You are on page 1of 8

I. KONSEP Anak Jalanan 1.

Pengertian Anak Jalanan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan (UU. No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1)). Definisi yang dikemukakan Departemen Sosial RI (1995:5) anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari dijalanan baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum lainnya Berdasarkan definisi tersebut memberikan empat faktor penting yang saling terkait: a) Anak Menurut Elizabeth Hurlock (1991 : 23 ) usia anak adalah 6-18 tahun, rentang usia ini dianggap rawan karena mereka belum mampu berdiri sendiri, emosinya belum stabil, mudah terpengaruh dan belum mempunyai bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk hidup dijalanan. b) Menghabiskan sebagian besar waktunya Bila dilihat dari banyaknya waktu yang digunakan oleh anak jalanan, terlihat bahwa sebagian besar waktu yang mereka miliki dihabiskan dijalanan, dibandingkan dengan tempat lain. c) Mencari nafkah dan berkeliaran Mereka berkeliaran dijalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk mencari nafkah. d) Jalanan dan tempat-tempat umum Melakukan kegiatan berkeliaran (tidak jelas kelihatannya) di jalan atau di tempat-tempat umum Faktor-faktor tersebut memperlihatkan terganggunya keberfungsian sosial anak. Keberfungsian mengacu pada situasi dan relasi anak-anak yang melahirkan berbagai tugas dan peranan. Ciri-ciri fisik dan psikis anak jalanan diantaranya : Ciri Psikis Ciri Fisik: a) Mobilitas tinggi a) Warna kulit kusam b) Acuh tak acuh b) Rambut kemerah-merahan c) Penuh curiga c) Kebanyakan berbadan kurus d) Sangat sensitif d) Pakaian tidak terurus e) Berwatak keras f) Kreatif g) Semangat hidup tinggi h) Berani menanggung resiko i) Mandiri Selain itu karakteristik dari anak jalanan korban eksploitasi antara lain : a) Melakukan kegiatan ekonomi di jalan

b) Mereka diawasi oleh pihak yang menjadi pelaku eksploitasi. c) Tertekan dan mempunyai rasa takut untuk mengungkapkan masalah. d) Secara fisik penampilan dekil atau kotor pada badan atau pakaian yang mereka pakai. e) Sebagian besar anak korban eksploitasi berpendidikan rendah dan putus sekolah 2. Kategori Anak Jalanan Menurut Tata Sudrajat anak jalanan dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok berdasarkan hubungan dengan orang tuanya, yaitu : 1) Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di jalanan (anak yang hidup dijalanan / children the street). 2) Anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya seminggu sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau tiga bulan sekali biasa disebut anak yang bekerja di jalanan (Children on the street) 3) Anak yang masih sekolah atau sudah putus sekolah, kelompok ini masuk kategori anak yang rentan menjadi anak jalanan (vulnerable to be street children). Perbandingan Tingkat Pendidikan Perbandingan Tingkat pendidikan adalah suatu perbedaan tinggi rendahnya seseorang dalam mendapatkan ilmu pengetahuan di sekolah atau tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.Tingkat pendidikan anak jalanan dalam hal ini pengamen jalanan adalah sangat bervariasi, ada diantara mereka yang memang berasal dari keluarga yang kurang mampu sehingga terpaksa mengamen dan berhenti sekolah, adapula yang masih bersekolah sambil mengamen. Ada yang hanya lulusan SD saja bahkan SD pun tidak tamat begitu pula untuk tingkatan-tingkatan smp dan selanjutnya, serta ada pula yang terus mengamen meski telah menginjak pendidikan diperguruan tinggi hingga selesai masa kuliahnya barulah berhenti mengamen. II. NARASI

