosulillah. Terima kasih juga kepada Dosen Pengampu yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam menyelesaikan Makalah ini, semoga kedepan dapat lebih baik lagi.

Makalah yang kami buat ini berkenaan dengan Bahasa dan Budaya, Bahasa merupakan suatu pesan yang diucapkan penutur kepada pendengar untuk menyatakan maksud. Bahasa itu sendiri merupakan produk budaya pemakai bahasa. Budaya selalu dilekatkan pada adat istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang tidak mudah diubah. Oleh karena itu, Budaya memiliki andil dalam pembentukan bahasa yang digunakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu sendiri.

Penulis,

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..1 DAFTAR ISI ............2 BAB I PENDAHULUAN .3 BAB II PEMBAHASAN ..5 BAB III PENUTUP..11 DAFTAR PUSTAKA ..12

BAB I PENDAHULUAN

Bahasa dalam penggunaan (language in use) bukanlah sekedar alat komunikasi, tetapi lebih dari itu bahasa dalam penggunaan merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Brown dan Yule (1983: 1) mengindikasikan hal di atas dengan istilah transaksional dan interpersonal, sementara Halliday (1994: xiii) mengetengahkan istilah ideasional dan interpersonal dan menambahkan satu fungsi lagi, yaitu fungsi tekstual. Istilah transaksional atau ideasional mengacu pada fungsi bahasa untuk mengirim isi pesan komunikasi, istilah interpesonal mengacu pada fungsi bahasa untuk membentuk hubungan sosial dalam komunikasi tersebut, dan istilah tekstual mengacu pada fungsi pengorganisasian gabungan kedua fungsi tersebut. Sebagai bagian dari pesan, bahasa merupakan media untuk saling berhubungan antara penutur dan petutur. Dalam konteks tansaksional ini, manusia berinteraksi untuk membangun hubungan sosial dan memelihara hubungan sosial itu dengan menggunakan bahasa pula. Dalam berinteraksi, penutur di Pekanbaru misalnya akan mengunakan beragam dialek dalam berkomunikasi karena masyarakat di Pekanbaru terdiri dari beragam etnis. Masing-masing penutur akan berkomukasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara sadar atau tidak sadar menggunakan dialek bahasa daerahnya yang menyertai dalam berinteraksi dengan orang lain. Penggunaan dialek bahasa ini kelihatannya terkait dengan budaya.

Makalah ini akan mengkaji hubungan bahasa dengan budaya yang ada di Pekanbaru. Kajian ini dianggap menarik karena masyarakatnya yang multietnis yang tersebar di Pekanbaru menggunakan bahasa Indonsia sebagai bahasa seharihari. Selain itu, makalah ini juga mengkaji hubungan bahasa dan budaya dengan bahasa lainnya, dalam hal ini, bahasa Inggris. Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang akan dijawab dalam kajian ini adalah: Apakah hubungan antara bahasa dan budaya? Tujuan penulisan makalah adalah untuk menjelaskan hubungan antara bahasa dan budaya. Secara umum, manfaat kajian makalah ini adalah agar masyarakat pengguna bahasa memahami pentingnya hubungan antara bahasa dan budaya yang terjadi dalam interaksi sosial. Secara khusus, sebagai masukan bagi para pemerhati bahasa dan pengajar bahasa dalam upaya pembelajaran bagi para mahasiswanya. Data penelitian ini bersumber dari observasi lapangan yang dilaksanakan di Pekanbaru dan juga telaah kepustakaan. Data dikumpulkan kemudian diklasifikasi berdasarkan kelompok. Setelah itu, data dianalisis untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.

