You are on page 1of 42

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.

095)

Fransiscus Ronaldo

BAB I PENDAHULUAN

Penderita dengan kelainan hormon paratiroid, tidak tampak jelas pada kehidupan sehari-hari. Kebanyakan pasien dengan kelainan hormon paratiroid mengalami gangguan dari metabolisme kalsium dan fosfat. Adapun penyakit yang disebabkan oleh kelainan hormon paratiroid yakni hipoparatiroid dan hiperparatiroid. Penyebab kelainan hormon paratiroid sendiri secara spesifik belum diketahui, namun penyebab yang biasa ditemukan yakni hiperplasia paratiroid, adenoma soliter dan karsinoma paratiroid. Parathormon yang meningkat menyebabkan resorpsi tulang, ekskresi ginjal menurun dan absorpsi kalsium oleh usus meningkat. Pada keadaan ini dapat menyebabkan peningkatan sekresi kalsium sehingga manifestasi klinis yang terjadi kerusakan pada area tulang dan ginjal. Prevalensi penyakit hiperparatiroid di Indonesia kurang lebih 1000 orang tiap tahunnya. Di Amerika Serikat sekitar 100.000 orang diketahui terkena penyakit hiperparatiroid tiap tahun. Pada kasus hiperparatirodisme sekunder hampir selalu terjadi pada pasien gagal ginjal kronik. Kelenjar paratiroid berfungsi mensekresi parathormon (PTH), senyawa yang membantu memelihara keseimbangan dari kalsium dan fosfat dalam tubuh. Oleh karena itu, hormon paratiroid penting sekali dalam pengaturan kadar kalsium dalam tubuh sesorang.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

BAB II
PENYAKIT GINJAL KRONIK

II.1

Epidemiologi Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit

ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan anagka ini meningkat sekitar 8% tiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.

II.2

Definisi Penyakit ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu

proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan CKD sebagai kerusakan ginjal, atau penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa, berupa dialisa atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinis dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

1 .

Kerusakan ginjal (renal daage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atauu tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: - Kelainan patologis - Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi

2 .

darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan Laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan. dan LFG sama

atau lebih dari 60 ml/menit/l,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

II.3

Klasifikasi Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar

derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: LFG (ml/mntJl,73m2) = (140 - umur ) X berat badan ) (72 X kreatinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0, 85

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi Penyakit Tipe mayor (Contoh) Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2 Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular:
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

(penyakit otoimun, infeksi sistemik,obat, neoplasia) Penyakit vascular: (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati) Penyakit tubulointerstitial: (pielonefritis keracunan obat) Penyakit kistik: (ginjal polikstik) Rejeksi kronik Keracunan obat (siklosporin/ takrolimus) Penyakil recurrent (glomerular) Transplant glomerulopathy kronik, batu, obstruksi.,

Penyakit pada transplantasi

II.4

Etiologi Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara dengan

Negara lain:

Tabel 4. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat (19951999) Penyebab Diabetes mellitus - tipe 1 (7%) - tipe 2 (37%) Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

Insiden 44%

27%

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

Glomerulonefritis Nefritis interstisialis Kista dan penyakit bawaan lain Penyakit sistemik (missal, lupus dan vaskulitis) Neoplasma Tidak diketahui Penyakit lain

10% 4% 3% 2% 2% 4% 4%

Tabel 5. Penyebab Gagal Ginjal yang menjalani Hemodialisa di Indonesia tahun 2000 Penyebab Glomerulonefritis Diabetes mellitus Obstruksi dan infeksi Hipertensi Sebab lain Insiden 46,39% 18,65% 12,85% 8,46% 13,65%

II.5

Patofisiologi Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit

yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhimya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

akhimya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis rennin angiotansinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor f3 (TGF- [3). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve). pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah , mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

II.6

Pendekatan Diagnostik

Gambaran klinis Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. b. Sindrom uremia, seperti yang tertera pada tabel berikut:

Tabel 6. Gejala klinis pada uremia

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).

Gambaran Laboratorium Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d. Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.

Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak. b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Biopsi Dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

10

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

II.7

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition) Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 7. Perencanaan talaksana CKD sesuai grade:

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

11

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

BAB III KELENJAR PARATIROID

III.1 Anatomi

Gambar 1. Kelenjar paratiroid Kelenjar paratiroid tumbuh dari jaringan endoderm, yaitu sulcus pharyngeus ketiga dan keempat. Kelenjar paratiroid yang berasal dari sulcus pharyngeus keempat cenderung bersatu dengan kutub atas kelenjar tiroid yang membentuk sepasang kelenjar paratiroid dibagian kranial. Kelenjar yang berasal dari sulcus pharyngeus ketiga merupakan sepasang kelenjar paratiroid bagian kaudal, yang kadang menyatu dengan kutub bawah tiroid. Akan tetapi, sering kali posisinya sangat bervariasi. Kelenjar paratiroid bagian kaudal ini bisa dijumpai pada posterolateral kutub bawah kelenjar tiroid, atau didalam timus, bahkan berada di mediastinum. Kelenjar paratiroid kadang kala dijumpai di dalam parenkim kelenjar tiroid. Setiap kelenjar paratiroid panjangnya kira-kira 6 milimeter, lebar 3 milimeter, dan tebalnya 2 millimeter dan memiliki gambaran makroskopik lemak coklat kehitaman. Kelenjar paratiroid orang dewasa terutama terutama mengandung sel
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

12

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

utama (chief cell) yang mengandung apparatus Golgi yang mencolok, retikulum endoplasma dan granula sekretorik yang mensintesis dan mensekresi hormon paratiroid (PTH). Sel oksifil yang lebih sedikit namun lebih besar mengandung granula oksifil dan sejumlah besar mitokondria dalam sitoplasmanya Pada manusia, sebelum pubertas hanya sedikit dijumpai, dan setelah itu jumlah sel ini meningkat seiring usia, tetapi pada sebagian besar binatang dan manusia muda, sel oksifil ini tidak ditemukan. Fungsi sel oksifil masih belum jelas, sel-sel ini mungkin merupakan modifikasi atau sisa sel utama yang tidak lagi mensekresi sejumlah hormon. III.2 Fisiologi Kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon paratiroid (parathiroid hormone, PTH) yang bersama-sama dengan Vitamin D3 (1.25-dthydroxycholccalciferal), dan kalsitonin mengatur kadar kalsium dalam darah. Sintesis PTH dikendalikan oleh kadar kalsium plasma, yaitu dihambat sintesisnya apabila kadar kalsium tinggi dan dirangsang bila kadar kalsium rendah. PTH akan merangsang reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal, meningkatkan absorbsi kalsium pada usus halus, sebaliknya menghambat reabsorbsi fosfat dan melepaskan kalsium dari tulang. Jadi PTH akan aktif bekerja pada tiga titik sasaran utama dalam mengendalikan homeostasis kalsium yaitu di ginjal, tulang dan usus.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

