You are on page 1of 75

PEMRIKSAAN FISIK SISTEM SARAF

A. Pengertian Sistem Saraf Saraf otak ada 12 pasang, memeriksa saraf otak (I-XII) dapat membantu menentukan lokasi dan jenis penyakit. Tiap saraf otak harus diperiksa dengan teliti, karena itu perlu dipahami anatomi dan fungsinya , serta hubungannya dengan struktur lainya lesi dapat terjadi pada serabut atau bagian paniten(infranuklir), pada inti (nuklir)atau hubungannya kesentral (supranuklir). Bila ini rusak,hal ini diikuti oleh degenerasi saraf perifernya,inti saraf otak yang terletak dibatang otak letaknya saling berdekatan dengan struktur lain,sehingga jarang kita jumpai lesi pada satu inti saja tanpa melibatkan bagian lainnya. Pemeriksaan fisik pada system saraf meliputi pengkajian fungsi-fungsi : Saraf pusat Sistem saraf Saraf otonom Simpatis Parasimpatis Thorako Lumbalis Sitem saraf otonom thorakal 1 s/d lumbal 2 Parasimpatis Kranio sacral Sacral 2,3dan 4 saraf cranial dan batang otak. Peredaran darah otak dimuali dari : Arkus aorta ,aliran darah otak , arteri karotis komunis interna dan arteri karotis komunis externa. Bagian-Bagian Otak hemisfer 1. Otak Depan cerebri Talamus Hipotalamus

2. Otak tengah / diencepalon 3. Otak belakang Pos varolili

Medula oblongata Serebelum Otak dan sumsum tulang belakang diselmuti meningia yg bersifat melindungi struktur saraf yg halus. Meningia terdiri dari 3 lapisan : piamater, duramater dan arachnoid yang melekat pada otak dan susum tulang belakang. Duramater melapisi tengkorak ( lapisan luar ). Lapisan dalam bersatu dengan lapisan luar.

Daerah brocca yang ber hubungan dengan kemampuan bicara. Pada orang biasa daerah brocca terletak pada hemisfer kiri, sedangkan pada orang yang kidal terletak pada hemisfer kanan. Daerah wernicke,s yang berhubungan dengan kemampuan untuk kesan atas suara diterima dan ditafsirkan ( mendengar ). Bagian- bagian saraf yg mempersarafi dan fungsinya , serta cara pengkajiannya : Nervus 1 : Olfaktorius, Nervus 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,dan 12.

B.

Pengkajian Umum Sistem Neurologi Gangguan Kesadaran Isi Pikir : Fungsi kognitif dan fungsi afektif Derajat Kesadaran yaitu terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan. Gangguan Derajat Kesadaran. Kerusakan cerebral yang dapat disebabkan oleh gangguan metabolisme, defesiensi vitamin, keracunan baik yang bersifat akut maupun kronik, stroke, trauma kepala , hemoragic, peningkatanTIK.

Tekanan intrakranial meningkat Penyebab : edema otak, perdarahan otak, tumor otak. Gejala yang muncul : nyeri kepala, muntah karena tekanan meningkat pada medulla oblongata. Pernapasan lambat karena tekanan dan anoksia medulla oblongata. Papila edema. Gangguan motorik karena tekanan pada area 4. Kejang, kontrol spinkter hilang, impuls inhibisi, gangguan , kesadaran sensorik tekanan pada

kortek & ascending reticular system.Gangguan regulasi suhu karena tekanan pada hipotalamus. Ubun-ubun menonjol karena tekanan pada tulang tengkorak.

Tanda awal herniasi otak Berpindahnya sebagian masa otak bagian supratentorial kedalam otak tengah. Penilaian dilakukan : Cepat dan akurat Didasarkan atas respon pasien terhadap stimulus yang diberi : Suara ,sentuhan, nyeri, cahaya Ketahui adanya komplikasi Pernapasan, cardiovascular, hilang reflex proteksi Nilai pupil Gangguan lobus temporalis Cek adanya peningkatan TIK Iskemia,aritmia,pulmonary arrest Tanda tanda adanya Komplikasi Tanda-tanda vital labil Napas cheyne stokes , Biots Tanda obstruksi nafas Lakukan pencegahan adanya aspirasi.

Gangguan Fungsi Kognitif Menurun perhatian. Menurunnya memory. Penurunan kemampuan bahasa dan persepsi. Penurunan kemampuan untuk membuat rencana.

Penyebab : Kerusakan system limbic dari kortex cerebri Penyakit metabolik Hipotiroid TIA Intoksikasi obat Gangguan cairan elektrolit

Penyakit degenaratif Gangguan Memory : Penyakit yang mengenai lobus temporal pda pusat memory:Trauma kepala, tumor, hemoragik, infark, kejang, penyakit degeneratif.

Afasia Tak mampu untuk bicara Ada dua hemisfer pada otak, salah satu dominan. Jika terjadi kerusakan pada hemisfer dominan , maka akan terjadi dua hal : 1. 2. Tidak mampu dalam mengutarakan maksud. Tidak mampu menangkap maksud. Apasia dibagi dua : 1. Apasia motorik Area brocca pada lobus frontal posterior anterior Tidak bisa untuk menyampaikan maksud. Peran penting perawat Awas frustasi. 2. Apasia Sensorik Area wernicke,s pada hemisfer kiri girus angular. Tidak mampu menangkap maksud dengan cara biasa. Peran perawat : Apasia motorikPertanyaan dengan jawaban Ya dan tidak, antisipasi kebutuhan, gunakan alat tulis. Apasia Sensorik Gunakan komunikasi non verbal, beri petunjuk visual, bicara pendek dan sederhana, Hindari pembicaraan abstrak.

Agnosia Ketidakmampuan untuk mengenal dan interpretasikan suatu rangsang indera Agnosia visual : tidak mampu mengenal fungsi suatu benda. Agnosia warna Agnosia muka Agnosia taktil

Agnosia astereognosis : tidak mampu menyebutkan bentuk dan ukuran benda yang diraba.

Apraksia Ketidak mampuan untuk mengerti , memformulasikan suatu perbuatan yang kompleks , tangkas dan volunteer. Penyebab : Lesi pada kedua hemisfer pada premotor area lobus frontal dan sebagian parietal. Peran perawat : sama dengan Apasia Gangguan Tingkah laku Dan Proses Pikir Penyebab : Penyakit yang mengena pada lobus frontal seperti: trauma kepala, demensia alkoholik, atropi cerebral. Masalah yang dapat ditemukan yaitu :kepribadian influsif, konsentrasi menurun, mood labil, miskin dalam mengambil keputusan. Gejala yang mungkin muncul : sakit kepala, irritable, hypersensitif terhadap stimulus, pusing, konsentrasi amat terbatas.

Gangguan pergerakan Bersifat volunteer Dipersarafi oleh motor kortex primer dan asosiasinya Lobus frontal, Basal ganglion, Cerebelum, Saraf tepi

Gangguan motorik mata Penyebab : Parese Nervus 3,4 dan 6 Tidak ada koordinasi antara ektra okuler. Masalah : Diplopia Nistagmus Gerakan involunter Strabismus Intervensi : Tutup sebelah mata yang sakit

Gangguan membuka menutup mata Penyebab : Parese saraf cranial 7

Ptosis Exoftalmus Masalah : Ulserasi kornea Gangguan penampilan Intervensi : Tutup dengan kain tipis dan basah Beri eye drops secara teratur Jika nyeri terus menerus Tanda kerusakan kornea kolaborasi

Gangguan expresi muka Penyebab : Gangguan cerebellum korteks motorik dan batang otak Kortiko bulbar inti saraf 7 Axon perifer N. 7 Masalah : Gangguan bicara disartria (tidak mampu untuk menghasilkan suara). Gangguan makan

Gangguan dalam mengelolah makanan dalam mulut Menelan Buka mulut Mengolah Mengunyah Menelan Penyebab : Parese Nervus 5.7.9.10 dan 12 Gangguan pergerakan extermitas paralisis : Tetra parese Hemi parese Para parese Imobilisasi butuh bantuan meningkat

Komplikasi : Kerusakan kulit Distensi bladder Konstipasi Osteo porosis

Temperatur Suhu normal sangat penting untuk mempertahankan fungsi normal dari semua sel tubuh Pusat : Hipotalamus : Dasar ventrikel III Reflek spinal pada spinal cord fungsi autonom Dilatasi dan kontiksi pembuluh darah perifer, hipotermia, hipertermia. Eliminasi Pusat pengendalian pada emua tingkat persarafan. Kortex motorik untuk menghambat pengosongan bladder dan bowel. Kortex sensorik : dapat mencetuskan distensi bladder dan bowel menahan dan mengeluarkan. Pada alur kortex sacral pengendalian otonom Reflex berkemih. Gangguan yang dapat terjadi: Kerusakan lobus frontal Inkontinensia reflex neurologik bladder. Kerusakan pada sekmen sacral autonomi neurologik bladder. Dampak yang mungkin muncul :Over distensi, batu bladder, infeksi (cystitis).

Sakit kepala ( headache ) Sakit kepala atau sefalgia adalah suatu keluhan fisik paling utama manusia. Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan penyakit dan dapat menunjukan penyakit organik atau penyakit lain, respon stress , vasodilatasi atau migrain , tegangan otot rangka ( sakit kepala tegang ), kombinasi respon tersebut. Penyebab : Tumor intra cranial Infeksi sistemik Cedera Kepala

Hypoxia Cerebral Penyakit kronik, mata, telingaStress Klasifikasi : Sakit kepala sukar dikategorikan dan ditetapkan . sedikit bukti fisiologis patologis atau uji dianostik dapat mendukung diagnosa sakit kepala. Sakit kepala mempunyai perbedaan manifestasi individual selama proses kehidupan, dan tipe sakit kepala yang sama mungkin mempunyai karakteristik yang berbeda diantara individu yang berbeda. Sakit kepala dapat diklasifikasikan sebagi berikut :

Migrain ( dengan dan tanpa aura ) Sakit kepala tegang .Sakit kepala klaster Patofisiologi : Vasospasme arteri kepala Suplai nutrisi ke otak berkurangIschemia berkepanjangan Dinding vascular fkasid tidak mempertahankan tonus ototTekanan darah meningkatPembuluh darah berdilatasiPeregangan dinding arteriNeuro kinin.

Pengkajian Temuanya tergantung pada jenis / penyebab dari sakit kepala tersebut Riwayat yang lengkap merupakan suatu hal yang penting untuk membedakan diagnostik. Pengkajian meliputi : Aktivitas / Istirahat : Lelah, letih , malaise Ketegangan mata Kesulitan membaca Insomnia Sirkulasi : Denyutan vaskuler misalnya daerah temporal Pucat, wajah tampak kemerahan Integritas ego Ansietas, peka rangsang selama sakit kepala

Makanan / Cairan Mual / muntah , anoreksia selama nyeri Neuro sensori : Pening, Disorientasi (selama sakit kepala) Kenyamanan Respon emosional/ perilaku tak terarah seperti menangis, gelisah Interaksi social Perubahan dalam tanggung jawab peran

Saraf cranial xii Saraf otak ada 12 pasang Memeriksa saraf otak (I-XII) dapat membantu menentukan lokasi dan jenis penyakit. Tiap saraf otak harus diperiksa dengan teliti, karena itu perlu dipahami anatomi dan fungsinya , serta hubungannya dengan struktur lainya lesi dapat terjadi pada serabut atau bagian paniten(infranuklir), pada inti (nuklir)atau hubungannya kesentral (supranuklir). Bila ini rusak,hal ini diikuti oleh degenerasi saraf perifernya,inti saraf otak yang terletak dibatang otak letaknya saling berdekatan dengan struktur lain,sehingga jarang kita jumpai lesi pada satu inti saja tanpa melibatkan bagian lainnya.

Anatomi Dan Fisiologi Saraf XII mengandung serabut somato-motorik yang menginervasi otot ekstrinsik lidah, fungsi otot ekstrinsik lidah ialah menggerakan lidah,dan otot intrinsic mengubah-ubah bentuk lidah. Inti saraf ini menerima serabut dari kortex traktus priamidalis dari satu sisi, yaiti sisi kontra lateral. Dengan demikian ia sering terkena pada gangguan peredaran darah otak (stroke),misalnya di korteks dan kapsula interna. Pemeriksaan Infeksi : Penderita di suruh membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dan bergerak. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan besarnya lidah, kesamaan bagian kiri dan kanan dan ada tidaknya atrofi, apakah lidah berkerut? Apakah lidah mencong?

