You are on page 1of 17

KONSEP KETUHANAN DAN PENCIPTAAN ALAM MENURUT AL-KINDI, AL-FARABI, AL-RAZI

Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam Dosen Pembimbing : Dr. Syamsuri, MA.

Disusun Oleh : AGUS NURHAKIM

KONSENTRASI ILMU SYARIAH PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT ILMU AL-QURAN (IIQ) JAKARTA 2012 M / 1434 H BAB I PENDAHULUAN

: .
Islam merupakan ajaran agama yang tidak menerima pertentangan dan juga pemisahan antara kehidupan rohaniyah dengan keduaniawian atau antara akal dan hati dan juga antara ilmu dan amal. Justru antara beberapa hal di atas merupakan beberapa aspek yang memang harus dikaji dan dipelajari oleh umat manusia. Sebab dalam ruang lingkup ajaran islam memuat semua segi yang ada dalam kehidupan tanpa menafikan salah satu diantaranya. Begitu juga dalam masalah filsafat yang menjadi perdebatan hebat antara beberapa filosof Islam pada masa lalu. Dalam islam tidak ada yang melarang dan mencegah untuk mempelajarinya. Sebab padanya akan kita ketemukan kaitan antara ilmu dengan amal. Ilmu yang kita dapatkan akan menjadi landasan bagi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan. Juga adanya keterkaitan antara akal dan hati, yang mana akal kita dituntut untuk menelusuri kebenaran yang muncul dari dalam hati kita. Dan apabila keduanya dapat dibuktikan secara empiris, tentu menjadi sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam sejarah dan peradaban umat Islam telah dijumpai berbagai macam aliran pemikiran yang masing-masing mempunyai corak dan karasteristik tertentu. Perbedaan yang ada tentunya tidak dapat dinafikan begitu saja tanpa melakukan sebuah penyelidikan atau upaya untuk mencari grass root sebuah aliran pemikiran. Masalah ke-Tuhanan merupakan suatu hal yang pokok/dasar dalam setiap agama, sehingga suatu agama yang tidak ada/tidak jelas Tuhannya maka bukanlah agama. Maka, pada makalah ini penulis akan mengkaji beberapa pemikiran tentang konsep ke-Tuhan-an menurut Al-Kindi, Al-Farabi, dan Al-Razi.

BAB II PEMBAHASAN A. Al-Kindi Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya'qub bin Ishaq Al-Kindi. Dilahirkan di kota Kufah pada tahun 800 M / 185 H. Ia berasal dari kalangan bangsawan dari Irak. Ia berasal dari suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 876 M / 260 H. Ia merupakan seorang tokoh besar dari bangsa Arab yang mempelajari filsafat Aristoteles. Al-Kindi mendapat julukan Filosof Arab. Filsafat Aristoteles telah mempengaruhi konsep Al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran terutama di bidang sains dan psikologi.1 Selain filsafat, Al Kindi menulis banyak karya lain dalam berbagai bidang: geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik (yang dibangunnya dari berbagai prinsip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik.2 Ibn Abi Usaibiah (w. 668 H) penulis Tabaqt al-Atibb mencatat al-Kindi sebagai salah satu dari empat penerjemah mahir pada era gerakan penerjemahan, selain Hunayn bin Ishq, Tabit bin Qurrah dan Umar bin Farkhan al-Tabari. Al-Kindi tidak hanya menerjemah karya Yunani, tapi ia mengadapsi menjadi karya pemikirannya tersendiri. Karya-karya al-Kindi tidak hanya satu aspek, akan tetapi meliputi filsafat, logika, musik, aritmatika.3Beberapa karya al-Kindi baik yang ditulis sendiri atau oleh orang lain adalah; Kitab Kimiya al-Ithr, Kitab fi Istiml al-Adad al-Hind, Rislah f al-Illah al-Failai al-Madd wa alFazr, Kitb al-uaat, The Medical Formulary of Aqrabadhin of al-Kindi, al-Kindis Metaphysics: a Translation fo Yaqub ibn Ishaq al-Kindis Treatise On First Philosophy.4 Ia juga dikenal sebagai filosof muslim yang berusaha mengkompromikan antara teori filsafat dan agama dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu yang benar. Ia dikenal
1 Cemill al-Hajj, Al-Mawsah al-Muyassarah fi Fikri al-Falsafi wa al-Ijtimai, (Beirut: Maktabah Lubnan Nasyirun), p. 460 2 Abdul Rahman Badawiy, Mawsah al-Falsafah Jilid II, (Beirut: al-Muassasah al-Arabiyah li al-Dirst wa al-Nasy, 1984), p. 297 3 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 51 4 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 54