13

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

Gambar 2. Peranan fisiologis hormon paratiroid Hormon paratiroid (PTH) manusia adalah suatu polipeptida linear dengan berat molekul 9500 yang mengandung 84 residu asam amino. PTH disintesis sebagai bagian dari suatu molekul yang lebih besar yang mengandung 115 residu asam amino (prapo-PTH). Setelah prapo-PTH masuk ke dalam retikulum endoplasma, maka leader sequence yang terdiri dari 25 residu asam amino dikeluarkan dari terminal N untuk membentuk polipeptida pro-PTH yang terdiri dari 90 asam amino. Enam residu asam amino lainnya juga dikeluarkan dari terminal N pro-PTH di apparatus Golgi, dan produk sekretorik utama chief cells adalah polipeptida PTH yang terdiri dari 84 asam amino. Kadar normal PTH utuh dalam plasma adalah 10-55 pg/mL. Waktu paruh PTH kurang dari 20 menit, dan polipeptida yang disekresikan ini cepat diuraikan oleh sel-sel Kupffer di hati menjadi 2 polipeptida, sebuah fragmen terminal C yang tidak aktif secara biologis dengan berat molekul 2500.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

14

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

PTH bekerja langsung pada tulang untuk meningkatkan resorpsi tulang dan memobilisasi Ca2+. Selain meningkatkan Ca2+ plasma dan menurunkan fosfat plasma, PTH meningkatkan ekskresi fosfat dalam urin. Efek fosfaturik ini disebabkan oleh penurunan reabsorpsi fosfat di tubulus proksimal. PTH juga meningkatkan reabsorpsi Ca2+ di tubulus distal, walaupun ekskresi Ca2+ biasanya meningkat pada hiperparatiroidisme karena terjadi peningkatan jumlah yang difiltrasi yang melebihi efek reabsorpsi. PTH juga meningkatkan pembentukan 1,25 dihidroksikolekalsiferol, metabolit vitamin D yang secara fisiologis aktif. Efek hormon paratiroid terhadap konsentrasi kalsium dan fosfat dalam cairan ekstraselular. Naiknya konsentrasi kalsium terutama disebabkan oleh dua efek berikut ini: (1) efek hormon paratiroid yang menyebabkan terjadinya absorpsi kalsium dan fosfat dari tulang, dan (2) efek yang cepat dari hormon paratiroid dalam mengurangi ekskresi kalsium oleh ginjal. Sebaliknya berkurangnya konsentrasi fosfat disebabkan oleh efek yang sangat kuat dari hormon paratiroid terhadap ginjal dalam menyebabkan timbulnya ekskresi fosfat dari ginjal secara berlebihan, yang merupakan suatu efek yang cukup besar untuk mengatasi peningkatan absorpsi fosfat dari tulang. Absorpsi kalsium dan fosfat dari tulang yang disebabkan oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid mempunyai dua efek pada tulang dalam menimbulkan absorpsi kalsium dan fosfat. Pertama merupakan suatu tahap cepat yang dimulai dalam waktu beberapa menit dan meningkat secara progresif dalam beberapa jam. Tahap ini diyakini disebabkan oleh aktivasi sel-sel tulang yang sudah ada (terutama osteosit) untuk meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat. Tahap yang kedua adalah tahap yang lebih lambat, dan membutuhkan waktu beberapa hari atau bahkan beberapa minggu untuk menjadi berkembang penuh; fase ini disebabkan oleh adanya proses proliferasi osteoklas, yang diikuti dengan sangat meningkatnya reabsorpsi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

15

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

osteoklastik pada tulang sendiri, jadi bukan hanya absorpsi garam fosfat kalsium dari tulang. Fase cepat absorpsi kalsium dan fosfat (osteolisis) Bila disuntikan sejumlah besar hormon paratiroid, maka dalam waktu beberapa menit konsentrasi ion kalsium dalam darah akan meningkat, jauh sebelum setiap sel tulang yang baru dapat terbentuk. Hormon paratiroid dapat menyebabkan pemindahan garam-garam tulang dari dua tempat di dalam tulang: 1. Dari matriks tulang disekitar osteosit yang terletak didalam tulangnya sendiri dan 2. Di sekitar osteoblas yang terletak di sepanjang permukaan tulang. Pada membran sel osteoblas dan osteosit memiliki protein reseptor untuk mengikat hormon paratiroid. Hormon paratiroid dapat mengaktifkan pompa kalsium dengan kuat, sehingga menyebabkan pemindahan garam-garam kalsium fosfat dengan cepat dari kristal tulang amorf yang terletak dekat dengan sel. Hormon paratiroid diyakini merangsang pompa ini dengan meningkatkan permeabilitas ion kalsium pada sisi cairan tulang dari membran osteositik, sehingga mempermudah difusi ion kalsium ke dalam membran sel cairan tulang. Selanjutnya pompa kalsium di sisi lain dari membran sel memindahkan ion kalsium yang tersisa tadi ke dalam cairan ekstraselular. Fase lambat absorpsi tulang dan pelepasan kalsium dan fofat (aktivasi osteoklas). Suatu efek hormon paratiroid yang lebih banyak dikenal dan yang penjelasannya lebih baik adalah aktivasi hormon paratiroid terhadap osteoklas. Namun osteoklas sendiri tidak memiliki protein reseptor membran untuk hormon paratiroid. Sebaliknya diyakini bahwa osteoblas dan osteosit teraktivasi mengirimkan suatu sinyal sekunder tetapi tidak dikenali ke osteoklas, menyebabkan osteoklas

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

16

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

memulai kerjanya yang biasa, yaitu melahap tulang dalam waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Aktivasi sistem osteoklastik terjadi dalam dua tahap: 1. Aktivasi yang berlangsung dari semua osteoklas yang sudah terbentuk, dan 2. Pembentukan osteoklas yang baru Kelebihan hormon paratiroid selama beberapa hari biasanya menyebabkan sistem osteoklastik berkembang dengan baik, tetapi karena pengaruh rangsangan hormon paratiroid yang kuat, pertumbuhan ini berlangsung terus selama berbulanbulan. Setelah beberapa bulan, resorbsi osteoklastik tulang dapat menyebabkan lemahnya tulang dan menyebabkan rangsangan sekunder pada osteoblas yang mencoba memperbaiki keadaan tulang yang lemah. Oleh karena itu, efek yang terakhir dari hormon paratiroid yang sebenarnya adalah untuk meningkatkan aktivitas dari osteoblastik dan osteoklastik. Namun, bahkan pada tahap akhir, masih terjadi lebih banyak absorpsi tulang daripada pengendapan tulang dengan adanya kelebihan hormon paratiroid yang terus menerus. Bila dibandingkan dengan jumlah total kalsium dalam cairan ekstraselular, ternyata tulang mengandung banyak sekali kalsium, bahkan bila hormon paratiroid menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium yang sangat besar dalam cairan ekstraselular, tidaklah mungkin untuk memperhatikan adanya efek yang berlangsung dengan segera pada tulang. Pemberian atau sekresi hormon paratiroid yang diperlama (dalam waktu beberapa bulan atau tahun) akhirnya menyebabkan absorpsi seluruh tulang yang sangat nyata dengan disertai pembentukan rongga-rongga yang besar yang terisi dengan osteoklas besar berinti banyak. Efek hormon paratiroid terhadap ekskresi fosfat dan kalsium oleh ginjal Pemberian hormon paratiroid menyebabkan pelepasan fosfat dengan segera dan cepat
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