Tremor lidah dapat di jumpai pada pasien yang sakit berat (lemah),demensia paralitik dan intoksikasi. Fasikulasi dijumpai pada lesi nuklir, misalanya pada siringobulbi,kadang-kadang kita sulit membedakan antara tremor dan fasikular terlebih lagi pada lidah yang tersungkur.Untuk memudahkan perbedaanya, lidah diistirahatkan pada dasar mulut. Pada keadaan ini, tremor biasanya berkurang atau menghilang. Pada Atetose didapatkan gerakan yang lidah terkendali,lidah sulit dijulurkan atau hal ini dilakukan dengan sekoyong-koyong dan kemudian tanpa kendali ditarik secara mendadak.Jika terdapat kumpulan pada dua sisi,lidah tidak dapat digerakan atau dijulurkan.Terdapat disatria (cadel,pelo)dean kesukaran menelan, selain itu juga didapatkan kesukaran bernafas, karena lidah dapat terjatuh kebelakang sehingga menghalangi jalan nafas. Untuk menilai tenaga lidah kita suru penderita menggerakan lidahnya ke segalah jurusan dan perhatikan kekuatan geraknya, kjemudian penderita di suruh menekankan lidahnya pada pipinya,kita nilai daya tekanya dengan jalan menekankan jari kita pada pipi sebelah luar.Jika terdapat perasa lidah bagian kiri lidah tidak dapat ditekankan kepipi sebelah kanan,tetapi kesebelah kiri dapat Gangguan Pada Nervus XII Dan Penyebabnya Lesi nervus dapat bersifat supra nuklir, misalnya pada lesi di kortex atau kapsula interna yang dapat di debabkan oleh misalnya pada strok, dalam hal ini didapatkan kelumpuhan otot lidah tanpa adanya atropi dan fasikular. Pada lesi nuklir didapatkan atropi dan fasikular hal ini disebabkan oleh siringgobulbi,ALS,radang,gangguan peredaran darah dan neoplasma. Pada lesi infra nuklir didapatkan atropi. Hal ini dapat disebabkan oleh proses diluar medulla oblongata tetapi masih di dalam tengkora, misalnya trauma,fraktur dasar tulang tengkorak ,meningitis atau dapat juga oleh kelainan yang berada di luar tulang tenkorak misalnya abses atau dislokasi vetebra servikalis. Macam Pemeriksan Neurologi 1. Fungsi Cerebral Keadaan umum, tingkat kesadaran yang umumnya dikembangkan dengan Glasgow Coma Scala (GCS) : Refleks membuka mata (E) 4 : Membuka secara spontan

3 : Membuka dengan rangsangan suara 2 : Membuka dengan rangsangan nyeri 1 : Tidak ada respon Refleks verbal (V) 5 : Orientasi baik 4 : Kata baik, kalimat baik, tapi isi percakapan membingungkan. 3 : Kata-kata baik tapi kalimat tidak baik 2 : Kata-kata tidak dapat dimengerti, hanya mengerang 1 : Tidak keluar suara Refleks motorik (M) 6 : Melakukan perintah dengan benar 5 : Mengenali nyeri lokal tapi tidak melakukaan perintah dengan benar 4 : Dapat menghindari rangsangan dengan tangan fleksi 3 : Hanya dapat melakukan fleksi 2 : Hanya dapat melakukan ekstensi 1 : Tidak ada gerakan

Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan. Penderita yang sadar ( Compos mentis ) pasti GCS-nya 15 (4-5-6), sedang penderita koma dalam, GCS-nya 3 (1-1-1). Bila salah satu reaksi tidak bisa dinilai, misal kedua mata bengkak sedang V dan M normal, penulisannya X 5 6. Bila ada trakheotomi sedang E dan M normal, penulisannya 4 X 6. Atau bila tetra parese sedang E an V normal, penulisannya 4 5 X. GCS tidak bisa dipakai untuk menilai tingkat kesadaran pada anak berumur kurang dari 5 tahun.

Derajat kesadaran : Sadar : Dapat berorientasi dan berkomunikasi Somnolens : dapat digugah dengan berbagai stimulasi, bereaksi secara motorik / verbal kemudian terlena lagi. Gelisah atau tenang. Stupor : gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap rangsangan nyeri, pendengaran dengan suara keras dan penglihatan kuat. Verbalisasi mungkin terjadi tapi terbatas pada satu atau dua kata saja. Non verbal dengan menggunakan kepala.

Semi koma : tidak terdapat respon verbal, reaksi rangsangan kasar dan ada yang menghindar (contoh mnghindri tusukan). Koma : tidak bereaksi terhadap stimulus.

Kualitas kesadaran : Compos mentis : bereaksi secara adekuat. Abstensia drowsy/kesadaran tumpul : tidak tidur dan tidak begitu waspada. Perhatian terhadap sekeliling berkurang. Cenderung mengantuk. Bingung/confused:disorientasi terhadap tempat, orang dan waktu. Delerium : mental dan motorik kacau, ada halusinasi dn bergerak sesuai dengan kekacauan fikirannya. Apatis : tidak tidur, acuh tak acuh, tidak bicara dan pandangan hampa

Gangguan fungsi cerebral meliputi : Gangguan komunikasi, gangguan intelektual, gangguan perilaku dan gangguan emosi. Pengkajian status mental / kesadaran meliputi : GCS, orientasi (orang, tempat dan waktu), memori, interpretasi dan komunikasi. 2. Fungsi nervus cranialis Cara pemeriksaan nervus cranialis : N.I : Olfaktorius (daya penciuman) : Pasiem memejamkan mata, disuruh membedakaan bau yang dirasakaan (kopi, tembakau, alkohol,dll) N.II : Optikus (Tajam penglihatan): dengan snelen card, funduscope, dan periksa lapang pandang. N.III : Okulomorius (gerakam kelopak mata ke atas, kontriksi pupil, gerakan otot mata): Tes putaran bola mata, menggerkan konjungtiva, palpebra, refleks pupil dan inspeksi kelopak mata. N.IV : Trochlearis (gerakan mata ke bawah dan ke dalam):sama seperti N.III N.V : Trigeminal (gerakan mengunyah, sensasi wajah, lidah dan gigi, refleks kornea dan refleks kedip): menggerakan rahang ke semua sisi, psien memejamkan mata, sentuh dengan

kapas pada dahi dan pipi. Reaksi nyeri dilakukan dengan benda tumpul. Reaksi suhu dilakukan dengan air panas dan dingin, menyentuh permukaan kornea dengan kapas. N.VI : Abducend (deviasi mata ke lateral) :sama sperti N.III. N.VII : Facialis (gerakan otot wajah, sensasi rasa 2/3 anterior lidah ): senyum, bersiul, mengerutkan dahi, mengangkat alis mata, menutup kelopak mata dengan tahanan. Menjulurkan lidah untuk membedakan gula dengan garam. N.VIII : Vestibulocochlearis (pendengaran dan keseimbangan ) : test Webber dan Rinne. N.IX : Glosofaringeus (sensasi rsa 1/3 posterio lidah ):membedakan rasaa mani dan asam ( gula dan garam). N.X : Vagus (refleks muntah dan menelan) : menyentuh pharing posterior, pasien menelan ludah/air, disuruh mengucap ah! N.XI : Accesorius (gerakan otot trapezius dan sternocleidomastoideus) palpasi dan catat kekuatan otot trapezius, suruh pasien mengangkat bahu dan lakukan tahanan sambil pasien melawan tahanan tersebut. Palpasi dan catat kekuatan otot sternocleidomastoideus, suruh pasien meutar kepala dan lakukan tahanan dan suruh pasien melawan tahan. N.XII : Hipoglosus (gerakan lidah): pasien suruh menjulurkan lidah dan menggrakan dari sisi ke sisi. Suruh pasien menekan pipi bagian dalam lalu tekan dari luar, dan perintahkan pasien melawan tekanan tadi.

3.

Fungsi motorik Otot Ukuran : atropi / hipertropi Tonus : kekejangan, kekakuan, kelemahan, kekuatan : fleksi, ekstensi, melawan gerakan, gerakan sendi.

Derajat kekuatan motorik : 5 : Kekuatan penuh untuk dapat melakukan aktifitas 4 : Ada gerakan tapi tidak penuh

3 : Ada kekuatan bergerak untuk melawan gravitas bumi 2 : Ada kemampuan bergerak tapi tidak dapat melawan gravitasi bumi. 1 : Hanya ada kontraksi 0 : tidak ada kontraksi sama sekali Gait (keseimbangan) : dengan Rombergs test 4. Fungsi sensorik Test : Nyeri, Suhu, Raba halus, Gerak, Getar, Sikap, Tekan, Refered pain. 5. Refleks Refleks superficial Refleks dinding perut : Cara : goresan dinding perut daerah epigastrik, supra umbilikal, umbilikal, intra umbilikal dari lateral ke medial. Respon : kontraksi dinding perut Refleks cremaster Cara : goresan pada kulit paha sebelah medial dari atas ke bawah Respon : elevasi testes ipsilateral Refleks gluteal Cara : goresan atau tusukan pada daerah gluteal Respon : gerakan reflektorik otot gluteal ipsilateral Refleks tendon / periosteum Refleks Biceps (BPR): Cara : ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps brachii, posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku. Respon : fleksi lengan pada sendi siku Refleks Triceps (TPR) Cara : ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi. Respon : ekstensi lengan bawah pada sendi siku

Refleks Periosto radialis Cara : ketukan pada periosteum ujung distal os radial, posisi lengan setengah fleksi dan sedikit pronasi. Respon : fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi krena kontraksi m.brachiradialis. Refleks Periostoulnaris Cara : ketukan pada periosteum prosesus styloid ilna, posisi lengan setengah fleksi dan antara pronasi supinasi. Respon : pronasi tangan akibat kontraksi m.pronator quadratus Refleks Patela (KPR) Cara : ketukan pada tendon patella Respon : plantar fleksi kaki karena kontraksi m.quadrisep femoris Refleks Achilles (APR) Cara : ketukan pada tendon achilles Respon : plantar fleksi kaki krena kontraksi m.gastroenemius Refleks Klonus lutut Cara : pegang dan dorong os patella ke arah distal Respon : kontraksi reflektorik m.quadrisep femoris selama stimulus berlangsung. Refleks Klonus kaki Cara : dorsofleksikan kki secara maksimal, posisi tungkai fleksi di sendi lutut. Respon : kontraksi reflektorik otot betis selama stimulus berlangsung Refleks patologis Babinsky Cara : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior Respon : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya Chadock Cara : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus lateralis dari posterior ke anterior. Respon : seperti babinsky Oppenheim Cara : pengurutan krista anterior tibia dari proksiml ke distal

Respon : seperti babinsky Gordon Cara : penekanan betis secara keras Respon : seperti babinsky Schaefer Cara : memencet tendon achilles secara keras Respon : seperti babinsky Gonda Cara : penekukan (plantar fleksi) maksimal jari kaki ke-4 Respon : seperti babinsky Stransky Cara : penekukan (lateral) jari kaki ke-5 Respon : seperti babinsky Rossolimo Cara : pengetukan pada telapak kaki Respon : fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangeal Mendel-Beckhterew Cara : pengetukan dorsum pedis pada daerah os coboideum Respon : seperti rossolimo Hoffman Cara : goresan pada kuku jari tengah pasien Respon : ibu jari, telunjuk dan jari lainnya fleksi Trommer Cara : colekan pada ujung jari tengah pasien Respon : seperti hoffman Leri Cara : fleksi maksimal tangan pada pergelangan tangan, sikap lengen diluruskan dengan bgian ventral menghadap ke atas. Respon : tidak terjadi fleksi di sendi siku Mayer

Cara : fleksi maksimal jari tengah pasien ke arah telapk tangan Respon : tidak terjadi oposisi ibu jari 6. Refleks primitif Sucking refleks Cara : sentuhan pada bibir Respon : gerakan bibir, lidah dn rahang bawah seolah-olah menyusu Snout refleks Cara : ketukan pada bibir atas Respon : kontrksi otot-otot disekitar bibir / di bawah hidung Grasps refleks Cara : penekanan / penekanan jari pemeriksa pada telapak tangan pasien Respon : tangan pasien mengepal Palmo-mental refleks Cara : goresan ujung pena terhadap kulit telapak tangan bagian thenar Respon : kontaksi otot mentalis dan orbikularis oris (ipsi lateral)

Selain pemeriksaan tersebut di atas juga ada beberapa pemeriksaan lain seperti : Pemeriksaan fungsi luhur: a. b. c. Apraxia : hilangnya kemampuan untuk melakukan gerakan volunter atas perintah Alexia : ketidakmampuan mengenal bahasa tertulis Agraphia : ketidakmampuan untuk menulis kata-kata

d. Fingeragnosia: kesukaran dalam mengenal, menyebut, memilih dan membedakan jari-jari, baik punya sendiri maupun orang lain terutama jari tengah e. Disorientasi kiri-kanan: ketidakmampuan mengenal sisi tubuh baik tubuh sendiri maupun orang lain.

PENGKAJIAN FISIK DAN TEST DIAGNOSTIK

Tingkat kesadaran : 1. Alert : Composmentis / kesadaran penuh Pasien berespon secara tepat terhadap stimulus minimal, tanpa stimuli individu terjaga dan sadar terhadap diri dan lingkungan. 2. Lethargic : Kesadaran Klien seperti tertidur jika tidak di stimuli, tampak seperti enggan bicara. Dengan sentuhan ringan, verbal, stimulus minimal, mungkin klien dapat berespon dengan cepat. Dengan pertanyaan kompleks akan tampak bingung. 3. Obtuned Klien memerlukan rangsangan yang lebih besar agar dapat memberikan respon misalnya rangsangan sakit, respon verbal dan kalimat membingungkan. 4. Stuporus Klien dengan rangsang kuat tidak akan memberikan rangsang verbal. Pergerakan tidak berarti berhubungan dengan stimulus. Glasgow Coma Scale (GCS) Score : 3 4 : vegetatif, hanya organ otonom yang bekerja 11 : moderate disability 15 : composmentis Adapun scoring tersebut adalah : RESPON SCORING Respon membuka mata ( E = Eye ) Spontan ( 4 ) Dengan perintah ( 3 ) Dengan nyeri ( 2 ) Tidak berespon ( 1 ) Respon Verbal ( V= Verbal ) Berorientasi (5) Bicara membingungkan (4) Kata-kata tidak tepat (3) Suara tidak dapat dimengerti (2) Tidak ada respons (1) Respon Motorik (M= Motorik )

Dengan perintah (6) Melokalisasi nyeri (5) Menarik area yang nyeri (4) Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)/postur dekortikasi (3) Ekstensi abnormal/postur deserebrasi (2) Tidak berespon (1) Saraf kranial : 1. Test nervus I (Olfactory) Fungsi penciuman Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda yang baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya. Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan. 2. Test nervus II ( Optikus) Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris di koran, ulangi untuk satunya. Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien memandang hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah, gerakkan perlahan obyek tersebut, informasikan agar klien langsung memberitahu klien melihat benda tersebut, ulangi mata kedua. 3. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens) Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III). Test N III Oculomotorius (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan senter kedalam tiap pupil mulai menyinari dari arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata (jangan keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena sinar. Test N IV Trochlear, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60 cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah kanan. Observasi adanya deviasi bola mata, diplopia, nistagmus. Test N VI Abducens, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa menengok. 4. Test nervus V (Trigeminus) Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata atas dan bawah. Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral. Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral. Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan mata klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya sentuhan. Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter. 5. Test nervus VII (Facialis) Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam, manis, asin pahit. Klien tutup

mata, usapkan larutan berasa dengan kapas/teteskan, klien tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi yang sehat. Otonom, lakrimasi dan salivasi Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien untuk : tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata sementara pemeriksa berusaha membukanya

6. Test nervus VIII (Acustikus) Fungsi sensoris : Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien, pemeriksa berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari bergantian kanan-kiri. Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus, apakah dapat melakukan atau tidak. 7. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus) N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi bagian ini sulit di test demikian pula dengan M.Stylopharingeus. Bagian parasimpatik N IX mempersarafi M. Salivarius inferior. N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak. Test : inspeksi gerakan ovula (saat klien menguapkan ah) apakah simetris dan tertarik keatas. Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding pharynx dengan tong spatel, akan terlihat klien seperti menelan. 8. Test nervus XI (Accessorius) Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi kekuatannya. Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan - test otot trapezius. 9. Nervus XII (Hypoglosus) Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi) Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan. FUNGSI SENSORIK Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan pada permulaan

pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan baik). Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi: 1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial. 2. Kapas untuk rasa raba. 3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu. 4. Garpu tala, untuk rasa getar. 5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination. 6. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk pemeriksaan stereognosis 7. Pen / pensil, untuk graphesthesia. SISTEM MOTORIK Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri, impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron. Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan. 1. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi 2. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien. Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus. 3. Kekuatan otot : Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovetts (memiliki nilai 0 5) 0 = tidak ada kontraksi sama sekali. 1 = gerakan kontraksi. 2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau gravitasi. 3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi. 4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh. 5 = kekuatan kontraksi yang penuh.

