You are on page 1of 17

MAKALAH

ALIRAN-ALIRAN DALAM PENEMUAN HUKUM

NOFRY HARDI 1220113030

DOSEN PENANGGUNG JAWAB PROF.DR.YULIA MIRWATI, SH, MH

FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG 2012
1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa setepat-tepatnya hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara obyektif tentang duduk perkara sebenarnya sebagai dasar putusannya dan bukan secara a priori menemukan putusannya sedang pertimbangannya kemudian dikonstituir. Setelah Hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa yang menyatakan bahwa hakim telah dapat mengkondisikan peristiwa yang menjadi sengketa, maka Hakim harus menentukan peraturan apakah yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Ia harus menemukan hukumnya dan mengkualifisir peristiwa yang dianggapnya terbukti.1 Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Soal menemukan hukumnya adalah urusan hakim dalam mempertimbangkan putusannya wajib karena jabatannya melengkapi alas an-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak.2 Penemuan Hukum ( rechtsvinding) tidak merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan kegiatan yang runtut dan berkesinambungan dengan kegiatan pembuktian. Menemukan atau mencari hukumnya tidak sekedar mencari undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit yang dicarikan hukumnya. Untuk mencari atau menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada undang-undangnya, sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkrit. Peristiwanya yang konkrit harus diarahkan kepada undang-undangnya agar undang-undang itu dapat diterapkan pada peristiwanya yang konkrit, sedangkan undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkrit agar isi undang-undang itu dapat meliputi peristiwanya yang konkrit.

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.24 2 Pasal. 178 ayat 1 HIR dan 189 ayat 1 Rbg

Setelah hukumnya diketemukakan dan kemudian hukumya (undang-undangya) diterapkan pada peristiwa hukumnya, maka hakim harus menjatuhkan putusannya. Untuk itu ia harus memperhatikan tiga faktor yang seyogyanya diterapkan secara proporsional, yaitu : keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Dalam menjatuhkan setiap putusan, hakim harus memperhatikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Hanya memperhatikan satu faktor berarti mengorbankan faktor-faktor lainnya. Hukum yang tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat merupakan sumber bagi hakim untuk menemukan hukum. hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan ia harus memberi putusan berdasar atas kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat itu. Dalam hal ini Hakim dapat meminta keterangan dari para ahli, pakar, maupun akademisi. Yurisprudensi merupakan sumber hukum juga. Ini tidak berarti bahwa hakim terikat pada putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah diputuskan. Suatu putusan itu hanyalah mengikat para pihak.3 Sifat terikatnya pada precedent pada hakikatnya sifat setiap peradilan. Memang janggallah rasanya kalau peristiwa yang serupa diputus berlainan, kalau pengadilan Negeri misalnya menjatuhkan putusan yang berlainan atau bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi atau Putusannya sendiri mengenai perkara yang sejenis. Kalau tiap kali ada putusan yang berlainan mengenai perkara yang sejenis, maka tidak ada kepastian hukum. Tetapi sebaliknya kalau hakim terikat mutlak pada putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah diputuskan maka hakim tidak bebas untuk mengikuti perkembangan masyarakat melalui putusan-putusannya. Ilmu Pengetahuan merupakan sumber pula untuk menemukan hukum. kalau perundangundangan tidak memberi jawaban dan tidak pula ada putusan pengadilan mengenai perkara sejenis yang akan diputuskan, maka Hakim akan mencari jawabannya pada pendapat para Sarjana Hukum. Oleh karena itu Ilmu pengetahuan itu obyektif sifatnya, maka Ilmu Pengetahuan merupakan sumber untuk mendapatkan bahan guna mendukung atau mempertanggungjawabkan putusan hakim.4

Pasal 1917 Burgerlijk Wetboek Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 25
4