Terdapat banyak faktor yang mendalangi anak-anak remaja bahkan dibawah umur, untuk hidup dijalanan mencari uang dibandingkan bersekolah. Anak jalanan atau pengamen begitu biasa mereka disebut bagi yang memiliki profesi menjual suara cenderung malas bersekolah karena sudah terbiasa dengan keadaan jalanan, belum lagi telah tertanam didalam diri mereka bahwa mencari uang jauh lebih menguntungkan dan menyenangkan dibandingkan bersekolah yang dirasa membosankan dan membuang-buang waktu serta uang yang tidak sedikit. Tetapi tidak semua pengamen putus sekolah, banyak diantara mereka yang masih peduli terhadap pendidikan diantara mereka juga ada beberapa pengamen yang masih bersekolah. Mereka percaya bahwa ilmu yang mereka dapatkan dari bersekolah akan dapat berguna bagi nasib mereka selanjutnya, namun kepedulian saja ternyata tidak cukup tingginya harga pendidikan dan kurangnya perhatian banyak kalangan terhadap pengamen jalanan menjadi suatu hambatan bagi mereka untuk dapat memperoleh pendidikan yang layak. Sekalipun mereka mendapatkannya tidak sedikit mereka yang bersekolah tetap

dipandang sebelah mata dikucilkan karena perbedaan status, hingga akhirnya mereka meninggalkan sekolah dan kembali ke jalanan. Pengamen setiap tahunnya semakin bertambah, terlihat dari data yang diperoleh dari website kementerian sosial RI pertambahan pengamen jalanan bertambah lebih dari 100% per tahun. Pengamen jalanan putus sekolah lebih banyak jumlahnya dibandingkan pengamen jalanan yang masih setia terhadap bangku sekolah. Ada banyak jenis pengamen jalanan di Ibukota dan pinggiran Jakarta, diantaranya ada pengamen yang berasal dari golongan keluarga yang cukup mapan, mengamen hanya sebatas keisengan dalam mengisi waktu luang karena kurangnya perhatian dari orangtua, adapula yang mengamen karena terdesak kebutuhan hidup yang semakin melambung harganya namun penghasilan tetap tidak bertambah dan yang terakhir adalah yang mengamen karena ingin mencari tambahan uang jajan saja. Pendidikan memang masih sulit diperoleh secara cuma-cuma bagi pengamen jalanan. Pendidikan gratis yang diperuntukan pemerintah pun ternyata masih memiliki beberapa kendala seperti kurangnya sosialisasi kepada pengamen jalanan dan kurang meratanya program pendidikan gratis ini diseluruh daerah. Banyaknya persyaratan dan kurangnya perhatian yang sungguh-sungguh dari pihak administrasi dalam pengurusan birokrasi merupakan salah satu faktor bagi mereka yang ingin memperoleh pendidikan gratis menjadi enggan untuk mengurus segala persyaratan. Mereka merasa dipersulit dan hanya diimingimingi saja tentang pendidikan gratis yang perlaksanaannya jauh dari harapan. Oleh karena itu penelitian ini sebagai suatu pembelajaran dan juga sebagai salah satu acuan atau sumber informasi bahwa pendidikan di Indonesia masih hanya milik mereka yang berduit, sedangkan bagi mereka, pengamen jalanan untuk mendapatkannya hanya merupakan anganangan belaka sekalipun tersedia keberadaan mereka masih saja dipandang sebelah mata. Padahal dengan tersedianya pendidikan yang layak bagi pengamen jalanan bukan tidak mungkin pengangguran dan pertambahan pengamen jalanan dapat ditekan dan berkurang. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan yaitu berupa wawancara langsung dengan sampel penelitian. Teknik penelitian yang saya pakai dalam penelitian ini adalah penentuan sampel secara acak terhadap daerah yang saya teliti masingmasing daerah diwakili oleh 1 sampel. Sampel (subjek) kemudian di wawancarai dengan diberi beberapa pertanyaan terkait dengan penelitian yang saya kerjakan, jawaban dari subjek dicatat karena tidak digunakannya tape-recorder dalam proses wawancara. Kemudian hasil dari semua jawaban subjek disaring dan dipilah-pilah sebagai sumber data yang paling baik. Proses wawancara dilakukan pada hari Jumat 19 Oktober 2012 lokasi depan kampus UNAS dan pada hari Minggu, 28 Oktober 2012 lokasi Harja Mukti Cimanggis, Depok. Pendidikan anak jalanan di Depok berdasarkan sampel yang saya pilih bernama Aris, usianya 19 tahun. Aris telah menamatkan pendidikan stm jurusan otomotif dan sekarang selain mengamen sebagai pekerjaan sehari-harinya dia telah mendapatkan pekerjaan tetap dibengkel salah satu merek motor terkemuka dikota Depok. Setiap harinya Aris mendapatkan pemasukan kotor dari mengamen paling sedikit 120 ribuan dengan rute kereta depok. Keuntungan mengamennya digunakan untuk membantu kebutuhan keluarganya terutama kebutuhan adik-adiknya untuk bersekolah. Selama bersekolah sebenarnya Aris merupakan siswa yang tergolong berprestasi, ia mendapatkan beasiswa dari olimpiade matematika yang cukup untuk menanggung biaya pendidikannya hingga bangku perguruan tinggi. Namun

