You are on page 1of 78

JMEI

Jurnal
Material dan Energi Indonesia
Volume 01, Nomor 01, Tahun 2011
ISSN: 2087-748X
http://jmei.phys.unpad.ac.id
Diagram film tipis untuk sel surya
(lihat halaman 7)
i


JMEI
Jurnal
Material dan Energi Indonesia
Volume 1 No. 1 28 Februari 2011





Penanggung Jawab
Ketua Jurusan Fisika FMIPA Unpad

Ketua Editor:
Fitrilawati, Jurusan Fisika FMIPA Unpad

Editor Pelaksana :
Irwan Ary Dharmawan, Jurusan Fisika FMIPA Unpad
Sahrul Hidayat, Jurusan Fisika FMIPA Unpad

Editor:
Yudi Rosandi, Unpad
Risdiana, Unpad
Darmawan Hidayat, Unpad
Hendra Grandis, ITB
Bambang Prijamboedi, ITB
Darminto, ITS
Evvy Kartini , BATAN
Taufik, California Polytechnic State University (Calpoly)
Luis Sandoval, Lawrence Livermore National Laboratory (LLNL)
Kazuki Ohishi (RIKEN)
Jurnal Material dan Energi Indonesia
(JMEI) merupakan jurnal ilmiah yang
memuat hasil-hasil penelitian yang
mencakup kajian teoretik, simulasi
dan modeling, eksperimen, rekayasa
dan eksplorasi dalam bidang Material
dan Energi. Jurnal ini terbit secara
berkala sebanyak tiga kali dalam
setahun (Februari, Juni dan Oktober).
Redaksi menerima naskah ilmiah hasil
penelitian, pikiran dan pandangan,
review, komunikasi singkat dalam
bidang material dan energi. Petunjuk
penulisan artikel tersedia di dalam
setiap terbitan dan secara online.
Artikel yang masuk akan melalui
proses seleksi mitra bebestari dan
disetujui oleh dewan editor.


Biaya Penerbitan: Rp. 300.000 per artikel
Harga langganan (termasuk ongkos kirim per eksemplar)
Untuk Pemesanan atas nama Pulau Jawa Luar Jawa
Lembaga Rp. 75.000,- Rp. 85.000,-
Perorangan Rp. 50.000,- Rp. 60.000,-

Penerbit: Jurusan Fisika FMIPA Unpad
Terbit pertama kali: Februari 2011
Terbit tiga kali setahun (Februari, Juni, Oktober)

Alamat Editor:
Sekretariat Jurnal Material dan Energi Indonesia (JMEI)
Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Jatinangor Sumedang 45363
Telpon: 022 779 6014, Fax: 022 779 2435
Alamat email jurnal: jmei@phys.unpad.ac.id
Website: http://jmei.phys.unpad.ac.id
ii


JMEI
Jurnal
Material dan Energi Indonesia
Volume 1 No. 1 28 Februari 2011





Daftar Isi

Hal

Sintesis Nanopartikel Fe
3
O
4
dengan Template PEG-1000 dan Karakterisasi 1 6
Sifat Magnetiknya
Febie Angelia Perdana, Malik Anjelh Baqiya, Mashuri, Triwikantoro, Darminto

Sel-Surya Polimer: State of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas 7 14
Padjadjaran
Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati

Realisasi dan Analisis Sumber Energi Baru Terbarukan Nanohidro dari 15 21
Aliran Air Berdebit Kecil
Warsito, Sri Wahyu Suciati, D. Wahyudi, Wildan Khoiron

Studi Eksperimental Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut 22 30
Kemiringan Untai pada Kasus Sirkulasi Alamiah Menggunakan Untai
Simulasi Sirkulasi Alamiah (USSA-FT01)
Mulya Juarsa, Arief Goeritno, Asep Suheri, Iwan Sumirat, Dewanto Saptoadi,
Andika Nurcahyo

Estimasi Distrubusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoar 31 39
Panas Bumi
Alamta Singarimbun, Robi Irsamukhti
Karakteristik Fotodioda dan Sel Surya Hibrid Berbasis Polimer 40 46
Poli(alkil tiofen)
Rahmat Hidayat, Annisa Aprilia, Priastuti Wulandari, Herman

Simulasi Lattice Boltzman untuk Menentukan Konsentrasi Polarisasi 47 58
pada Solid Oxide Fuel Cell
Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto

Penelitian Bahan Termoelektrik bagi Aplikasi Konversi Energi di 59 71
Masa Mendatang
Inge M. Sutjahja
iii

Kata Pengantar

Dalam penerbitan perdana, Jurnal Material dan Energi Indonesia (JMEI) Volume 1
Nomor 1 tahun 2011 menyajikan delapan buah artikel yang terdiri dari empat buah artikel
kontribusi dan empat buah artikel yang merupakan makalah terpilih pada kegiatan Simposium
Nasional Energi (SNE 2010). Dari makalah kontribusi terdapat artikel tentang nanopartikel
magnetik, sumber energi terbarukan nano hidro, karakteristik fotodioda dan sel surya hibrid
berbasis polimer polialkiltiofen, dan review singkat tentang bahan termoelektrik untuk aplikasi
konversi energi. Dari makalah terpilih SNE2010 terdapat artikel tentang perkembangan penelitian
sel surya polimer, studi eksperimental laju aliran massa air berdasarkan data perubahan temperatur
pada bagian dingin dan bagian panas di untai USSA FT-01, estimasi parameter fisis reservoar
panas bumi, dan simulasi lattice Boltzman untuk fuel cell.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada kontributor JMEI edisi perdana. Semoga
artikel-artikel dalam jurnal edisi nomor ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan penelitian
bidang material dan energi di Indonesia.


Dewan Redaksi


Jurnal Material dan Energi Indonesia
Vol. 01, No. 01 (2011) 1 6
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
1
SINTESIS NANOPARTIKEL Fe
3
O
4
DENGAN TEMPLATE PEG-1000 DAN
KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIKNYA
FEBIE ANGELIA PERDANA, MALIK ANJELH BAQIYA, MASHURI, TRIWIKANTORO, DARMINTO


Jurusan Fisika,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
diterima 27 Oktober 2010
revisi 4 Februari 2011
dipublikasikan 28 Februari 2011
Abstrak. Nanopartikel Fe3O4 telah berhasil disintesis menggunakan metode kopresipitasi dengan
penambahan polietilen glikol (PEG)-1000 sebagai template. Ukuran partikel, distribusi dan sifat magnetik
dari partikel nano ini diteliti berdasarkan perbandingan volume larutan dan PEG, yaitu 1:1, 1:2 dan 1:4.
Ukuran kristal dari nanopartikel menurut uji dan analisis data XRD menurun dengan bertambahnya kadar
PEG-1000, yang dikonfirmasi dengan pengamatan ukuran partikel dengan TEM. Nilai medan koersivitas dan
magnetisasi remanen nanopartikel Fe3O4 bervariasi bergantung pada ukuran kristalnya.
Kata kunci : Nanopartikel Fe
3
O
4
, Polietilen Glikol (PEG-1000)
Abstract. Fe3O4 nanoparticles have successfully been synthesized using coprecipitation method employing
polyethylene glycol (PEG)-1000as templates. Particle size and its distribution as well as magnetic properties
were examined with respect to the volume fraction of starting materials and PEG, namely 1:1, 1:2 and 1:4.
Crystallite size of nanoparticles according to XRD spectra analyses which was confirmed by TEM
observation decreases with increasing PEG-1000 content. Further, coercive field and remanent
magnetizations of Fe3O4 nanoparticles were obtained to be somewhat strongly dependent on its crystallite
size.
Keywords : Fe
3
O
4
Nanoparticle, Polyethylene Glycol (PEG-1000)
1. Pendahuluan
Nanopartikel magnetik kini intensif dikembangkan karena sifatnya yang menarik dalam
aplikasinya dalam berbagai bidang, seperti fluida dan gel magnetik, katalis, pigmen pewarna, dan
diagnosa medik. Beberapa sifat nanopartikel magnetik ini bergantung pada ukurannya. Sebagai
contoh, ketika ukuran suatu partikel magnetik di bawah 10 nm, akan bersifat superparamagnetik
pada suhu ruang, artinya bahwa energi termal dapat menghalangi anisotropi energi penghalang
dari sebuah nanopartikel tunggal. Karena itu, sintesis nanopartikel yang seragam dengan mengatur
ukurannya menjadi salah satu kunci masalah dalam ruang lingkup sintesis ini [1].
Salah satu zat yang dapat dipakai untuk membentuk dan sekaligus mengontrol ukuran dan struktur
pori dari partikel adalah polietilen glikol (PEG). Dalam peran ini PEG dapat berfungsi sebagai
template, yang membungkus partikel sehingga tidak terbentuk agregat lebih lanjut, dikarenakan
PEG menempel pada permukaan partikel dan menutupi ion positif yang bersangkutan untuk
bergabung dan membesar, sehingga pada akhirnya akan diperoleh partikel dengan bentuk bulatan
yang seragam. Akan tetapi, agar dapat bekerja sesuai dengan fungsinya, diperlukan PEG dengan
panjang molekul dan jumlah yang tepat; misalnya, untuk PEG 2000 diperlukan sekitar 200 % dari
jumlah bahan yang ditambahkan [2].

email : darminto@physics.its.ac.id
2 Febie Angelia Permana dkk

Dalam tulisan ini dilaporkan kegiatan sintesis dan karakterisasi struktur serta sifat magnetik
nanopartikel Fe
3
O
4
dengan template PEG-1000. Fe
3
O
4
disintesis dari pasir besi (ferit alami)
dengan metoda kopresipitasi. Hasilnya akan dibandingkan lebih lanjut dengan hasil sintesis Fe
3
O
4
menggunakan PEG-400 dari penelitian sebelumnya [3].
2. Eksperimen
Pasir besi yang telah diekstrak [4] dilarutkan dalam HCl 12 molar sebanyak 35 ml pada suhu
~70 C dan diaduk selama 15 menit dengan pengaduk magnetik. Setelah larutan homogen
dilakukan penyaringan dengan kertas saring. PEG-1000 yang berbentuk padatan, dipanaskan dan
dilelehkan pada suhu 40 C. PEG-1000 yang sudah mencair ditambahkan dalam larutan dengan
variasi perbandingan volume 1:1, 1:2 dan 1:4, lalu diaduk. Ke dalam larutan ditambahkan NH
4
OH
12 molar sebanyak 30 ml sambil terus diaduk dan dipanaskan pada suhu ~70 C. Endapan Fe
3
O
4

yang terbentuk (berwarna hitam pekat) dipisahkan dari larutannya yang kemudian dicuci dengan
aquades berulang kali. Untuk mendapatkan serbuk nanopartikel Fe
3
O
4
, endapan dikeringkan dalam
oven pada suhu sekitar 70 C selama 5 jam, yang kemudian dikarakterisasi dengan X-Ray
diffractometer (XRD), transmission electron microscope (TEM) dan vibrating sample
magnetometer (VSM).