17

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

masuk kedalam urin karena efek dari hormon paratiroid yang menyebabkan berkurangnya reabsorpsi ion fosfat pada tubulus proksimal. Hormon paratiroid juga meningkatkan reabsorpsi tubulus terhadap kalsium pada waktu yang sama dengan berkurangnya reabsorpsi fosfat oleh hormon paratiroid. Selain itu, hormon ini juga menyebabkan meningkatnya kecepatan reabsorpsi ion magnesium dan ion hidrogen, sewaktu hormon ini mengurangi reabsorpsi ion natrium, kalium dan asam amino dengan cara yang sangat mirip seperti hormon paratiroid mempengaruhi fosfat. Peningkatan absorpsi kalsium terutama terjadi di bagian akhir tubulus distal, duktus koligentes, dan bagian awal duktus koligentes. Bila bukan oleh karena efek hormon paratiroid pada ginjal yang meningkatkan reabsorpsi kalsium, pelepasan kalsium yang berlangsung terus menerus pada akhirnya akan menghabiskan mineral tulang ini dari cairan ekstraselular dan tulang. Efek hormon paratiroid pada absorpsi kalsium dan fosfat dalam usus Hormon paratiroid sangat berperan dalam meningktkan absorpsi kalsium dan fosfat dari usus dengan cara meningkatkan pembentukan 1,25 dihidroksikolekalsiferol dari vitamin D. Efek vitamin D pada tulang serta hubungannya dengan aktivitas hormon paratiroid. Vitamin D memegang peranan penting pada absorpsi tulang dan pengendapan tulang. Pemberian vitamin D yang banyak sekali menyebabkan absorpsi tulang yang sangat mirip dengan pemberian hormo paratiroid. Juga, bila tidak ada vitamin D, maka efek hormon paratiroid dalam menyebabkan absorpsi tulang sangat berkurang atau malahan dihambat. Mekanisme kerja vitamin D ini belum diketahui, tetapi diyakini merupakan hasil dari efek 1,25 dihidroksikalsiferol (yang merupakan produk utama dari vitamin D) dalam meningkatkan pengangkutan kalsium melewati membran sel.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

18

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

Vitamin D dalam jumlah yang lebih kecil meningkatkan kalsifikasi tulang. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk meningkatkan kalsifikasi adalah dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat dari usus. Akan tetapi, bahkan bila tidak ada peningkatan, absorpsi akan tetap meningkatkan proses mineralisasi tulang. Sekali lagi, mekanisme terjadinya efek ini tidak diketahui, tetapi mungkin disebabkan oleh kemampuan 1,25 dihidroksikolekalsiferol untuk menyebabkan timbulnya

pengangkutan ion kalsium melewati membran sel. Sebagian besar efek hormon paratiroid pada organ sasarannya diperentarai oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP) yang bekerja sebagai mekanisme second messenger. Dalam waktu beberapa menit setelah pemberian hormon paratiroid, konsentrasi cAMP di dalam osteosit, osteoklas, dan sel-sel sasaran lainnya meningkat. Selanjutnya, cAMP mungkin bertanggung jawab terhadap beberapa fungsi osteoklas seperti sekresi enzim dan asam-asam sehingga terjadi reabsorpsi tulang, pembentukan 1,25 dihidroksikolekalsiferol di dalam ginjal dan sebagainya. Mungkin masih ada efek-efek langsung lain dari hormon paratiroid yang efeknya tidak bergantung pada mekanisme second messenger. Pengaturan sekresi paratiroid oleh konsentrasi ion kalsium

Bahkan penurunan konsentrasi ion kalsium yang paling sedikit pun dalam cairan ekstraselular akan menyebabkan kelenjar paratiroid meningkatkan kecepatan sekresinya dalam waktu beberapa menit; bila penurunan konsentrasi ion kalsium menetap, kelenjar paratiroid akan menjadi hipertrofi, sering lima kali atau lebih. Contohnya, kelenjar paratiroid akan menjadi sangat besar pada Rikets, dimana kadar kalsium biasanya hanya tertekan sedikit; juga, kelenjar akan menjadi sangat besar saat hamil, walaupun penurunan konsentrasi ion kalsium pada cairan ekstraselular ibu sangat sulit diukur; dan kelenjar sangat membesar selama laktasi karena kalsium
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

19

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

digunakan untuk pembentukan air susu ibu. Sebaliknya, setiap keadaan yang meningkatkan konsentrasi ion kalsium diatas nilai normal akan menyebabkan berkurangnya aktivitas dan ukuran kelenjar paratiroid. Beberapa keadaan tersebut meliputi: 1. Jumlah kalsium yang berlebihan dalam diet, 2. Meningkatnya vitamin D dalam diet, dan 3. Absorpsi tulang yang disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda dengan hormon paratiroid (contohnya absorpsi tulang yang disebabkan oleh tidak digunakannya tulang itu). Kontrol dari hormon Paratiroid. Sekresi dari hormon paratiroid tergantung dari suatu negative feed-back mechanism yang diatur oleh kadar ion kalsium dalam plasma. Juga ada hormon lain yang ikut mengatur kadar kalsium dalam serum yaitu calcitonin atau thyrocalcitonin. Hormon ini diproduksi oleh kelenjar tiroid. Beberapa observasi menunjukan bahwa ada hubungan antara paratiroid dengan kelenjar-kelenjar endokrin lain. Umpamanya pernah didapat hiperplasia kelenjar paratiroid pada akromegali, sindrom Cushing, dan penyakit Addison. Hipofisektomi (pada binatang) menyebabkan involutio dari kelenjar-kelenjar paratiroid, sedangkan pemberian hormon pertumbuhan (GH), adrenokortikotropin (ACTH), ekstrak lobus anterior hipofisis dan steroid-steroid adrenal mengakibatkan hiperplasia dari kelenjar-kelenjar paratiroid. Tetapi mungkin pula bahwa perubahan kelenjar-kelenjar paratiroid adalah sekunder akibat perubahan kadar fosfat dalam serum yang disebabkan oleh hormon-hormon tersebut.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