Tugas Hakim adalah mengambil dan menjatuhkan keputusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Untuk dapat memuaskan pihak lain dengan putusannya atau agar putusannya dapat diterima oleh pihak lain, maka ia harus meyakinkan pihak lain dengan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan bahwa putusannya itu tepat atu benar. Dalam hal ini beberapa pihak lain yang menjadi sasaran hakim yaitu: 1. Para Pihak Dengan sendirinya para pihak yang berperkaralah yang terutama mendapat perhatian dari hakim, karena ia harus menyelesaikan atau memutuskannya. 2. Masyarakat Hakim harus mempertanggungjawabkan putusannya terhadap masyarakat dengan melengkapi alasan-alasan. Masyarakat bukan hanya mempunyai pengaruh terhadap putusannya, perkembangan masyarakat. 3. Pengadilan Banding Pada umumnya hakim dari pengadilan tingkat pertama akan kecewa apabila putusannya dibatalkan oleh Pengadilan Banding. Oleh karena itu wajarlah kalau hakim dari tingkat peradilan pertama selalu berusaha sekeras-kerasnya agar putusannya tidak dibatalkan oleh Pengadilan banding. 4. Ilmu Pengetahuan Setiap putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Ilmu Pengetahuan hukum selalu mengikuti peradilan untuk mengetahui bagaimana peraturan-peraturan hukum itu dilaksanakan dalam praktek peradilan dan peraturanperaturan baru manakah yang diciptakan oleh peradilan.5 Namun dalam menentukan putusan yang akan diputuskan oleh hakim maka hakim harus menemukan hukumnya terlebih dahulu baik yang terdapat dalam undang-undang, yurisprudensi maupun kebiasaan. Pada bab berikut akan dipaparkan mengenai aliran-aliran dalam menemukan hukum. tetapi juga terhadap hakim. Hakim sesuai harus memperhitungkan perkembangan

masyarakat.

Putusannya

harus

dengan

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm 39.

BAB II PEMBAHASAN B. Beberapa Aliran dalam Menemukan Hukum oleh Hakim 1. Legisme Pada abad pertengahan timbullah aliran yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sehingga Hakim terikat pada undang-undang pada peristiwa yang konkrit.6 Hakim hanyalah subsumprie automaat, sedangkan metode yang dipakai adalah geometri yuridis.7 Kebiasaan hanya mempunyai kekuatan hukum apabila ditunjuk oleh undang-undang. Hukum dan undang-undang adalah identik yang dipentingkan disini adalah kepastian hukum. Sebagai reaksi terhadap ketidak-pastian dan ketidak-seragaman hukum kebiasaaan timbulah pada abad ke 19 di Eropa usaha untuk penyeragaman hukum dengan jalan kodifikasi dengan menuangkan semua hukum secara lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang. Hukum kebiasaan sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan. Di Prancis pada akhir abad ke 18 diadakan kodifikasi yang dicontoh oleh seluruh Eropa. Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai dengan lahirnya aliran Legisme. Pandangan dalam abad ke-19 ini ialah bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, yang dianggap cukup jelas dan lengkap, yang berisi semua jawaban terhadap semua persoalan hukum, sehingga hakim hanyalah berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkritnya dengan bantuan metode penafsiran terutama penafsiran gramatikal. Pemecahan masalah hukumnya akan diketemukan melalui subsumptie.8 Aliran ini berpendapat bahwa semua hukum itu berasal dari kehendak penguasa tertinggi, dalam hal ini kehendak pembentuk undang-undang. Jadi semua hukum terdapat dalam undang-undang. Berdasarkan pandangan ini hakim hanyalah berkewajiban

6 7 8

Pasal 20 dan 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving van Apeldoorn, hal 301 Ibid

menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkritnya dengan bantuan metode penafsiran terutama penafsiran gramatikal. Aliran ini juga mengabaikan hukum kebiasaan dan yurisprudensi. Hal tersebut dikarenakan pembentuk undang-undang ingin mencegah ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum. Usaha kearah kodifikasi ini hanya dapat dipahami melalui ajaran tentang pembagian kekuasaan yang mendapat pengaruh dari Montesquieu dan harus dilihat dengan latar belakang pandangan negara liberal. Montesquieu mengemukakan adanya tiga bentuk Negara dan pada setiap bentuk Negara tedapat bentuk penemuan hukum yang cocok untuk masing-masing bentuk Negara. Dalam etat despotique tidak ada undang-undang. Di sini hakim mengadili setiap peristiwa individual menurut apresiasi pribadinya secara arbitrer. Di sini terjadi penemuan hukum otonom mutlak. Di dalam negara idealnya, yaitu etat republican terdapat penemuan hukum yang heteronom: hakim menerapkan undang-undang menurut bunyinya. Sedangkan dalam etat monarchique terdapat sistem undang-undang, baik yang rinci maupun yang tidak rinci, yang tidak dapat diterapkan begitu saja, tetapi harus ditafsirkan lebih dulu dengan mencari jiwanya. Kecuali sebagai corong undang-undang hakim di sini juga sebagai penafsir undang-undang. Di sini terdapat sistem penemuan hukum yang mempunyai unsur-unsur heteronom maupun otonom. Tipe-tipe yang digambarkan oleh Montesquieu masing-masing mencerminkan aspek tertentu dari fungsi hakim: hakim tidak lebih berfungsi sebagai corong undang-undang, kadang-kadang hakim mempunyai sedikit banyak kebebasan dalam menterjemahkan dengan