Gambar 1. Pola XRD sampel Fe3O4 dengan : (a) tanpa PEG-1000 dan penambahan PEG (b) 1:1
(c) 1:2 (d) 1:4.
3. Hasil dan Pembahasan
Gambar 1 menunjukkan pola XRD dari sampel Fe
3
O
4
tanpa penambahan PEG-1000 dan dengan
perbandingan penambahan PEG-1000 yang bervariasi. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa
terbentuk puncak yang semakin lebar dengan bertambahnya volume PEG-1000, yang
menunjukkan bahwa ukuran kristalnya semakin kecil. Berdasarkan hasil analisis menggunakan
program search- match dan analisis kualitatif menggunakan metode Hanawalt, bahwa sampel
mengandung 100% fasa Fe
3
O
4
, yang ditunjukkan oleh puncak-puncak difraksi dengan indeks
Miller. Ini berarti tidak ditemukan adanya fasa PEG dalam sampel, yang menandakan bahwa PEG-
1000 tidak ikut bereaksi dan hanya bertindak sebagai template saja.
Ukuran kristal masing-masing sampel dapat ditentukan salah satunya menggunakan program
Material Analysis Using Diffraction (MAUD) dengan data ICSD No. 82237 (a = 8,3873 ). Tabel
1 menunjukkan ukuran kristal dari masing-masing sampel. Sampel Fe
3
O
4
tanpa penambahan PEG-
1000 mempunyai ukuran kristal yang lebih besar dibandingkan sampel dengan penambahan PEG-
Sintesis Nanopartikel Fe3O4 dengan Template PEG-1000 dan Karakterisasi Sifat Magnetiknya 3

1000. Dari Tabel 1 dapat pula dilihat bahwa semakin besar konsentrasi penambahan PEG-1000,
semakin kecil ukuran kristal yang didapatkan.
Tabel 1. Ukuran kristal masing-masing sampel
Sampel Ukuran Partikel (nm)
Fe3O4 10,9 0,3
Fe3O4 dengan PEG 1:1 7,3 0,1
Fe3O4 dengan PEG 1:2 6,5 0,1
Fe3O4 dengan PEG 1:4 7,5 0,1

Tabel 2. Nilai rata-rata ukuran kristal Fe3O4 dengan penambahan PEG-400 [3]
PEG 400
(mol)
Ukuran Rata-rata Kristal (nm)
0,023 9,4 3,5
0,050 11,5 2,4
0,075 16,3 5,1
Hasil ini jauh berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, yaitu dengan
penambahan PEG-400 [3]. Pada penambahan PEG-400 menyebabkan ukuran kristal Fe
3
O
4

semakin besar. Perbedaan hasil ini kemungkinan diakibatkan oleh banyaknya rantai yang
terkandung dalam masing-masing PEG. PEG-400 yang mempunyai berat molekul rata-rata 400
g/mol mempunyai derajat polimerisasi sebesar 9 sedangkan PEG-1000 dengan berat molekul rata-
rata 1000 g/mol mempunyai derajat polimerisasi sebesar 23. Derajat polimerisasi menyatakan
banyaknya jumlah mer atau panjang rantai yang terkandung dalam PEG. Sehingga, PEG-1000
mempunyai rantai yang lebih panjang dibanding PEG-400. Panjang rantai ini menyebabkan
semakin banyak partikel Fe
3
O
4
yang terjebak di dalam rantai PEG sehingga pertumbuhan kristal
terbatasi atau terhalangi. Karena pertumbuhanya terhambat, ukuran kristal Fe
3
O
4
semakin kecil.
Pada penelitian sebelumnya, pembuatan nanopartikel Fe
3
O
4
juga dilakukan dengan perbandingan
volume PEG-1000 dengan H
2
O. Agar diperoleh ukuran yang efektif atau pembentukannya tidak
menurun, konsentrasi pembentukan maksimumnya diperoleh dengan perbandingan 1:3. Hal ini
diakibatkan viskositas yang tinggi dengan kandungan PEG yang tinggi. Penambahan PEG-1000
menghasilkan nanopartikel Fe
3
O
4
yang berbentuk nanorod dengan diameter 200 nm dengan
panjang 2-3 m [5].
PEG-1000 berpengaruh terhadap distribusi ukuran partikel Fe
3
O
4
. Hal ini disebabkan PEG-1000
yang berfungsi sebagai template juga berperilaku sebagai surfaktan. Surfaktan merupakan senyawa
yang mempunyai dua ujung, yang satu bersifat hidrofilik atau suka air dan ujung yang lain bersifat
hidrofobik atau penolak air. PEG yang merupakan sebuah oligomer yang mempunyai rantai
seragam pendek, dapat dengan mudah diserap pada permukaan koloid metal oksida. Salah satu
ujung rantai PEG yang bersifat hidrofilik akan menempel pada permukaan koloid magnetit dan
ujung yang bersifat hidrofobik bebas. Pelapisan oleh PEG pada permukaan koloid menyebabkan
pertumbuhan terhambat karena ruang gerak partikel terhalang oleh adanya PEG. Penambahan
PEG-1000 juga menyebabkan persebaran ukuran kristalnya terlihat lebih monodisperse
dibandingkan partikel tanpa penambahan PEG-1000 yang mempunyai persebaran ukuran kristal
lebih polidisperse dalam Gambar 2.
4 Febie Angelia Permana dkk










Gambar 2. Distribusi ukuran kristal menurut data XRD sampel Fe3O4 tanpa PEG-1000, dan
dengan penambahan PEG : 1:1, 1:2, dan 1:4.
Gambar 3 menunjukkan foto TEM dari masing-masing sampel. Dari gambar tersebut dapat dilihat
bahwa semua sampel memiliki morfologi yang sama yaitu bulat (spherical). Hal ini berbeda
dengan hasil penelitian sebelumnya [5] yang berbentuk nanorod. Hasil ini mungkin disebabkan
seluruh permukaan nanopartikel Fe
3
O
4
terlapisi sempurna oleh PEG-1000, sehingga
pertumbuhannya terbatasi ke segala arah.

(a) (b) (c) (d)
Gambar 3. Foto TEM sampel Fe3O4 dengan : (a) tanpa PEG-1000, dan penambahan PEG : (b)
1:1, (c) 1:2 (d) 1:4.
Sifat magnetik Fe
3
O
4
hasil pengukuran dengan VSM ditunjukkan dari Gambar 4. Dari gambar
tersebut dapat dilihat bahwa partikel Fe
3
O
4
dengan dan tanpa penambahan PEG-1000 tergolong
magnet lunak, karena dari kurva histeresis mempunyai urut balik yang hampir simetris ketika
dikenai medan magnet maupun ketika medan magnet ditiadakan. Atau dapat dilihat dari luasan
kurva histeresis yang sempit. Luasan kurva histeresis menunjukkan energi yang diperlukan untuk
megnetisasi. Pada magnet lunak, untuk magnetisasi memerlukan energi yang sangat kecil. Dari
Gambar 4 dapat dilihat juga bahwa dengan atau tanpa penambahan PEG-1000, nanopartikel Fe
3
O
4

tetap bersifat ferimagnetik; meskipun ukuran kristalnya di bawah 10 nm, yang dimungkinkan
berubah sifatnya menjadi superparamagnetik ditinjau dari ukurannya. Suatu bahan dapat dikatakan
bersifat superparamagnetik jika memiliki nilai H
c
yang sangat kecil (~0). Sementara itu, nilai H
c

dari masing-masing sampel dalam sintesis ini masih cukup besar.
Sintesis Nanopartikel Fe3O4 dengan Template PEG-1000 dan Karakterisasi Sifat Magnetiknya 5

Nilai magnetisasi remanen partikel Fe
3
O
4
tanpa penambahan PEG-1000 sebesar 18,1 emu/gr, lebih
tinggi dibandingkan Fe
3
O
4
dengan penambahan PEG-1000. Hasil ini juga berbeda dengan nilai
magnetisasi remanen Fe
3
O
4
dengan penambahan PEG-400 yang besarnya 12,5 emu/gr [6] yang
mempunyai ukuran kristal yang lebih besar dibandingkan dengan penambahan PEG-1000. Untuk
lebih jelasnya nilai medan koersivitas dan magnetisasi remanen dari masing-masing sampel
berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat pada Tabel 3.









Gambar 4. Kurva histeresis Fe3O4 tanpa dan dengan penambahan PEG-1000
Tabel 3. Nilai magnetisasi saturasi (Ms), medan koersivitas (Hc) dan magnetisasi remanen (Mr)
untuk masing-masing sampel
Sampel Hc
(Oe)
Mr
(emu/gr)
Fe3O4 -84 18,1
Fe3O4 dengan PEG 1:1 -100 15,7
Fe3O4 dengan PEG 1:2 -99 13,3
Fe3O4 dengan PEG 1:4 -97 13,7
Nilai medan koersivitas dan magnetisasi remanen dari partikel Fe
3
O
4
tanpa penambahan PEG-
1000 berbeda dibandingkan dengan penambahan PEG-1000 menghasilkan kecenderungan yang
berlawanan. Perbedaan ini cukup menarik mengingat ada sejumlah faktor yang menentukan secara
simultan. Dalam penelitian ini sifat magnetik belum dibahas secara tuntas dan masih memerlukan
kajian yang lebih mendalam. Namun demikian, jelas bahwa kekuatan magnetik partikel
dipengaruhi oleh ukurannya.
4. Kesimpulan
Pembuatan nanopartikel Fe
3
O
4
dengan metode kopresipitasi menghasilkan partikel dengan ukuran
10,9 0,3 nm. Penambahan PEG-1000 berpengaruh terhadap ukuran partikel yang dihasilkan.
Penambahan PEG-1000 menyebabkan ukuran nanopartikel Fe
3
O
4
menjadi lebih kecil sekitar 6,5
0,1 nm. Medan koersivitas dan magnetisasi remanen nanopartikel Fe
3
O
4
menurun dengan
menurunya ukuran kristal dengan kecenderungan yang masih memerlukan kajian lebih lanjut.