sebagai filosof yang pertama kali membwa sistem pemikiran yang berdasarkan logika filsafat Yunani. Tujuan filsafatnya adalah mencari yang benar. Mencari yang benar itu menurut al-Kindi tidak lain sama halnya dengan yang dipraktikkan dalam mempelajari agama. Kajian tentang sesuatu yang benar abolut ini bagi al-Kindi adalah pengkajian konsep Tuhan. Konsep ketuhanan al-Kindi dibangun atas dasar metafisika. Hal ini yang membedakan dengan filosof Yunani, Aristoteles. Dalam beberapa hal, doktrin-doktrin filosofisnya dan segi peritilahan, al-Kindi mengadopsi dari Aristoteles, akan tetapi hal tersebut tidak diambil secara penuh oleh al-Kindi, akan tetapi diadapsi dan disaring sehingga hasil ijtihadnya berbeda dari sumber asalnya. Maka, konsep-konsep yang lainnya yang diturunkan dari konsep Tuhan akan hadir dalam bentuk berbeda pula. Filsafat al-Kindi memiliki kekhasan sendiri, produk ijtihadnya akan membedakan baik dengan Aristoteles maupun filosof muslim setelahnya. Bahkan filasafat al-Kindi memiliki corak sendiri. Orientasi Filsafat, tentang Keesaan Tuhan, teori penciptaan alam adalah diantara aspek yang berseberangan dengan filsafat Yunani. Menurut al-Kindi filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang yang benar. Konsepsi filsafat al-Kindi secara umum memusatkan pada penjelasan tentang metafisika dan studi tentang kebenaran. Pencapaian kebenaran menurut al-Kindi adalah dengan filsafat. Oleh sebab itu, ilmu filsafat menurut al-Kindi adalah ilmu yang paling mulya. Ia mengatakan:Sesunggunghnya ilmu manusia yang derajatnya paling mulya adalah ilmu filosof. Dengan ilmu ini hakikat ilmu didefinisikan, dan tujuan filosof memperlajari filsafat adalah mengetahui Al-Haq (Allah).5 Pada asas pokok filsafatnya ini, al-Kindi mempertemukan dengan agama. Dalam arti, bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar keduanya dapat dilihat dari penjelasan al-Kindi, bahwa dasar antara filsafat dan agama memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal: pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat; kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi SAW dan kebenaran filsafat saling bersesuaian; ketiga, menurut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama; dan keempat, teologi adalah bagian dari filsafat dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat.6 Bagi al-Kindi, filsafat Islam didasarkan kepada al-Quran. Al-Quran memberikan pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori penciptaan, hari kebangkitan, kiamat, dan sebagainya. Hal tersebut menurut al-Kindi sangat meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Quran telah mengungguli dalih-dalih para filosof.7 Dengan pemikirannya tersebut, ilmu filsafat oleh al-Kindi ditempatkan sebagai bagian dari budaya Islam. Meskipun dalam beberapa teoritik, ia mengadopasi dari Aristoteles Neo-Platonis, akan tetapi gagasan-gagasannya dari mengintegrasikan filsafat dan agama itu menghasilkan gagasan baru. Tampak sekali, ia berusaha mendamaikan antara warisan Yunani yang tidak bertentangan dengan syariat dengan agama Islam,
5 6 7 M. Abdul Hadi Abu Zaidah, Rasil al-Kind al-Falsafiyah, (Dar al-Fikr al-Arabiy, 1950), h. 97 MM Syarif (ed), Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), h. 17 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya, h. 63

dengan asas-asas yang berdasarkan metafisik, bukan fisik belaka. Ia menggunakan istilahistilah filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dia dikenal orang yang pertama menyususn kosa kata Arab untuk istilah-istilah filsafat dan menetapkan definisi berbagai kategori. Untuk tujuan ini dia menulis sebuah buku Rislah f Hudd alAsyy wa Rusmih.8 Karena asas yang dibangun di atasnya adalah agama, maka ia menyatakan bahwa filsafat mengikuti jalur ahli logika dan memandang bahwa agama sebagai sebuah ilmu rabbniyah dan memposisikannya di atas filafat. Ilmu ini diambil melalui jalur para Nabi. Melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat. Pencapaian kebenaran agama, disamping dengan wahyu, sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan juga mempergunakan akal. Sedangakan falsafah juga mempergunakan akal, bahkan falsafah alKindi juga mendasarkan pada wahyu, hal itu dibuktikan dalam beberapa konsep dan teorinya secara diametral bersebarangan dengan konsepsi Aristoteles maupun Plato, seperti konsep keesaan Tuhan, alam, dan penciptaan dari ketiadaan. Jika konsep Tuhan berseberangan dengan filsafat Aristoteles, berarti pandangan hidupnya juga berbeda. Sebab, sebuah teori atau konsep lahir dari pandangan hidup seseorang dan akan menjadi perbeda teori tersebut jika pandangannya tentang Tuhan berbeda. Thomas F Wall mengatakan, percaya pada Tuhan berimplikasi pada kepercayaan bahwa sumber pengetahuan dan moralitas adalah Tuhan dan sebaliknya tidak percaya pada Tuhan akan menghasilkan kepercayaan bahwa sumber pengetahuan adalah subyektifitas manusia.9 Dalam konteks epistemologi Islam, Tuhan adalah tema sentral. Ia adalah sumber kebenaran yang utama yang mutlak. Maka, filsafat al-Kindi bisa dikatakan telah memasuki konteks ini. Sebab, ia memberi penekanan pada konsep ketuhanan. Ia mengatakan filsafat yang pertama (al-Falsafah al-l) adalah pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan penyebab dari semua kebenaran.10 Sang Penyebab semua sebab itulah adalah Tuhan. Dengan demikian, filsafat alKindi adalah membahas soal Tuhan dan agama menjadi dasar filsafatnya. Dengan demikian kerja filsafat yang dilakukan al-Kindi adalah mengharmonisasi antara fislafat dan agama, bahwa antar keduanya tidak ada perbedaan yang kontras. Ia mengatakan Falsafah yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafah utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar.11 Hal ini yang membedakan dengan orientasi filafat Aristoteles, bahwa filsafat adalah ilmu tentang wujud karena yang banyak. Bagi al-Kindi, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara
8 Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Menjelajah Khasanah Peradaban Gemilang Islam. terj. oleh Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 337 9 Thomas F Wall, Thinking About Philosophical Problem, (Wadsworth: Thomas Learning United States), h. 126-127 10 Baca Alfred L Irvy,al-Kindis Metaphysics, terj. Fi al-Falsafah al-Ula, al-Kindi], (New York: State University of New York Press, 1974) 11 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 56

teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi filsafat pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindi memiliki dua aspek utama: pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar, yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini. Pertama-tama al-Kindi menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juziyyt. Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyt yang jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyt (universal). Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juzi yang disebut al-aniyah dan hakikat kulli yang disebut mhiyah yakni hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.12 Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah, karena Ia bukan termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tuhan juga tidak mempunyai bentuk mahiyah karena Tuhan tidak termasuk genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang srupa dengan Tuhan. Ia Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak. Al-Kindi berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi terdiri dari banyak individu dan manusia yang tunggal adalah salah satu individu dari individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian tubuh. Selanjutnya, ia beragurmen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral. Satu bagian, bukanlah disebabkan oleh stipan serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan. Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan wahyu. Al-Kindi, secara jelas meyakini bahwa rasio manusi memiliki sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu. Al-Kindi menyebut, Tuhan yang seperti ini dinamakan agen yang benar. Dia menjadi penyebab dan bertindak aktif. Tuhan adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah pelaku yang metaforis. Karena, keduanya bertindak dan ditindaklanjuti. Berkaitan dengan teori penciptakan, al-Kindi memiliki keunikan tersendiri. Ia membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam bahwah. Secara general, wujud alam tersebut disebabkan oleh Penyebab Pertama, yaitu Tuhan. Proses keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bahwah adalah teridiri dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain sebagainya.
12 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 56

Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melaui proses penciptaan, akan tetapi ia ada melalui emanasi. Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan. Namun, analisis secara umum al-Kindi tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah pencipta bukan penggerak pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah konsep Aristoteles. Maka, bagi al-Kindi alam dunia mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut al-Kindi tidak qadm. Sedangkan menurut Aristoteles alam adalah qadm. Yang beremanasi dari sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi.13 Alam atas, pada mulanya beremanasi dari sebab pertama, bergantung dan berkaitan dengan al-Haq. Tetapi terpisah dari-Nya, karena alam terbatas dalam ruang dan waktu. Berarti, akal atau jiwa setelah terpisah, benar-benar substansi, esensinya berbeda dengan Tuhan. Setelah beremanasi, wujud intelek dan jiwa tadi memiliki genus, spesises, diferensia, sifat dan aksiden. Maka setiap benda terdiri atas materi dan bentuk, terbatas raung dan bergerak dalam waktu. Ia dzat yang terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tidak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal. Sedang alam dalam konsep Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh waktu. Sebab gerak alam seabadi dengan Sang Penggerak Tak Tergerakkan. Tuhan bagi Aristoteles adalah Penggerak, akan tetapi Tak Tergerakkan, sebab baginya, jika Tuhan bergerak, maka ia akan berbilang, karena setiap gerak akan melahirkan sifat baru. Terbilangnya sifat menjadikan terbilangnya dzat.14 Teori keabadian alam al-Kind juga berbeda dengan filosof muslim paripatetik setelahnya. Keabadian alam ditolak oleh al-Kind, karena alam ini diciptakan. Mengenai hal ini, ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Benda-benda fisik teridiri atas materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik. Wujud, yang berkait erat dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka takkan ada, kecuali dalam keterbatasan. Waktu bukanlah gerak, melainkan bilangan pengukur gerak karena waktu tidak lain adalah yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam, yaitu tersendiri dan berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi berkesinambungan. Oleh sebab itu, waktu dapat ditentukan, yang berporoses dari dulu hingga kelak. Dengan kata lain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan yang berikutnya, yang berkesinambungan. Waktu adalah bagian dari pengetahuan tentang kuantitas. Ruang, gerak dan waktu adalah kuantitas. B. Al-Farabi Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Tarkhan bin Auzalagh, dan lebih terkenal dengan sebutan Al-Farabi. Ia dilahirkan di kota Farab (Wasij sekarang Atrar, Turkistan) 257 H/ 870 M. Di kalangan orang-orang Latin Abad Tengah, ia
13 Lihat al-Kindi A Muslim Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic Philosophy, First Pubished, 2006 14 MM Syarif (ed), Para Filosof Muslim, h. 215

dikenal dengan Abu Nasr (Abunaser). Ayahnya seorang jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya seorang berkebangsaan Turki.15 Pada waktu muda, ia pergi ke Iraq dan menetap di sana untuk belajar ilmu nahwu kepada Abu Bakar as-Saraj, dan belajar mantiq kepada Abu Basr Matta bin Yusuf, yang menggunakan buku Aristoteles sebagai rujukan. Kemudian ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhana bin Hailan. 16 Akan tetapi tidak beberapa lama, ia kembali lagi ke bagdad untuk memperdalam filsafat. Pada tahun 330 H/ 945 M, ia pindah ke Damaskus dan bertemu dengan saif adDaulah al-Hamdani, sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Kemudian ia diberikan kedudukan sebagai ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar. Akan tetapi, ia lebih memilih kehidupan yang sederhana (zuhud), sehingga tunjangannya ia berikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus. Selain itu, ada sesuatu yang paling menggembirakan di tempat itu, adalah ia bertemu dengan banyak para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan kaum cendekiawan lainnya. Kurang lebih 10 tahun ia hidup di 2 kota ini, sampai akhirnya hubungan antara pengusa keduanya memburuk dan akhirnya Saif ad-Daulah menyerbu Damaskus dan dapat dikusai. Al-Farabi juga diikutsertakan dalam penyerbuan itu. Ia wafat di Damaskus pada Desember 950 M dalam usia 80 tahun. 17 Ia mendapat gelar kehormatan sebagai guru kedua dalam lapangan logika setelah gelar guru pertama dialamatkan pada Aristoteles.18 Beberapa karya-karyanya adalah; Syuruh Risalah Zainun al-Kabir al-Yunani, AlTa'liqat, Risalah fima Yajibu Ma'rifatqabla Ta'allumi al-Fasafah, Kitab Tashil al-Sa'adah, Risalah fi Otsbat al-Mufaraqah, 'Uyun al-Masail, Ara' Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Ihsha' al-'Ulum wa al-Ta'rif bi Aghradiha, Maqalat fi Ma'ani al-Aql, Fushul al-Hukm, Risalah al-Aql, Al-Siyasah al-Madaniyah, Al-Masail al-Falsafiyah wa al-Ajwibah 'anha, Al-Ibanah 'an Ghardi Aristo fi Kitabi ma ba'da at-Thabi'ah, dan Al-Jam'u baina Ra'yain alHakimain.19 Dalam berfilsafat, Al-Farabi dikenal dengan filsuf sinkretisme yang memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Ini dapat dibuktikan dengan melihat ilmu logika dan filsafatnya, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam etika dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Dan dipengaruhi oleh Plotinus dalam persoalan metafisika.20 Hasyimsyah Nasution dalam bukunya Filsafat Islam. 2005 mengutip tulisan TJ. De Boer bahwa konsep ketuhanan yang Al-Farabi sampaikan adalah, memadukan antara filsafat aristoteles dan Neo-Platonisme, yaitu al-Maujud al-Awal (wujud pertama) sebagai sebab pertama dari segala yang ada. Sedangkan dalam pembuktian adanya Allah, ia mengemukakan dalil Wajib al Wujud dan Mumkin al-Wujud, dan tidak ada alternatif yang ketiga.
15 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 32 16 Jamil Shaliba, TarikhAl Falsafah Al Arabiyah, (Bairut: Dar al Kitab al Alimi, 1995), h. 135-136 17 Hasyimsyah Nasution, h. 33 18 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Pemikiran dan Peradaban. (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, t.t), h. 185. Vol 4 19 Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 31 20 Hasyimsyah Nasution. Op.Cit. h. 34