menafsirkan, kadang-kadang diserahkan kepadanya keyakinan dan kesadaran hukumnya. Penemuan hukum heteronom terdapat dalam sistem peradilan negara-negara kontinental termasuk Indonesia. Tidak dapat disangkal bahwa ada hukum kebiasaan di samping undang-undang dan hal tersebut merupakan kenyataan. Berhubung dengan itu untuk mempertahankan teori bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum, maka dicari jalan keluar bahwa berlakunya hukum kebiasaan itu karena ditunjuk oleh undang-undang. Apabila tidak ada penegasan mengenai penunjukan seperti misalnya pada pasal 15 AB, maka hukum kebiasaan dianggap berlaku secara diam-diam dan diciptakanlah fiksi bahwa hukum kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat bukan karena kebiasaan, yaitu bahwa
6

perilaku yang diulang mempunyai kekuatan mengikat, tetapi karena kehendak pembentuk undang-undang, baik yang tegas maupun secara diam-diam. 2. Mazhab Historis Berlawanan dengan pandangan Legisme, yaitu bahwa undang-undang adalah satusatunya sumber hukum, adalah pandangan Mazab Historis yang dipelopori oleh von Savigny (1779-1861). Mazab Historis berpendapat bahwa hukum itu ditentukan secara historis yakni hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan pada waktu tertentu (Das Recht Wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke). Kesadaran hukum (Volksgeist) yang paling murni terdapat dalam kebiasaan. Peraturan hukum terutama merupakan pencerminan keyakinan hukum dan praktek-praktek yang terdapat dalam kehidupan bersama dan tidak ditetapkan dari atas. Para yuris harus mengembangkan dan mensistemasi keyakinan dan praktek-praktek ini . Von Savigny berpendapat bahwa hukum adalah hukum kebiasaan yang tidak cocok untuk kehidupan modern. Sebelum mengkodifikasikan hukum harus mengadakan penelitian yang lebih mendalam terlebih dahulu. Setelah itulah baru dapat dilakukan kodifikasi. Jasa von Savigny dalam hal ini ialah bahwa ia memberi tempat yang mandiri pada hukum kebiasaan sebagai sumber hukum.9 3. Begriffsjurisprudenz Menurut aliran ini undang-undang sekalipun tidak lengkap tetap mempunyai peranan penting, tetapi hakim mempunyai peranan yang lebih aktif. Aliran ini melihat hukum sebagai suatu sistem atau satu kesatuan tertutup yang menguasai semua tingkah laku sosial. Menurut aliran ini pengertian hukum tidaklah sebagai sarana, tetapi sebagai tujuan sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian (Begriffsjurisprudenz), suatu permainan pengertian, Begriffsjurisprudenz ini mengkultuskan ratio dan logika : pekerjaan hakim semata-mata bersifat logis ilmiah. Aliran ini sangat berlebih-lebihan
9

Abdul Halim Barkatullah, Teguh Prasetyo, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum:Pemikiran Menuju

Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermatabat , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 273