beasiswa tersebut tidak dimanfaatkan oleh Aris. Karena baginya perguruan tinggi hanya membuang waktu dan uang, namun tidak dapat menjamin kehidupannya melihat realita yang ada bahwa banyak gelar sarjana yang menganggur. Pendidikan anak jalanan Jakarta Timur berdasarkan sampel yang saya pilih bernama Raka usianya 10 tahun. Raka telah berhenti sekolah sejak kelas 5 SD karena ketidakadaannya biaya untuk melanjutkan sekolah. Sekalipun telah ada sekolah gratis saat ini tidak mau meneruskan sekolah karena adanya rasa canggung untuk kembali bersekolah dengan segala macam peraturannya. Raka keluar dari sekolah untuk membantu keluarganya mencari nafkah. Raka tiap harinya mengamen dengan rute Pasar rebo-Pasar minggu. Keuntungannya sebenernya tidak seberapa dibanding dengan jerih payahnya berkeliling untuk mengamen. Pekerjaan yg dilakukan Raka ini dilakukan atas kemauannya sendiri demi membantu perekonomian keluarganya, dan ironisnya orang tua dari Raka sendiri tidak melarang apa yg dilakukan anaknya. Seharusnya di usia itu waktu yg digunakan mestinya dipakai untuk belajar dan tentu saja bermain. Namun kenyataannya masa kecilnya dihabiskan untuk bekerja berbeda dengan anak anak pada umumnya. Dengan hasil survey dan wawancara terhadap pengamen jalanan tersebut penulis mendapatkan informasi dan mengerti bahwa tidak semua anak jalanan berasal dari keluarga yang tidak baik, keluarga yang kurang mampu atau bahkan berasal dari keluarga yang tidak berpendidikan. Kita tidak bisa memandang sebelah mata terhadap para pengamen jalanan, karena bukan berarti mereka hidup dijalanan mereka jauh lebih bodoh daripada yang bersekolah,dan karena prestasi tidak selalu terukir dibawah naungan gedung bernama sekolah. Masih banyak diantara pengamen jalanan yang ingin bersekolah dengan layak namun terbentur biaya dan berbagai macam persyaratan yang mempersulit. Sedangkan pengamen yang justru mampu membiayai dirinya bersekolah tidak melanjutkan pendidikan karena kejenuhan dan kemalasan yang sudah mendarah daging, dan adapula pengamen jalanan yang pintar membagi waktunya tetap bersekolah sesuai jadwal sekolah yang telah ditetapkan setelah itu baru pulang kerumah dan pergi mengamen.Sayang nya pemerintah bergerak lamban dalam mengatasi permasalahan pendidikan bagi pengamen jalanan. III. KESIMPULAN

Pekerja anak sudah menjadi perhatian utama banyak negara. Dalam pasal 88 UU no 23 tahun 2002, jika terbukti melakukan eksploitasi ekonomi kepada anak, pelaku dapat diancam pidana penjara 10 tahun dan denda Rp200 juta. ini salah satu dasar hukum yang kuat bagi yang memperkerjakan anak di bawah umur.jika dalam kasus tersebut terbukti adanya proses perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan dan penerimaan anak untuk tujuan mengeksploitasi anak, maka pelaku melanggar pasal 2 UU No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Namun, pekerja anak di Indonesia banyak berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orang tua. Tradisi seperti banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak merupakan bagian dari proses belajar untuk menghargai kerja dan tanggung jawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada dunia kerja, mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga. Dengan