Wajib al-Wujud adalah wujudnya harus ada (tidak boleh tidak ada) dan sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Jika wujud ini tidak ada, maka mustahil ada wujud lain, karena adanya wujud lain itu tergantung padanya. Sedangkan Mumkin al-Wujud tidak akan menjadi wujud yang nyata tanpa adanya wujud yang menguatkan, dan itu bukan dirinya akan tetapi Wajib al-Wujud.21 Dalam bukunya Filsafat Islam.2005, Hasyimsyah Nasution mengutip tulisan TJ. De Boer mengenai sifat Tuhan, Al-Farabi sejalan dengan paham Mu'tazilah, yaitu sifat Tuhan tidak berbeda dengan substansi-Nya (zat-Nya). Misalnya, seseorang boleh menyebutasma' al husna sebanyak yang diketahui, akan tetapi nama-nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada zat Tuhan atau sifat-sifat yang berbeda dari zatNya. Sirajuddin Zar dalam bukunya Filsafat Islam.2004 mengutip tulisan AlFarabi Ara' Ahl al-Madinah al-Fadhilah bahwa Tuhan adalah 'Aql murni. Ia esa adanya sehingga Ia menjadi pemikir substansi-Nya sendiri dan sekaligus yang menjadi obyek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya. Jadi, Tuhan adalah 'Aql,'aqil' dan Ma'qul (Akal, Substansi yang berfikir, dan substansi yang dipikirkan). Tentang ilmu tuhan, Al-Farabi terpengaruh dengan pemikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui dan tidak memikirkan alam. Kemudian ini dikembangkannya dengan mengatakan Tuhan tidak mengetahui yang Juz'yiyah (particular). Artinya pengetahuan Tuhan tentang yang juz'i tidak sama dengan manusia menggunakan panca indra. Karena Tuhan mengetahu yang juz'i tidak secara langsung melainkan lewat kulli yang ia sebab sebagai yang juz'i. Al-Farabi juga mengemukakan ayat al-Quran yang berkenaan dengan sucinya Tuhan dari sifat-sifat. Surat as-Soffaat: 180


Teori Neo-Platonisme-monistik tentang emanasi yang digunakan olen Al-Farabi pada proses kejadian alam. Sedang menurut kebanyakan filusuf yunani mengatakan bahwa Tuhan bukan sebagai pencipta alam, melaikan sebagai pengerak pertama. Ini bertentangan dengan doktrin Mutakallimin, yang mengatakan Tuhan adalah pencipta dari yang tidak ada menjadi ada. Bagi Al-Farabi Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Maka penciptaan alam ini sudah sejak zaman azali dengan materi yang berasal dari energi yang qadim dan susunan materi yang menjadi alam ini adalah baru. Disebutkan juga bahwa Al-Farabi mengklasifikasikan yang wujud kepada 2 rentetan, yaitu: a. Rentetan wujud yang esensunya tidak berfisik; - tidak berfisik dan tidak menempati fisik (Allah, 'Aql Pertama, dan 'Uqaul al-Aflak), -tidak berfisik tetapi menempati fisik (Jiwa, bentuk, dan Materi). b. Rentetan wujud yang berfisik (benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhtumbuhan, benda-benda tambang, dan unsure yang 4; air, udara, tanah, dan api).
21 Hasyimsyah Nasution, h. 36

Tujuan utama Al-Farabi mengemukakan tentang teori emanasi ini adalah untuk menegaskan kemaha esaannya Tuhan. Seperti yang dikatakan Al-Farabi, bahwa manusia adalah termasuk dalam kategori rentetan wujud yang berfisik, yang pada dirinya terdapat jasad dan jiwa. Kesatuan antara keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya memiliki substansi yang berbeda. Ini dapat dilihat dari keadaan binasah yang dimiliki jasad tidak akan membawa kebinasahan jiwa. Selain hal di atas, sumber antara keduanya juga berbeda, yaitu jasad berasal dari alam Khalq (berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak). Sedangkan jiwa berasal dari alam Ilahi, ia diciptakan ketika jasad sudah siap menerima kehadirannya. Ada beberapa daya yang dimilki oleh jiwa manusia, yaitu: a. Daya gerak (makan, memelihara, dan berkembang) b. Daya mengetahui (merasa dan imajinasi) c. Daya berfikir (akal praktis dan akal teoritis), untuk daya teoritis dibagi dalam 3 tingkatan; akal potensial, akal aktual, dan akal mustafad.