20

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

Hiperplasia dari kelenjar-kelenjar paratiroid terdapat dalam keadaan-keadaan dimana ada tendensi dari ion kalsium untuk menurun, umpamanya pada penyakit Rachitis (atau Osteomalacia), kehamilan, hilangnya kalsium dalam darah dan insufisiensi ginjal yang disertai retensi fosfor.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

21

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

BAB IV
HIPERPARATIRODISME

IV.1

Definisi Hiperparatiroid adalah karakter penyakit yang disebabkan kelebihan sekresi

hormone paratiroid, hormon asam amino polipeptida. Sekresi hormon paratiroid diatur secara langsung oleh konsentrasi cairan ion kalsium. Efek utama dari hormon paratiroid adalah meningkatkan konsentrasi cairan kalsium dengan meningkatkan pelepasan kalsium dan fosfat dari matriks tulang, meningkatkan penyerapan kalsium oleh ginjal, dan meningkatkan absorbsi kalsium di usus. Hormon paratiroid juga menyebabkan fosfaturia, yang secara tidak langsung menyebabkan terjadinya hipofosfatemia. Hiperparatiroidisme terbagi menjadi primer, sekunder dan tersier.

IV.2

Klasifikasi

1. Hiperparatiroidisme primer Kira-kira 85% dari kasus hiperparatiroid primer disebabkan oleh adenoma tunggal. Sedangkan 15% lainnya melibatkan berbagai kelenjar (contoh berbagai adenoma atau hiperplasia). Sedikit kasus hiperparatiroidisme utama disebabkan oleh paratiroid karsinoma. Etiologi dari adenoma dan hyperplasia pada kebanyakan kasus tidak diketahui. Kasus genetika keluarga dapat terjadi baik sebagai bagian dari berbagai sindrom endrokin neoplasia, syndrome

hiperparatiroid tumor atau hiperparatiroidisme turunan. Familial hypocalcuric dan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

22

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

hypercalcemia dan neonatal severe hyperparathyroidism juga termasuk kedalam kategori ini. 2. Hiperparatiroidisme sekunder Hiperparatiroid sekunder merupakan suatu keadaan dimana sekresi hormon paratiroid meningkat lebih banyak dibanding dengan keadaan normal, karena kebutuhan tubuh meningkat sebagai proses kompensasi. Pada keadaan ini terdapat hiperplasi dan hiperfunsi merata pada keempat kelenjar paratiroid, terutama dari chief cells. Biasanya penyebab primer adalah gagal ginjal kronik, dan glomerulonefritis atau pyelonefritis menahun. Penyakit lain yang juga dapat menyebabkan hiperparatiroid sekunder adalah osteogenesis imperfekta, penyakit paget multiple mieloma, dan karsinoma dengan metastase tulang. Pada keadaan gagal ginjal, ada banyak factor yang merangsang produksi hormon paratiroid berlebih. Salah satu faktornya termasuk hipokalsemia, kekurangan produksi vitamin D karena penyakit ginjal, dan hiperpospatemia. Hiperpospatemia berperan penting dalam perkembangan hiperplasia paratiroid yang akhirnya akan meningkatkan produksi hormon paratiroid. 3. Hiperparatiroidisme tersier Penyebabnya masih belum diketahui. Perubahan mungkin terjadi pada titik pengatur mekanisme kalsium pada level hiperkalsemik.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

23

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

BAB V HIPERPARATIROID SEKUNDER

V.1

Definisi Hiperparatiroidisme sekunder adalah produksi hormon paratiroid yang

berlebihan karena rangsangan produksi yang tidak normal sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium terionisasi didalam serum. Secara khusus, kelainan ini berkaitan dengan gagal ginjal. Penyebab umum lainnya karena kekurangan vitamin D. Hiperparatiroidisme sekunder adalah hiperplasia kompensatorik keempat kelenjar yang bertujuan untuk mengoreksi penurunan kadar kalsium serum. Pada sebagian besar kasus, kadar kalsium serum dikoreksi ke nilai normal, tetapi tidak mengalami peningkatan. Kadang-kadang, terjadi overkoreksi dan kadar kalsium serum melebihi normal; pasien kemudian dapat mengalami gejala hiperkalsemia. V.2 Etiologi Hiperparatiroid sekunder merupakan suatu keadaan dimana sekresi hormon paratiroid meningkat lebih banyak dibanding dengan keadaan normal, karena kebutuhan tubuh meningkat sebagai proses kompensasi. Pada keadaan ini terdapat hiperplasi dan hiperfunsi merata pada keempat kelenjar paratiroid, terutama dari chief cells. Biasanya penyebab primer adalah gagl ginjal kronik, dan glomerulonefritis atau pyelonefritis menahun. Penyakit lain yang juga dapat menyebabkan hiperparatiroid sekunder adalah osteogenesis imperfekta, penyakit paget multiple mieloma, karsinoma dengan metastase tulang.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

24

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

Pada keadaan gagal ginjal, ada banyak factor yang merangsang produksi hormon paratiroid berlebih. Salah satu faktornya termasuk hipokalsemia, kekurangan produksi vitamin D karena penyakit ginjal, dan hiperpospatemia. Hiperpospatemia berperan penting dalam perkembangan hyperplasia paratiroid yang akhirnya akan meningkatkan produksi hormon paratiroid. Pada penyakit ini terdapat hiperplasia dan hiperfungsi dari kelenjar paratiroid. Sebab primer adalah keadaan hipokalsemia kronik yang disebabkan di antaranya oleh: 1. Gagal ginjal kronik karena: a. Glomerulonefritis b. Pielonefritis c. Kongenital dari traktus urinarius pada anak-anak d. Dialisis, dapat menyebabkan penurunan kadar kalsium darah. 2. Defisiensi vitamin D (riketsia dan osteomalasia), defek herediter dari metabolisme vitamin D. 3. Malabsorbsi intestinal, berbagai gangguan gastrointestinal dapat menyebabkan kalsium tidak dapat diabsorbsi maksimal ke dalam darah, sehingga pada keadaan kronis dapat menyebabkan hipokalsemia. 4. Penyakit-penyakit lain dapat juga menyebabkan hipokalsemia dan kemudian hiperparatiroidisme sekunder, misalnya: a. Osteogenesis imperfecta b. Pagets disease c. Mieloma multiple d. Karsinoma dengan metastasis di tulang