karena berpendapat bahwa hakim tidak hanya boleh mengisi kekosongan undang-undang saja, tetapi bahkan boleh menyimpang. Pada pertengahan abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistematik hukum. Setiap putusan baru dari hakim harus sesuai dengan sistem hukum. Berdasarkan ketentuan yang dibentuk oleh sistem hukum, maka setiap ketentuan undang-undang harus dijelaskan dalam hubungannya dengan ketentuan undang-undang yang lain, sehingga ketentuan-ketentuan undangundang itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Menurut aliran ini yang ideal adalah apabila sistem yang ada itu berbentuk suatu suatu piramida dengan pada puncaknya suatu asas utama, dari situ dapat dibuat pengertian-pengertian baru (Begriff). Khas bagi aliran Begriffsjurisprudenz ini ialah hukum dilihat sebagai satu sistem tertutup mencakup segala-galanya yang mengatur semua perbuatan sosial. Pendekatan hukum secara ilmiah dengan sarana pengerian-pengertian yang diperhalus ini merupakan dorongan timbulnya postivisme hukum, tetapi juga memberi argumentasi-argumentasi yang berasal dari ilmu hukum, dan dengan demikian obyektif, sebagai dasar putusanputusan. Pasal-pasal yang tidak sesuai dengan sistem dikembangkan secara ilmiah dan diterapkan inttepretasi restriktif.10 4. Interessenjurisprudenz/Freirechtschule Sebagai reaksi terhadap Begriffsjurisprudenz lahirlah pada abad ke 19 di Jerman Interessenjurisprudenz, suatu aliran yang menitikberatkan pada kepentingan-kepentingan (Interessen) yang difiksikan. Oleh karena itu aliran ini disebut Interessenjurisprudenz. Interessenjurisprudenz ini mengalami masa jayanya sebagai aliran ilmu hukum pada dasawarsa pertama abad ke-20 di Jerman. Aliran ini berpendapat bahwa peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya. Menyadari bahwa sistematisasi hukum tidak boleh dibesar-besarkan, maka von Jhering mengarah kepada tujuan yang terdapat di belakang system. Aliran ini berpendapat bahwa tujuan hukum
10

http.www.artikelhukum.com/sudikno/mertokusumo/16/mei/2008

pada dasarnya adalah untuk melindungi, memuaskan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata. Dalam putusannya hakim harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang. Philip Heck, yang termasuk salah seorang penganut aliran ini, berpendapat bahwa tanpa pengetahuan tentang kepentingan sosial, moral, ekonomi kultural dan kepentingan lainnya, dalam peristiwa tertentu atau yang berhubungan dengan peraturan tertentu, pelaksanaan atau penerapan hukum yang tepat dan berarti, tidak mungkin terlaksana.11 Pembentuk undang-undang sewaktu merumuskan peraturan telah

mempertimbangkan p elbagai kepentingan dan akhirnya mengambil pilihan. Dalam ketentuan undang-undang telah ditetapkan kepentingan-kepentingan mana yang dimata pembentuk undang-undang itu mempunyai nilai. Apabila kemudian diminta putusan dari hakim (dalam konflik kepentingan), maka ia harus menyesuaikan dengan ukuran nilai yang dimuat dalam undang-undang. Ia tidak boleh atas kemauannya sendiri menilai kepentingan konkrit pihak-pihak yang bersangkutan, akan tetapi mengeluarkan unsurunsur itu yang telah dinilai oleh pembentuk undang-undang dan berkaitan dengan itu mengambil putusan. Yang menentukan terutama adalah selalu penilaian oleh pembentuk undang-undang. Hakim dalam putusannya harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.12 5. Freirechtbewegung Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di Jerman. Reaksi itu dimulai oleh Kantorowicz (1877-1940) yang dengan nama samaran Gnaeus Flavius dalam tahun 1906 menulis Der Kamph um die Rechtswissenschaft. Aliran baru ini disebutnya Freirechtllich (bebas) dan dari situlah timbul istilah Freirechtbewegung. Pengikut-pengikut aliran ini menentang pendapat bahwa kodifikasi itu lengkap dan bahwa hakim dalam proses penemuan hukum tidak mempunyai sumbangan kreatif. Tidak
11

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm 90

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 23.