6 Febie Angelia Permana dkk

Ucapan terima kasih
Sebagian dari penelitian ini dibiayai oleh Hibah Tim Pascasarjana, DP2M DIKTI, tahun 2009
2010. Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. H. Sosiati untuk bantuan teknis
pengukuran dengan TEM.
Daftar Pustaka
1. Y. Aiguo, Journal Alloys and Compound 458 (2008) 487.
2. D. E. Zhang, et al., Journal of Magnetism and Magnetic Materials 292 (2005) 491.
3. M.A. Baqiya, T. Heriyanto, D. Kurniawan, M. Anwar, Darminto, Jurnal Sains Materi
Indonesia, 102 105, Oktober 2007.
4. D.M. Arisandi, D. Kurniawan, T. Hariyanto, Darminto, Pengaruh jenis surfaktan pada sifat
magnetik fluida magnetik berbasis pasir besi dan aplikasinya untuk pelapisan, Prosiding
Seminar Fisika dan Aplikasinya 2007, Jurusan Fisika FMIPA ITS, Surabaya, p. B3-1.
5. H. Kai, C-Y. Xu, L. Zhen, e-Z. Shao, Materials Letters 61 (2007) 303.
6. M. A. Baqiya dan Darminto, Jurnal Sains Materi Indonesia, 74 77, Desember 2009.




Jurnal Material dan Energi Indonesia
Vol. 01, No. 01 (2011) 7 14
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
7
SEL-SURYA POLIMER: STATE OF ART DAN PROGRES PENELITIANNYA DI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
AYI BAHTIAR

, ANNISA APRILIA, FITRILAWATI


Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21Jatinangor, Indonesia
diterima 3 November 2010
revisi 9 Februari 2011
dipublikasikan 28 Februari 2011
Abstrak. Sel-surya merupakan suatu piranti untuk mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik.
Perkembangan penelitian dan aplikasi sel-surya sebagai sumber energi listrik utama dimasa mendatang
sangat pesat, seiring berkurangnya sumber energi listrik berbahan bakar fosil dan masalah pencemaran
lingkungan. Sel-surya berbahan polimer semikonduktor atau sel-surya plastik merupakan salah satu kandidat
sel-surya masa depan, karena menawarkan kemudahan dalam proses sintesis bahan, fabrikasi, ringan dan
dapat diproduksi secara masal dan berbiaya murah. Sampai saat ini efisiensi sel-surya polimer mencapai 6
7% berbasis konsep bulk-heterojunction atau blend polimer dan fuleren, baik struktur tunggal maupun
tandem. Efisiensi ini masih relatif rendah dan perlu ditingkatkan untuk produksi masal dan komersialisasi.
Dalam makalah ini, akan dibahas tentang perkembangan sel-surya polimer di dunia dan progres penelitian
sel-surya polimer di Jurusan Fisika Universitas Padjadjaran. Penelitian telah dimulai tahun 2009, berbasis
bulk-heterojunction polimer poli(3-heksiltiofen, P3HT) dan turunan fuleren ([6,6]-phenyl-C61-butyric acid
methyl ester, PCBM) sebagai bahan aktif sel-surya. Berbagai pendekatan dilakukan untuk meningkatkan
kinerja sel-surya berupa aniling termal, penyisipan lapisan tipis optical spacer dan penambahan molekul
aditif dalam bahan aktif.
Kata kunci : sel-surya polimer, bulk-heterojunction, optical spacer, molekul aditif
Abstract. Solar cell is a device for converting sunlight into electricity. Research development and
application of solar cells for electricity source grows very fast, due to a decreasing of fossil energy sources
and environmental problems. Semiconducting polymer solar cells or plastic solar cells become a promising
candidate for future solar cells, because it offers the easy-ways of synthetic materials, fabrication process,
lightweight, and it can be fabricated with mass and low cost production. Currently, 67% efficiency is
achieved for polymer solar cells based on bulk-heterojunction concept or blend polymer with fullerene using
both single and tandem structure. However, this efficiency is still low and need to be improved for mass
production and commercialization. In this paper, we discuss the state of the art of polymer solar cells and its
research progress at Department of Physics Universitas Padjadjaran. Our research on polymer solar cells has
been started since 2009 using bulk-heterojunction of polymer poly(3-hexylthiophene, P3HT) and fullerenes
derivative fullerene ([6,6]-phenyl-C61-butyric acid methyl ester, PCBM) as an active material layer. Several
approaches such as thermal annealing, insertion of thin optical spacer layer, and addition of additive
molecule into active layer have been applied to improve the performance of solar cells
Keywords : polymer solar-cell, bulk-heterojunction, optical spacer, additive molecule
1. Pendahuluan
Semakin meningkatnya kebutuhan dan konsumsi energi listrik di Indonesia dan semakin mahalnya
harga bahan bakar minyak (BBM) dunia, mengakibatkan pasokan listrik di Indonesia semakin
tersendat. Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang menyediakan pasokan energi listrik di Indonesia
telah menerapkan kebijakan pemadaman begilir dan penghematan penggunaan energi listrik untuk
mengurangi beban daya PLN. Oleh karena itu, perlu dipikirkan pencarian sumber energi listrik
alternatif yang dapat digunakan secara massal dan berbiaya murah. Dalam 30 tahun mendatang,
sumber energi dari bahan fosil semakin berkurang sehingga penggunaan sumber energi alternatif,

email : ayi.bahtiar@phys.unpad.ac.id
8 Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati

seperti panas bumi, angin, biomasa, air, nuklir dan matahari semakin dibutuhkan [1]. Karenanya
kajian intensif pengembangan, penggunaan dan manajemen sumber energi listrik selain fosil,
sangat mendesak untuk segera dilakukan.
Sel-surya merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mengkonversi energi matahari
menjadi energi listrik, karena tidak memerlukan generator dan dapat ditangani secara individu.
Perkembangan industri pembuat modul sel-surya di dunia pun sangat meningkat tajam (46%) dari
tahun 2000 dan mencapai 1200 MW pada tahun 2004 dan terus berkembang sampai 30 tahun ke
depan dan pada tahun 2020 diharapkan bisa menghasilkan daya 200 GW [2]. Jumlah daya ini
sama dengan daya yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebanyak 200
buah.
Dewasa ini, material aktif untuk sel-surya umumnya adalah semikonduktor inorganik, seperti
Silikon (Si), Galium Arsenida (GaAs), Kadmiumselenium (CdSe) dan masih banyak lagi, dengan
efisiensi konversi bervariasi mulai dari 8% sampai 40% [2]. Namun, proses pembuatan sel-surya
berbahan aktif ini umumnya dibuat dalam bentuk film tipis menggunakan teknik efitaksi, sehingga
memerlukan biaya yang tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan sel-surya anorganik di Indonesia
sangat minim.
Tren penelitian sel-surya saat ini adalah menggunakan material organik dan polimer terkonjugasi.
Polimer terkonjugasi memiliki elektron- yang terdelokalisasi sehingga mampu menyerap sinar
matahari, membentuk pembawa-pembawa muatan, mentransport muatan-muatan tersebut dan
menghasilkan listrik [3,4]. Penelitian di bidang sel-surya berbahan aktif polimer terkonjugasi
sangat berkembang pesat, karena menawarkan proses pembuatan yang berbiaya murah, sederhana
dan dapat dihasilkan efisiensi konversi yang tinggi.
Polimer poli(3-heksiltiofen) atau P3HT merupakan material yang banyak dikaji sebagai bahan
aktif sel-surya polimer, karena memiliki struktur regio-reguler (RR) yang mampu menghasilkan
konduktivitas listrik yang tinggi, mudah larut dalam pelarut organik biasa, dan dapat dibuat dalam
bentuk film tipis dengan teknik sederhana, seperti spin-coating, dip-coating, inkjet printing dan
roll-to-roll printing [5]. Saat ini sel-surya dengan konsep bulk-heterojunction (BHJ) campuran
polimer P3HT sebagai donor elektron dan turunan metanofuleren (PCBM) sebagai akseptor
elektron banyak dikaji. Saat ini, efisiensi sel-surya mencapai 67% [6,7]. Efisiensi ini perlu
ditingkatkan minimal menjadi 10% untuk produksi masal dan komersialisasi. Berbagai cara
dilakukan untuk meningkatkan efisiensi sel-surya BHJ, diantaranya, penggunaan polimer baru [7],
kontrol morfologi lapisan aktif [8] dan optimasi struktur [6,7].
Dalam makalah ini, dibahas perkembangan penelitian sel-surya yang dilakukan di Jurusan Fisika
Universitas Padjadjaran, juga berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi melalui aniling termal,
penyisipan lapisan optical spacer dan penambahan molekul aditif dalam bahan aktif untuk
mengontrol morfologi lapisan aktif.
2. Eksperimen
Polimer regioregular poli(3-heksiltiofen) (RR > 90%) dan turunan metanofuleren PCBM (struktur
kimia, ditunjukkan pada Gambar 1), digunakan sebagai bahan aktif sel-surya. Kedua material
diperoleh dari Sigma Aldrich, yang digunakan langsung tanpa purifikasi.

Sel Surya Polimer: State of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas Padjadjaran 9







Gambar 1. Struktur kimia polimer P3HT dan PCBM
Sel-surya dibuat dengan struktur Gelas/ITO/PEDOT:PSS/P3HT:PCBM/Al, seperti ditunjukkan
pada Gambar 2. Lapisan ITO berfungsi sebagai anoda, lapisan PEDOT:PSS berfungsi sebagai
injeksi lubang (hole) dan lapisan Al sebagai katoda. Dalam eksperimen, kami menggunakan
campuran P3HT dan PCBM dengan rasio 1:1.