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

25

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

V.3

Patofisiologi Hiperparatiroidisme sekunder biasanya ditandai dengan adanya hiperplasia

kelenjar paratiroid. Keempat kelenjar biasanya akan mengalami hiperplasia, tapi tidak hanya 1-2 kelenjar yang mengalami hiperplasia. Hiperparatiroidisme sekunder kebanyakan merupakan akibat dari keadaan gagal ginjal kronik, dimana biasanya berkembang pada pasien hemodialisis. Hipokalsemia kronis yang akhirnya menimbulkan hiperparatiroidisme sekunder juga dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin D, malabsorbsi intestinal yang

dikarakteristik oleh inadekuat absorbsi vitamin D dan kalsium. Penggunaan furosemide jangka panjang pada bayi baru lahir, penggunaan kontrasepsi oral dan hiperkalsiuria idiopatik dapat pula menyebabkan terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Kebanyakan penyebabnya adalah gagal ginjal kronik. Pada gagal ginjal kronik terjadi berbagai abnormalitas biokimia, termasuk penurunan kemampuan ekskresi fosfat melalui urin. Keadaan ini akan mengakibatkan peningkatan kadar fosfat dalam darah, sehingga meningkatkan kadar produk kalsium-fosfat. Sehingga kadar kalsium darah cenderung menurun, keadaan ini disebut sebagai hipokalsemia. Keadaan hiperfosfatemia dan kerusakan parenkim ginjal berhubungan dengan penyebab penurunan kemampuan ginjal dalam memproduksi 1,25-

dihydroxycholecalciferol (vitamin D aktif), yang berperan dalam absorbsi kalsium di saluran intestinal. Berbagai keadaan yang menyebabkan terjadinya hipokalsemia kronis ini, menstimulasi tubuh untuk melakukan suatu rekasi kompensasi untuk mengembalikan kadar kalsium dalam darah sehingga mendekati angka normal. Cara kompensasi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

26

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

tubuh yang digunakan yaitu dengan overproduksi PTH yang secara tidak langsung diikuti dengan hiperplasia kelenjar paratiroid. PTH terutama bekerja pada tulang, usus dan ginjal. Dalam ginjal, PTH meningkatkan resorpsi kalsium dari lumen tubulus ginjal. Dengan demikian mengurangi eksresi kalsium dalam urine. PTH juga meningkatkan bentuk vitamin D3 aktif dalam ginjal, yang selanjutnya memudahkan ambilan kalsium dari makanan dalam usus. Pada tulang, PTH berperan dalam peningkatan reabsorpsi kalsium dari tulang. Pada usus, peningkatan absorpsi kalsium dari makanan merupakan efek langsung dari PTH. Pada saat kadar kalsium serum mendekati 12 mg/dL, tubular ginjal mereabsorpsi kalsium secara berlebihan sehingga terjadi keadaan hiperkalsiuria. Hal ini dapat meningkatkan insidens nefrolithiasis, yang mana dapat menimbulkan penurunan kreatinin klearens dan gagal ginjal. Peningkatan kadar kalsium ekstraselular dapat mengendap pada jaringan halus. Rasa sakit timbul akibat kalsifikasi berbentuk nodul pada kulit, jaringan subkutis, tendon (kalsifikasi tendonitis), dan kartilago (khondrokalsinosis).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

27

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

Malabsorbsi Calsium

Gambar 3. Patofisiologi Hiperparatiroidisme Sekunder

V.4

Manifestasi Klinis Karena hiperparatiroidisme sekunder disebabkan oleh berbagai macam

etiologi, maka manifestasi klinis yang sering muncul selalu didasarkan dengan adanya manifestasi klinis akibat kelainan yang mendasarinya, yaitu gagal ginjal atau defisiensi vitamin D (osteomalasia atau miopati). Pasien mungkin tidak atau mengalami tanda-tanda dan gejala akibat terganggunya beberapa sistem organ pada kasus hiperparatiroidisme sekunder yang lama dan berat. Gejala apatis, keluhan mudah lelah, kelemahan otot, mual, muntah, konstipasi, hipertensi dan aritmia jantung dapat terjadi, semua ini berkaitan dengan peningkatan kadar kalsium dalam darah. Manifestasi psikologis dapat bervariasi mulai
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

28

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

dari emosi yang mudah tersinggung dan neurosis hingga keadaan psikosis yang disebabkan oleh efek langsung kalsium pada otak serta sistem saraf. Peningkatan kadar kalsium akan menurunkan potensial eksitasi jaringan saraf dan otot. Manifestasi utama dari hiperparatiroidisme terutama pada ginjal dan muskuloskeletal. Pembentukan batu pada salah satu atau kedua ginjal yang berkaitan dengan peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor merupakan salah satu komplikasi hiperparatiroidisme. Kerusakan ginjal terjadi akibat presipitasi kalsium oksalat atau kalsium fosfat dalam pelvis dan parenkim ginjal yang mengakibatkan nefrolithiasis, obstruksi, pielonefritis serta gagal ginjal. Nefrolitiasis juga menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan retensi fosfat. Manifestasi skeletal yang menyertai hiperparatiroidisme dapat terjadi akibat demineralisasi tulang atau tumor tulang, yang muncul berupa sel-sel raksasa benigna akibat pertumbuhan osteoklast yang berlebihan, disebut sebagai osteitis fibrosa

cystica. Secara histologis, gambaran patognomonik adalah peningkatan giant multinukleal osteoklas pada lakuna Howship dan penggantian sel normal dan sumsum tulang dengan jaringan fibrotik. Pasien dapat mengalami nyeri skeletal dan nyeri tekan, khususnya di daerah punggung, panggul, tungkai dan persendian lutut serta, nyeri ketika menyangga tubuh, fraktur patologik, deformitas, osteomalasia dan kiposkoliosis. Nyeri persendian akibat deposit kristal hidroksiapatite, karena adanya hiperfosfatemia. Bahkan, dapat terjadi neksrosis avaskular pada caput femoris karena adanya renal distrofi yang menyebabkan nyeri sendi panggul. Kehilangan tulang yang berkaitan dengan hiperparatiroidisme merupakan faktor risiko terjadinya fraktur. Pada pasien dapat disertai dengan gejala disfungsi sistem saraf pusat, nervus dan otot perifer, traktus gastrointestinal, dan sendi. Manifestasi dari neuromuscular termasuk tenaga otot berkurang (paroxysmal muscular weakness) yang perlahanKepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