C. Al-Razi Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya Ibn Yahya ar-Razi, yang kemudian disebut dengan Ar-Razi. Di Barat dikenal Rhazes. Ia lahir di Ray dekat Teheran pada 1 Syaban 251 H (865 M). Ia hidup pada masa pemerintahan Dinasti Saman (204-395 H). Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar uang (money Changer), dan sebagai pemusik kecapi. Pendek kata, Ar-Razi adalah seorang yang ulet dalam bekerja dan belajar, karenanya tidak heran kalau ia tampak menonjol dibanding rekan-rekan semasanya, bahkan ia sangat tenar. Di kota Ray ini ia belajar kedokteran kepada Ali ibn Rabban al-Thabari (192-240 H/808-855 M), belajar filsafat kepada AlBalkhi, seorang yang senang mengembara, menguasai filsafat, dan ilmu-ilmu kuno. Ia juga belajar matematika, astronomi, sastra, dan kimia.22 Diperkirakan karya Ar-Razi mencapai 200 judul dalam berbagai bidang keilmuan, tetapi banyak karya tersebut yang hilang. Karya-karya Ar-Razi dimaksud adalah: AlAsrar (bidang kimia), Al-Hawi (merupakan ensiklopedi kedokteran sampai abad ke 16 di Eropa), Al-Mansuri Liber al-Mansories (bidang kedokteran, 10 jilid), Al-Judar wa alHasbah (tentang analisa penyakit cacar dan campak serta pencegahannya), Al-Thibb alRuhani, Al-Sirah al-Falsafiyyah, Amarah al-Iqbal al-Dawlah, Al-Ladzdzah, Al-Ilm alIlahi, Maqalah fi ma bad al-Thabiiyyah, dan Al-Shukuk ala Proclus.23 Ar-Razi tidak memberi tempat bagi kekuatan irasional yang hanya berpijak pada kebiasaan (tradisi) ataupun intuisi mistis. Karena itu ia juga menolak doktrin-doktrin keagamaan yang dipandang tidak memiliki dasar pembenaran secara logis. Hal ini menyebabkannya dituduh sebagai seorang atheis yang mempertuhankan akal.
22 Abdurrahman Badawi, Muhammad Ibn Zakariya ar-Razi, dalam M.M. Sharif (ed), A History of Muslim Philosophy, Otto Harrassowitz, Wisbaden, 1963,Vol. I, h. 435 23 Ibid, h. 439

Tidak seperti para pemikir pada masanya yang berpandangan bahwa generasi terdahulu tidak meninggalkan apa-apa bagi generasi berikutnya, ar-Razi justru berpandangan sebaliknya. Banyak hal telah diwariskan oleh generasi terdahulu, yang sebagian di antara kesalahan-kesalahannya telah dikoreksi oleh ar-Razi. Dalam hal ini arRazi disamakan dengan Bacon, seorang tokoh perpaduan antara fisikawan dan filosof yang mempropagandakan pendekatan eksperimentatif serta mempercayai teori kemajuan ilmiah yang kontinyu.24 Ar-Razi membangun filsafat manusianya berdasarkan hasil pengembangan pemikiran para filosof Yunani, terutama Sokrates, Plato dan Aristoteles, dipadukan dengan khazanah pemikiran yang berkembang pada masanya. Berbagai khazanah pemikiran tersebut selanjutnya dikoreksi kembali berdasarkan hasil penelitiannya sendiri, yang akhirnya membentuk sumbangan pemikiran orisinil ar-Razi. Ar-Razi disebut sebagai peletak dasar filsafat manusia secara menyeluruh, yang memandang manusia secara holistik, mulai dari struktur biologis, emosi, intelegensi, serta potensi-potensi lain yang dapat dibina agar menjadi manusia mulia. Pandangan tersebut terangkum dalam dua tinjauan, yaitu; dari segi organisme atau biologis yang melahirkan Pengobatan Fisik, serta dari segi psikis dan moral yang melahirkan Pengobatan Ruhani.25 Pemikiran ar-Razi tentang manusia didasarkan pada konsep tiga macam jiwa Plato, dipadukan dengan pendapat pemikir-pemikir lain, khususnya Sokrates dan Aristoteles. Struktur kepribadian manusia terbangun oleh ketiga macam unsur jiwa tersebut, yaitu: 1. Unsur jiwa rasional dan ketuhanan 2. Unsur jiwa amarah dan hewani 3. Unsur jiwa berkembang dan nafsu.26 Masing-masing unsur jiwa tersebut menyiratkan potensi dasar yang memiliki manusia sebagai penopang kepribadiannya. Ketiganya menunjukkan gambaran kepribadian manusia secara utuh menurut potensi-potensi dasar yang dimiliki. Kepribadian manusia terbentuk dari cara bagaimana manusia memainkan ketiga potensi tersebut. Kecenderungan ke salah satu potensi akan membentuk corak kepribadian tertentu. Jiwa rasional dan ketuhanan membekali manusia dengan potensi mengembangkan daya pikir ke arah kebenaran, yang muara akhirnya adalah pencapaian keyakinan tentang Tuhan. Ar-Razi mengembangkan pandangan ini berdasarkan pemikiran Aristoteles, yang menempatkan jiwa rasional juga sebagai unsur al-Uluhiyyah dalam diri manusia. Unsur an-natiqah bersifat kekal karena memiliki substansi khusus, dan merupakan harkat dan martabat tertinggi manusia yang mencerminkan hakekat manusia itu sendiri. Dua unsur jiwa lainnya (an-nabatiyyah dan al-ghadlabiyyah) bersifat temporal dan terbatas, mengingat keberadaannya hanya sebagai aparat dari unsur yang pertama. Meski kedua unsur tersebut memiliki keterbatasan, namun keberadaannya sangat penting guna menopang jiwa an-natiqah. Jiwa an-nabatiyyah wa asy-syahwaniyyah berfungsi memberi makan tubuh termasuk otak, tempat jiwa rasional bersemayam dan menjalankan fungsinya. Dalam tubuh manusia, otak menjadi instrumen pertama (awwal alah wa adah)
24 Ibrahim Madkour, Filsafat Islam, Metode dan Penerapan, Bagian I, terjemahan Yudian W., Asmin, Ahmad H.M., Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1993, h. 111 25 Ar-Razi, at-Tibb ar-Ruhani, h. 16 26 Ar-Razi, at-Tibb ar Ruhani, h 27