berkembangnya waktu fenomena anak yang bekerja juga berkaitan erat dengan alasan ekonomi keluarga (kemiskinan) dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan maerupakan masalah tersendi bagi indonesia. Masih sulitnya pendidikan gratis yang diterapkan di Indonesia dibandingkan di Negara-negara lain adalah karena banyaknya hambatan dalam pelaksanaannya diantaranya adalah karena adanya praktikpraktik korupsi, profesionalitas terkait apresiasi pendidikan belumlah baik dan memadai, perekrutan dan kesejahteraan guru atau guru, gedung sekolah, kurikulum, buku pelajaran, mutu standar dan lain-lainya yang berkaitan dengan anggaran pendidikan masih sulit bergerak. Sedangkan peran pemerintah itu sendiri terhadap ketersediaan pendidikan bagi pengamen jalanan masih digolongkan setengah hati karena dalam hal ini pemerintah, membiayai atau menanggung dana pendidikan anak atau siswa dari masyarakat yang lemah secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki bakat atau prestasi luar biasa, seperti yang disebutkan di atas tidak dapat disamakan dengan program yang ada (bhineka subsidi) seperti yang dilakukan selama ini. Program raskin, alokasi dana dampak kenaikan BBM, dan lain sebagainya adalah ibarat masyarakat dininabobokan dengan terus-menerus di beri ikan bukan mata kail, yang cenderung bermuatan politis atau merupakan upaya meredam kemungkinan adanya gejolak sosial, ekonomi, dan politik belaka. Jika masyarakat hanya dibuai-buai atau diberi ikan, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Hal mendasar yang dibutuhkan masyarakat adalah kail, karena dengan bekal mata kail inilah nantinya dapat menjadi sarana dalam berupaya memberi arti dalam hidup dan kehidupannya. Pendidikan gratis dan atau sekolah gratis, kini tampak marak menjadi bualan politik calon legislatif pun calon kepala daerah kepada masyarakatnya. Namanya bualan tentu ada korbannya, siapa lagi kalau bukan sebagian besar masyarakat pemilihnya. Logika apa yang dipakai, sehingga berani mengumbar janji Pendidikan Gratis Indonesia Cerdasmisalnya!1 Padahal pendidikan yang layak sangat penting perannya, khususnya bagi pengamen jalanan yang terus menjamur dari tahun ke tahun. Selain sebagai sarana memperoleh ilmu pengetahuan pendidikan dibangku sekolah juga sebagai media tempat dimana bakat atau keahlian yang dimiliki oleh pengamen jalanan itu sendiri dapat diasah dan dibina sehingga bukan tidak mungkin pengamen jalanan tidak hanya mendapatkan atau memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang lebih baik tetapi mereka bisa juga ikut serta dalam penyediaan lapangan pekerjaan, from zero to hero why not?.

Dikutip dari http://www.dapunta.com/cakrawala-pendidikan-ke-depan.html

IV.

Lampiran Hasil Wawancara Nama Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Prestasi : Aris : 19 Tahun : Laki-laki : Tamatan STM Otomotif : Ngamen dan Mekanik Bengkel : Juara I lomba cerdas-cermat Matematika tingkat SMP Se-jabodetabek Juara I Lomba menyanyi Solo tingkat kecamatan

Subjek Pertama

Ket : P (Penulis) S (Sumber) P : Mulai ngamen dari umur berapa? S : Sejak kelas 2 SMP, umur 15an lah. P : Selama ngamen, sekolah pernah ditinggalin gak? S : Enggak, paginya sekolah pulang sekolah baru ngamen. P : Kalau disuruh milih sekolah sama ngamen pilih mana, kenapa? S : Pilih sekolah sampe lulus, karena ngamen kan gak ada masa depannya semua udah jelas di jalanan. P : Biasanya kalau ngamen dapet berapa sehari? S : Paling sedikit 90 ribu kotornya mah bisa 120an ribu paling sedikit. P : Rute ngamennya kemana aja? S : Yaa rute kereta depok, kemana kereta berangkat saya ada genjrang genjreng. P : Uang hasil ngamen digunakan buat apa? S : Buat jajan adik-adik, buat bantu-bantu kebutuhkan keluarga yang paling utama buat bayaran sekolah adik. P : Pekerjaan orangtua apa, sekolah gak dibiayain orangtua? S : Orangtua kerja tapi punya 2 keluarga jadi bingung mau ngidupin yang mana, alhamdullilahnya saya dapat beasiswa karena juara lomba matematika itu. P : Beasiswanya sampai tingkatan pendidikan berapa lama? S: Sebenernya sampe kuliah juga bisa, tapi gak saya ambil males kuliah saya mau langsung kerja aja di bengkel. Sekolah cukup sampe stm aja. P : Dulu sekolahnya dimana? S: Awalnya sekolah di Al-muklisin, karena dapet beasiswa dipindahin ke Fajar Hidayah di Kota Wisata, tapi karena disana kebanyakkan anak orang kaya pas sma saya pindah ke stm 10 gak betah gak ada temen soalnya. P : Trus beasiswanya dicabut? S: Gak. Soalnya nilai saya gak pernah jelek. yaa pernah juga tapi pas naik-naikkan kelas tetap bagus jadi gak ada masalah. P : Menurut kamu, pendidikan itu penting gak? S: Penting lah banget malah.