29

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

lahan, mudah lelah, dan atrofi otot yang mungkin menyolok adalah tanda kelainan neuromuscular primer. Manifestasi pada traktus gastrointestinal kadang-kadang ringan. Insidens ulkus peptikum dan pankreatis meningkat pada hiperparatiroidisme dan dapat menyebabkan terjadinya gejala gastroitestinal. Pada anak-anak dengan azotemia, terjadi deformitas skeletal berupa pembengkokan tibia dan femur. Kalsifikasi vaskular dan nekrosis iskemia perifer dapat menyebabkan warna kulit jari dan kuku menjadi pucat. Kadang, ulcer dan scar dapat timbul. Dan didapatkan adanya hubungan kejadian stenosis mitral dan aorta pada pasien anak dengan hemodialisis. Secara umum, efek dari hiperkalsemia adalah sebagai berikut: 5. Sistem saraf pusat: Perubahan mental, penurunan daya ingat, emosional tidak stabil, depresi, gangguan tidur, koma. 6. Neuromuscular: Tenaga otot berkurang (paroxysmal muscular weakness), rasa sakit pada sendi dan otot akibat penimbunan kalsium, pruritus, dan pergerakan tangan yang abnormal pada saat tidur. 7. Gastrointestinal: Ulkus peptikum, pankreatitis, nausea, vomiting, reflux, dan kehilangan nafsu makan. 8. Kardiovaskular: Hipertensi. 9. Mata: Konjunctivitis, keratopathy. 10. Kulit: Pruritus akibat penimbunan kalsium

V.5

Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Hiperparatiroidisme didiagnosis ketika tes menunjukkan tingginya level

kalsium dalam darah disebabkan tingginya kadar hormone paratiroid. Penyakit lain
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

30

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

dapat

menyebabkan

tingginya

kadar

kalsium

dalam

darah,

tapi

hanya

hiperparatiroidisme yang dapat menaikkan kadar kalsium dalam level yang tinggi. Kenaikkan kadar kalsium serum saja merupakan gambaran yang nonspesifik karena kadar dalam serum ini dapat berubah akibat diet, obat-obatan dan perubahan pada ginjal serta tulang. Perubahan tulang dapat dideteksi dengan pemeriksaan sinar-x atau pemindai tulang pada kasus-kasus penyakit yang sudah lanjut. Penggambaran dengan sinar X pada abdomen bisa mengungkapkan adanya batu ginjal dan jumlah urin selama 24 jam dapat menyediakan informasi kerusakan ginjal dan resiko batu ginjal. Pemeriksaan antibodi ganda hormon paratiroid digunakan untuk membedakan hiperparatiroidisme dengan keganasan, yang dapat menyebabkan hiperkalsemia. Pemeriksaan USG, MRI, Pemindai thallium serta biopsi jarum halus telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi paratiroid dan untuk menentukan lokasi kista, adenoma serta hiperplasia pada kelenjar paratiroid. Tes darah mempermudah diagnosis hiperparatiroidisme karena menunjukkan penilaian yang akurat berapa jumlah hormon paratiroid. Sekali diagnosis didirikan, tes yang lain sebaiknya dilakukan untuk melihat adanya komplikasi. Karena tingginya kadar hormon paratiroid dapat menyebabkan kerapuhan tulang karena kekurangan kalsium, dan pengukuran kepadatan tulang sebaiknya dilakukan untuk memastikan keadaan tulang dan resiko fraktura. Salah satu kelemahan diagnostik adalah terjadinya penurunan bersihan fragmen akhir karboksil PTH pada pasien gagal ginjal, menyebabkan peningkatan palsu kadar PTH serum total. Penetuan PTH amino akhir atau PTH utuh direkomendasikan untuk menilai fungsi paratiroid pasien gagal ginjal. Hiperparatiroidisme sekunder pada umumnya menunjukkan hasil pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

31

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

11. Pemeriksaan laboratorium a. Hormon parathiroid meningkat b. Kalsium serum dapat normal atau menurun c. Fosfat serum menurun pada defisiensi vitamin D Fosfat serum meningkat pada insufisiensi atau gagal ginjal d. Kadar 25-hydroxyvitamin D menurun, kurang dari 20 mg per milliliter (50 nmol per liter) 12. Radiologis: Rontgen (komplikasi pada organ target) a. Tulang menjadi tipis, ada dekalsifikasi b. Cystic-cystic dalam tulang c. Trabeculae di tulang d. Erosi subperiostal e. Nefrolithiasis 13. Ultrasonografi Digunakan untuk evaluasi pembesaran kelanjar paratiroid. 14. PA: osteoklas, osteoblast, dan jaringan fibreus bertambah

V.6

Penatalaksanaan

Konservatif 1. Pada kasus defisiensi vitamin D dapat dikoreksi dengan pemberian kapsul vitamin D 50.000 IU/kapsul satu kali seminggu selama 8 minggu dan dapat diulang 8 minggu lagi apabila tanda defisiensi masih terlihat. 2. Pada kasus gagal ginjal kronik, National Kidney Foundation (NKF)

merekomendasikan penurunan kadar PTH untuk menormalkan turnover mineral tulang dan meminimalisasi terbentuknya kalsifikasi ektopik. Pasien yang

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

32

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

mengalami dialisis gagal ginjal, biasanya mengalami peningkatan kadar hormon paratiroid. Berikut pilihan terapi non bedah yang dianjurkan bagi pasien hiperparatiroidisme sekunder pada kasus gagal ginjal kronik: a. Restriksi konsumsi fosfat, jika dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar 25-hydroxyvitamin D >30 mg/mL. b. Phosphate binder Calcium-based phosphate binders, seperti calcium carbonate atau calcium acetate Non-calcium-based phosphate binders, seperti sevelamer hydrochloride atau lanthanum carbonate c. Suplementasi kalsium dibatasi kurang dari 2 gr/hari d. Vitamin D dan analognya: Calcitriol Penekanan sekresi hormon paratiroid dengan low-dose calcitriol mungkin dapat mencegah hiperplasia kelenjar paratiroid dan hiperparatiroidisme sekunder. Analog calcitriol: Paricalcitol, doxercalciferol, maxacalcitol, dan

falecalcitriol e. Kalsimimetik, seperti cinacalcet Kalsimimetik digunakan efeknya dalam meningkatkan sensitivitas reseptor kalsium dan menghambat pengeluaran dari PTH. Selain itu, kalsimimetik juga dapat menurunkan kadar fosfor dalam darah. Penyembuhan dengan calcitriol dan kalsium dapat mencegah atau

meminimalisir hiperparatiroidisme sekunder. Kontrol kadar cairan fosfat dengan diet


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

33

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

rendah fosfat juga penting. Pasien yang mengalami dialysis-dependent chronic failure membutuhkan calcitriol, suplemen kalsium, fosfat bebas aluminium, dan cinacalcet (sensipar) untuk memelihara level cairan kalsium dan fosfat.