11

bagi jiwa rasional. Sedangkan fungsi jiwa al-ghadlabiyyah adalah membantu jiwa rasional mengekang jiwa nafsu agar tidak menguasai jiwa rasional.27 Berbeda dengan Aristoteles yang memandang kerja akal dalam otak semata berlangsung secara mekanis, ar-Razi memandang adanya peran serta unsur lain, yang bertempat di dalam otak. Unsur tersebut menggerakkan fungsi-fungsi otak melalui susunan saraf pusat, sehingga antara akal dan otak terjalin hubungan fungsional. Dengan perantaraan fungsi-fungsi otak yang mengantisipasi suatu bayangan, akal memproyeksikan suatu gambaran sebelum menjadi kenyataan. Setelah gambaran itu terwujud seperti gambaran semula, seseorang baru dapat menyadari bahwa daya akal mampu meramalkan sesuatu yang pernah digambarkan atau diperkirakan sebelumnya.28 Jiwa an-natiqah merupakan unsur Ilahiyyah, sebagai hasil pancaran akal universal dari Allah SWT melalui pancaran cahaya. Akal universal ini memancarkan jiwa universal, yang kemudian memancarkan jiwa rasional atau akal. Selanjutnya jiwa rasional ini mencari bentuk materi, berupa tubuh manusia, disertai unsur-unsur kehidupan yang disebut unsur tumbuhan dan unsur hewan. Unsur-unsur ini membentuk daya-daya yang mampu mengantarkan manusia kepada nilai-nilai kebaikan mendekati kesempurnaan Allah SWT. Pendidikan dan pengajaran akan membantu menajamkan daya berfikir, yang dapat dijadikan perangkat pengendali untuk dapat bersikap dan berperilaku sesuai dengan sifatsifat Allah SWT. Ar-Razi menekankan perlunya keseimbangan berbagai unsur kejiwaan yang ada. Kondisi sehat secara medis menjadi ukuran kestabilan pribadi yang nantinya sangat menentukan optimalisasi daya pikir. Untuk itu diperlukan perlakuan diri secara adil. Kekurangan dalam jiwa rasional terjadi manakala seseorang tidak sempat berfikir, merenung dan memperhatikan keagungan alam beserta isinya, tidak menaruh perhatian terhadap kenyataan hidup sesudah mati, serta lebih dikuasai hawa nafsu. Kelebihan dalam jiwa rasional terjadi manakala jiwa nafsu diabaikan sama sekali, sehingga mengacaukan temperamen tubuh, di antaranya di tandai dengan munculnya depresi.29 Jiwa berkembang dan nafsu merupakan potensi biologis, yang dikembangkan dari anima vegatativanya Plato. Unsur ini dipahami sebagai unsur alami yang mendorong manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan alamiah, seperti makan, tumbuh, berkembang dan mempertahan- kan jenisnya. Dorongan-dorongan biologis tersebut berhubungan erat dengan organ hati yang berfungsi mengendalikan perkembangan dan pertumbuhan, karenanya jiwa nafsu secara keseluruhan menjadi sifat pembawaan hati.30 Keterkaitan antara dorongan-dorongan biologis dengan organ hati didasarkan atas adanya saling reaksi antara kebutuhan fisik dan aktifitas organ biologis, khususnya hati (qalb). Dalam tinjauan ilmu kedokteran dewasa ini, hati berfungsi mengatur keseimbangan kimia dalam tubuh. Bila terjadi ketidak-seimbangan kimiawi dalam tubuh, maka hati segera memberikan reaksi dengan mengeluarkan zat kimia tertentu melalui organ-organ di sekitarnya, seperti kelenjar empedu dan pankreas. Kebutuhan-kebutuhan biologis ini menuntut untuk dipenuhi secara memadai, dalam arti tidak kurang dan juga tidak berlebihan. Kekurangan atau kelebihan pemenuhan
27 28 29 30 Ibid., h. 28 Ibid., h. 18 Ibid., h. 29 Ibid., h. 27

kebutuhan tersebut akan berdampak buruk pada kesehatan. Pemenuhan kebutuhan secara berlebihan dapat dikategorikan sebagai kecenderungan hidup hedonis yang dapat berakibat negatif pada keseimbangan tubuh. Demikian halnya bila pemenuhan kebutuhan tersebut kurang dari porsi yang semestinya, maka keseimbangan tubuh akan terganggu. An-Nafs alnatiqah akan berperan optimal bila didukung pemenuhan kebutuhan biologis dalam jumlah yang cukup.31 Pandangan ini merupakan jalan tengah yang ditempuh ar-Razi guna menjembatani pemikiran Sokrates dan Plato. Sokrates lebih condong pada sikap mengurangi kebutuhan dengan mengambil batas minimal, sementara Plato cenderung pada sikap berlebihan, dan berusaha memenuhi batas maksimal.32 Adapun unsur an-nafs al-ghadlabiyyah wa al-hayawaniyyah di kembangkan arRazi dari pemikiran Plato yang dikenal dengan anima sensitive, yang diartikan dengan sikap agresif. Unsur ini berperan sebagai pengendali keinginan-keinginan an-nafs asysyahwaniyyah yang condong pada kesenangan-kesenangan inderawi. Unsur alghadlabiyyah wa al-hayawaniyyah mengantarkan manusia pada pertimbangan moral, dengan memunculkan sikap-sikap yang biasa dijadikan pertimbangan moral. Sikap-sikap tersebut adalah sikap jantan atau ksatria, harga diri, serta berani.33 Kalangan ilmuan klasik menisbatkan doktrin al-qudama al-khamsah pada ajaran as-Sabiiyyah dan Harraniyyah yang berkembang di sebuah pusat studi pra Islam. Belakangan diketahui bahwa doktrin tersebut merupakan pengaruh filosof Yunani periode awal, terutama Demokritos dan Phythagoras.34 Melalui doktrinlima hal yang kekal, ar-Razi menyatakan bahwa lima hal yang kekal, yakni Tuhan, ruh universal, materi pertama, ruang mutlak dan waktu mutlak. Dasar keyakinan atas kekekalan Tuhan adalah keyakinan bahwa adanya alam ini karena ada yang menciptakan. Ar-Razi tidak mengajukan pembuktian tentang kekekalan Pencipta. Tidak sebagaimana Plato yang memandang dunia diciptakan dan abadi untuk selamanya, ar-Razi memberikan proposisi aksiomatik dengan mempercapai bahwa dunia ini diciptakan dalam interval waktu tertentu dan bersifat sementara. Pencipta alam tiada lain selain Zat Yang Maha Kekal (Qadim), Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Pandai dan Maha Bijaksana, Yang tiada lalai dan alpa, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan terpancarkan dari hadirat Maha Pencipta laksana cahaya yang terpencar dari sinar mentari. Tuhan memancarkan karunia-Nya berupa kesempurnaan akal serta jiwa yang menerangi kehidupan hingga dapat mengatasi kebodohan, sekaligus mengatasi kepastian.35 Di antara lima hal yang kekal terdapat dua dzat yang hidup dan bergerak, yakni Tuhan dan ruh, ar-Razi tidak berusaha membuktikan kekekalan ruh maupun Tuhan. Ruh dipandang sebagai keabadian lain selain Tuhan karena berasal dari jiwa universal yang bersifat kekal. Ruh adalah substansi murni, tak tersusun substansi lain (jauhar mujarrad).
31 Ibid., h. 29-30 32 Ar-Razi, as-Sirah al-Falsafiyah dalam Lajnah Ihya at-Turas al-Araby, ed., Al-Rasail Falsafiyyah, h. 107 33 Ar-Razi, at-Tibb Ruhani, h. 29 34 Nasyir Khasru, Rd., al-Qaul fi al-Qudama al-Khamsah dalam Lajnah Ihya at-Turas al-Arabi, ed.,Rasail Falsafiyyah, h. 191-194 35 Khasru, ed., al-Qaul fi al-Qudama, h. 197