Gambar 2. Struktur sel-surya polimer dengan bahan aktif campuran P3HT dan PCBM.
Untuk sel-surya yang diberikan perlakuan aniling termal, sebanyak 10 mg P3HT dilarutkan dalam
1 ml klorobenzen dan diaduk sampai larutan homogen. 10 mg PCBM juga dicampur dengan 1 ml
klorobenzen diaduk sampai homogen. Kedua larutan, kemudian dicampurkan dan diaduk selama
18 jam pada temperature 50 C, sehingga rasio akhir P3HT:PCBM adalah 1:1. Sebelum digunakan,
larutan difilter dengan syringe-filter 0,45 m. Film tipis dibuat menggunakan spin coater dengan
kecepatan 800 rpm selama 20 detik. Film tipis kemudian dianil dengan suhu 150 C di dalam oven
yang divakumkan selama 30 menit. Aniling termal merupakan teknik umum yang digunakan
untuk mengembalikan keteraturan atau kristalinitas polimer P3HT yang terganggu akibat
kehadiran PCBM [9]. Lapisan Alumunium (Al) dibuat dengan teknik evaporasi termal. Sifat optik
film tipis diukur dengan menggunakan spektroskopi UV-Vis. Karakteristik sel-surya diukur
dengan mengukur arus listrik dari piranti ketika diberi tegangan panjar maju. Sebagai sumber
cahaya, digunakan lampu Halogen atau Xenon.
Untuk sel-surya yang menggunakan lapisan tipis optical spacer, kami menggunakan lapisan
titanium sub-oksida (TiO
X
) yang disisipkan di antara lapisan aktif dan lapisan Alumunium.
Lapisan TiO
X
dibuat dengan teknik spin-coating, sedangkan material TiO
X
dibuat dengan teknik
sol-gel suhu rendah [7]. Lapisan TiO
X
dispin-coating di atas lapisan aktif, kemudian dianil pada
suhu 150 C selama 30 menit.
Untuk sel-surya yang menggunakan molekul aditif sebagai campuran pada pelarut bahan aktif,
digunakan molekul 1,8-diiodooktan (DIO). Sebanyak 3% molekul aditif DIO dicampurkan dengan
larutan P3HT:PCBM dalam klorobenzen yang sudah diaduk hingga homogen. Larutan difilter
Gelas
ITO
PEDOT-PSS
P3HT:PCBM
+ -
PCBM
P3HT
Gelas
ITO
PEDOT-PSS
P3HT:PCBM
+ -
PCBM
P3HT
10 Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati

in
SC OC
P
FF * I * V
=
OC SC
MPP MPP
V * I
V * I
FF =
dengan syringe filter 0,45 m, sebelum dibuat film tipis. Struktur sel-surya yang dibuat adalah
seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2. Ada 3 sampel sel-surya yang dibuat yaitu sel-surya
tanpa perlakuan aniling termal (Sampel A), dianil termal pada suhu 100 C selama 30 menit
(Sampel B), dan sel-surya yang dianil termal pada suhu 100 C selama 30 menit (Sampel C).
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Sel-Surya dengan Aniling Termal
Kurva karakteristik sel-surya dengan lapisan aktif blend P3HT:PCBM (1:1) yang dianil termal
pada suhu 150 C dalam keadaan disinari dengan lampu Xenon dengan intensitas 177 mW/cm
2

ditunjukkan pada Gambar 3. Luas area sel-surya adalah 4 mm
2
.









Gambar 3. Kurva karakteristik sel-surya dalam keadaan gelap dan disinari.
Dari kurva karakteristik arus-tegangan di atas, diperoleh parameter-parameter sebagai berikut:
tegangan hubung-terbuka, V
OC
= 0,3 Volt, rapat arus hubung singkat, J
SC
= 5,275 A/cm
2
, rapat
arus pada daya maksimum, J
MPP
= 4,675 A/cm
2
, tegangan pada daya maksimum, V
MPP
= 0,2 Volt,
maka faktor pengisi (fill-factor, FF) dan efisiensi konversi () diperoleh 0,59 dan 0,0005%,
berdasarkan persamaan :

(1)

(2)

Nilai efisiensi konversi ini masih sangat kecil dibandingkan dengan efisiensi yang saat ini dicapai
pada sel-surya P3HT:PCBM, yaitu 5%. Hal ini diakibatkan oleh nilai tegangan terbuka V
OC
yang
lebih kecil dari seharusnya yaitu ~0,63 Volt. Arus yang kecil diakibatkan oleh tingginya nilai
hambatan seri dari sel-surya, yang berasal dari belum optimumnya morfologi lapisan aktif dan
masalah homogenitas antarmuka (interface) antar lapisan di dalam sel-surya. Di samping itu, sel-
surya ini dibuat dalam lingkungan yang lembab, sehingga mengakibatkan penetrasi oksigen ke
dalam lapisan aktif selama spin-coating dan evaporasi Alumunium. Akibatnya elektron-elektron
yang dihasilkan oleh proses fotogenerasi akan diserap, sehingga arus listrik yang sampai ke katoda
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
Gelap
Disinari


J

[

A
/
c
m
2
]
V [Volt]
Sel Surya Polimer: State of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas Padjadjaran 11

(Al) kecil. Faktor lainya yang menyebabkan rendahnya efisiensi adalah nilai FF yang kecil. Nilai
FF yang kecil diakibatkan oleh degradasi sel-surya selama pengukuran. Hasil pengukuran pada
sel-surya pristin tanpa diberikan tegangan panjar maju, diperoleh rapat arus J
SC
= 37,5 A/cm
2
.
Namun arus listrik terus berkurang selama pengukuran akibat degradasi karena foto-oksidasi
polimer. Efek degradasi ini menjadi perhatian khusus bagi sel-surya polimer, karena pengurangan
panjang konjugasi polimer akibat oksidasi sehingga arus yang mengalir menjadi berkurang.
Dengan menggunakan teknik enkapsulasi, kelompok N.S. Sariciftci dkk [10] berhasil membuat
sel-surya polimer blend MDMO-PPV:PCBM, dan kelompok Brabec dkk dari Konarka dengan sel-
surya blend P3HT:PCBM tanpa mengalami penurunan efisiensi dalam waktu 1 tahun yang diuji
coba diatas atap gedung [11]. Salah satu cara untuk mengatasi efek degradasi, di samping
enkapsulasi, juga sebaiknya pembuatan sel-surya dan pengukuran karakteristiknya dilakukan di
dalam Glove-Box yang dialiri gas Nitrogen, sehingga efek oksidasi dapat dikurangi. Di samping
itu, arus yang kecil dapat diakibatkan oleh kontak yang buruk antara lapisan aktif dan katoda.
3.2. Sel-Surya dengan Lapisan Optical Spacer TiOX
Gambar 4 memperlihatkan pengaruh penyisipan lapisan tipis optical spacer TiO
X
terhadap
parameter-parameter sel-surya: V
OC
, J
SC
, FF dan . Efisiensi sel-surya yang disisipi lapisan TiO
X

lebih tinggi daripada sel-surya tanpa lapisan TiO
X
[12]. Hal ini menunjukkan bahwa penyisipan
optical spacer meredistribusi intensitas cahaya di dalam sel-surya akibat perubahan interferensi
optis antara cahaya datang dan cahaya yang dipantulkan Alumunium [13], sehingga maksimum
absorpsi terjadi di dalam lapisan aktif. Akibatnya, jumlah arus fotogenerasi dan efisiensi
meningkat.
Namun, jika lapisan TiO
X
dipertebal, maka semua parameter sel-surya akan berkurang. Lapisan
TiOx yang lebih tebal akan menurunkan efisiensi sel-surya akibat meningkatnya resistansi seri
(R
S
) sel-surya. Dalam Gambar 4 jelas, bahwa kinerja sel-surya optimum jika ketebalan lapisan
TiO
X
di bawah 10 nm. Hasil ini sesuai dengan studi sebelumnya oleh Hayakawa dkk [14], yang
mengkaji efek penyisipan lapisan TiOx terhadap resistansi paralel (R
P
) dan resistansi seri (R
S
) sel-
surya, menggunakan inverse gradien dari kurva I-V pada keadaan hubung terbuka dan hubung
singkat. Hayakawa dkk menemukan bahwa penyisipan lapisan TiOx meningkatkan nilai R
P

sebesar 5 orde dan nilai R
S
hanya berubah sedikit, jika ketebalan lapisan TiOx di bawah 10 nm.
Dengan demikian, meningkatnya nilai V
OC
akibat dari meningkatnya nilai resistansi paralel.
3.3. Sel-Surya dengan Molekul Aditif
Spektra absorbansi lapisan tipis P3HT murni dan P3HT:PCBM yang ditambahkan 3% volume
molekul aditif 1,8-diiodooktan (DIO) tanpa perlakuan dan dengan perlakuan aniling termal 100 C
dan 150 C selama 30 menit di dalam oven vakum, ditunjukkan pada Gambar 5. Pada spektrum
film tipis P3HT murni, terdapat puncak-puncak vibronik pada panjang gelombang 515 nm dan 550
nm, yang merupakan transisi * dan pada 600 nm yang merupakan ciri dari adanya agregat atau
interaksi antar rantai polimer. Munculnya puncak-puncak ini mengindikasikan bahwa polimer
P3HT membentuk struktur kristal berbentuk lamela [15].

12 Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati

Gambar 4. Grafik efek ketebalan lapisan TiOX terhadap parameter sel-surya (a). VOC, (b). FF, (c).
JSC, (d) efesiensi












Gambar 5. Spektra absorbansi film tipis P3HT murni, film tipis P3HT:PCBM (1:1) yang
dicampur 3% volume molekul ODT.
Penambahan sedikit molekul DIO tetap mempertahankan puncak-puncak vibronik di atas,
sehingga kehadiran molekul PCBM tidak menggangu kristalinitas polimer P3HT bahkan pada film
tipis tanpa perlakuan aniling termal. Hasil ini berbeda dengan film tipis tanpa molekul aditif,
dimana kehadiran PCBM mengganggu kristalinitas P3HT, sehingga diperlukan aniling termal
untuk mengembalikan kristalinitas P3HT di dalam film tipis campuran P3HT:PCBM [9].
Parameter-parameter sel-surya yang ditambahkan 3% molekul DIO ke dalam lapisan aktifnya
(P3HT:PCBM) diperlihatkan dalam Tabel 1. Tampak bahwa penambahan ODT, meningkatkan
rapat arus dan tegangan terbuka. Hal ini mungkin diakibatkan oleh separasi fasa antara P3HT dan
PCBM menjadi lebih jelas, sehingga meningkatkan efisiensi pemisahan eksiton dan transfer
muatan [8]. Akibatnya arus listrik meningkat. Namun, untuk mengkaji lebih jauh diperlukan foto
SEM atau TEM untuk melihat morfologi lapisan aktif sel-surya. Proses aniling termal,