AKTIFITAS REFLEKS Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu : 0 = tidak ada respon 1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + ) 2 = normal ( ++ ) 3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal ( +++ ) 4 = hyperaktif, dengan klonus ( ++++) Refleks-refleks yang diperiksa adalah : 1. Refleks patella Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut. 2. Refleks biceps Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer. Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu. 3. Refleks triceps Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 ,tendon triceps diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon). Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara. 4. Refleks achilles Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral. Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki. 5. Refleks abdominal Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores. 6. Refleks Babinski Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit traktus kortikospinal. Untuk

melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki. PEMERIKSAAN KHUSUS SISTEM PERSARAFAN Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan : 1. Kaku kuduk Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel pada dada kaku kuduk positif (+). 2. Tanda Brudzinski I Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut. 3. Tanda Brudzinski II Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut. 4. Tanda Kernig Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas. Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan. 5. Test Laseque Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri sepanjang m. ischiadicus.

Pengkajian Sistem Syaraf 3


PENGKAJIAN PENGKAJIAN
SISTEM SYARAF

Riwayat Keperawatan Riwayat Riwayat Riwayat Riwayat kesehatan perkembangan Sosial Psikologik

2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan head to toe Reviw of sistem 3. Pemeriksaan Neurologi Status kesadaran Fungsi Nervus Cranial Fungsi Motorik Fungsi Sensorik Fungsi Reflek Status Mental Riwayat Keperawatan

Keluhan yang biasanya dirasakan : Nyeri Kepala Muntah Kejang Gangguan bicara Perubahan Kepribadian P, Q, R, S, T 2. Riwayat Kesehatan masa lalu Riwayat trauma Riwayat infeksi berat Riwayat penyakit lain Riwayat kelainan Hormonal Riwayat kelainan Metabolik 3. Riwayat Perkembangan Masa Neonatus Masa Bayi Masa Anak-anak Masa Remaja Masa Lansia

Riwayat Kesehatan pasien saat ini :

4. Riwayat Sosial Penampilan secara umum Interaksi sosial Penyalahgunaan obat Pekerjaan dan stres kerja 5. Riwayat Psikologis Tipe Kepribadian Perasaan keamanan dan kenyamanan Koping Mekanism Pemeriksaan Fisik Segera periksa dan berikan tindakan segera bila terdapat tanda 5 H : Hipoksia, Hipotensi, Hipoglikemi, Hipertermi, Herniasi otak. Pemeriksaan fisik harus mencakup : Gejala vital, Integument, Kepala, Bagian tubuh yang lain. Dengan cara A, B, C atau B1 B6 Test Neurologis Tingkat Kesadaran :

Compos Mentis / Normal Somnolen / Lethargi ( kantuk ) Sopor / Stupor (kantuk dalam) Semi koma (koma ringan) Koma

Pemeriksaan tingkat kesadaran Tingkat kesadaran diukur dengan cara GCS (Glasgow Coma Scale) yang didasarkan pada 3 aspek : Respon membuka mata Respon Verbal Respon Motorik

Interpretasi hasil : Nilai tertinggi 15 (kesadaran penuh) Nilai terendah 3 Nilai kurang dari 7 disebut kesadaran koma Kreteria Penilaian

Respon membuka mata : Spontan 4 Membuka mata dengan perintah / nyeri ringan 3 Nyeri sedang dan kuat 2 Tidak membuka mata 1

2. Respon Bicara / Verbal

Orientasi baik 5 Kacau, kalimat jelas tapi membingungkan 4 Tidak tepat, kata jelas tetapi rangkain kata membingungkan 3 Mengucapkan suku kata 2 Tidak ada jawaban 1
3. Respon Motorik

Gerakan sesuai perintah 6 Menepis nyeri 5 Menarik / menjauhi rangsang nyeri 4 Decortikasi 3 Deserbrasi 2 Tidak ada reaksi 1 Penilaian orientasi klien
Aspek yang dinilai : 1. Orientasi Orang Tanyakan : Siapa nama anda ? Usia berapa ? Mengenal ORG terdekat ? 2. Orientasi Tempat Tanyakan : Dimana Kita Sekarang ? Dimana alamat anda ? Berapa No Telp ? 3. Orientasi Waktu Tanyakan : hari apa Sekarang ? Tgl berapa ? Bu l a n a p a ? Tahun berapa ? Waktu Siang /Malam ? Jam berapa Kira Kira ? Penilaian Memori Tiga aspek Yg dinilai : 1. Memori Jangka Pendek Tanyakan ; Naik apa Ke rumah Sakit ?

1- 5- 9 , 3- 7 - 10 Meja Kursi Gelas Infus Suruh Klien mengulang . 2. Memori Jagka Sedang Tanyakan ; Sebelum Mrs apa sdh Sholat ? Tadi Pagi sarapan apa ? Wkt masuk hari apa ? 3. Memori Jangka panjang Tanyakan ; Nama Orang tuanya ? Tahun Kelahiran ? Lahir di mana ? Di tolong siapa ? Penilaian Fungsi bicara Ada tiga Jenis Gangguan Fungsi Bicara 1. Afasia Motorik [ Afasi broca ] Klien diminta mengulangi kalimat yang Pemeriksa ucapkan Apakah Klien mampu mengucapkan . 2. Afasia Sensorik [Afasia Werncke] Suruh Klien membaca Paragraf, Kemudian suruh klien menjelaskan Isi dari bacaan tsb . Atau suruh Klien Meniru tulisan yg telah Pemeriksa buat .Apakah Klien mampu menyimpulkan atau menulis Dgn benar . 3. Afasia total [Afasia motorik maupun Sensorik ] . TEST FUNGSI NERVUS CRANIAL

1.Nervus I (Olfaktorius)
Menilai fungsi penciuman dengan cara

Minta klien menutup mata Tutup salah satu lubang hidung Berilah bau-bauan yang dikenal (kopi, tembakau, teh, dsb) Minta klien menyebutnya Ulangi prosedur pada lubang hidung yang satunya

2. Nervus II (Optikus)
Menilai ketajaman dan lapang pandang dengan cara : Ketajaman : Secara kasar membandingkan antara ketajaman pemeriksa dengan klien atau pemeriksa dengan Snellen chart Lapang pandang : Posisi klien dengan pemeriksa berhadapan

3. Nervus III (Oculomotorius) Menilai gerakan bola mata, gerakan kelopak mata dan konstriksi pupil 4. Nervus IV (Troklearis) Menilai gerakan bola mata ke bawah dan kenasal /dalam 5. Nervus V (Abdusen) Menilai gerakan bola mata ke arah lateral (melirik) Nervus III, IV, V diperiksa secara bersam-sama Observasi kelainan : Adanya Ptosis, Eksofthalmus, Enofthalmus, Strabismus,

apakah cenderung memjamkan mata ? Penilaian gerak kelopak mata, dengan Cara : Minta klien memejamkan mata lalu berikan tekanan enteng pada kelopak mata dengan jari. Kemudian minta klien membuka mata. Bila tidak ada tahanan berarti ada kelumpuhan N. III Penilaian gerak bola mata, Cara : Minta klien mengikuti gerakan jari pemeriksa ke berbagai arah. Tanyakan apakah klien merasa melihat ganda (diplopia), silau (Photophobia). Perhatikan gerakan bola mata terbatas, atau kaku dan nistagmus. 6. Nervus VI (Trigeminus) Menilai fungs motorik (mengunyah), dan sensorik (sensasi wajah).

Fungs Motorik , cara : minta klien menutup mulut rapat-rapat kemudian kita

raba M. Master dan M. Temporales, perhatikan : tonos, usuran dan kontur (adakah penurunan atau kelemahan otot), kemudian suruh klien membuka mulut, perhatikan : posisi rahang, bila ada parese berarti posisi rahang asimetris.

Fungs Sensorik , cara periksa : Pasien diminta memejamkan mata, berikan


sensasi dingin / nyeri / hangat, bandingkan antara kanan dan kiri wajah (suruh klien menyebut sensasi tersebut)

tidak diperiksa. Mata yang diperiksa melihat latero superior (melirik). Sentuhkan kapas yang dipilin di kornea. Bandingkan mata kanan dan kiri. Bila mata langsung mengejap berarti reflek kornea baik. 7. Nervus VII (Fasialis) Untuk menilai fungs motorik dan sensorik pada bagian otot wajah. Cara periksa fungs motorik : Minta klien angkat alis mata atau mengerutkan mata atau minta klien memejamkan mata atau minta klien bersiul / mencucu. Perhatikan : Apakah klien mampu melakukan ! adakah bentuk asimetris, bila terdapat kelumpuhan Klien tidak mampu melakukan dan bentuk tidak simetris Cara pemeriksa Fungs Sensorik Bersamaan dg pemeriksaan Fungsi Sensorik N. V

Memeriksa reflek kornea, cara memeriksa : Minta klien menutup mata yang

7. Nervus VIII (Vestibulochoclearis)


Untuk menilai fungs pendengaran dan keseimbangan. Cara memeriksa fungsi pendengaran secara kasar bisa membandingkan ketajaman pendengaran dengan orang normal : Suruh klien mendengarkan suara bisikan pada jarak tertentu dan bandingkan dengan orang normal. Bandingkan ketajaman telinga kanan dan kiri. Bila terdapat perbedaan atau penurunan pendengaran, maka selanjutnya lakuykan pemeriksaan Rinne, Weber, Schwabach, Audiogram. Cara menilai fungsi keseimbangan.

Posisikan klien pada posisi duduk, kemudian rebahkan sampai 30 kepala

dibawah horison. Kepala di tolehkan kekiri dan kanan, mata klien tetap membuka ; Amati / tanyakan adanya nistgmus, berapa lama, adakah vertigo ? Test Keseimbangan (Stepping test)

Cara Pemeriksaan : Klien diminta menutup mata, suruh klien melangkah ditempat
sebanyak 50 kali, anjurkan untuk tetap melangkah seperti orang berjalan. Bila kedudukan akhir klien bergeser dari tempat asal > 30 atau beranjak > 1 meter berarti keseimbangan abnormal. 10. Nervus XI (Aksesorius)

Menilai fungsi pergerakan kepala, Yaitu melihat kondisi sternokloidomastoideus,


Trapesius ; Adakah adanya atropi otot, fasikulus, kelemahan. Cara memeriksa : otot Sternokloidomastoideus Klien diminta menolehkan kepala ke salah satu posisi, kemudian pemeriksa menarik kepala klien dengan arah berlawanan, bila ada tahanan berarti kondisi otot baik. Otot Trapesius Klien duduk dan diminta mengangkat bahu, kemudian pemeriksa medorong bahu kearah berlawanan ; bila terdapat tahanan berarti kondisi otot baik. 11. Nervus IX (Glosofaringeus) 12. Nervus X (Vagus) Untuk menilai fungsi menelan, pembentukan suara dan artikulasi bahasa.

Pemeriksaan kedua nervus ini secara bersamaan


Cara pemeriksaan : Klien diminta mengucapkan ; aaaaaaaaaa. Apakah suara normal / berkurang (dysponi) atau bahkan tidak ada suara (afoni) Klien diminta mengucapkan ; Ari..Lari.dilorong-lorong yang lupus. Apakah klien mampu mengucapkan dengan baik atau distara (tidak mampu mengucapkan dengan baik) atau bahkan sengau, bila sengau berarti ada kelumpuhan N. tersebut.

Nervus Hipogosus Menilai fungs pergerakan lidah waktu menelan dan bicara. Cara memeriksa : klien diminta menjulurkan lidah, kemudian menggerakkan lidah kekiri dan kekanan, perhatikan gerakan asimetris atau ketidakmampuan menggerakkan. TEST FUNGSI MOTORIK Untuk menilai kekuatan otot Periksa kekuatan otot pada ekstrimitas atas kanan dan kiri serta ekstrimitas bawah kanan dan kiri Ada 2 tehnik pemeriksaan :

at au

Pemeriksa yang menggerakkan kemudian klien yang menahan

Sebaliknya klien yang menggerakkan dan pemeriksa yang menahan.