13

Ruh memiliki sifat bodoh., dan hanya dapat mengetahui sesuatu berdasarkan pengalaman. Kebodohan menyebabkan ruh tertarik kepada materi dan berupaya membuat bentuk darinya untuk memperoleh kebahagiaan kebendaan, tetapi materi menolak. Tuhan tahu bahwa ruh membutuhkan kesenanagan materi. Tuhan yang semula tidak berkehendak mencipta kemudian membentuk alam untuk menolong ruh agar ia beroleh kesenangan materi di dalamnya. Namun demikian bukan berarti kehendak Tuhan berlangsung atas dorongan pihak lain (ruh). Di tengah alam Tuhan menciptakan bentukbentuk yang kuat, termasuk manusia agar ruh dapat bertempat di dalamnya serta memperoleh kebahagiaan jasmani.36 Kesenangan dalam dunia benda tidak akan membebaskan ruh dari rasa sakit. Kebodohan menyebabkan ruh tidak mengetahui bahwa kesenangan sejati yang bebas dari penderitaan bukan terletak pada materi, tapi ketika terbebas dari jeratan materi. Guna mengingatkan ruh agar senantiasa menyadari dunia sejatinya. Tuhan memancarkan Jiwa Rasional berupa kecerdasan akal. Iluminasi akal atas ruh menyadarkannya atas tempat kebahagiaan sejati, yang dapat dicapai dengan mempelajari filsafat sebagai pengasah pikiran. Keyakinan atas keabadian, doktrin perpindahan jiwa serta peran filsafat sebagai jalan tembus ke arah purifikasi dan pembebasan jiwa dari belenggu materi (tubuh) merefleksikan pengaruh pemikiran platonic-phytagorean.37 Dengan mempelajari filsafat, ruh dapat mengetahui dunia sejatinya, memperoleh pengetahuanm, serta dapat membersihkan diri. Bila tidak demikian, maka ruh tidak akan selamat dari keadaan buruk, tidak dapat kembali ke tempat asalnya, serta akan selalu tinggal di alam materi. Ruh akan tetap di dunia materi hingga disadarkan kembali oleh filsafat tentang rahasia dirinya. Bila seluruh ruh sudah bersih, alam ini akan hancur, dan seluruh materi kembali ke tempat asalnya.38 Tuhan mengarahkan pada kemurnian ruh dari materi melalui penganugerahan akal, sebab keterperangkapan ruh pada materi merupakan bibit-bibit kejahatan. Pembebasan ruh dari unsur-unsur materi berarti menghapus keraguan akan kekekalan dunia sekaligus menghapus kejahatan. Namun demikian, bukan berarti kejahatan akan hapus sama sekali, dikarenakan keterperangkapan ruh pada materi tidak mungkin sepenuhnya dihilangkan. Pandangan ar-Razi tentang materi mengacu pada pandangan platonic dan praSokratik. Pandangan ar-Razi cenderung atomistis, terutama lebih dekat pada pemikiran Demokritos.39 Ar-Razi meyakini bahwa alam dan segala yang ada di dalamnya diciptakan Allah dari sesuatu (unsur-unsur) yang lain. Ia menolak pandangan creation ex nihilo, sebab menurutnya segala sesuatu pasti diciptakan dari bahan atau materi lain. Setiap materi tersusun oleh partikel-partikel atom yang mempunyai volume
36 37 38 39 Ibid., h 205 Fakhry, A History of Islamic Philosophy, h. 101 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam,Jakarta, Bulan Bintang, 1983, h. 23 M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy, Delhi, Adam Publisher&Distributors, 1994, h. 70