0 20 40 60 80
4
6
8
d ( T iO
x
) [ nm]
V
o
c

(
m
V
)
(a )
( c )
0 20 40 60 80
0. 1
0. 2
0. 3
d (T iO
x
) [nm]
F
F
( b)
0 20 40 60 80
0. 1
0. 2
0. 3
d (T iO
x
) [nm]
J
s
c

(
m
A
/
c
m
2
)
0 20 40 60 80
0. 2
0. 4
0. 6
0. 8
1
[ 10
- 5
]
d (T iO
x
) [nm]
E
f
i
s
i
e
n
s
i

(
%
)
(d)
300 400 500 600 700
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
P3HT murni
setelah spin-coating
aniling 100
0
C
aniling 150
0
C


O
D

[
a
.
u
.
]
[nm]
Sel Surya Polimer: State of Art dan Progres Penelitiannya di Universitas Padjadjaran 13

menurunkan nilai dari semua parameter sel-surya yang diakibatkan oleh perubahan morfologi
lapisan aktif. Diperlukan kajian morfologi lebih lanjut untuk menjelaskan penurunan nilai
parameter sel-surya yang ditambahkan molekul ODT akibat aniling termal.
Tabel 1. Parameter-parameter sel-surya dengan penambahan molekul 3% volume ODT
Sampel
J
SC

[mA/cm
2
]
V
OC

[Volt]
FF
A 12,5 0,58 0,29
B 0,15 0,50 0,31
C 0,015 0,50 0,11
4. Kesimpulan
Telah dilakukan fabrikasi sel-surya berbahan aktif campuran P3HT:PCBM dengan rasio 1:1,
menggunakan beberapa perlakuan, yaitu aniling termal, penyisipan lapisan tipis optical spacer
TiO
X
, dan penambahan molekul aditif 1,8-diiodooktan pada larutan campuran P3HT:PCBM dalam
klorobenzen. Penyisipan lapisan tipis TiO
X
meningkatkan kinerja sel-surya akibat dari redistribusi
absorpsi cahaya sehingga maksimum absorpsi cahaya terjadi pada lapisan aktif. Ketebalan
optimum dari lapisan TiO
X
adalah 10 nm, jika lebih tebal menurunkan kinerja sel-surya akibat
bertambahnya resistansi seri sel-surya [16]. Penambahan molekul aditif DIO mempertahankan
kristalinitas P3HT pada lapisan aktif P3HT:PCBM, sehingga meningkatkan kinerja sel-surya.
Namun, kinerja sel-surya menurun akibat aniling termal. Perlu studi morfologi lebih lanjut, untuk
menjelaskan efek penambahan molekul aditif DIO pada morfologi lapisan aktif sel-surya, seperti
separasi fasa P3HT dan PCBM, pembentukan antar-rantai P3HT dan PCBM.
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Dikti (DIKTI) atas
suport dana penelitian ini melalui Penelitian Hibah Bersaing (PHB) Tahun 2010, berdasarkan SK
No. 710/H6.26/LPPM/PL/2010. Terima kasih juga untuk Andria Kurniawan, Ahmad Rosikhin
atas bantuannya dalam eksperimen.
Daftar Pustaka
1. W. Hoffmann, and L. Waldmann, PV Solar Electricity: From a Niche Market to One of the
Most Mainstream Markets for Electricity, in High-Efficient Low-Cost Photovoltaics ; Recent
Development, edited by Petrova-Koch, R. Hezel, and A. Goetzberger, Berlin : Springer Verlag
GmbH, 2009, pp. 29-43.
2. G. Dennler, N. S. Sariciftci, and C. J. Brabec, Conjugated Polymer-Based Organic Solar Cells,
in Semiconducting Polymers: Chemistry, Physics and Engineering, Vol I Second Edition,
edited by G. Hadziioannou and G.G. Malliaras, Weinheim : Wiley-VCH Verlag GmbH & Co.
KGaA, 2006, pp. 455-530.
3. C.J. Brabec, N.S. Sariciftci, and J.C. Hummelen, Adv. Funct. Mater. 11, 15 - 26 (2001).
4. R. D. McCullough, Adv. Mater. 10, 93 - 98 (1998).
5. F. C. Krebs, Sol. Energy Mater. Sol. Cells 93, 394-412 (2009).
6. J. Y. Kim, K. Lee, N. E. Coates, D. Moses, T-Q. Nguyen, M. Dante, A. J. Heeger, Science 317,
222-225 (2007).
7. S. H. Park, A. Roy, S. Beaupre, S. Cho, N. Coates, J. S. Moon, D. Moses, M. Leclerc, K.-H.
Lee, A. J. Heeger, Nat. Photonics 3, 297302 (2009).
14 Ayi Bahtiar, Annisa Aprilia, Fitrilawati

8. Y. Liang, Z. Xu, J. Xia, S.-T. Tsai, Y. Wu, G. Li, C. Ray and L. Yu, Adv. Mater. 22, E135-
E138 (2010).
9. A. Bahtiar, Fitrilawati, and A. Aprilia, Effect of Thermal Annealing on Optical Properties and
Morphology of Thin Film of P3HT-PCBM Blend, The 7th International Symposium on Modern
Optics and Its Applications, Bandung, August 12-14, (2009).
10. G. Dennler, C. Lungenschmied, H. Neugebauer, N.S. Sariciftci, M. Latreche, G. Czeremuszkin,
and M.R. Wertheimer, Thin Solid Films 349, 511-512 (2006).
11. J. A. Hauch, P. Schilinsky, S. A. Choulis, R. Childers, M. Biele and C. J. Brabec, Sol. Energy
Mater.Sol. Cells 92, 727-731 (2008).
12. A. Bahtiar, A. Kurniawan, A. Rosikhin, and A. Aprilia, The Role of TiOX Interlayer on
Performance of Bulk-Heterojunction Polymer Solar Cells, Proceedings of the 5th Kentingan
Physics Forum; International Conference on Physics and Its Application, 21-24 (2010).
13. J. Y. Kim, S. H. Kim, H.-H Lee, K. Lee, W. Ma, X. Gong, and A. J. Heeger, Adv. Mater. 18,
572576 (2006).
14. A. Hayakawa, O. Yoshikawa, T. Fujieda, K. Uehara, and S. Yoshikawa, Appl. Phys. Lett. 90,
1635171-1635173 (2007).
15. H. Sirringhaus, P. J. Brown, R. H. Friend, M. M. Nielsen, K. Bechgaard, B. M. W. Langeveld-
Voss, A. J. H. Spiering, R. A. J. Janssen, E. W. Meijer, P. Herwig and D. M. de Leeuw, Nature
401, 685-688 (1999).
16. Roy, S. H. Park, S. Cowan, M. H. Tong, S. Cho, K.e Lee, and A. J. Heeger, Appl. Phys. Lett.
95, 0133021 0133023 (2009)


Jurnal Material dan Energi Indonesia
Vol. 01, No. 01 (2011) 15 21
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
15
REALISASI DAN ANALISIS SUMBER ENERGI BARU TERBARUKAN NANOHIDRO
DARI ALIRAN AIR BERDEBIT KECIL
WARSITO

, SRI WAHYU SUCIYATI, D WAHYUDI, WILDAN KHOIRON


Jurusan Fisika, Fakultas MIPA
Universitas Lampung
Jl. Sumantri Brojonegoro 1 Bandar Lampung 35145
diterima 1 November 2010
revisi 11 Pebruari 2011
dipublikasikan 28 Pebruari 2011
Abstrak. Telah direalisasi sumber energi baru terbarukan dengan sistem nanohidro berdaya 2.34W
menggunakan kincir tipe Francis dengan debit air maksimum 0.87 10
-3
m
3
/s dan ketinggian head 1,5 m.
Agar didapatkan kecepatan putar optimal dari generator yang digunakan, maka transmisi daya putar dari
kincir menggunakan 2 buah pulley dengan diameter masing-masing 0.19 m dan 0.015 m serta 1 buah belt
yang panjangnya 70 cm dan lebar 4 mm. Secara teori, generator yang digunakan merupakan generator
magnet permanen 3 pasang kutub yang mempunyai kecepatan putar optimal 2400 rpm dengan tegangan
keluaran 12/15 V dan kapasitas daya keluaran maksimum 6 W. Daya optimum yang dihasilkan adalah 2.34
W untuk generator dengan kecepatan sebesar 2333 rpm. Dengan data ini, kita dapat menghitung efisiensi
generator sebesar 40.12 %. Daya keluaran selanjutnya dimanfaatkan untuk mengisi akumulator 12 V.
Kata kunci : energi terbarukan, nanohidro, akumulator
Abstract. It has been realized a renewable energy source by nanohydro system with 2.34 W power output
using Francis wheel type with water flow debit of 0.87 10
-3
m
3
/s and head elevation of 1.5 m. In order to be
obtained a generator optimum power output, we use a transmission system of wheel rotation using two
pulleys with diameter of 0.19 m and 0.015 m and a belt with the size of 0.70 m length and 0.004 m width to
transmit the rotation power from the wheel to the generator. Generator used in this study has three permanent
magnets, 2400 rpm maximum rotation, 12/15 V voltage output and 6 W maximum power output. The
optimum power output obtained in this study is about 2.34 W with the generator rotation of 2333 rpm. Using
this result, we can find the generator efficiency is about 40.12 %. Finally, the power output is used to
recharge the 12 V accumulator.
Keywords: renewable energy, nanohydro, accumulator
1. Pendahuluan
Kebutuhan energi akan selalu meningkat sebagai fungsi pertumbuhan jumlah penduduk. Untuk
energi konvensional seperti migas, tingginya kebutuhan apabila tidak diimbangi dengan kapasitas
produksinya menyebabkan kelangkaan sehingga terjadi kenaikan harga dan krisis energi [1].
Salah satu usaha pemerintah yang terkait dengan kebijakan energi tersebut adalah dengan
mengembangkan dan meningkatkan keanekaragaman energi termasuk energi yang sangat potensial
saat ini dan di masa yang akan datang. Berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional
(RUKN/National Electricity Plan), prosentase penduduk Indonesia yang belum berlistrik 36 %
dan desa belum berlistrik 35 % [2]. Hal ini menunjukkan pentingnya pengembangan bidang energi
terbarukan.
Sistem mikrohidro atau nanohidro sebagai salah satu sumber energi baru terbarukan, dapat
memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dalam memenuhi energi listrik tanpa harus