Menilai kekuatan otot 0 : Bila tidak terlihat kontraksi otot 1 : Ada kontraksi tetapi tidak ada gerakan 2 : Ada gerakan sendi tetapi tidak mampu melawan gravitasi bumi 3 : Bisa melawan gravitasi, tetapi tidak mampu melawan tahanan pemeriksa 4 : Mampu melawan tahanan pemeriksa, tetapi kekuatan menurun 5 : Mampu melawan tahanan pemeriksa dengan kekuatan penuh. TEST FUNGSI SENSORIK Pengkajian funsi sensorikdilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap beberapa area sensasi yaitu sensasi nyeri, sentuhan, temperatur, rasa getar dan tekanan REFLEK Pengkajian reflek dilakuakan terhadap reflek superficial dan reflek tendon dalam Pengkajian reflek superficial dilakukan pada dinding perut dan kremaster (pada pria) Reflek tendon dalam dilakukan dengan hammer REFLEK PATOLOGIS Reflek Babinski Reflek Chadock, dll Reflek Fisiologis Reflek Bisep Reflek Trisep Reflek Brakhioradialis Reflek patela Reflek achiles TEST RANGSANG MENINGEAL

Kaku kuduk Tanda Lasegue Tanda Kernig Tanda Bradzinski 1 dan 2

Status Pemeriksaan Neurologi


Filed under: med papers,Neuro ningrum @ 7:53 pm Pendahuluan Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf diperlukan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan mental dan laboratorium (penunjang). Pemeriksaan neurologis meliputi: pemeriksaan kesadaran, rangsang selaput otak, saraf otak, sistem motorik, sistem sensorik refleks dan pemeriksaan mental (fungsi luhur). Selama beberapa dasawarsa ini ilmu serta teknologi kedokteran maju dan berkembang dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan memberikan bantuan yang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta menilai perkembangan atau perjalanan penyakit. Saat ini kita dengan mudah dapat mendiagnosis perdarahan di otak, atau keganasan di otak melalui pemeriksaan pencitraan. Kita juga dengan mudah dapat menentukan polineuropati dan perkembangannya melalui pemeriksaan kelistrikan. Di samping kemajuan yang pesat ini, pemeriksaan fisik dan mental di sisi ranjang (bedside) masih tetap memainkan peranan yang penting. Kita bahkan dapat meningkatkan kemampuan pemeriksaan di sisi ranjang dengan bantuan alat teknologi yang canggih. Kita dapat mempertajam kemampuan pemeriksaan fisik dan mental dengan bantuan alat-alat canggih yang kita miliki. Sampai saat ini kita masih tetap dan harus memupuk kemampuan kita untuk melihat, mendengar, dan merasa, serta mengobservasi keadaan pasien. Dengan pemeriksaan anamnesis, fisik dan mental yang cermat, kita dapat menentukan diagnosis, dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan. Anamnesis Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang penting. Seorang dokter tidak mungkin berkesempatan mengikuti penyakit sejak dari mulanya. Biasanya penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung, bahkan kadang-kadang saat penyakitnya sudah sembuh dan keluhan yang dideritanya merupakan gejala sisa. Selain itu, ada juga penyakit yang gejalanya timbul pada waktu-waktu tertentu; jadi, dalam bentuk serangan. Di luar serangan, penderitanya berada dalam keadaan sehat. Jika penderita datang ke dokter di luar serangan, sulit bagi dokter untuk menegakkan diagnosis penyakitnya, kecuali dengan bantuan laporan yang dikemukakan oleh penderita (anamnesis) dan orang yang menyaksikannya (alloanamnesis). Tidak jarang pula suatu penyakit mempunyai perjalanan tertentu. Oleh karena perjalanan penyakit sering mempunyai pola tertentu, maka dalam menegakkan diagnosis kita perlu menggali data perjalanan penyakit tersebut. Suatu kelainan fisik dapat disebabkan oleh bermacam penyakit. Dengan mengetahui perjalanan penyakit, kita dapat mendekati diagnosisnya, dan pemeriksaan laboratorium yang tidak perlu dapat dihindari. Tidaklah

berlebihan bila dikatakan bahwa: Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan ke ara diagnosa yang tepat. Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Pengambilan anamnesis sebaiknya dilakukan di tempat tersendiri, supaya tidak didengar orang lain. Biasanya pengambilan anamnesis mengikuti 2 pola umum, yaitu: 1. Pasien dibiarkan secara bebas mengemukakan semua keluhan serta kelainan yang dideritanya. 2. Pemeriksa (dokter) membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertuju. Pengambilan anamnesa yang baik menggabungkan kedua cara tersebut diatas. Biasanya wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur, pekerjaan, alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya, yaitu keluhan yang mendorong pasien datang berobat ke dokter. Pada tiap keluhan atau kelainan perlu ditelusuri: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Sejak kapan mulai Sifat serta beratnya Lokasi serta penjalarannya Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, sehabis makan dan lain sebagainya) Keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya Faktor yang membuat keluhan lebih berat atau lebih ringan Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan, datang dalam bentuk serangan, dan lain sebagainya

Pada tiap penderita penyakit saraf harus pula dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau kelainan dibawah ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Nyeri kepala : Apakah anda menderita sakit kepala? Bagaimana sifatnya, dalam bentuk serangan atau terus menerus? Dimana lokasinya? Apakah progresif, makin lama makin berat atau makin sering? Apakah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari? 2. Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba, mendadak, seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)? 3. Vertigo : Pernahkah anda merasakan seolah sekeliling anda bergerak, berputar atau anda merasa diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada hubungannya dengan perubahan sikap? Apakah disertai rasa mual atau muntah? Apakah disertai tinitus (telinga berdenging, berdesis)? 4. Gangguan pemglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun pada satu atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (diplopia)? 5. Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda? Adakah tinitus (bunyi berdenging/berdesis pada telinga)?

6. Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi (pengeluaran air ludah), lakrimasi (pengeluaran air mata), dan perasaan di wajah? Adakah kelemahan pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel dan pelo? Apakah suara anda berubah, jadi serak, atau bindeng (disfonia), atau jadi mengecil/hilang (afonia)? Apakah bicara jadi cadel dan pelo (disartria)? Apakah sulit menelan (disfagia)? 7. Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah anda menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda (disfasia, afasia motorik) atau memahami pembicaraan orang lain (disfasia, afasia sensorik)? Bagaimana dengan kemampuan membaca (aleksia)? Apakah menjadi sulit membaca, dan memahami apa yang anda baca? Bagaimana dengan kemampuan menulis, apakah kemampuan menulis berubah, bentuk tulisan berubah? 8. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak mengetahui apa yang terjadi di sekitar anda? Pernahkah anda mendada merasa lemah dan seperti mau pingsan (sinkop)? 9. Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah, atau lumpuh (tangan, lengan, kaki, tungkai)? Bagaimana sifatnya, hilang-timbul, menetap atau berkurang? Apakah gerakan anda menjadi tidak cekatan? Adakah gerakan pada bagian tubuh atau ekstremitas badan yang abnormal dan tidak dapat anda kendalikan (khorea, tremor, tik)? 10. Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau ekstremitas? Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar? Dimana tempatnya? Adakah rasa tersebut menjalar? 11. Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil (miksi), buang air besar (defekasi), dan nafsu seks (libido) anda? Adakah retensio atau inkontinesia urin atau alvi? Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum o Sensorium (kesadaran)

Tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa yaitu:


o

Normal : kompos mentis Somnolen : : Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai letargi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya pasien dibangungkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri. Sopor (stupor) : Kantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan yang singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri pasien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari pasien. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.

Koma ringan (semi-koma) : Pada keadaan ini tidak ada respons terhadap rangsang verbal. Refleks ( kornea, pupil dsb) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri. Pasien tidak dapat dibangunkan. Koma (dalam atau komplit) : Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya. Skala Koma Glasgow

Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon tersebut. Tanggapan/respon penderita yang perlu diperhatikan adalah: Membuka mata
o

Spontan Terhadap bicara Dengan rangsang nyeri Tidak ada reaksi

4 3 2 1

Respon verbal (bicara)


o

Baik dan tidak ada disorientasi Kacau (confused) Tidak tepat Mengerang Tidak ada jawaban

5 4 3 2 1

Respon motorik (gerakan)


o

Menurut perintah Mengetahui lokasi nyeri Reaksi menghindar Refleks fleksi (dekortikasi) Refleks ekstensi (deserebrasi) Tidak ada reaksi

6 5 4 3 2 1

o o o o

Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi nafas Suhu

Pemeriksaan Neurologis o Kepala dan Leher Bentuk Fontanella Transiluminasi : simetris atau asimetris : tertutup atau tidak

Rangsang meningeal

Kaku kuduk : Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan sbb: Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat Kernig sign : Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135, maka dikatakan Kernig sign positif. Brudzinski I (Brudzinskis neck sign)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik. Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign)

Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif. Lasegue sign : Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaring lalu kedua tungkai diluruskan (diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi)

persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal dapat dicapai sudut 70 sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70 maka disebut tanda Lasegue positif. Namun pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60.
o

Saraf-saraf otak Nervus I (olfaktorius)

Anosmia adalah hilangnya daya penghiduan. Hiposmia adalah bila daya ini kurang tajam. Hiperosmia adalah daya penghiduan yang terlalu peka.

Parosmia adalah gangguan penghiduan bilamana tercium bau yang tidak sesuai misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau bawang goreng. Kakosmia adalah mempersepsi adanya bau busuk, padahal tidak ada.

Halusinasi penciuman adalah bila tercium suatu modalitas olfaktorik tanpa adanya perangsangan maka kesadaran akan suatu jenis bau ini
o

Nervus II (optikus)

Tajam penglihatan : membandingkan ketajaman penglihatan pemeriksa dengan jalan pasien disuruh melihat benda yang letaknya jauh misal jam didinding, membaca huruf di buku atau koran. Lapangan pandang : Yang paling mudah adalah dengan munggunakan metode Konfrontasi dari Donder. Dalam hal ini pasien duduk atau berdiri kurang lebih jarak 1 meter dengan pemeriksa, Jika kita hendak memeriksa mata kanan maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya dengan tangannya pemeriksa harus menutup mata kanannya. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan pasien. Setelah pemeriksa menggerakkan jari tangannya dibidang pertengahan antara pemeriksa dan pasien dan gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam. Jika pasien mulai melihat gerakan jari jari pemeriksa, ia harus memberitahu, dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah iapun telah melihatnya. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan (visual field) maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut. Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua jurusan dan masing masing mata harus diperiksa. Melihat warna Refleks ancaman

Refleks pupil

Nervus III (okulomotorius)

Pergerakan bola mata ke arah : atas, atas dalam, atas luar, medial, bawah, bawah luar. Diplopia (melihat kembar) Strabismus (juling) Nistagmus (gerakan bola mata diluar kemauan pasien) Eksoftalmus (mata menonjol keluar) Pupil : lihat ukuran, bentuk dan kesamaan antara kiri dan kanan Refleks pupil (refleks cahaya)

Direk/langsung : cahaya ditujukan seluruhnya kearah pupil. Normal, akibat adanya cahaya maka pupil akan mengecil (miosis). Perhatikan juga apakah pupil segera miosis, dan apakah ada pelebaran kembali yang tidak terjadi dengan segera. Indirek/tidak langsung: refleks cahaya konsensuil. Cahaya ditujukan pada satu pupil, dan perhatikan pupil sisi yang lain. o

Rima palpebra Deviasi konjugae

Nervus IV (trochlearis)

Pergerakan bola mata ke bawah dalam

Nervus V (trigeminus)

Pemeriksaan motorik : membuka dan menutup mulut; palpasi otot maseter dan temporalis; kekuatan gigitan. Cara :

1. 1. 1. 1. pasien diminta merapatkan gigi sekuatnya, kemudian meraba M. masseter dan M. temporalis. Normalnya kiri dan kanan kekuatan, besar dan tonus nya sama. 2. Pasien diminta membuka mulut dan memperhatikan apakah ada deviasi rahang bawah, jika ada kelumpuhan maka dagu akan terdorong kesisi lesi. Sebagai pegangan diambil gigi seri atas dan bawah yang harus simetris.Bila terdapat parese disebelah kanan, rahang bawah tidak dapat digerakkan kesamping kiri. Cara lain pasien diminta mempertahankan rahang bawahnya kesamping dan kita beri tekanan untuk mengembalikan rahang bawah keposisi tengah. Pemeriksaan sensorik : dengan kapas dan jarum dapat diperiksa rasa nyeri dan suhu, kemudian lakukan pemeriksaan pada dahi, pipi dan rahang bawah. Refleks kornea : Kornea disentuh dengan kapas, bila normal pasien akan menutup matanya atau menanyakan apakah pasien dapat merasakan. Refleks masseter : Dengan menempatkan satu jari pemeriksa melintang pada bagian tengah dagu, lalu pasien dalam keadaan mulut setengah membuka dipukul dengan hammer reflex normalnya didapatkan sedikit saja gerakan, malah kadang kadang tidak ada. Bila ada gerakan hebat yaitu kontraksi M. masseter, M. temporalis, M. pterygoideus medialis yang menyebabkan mulut menutup ini disebut refleks meninggi. o

Refleks bersin : menggunakan kapas.

Nervus VI (abdusens)

Pergerakan bola mata ke lateral

Nervus VII (fasialis)

Pemeriksaan fungsi motorik : mengerutkan dahi (dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam), mimik, mengangkat alis, menutup mata (menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa), moncongkan bibir atau menyengir, memperlihatkan gigi, bersiul (suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan kanan apakah sama kuat. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi yang lumpuh) Pemeriksaan fungsi sensorik :

2/3 bagian depan lidah : Pasien disuruh untuk menjulurkan lidah, kemudian pada sisi kanan dan kiri diletakkan gula, asam,garam atau sesuatu yang pahit. Pasien cukup menuliskan apa yang terasa diatas secarik kertas. Bahannya adalah: glukosa 5 %, NaCl 2,5 %, asam sitrat 1 %, kinine 0,075 %. Sekresi air mata : Dengan menggunakan Schirmer test (lakmus merah). Ukuran : 0,5 cm x 1,5 cm. Warna berubah jadi biru; normal: 1015 mm (lama 5 menit).

