Professional Documents
Culture Documents
KETUA ANGGOTA : WAHYUNISA : MARIANUM SITI JUBAIDAH RINA PUSPITA SARI M. RIZKI ATHAR FAKHRIZUL IKRAM :XII IPA 1
KELAS
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Kemudian sholawat beriringkan salam kepada Rasulullah SAW, serta kepada keluarga dan para sahabat sahabatnya. Adapun judul makalah ini, Nama-nama Al-Quran. Maksud dan tujuan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas bidang studi Al-Quran Hadist tahun ajaran 2011-2012. Dalam menyelesaikan makalah ini kami banyak mengalami kesulitan dan hambatan, akan tetapi berkat kesabaran serta bimbingan dari guru pembimbing sehingga akhirnya semua kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi dengan baik. makalah ini belum sempurna disebabkan masih sedikitnya ilmu yang dimiliki oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan dari pembaca sekalian, sehingga kritik yang positif tersebut dapat memberikan kelengkapan isi makalah ini. Dengan selesainya makalah ini semoga dapat berguna bagi para pembaca sekalian. Amin Ya Rabbal Alamiin..
IJMA
Pengertian Ijma
Ijma berarti sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan ijma adalah kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. Setelah beliau wafat, pada suatu masa tertentu. Sementara itu kesepakatan orang orang yang bukan mujtahid sekalipun mereka alim atau pun kesepakatan orang orang yang semasa dengan Nabi tidaklah dissebut dengan ijma. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah mujtahid yang setuju atau sepakat dengan ijma. Namun pendapat jumhur, ijma; itu disyaratkan setuju paham mujtahid ulama yang ada pada saat itu. Tidak sah ijma jika salah seorang ulama dari mereka yang hidup pada masa itu menyalahinya. Selain itu, ijma ini harus berdasarkan Al-Quran dan sunnah dan tidak boleh didasarkan pada yang lainnya. Contoh mengenai ijma antara lain ialah menjadikan sunnah sebagai salah satu sumber islam. Semua mujtahiod atau bahkan semua umat islam sepakat (ijma) menetapkan sunnah sebagai slah satu sumber hokum islam. Contoh lain ialah tentang pembukuan Al-Quran yang dilakukan pada zaman khalifah Abu Bakar Siddiq. Kesepakatan ulama dapat terjadi dengan tiga cara: 1. dengan ucapan (qauli), yaitu kesepakatan yang berdasarkan pendapat yang dikeluarkan para mujtahid yang diakui sah pada suatu masalah. 2. dengan perbuatan (fili), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam mengamalkan sesuatu. 3. dengan diam (sukut), yaitu apabila tidak ada diantara para mujtahid yang membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lain dalam suatu masalah. Dengan ijma pemikiran para ahli hukum dapat diaplikasikan dalam proses penetapan hukum suatu kasus, dan melalui qiyas kasus-kasus yang timbul dapat dipecahkan melalui deduksi analogy.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ijma Ummah, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada suatu masa tertentu. Ijma Shahaby, yaitu kesepakatan semua ulama dalam suatu masalah. Ijma Ahli Madinah, yaitu kesepaktan ulama ulama Madinah dalam suatu masalah. Ijma Ahli Khufah, yaitu kesepakatan ulama ulama kufah dalam suatu masalah. Ijma Khalifah yang 4, yaitu kesepakatan 4 khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) dalam suatu masalah. Ijma Syaikhani, yaitu kesepakatan antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab dalam suatu maslaah tertentu. Ijma Ahli Bait, yaitu kesepakatan pendapat dari ahli bait(keluarga Rassul).
wahai orang orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasullah(Muhammad). Dan Ulil Amri (pemegang kekuasaaan) di antara kamu Menurut sebagian ulama bahwa yang dimaksu dengan ulil amri fiddunya yaitu penguasa, dan ulil amri fiddin yaitu mujtahid. Sebagian ulama lain menafsirkannya dengan ulama. Apabila mujtahid telah sepakat terhadap suatu ketetapan hukum suatu peristiwa atau masalah, maka mereka wajib ditaati oleh umat. Hukum yang disepakati itu adalah hasil kesepakatan umat islam, karenanya pada hakikatnya hukum ini adalah hukum umat yang dibicarakan oleh mujtahid. Ijma ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syarI, yaitu setelah Al-Quran dan Sunnah. Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma bias dijadikan alternative untuk menentukan hukum suatu peristiwa yang didalam Al-Quran dan Sunnah tidak ada atau kurang lengkap.