email : warsito@unila.ac.id
16 Warsito dkk

mengeluarkan biaya tinggi untuk sistem transmisi daya atau perawatan lingkungan secara umum
karena implementasi sistem terintegrasi dengan pemanfaatannya [3].
Dalam konsep Fisika bahwa energi tidak dapat dimusnahkan oleh karena itu tentu energi setelah
digunakan tentu menjadi sumber energi lain yang baru. Konsep dasar dari penelitian ini adalah
bahwa hukum kekekalan energi yaitu energi bersifat kekal, tidak bisa dimusnahkan, tetapi
berpindah dari bentuk energi yang satu ke bentuk energi lainnya. Maka untuk memahami konsep
ini, yang terpenting adalah menciptakan energi awal sebagai pemicu (trigger), selanjutnya energi
lain dapat dihasilkan dari energi tersebut, demikian seterusnya energi akan berputar.
Pemanfaatan tenaga air sebagai pembangkit listrik mempunyai bermacam-macam tingkatannya;
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan daya keluaran di atas 0,5 MW, sistem mikrohidro
sekitar 1500 kW, sistem nanohidro dengan daya keluaran di bawah 1 kW. System nanohidro
dapat direalisasi menggunakan aliran air pada pipa dengan diameter 26 inch [4] dan
perkembangannya hingga kini dapat direalisasi menggunakan pipa berdiameter mulai dari inch.
Parameter utama penentu tingkat daya keluaran sistem tenaga air tersebut adalah debit air dan
ketinggian air jatuh [3] sesuai dengan persamaan berikut :
(1)
dengan
h : head efektif (m)
Q : debit air (m
3
/s)

t
: efisiensi turbin

g
: efisiensi generator
g : gravitasi (10 m/s
2
)
Besarnya nilai efisiensi turbin adalah
t
= 82 % untuk Turbin Pelton,
t
= 84 % untuk Turbin
Francis,
t
= 77 % untuk Turbin Crossflow dan
t
= 84 % untuk Turbin Tubular tipe S.
Penelitian yang banyak dilakukan saat ini adalah pemanfaatan energi air dalam skala mikrohidro
10100 kW yang berasal dari saluran irigasi [5,6]; atau sistem mikrohidro pada umumnya [7,8,9].
Sistem sejenis juga telah dilakukan oleh Takane dan Hiromaro [10] dengan memanfaatkan aliran
air sungai kecil dan dihasilkan efisiensi turbin sebesar 2530 %.
Pada penelitian ini telah didesain dan direalisasi energi listrik nanohidro menggunakan kincir tipe
Francis yang bersumber pada aliran sungai berdebit kecil 0,87 10
-3
m
3
/s dengan ketinggian head
1,5 m.
2. Metode
Tahap awal yang dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan studi tentang potensi aliran air
untuk mengetahui tipe kincir yang digunakan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa potensi aliran
mempunyai head setinggi 1,5 m sehingga tipe kincir yang tepat adalah tipe Francis. Desain sistem
nanohidro tampak seperti pada Gambar 1.
Dari Gambar 1, aliran air dari sungai kecil ditampung dalam bak penstock (A) yang selanjutnya
dialirkan menuju kincir tipe Francis (C) melalui pipa pesat (B). Selanjutnya putaran kincir
g t
h Q g P =
Realisasi dan Analisis Sumber Energi Baru dan Terbarukan Nanohidro dari Aliran Air Berdebit Kecil 17

dihubungkan ke generator (D) menggunakan belt. Untuk menghasilkan putaran optimal pada
generator, maka dilakukan analisis sistem konversi gir secara integral. Tujuan utama dari tahap ini
adalah mendapatkan nilai putaran optimal pada titik generator dan mendapatkan daya putar yang
optimal.
Tahapan selanjutnya adalah analisis secara integral dari sistem nanohidro yang meliputi daya
keluaran generator sebagai fungsi kecepatan putar (rpm) dari generator. Pengukuran kecepatan
putar generator menggunakan tachometer analog, dengan mendapatkan nilai kecepatan putar
generator ini maka dapat dianalisis efisiensi (
sistem
) secara keseluruhan.








Gambar 1. Desain sistem nanohidro
3. Hasil dan Pembahasan
Analisis Pemilihan Jenis Turbin
Analisis pemilihan turbin didasarkan oleh data-data yang diambil secara teknis yang
memperhitungkan faktor tinggi jatuhan air efektif (Net Head) dan debit yang akan dimanfaatkan
untuk operasi turbin. Dari data dan analisis perhitungan tinggi jatuhan air efektif yang didapatkan
adalah sebesar 1.5m dengan debit air maksimum 0,87 x 10
-3
m
3
/s. Ketinggian 1,5m digolongkan
ke dalam kategori ketinggian rendah, sehingga turbin yang dipilih adalah turbin reaksi jenis
Francis [11].
Analisis Transmisi Daya Mekanik
Perancangan sistem nanohidro yang sudah dilakukan, menggunakan turbin Francis dan generator
jenis magnet permanent 1 phase dengan 3 pasang kutub dan transmisi daya mekanik dengan rasio
pulley 12,67 kali. Pulley berfungsi untuk menaikkan putaran sehingga putaran generator sesuai
dengan putaran daerah kerjanya. Agar didapatkan kecepatan putar sesuai dengan yang dibutuhkan,
maka transmisi daya menggunakan 2 buah pulley dengan diameter masing-masing 19 cm dan 1,5
cm serta 1 buah belt yang panjangnya 70 cm dan lebar 4 mm. Belt berfungsi untuk menyalurkan
daya dari poros turbin ke poros generator.
Daya mekanik disalurkan secara satu tahap, pulley yang berdiameter 19 cm yang dipasang pada
poros turbin dihubungkan dengan pulley yang berdiameter 1,5 cm yang terpasang pada generator.
Penyaluran daya hasil putaran dari turbin tersebut mampu menaikkan kecepatan putar sebanyak
12,67 kali pada poros generator.

18 Warsito dkk

Analisis Pengujian Turbin yang Terhubung dengan Generator menggunakan aliran air dari
pipa inch
Pada perancangan nanohidro yang sudah dilakukan memakai turbin reaksi sebagai pengkonversi
energi potensial yang dimiliki oleh air menjadi energi mekanik dan generator ac yang mengubah
energi mekanik menjadi energi listrik. Pada penelitian ini, di ujung pipa pesat dipasang sebuah
kran yang berfungsi untuk mengatur debit air untuk menggerakan turbin. Ada tiga posisi pada
pengaturan debit air, yaitu posisi 3 dimana kran terbuka penuh, posisi 2 kran terbuka sekitar dan
posisi 1 kran terbuka sekitar . Pengukuran debit di lakukan dengan cara menampung air pada
sebuah ember dalam waktu tertentu. Hasil pengujian pengaruh posisi kran terhadap debit air
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh posisi kran terhadap debit air
Posisi
Kran
Waktu
t (s)
Volume
(L)
Debit
Q (m
3
/s)
3 23 20 0,87 10
-3

2 34 20 0,59 10
-3

1 45 20 0,44 10
-3

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa posisi kran berpengaruh terhadap debit air yang akan
menggerakan turbin, sehingga dengan berkurangnya debit air mengakibatkan berkurangnya
putaran. Pada posisi kran terbuka penuh (100 %) waktu yang dibutuhkan untuk mengisi ember
dengan volume 20 l adalah 23 detik, pada posisi 1 dan 2 dengan volume yang sama dibutuhkan
waktu yang lebih lama untuk mengisi penuh ember.
Debit air akan berpengaruh terhadap putaran yang dihasilkan oleh turbin. Pengujian pengaruh
turbin terhadap putaran turbin di lakukan dengan tiga debit air yang berbeda yang dihasilkan oleh
perubahan posisi kran. Semakin besar debit air maka putaran turbin yang dihasilkan akan lebih
besar apabila dibandingkan denngan debit air yang lebih sedikit. Pengukuran putaran pada turbin
menggunakan alat pengukur putaran yaitu tachometer. Pengaruh putaran turbin terhadap tegangan
yang dihasilkan oleh generator, debit air mempengaruhi kecepatan putaran turbin dan selanjutnya
semakin cepat putaran turbin tegangan keluaran akan semakin tinggi pula (Gambar 2).







Gambar 2. Pengaruh putaran turbin terhadap tegangan keluaran generator
Pengujian selanjutnya adalah melakukan uji pemberian beban yang dilakukan sebanyak 3 kali
perubahan, yaitu menggunakan lampu 6 W 12 volt dan hambatan yang terukur adalah 25 .
Sedangkan total hambatan untuk sistem secara terpasang (lampu dan juga tachometer), adalah 125
Realisasi dan Analisis Sumber Energi Baru dan Terbarukan Nanohidro dari Aliran Air Berdebit Kecil 19

. Jika pembebanan dilakukan secara seri antara lampu dan tacho, hambatan yang terukur adalah
145 . Data hasil pengujian pembebanan terlihat pada Tabel 2.
Analisis generator dan kecepatan putar
Pada penelitian ini telah dibuat sistem nanohidro yang diputar oleh mini turbin tipe Francis.
Generator yang digunakan merupakan generator magnet permanen 3 pasang kutub yang
mempunyai kecepatan putar optimal 2400 rpm (rotation per minute / putaran per menit) dengan
tegangan keluaran 12/15 V dan kapasitas daya 6 W. Keluaran dari generator berupa tegangan arus
bolak balik yang kemudian disimpan dalam akumulator. Sebelum disimpan pada akumulator
tegangan tersebut disearahkan terlebih dahulu menggunakan dioda.
Generator ini terdiri dari magnet yang berputar atau disebut rotor dan kumparan yang diam atau
disebut stator. Untuk mengetahui tegangan generator yang digunakan pada pengisian akumulator,
dilakukan pengujian menggunakan motor sebagai penggerak generator dengan sebuah dimmer
sebagai pengatur kecepatannya.
Tabel 2. Data Hasil Perubahan Beban Terhadap Tegangan Keluaran
Beban
R ()
Arus
I (A)
TeganganV
(Volt)
Daya
P (Watt)
KM/H
25 0,33 4,7 1,551 60
120 0,12 8,75 1,05 75
145 0,13 9,5 1,235 85








Gambar 3. Grafik tegangan keluaran
Tegangan yang keluar dari generator yang sudah disearahkan oleh dioda diukur menggunakan
multimeter digital dan kecepatannya diukur menggunakan tachometer. Rotor generator yang
diputar tersebut menghasilkan tegangan yang bervariasi sebagai fungsi kecepatan putar yang juga
berubah-rubah pula. Untuk mendapatkan nilai kuat arus dari keluaran generator diperlukan beban
(R) yang telah diketahui nilainya, sehingga diperoleh daya yang dapat dihasilkan oleh generator.
Gambar 3 merupakan grafik hasil pengukuran tegangan keluaran generator dengan variasi
kecepatan di mulai dari 10502333 rpm dengan beban resistor 100 dan diperoleh hasil berupa
tegangan dan kuat arus.
Nilai tegangan yang dihasilkan oleh generator tergantung pada kecepatan putaran yang diberikan
pada generator tersebut. Semakin besar kecepatannya maka akan menghasilkan tegangan yang
semakin besar. Dari grafik pada Gambar 3 diperoleh persamaan 85 . 3 005 , 0 = v V
out
dengan
20 Warsito dkk

kemiringan (slope) = 0,005 dan sensibilitas generator yaitu ) / ( 005 , 0 rpm Volt dv dV = artinya
generator yang digunakan mengalami kenaikan tegangan sebesar 0,005 Volt setiap 1 rpm. Pada
penelitian ini kecepatan maksimum putaran hanya mencapai 2333 rpm. Untuk mengetahui daya
yang dihasilkan, dilakukan perhitungan, sehingga diperoleh nilai daya seperti tampak pada
Gambar 4.