Nervus VIII (vestibulo-koklearis)

Pemeriksaan fungsi n. koklearis untuk pendengaran

Pemeriksaan Weber : Maksudnya membandingkan transportasi melalui tulang ditelinga kanan dan kiri pasien. Garputala ditempatkan didahi pasien, pada keadaan normal kiri dan kanan sama keras (pasien tidak dapat menentukan dimana yang lebih keras). Pendengaran tulang mengeras bila pendengaran udara terganggu, misal: otitis media kiri, pada test Weber terdengar kiri lebih keras. Bila terdapat nerve deafness disebelah kiri, pada test Weber dikanan terdengar lebih keras. Pemeriksaan Rinne : Maksudnya membandingkan pendengaran melalui tulang dan udara dari pasien. Pada telinga yang sehat, pendengaran melalui udara didengar lebih lama daripada melalui tulang. Garputala ditempatkan pada planum mastoid sampai pasien tidak dapat mendengarnya lagi. Kemudian garpu tala dipindahkan kedepan meatus eksternus. Jika pada posisi yang kedua ini masih terdengar dikatakan test positip. Pada orang normal test Rinne ini positif. Pada conduction deafness test Rinne negatif. Pemeriksaan Schwabah : Pada test ini pendengaran pasien dibandingkan dengan pendengaran pemeriksa yang dianggap normal. Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan didekat telinga pasien. Setelah pasien tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu tala ditempatkan didekat telinga pemeriksa. Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek (untuk konduksi udara). Kemudian garpu

tala dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid pasien. Dirusuh ia mendengarkan bunyinya. Bila sudah tidak mendengar lagi maka garpu tala diletakkan di tulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengar bunyinya maka dikatakan Schwabach (untuk konduksi tulang) lebih pendek. o

Pemeriksaan fungsi n. vestibularis untuk keseimbangan

Pemeriksaan dengan tes kalori

Bila telinga kiri didinginkan (diberi air dingin) timbul nystagmus kekanan. Bila telinga kiri dipanaskan (diberi air panas) timbul nistagmus kekiri. Nystagmus ini disebut sesuai dengan fasenya yaitu : fase cepat dan fase pelan, misalnya nystagmus kekiri berarti fase cepat kekiri. Bila ada gangguan keseimbangan maka perubahan temperatur dingin dan panas memberikan reaksi.
o

Pemeriksaan past pointing test

Pasien diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dengan jari telunjuknya, kemudian dengan mata tertutup pasien diminta untuk mengulangi. Normalnya pasien harus dapat melakukannya.
o

Tes Romberg

Pada pemeriksaan ini pasien berdiri dengan kaki yang satu didepan kaki yang lainnya. Tumit kaki yang satu berada didepan jari kaki yang lainnya, lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup. Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih.
o

Stepping test

Pasien disuruh berjalan ditempat, dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti jalan biasa. Selama test ini pasien diminta untuk berusaha agar tetap ditempat dan tidak beranjak dari tempatnya selama test berlangsung. Dikatakan abnormal bila kedudukan akhir

pasien beranjak lebih dari 1 meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30 derajat.

Nervus IX

Pemeriksaan motorik : disfagia, palatum molle, uvula, disfonia, refleks muntah.

Cara 1 : Pasien diminta untuk membuka mulut dan mengatakan huruf a. Jika ada gangguan maka otot stylopharyngeus tak dapat terangkat dan menyempit dan akibatnya rongga hidung dan rongga mulut masih berhubungan sehingga bocor. Jadi pada saat mengucapkan huruf a dinding pharynx terangkat sedang yang lumpuh tertinggal, dan tampak uvula tidak simetris tetapi tampak miring tertarik kesisi yang sehat Cara 2 : Pemeriksa menggoreskan atau meraba pada dinding pharynx kanan dan kiri dan bila ada gangguan sensibilitas maka tidak terjadi refleks muntah. o

Pemeriksaan sensorik : pengecapan 1/3 belakang lidah

Nervus X

Pemeriksaan bersamaan dengan nervus IX.


o

Nervus XI

Memeriksa tonus m. sternocleidomastoideus : Dengan menekan pundak pasien dan pasien diminta untuk mengangkat pundaknya. Memeriksa tonus m. trapezius : Pasien diminta untuk menoleh kekanan dan kekiri dan ditahan oleh pemeriksa , kemudian dilihat dan diraba tonus dari m. sternocleidomastoideus.
o

Nervus XII

Dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan-perkataan tidak dapat diucapkan dengan baik, hal demikian disebut: dysarthria. Dalam keadaan diam lidah tidak simetris, biasanya tergeser kedaerah lumpuh karena tonus disini menurun. Bila lidah dijulurkan maka lidah akan membelok kesisi yang sakit. Melihat apakah ada atrofi atau fasikulasi pada otot lidah.

Kekuatan otot lidah dapat diperiksa dengan menekan lidah kesamping pada pipi dan dibandingkan kekuatannya pada kedua sisi pipi.

Pemeriksaan sistem motorik

Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan tertentu untuk menjamin kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan.
o

Pengamatan

Gaya berjalan dan tingkah laku. Simetri tubuh dan ektremitas. Kelumpuhan badan dan anggota gerak, dll.

Gerakan volunter

Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa, misalnya: o

Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu. Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti. Mengepal dan membuka jari-jari tangan. Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul. Fleksi dan ekstensi artikulus genu. Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki. Gerakan jari- jari kaki.

Palpasi otot

Pengukuran besar otot. Nyeri tekan. Kontraktur. Konsistensi (kekenyalan).

Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada:

Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis, HNP Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas) Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas) Kontraktur otot

Konsistensi otot yang menurun terdapat pada

Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot. Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di motor end plate

Perkusi otot

Normal : otot yang diperkusi akan berkontraksi yang bersifat setempat dan berlangsung hanya 1 atau 2 detik saja. Miodema : penimbunan sejenak tempat yang telah diperkusi (biasanya terdapat pada pasien mixedema, pasien dengan gizi buruk). Miotonik : tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk beberapa detik oleh karena kontraksi otot yang bersangkutan lebih lama dari pada biasa.
o

Tonus otot

Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa kemudian ekstremitas tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi pada sendi siku dan lutut. Pada orang normal terdapat tahanan yang wajar. Flaccid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan LMN). Hipotoni : tahanan berkurang.

Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini dijumpai pada kelumpuhan UMN. Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada Parkinson.

Kekuatan otot

Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan otot ada dua cara:

Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksa menahan gerakan ini. Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh menahan.

Cara menilai kekuatan otot:

0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total. 1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendiaan yang harus digerakkan oleh otot tersebut. 2 : Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya berat (gravitasi). 3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat. 4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit tahanan yang diberikan. 5 : Tidak ada kelumpuhan (normal)

Sistem sensibilitas o Eksteroseptif : terdiri atas rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.

Rasa nyeri bisa dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya dengan menusuk menggunakan jarum, memukul dengan benda tumpul, merangsang dengan api atau hawa yang sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan kimia. Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas. Penderita disuruh mengatakan dingin atau panas bila dirangsang dengan tabung reaksi yang berisi air dingin atau air panas. Untuk memeriksa rasa dingin dapat digunakan air yang bersuhu sekitar 10-20 C, dan untuk yang panas bersuhu 40-50 C. Suhu yang kurang dari 5 C dan yang lebih tinggi dari 50 C dapat menimbulkan rasa-nyeri. Rasa raba dapat dirangsang dengan menggunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh dan bandingkan bagian-bagian yang simetris.

Proprioseptif : rasa raba dalam (rasa gerak, rasa posisi/sikap, rasa getar dan rasa tekanan)

Rasa gerak : pegang ujung jari jempol kaki pasien dengan jari telunjuk dan jempol jari tangan pemeriksa dan gerakkan keatas kebawah maupun kesamping kanan dan kiri, kemudian pasien diminta untuk menjawab posisi ibu jari jempol nya berada diatas atau dibawah atau disamping kanan/kiri. Rasa sikap : Tempatkan salah satu lengan/tungkai pasien pada suatu posisi tertentu, kemudian suruh pasien untuk menghalangi pada lengan dan tungkai. Perintahkan untuk menyentuh dengan ujung ujung telunjuk kanan, ujung jari kelingking kiri dsb. Rasa getar : Garpu tala digetarkan dulu/diketuk pada meja atau benda keras lalu letakkan diatas ujung ibu jari kaki pasien dan mintalah pasien menjawab untuk merasakan ada getaran atau tidak dari garputala tersebut.
o

Diskriminatif : daya untuk mengenal bentuk/ukuran; daya untuk mengenal /mengetahui berat sesuatu benda dsb.

Rasa gramestesia : untuk mengenal angka, aksara, bentuk yang digoreskan diatas kulit pasien, misalnya ditelapak tangan pasien. Rasa barognosia : untuk mengenal berat suatu benda. Rasa topognosia : untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh pasien.

Refleks o Refleks fisiologis Biseps

Stimulus : ketokan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m. biseps brachii, posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku. Respons Afferent Efferenst Triseps : fleksi lengan pada sendi siku. : n. musculucutaneus (C5-6) : idem

Stimulus : ketukan pada tendon otot triseps brachii, posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi.

Respons Afferent Efferenst KPR

: extensi lengan bawah disendi siku : n. radialis (C 6-7-8) : idem

Stimulus Respons Efferent Afferent APR

: ketukan pada tendon patella : ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m. quadriceps emoris. : n. femoralis (L 2-3-4) : idem

Stimulus Respons Efferent Afferent -

: ketukan pada tendon achilles : plantar fleksi kaki karena kontraksi m. gastrocnemius : n. tibialis ( L. 5-S, 1-2 ) : idem

Periosto-radialis

Stimulus : ketukan pada periosteum ujung distal os radii, posisi lengan setengah fleksi dan sedikit pronasi Respons Afferent Efferenst : fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi karena kontraksi m. brachioradialis : n. radialis (C 5-6) : idem

Periosto-ulnaris

Stimulus : ketukan pada periosteum proc. styloigeus ulnea, posisi lengan setengah fleksi & antara pronasi supinasi. Respons Afferent : pronasi tangan akibat kontraksi m. pronator quadratus : n. ulnaris (C8-T1)

Efferent
o

: idem

Refleks patologis

Babinski

Stimulus : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior. Respons : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan (fanning) jari jari kaki. Chaddock

Stimulus : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral, sekitar malleolus lateralis dari posterior ke anterior. Respons : seperti babinski Oppenheim

Stimulus : pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke distal Respons : seperti babinski Gordon

Stimulus : penekanan betis secara keras Respons : seperti babinski Schaeffer

Stimulus : memencet tendon achilles secara keras Respons : seperti babinski Gonda

Stimulus : penekukan ( planta fleksi) maksimal jari kaki keempat Respons : seperti babinski Hoffman

Stimulus : goresan pada kuku jari tengah pasien

Respons : ibu jari, telunjuk dan jari jari lainnya berefleksi Tromner

Stimulus : colekan pada ujung jari tengah pasien Respons : seperti Hoffman

Koordinasi

Termasuk dalam pemeriksaan koordinasi : Lenggang Bicara : berbicara spontan, pemahaman, mengulang, menamai. Menulis : mikrografia pada Parkinsons disease

Percobaan apraksia : ketidakmampuan dalam melakukan tindakan yang terampil : mengancing baju, menyisir rambut, dan mengikat tali sepatu Mimik

Tes telunjuk : pasien merentangkan kedua lengannya ke samping sambil menutup mata. Lalu mempertemukan jari-jarinya di tengah badan. Tes telunjuk-hidung : pasien menunjuk telunjuk pemeriksa, lalu menunjuk hidungnya.

Disdiadokokinesis : kemampuan melakukan gerakan yang bergantian secara cepat dan teratur. Tes tumit-lutut : pasien berbaring dan kedua tungkai diluruskan, lalu pasien menempatkan tumit pada lutut kaki yang lain.

Vegetatif

Pemeriksaan vegetatif : Vasomotorik : pembuluh darah digores merah Sudomotorik : berkeringat Pilo-erektor : merinding tangan pemeriksa setelah memegang es, lalu memegang pasien Miksi

Defekasi Potensi libido Vertebra

Bentuk, scoliosis, hiperlordosis, kifosis

Tanda-tanda perangsangan radikuler

1. 1. Laseque : kaki difleksikan pada sendi panggul dengan sendi lutut tetap ekstensi tahanan dengan sudut > 60 2. Cross Laseque : lakukan tes Laseque, nyeri pada kaki yang berlawanan 3. Patrick 4. Contra-Patrick

Gejala-gejala Cerebellar

1. 1. Ataksia : gangguan gerakan jalan yang tidak teratur oleh karena impuls proprioseptif tidak dapat diintegrasikan (gangguan koordinasi gerakan). 2. Disartria : gangguan kata-kata. 3. Tremor : intention tremor : iregular, bertambah kasar bila tangan menuju suatu arah atau sasaran. 4. Nistagmus : tes kalori 5. Fenomena Rebound : tidak mampu menghentikan gerakan tepat pada waktunya. Penderita memfleksikan tangan dan disuruh menahan tahanan oleh pemeriksa, lalu pemeriksa melepaskan tangannya dengan tiba-tiba ditahan oleh otot-otot triseps normal. 6. Vertigo : gangguan orientasi ruangan dimana perasaan dirinya bergerak berputar terhadap ruangan di sekitarnya atau ruangan sekitarnya bergerak terhadap dirinya.

Gejala-gejala ekstrapiramidal

1. 1. Tremor : resting tremor/Parkinson tremor 2. Rigiditas : hipertonus otot-otot 3. Bradikinesia : gerakan melambat

Fungsi Luhur

1. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kesadaran kualitatif Ingatan baru Ingatan lama Orientasi : diri, tempat, waktu, situasi Inteligensia : normal, terganggu Daya pertimbangan : baik, kurang Reaksi emosi : normal, terganggu Afasia : gangguan berbahasa (gangguan dalam memproduksi atau memahami bahasa)

- Ekspresif : motorik, area Brocca - Reseptif : area Wernicke 9. Agnosia : ketidakmampuan mengenali benda-benda yang telah dikenali sebelumnya. Agnosia visual : tidak mampu mengenali objek secara visual

Agnosia jari : ketidakmampuan mengidentifikasi jarinya atau jari orang lain pasien menutup mata, pemeriksa memegang salah satu jari pasien, dan pasien membuka mata dan menunjukkan jari yang diraba tadi. 10. Akalkulia : ketidakmampuan berhitung 11. Disorientasi kanan-kir

Pemeriksaan 12 Nervus Kranialis


Pemeriksaan saraf merupakan salah satu dari rangkaian pemeriksaan neurologis yang terdiri dari; 1). Status mental, 2). Tingkat kesadaran, 3).Fungsi saraf kranial, 4). Fungsi motorik, 5). Refleks, 6). Koordinasi dan gaya berjalan dan 7). Fungsi sensorik Agar pemeriksaan saraf kranial dapat memberikan informasi yang diperlukan, diusahakan kerjasama yang baik antara pemeriksa dan penderita selama pemeriksaan. Penderita seringkali diminta kesediaannya untuk melakukan suatu tindakan yang mungkin oleh penderita dianggap tidak masuk akal atau menggelikan. Sebelum mulai diperiksa, kegelisahan penderita harus dihilangkan dan penderita harus diberi penjelasan mengenai pentingnya pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis. Memberikan penjelasan mengenai lamanya pemeriksaan, cara yang dilakukan dan nyeri yang mungkin timbul dapat membantu memupuk kepercayaan penderita pada pemeriksa. Penderita diminta untuk menjawab semua pertanyaan sejelas mungkin dan mengikuti semua petunjuk sebaik mungkin. Suatu anamnesis lengkap dan teliti ditambah dengan pemeriksaan fisik akan dapat mendiagnosis sekitar 80% kasus. Walaupun terdapat beragam prosedur diagnostik modern tetapi tidak ada yang dapat menggantikan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui lubanglubang pada tulang yang dinamakan foramina, terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), Okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibula koklearis (VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII). Saraf kranial I, II, VII merupakan saraf sensorik murni, saraf kranial III, IV, XI dan XII merupakan saraf motorik, tetapi juga mengandung serabut proprioseptif dari otot-otot yang dipersarafinya. Saraf kranial V, VII, X merupakan saraf campuran, saraf kranial III, VII dan X juga mengandung beberapa serabut saraf dari cabang parasimpatis sistem saraf otonom. II. 1. DEFINISI Saraf-saraf kranial dalam bahasa latin adalah Nervi Craniales yang berarti kedua belas pasangan saraf yang berhubungan dengan otak mencakup nervi olfaktorii (I), optikus (II), okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibulokoklearis (VIII), glosofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII). Gangguan saraf kranialis adalah gangguan yang terjadi pada serabut saraf yang berawal dari otak atau batang otak, dan mengakibatkan timbulnya keluhan ataupun gejala pada berbagai organ atau bagian tubuh yang dipersarafinya.