12

seluruh hukum terdapat dalam undang-undang. Di samping undang-undang masih terdapat sumber-sumber lain yang dapat digunakan oleh hakim untuk menemukan hukumnya. Mereka menganggap titik tolak Montesquieu bahwa hakim tidak lebih dari corong undang-undang secara tegas merupakan fiksi. Tiap pemikiran yang melihat hakim sebagai subsumptie automaat dianggap sebagai sesuatu yang tidak nyata. Menurut mereka hakim tidak hanya mengabdi pada fungsi kepastian hukum, tetapi mempunyai tugas sendiri dalam merealisasi keadilan. Pengertian-pengertian yang umum, luas dan oleh karena itu kabur atau samar-samar seperti misalnya pengertian itikad baik, ketertiban umum, kepentingan umum, yang digunakan oleh pembentuk undangundang, dalam peristiwa konkrit tiap kali masih harus diisi atau dilengkapi. Putusan hakim tidak selalu dapat dijabarkan dari undang-undang, karena setiap peristiwa itu sifatnya khusus dan tidak benar kalau hakim selalu dapat menerapkan peraturan undangundang yang umum sifatnya pada situasi konkrit. Hakim tidak hanya wajib menerapkan atau melaksanakan undang-undang, tetapi juga menghubungkan semua sifat-sifat yang khusus dari sengketa, yang diajukan kepadanya, dalam putusannya. Freirechtbewegung mencoba mengarahkan perhatiannya kepada sifat-sifat yang khusus pada peristiwa konkrit dan kepentingan yang berkaitan. Rasa hukum hakim harus dipusatkan pada hal-hal ini dan juga pada tujuan yang tersirat dalam peraturan. Kalau penyelesaian menurut undang-undang, maka hakim wenang dan wajib untuk menyimpang dari penyelesaian menurut undang-undang. Tidak mengakui undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum mengarah pada subyektivasi putusan hakim dengan demikian disadari bahwa putusan hakim mengandung karya yang bersifat menciptakan. Pelakasanaan hukum bergeser kearah penemuan hukum atau pembentukan hukum.13 Hakim memang harus menghormati undang-undang. Tetapi ia dapat tidak hanya sekedar tunduk dan mengikuti undang-undang, melainkan menggunakan undang-undang, sebagai sarana untuk menemukan pemecahan peristiwa konkrit yang dapat diterima. Dapat diterima karena pemecahan yang diketemukan dapat menjadi pedoman bagi peristiwa konkrit serupa lainnya. Di sini hakim tidak berperan sebagai penafsir undang-

13

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm.47-48.

10

undang, tetapi sebagai pencipta hukum. Penemuan hukum semacam itu yang tidak secara ketat terikat pada undang-undang disebut penemuan hukum bebas. Yang dimaksud dengan penemuan hukum bebas bukannya peradilan di luar undangundang. Dalam penemuan hukum bebas peran undang-undang adalah subordinated. Undang-undang bukanlah merupakan tujuan bagi hakim, tetapi suatu sarana. Bagi hakim yang melaksanakan penemuan hukum bebas tugas utamanya bukanlah menerapkan undang-undang, melainkan menciptakan pemecahan melalui atau dengan bantuan undang-undang untuk peristiwa konkrit sedemikian, sehingga peristiwa-peristiwa serupa kemudian diselesaikan dengan memuaskan. Maka penemuan hukum bebas berarti penemuan hukum menurut kepatutan. Penggunaan metode penemuan hukum bebas kebanyakan dapat menuju kepada akibat-akibat yang sama seperti dengan metode-metode penemuan hukum yang lain. Hakim yang melakukan penemuan hukum bebas tidak akan mengatakan: saya harus memutuskan demikian, sebab bunyi undang-undangnya adalah demikian. Ia akan mendasari putusannya dengan pelbagai alasan (antara lain yang terpenting adalah undang-undang) karena diakuinya bahwa pilihan argumentasinya (dan metode penafsirannya) menjadi tanggung jawabnya yang tidak dapat diserahkannya kepada pembentuk undang-undang. Yang sering dianggap khas dalam penemuan hukum bebas ialah bahwa hakim yang melakukan penemuan hukum, mengikuti zaman dan mengganti peraturan hukum lama (usang) dengan yang baru. Akan tetapi perlu dipertanyakan kapankan suatu peraturan itu sudah usang dan peraturan manakah yang harus menggantikannya. Pada asasnya selama belum ada undang-undang baru, hakim tetap akan berpedoman pada undang-undang yang lama. Dalam hal ini ada pengecualiannya, yaitu pembentuk undang-undang sudah membentuk undang-undang, tetapi belum mempunyai kekuatan hukum, karena masih dalam pembicaraan di lembaga legislatif. Dalam hal ini hakim dapat berpedoman pada undang-undang baru yang belum mempunyai kekuatan berlaku itu: ini merupakan bentuk