Gambar 4. Grafik hubungan antara putaran turbin dan daya keluaran dari generator
Tegangan yang di gunakan untuk mengisi akumulator besarnya adalah minimal sama dengan
tegangan akumulator (12V), sedangkan hasil pengukuran keluaran generator adalah 12,22 V, maka
nilai ini sudah memenuhi syarat untuk mengisi arus pada akumulator. Kecepatan putar yang
dibutuhkan untuk nilai tegangan tersebut adalah 1983 rpm, sehingga menghasilkan daya sebesar
1,71 W yang ditunjukkan pada Gambar 4. Tinggi rendahnya daya yang dihasilkan mempengaruhi
pada lama waktu yang dibutuhkan dalam pengisian akumulator.






Gambar 5. Foto sistem pulley dan belt serta generator yang terpasang pada turbin tipe Francis
Setelah diketahui karakteristik dari generator dengan beberapa variabel yang telah diperoleh maka
generator dapat dirangkai dengan turbin yang mempunyai kecepatan putar 166 rpm menggunakan
belt dan pulley. Untuk menaikkan kecepatan hingga 1983 rpm digunakan pulley dengan
perbandingan 12, artinya perbandingan pulley minimal 1:12. Gambar 5 adalah foto hasil rancangan
generator yang terpasang pada turbin. Namun sistem ini masih mempunyai efisiensi daya keluaran
yang rendah. Efisiensi daya keluaran dari sistem dapat dihitung sebagai berikut:





W W P
optimal
83 . 5 6 *
2400
2333
= =
Realisasi dan Analisis Sumber Energi Baru dan Terbarukan Nanohidro dari Aliran Air Berdebit Kecil 21




Daya optimal yang seharusnya dihasilkan dari sistem nanohidro pada 2333 rpm adalah 5,83 W,
namun sistem hanya menghasilkan 2,34 W sehingga efisiensi sistem secara integral dari sistem
nanohidro adalah 40,12%.
4. Kesimpulan
Telah direalisasi dan dikarakterisasi sistem nanohidro dengan head 1,5 m dan debit 0,87 10
-3

m
3
/S dengan kecepatn turbin maksimum yang dihasilkan adalah 2333 rpm dan daya yang
dihasilkan adalah 2,34 W. Efisiensi sistem secara integral sebesar 40,12%, nilai ini merupakan
rasio antara daya hasil penelitian yang terukur terhadap daya ideal yang seharusnya didapatkan
dengan nilai rpm yang sama.
Prospektif secara umum dari hasil penelitian ini adalah memanfaatkan daya keluaran dari
generator untuk mengisi akumulator 12 V dan selanjutnya daya tersebut dapat dimanfaatkan secara
langsung dengan arus dc atau ac menggunakan sistem inverter. Solusi dari daya yang dihasilkan
kecil adalah sistem multi titik nanohidro yang merupakan penjumlahan daya dari beberapa titik
nanohidro
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada DP2M, Dirjen Dikti yang telah memberikan support
dana penelitian melalui program Penelitian Hibah Strategis Nasional dengan No Kontrak :
529/SP2H/PP/DP2M/VII/2010 tanggal 24 Juli 2010.
Daftar Pustaka
1. B. Nababan, Rancangan Sistem Kontrol Operasi Pembangkit Listrik Tenaga Air, Laporan
penelitian IPB. Bogor (2001).
2. Dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (The National Electricity Plan),
Departemen ESDM, Jakarta (2006).
3. E. Bedi, H. Falk, Small hydro power plants, Journal of Energy Saving Now, Vol. 1(2008)
4. B-O. Schultze, Siting for Nanohydro : a Primer, Journal of Home-Made Power, Vol. 15,
February / March (1990).
5. H. Nadjamuddin, M. Yamin dan N. Salam, Pemanfaatan Turbin Mikrohidro Untuk
Pembangkit Tenaga Listrik Di Desa Baji Minasa Kecamatan Bulukumpa Kabupaten
Bukukumba, Jurnal ASPI, Vol. I, No. 4, Februari (1995)
6. E. Mawardi, dan M.Memed, Pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro tipe
MdCCF di saluran irigas, Pusat Litbang Sumber Daya Air, Badan Penelitian dan
Pengembangan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta (2008)
7. O.F. Patty, Tenaga Air, Erlangga, Jakarta (1995)
8. Satriyo, Puguh Adi, Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro Untuk Daerah
Terpencil, Buletin Balitbang Dephan Volume 10 Nomor 18 (2007).
9. D. J. Fullford, P. Mosley and A.Gill, Recommendations on the use of microhydro power in
rural development, Journal of International Development, Vol. 12, 975 983 (2000)
10. I. Takane dan I. Hiromaro, Micro Turbine and Micro Hydro, Journal of the Institute of
Electrical Engineers of Japan, VoL.121; No.2; Page 119-122 (2001).
11. F. Dietzl, Turbin, Pompa dan Kompresor (alih bahasa Dakso Sriyono), Erlangga, Jakarta
(1992)

% 12 . 40 % 100 *
83 . 5
34 . 2
= =
sistem

Jurnal Material dan Energi Indonesia


Vol. 01, No. 01 (2011) 22 30
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
22
STUDI EKPERIMENTAL LAJU ALIRAN MASSA AIR
BERDASARKAN PERUBAHAN SUDUT KEMIRINGAN UNTAI
PADA KASUS SIRKULASI ALAMIAH MENGGUNAKAN
UNTAI SIMULASI SIRKULASI ALAMIAH (USSA-FT01)
MULYA JUARSA

, ARIEF GOERITNO, ASEP SUHERI, IWAN SUMIRAT,


DEWANTO SAPTOADI, ANDIKA NURCAHYO
Engineering and Devices for Energy Conversion (EDfEC) Laboratory
Fakultas Teknik Univeristas Ibn Khaldun Bogor
Jl. KH. Soleh Iskandar Bogor Jawa Barat INDONESIA
diterima 3 November 2010
revisi 19 Pebruari 2011
dipublikasikan 28 Pebruari 2011
Abstrak. Optimalisasi pemanfaatan energi untuk efisiensi dilakukan selain merancang bangun alat konversi
energi yang baru, juga memanfaatkan hukum-hukum alam yang berlaku seperti fenomena natural sirkulasi
alamiah. Studi ekperimental dilakukan untuk memahami fenomena natural sirkulasi dengan menghitung laju
aliran massa air berdasarkan data perubahan temperatur pada bagian dingin dan bagian panas di untai USSA
FT-01. Konstruksi USSA FT-01 terdiri dari komponen pipa SS304 berdiameter 1 inci, heater, cooler dan
tangki ekspansi. Variasi eksperimen adalah beda ketinggian antara sisi panas dan sisi dingin berdasarkan
variasi sudut kemiringan untai, yaitu 30
o
, 45
o
dan 90
o
. Temperatur outlet dari heater (Th) dan temperatur
outlet dari cooler (Tc) digunakan sebagai parameter yang diukur dan direkam dengan rentang waktu
eksperimen selama 50 menit. Hasil ekperimen dan perhitungan menggunakan beberapa korelasi
menunjukkan, laju aliran massa air akan memiliki harga kestabilan yang secara berturut-turut adalah 5,6 gr/s,
4,9 gr/s dan 9,8 gr/s berdasarkan perubahan sudut kemiringan 30
o
, 45
o
dan 90
o
. Pengaruh beda temperatur
rata-rata lebih dominan dibandingkan gaya apung karena beda ketinggian.
Kata kunci : sirkulasi alamiah, fenomena, aliran, massa
Abstract. Optimizing energy utilization for more efficiency purpose can be done by design and construct a
new energy conversion devices, also apply a natural laws such as natural circulation. Experimental studies
has been conducting to understand the phenomena of natural circulation by calculating the water mass flow
rate based on temperature changes in the cold area and the hot area in the USSA FT-01s loop. Construction
USSA FT-01 consists of components SS304 pipe 1 inch in diameter, heater, cooler and expansion tank.
Experimental variation is the height difference between hot side and cold side based on the variation of loop
angle, i.e. 30
o
, 45
o
and 90
o
. Outlet of the heater temperature (Th) and the outlet of the cooler temperature (Tc)
were used as a parameter that is measured and recorded with the experimental time range for 50 minutes.
Experimental results and calculations using multiple correlation shows that the water mass flow rate will
have a stable value in respectively 5.6 g/s, 4.9 g/s and 9.8 g/s based on angle variations of 30
o
, 45
o
and 90
o
.
The effect of average temperature difference is more dominant than the buoyancy force due to the difference
of height between the cold and hot side.
Keywords : natural circulation, phenomena, flow, mass
1. Pendahuluan
Perpindahan energi dalam bentuk kalor pada suatu peralatan konversi energi masih menjadi kajian
dan tema penelitian yang belum usang. Peningkatan kebutuhan energi yang terus-terusan mesti
diantisipasi dan hal ini memaksa penelitian terhadap fenomena yang muncul selama kalor
dipindahkan menjadi perhatian penting. Salah satu peralatan pemindah kalor berupa loop tertutup