II. 2. ANATOMI DAN FISIOLOGI 1)SARAF OLFAKTORIUS (N.I)

Sistem olfaktorius dimulai dengan sisi yang menerima rangsangan olfaktorius. Sistem ini terdiri dari bagian berikut: mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis. Saraf ini merupakan saraf sensorik murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus area kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini, traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal bagian medial sisi yang sama. Sistem olfaktorius merupakan satu-satunya sistem sensorik yang impulsnya mencapai korteks tanpa dirilei di talamus. Bau-bauan yang dapat memprovokasi timbulnya nafsu makan dan induksi salivasi serta bau busuk yang dapat menimbulkan rasa mual dan muntah menunjukkan bahwa sistem ini ada kaitannya dengan emosi. Serabut utama yang menghubungkan sistem penciuman dengan area otonom adalah medial forebrain bundle dan stria medularis talamus. Emosi yang menyertai rangsangan olfaktorius mungkin berkaitan ke serat yang berhubungan dengan talamus, hipotalamus dan sistem limbik. 2)SARAF OPTIKUS (N. II) Saraf Optikus merupakan saraf sensorik murni yang dimulai di retina. Serabut-serabut saraf ini, ini melewati foramen optikum di dekat arteri optalmika dan bergabung dengan saraf dari sisi lainnya pada dasar otak untuk membentuk kiasma optikum. Orientasi spasial serabut-serabut dari berbagai bagian fundus masih utuh sehingga serabut-serabut dari bagian bawah retina ditemukan pada bagian inferior kiasma optikum dan sebaliknya. Serabut-serabut dari lapangan visual temporal (separuh bagian nasal retina) menyilang kiasma, sedangkan yang berasal dari lapangan visual nasal tidak menyilang. Serabut-serabut untuk indeks cahaya yang berasal dari kiasma optikum berakhir di kolikulus superior, dimana terjadi hubungan dengan kedua nuklei saraf okulomotorius. Sisa serabut yang meninggalkan kiasma berhubungan dengan penglihatan dan berjalan di dalam traktus optikus menuju korpus genikulatum lateralis. Dari sini serabut-serabut yang berasal dari radiasio optika melewati bagian posterior kapsula interna dan berakhir di korteks visual lobus oksipital. Dalam perjalanannya serabut-serabut tersebut memisahkan diri sehingga serabut-serabut untuk kuadran bawah melalui lobus parietal sedangkan untuk kuadaran atas melalui lobus temporal. Akibat dari dekusasio serabut-serabut tersebut pada kiasma optikum serabut-serabut yang berasal dari lapangan penglihatan kiri berakhir di lobus oksipital kanan dan sebaliknya. 3)SARAF OKULOMOTORIUS (N. III) Nukleus saraf okulomotorius terletak sebagian di depan substansia grisea periakuaduktal (Nukleus motorik) dan sebagian lagi di dalam substansia grisea (Nukleus otonom). Nukleus motorik bertanggung jawab untuk persarafan otot-otot rektus medialis, superior, dan inferior, otot oblikus inferior dan otot levator palpebra superior. Nukleus otonom atau nukleus Edinger-westhpal yang bermielin sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata inferior yaitu spingter pupil dan otot siliaris. 4)SARAF TROKLEARIS (N. IV)

Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikuli inferior di depan substansia grisea periakuaduktal dan berada di bawah Nukleus okulomotorius. Saraf ini merupakan satu-satunya saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak. Saraf troklearis mempersarafi otot oblikus superior untuk menggerakkan mata bawah, kedalam dan abduksi dalam derajat kecil. 5)SARAF TRIGEMINUS (N. V) Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik dan serabut-serabut sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan otot temporalis. Serabut-serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga cabang utama yatu saraf oftalmikus, maksilaris, dan mandibularis. Daerah sensoriknya mencakup daerah kulit, dahi, wajah, mukosa mulut, hidung, sinus. Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa kranii anterior dan tengah bagian anterior telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian membran timpani. 6)SARAF ABDUSENS (N. VI) Nukleus saraf abdusens terletak pada masing-masing sisi pons bagian bawah dekat medula oblongata dan terletak dibawah ventrikel ke empat saraf abdusens mempersarafi otot rektus lateralis. 7)SARAF FASIALIS (N. VII) Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik dan fungsi sensorik fungsi motorik berasal dari Nukleus motorik yang terletak pada bagian ventrolateral dari tegmentum pontin bawah dekat medula oblongata. Fungsi sensorik berasal dari Nukleus sensorik yang muncul bersama nukleus motorik dan saraf vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral ke dalam kanalis akustikus interna. Serabut motorik saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari otot orbikularis okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot stapedius, otot stilohioideus, otot digastriktus posterior serta otot platisma. Serabut sensorik menghantar persepsi pengecapan bagian anterior lidah. 8)SARAF VESTIBULOKOKLEARIS (N. VIII) Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut aferen yang mengurusi pendengaran dan vestibuler yang mengandung serabut-serabut aferen yang mengurusi keseimbangan. Serabut-serabut untuk pendengaran berasal dari organ corti dan berjalan menuju inti koklea di pons, dari sini terdapat transmisi bilateral ke korpus genikulatum medial dan kemudian menuju girus superior lobus temporalis. Serabut-serabut untuk keseimbangan mulai dari utrikulus dan kanalis semisirkularis dan bergabung dengan serabut-serabut auditorik di dalam kanalis fasialis. Serabut-serabut ini kemudian memasuki pons, serabut vestibutor berjalan menyebar melewati batang dan serebelum. 9)SARAF GLOSOFARINGEUS (N. IX) Saraf Glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan asesorius pada waktu meninggalkan kranium melalui foramen tersebut, saraf glosofaringeus mempunyai dua ganglion, yaitu ganglion intrakranialis superior dan ekstrakranialis inferior. Setelah melewati foramen, saraf berlanjut antara arteri karotis interna dan vena jugularis interna ke otot stilofaringeus. Di antara otot ini dan otot stiloglosal, saraf berlanjut ke basis lidah dan mempersarafi mukosa faring, tonsil dan sepertiga posterior lidah.

10)SARAF VAGUS (N. X) Saraf vagus juga mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior atau jugulare dan ganglion inferior atau nodosum, keduanya terletak pada daerah foramen jugularis, saraf vagus mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan menghantarkan impuls dari dinding usus, jantung dan paru-paru. 11)SARAF ASESORIUS (N. XI) Saraf asesorius mempunyai radiks spinalis dan kranialis. Radiks kranial adalah akson dari neuron dalam nukleus ambigus yang terletak dekat neuron dari saraf vagus. Saraf aksesoris adalah saraf motorik yang mempersarafi otot sternokleidomastoideus dan bagian atas otot trapezius, otot sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala ke samping dan otot trapezius memutar skapula bila lengan diangkat ke atas. 12)SARAF HIPOGLOSUS (N. XII) Nukleus saraf hipoglosus terletak pada medula oblongata pada setiap sisi garis tengah dan depan ventrikel ke empat dimana semua menghasilkan trigonum hipoglosus. Saraf hipoglosus merupakan saraf motorik untuk lidah dan mempersarafi otot lidah yaitu otot stiloglosus, hipoglosus dan genioglosus.

II. 3. PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS. a.Saraf Olfaktorius (N. I) Saraf ini tidak diperiksa secara rutin, tetapi harus dikerjakan jika terdapat riwayat tentang hilangnya rasa pengecapan dan penciuman, kalau penderita mengalami cedera kepala sedang atau berat, dan atau dicurigai adanya penyakit-penyakit yang mengenai bagian basal lobus frontalis. Untuk menguji saraf olfaktorius digunakan bahan yang tidak merangsang seperti kopi, tembakau, parfum atau rempah-rempah. Letakkan salah satu bahan-bahan tersebut di depan salah satu lubang hidung orang tersebut sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan pasien menutup matanya. Kemudian pasien diminta untuk memberitahu saat mulai terhidunya bahan tersebut dan kalau mungkin mengidentifikasikan bahan yang di hidu. b.Saraf Optikus (N. II) Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity), penglihatan perifer (visual field), refleks pupil, pemeriksaan fundus okuli serta tes warna. i. Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity) Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari tangan, dan gerakan tangan. Kartu snellen Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien dengan tabel, jika tidak terdapat ruangan yang cukup luas, pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan cermin. Ketajaman penglihatan normal bila baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus

6/6) Jari tangan Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi bisa melihat pada jarak 2 meter, maka perkiraan visusnya adalah kurang lebih 2/60. Gerakan tangan Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter berarti visusnya kurang lebih 1/310. ii. Pemeriksaan Penglihatan Perifer Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan informasi tentang saraf optikus dan lintasan penglihatan mulai dair mata hingga korteks oksipitalis. Penglihatan perifer diperiksa dengan tes konfrontasi atau dengan perimetri / kompimetri. Tes Konfrontasi Jarak antara pemeriksa pasien : 60 100 cm Objek yang digerakkan harus berada tepat di tengah-tengah jarak tersebut. Objek yang digunakan (2 jari pemeriksa / ballpoint) di gerakan mulai dari lapang pandang kahardan kiri (lateral dan medial), atas dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan mata yang diperiksa harus menatap lururs kedepan dan tidak boleh melirik kearah objek tersebut. Syarat pemeriksaan lapang pandang pemeriksa harus normal. Perimetri / kompimetri Lebih teliti dari tes konfrontasi Hasil pemeriksaan di proyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu. iii. Refleks Pupil Saraf aferen berasal dari saraf optikal sedangkan saraf aferennya dari saraf occulomotorius. Ada dua macam refleks pupil. Respon cahaya langsung Pakailah senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil. Respon cahaya konsensual Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya mengecil dengan ukuran yang sama. iv. Pemeriksaan fundus occuli (fundus kopi) Digunakan alat oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus optikus.

v. Tes warna Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n. optikus. c.Saraf okulomotoris (N. III) Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil 1. Ptosis Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula. 2.Gerakan bola mata. Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah, sekligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi. 3.Pupil Pemeriksaan pupil meliputi : i.Bentuk dan ukuran pupil ii.Perbandingan pupil kanan dan kiri pupil sebesar 1mm masih dianggap normalPerbedaan iii. Refleks pupil Meliputi pemeriksaan : 1.Refleks cahaya langsung (bersama N. II) 2.Refleks cahaya tidak alngsung (bersama N. II) 3.Refleks pupil akomodatif atau konvergensi Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri) kedua otot rektus medialis akan berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini disebut konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi) (Tejuwono) atau pasien disuruh memandang jauh dan disuruh memfokuskan matanya pada 15 cm didepan mata pasien dalamsuatu objek diletakkan pada jarak keadaan normal terdapat konstriksi pada kedua pupil yang disebut reflek akomodasi. d.Saraf Troklearis (N. IV) Pemeriksaan meliputi 1.gerak mata ke lateral bawah 2.strabismus konvergen 3.diplopia e.Saraf Trigeminus (N. V) Pemeriksaan meliputi; sensibilitas, motorik dan refleks 1. Sensibilitas

Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mulamula tes dengan ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali mencurigai siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan ya setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya. 2.Motorik Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter. Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena). 3. Refleks Pemeriksaan refleks meliputi Refleks kornea a.Langsung Pasien diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah lain kapas disentuhkan pada kornea mata, misal pasien diminta melirik kearah kanan atas maka kapas disentuhkan pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain. Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri saraf aferen berasal dari N. V tetapi eferannya (berkedip) berasal dari N.VII. b.Tak langsung (konsensual) Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya konsensual, yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen atau eferen). Refleks bersin (nasal refleks) Refleks masseter Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat. f.Saraf abdusens (N. VI) Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-tanda

tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain. g.Saraf fasialis (N. VII) Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan otot) saat pasien diam diperhatikan : Asimetri wajah Kelumpuhan nervus VIII dapat menyebabkan penurunan sudut mulut unilateral dan kerutan dahi menghilang serta lipatan nasolabial, tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral wajah masih tampak simetrik Gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus sardonicus tremor dan seterusnya ). Ekspresi muka (sedih, gembira, takut, seperti topeng) - Tes kekuatan otot 1.Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri. 2.Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudioan pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan kiri. 3.Memperlihatkan gigi (asimetri) 4.Bersiul dan menculu (asimetri / deviasi ujung bibir) 5.meniup sekuatnya, bandingkan kekuatan uadara dari pipi masing-masing. 6.Menarik sudut mulut ke bawah. - Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 depan lidah) Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah. - Hiperakusis Jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara yang diterima oleh telinga pasien menjadi lebih keras intensitasnya. h.Saraf Vestibulokokhlearis (N. VIII) Ada dua macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan fungsi vestibuler 1)Pemeriksaan pendengaran Inspeksi meatus akustikus akternus dari pasien untuk mencari adanya serumen atau obstruksi lainnya dan membrana timpani untuk menentukan adanya inflamasi atau perforasi kemudian lakukan tes pendengaran dengan menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan audiogram. Audiogram digunakan untuk membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Rinne dan tes Weber. Tes Rinne Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus mastoideus, dibelakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus oksterna. Dalam keadaan norma anda masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Pada tuli saraf anda masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne negatif.