11

terpenting dalam penemuan hukum bebas, yang disebut metode penemuan hukum antisipatif atau futuristis. Dengan metode ini hakim setidak-tidaknya mempunyai pegangan pada pendirian Pemerintah, sehingga memperoleh petunjuk bagaimana pandangan pembentuk undang-undang dan bagaimana hukumnya yang akan datang. Dengan demikian hakim memungkinkan terjadinya peralihan yang luwes dari hukum yang lama ke yang baru (dengan anggapan bahwa rancangan undang-undang itu kemudian menjadi undang-undang).14 Hendaknya disadari bahwa Freirechtbewegung ini tidak hendak memberi fungsi yang bersifat menciptakan hukum yang otonom kepada hakim, tetapi hendak menyadarkan hakim kepada kenyataan bahwa ia dalam aktivitasnya tidak dapat menghindari mengikutsertakan unsur penilaian subyektif. Pendapat subyektif hakim ini tidaklah seindividualistis seperti yang digambarkan oleh lawan Freirechtbewegung: hakim dibesarkan dalam suasana sistem hukum yang diterapkannya, kecuali itu ia mengenal peraturan hukumnya. Oleh karena itu putusannya sebagian besar ditetapkan berdasarkan peraturan hukum tertulis yang berlaku dan asas-asas hukum yang berlaku umum. Freirechtbewegung berpendapat bahwa hakim terikat pada batas-batas yang dapat dijabarkan dari sistem: ini menuju pada pemecahan masalah yang mendasarkan pada sistem (gesystematiseerd probleemdenken atau berpikir problemantik tersistemisasi).15 6. Penemuan Hukum Modern (modern rechtsvinding) Salah satu pokok pandangan modern ini ialah bahwa bukan sistem perundangundangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang konkrit yang harus dipecahkan. Undang-undang bukanlah sesuatu yang penuh dengan kebenaran dan jawaban, yang paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkrit, tetapi lebih merupakan usulan untuk penyelesaian, suatu pedoman
14

Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung,1993, hlm 30

15

Prima Jayatri, S.H pada http.www logikahukum.com, diakses pada tanggal 1 November 2012

12

dalam penemuan hukum, dan dalam kaitan itu masih banyak faktor-faktor penting lainnya yang dapat digunakan untuk penyelesaian masalah-masalah hukum. Pandangan penemuan hukum modern ini dapat digolongkan ke dalam pandangan gesystematiseerd probleemdenken atau pandangan berpikir problemantik tersistemisasi dari Freirechtbewegung. Metode penafsiran undang-undang yang digunakan di sini adalah terutama teleologis. Menurut jalan pikiran ini maka diakui bahwa dalam penemuan hukum unsur penilaian adalah sentral: ingin dicapai sesuatu dengan hukum dan dengan penyelesaian yang sesuai dengan sistem. Hasilnya tidak dijabarkan secara logis dari peraturan umum yang abstrak tetapi sekaligus selalu merupakan resultante pertimbangan semua kepentingan dan nilai dalam persidangan. Pada asasnya yang menonjol adalah masalah kemasyarakatan. Penganut aliran ini (berpikir problemantik tersistemisasi) pada umumnya menekankan bahwa masalah yuridis selalu berhubungan dengan masalah kemasyarakatan dan dari sinilah harus dicari penyelesaian yang paling dapat diterima dalam praktek. Titik tolak ini terutama berarti bahwa kita harus selalu sadar akan kenyataan bahwa penyelesaian yang paling dapat diterima dalam praktek. Dan juga harus selalu sadar akan kenyataan bahwa penyelesaian hukum merupakan salah satu cara untuk mengatur masalah kemasyarakatan. Setiap orang sebelum mulai dengan penemuan hukum harus bertanya apakah suatu penyelesaian hukum dapat menuju kepada hasil akhir yang diharapkan. Untuk dapat memutuskan hal ini seorang yuris harus sekurang-kurangnya mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh model-model atau cara-cara lain untuk menyelesaikan konflik. Selanjutnya harus ditanyakan metode apa yang harus digunakan. Titk tolak dalam memilih metode ialah bahwa sistem itu merupakan pedoman dalam menemukan penyelesaian: yang ditanyakan ialah apa yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang dalam konteks kemasyarakatan yang mana. Dengan perkataan lain tujuan pembentuk undang-undang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan. Pemecahan masalah dengan mendasarkan pada sistem (gesystematiseerd

probleemdenken atau berpikir problemantik tersistemisasi) ini terjadi melalui beberapa