3. karena pada masa itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan karenanya mereka
mudah di koordinir untuk melakukan kesepakatan dalam menentukan status suatu hukum persoalan permasalahan yang timbul pada saat itu. 4. diantara para mujtahid belum timbul perpecahan dan kalaulah ada perselisihan pendapat masih mudah untuk di persatukan. Contoh Contoh Ijma
dikumpulkan dan di bukukannya nash Al-Quran sejak masa pemerintahan Abu Bakar adalah bentuk kesepakatan dari para ulama zaman sahabat. Ide pengumpulan Al-Quran ini berasal dari Umar bin Khaththab, tapi kemudian Abu Bakar kemudian mengumpulkan para ulama saat itu, sehingga terjadi perdebatan , karena hal ini tidak di perintahkan oleh Rasullah saw. Tetapi akhirnya para ulama menyepakati untuk mengumpulakan dan membukukan Al-Quran.
Penetapan tanggal 1 Ramadhan atau tanggal 1 Syawal harus disepakati para ulama di negerinya masing masing berdasarkan ruyatul hilal. Nenek mendapatkan warisan 1/6 dari cucunya jika tidak terhijab. Ketetapan hukum ini berdasarkan ijma para sahabat dan tidak ada yang membantahnya.
QIYAS
Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan atau mempersamakan sesuatu dengan lainnya karenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah qiyas adalah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukmnya dalam nash. Berbeda dengan ijma, qiyas bias dilakukan oleh individu, sedangkan ijma harus dilakuan bersama oleh para mujtahid. Diantara contoh qiyas adalah setiap minuman yang memabukkan adalah haram. Ini disamamkan dengan hukum khamr(arak), yaitu haram. Persamaan kedua jenis ini adalah sifatnya memabukkan. Contoh lain adalah harta anak anak wajib dikeluarkan zakatnya. Ini disamakan dengan harta orang dewasa, yaitu wajib dizakati. Menurut imam SyafiI keduanya memiliki kesamaan, yaitu bahwa kedua jenis harta (harta anak anak dan harta orang dewasa) tersebut dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu juga dapat memberikan pertolongan kepada fakir miskin.
keharaman hukum memukul kedua orang tua, di qiyaskan kepadanya memakinya saja sudah haram. 2. Qiyas Musawi, yaitu illat qiyas suatu hukum sama, seperti hal nya kasus kesamaan keharaman hukum membakar harta anak dengan membakar hartanya. Illat keduanya sama sama menghilangkan. 3. Qiyas Dilalah, yakni menetapkan hukum karena ada persamaan dilalat al-hukm (penunjukan hukumnya), seperti kesamaan kewajiban zakat untuk harta anak yatim dan harta orang dewasa. Karena keduanya sama sama bias tumbuh dan berkembang. 4. Qiyas Syibh, yakni terjadinya keraguan dalam mengiyaskan, ke asal mana illat di tunjukkan , kemudian harus di tentukan salah satunya dalam rangka penetapan hukum padanya. Seperti pada kasus hamba yang di bunuh, dirinya di qiyaskan kepada seorang manusia sebagai anak cucu nabi Adam as, atau barang yang bias di perjualkan.
Artinya: maka ambillah kejadian itu untuk menjadi pelajaran, wahai orang orang yang mempunyai pandangan (QS.Al-Hasyr :2) Setelah Allah menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi pada orang orang kafir dari Bani Nadhar dan menjelaskan duduknya persoalan apa apa yang berada di sekelilingnya itu, Allah mendatangkan hukuman dari arah yang tidak pernah mereka sangka sangka. Kemudian Allah berfirman : Ambillah pelajaran oleh mu wahai orang orang yang mempunyai pandangan. Artinya qiyaskanlah dirimu dengan mereka. Kamu adalah seperti mereka itu. Perbuatan mu sama dengan perbuatan mereka. Dalam sebuah riwayat pernah ada seorang sahabat yang bernama Jariyyah Khusyamiyah bertanya kepada Rasul, hai Raullah, ayahku adalah seorang yang sangat tua. Dia sudah tidak sanggup untuk menunaikan haji, bila saya mengerjakan haji untuk dia, apakah ada manfaat untuknya? rasul menjawab bagaimana pendapatmu jika ayahmu mempunya utang dan kamu yang membayar utang itu? jariyah menjawqab iya kemudian Rasul bersabda utang kepada Allah itu lebih berhak dibayarkan.
1. karena adanya persoalan persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara didalam nash Alquran dan Sunnah tidak ditemukan hukumnya. 2. karena nash baik yang berupa Al-Quran dan Sunnah sudah tidak turun lagi atau sudah berhenti. 3. karena adanya kesamaan antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yangtelah ada nashnya.