Tes Weber Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan normal bunyi akan terdengar pada bagian tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli konduktif bunyi tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal. 2)Pemeriksaan Fungsi Vestibuler Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi : nistagmus, tes romberg dan berjalan lurus dengan mata tertutup, head tilt test (Nylen Baranny, dixxon Hallpike) yaitu tes untuk postural nistagmus. i.Saraf glosofaringeus (N. IX) dan saraf vagus (N. X) Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan palatom), kesulitan menelan dan disartria(khas bernoda hidung / bindeng). Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh menyebut ah jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya kelumpuhan nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi yang sehat. Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan. Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara serak (lesi nervus laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes juga rasa kecap secara rutin pada sepertinya posterior lidah (N. IX). j.Saraf Asesorius (N. XI) Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh memutar kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot sternokleido mastoideus. k.Saraf Hipoglosus (N. XII) Pemeriksaan saraf Hipoglosus dengan cara; Inspeksi lidah dalam keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus iregular dan tidak ritmik). Fasikulasi dapat unilateral atau bilateral. Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi yang lemah (terkena) jika terdapat lesi upper atau lower motorneuron unilateral. Lesi UMN dari N XII biasanya bilateral dan menyebabkan lidah imobil dan kecil. Kombinasi lesi UMN bilateral dari N. IX. X, XII disebut kelumpuhan pseudobulbar. II.4. KELAINAN YANG DAPAT MENIMBULKAN GANGGUAN PADA NERVUS CRANIALIS. 1)Saraf Olfaktorius. (N.I) Kelainan pada nervus olfaktovius dapat menyebabkan suatu keadaan berapa gangguan

penciuman sering dan disebut anosmia, dan dapat bersifat unilatral maupun bilateral. Pada anosmia unilateral sering pasien tidak mengetahui adanya gangguan penciuman. Proses penciuman dimulai dari sel-sel olfakrorius di hidung yang serabutnya menembus bagian kribiformis tulang ethmoid di dasar di dasar tengkorak dn mencapai pusat penciuman lesi atau kerusakan sepanjang perjalanan impuls penciuman akan mengakibatkan anosmia. Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan penciuman berupa: Agenesis traktus olfaktorius Penyakit mukosa olfaktorius bro rhinitis dan tumor nasal Sembuhnya rhinitis berarti juga pulihnya penciuman, tetapi pada rhinitis kronik, dimana mukosa ruang hidung menjadi atrofik penciuman dapat hilang untuk seterusnya. Destruksi filum olfaktorius karena fraktur lamina feribrosa. Destruksi bulbus olfaktorius dan traktus akibat kontusi countre coup, biasanya disebabkan karena jatuh pada belakang kepala. Anosmia unilateral atau bilalteral mungkin merupakan satusatunya bukti neurologis dari trauma vegio orbital. Sinusitas etmoidalis, osteitis tulang etmoid, dan peradangan selaput otak didekatnya. Tumor garis tengah dari fosa kranialis anterior, terutama meningioma sulkus olfaktorius (fossa etmoidalis), yang dapat menghasilkan trias berupa anosmia, sindr foster kennedy, dan gangguan kepribadian jenis lobus orbitalis. Adenoma hipofise yang meluas ke rostral juga dapat merusak penciuman. Penyakit yang mencakup lobus temporalis anterior dan basisnya (tumor intrinsik atau ekstrinsik). Pasien mungkin tidak menyadari bahwa indera penciuman hilang sebaliknya, dia mungkin mengeluh tentang rasa pengecapan yang hilang, karena kemampuannya untuk merasakan aroma, suatu sarana yang penting untuk pengecapan menjadi hilang. 2)Saraf Optikus (N.II) Kelainan pada nervus optikus dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan dapat dibagi menjadi gangguan visus dan gangguan lapangan pandang. Kerusakan atau terputusnya jaras penglitan dapat mengakibatkan gangguan penglihatan kelainan dapat terjadi langsung pada nevrus optikus itu sendiri atau sepanjang jaras penglihatan yaitu kiasma optikum, traktus optikus, radiatio optika, kortek penglihatan. Bila terjadi kelainan berat makan dapat berakhir dengan kebutaan. Orang yang buta kedua sisi tidak mempunyai lapang pandang, istilah untuk buta ialah anopia atau anopsia. Apabila lapang pandang kedua mata hilang sesisi, maka buta semacam itu dinamakan hemiopropia. Berbagai macam perubahan pada bentuk lapang pandang mencerminkan lesi pada susunan saraf optikus. Perubahan tersebut seperti tertera pada gambar 1. Kelainan atau lesi pada nervus optikus dapat disebabkan oleh: 1.Trauma Kepala 2.Tumor serebri (kraniofaringioma, tumor hipfise, meningioma, astrositoma) 3.Kelainan pembuluh darah Misalnya pada trombosis arteria katotis maka pangkal artera oftalmika dapat ikut tersumbat jug.

Gambaran kliniknya berupa buta ipsilateral. 4.Infeksi. Pada pemeriksaan funduskopi dapat dilihat hal-hal sebagai berikut: a.Papiledema (khususnya stadium dini) Papiledema ialah sembab pupil yang bersifat non-infeksi dan terkait pada tekanan intrakkranial yang meninggi, dapat disebabkan oleh lesi desak ruang, antara lain hidrocefalus, hipertensi intakranial benigna, hipertensi stadium IV. Trombosis vena sentralis retina. b.Atrofi optik Dapat disebabkan oleh papiledema kronik atau papilus, glaukoma, iskemia, famitral, misal: retinitis pigmentosa, penyakit leber, ataksia friedrich. c.Neuritis optik. 3)Saraf Okulomotorius (N.III) Kelainan berupa paralisis nervus okulomatorius menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke medial, ke atas dan lateral, kebawah dan keluar. Juga mengakibatkan gangguan fungsi parasimpatis untuk kontriksi pupil dan akomodasi, sehingga reaksi pupil akan berubah. N. III juga menpersarafi otot kelopak mata untuk membuka mata, sehingga kalau lumpuh, kelopak mata akan jatuh ( ptosis) Kelumpuhan okulomotorius lengkap memberikan sindrom di bawah ini: 1.Ptosis, disebabkan oleh paralisis otot levator palpebra dan tidak adanya perlawanan dari kerja otot orbikularis okuli yang dipersarafi oleh saraf fasialis. 2.Fiksasi posisi mata, dengan pupil ke arah bawah dan lateral, karena tak adanya perlawanan dari kerja otot rektus lateral dan oblikus superior. 3.Pupil yang melebar, tak bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi. Jika seluruh otot mengalami paralisis secara akut, kerusakan biasanya terjadi di perifer, paralisis otot tunggal menandakan bahwa kerusakan melibatkan nukleus okulomotorius. Penyebab kerusakan diperifer meliputi; a). Lesi kompresif seperti tumor serebri, meningitis basalis, karsinoma nasofaring dan lesi orbital. b). Infark seperti pada arteritis dan diabetes. 4)Saraf Troklearis (N. IV) Kelainan berupa paralisis nervus troklearis menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak kebawah dan kemedial. Ketika pasien melihat lurus kedepan atas, sumbu dari mata yang sakit lebih tinggi daripada mata yang lain. Jika pasien melihat kebawah dan ke medial, mata berotasi dipopia terjadi pada setiap arah tatapan kecuali paralisis yang terbatas pada saraf troklearis jarang terjadi dan sering disebabkan oleh trauma, biasanya karena jatuh pada dahi atu verteks. 5)Saraf Abdusens (N. VI) Kelainan pada paralisis nervus abdusens menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke lateral, ketika pasien melihat lurus ke atas, mata yang sakit teradduksi dan tidak dapat digerakkan ke lateral, ketika pasien melihat ke arah nasal, mata yang paralisis bergerak ke medial dan ke atas karena predominannya otot oblikus inferior.

Jika ketiga saraf motorik dari satu mata semuanya terganggu, mata tampak melihat lurus keatas dan tidak dapat digerakkan kesegala arah dan pupil melebar serta tidak bereaksi terhadap cahaya (oftalmoplegia totalis). Paralisis bilateral dari otot-otot mata biasanya akibat kerusakan nuklear. Penyebab paling sering dari paralisis nukleus adalah ensefelaitis, neurosifilis, mutiple sklerosis, perdarahan dan tumor. Penyebab yang paling sering dari kelumpuhan otot-otot mata perifer adalah meningitis, sinusistis, trombosis sinus kavernosus, anevrisma arteri karotis interva atau arteri komunikantes posterior, fraktur basis kranialis. 6)Saraf Trigeminus (N. V) Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nerus trigeminus antara lain : Tumor pada bagian fosa posterior dapat menyebabkan kehilangan reflek kornea, dan rasa baal pada wajah sebagai tanda-tanda dini. Gangguan nervus trigeminus yang paling nyata adalah neuralgia trigeminal atau tic douloureux yang menyebabkan nyeri singkat dan hebat sepanjang percabangan saraf maksilaris dan mandibularis dari nervus trigeminus. Janeta (1981) menemukan bahwa penyebab tersering dari neurolgia trigeminal dicetuskan oleh pembuluh darah. Paling sering oleh arteri serebelaris superior yang melingkari radiks saraf paling proksimal yang masih tak bermielin. Kelainan berapa lesi ensefalitis akut di pons dapat menimbulkan gangguan berupa trismus, yaitu spasme tonik dari otot-otot pengunyah. Karena tegangan abnormal yang kuat pada otot ini mungkin pasien tidak bisa membuka mulutnya. 7)Saraf Fasialis (N. VII) Kelainan yang dapat menyebabkan paralis nervus fasialis antara lain: Lesi UMN (supranuklear) : tumor dan lesi vaskuler. Lesi LMN : Penyebab pada pons, meliputi tumor, lesi vaskuler dan siringobulbia. Pada fosa posterior, meliputi neuroma akustik, meningioma, dan meningitis kronik. Pada pars petrosa os temporalis dapat terjadi Bells palsy, fraktur, sindroma Rumsay Hunt, dan otitis media. Penyebab kelumpuhan fasialis bilateral antara lain Sindrom Guillain Barre, mononeuritis multipleks, dan keganasan parotis bilateral. Penyebab hilangnya rasa kecap unilateral tanpa kelainan lain dapat terjadi pada lesi telinga tengah yang meliputi Korda timpani atau nervus lingualis, tetapi ini sangat jarang. Gangguan nervus fasialis dapat mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, kelopak mata tidak bisa ditutup, gangguan air mata dan ludah, gangguan rasa pengecap di bagian belakang lidah serta gangguan pendengaran (hiperakusis). Kelumpuhan fungsi motorik nervus fasialis mengakibatkan otot-otot wajah satu sisi tidak berfungsi, ditandai dengan hilangnya lipatan hidung bibir, sudut mulut turun, bibir tertarik kesisi yang sehat. Pasien akan mengalami kesulitan mengunyah dan menelan. Air ludah akan keluar dari sudut mulut yang turun. Kelopak mata tidak bisa menutup pada sisi yang sakit, terdapat kumpulan air mata di kelopak mata bawah (epifora). Refleks kornea pada sisi sakit tidak ada.

8)Saraf Vestibulokoklearis Kelainan pada nervus vestibulokoklearis dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan (vertigo). Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nervus VIII antara lain: Gangguan pendengaran, berupa : Tuli saraf dapat disebabkan oleh tumor, misal neuroma akustik. Degenerasi misal presbiaksis. Trauma, misal fraktur pars petrosa os temporalis, toksisitas misal aspirin, streptomisin atau alkohol, infeksi misal, sindv rubella kongenital dan sifilis kongenital. Tuli konduktif dapat disebabkan oleh serumen, otitis media, otoskleroris dan penyakit Paget. Gangguan Keseimbangan dengan penyebab kelainan vestibuler Pada labirin meliputi penyakit meniere, labirinitis akut, mabuk kendaraan, intoksikasi streptomisin. Pada vestibuler meliputi semua penyebab tuli saraf ditambah neuronitis vestibularis. Pada batang otak meliputi lesi vaskuler, tumor serebelum atau tumor ventrikel IV demielinisasi. Pada lobus temporalis meliputi epilepsi dan iskemia. 9)Saraf Glosofaringeus (N. IX) dan Saraf Vagus (N. X) Gangguan pada komponen sensorik dan motorik dari N. IX dan N. X dapat mengakibatkan hilangnya refleks menelan yang berisiko terjadinya aspirasi paru. Kehilangan refleks ini pada pasien akan menyebabkan pneumonia aspirasi, sepsis dan adult respiratory distress syndome (ARDS) kondisi demikian bisa berakibat pada kematian. Gangguan nervus IX dan N. X menyebabkan persarafan otot-otot menelan menjadi lemah dan lumpuh. Cairan atau makanan tidak dapat ditelan ke esofagus melainkan bisa masuk ke trachea langsung ke paru-paru. Kelainan yang dapat menjadi penyebab antara lain : Lesi batang otak (Lesi N IX dan N. X) Syringobulbig (cairan berkumpul di medulla oblongata) Pasca operasi trepansi serebelum Pasca operasi di daerah kranioservikal 10)Saraf Asesorius (N. XI) Gangguan N. XI mengakibatkan kelemahan otot bahu (otot trapezius) dan otot leher (otot sterokleidomastoideus). Pasien akan menderita bahu yang turun sebelah serta kelemahan saat leher berputar ke sisi kontralateral. Kelainan pada nervus asesorius dapat berupa robekan serabut saraf, tumor dan iskemia akibatnya persarafan ke otot trapezius dan otot stemokleidomastoideus terganggu. 11)Saraf Hipoglossus (N. XII) Kerusakan nervus hipoglossus dapat disebabkan oleh kelainan di batang otak, kelainan pembuluh darah, tumor dan syringobulbia. Kelainan tersebut dapat menyebabkan gangguan proses pengolahan makanan dalam mulut, gangguan menelan dan gangguan proses pengolahan

makanan dalam mulut, gangguan menelan dan gangguan bicara (disatria) jalan nafas dapat terganggu apabila lidah tertarik ke belakang. Pada kerusakan N. XII pasien tidak dapat menjulurkan, menarik atau mengangkat lidahnya. Pada lesi unilateral, lidah akan membelok kearah sisi yang sakit saat dijulurkan. Saat istirahat lidah membelok ke sisi yang sehat di dalam mulut.