BAB II PEMBAHASAN

Bahasa dan Budaya Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara kita tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata Kamu dan Kau misalnya diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan Bapak di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris menggantikannya dengan panggilan nama saja, misalnya John, dianggap sebagai hal yang wajar saja. Dengan perkataan lain, seorang anak, sah-sah saja mengatakan Bapaknya dengan sebutan nama Bapaknya itu sendiri. Berbeda halnya dengan budaya timur, sapaan nama bapak sebagai ganti sapaan Bapak dianggap sebagai orang yang tidak berbudaya. Begitu juga dengan kata mati dalam bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama, sedangkan dalam bahasa Inggris hanya memiliki dua kata saja yaitu die dan pass away. Problematika hubungan antara bahasa dan budaya merupakan kajian yang sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Pengertian bahasa itu sendiri didefenisikan oleh para ahli bahasa dan sampai sekarang masih menjadi perdebatan yan g tidak habis-habisnya. Loren Bagus, misalnya, memberi beberapa pengertian bahasa (1996): Kumpulan kata-kata, arti kata-kata yang standar, dan bentuk-bentuk ucapan yang

digunakan sebagai metode komunikasi. Cara apa saja yang menyatakan isi-isi kesadaran (rasa perasaan, emosi, keinginan, pikiran) dan pola arti yang konsisten. Kegiatan universal insan untuk membentuk sistem tanda-tanda sesuai dengan aturan asosiasi yang diterima umum. Bahasa berarti bentuk-bentuk ucapan manusia yang dikondisikan secara historis dan sosial. Bahasa adalah suatu sistem simbol-sismbol yang dapat digunakan untuk menyatakan atau menerangkan hal-hal seperti: (1) obyek material eksternal, (2) hal mental internal, (3) kualitas, (4) relasi, (5) tanda logika matematika, (6) fungsi, (7) kesadaran, (8) proses, dan (9) kejadian. Hal yang sama terjadi pada pemahaman orang tentang budaya yang berbedabeda dan dalam literatur kita menjumpai para ahli budaya mencoba menerangkan apa dan bagaimana budaya itu. Budaya, menurut kamus besar bahasa Indonesia (2002), (1) pikiran, akal budi, (2) adat istiadat, (3) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradap, maju), (4) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Dari kedua fenomena di atas terlihat bahwa bahasa dan budaya memiliki hubungan yang saling mengikat untuk suatu tujuan interksi sosial di masyarakat. Pemahaman akan bahasa dan budaya merupakan suatu yang urgen untuk menghindari salah ucapan dan salah tindakan. Kata ganti orang kedua tunggal kamu dan kau misalnya memiliki latarbelakang pengalaman yang berbeda. Pronomina kata sapaan kamu digunakan untuk sapaan kepada si pendengar

dengan hubungan sosial yang tidak intim. Sebaliknya, penggunaan pronomina kata sapaan kau lazim digunakan penutur bahasa jika lawan bicaranya tersebut adalah orang yang dekat dengan si penutur atau sahabatnya. Mengapa ini bisa terjadi? Budaya kita mengajarkan kepada kita adat istiadat yang harus dipatuhi oleh masyarakat pemakai bahasa. Kita tidak bisa mengatakan kau kepada kedua orang tua kita, atau kepada saudara-saudara kita yang lebih tua dari kita. Begitu juga dalam pergaulan sehari-hari, kita tidak lazim menggunakan kata sapaan kau untuk orang yang lebih tua dari kita. Fenomena di atas menggambarkan kepada kita bahwa ada aturan permaian bagaimana kita berkomunikasi dalam berkehidupan masyarakat yang harus kita patuhi bersama yang lazim kita sebut dengan budaya. Budaya secara tidak langsung mempengaruhi perilaku kita dalam berkomunikasi. Budaya itu juga menjadi tolok ukur penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. Fenomena lain dapat digambarkan dalam sudut pandang sapaan dalam bahasa Inggris. Si anak dalam komunitas di negara-negara yang memiliki bahasa Inggris sebagai bahasa pengartar mereka dalam pergaulan sehari-hari menyebutkan panggilan kepada Bapaknya dengan sebutan nama saja, misalnya John dan buka father atau Daddy. Namun, kita juga sering menjumpai mereka lebih suka memanggil ayah atau bapak mereka dengan sebutan father atau daddy. Kedua contoh di atas menggambarkan eratnya hubungan antara bahasa dan budaya. Bahwa bahasa mempengaruhi budaya, begitu juga sebaliknya bahwa budaya berpengaruh pada bahasa. Dalam Hipotesis Sapir-Whorf dinyatakan bahwa bahasa menentukan bukan hanya budaya tetapi juga cara dan jalan pikiran

