You are on page 1of 6

Pendahuluan

Al-Qur'an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai bukti akan kebenaran diutusnya beliau sebagai Rasul. Al-Qur'an yang diturunkan kepada nabi Muhammad tersebut untuk disampaikan kepada umat manusia agar dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk, Untuk dapat memahami Al-Qur'an dengan benar sebagai pedoman dan petunjuk tidak hanya cukup dengan memiliki disiplin ilmu yang terkait dengan al-Qur'an. Tetapi membutuhkan suatu metode atau pendekatan yang tepat agar bisa sampai kepada pemahaman yang mengarah kepada sesuatu yang seharusnya di kehendaki oleh Allah, meskipun tidak ada yang bisa memastikan apa yang didapatkannya merupakan pemahaman yang paling tepat sesuai yang di kehendak oleh Allah SWT. Para pembaca yang mulia semoga Allah subhanahu wataala membuka segala pintu kebaikan kepada kita untuk makalah kali ini kami akan mengulas tafsir surat Al Ashr. Surat ini merupakan surat yang sangat pendek, mesikpun bukan yang terpendek dalam Al-Qur'an. Karena sebagaimana sudah maklum, bahwa yang terpendek adalah surat Al-Kautsar. Surat Al-Ashr, meskipun pendek, akan tetapi sangat dalam makna yang terkandung di dalamnya. Hal-hal yang terkandung di dalamnya sangat komplek. Kekomplekkan tersebut menyangkut kebahagiaan, kesengsaraan, serta kesuksesan dan kegagalan manusia hidup di dunia. Maka, penulis sepakat dengan ungkapan yang menyatakan, "Surat Al-Ashr merupakan filosofis kehidupan."

Allah taala berfirman,


{3} }1{ }2{

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orangorang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran" (QS. Al Ashr).

Surat Al Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Quran yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafii rahimahullah berkata, "Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka." [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah berkata, "Maksud perkataan Imam Syafii adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syariat. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar" [Syarh Tsalatsatul Ushul].

A. Iman yang Dilandasi dengan Ilmu Dalam surat ini Allah taala menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Tafsiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syari (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syariat-syariat Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam muamalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim." (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih). Imam Ahmad rahimahullah berkata,

"Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa membuat dirinya mampu menegakkan agama." [Al Furu 1/525].

Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah taala berfirman,

"Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami." (Asy Syuura: 52).

B. Mengamalkan Ilmu Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya, seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya. Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin Iyadh rahimahullah "Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi seorang alim" (Dikutip dari Hushul alMamul). Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya. Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda "Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut." (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).

C. Berdakwah kepada Allah Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah taala, adalah tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah taala berfirman "Katakanlah, "inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (Yusuf: 108).

Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah taala berikut "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (QS. Fushshilat : 33)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah" (HR. Bukhari nomor 2783). Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar. Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan pribadi masing-masing dan "duduk manis" tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban dakwah yang besar ini. Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

"Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi." (HR. Bukhari nomor 13).

Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan. D. Bersabar dalam Dakwah Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah taala. Seorang dai (penyeru) ke jalan Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini dikarenakan para dai menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syariat [Hushulul mamul hal. 20] Hendaklah seorang dai mengingat firman Allah taala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah taala berfirman : "Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka" (QS. Al-Anam : 34) Seorang dai wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah taala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya), "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)" (QS. Luqman :17). Pada akhir tafsir surat Al Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sadi rahimahullah berkata, "Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar" [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.

Daftar Pustaka

1. Al-Quran dan Tarjamahnya 2. Tafsiir Karimir Rohmaan 3. Tafsiir Ibnu Katsir

You might also like