Operatif Pasien yang mengalami nyeri tulang atau patah tulang, pruritus, dan calciphylaxis perlu perawatan dengan pendekatan operatif. Kegagalan pada terapi medis untuk mengontrol hiperparatiroidisme juga mengindikasikan untuk menjalani operasi. Umumnya, jika terjadi hiperparatiroidisme persisten berat dengan kadar hormon paratiroid lebih tinggi dari 800 pg/mL dan keadaan hiperkalsemia dan hiperfosfatemia walaupun dengan pengoreksian kadar kalsium dan fosfor, serta tebukti adanya kelainan pada tulang, paratiroidektoimi sebaiknya dipertimbangkan. 1. Intraoperatif Keempat kelenjar paratorid harus diperhatikan dan dibiopsi jika dibutuhkan untuk meyakinkan kebenaran identifikasi. Pada kebanyakan kasus, hyperplasia difus banyak ditemukan meskipun ukuran kelenjar dapat berbeda. Pilihan operasi dapat berupa paratiroidektomi total dengan autotransplantasi atau paratiroidektomi subtotal (3,5 kelenjar). Pada beberapa kasus harus dilakukan timektomi. Penelitian Rothmud, et al (1991) menyatakan pada paratiroidektomi subtotal kemungkinan dapat kembali terjadi hiperkalsemia dan membutuhkan eksplorasi ulang, sedangkan pada paratiroidektomi total tidak terjadi peningkatan kadar kalsium darah. Sekarang, kebanyakan lebih digunakan teknik paratiroidektomi total dengan autotransplantasi.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

34

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

Post-operatif a. Pada eksplorasi paratiroid, perlu dimonitor kadar kalsium setiap 12 jam sampai stabil. Keadaan hipokalsemia terjadi pada 24-72 jam post operasi. Pemberian terapi diindikasikan hanya jika terdapat gejala yang menyertainya. b. Jika terjadi keadaan hipoparatiroidisme persisten, berikan suplementasi oral dengan kalsium dan vitamin D. Calcium citrate atau calcium carbonate dapat dimulai 2 tablet 4 kali/hari. Beberapa pasien memerlukan lebih atau bahkan kurang dari itu. Dosis Calcitriol dimulai 1 mcg/hari untuk hari pertama, 0.5 mcg/hari untuk hari kedua, kemudian 0.25 mcg/hari untuk berikutnya. c. Jika dilakukan paratiroidektomi total dengan autotransplantasi, pasien harus diberikan terapi pemeliharaan untuk jangka waktu tertentu berupa

suplementasi calcium dan calcitriol. d. Jika terjadi kerusakan nervus yang ditunjukan dengan suara yang serak, mengindikasikan dilakukan laringoskopi. Jika terjadi paralysis plika vokalis, dilakukan operasi untuk memperbaiki kerusakan nervus. Reeksplorasi setelah 24-48 jam tidak dianjurkan mengingat resiko tinggi akibat inflamasi pada daerah operasi. e. Kedaruratan yang bersifat mengancam jiwa terjadi jika terdapat hematoma pada ruang pretrakeal. Komplikasi ini harus segera didiagnosis dan dilakukan evakuasi hematoma. Jika penanganan terlambat atau tidak dilakukan, dapat terjadi edema laring seingga akan terjadi obstruksi jalan nafas. Pada hematoma minimal tidak memerlukan penanganan operatif. f. Adanya kumpulan cairan pada subplatisma mungkin dapat terbentuk, dan dapat dilakukan aspirasi dan dapat diulang jika diperlukan, kadang diperlukan drainage untuk evakuasi cairan tersebut.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

35

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

V.7

Prognosis Pengobatan hiperparatiroidisme sekunder pada kebanyakan pasien berhasil.

Pasien yang menjalani pengangkatan kelenjar paratiroid mempunyai kira-kira 10% resiko kumatnya penyakit. Hal ini mungkin berkaitan dengan fungsi yang berlebihan atau hilangnya kelenjar dileher atau hiperplasia. Adakalanya pasien yang telah menjalani operasi, dapat mengalami hipoparatiroidisme persisten, sehingga pasien demikian membutuhkan suplementasi kalsium dan calcitriol seumur hidup.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

36

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

BAB VI PEMBAHASAN

Hiperparatiroid sekunder merupakan konsekuensi dari berkurangnya vit. D aktif yang dihasilkan oleh ginjal dan adanya retensi fosfat pada penderita penyakit ginjal kronis (PGK) yang ditandai dengan adanya hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan peningkatan kadar paratiroid hormon dalam darah. Abnormalitas metabolisme kalsium dan fosfat pada PGK telah banyak diteliti dan menunjukkan peranan penting dalam terjadinya renal osteodistrofi (mineral and bone disease). Hiperfosfatemia dan peningkatan produk CaxP berhubungan erat dengan resiko kematian pada pasien PGK, oleh karena itu kondisi hiperparatiroidisme harus dicegah dan dikelola sejak stadium predialisis dengan pengaturan diet rendah fosfat, pemberian kalsium atau vitamin D. Kelenjar paratiroid yang mengalami hiperplasia lambat laun dapat mengalami otomatisasi produksi hormon paratiroid, maka terjadi keadaan hiperparatiroidisme tersier yang bermanifestasi penumpukkan kalsium yang cepat dan sulit terkendali, keadaan ini disebut sebagai kalsifikasi metastatik Paratiroidektomi yang dilakukan bila terapi medikamentosa gagal. Kalsium Kalsium terutama terdapat di tulang belulang, 99% terikat dengan kristal hydroxyapatite. Hanya 1% Ca yang berada di luar tulang belulang dan hanya 1% pula Ca yang dapat dipertukarkan dalam sistem resevoir extra dan intra selular.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

37

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

Ca terutama diabsorbsi di duodenum, jejunum, dan ileum. Ca bergerak melalui brush border dengan konsentrasi tingginya, lalu difasilitasi oleh calcitriol menuju ke dalam sel dan berikatan dengan protein. Selanjutnya ditransfer melewati membran basolateral melewati perbedaan konsentrasi yang tinggi, memakai Ca-ATPase atau melalui Na untuk menjalani mekanisme pertukaran. Ca difiltrasi di glomerulus dan selanjutnya direabsorbsi sekitar 98%, sehingga yang keluar dari urine adalah sekitar 4 mmol/hari. Absorbsi di tubuli sebanyak 65% dan tidak dipengaruhi hormon. 25% di Loop of Henle, reabsorbsi aktif di tubuli distal, dipengaruhi oleh PTH. Di tubuli pengumpul, reabsorbsi sangat sedikit. Thiazide meningkatkan, sedangkan furosemide mengurangi reabsorbsi. Regulasi kadar Ca serum ini terlaksana dengan adanya interaksi antara absorbsi di usus, perubahan tulang, fungsi ginjal, PTH serta 1,25(OH)2D3. Metabolisme Ca pada PGK: Berkurangnya masa di ginjal pada PGK membuat jumlah sel tubuli proximal berkurang. Hal ini dapat membuat sintesis dari 1,25 (OH)2D3 (Calcitriol) berkurang sebagaimana juga berkurangnya ekskresi P dan H+. Kurangnya calcitriol menyebabkan kurangnya kemampuan absorbsi Ca di usus sehingga dapat menyebabkan kurangnya kadar Ca darah. Bila kreatinin sudah mencapai >2,5 m/dL maka dengan asupan normal, absorbsi fraksional Ca adalah 17%, dibanding dengan 25% dalam keadaan normal. Biasanya asupan pun berkurang, akan tetapi bila asupan berkurang, absorbsi selalu bertambah baik. Keadaan hipokalsemia bersamaan dengan retensi P akan menjurus kepada timbulnya hiperparatiroidisme sekunder.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