manusia(Allen & Corder 1973: 101) . Dengan perkataan lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain akan mempunyai jalan pikiran yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu berawal dari perbedaan bahasa. Tanpa ada bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali. Hipotesis Sapir-Whorp ini belum dapat dibuktikan sampai sekarang karena ilmu pengetahuan menekankan satunya jalan pikiran manusia. Dalam ilmu pengetahuan bahasa digunakan sebagai alat menyatakan pikiran. Suatu pikiran bila dinyatakan dalam satu bahasa tidak akan berbeda bila dinyatakan dalam bahasa lain. Dengan demikian, bahasa tidak mempengaruhi jalan pikiran, apalagi menentukan sebagaimana yang dinyatakan hipotesis Sapir-Whorf. Perbedaan budaya ada kaitannya dengan perbedaan bahasa. Ini dapat dilihat jika kita menterjemahkan kalimat bahasa It rains cats and dogs ke dalam bahasa Indonesia yang berarti hujan sangat lebat dan bukan hujan kucing dan anjing. Budaya Inggris memiliki suatu realitas yang mendasar bahwa adat kebiasaan binatang seperti kucing dan anjing bila berjumpa akan saling bermusuhan. Dengan demikian, pemberian makna cats and dogs adalah suatu ungkapan yang menyatakan sesuatu yang terjadi secara terus menerus. Hal yang sama juga ada dalam bahasa Indonesia. Ungkapan Saya sudah membanting tulang mulai pagi hari sampai malam hari tidak bermakna bahwa saya membanting tulang-tulang yang ada dalam tubuh saya. Namun, makna membanting tulang yang disepakti dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat pemakai bahasa Indonesia berarti bekerja keras.

Selain itu, kata meninggal dunia dalam budaya Indonesia dan budaya barat memiliki perbedaan yang jelas. Untuk menyatakan orang itu sudah tidak bernyawa lagi, masyarakat Indonesia memiliki beberapa kata, seperti wafat, mangkat, meninggal dunia, tewas, mati, lenyap, berpulangkerahmatullah, dan lain-lain. Dalam konteks budaya, ungkapan meninggal dunia merupakan hal yang paling lumrah dalam sejarah perjalanan kehidupan masyarakat Indonesia. Gambaran sejarah Indonesia yang berawal dari munculnya kerajaan-kerajaan di Indonesia tidak terlepas dari perebutan kekuasaan yang pada akhirnya diselesaikan dengan pertumpahan darah. Gambaran ini mencerminkan satu budaya penggunakan kata meninggal dunia dengan istilah nama-nama lainnya yang berhubungan dengan meninggal dunia. Hal yang berbeda terjadi dalam bahasa Inggris. Meskipun sejarah negaranegara barat tak luput dari pergolakan peperangan, penggunaan kata meninggal dunia diekpresikan dengan dua kata saja yaitu die dan pass away. Pemilihan katakata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat.

Bahasa sebagai hasil budaya mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa (jangan menganggap diri ini mampu) mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa bisa; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa rumongso biso, nanginging ora biso rumongso (merasa mampu tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain).

BAB III PENUTUP

Hubungan bahasa dan budaya sangat erat. Di satu sisi bahasa merupakan alat untuk menyampaikan maksud antara apa yang dimaksudkan oleh si penutur, di lain sisi, bahasa itu merupakan produk budaya pemakai bahasa. Budaya selalu dilekatkan pada adat istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Budaya memiliki andil dalam pembentukan bahasa yang digunakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu sendiri

DAFTAR PUSTAKA

Allen, J.P.B & S. Pit Corder. Ed. 1973. Readings for Applied Linguistics. London: Oxford University. Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. Brown, Gillian & George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Halliday, M.A.K. 1985/1994. Introduction to Functional Grammar. Second edition. London: Edward Arnold. Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Sumarsono & Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda

You might also like