P: Tapi banyak kan teman-teman sesama pengamen yang gak nerusin sekolah gak kaya kamu? S : iya, banyak faktor si. Ada yang gak punya duit buat sekolah, ada yang mapan punya duit tapi males, ada juga yang ngamen sebagai pelarian karena gak ada perhatian dari orang-tua, ya banyak lah macem-macem alesannya. P : Untuk temen-temen pengamen yang mau sekolah gak ada biaya kan ada sekolah gratis? S : Alah ngomong doang gratis, ngurusin ini itu nya dibikin ribet ujung-ujungnya juga duit jadi kebanyakan males dan gak mau tau. Kalau pun ada kaya saya sekolah, disekolah lebih sering dianak tirikan mentang-mentang pengamen suka dicuekin jadi bikin gak betah sekolah. P : Emang enaknya ngamen apa dibanding sekolah? S: Sebenernya ngamen enak, sekolah juga enaknya tersendiri tapi kalau orang-orang kaya saya pasti lebih banyak pilih ngamen dibanding sekolah, jelas karena ngamen bisa dapet duit sekolah malah buang duit. P : Bukannya tadi kata kamu sekolah penting? S : Ya saya yang bilang gitu, yang lain kan belum tentu udah kebiasaan nyari duit pasti pikirannya buat apa sekolah bosen banyak peraturan yang dipelajari juga belum tentu digunain buat kerja nanti, sarjana aja banyak nganggur kok.

Subjek Kedua

Nama Umur

: Raka : 10 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pendidikan Pekerjaan : Tidak melanjutkan sekolah, tamatan 5 SD : Ngamen dan bantu-bantu pedagang

P : Mulai ngamen dari umur berapa? S : Sejak berenti sekolah, kelas 5 SD. P : Kenapa berenti sekolah? S : Orangtua gak ada biaya kak. P : Kalau disuruh milih sekolah sama ngamen pilih mana, kenapa? S : Pilih ngamen, enak dapet duit. P : Biasanya kalau ngamen dapet berapa sehari? S : Gak tentu kadang banyak kadang dikit tapi gak pernah dibawah 20 ribu. P : Rute ngamennya kemana aja?

S : Pasar rebo-Pasar minggu, ngamen di angkot. P : Uang hasil ngamen digunakan buat apa? S : Buat jajan sama buat mama. P : Pekerjaan orangtua apa, sekolah gak dibiayain orangtua? S : Papa gak ada, mama gak kerja dirumah ngurusin ade. P : Kalau ada sekolah gratis mau gak? S : Mau, tapi kan harus beli buku sama seragam juga. P : Dulu sekolahnya dimana? S : Di deket rumah di LPG. P : Ngamen atas kemauan sendiri apa di suruh orangtua? S : Sendiri. P : Menurut kamu, pendidikan itu penting gak? S: Gak tau, penting kayanya tapi lebih penting lagi duit kak. P: Tapi banyak kan teman-teman sesama pengamen yang gak nerusin sekolah? S : Iya banyak, tapi ada juga yang masih sekolah ngamennya jadi sore aja. P : Untuk temen-temen pengamen yang mau sekolah gak ada biaya kan ada sekolah gratis? S : Iya? Kok aku gak tau ya kak. P : Emang enaknya ngamen apa dibanding sekolah? S: Bisa dapet duit, jadi bisa jajan. Duitnya juga lumayan kan saya masih kecil yang ngasih uang banyak jadinya. P : Kalau ada sekolah yang gak harus beli buku sama gak harus pake seragam mau sekolah? S : Mau dong kak, tapi pasti gak ada.

You might also like