PEMERIKSAAN FISIK DAN PENGKAJIAN PADA SISTEM PERSYARAFAN


PEMERIKSAAN FISIK DAN PENGKAJIAN PADA SISTEM PERSYARAFAN

1.1

Pengertian Pemeriksaan Fisik Persyarafan Tubuh manusia akan berada dalam kondisi sehat jika mampu berespon dengan tepat terhadap perubahan-perubahan lingkungan secara terkoordinasi. Tubuh memerlukan koordinasi yang baik . Salah satu sistem komunikasi dalam tubuh adalah sistem saraf. Pengkajian system persarafan merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk dilakukan dalam rangka menentukan diagnosa keperawatan tepat dan melakukan tindakan perawatan yang sesuai. Pada akhirnya perawat dapat mempertahankan dan meningkatkan status kesehatan klien. Pemeriksaan persarafan terdiri dari dua tahapan penting yaitu pengkajian yang berupa wawancara yang berhubungan dengan riwayat kesehatan klien yang berhubungan dengan system persarafan seperti riwayat hiopertensi, stroke, radang otak, atau selaput otak, penggunaan obatobatan dan alcohol, dan penggunaan obat yang diminum secara teratur. Tahapan selanjutnya adalah pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan status mental, pemeriksaan saraf cranial, pemeriksaan motorik, pemeriksaan sensorik, dan pemeriksaan reflex. Dalam melakukan pemeriksaan fisik diperhatikan prinsip-prinsip head to toe, chepalocaudal dan proximodistal. Harus pula diperhatikan keamanan klien dan privacy klien.

1.2

Tujuan Pemeriksaan Fisik Persyarafan Pada pemeriksaan fisik klien dengan gangguan sistem persarafan secara umum biasanya menggunakan teknik pengkajian persistem sama seperti pemeriksaan medikal bedah lainnya. Pemeriksaan fisik ini dilakukan sebagaimana pemeriksaan fisik lainnya dan bertujuan untuk mengevaluasi keadaan fisik klien secara umum dan juga menilai apakah ada indikasi penyakit lainnya selain kelainan neurologis. Dalam melakukan pemeriksaan fisik sistem persyarafan seorang perawat memerlukan pengetahuan tentang anatomi, fisiologi, dan patofisiologi dari sistem persyarafan. Pengalaman dan keterampilan perawat diperlukan dalam pengkajian dasar kemampuan fungsional sampai manuver pemeriksaan diagnostik cangih yang dapat menegakkan diagnosis kelainan pada sistem persyarafan.

1.3

Persiapan Alat Pemeriksaan Fisik Persyarafan

1.3.1 Siapkan peralatan yang diperlukan: a. Refleks hammer

b. Garputala c. Kapas dan lidi

d. Penlight atau senter kecil e. f. Opthalmoskop Jarum steril

g. Spatel tongue h. 2 tabung berisi air hangat dan air dingin i. j. Objek yang dapat disentuh seperti peniti atau uang receh Bahan-bahan beraroma tajam seperti kopi, vanilla atau parfum

k. Bahan-bahan yang berasa asin, manis atau asam seperti garam, gula, atau cuka l. Baju periksa

m. Sarung tangan

1.3.2 Untuk Pemeriksa Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan, sesuaikan urutan pemeriksaan dengan keadaan umum klien, mulailah pemeriksaan fisik sejak awal kontak dengan klien dan gunakan general precaution, metode yang digunakan cepalo kadral atau distal ke proksimal.

1.4

Prosedur Pemeriksaan Fisik Persyarafan Atur posisi klien, mintalah klien untuk duduk disisi tempat tidur. Amati cara berpakaian klien, postur tubuh klien, ekspresi wajah dan kemampuan bicara, intonasi, keras lembut, pemilihan kata dan kemudahan berespon terhadap pertanyaan. Nilai kesadara dengan menggunakan patokan Glasgow Coma Scale (GCS). Tanyakan waktu, tanggal, tempat dan alasan berkunjung, kaji kemampuan klien dalam berhitung dan mulailah dengan perhitungan yang sederhana. Kaji kemampuan klien untuk berfikir abstrak.

1.4.1 Saraf Kranial

a. Fungsi saraf kranial I (N Olvaktorius) Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih. Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta menebak bau tersebut. Lakukan untuk lubang hidung yang satunya. b. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus) Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum pemeriksaan. Periksa ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak baca atau menggunakan snellenchart untuk jarak jauh. Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm, minta untuk menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah mata dengan mata yang berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda yang berasal dari arah luar klien dank lien diminta ,mengucapkan ya bila pertama melihat benda tersebut. Ulangi pemeriksaan yang sama dengan mata yang sebelahnya. Ukur berapa derajat kemampuan klien saat pertama kali melihat objek. Gunakan opthalmoskop untuk melihat fundus dan optic disk (warna dan bentuk) c. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen) Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi konjungtiva, dan ptosis kelopak mata Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya perdarahan pupil Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral bawah. Minta klien mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya d. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus) Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla, mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien mengucapkan ya bila merasakan sentuhan, lakukan kanan dan kiri. Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau peniti di ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan tumpul. Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan diketiga area wajah tersebut. Minta klien menyebutkan area mana yang merasakan sentuhan. Jangan lupa mata klien ditutup sebelum pemeriksaan.

Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan garputala yang digetarkan dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi dan minta klien mengatakan getaran tersebut terasa atau tidak Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat lurus ke depan, dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah mata dan lihat refleks menutup mata. Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi periksa otot maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan ototnya, minta klien melakukan gerakan mengunyah dan lihat kesimetrisan gerakan mandibula. e. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis) Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan sentuhkan ke ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk gula dan asam Fungsi mootorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat kedua al;is berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan kanan dan kiri. Periksa kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta klien memejampan mata kuat-kuat dan coba untuk membukanya, minta pula klien utnuk menggembungkan pipi dan tekan dengan kedua jari. f. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear) cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan weber test dan rhinne test Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien berdiri tegak, kedua kaki rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi adanya ayunan tubuh, minta klien menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat apakah klien dapat mempertahankan posisi g. Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus) Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal bila uvula terletak di tengan dan palatum sedikit terangkat. Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring. Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menel;an air sedikit, observasi gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa getaran pita suara saat klien berbicara. h. Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris) Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua bahu secara bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.

Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien menoleh ke kanan dank e kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu kanan dan kiri bergantian tanpa mengangkat bahu lalu observasi rentang pergerakan sendi Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien dengan kedua telapak tangan danminta klien mendorong telapak tangan pemeriksa sekuat-kuatnya ke atas, perhatikan kekuatan daya dorong. Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien untuk menoleh kesatu sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa, perhatikan kekuatan daya dorong i. Fugsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus) Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan, observasi kesimetrisan gerakan lidah Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu pipi dengan ujung lidah, dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong kedua pipi dengan kedua jari, observasi kekuatan lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang lain

1.4.2 Fungsi Motorik Kaji cara berjalan dan keseimbangan dengan mengobservasi cara berjalan, kemudahan berjalan, dan koordinasi gerakan tangan dan kaki. Minta klien berjalan dengan menyentuhkan ibujari pada tumit kaki yang lain (heel to toe), minta klien jalan jinjit dan minta klien berjalan dengan bertumpu pada tumit. Lakukan romberg test Lakukan pemeriksaan jari hidung dengan mata terbuka dan tertutup, evaluasi perbedaan yang terjadi. Tes pronasi dan supinasi dengan meminta klien duduk dan meletakan telapak tangan di paha, minta untuk melakukan pronasi dan supinasi bergantian dengan cepat. Observasi kecepatan, irama, dan kehalusan gerakan. Melakukan pemeriksaan heel to shin test dengan meminta klien tidur pada posisi supine, minta klien menggesekkan tuimit telapak kaki kiri sepanjang tulang tibia tungkai kanan dari bawah lutut sampai ke pergelangan kaki. Ulangi pada kaki kanan. Observasi kemudahan klien menggerakkan tumit pada garis lurus

1.4.3 Fungsi Sensorik Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien terhadap beberapa stimulus. Pemeriksaan harus selalu menanyakan kepada klien jenis stimulus. Pemeriksaan dilakukan dengan memberikan stimulus secara acak pada bagian tubuh klien dan dapat berupa sentuhan ringan seperti kapas, tumpul dan tajam, suhu, getaran, identifikasi objek tanpa melihat objek (stereognosis test), merasakan tulisan di tangan (graphesthesia test), kemampuan membedakan dua titik, kemampuan mengidentifikasi bagian tubuh yang diberi sentuhan dengan menutup mata (topognosis test)

1.4.4 Fungsi Refleks a. Biseps: Klien diminta duduk dengan rilekx dan meletakkan kedua lengan diatas paha, dukung lengan bawah klien dengan tangan non dominan, letakkan ibujari lengan non dominan diatas tendon bisep, pukulkan refleks hammer pada ibu jari, observasi kontraksi otot biseps (fleksi siku) b. Triseps: Minta klien duduk, dukung siku dengan tangan non dominan, pukulkan refleks hammer pada prosesus olekranon, observasi kontraksi otot triseps (ekstensi siku). c. Brachioradialis: Minta klien duduk dan meletakkan kedua tangan di atas paha dengan posisi pronasi, pukulkan hammer diatas tendon (2-3 inchi dari pergelangan tangan), observasi fleksi dan supinasi telapak tangan. d. Patelar: Minta klien duduk dengan lulut digantung fleksi, palpasi lokasi patella (interior dari patella), pukulkan reflek hammer, perhatikan ekstensi otot quadriceps. e. Tendon archiles: Pegang telapak kaki klien dengan tangan non dominant, pukul tendon archiles dengan mengguanakan bagian lebar refleks hammer, obsvasi plantar leksi telapak kaki. f. Plantar: Minta klien tidur terlentang dengan kedua tungkai sedikit eksternal rotasi, stimulasi telapak kaki klien dengan ujung tajam refleks hammer mulai dari tumit kearah bagain sisi luar telapak kaki, observasi gerakan telapak kaki (normal jika gerakan plantar fleksi dan jari-jari kaki fleksi). g. abdomen: minta klien tidur terlentang, sentuhkan ujung aplikator ke kulit di bagian abdomen mulai dari arah lateral ke umbilical, observasi kontraksi otot abdomen, lakuakan prosedur tersebut pada keempat area abdomen.

1.5

Indikasi Pemeriksaan GCS dan Refleks

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi : 1.5.1 Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.. 1.5.2 Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh. 1.5.3 Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal. 1.5.4 Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal. 1.5.5 Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri. 1.5.6 Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya). Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala. Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian).

1.6

Tujuan Pemeriksaan GCS dan Refleks Pemeriksaan GCS dan Refleks ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.

1.6.1

Penyebab

Penurunan

Kesadaran

Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat kesadaran dapat menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia); kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok); penyakit metabolic seperti diabetes mellitus (koma ketoasidosis) ; pada keadaan hipo atau hipernatremia ; dehidrasi; asidosis, alkalosis; pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan: hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan intrakranial (karena perdarahan, stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsi.

1.6.2

Mengukur

Tingkat

Kesadaran

Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif mungkin adalah menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk menentukan derajat cidera kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran dijumlahkan jika kurang dari 13, makan dikatakan seseorang mengalami cidera kepala, yang menunjukan adanya penurunan kesadaran. Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal maupun diberi rangsang nyeri (unresponsive).

Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa kesadarannya apakah baik (alertness), bingung / kacau (confusion), mudah tertidur (drowsiness), dan tidak ada respon (unresponsiveness).

1.7

Persiapan Alat Pemeriksaan GCS dan Refleks

1.7.1 Tahap Pra Interaksi a. Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada b. Mencuci tangan c. Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar 1.7.2 Tahap Orientasi a. Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik b. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/pasien c. Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan d. Tahap Kerja e. Mengatur posisi pasien: supinasi f. Menempatkan diri di sebelah kanan pasien, bila mungkin g. GCS (Glasgow Coma Scale) h. Memeriksa reflex membuka mata dengan benar i. Memeriksa reflex verbal dengan benar j. Memeriksa reflex motorik dengan benar k. Menilai hasil pemeriksaan

1.7.3 Tahap Terminasi a. Melakukan evaluasi tindakan b. Berpamitan dengan klien c. Membereskan alat-alat d. Mencuci tangan e. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan perawatan

1.8

Prosedur Pemeriksaan GCS dan Refleks GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan. Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 6 tergantung responnya. Pengkajian tingkat kesadaran dengan menggunakan GCS, rea pengkajian meliputi : respon mata, respon motorik dan respon verbal. Total pengkajian bernilai 15, kondisi koma apabila bernilai kurang dari 7

1.8.1 Pengkajian kondisi membuka mata Spontan Terhadap stimulus verbal Terhadap stimulus nyeri Tidak ada respon 1.8.2 Pengkajian respon motorik Mengikuti perintah Dapat melokalisasi nyeri Fleksi (menarik) Postur dekortikasi; bahu abduksi dan Rotasi interna, fleksi pergelangan Tangan dan tinju mengepal Postur deserabrasi; bahu abduksi dan Rotasi interna, ekstensi lengan bawah, nilai 2 nilai nilai nilai nilai 6 5 4 3 nilai nilai nilai nilai 4 3 2 1

fleksi pergelangan tangan dan tinju mengepal Tidak berespon 1.8.3 Pengkajian respon verbal Orientasi waktu, tempat, dan orang baik Berbicara dengan bingung Berkata-kata dengan tidak jelas Berguman Tidak ada respon nilai nilai nilai nilai nilai 5 4 3 2 1 niali 1

Jika klien menggunakan ETT atau tracheostomi maka tulis E untuk ETT dan T untuk tracheostomy. a. Tanyakan waktu, tanggal, tempat, dan alas an berkunjung ke rumah sakit

You might also like