38

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

Phospor Phospor memiliki fungsi vital dalam berbagai fungsi fisiologik tubuh seperti perkembangan tulang belulang, metabolisme mineral, bagian phospolipid dari dinding sel, cell signating, agregasi platelet dan transfer energi melalui metabolisme mitokondria. Oleh karena sedemikian penting, maka homeostasis P mempertahankan kadar serum phospor pada kisaran 2,5-4,5 mg/dl. Jumlah seluruh P dalam tubuh adalah sekitar 700 g, 85% berada dalam tulang belulang, 14% dalam intraseluler, sementara hanya 1% dalam ekstraseluler. Dari yang ada di ekstraseluler, 70% adalah bentuk organik, terkandung dalam phospolipid dan 30% adalah inorganik. Dari inorganik ini, 15% terikat pada protein dan 85% terikat dengan Na, Mg, Ca, atau beredar dalam bentuk mono atau atau dihidrogen bebas. Sekitar 60-70% P dalam makanan di absorbsi di seluruh segmen saluran cerna, baik secara aktif maupun pasif. Absorbsi aktif dipengaruhi oleh calcitriol, yang dapat meningkatkan Na-P-Cotransporter dan dengan demikian meningkatkan absorbsi P. Absorbsi pasif dipengaruhi oleh kadar yang tinggi dalam lumen usus melalui Na-PCotransporter yang ada di brush border epitel usus. P inorganik dalam darah hampir seluruhnya difiltrasi di glomerulus. Selanjutnya 70-80% direabsorbsi lagi di tubulus proximal, sisanya di reabsorbsi di tubulus distal. Ekskresi P ditentukan oleh tingginya kandungan P plasma dan hormon paratiroid (PTH). Metabolisme P pada PGK: Akibat kegagalan ginjal dalam mengekskresi fosfat, meningkatnya asupan fosfat, atau pelepasan fosfat dari ruang intrasel maka akan menyebabkan peningkatan kadar P dalam darah. Meskipun terjadi progresifitas insufisensi ginjal, namun ginjal masih mampu mempertahankan keseimbangan fosfat sampai klirens kreatinin 20-25
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

39

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

ml/menit. Namun apabila kreatinin klirens sudah mencapai 15 ml/menit makan hiperfosfatemia sudah dapat terjadi. Penurunan eksresi ginjal menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum, yang akan menekan produksi kalsitriol dan 1hidroksilase. Menurunnya kalsitriol akan menurunkan absorbsi kalsium yang menyebabkan hipokalsemia. Hipokalsemi, rendahnya kadar kalsitriol, dan hiperfosfatemi memberikan kontribusi terhadap peningkatan sekresi HPT yang akan meningkatkan kadar HPT serum (hiperparatiroid sekunder). Efek dari peningkatan HPT adalah: efek fosfaturik (namun pada kondisi gagal ginjal hal ini tidak terjadi), mobilisasi kalsium dari tulang ke darah dengan cara merangsang osteoklas, mengurangi ekskresi kalsium oleh ginjal dengan meningkatkan reabsorbsi kalsium di tubuli renalis, dan meningkatkan hidroksilasi 25(OH)2D menjadi kalsitriol.

Hiperparatiroidisme sekunder Hiperaratiroid sekunder adalah kadar hormon paratiroid lebih dari kadar normal pada PGK. Kadar HPT pada populasi normal ialah 10,4-68 pg/ml. Pada PGK, nilai ini bervariasi karena adanya peningkatan resistensi skelet terhadap HPT, sehingga kadar optimalnya tergantung derajat PGK. Tiga faktor yang memegang peranan pada patogenesis hiperparatiroid sekunder adalah ion kalsium serum, kalsitriol, dan fosfat serum. Pada PGK stadium predialisis, terjadi gangguan metabolisme vit. D, penurunan kadar kalsitriol, dan penurunan kadar kalsium yang sedang yang mengakibatkan peningkatan sintesis dan sekresi HPT. Dengan progresifitas penyakit terjadi penurunan jumlah reseptor vit. D (VDR) dan reseptor kalsium (CaR). Penurunan jumlah kedua reseptor tersebut menyebabkan kelenjar paratiroid lebih resisten terhadap HPT.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

40

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

Gambar 4. Mekanisme terjadi hiperparatiroid sekunder

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

41

Hiperparatiroid sekunder pada Penyakit Ginjal Kronik (030.07.095)

Fransiscus Ronaldo

BAB VII KESIMPULAN

Adanya pengurangan masa ginjal pada PGK dengan penurunan LFG, mengakibatkan defisiensi calcitriol, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia. Kedua keadaan, hipokalsemia dan hiperfosfatemia ini akan merangsang proliferasi sel paratiroid dan menyebabkan peningkatan HPT. Interaksi ini diperkuat dengan adanya defisiensi vitamin D, hiperfosfatemia juga akan memberikan pengaruh pada dinding pembuluh darah dan bermuara terjadinya kalsifikasi otot pembuluh darah dan selanjutnya terjadi aterosklerosis dan arteriosklerosis, yang dapat meningkatkan mortalitas kardiovaskular. Selanjutnya hiperparatiroid, dengan peningkatan HPT darah dapat mengakibatkan terusiknya tulang dengan mobilisasi Ca-phospat dalam upaya tubuh mengatasi hipokalsemia. Akan tetapi peningkatan kadar Ca darah, dalam keadaan kadar phospat juga tinggi, dapat sedemikian sehingga membuat perkalian CaxP menjadi lebih dari 55. Ini akan berakibat terjadinya kalsifikasi, baik di tulang sendiri, osteodistrofi renal, maupun dijaringan lunak. Dengan demikian, pada PGK, baik sebelum dialisa mauun sesudah dialisa, maka pengurangan asupan P, berupa pengurangan asupan protein dan pemberian pengikat phospat merupakan cara dasar untuk mengatasi gangguan homeostasis Ca dan P. Pemberian vit. D juga terbukti cukup bermakna.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Daerah Kota Semarang Periode 21 November 2011 s/d 28 Januari 2012

42

You might also like