tertentu hingga dapat disusun dan dibentuk. Atom-atom tersebut menghasilkan lima unsur, yaitu: bumi, udara, api, air dan unsur eter (celestial element). Sifat-sifat unsur tersebut; terang, berat, buram, padat, dan transparan, digunakan untuk menjelaskan komposisi materi berdasarkan proporsi unsur dan kehampaannya. Unsur bumi tersusun oleh substansi yang lebih padat. Substansi yang lebih renggang menjadi unsur air, kemudian lebih renggang lagi unsur udara, dan unsur api merupakan unsur paling renggang.40 Hancurnya materi ataupun dunia ini tidak akan menjadikan substansi penyusunnya musnah tanpa bekas, melainkan hanya menjadi serpihan-serpihan materi yang lain. Bila serpihan tersebut terus terurai, maka akan sampai pada partikel atom, partikel terkecil yang tidak bisa dibagi lagi. Konsep kekekalan materi ini tidak bertentangan dengan barunya alam, sebab penciptaan alam dimulai sejak penyusunan materi, bukan sejak penciptaannya. Karena itulah materi dipandang sebagai sesuatu yang kekal. Kekekalan materi dicoba dibuktikan oleh ar-Razi dengan memberikan dua argumentasi: 1. Penciptaan dari tiada adalah mustahil. Berdasarkan pengamatan (al-istiqra al-kulli), segala sesuatu terjadi dengan susunan, melalui proses, bukan dengan cara sekejap mata. Karena itu Tuhan tidak mungkin membuat sesuatu tanpa. 2. Bila alam ini diciptakan, tentu saja ada Penciptanya. Tuhan menciptakan sesuatu dengan materi yang terbentuk. Kekuatan Pencipta (Tuhan) diperlukan guna membentuk dan menyusun materi itu. Jika Penciptanya kekal, maka materi yang dikenai kekuatan Pencipta juga kekal. Berbeda dengan Aristoteles, ar-Razi memahami ruang (al-makan/locus) sebagai konsep abstrak, di mana ruang tidak dapat dipisahkan dari tubuh (inseparable from body).41 Setiap wujud (al-mutamakkin) memerlukan ruang sebagai tempat berwujud, karena itu ruang pasti ada. Ruang merupakan tempat bagi setiap yang wujud maupun yang bukan wujud. Karena materi yang menempati ruang bersifat kekal, maka ruang tempat materi berada juga kekal. Ar-Razi membedakan ruang ke dalam dua bagian, yaitu ruang relatif (al-makan al-mudaf) dan ruang absolut (al-makan al-mutlaq). Ruang relatif adalah ruang yang terbatas, yang adanya tergantung pada adanya wujud yang menempati. Bila tidak ada yang menempati, maka ruang itu tidak ada.42 Sedangkan ruang absolut adalah ruang yang ditempati oleh seluruh materi. Ruang absolut merupakan tempat beredarnya materi, baik sebelum atau sesudah diciptakan, bahkan setelah hancurnya alam menjadi materi-materi yang lain. Keberadaan ruang ini tidak tergantung adanya benda-benda angkasa. Tanpa benda apapun ruang tetap ada. ArRazi mencontohkan ruang absolut dengan sebuah bejana yang berisi benda-benda. Bila benda-benda tersebut diangkat dari bejana, maka bejananya tidak terangkat.
40 41 42 Ibid., h. 71 Fakhry, A History of Islamic Philosophy, h. 103 Khasru, ed., al-Qaul fi al-Makan wa az-Zaman dalamRasail Falsafiyyah, h. 253.

15

Ar-Razi juga menjadikan kekekalan materi sebagai dasar keyakinan atas kekalnya ruang. Ruang adalah tempat adanya wujud fisik. Setiap yang wujud pasti menempati ruang, sedang yang di luar wujud tersebut ada ruang dan bukan ruang, karena itu yang menempati ruang terdiri dari yang wujud dan yang bukan wujud. Jika bukan ruang, sesuatu itu pasti wujud yang terbatas, dan jika bukan wujud sesuatu itu tentu ruang. Wujud itu terbatas karena ia ada dalam ruang, mengingat ruang itu tidak terbatas, dan ketidakterbatasannya menunjukkan bahwa sesuatu itu kekal. Adapun waktu menurut Ar-Razi adalah substansi yang mengalir (jauhar yajri), merentang dan kekal. Waktu tudak dapat dipahami sebagai jumlah gerak benda sebagaimana pendapat Aristoteles dan para pengikutnya. Dua benda yang begerak dalam waktu yang bersamaan tidak mungkin menghasilkan jumlah waktu yang berbeda. Ini selaras dengan Transyahri yang memandang bahwa zaman, keberlangsungan dan materi tidak lain hanyalah nama yang maknanya kembali pada substansi yang satu. Ar-Razi membedakan waktu menjadi dua: waktu mutlak atau waktu absolut dan waktu terbatas. Waktu yang terbatas (al-waqt/time) ditentukan berdasarkan pergerakan falak, seperti terbit dan tenggelamnya matahari, sehingga bisa diukur (measurable). Perhitungan atas gerakan planet tersebut menyebabkan waktu terbatas dapat dibagi-bagi menjadi segmen-segmen waktu, mulai dari hari, bulan, tahun dan seterusnya. Waktu yang hanya ditentukan berdasarkan rotasi maupun gerak bola bumi mengitari matahari merupakan waktu terbatas.43 Adapun waktu absolut yang disebut juga dengan al-dahr (keberlangsungan) akan senantiasa kekal dan bergerak, tanpa harus tergantung pada pergerakan falak. Waktu absolut ini digunakan ar-Razi untuk menjelaskan waktu sebelum dan sesudah diciptakan dan fananya alam ini. Waktu mutlak dapat dipahami dari kekekalan gerak dan perubahan materi dalam ruang yang tak terbatas dan kekal, karena itu waktu absolut juga kekal.

43 Abu Hatim ar-Razi, Alam an-Nubuwwah, dalam Lajnah Ihyaat-Turas al-Araby, ed., Rasail Falsafiyyah, h. 304

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Badawiy, Mawsah al-Falsafah, Beirut: al-Muassasah al-Arabiyah li al-Dirst wa al-Nasy, 1984, Jilid II Abdurrahman Badawi, Muhammad Ibn Zakariya ar-Razi, dalam M.M. Sharif (ed), A History of Muslim Philosophy, Otto Harrassowitz, Wisbaden, 1963 Abu Hatim ar-Razi, Alam an-Nubuwwah, Lajnah Ihyaat-Turas al-Araby, ed., Rasail Falsafiyyah Al-Kindi A Muslim Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic Philosophy, First Pubished, 2006 Ar-Razi, as-Sirah al-Falsafiyah dalam Lajnah Ihya at-Turas al-Araby, ed., Al-Rasail Falsafiyyah Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, t.t) Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005 Ibrahim Madkour, Filsafat Islam, Metode dan Penerapan, terjemahan Yudian W., Asmin, Ahmad H.M., Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993, Bagian I Jamil Shaliba, TarikhAl Falsafah Al Arabiyah, Bairut: Dar al Kitab al Alimi, 1995 M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy, Delhi, Adam Publisher&Distributors, 1994 M. Abdul Hadi Abu Zaidah, Rasil al-Kind al-Falsafiyah, Dar al-Fikr al-Arabiy, 1950 Nasyir Khasru, Rd., al-Qaul fi al-Qudama al-Khamsah dalam Lajnah Ihya at-Turas al-Arabi, ed.,Rasail Falsafiyyah

17

You might also like