13

tahap. Pertama hakim meneliti masalah yang diajukan kepadanya untuk diterjemahkan secara yuridis: apakah hukum dapat membantu memperoleh pemecahan yang

diharapkan. Apabila begitu, maka ditetapkanlah fakta-fakta mana yang dianggapnya relevan dan peraturan yang dapat digunakan. Telah diketengahkan di muka bahwa ada hubungan antara peristiwa dan peraturan: peristiwa menentukan peraturan yang relevan, tetapi peraturannya menentukan sekaligus fakta mana yang penting. Sudah sejak seleksi dan analisis peristiwa dan peraturan penyelesaian akhir yang ada di dalam benak hakim memegang peranan. Apabila bagian pertama penelitian kearah penyelesaian hukum telah dilakukan maka selanjutnya semua nilai dan kepentingan yang berkaitan yang memegang peranan dalam masalah dan sampai pada putusan, dimana kita dapat menyesuaikan maksud pembentuk undang-undang dengan situasi konkrit, dilihat dari keadaan kemasyarakatan yang aktual. Penemuan hukum modern ini berpendirian bahwa atas satu pertanyaan hukum dapat dipertahankan pelbagai jawaban dalam sistem yang sama. Penemuan hukum harus menimbang-menimbang semua faktor yang mempengaruhi putusan-putusan akhirnya. Ia harus sadar bahwa putusan dalam arti positif dapat merupakan preseden untuk banyak hubungan-hubungan diwaktu mendatang. Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan manusia. Dalam penemuan hukum yang problemantik tersistemisasi justiciabele (pencari keadilan) lebih diutamakan. 7. Aliran yang Berlaku Sekarang Aliran ini berpendapat bahwa sumber hukum tidak hanya undang-undang atau peradilan saja. Banyak hal-hal yang tidak sempat diatur oleh undang-undang : undangundang banyak kekosongannya. Kekosongan ini diisi oleh peradilan melalui penafsiran hakim. Disamping undang-undang dan peradilan masih terdapat hukum yang tumbuh di dalam masyarakat, yaitu hukum kebiasaan. 17 BAB III
http.www.lawcommunity.com diakses pada tanggal 1 November 2012 Diposkan oleh Verawaty Marpaung (http.www.samalovernosasa.blogspot.com) minggu 19 Desember 2010 pada 01:30
17
16

kepentingan

16

14

PENUTUP C. Kesimpulan Penemuan hukum adalah usaha untuk mewujudkan pengembangan hukum secara ilmiah dan praktikal. Selain itu juga sebagai suatu reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum. Penemuan hukum juga dapat dikatakan sebagai kegiatan sehari-hari para yuris yaitu para pelaksana undang-undang dalam ranah yudikatif untuk menemukan suatu aturan hukum dikarenakan sumber hukum yang belum jelas dalam inisiatif penyelesaian perkara karena undang-undang tidak dapat membantu. Proses ini disebur dengan rechtvinding atau proses penemuan hukum.

Penemuan hukum merupakan kegiatan praktek hukum yang tidak dapat dilepaskan dari ilmu dan teori hukum. Yang secara historis praktek hukum lahir lebih dulu dari teori hukum namun dalam perkembangannya praktek hukum memerlikan teori hukum sebagai landasan teoritis.

Penemuan hukum dilakukan karena ketidaksesuaian anatar das sollen dengan das sein. Penemuan hukum dalam Islam disebut dengan Ijtihad yaitu pengaplikasian hukumyang terdapat dalam Al-Quran sesuai dengan perkembangan zaman asal tidak bertentangan denga Al-Quran. Dalam praktek sehari-hari yang paling dominan dalam penemuan hukum adalah hakim. Namun penemuan hukum dapat dilakukan oleh siapa saja sesuai dengan kesepakatan. Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim didasarkan pada aliran-aliran tertentu, yaitu :

15

1. Aliran Legisme 2. Aliran Historis 3. Aliran Begriffjurisprudenz 4. Aliran Interessen Jurisprudenz/ Freirechtschule 5. Aliran Freirechtbewegung 6. Aliran Modern Rechtvinding 7. Aliran yang berlaku saat ini

Dari kesemua aliran tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing namun dituntut kebijaksanaan hakim dalam menganalisis dan menganalogi setiap putusan hukum yang didasarkan pada aliran yang dipakainya dalam menemukan hukum yang seadil-adilnya untuk menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat.

16

DAFTAR PUSTAKA Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 Abdul Halim Barkatullah, Teguh Prasetyo, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum:Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermatabat , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001 Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993 www.artikelhukum.com www.lawcommunity.com www.samalovernosasa.blogspot.com sudiknomk@yahoo.co.id sudiknomertokusumo.blogspot.com

17

You might also like