email : myjuar@yahoo.com
Studi Eksperimen Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai ... 23

thermosyphon memiliki kemampuan untuk memindahkan kalor dari suatu sumber ke area yang
lebih dingin lain dengan jarak tertentu. Kondisi ini dapat digambarkan dengan loop tertutup yang
diisi fluida kerja (air). Jika salah satu bagian dipanaskan dan bagian lainnya didinginkan, maka
kerapatan air di bagian yang panas lebih rendah dibandingkan dengan bagian dingin. Perbedaan
tekanan hidrostatik karena kerapatan akan menyebabkan gradien kerapatan yang menggerakkan air
untuk mengalir di dalam loop. Kemampuan pergerakan molekul air karena beda kerapatan dan
ditambah adanya perbedaan ketinggian akan menimbulkan aliran di dalam loop. Stabilitas aliran
diharapkan akan timbul apabila terjadi perbedaan temperatur yang stabil antara bagian dingin dan
bagian panas. Aliran tanpa adanya intervensi mekanik seperti pompa atau kendali aliran, disebut
fenomena aliran sirkulasi alamiah. Aplikasi dari sirkulasi alamiah seperti pada teknologi pemanas
surya, konversi energi, pembangkit listrik tenaga nuklir dan termal control untuk komponen
elektronik.
Beberapa penelitian terkait fenomena sirkulasi alamian seperti yang dilakukan oleh Welander [1]
telah mempertimbangkan aspek penggerak (driven) dalam aliran yang timbul karena gaya apung
(buoyancy), perbedaan tekanan dan hambatan oleh gaya gesekan pada pipa. Kasus fluida laminar
pada fasa tunggal oleh Dobson [2], menjelaskan skema formulasi yang sederhana yang mampu
menangkap perilaku non-liner dan transien pada loop. Instabilitas aliran yang muncul belum dapat
dijelaskan. Penelitian lainnya seperti yang dilakukan oleh K.Chen [3] dan P.K. Vijayan [4-5],
menjelaskan instabilitas osilasi aliran dan stabilitas yang muncul pada loop yang dilakukan melalui
eksperimen dan simulasi komputer, meskipun kondisi batasnya belum didefiniskan secara baik.
Kemudian, review terhadap aliran thermosypon pada geometri umum dan aplikasinya telah
dilakukan oleh Grief [6], P.K. Vijayan et al. [5], and Zvirin [7], dimana untuk kasus untai
rektangular terbuka dan tertutup telah menekankan pada aliran steadi dan aliran transien seperti
halnya analisis stabilitas sistem berdasarkan variasi kondisi pemanasan dan pendinginan.
Sedangkan, Perbedaan kondisi batas termal, seperti perubahan sudut kemiringan untai telah
dipertimbangkan oleh Misale [8] dan konduksi termal pipa juga dipertimbangkan oleh Jiang [9
12].
2. Metoda Eksperimen
Fasilitas Eksperimen
Fasilitas eksperimen yang ada di laboratorium teknik dan devais untuk konversi energi (EDfEC,
Engineering and Device for Energy Conversion) di FTUIKA Bogor, telah dikonstruksi pada tahun
2009. Fasilitas eksperimen yang disebut Untai simulasi sirkulasi alamiah (USSA-FT01) dibuat
dengan bentuk segi empat, dengan panjang 1,5 meter dan lebar 1,0 meter dibuat menggunakan
pipa SS304 dengan diameter 1 inch (2,54 cm). Sisi panjang terdiri dari 3 pipa dan sisi lebar terdiri
dari 2 pipa yang ujung-ujung dipasang flange, dengan tujuan agar ukuran untai dapat dimodifikasi
sesuai kebutuhan eksperimen. Gambar 1 menujukkan geometri USSA FT-01









24 Mulya Juarsa dkk













Gambar 1. Geometri tampak atas USSA FT-01
Perubahan sudut kemiringan untai dilakukan dengan merubah kedudukan USSA FT-01 pada suatu
penopang persegi empat (berbahan CS), dimana penopang disambungkan dengan engsel. Busur
derajat dipasang pada salah satu engsel untuk mengetahui posisi kemiringan untai. Gambar 2
menunjukkan bagian lengkap dari fasilitas eksperimen. Gambar 2 menunjukkan posisi untai
berdasarkan kemiringan sudutnya. Ketinggian (H) diperoleh dengan rumus,
(550 ) H mm Sin =

Sistem intrumentasi adalah dengan mengendalikan temperatur yang dilakukan PLC yang
terkoneksi ke heater melalui SSR (solid state relay), dimana temperatur heater akan disesuikan
dengan perubahan temperatur pada cooler. Data pengukuran temperatur menggunakan termokopel
tipe K, kemudian data pengukuran direkam melalui sistem akuisisi data (DAS) WinDAQ T1000
dengan sampling rate 1 data per-detik pada 8 kanal (dalam makalah ini data hanya ditampilkan
untuk T
h
dan T
c
). Gambar lengkap dari fasilitas eksperimen disajikan pada Gambar 3.













Gambar 2. Fungsi sudut kemiringan untai


5
5
0
m
m
Studi Eksperimen Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai ... 25








Gambar 3. Fasilitas eksperimen USSA FT-01
Prosedur Eksperimen
Eksperimen sebelumnya didahului dengan mengisi untai dengan air menggunakan katup inlet,
kemudian diberikan tekanan secara hidrostatik hingga mencapai 1 bar lebih (untuk menguji
kebocoran). Setelah tidak terjadi kebocoran, eksperimen sudah bisa dilakukan. Setelah air terisi
pada untai, setting terhadap system instrumentasi dilakukan. Kemudian posisi untai dirubah
berdasarkan sudut kemiringan yang ditentukan, dalam hal ini 30
o
, 45
o
dan 90
o
. Langkah pertama
menghidupkan cooler hingga temperatur minimal tercapai, sekitar -9
o
C. Kemudian setelah itu,
daya heater dinaikkan secara gradual berdasarkan setting dari PLC melalui SSR. Persentase
kenaikan daya adalah sebesar 20% setiap 10 menit. Daya maksimal heater adalah 300 Watt. Saat
heater dihidupkan, maka DAS mulai merekam data. Eksperimen dilakukan untuk setiap
perubahan sudut untai
Perhitungan
Hasil pengamatan perbedaan temperatur pada heater dan cooler dikonversikan menjadi densitas
air untuk memperoleh perbedaan densitas air pada untai dari sifat fisik air, sehingga dapat
digunakan untuk menghitung laju aliran massa air yang terjadi di dalam untai USSA FT-01,
menggunakan korelasi (1)[10-11].
& m
2
=
2gH(
c

h
)
R
(1)
Dengan & m (kg/s) adalah laju aliran massa air, H (meter) adalah ketinggian antara heater dan
cooler, (kg/m
3
) adalah massa jenis air, g percepatan gravitas (m/s
2
) dan R adalah resistensi
hidrodinamika (m
4
). Hasil perkalian antara Q (m
3
/s) debit air dengan densitas air sama adalah laju
aliran massa air, seperti yang diuraikan melalui korelasi (2).
& m=Q
air
= Av

(2)
Dengan A (m
2
) luasan hidrodinamika, v (m/s) kecepatan aliran air. Kemudian korelasi (1)
disubstitusikan ke dalam korelasi (2), sehingga diperoleh korelasi (3), sebagai berikut;

26 Mulya Juarsa dkk

2
2
) ( 2
A R
gH
v
h c


=
(3)
Bilangan Reynolds yang mempunyai fungsi sebagai bilangan penentu aliran laminer atau aliran
turbulen yang timbul pada USSA FT-01 dihitung menggunakan korelasi (2). Korelasi (4)
menunjukkan hubungan bilangan Reynolds dengan faktor gesek Fanning. Faktor gesek Darcy
Weishbach (f
D
) mempunyai besar empat kali faktor gesek Fanning (f
f
), sehingga (f
D
) = 4 (f
f
) seperti
pada korelasi (5).
v D
f
f

16
=
(4)
v D
f
D

64
=
(5)
Kemudian harga resistensi termohidrolik ditunjukan pada korelasi (6)[12].
2 2
2
64
D vA
vD K L
R

+
=
(6)
Dengan L (m) panjang total untai, D (m) diameter dalam pipa. Untuk memperoleh kecepatan rata-
rata yang terjadi di dalam untai adalah dengan mensubstitusikan korelasi (6) ke dalam korelasi (3),
dengan menggunakan rumus abc diperoleh korelasi (7), sebagai berikut.
2
4 2
2
) ( 8 ) 64 ( 64
D K
D gHK L L
v
h c

+ +
=


(7)
Harga untuk massa jenis air diperoleh dari table sifat fisik air berdasarkan perubahan
temperaturnya.
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil pengukuran
Hasil pengukuran pada dasarnya dilakukan pada 8 titik pengukuran, untuk penelitian ini hanya 2
titik pengukuran temperatur saja yang ditampilkan. Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6
menyajikan hasil pengukuran T
h
dan T
c
serta selisihnya berdasarkan vairasi sudut kemiringan untai
secara berturut-turut dari 30
o
, 45
o
dan 90
o
.










Gambar 4. Temperatur air pada daerah heater dan cooler untuk sudut kemiringan 30
o
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100


T
e
m
p
e
r
a
t
u
r

T
e
r
m
o
k
o
p
e
l
,

T
[
o
C
]
waktu, t [detik]
T
c
T
h
T=T
h
-T
c
Kurva Temperatur heater dan cooler USSA FT-01
=30
o
Studi Eksperimen Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai ... 27












Gambar 5. Temperatur air pada daerah heater dan cooler untuk sudut kemiringan 45
o











Gambar 6. Temperatur air pada daerah heater dan cooler untuk sudut kemiringan 90
o

Fenomena perubahan temperatur selama 50 menit dapat dijelaskan sebagai berikut, pada Gambar 4
untuk sudut kemiringan 30
o
kenaikan temperatur air pada daerah heater terjadi dengan cepat dan
cukup tajam, dimulai dari 0 detik hingga sekitar 800 detik temperatur air yang semula 27
o
C naik
menjadi 47
o
C. Kemudian temperatur mulai stabil dari 800 detik hingga 3000 detik, meski pada
detik ke 2200, temperatur naik sekitar 8
o
C. Kecenderungan kenaikan temperatur air yang tajam
pada daerah heater diimbangi dengan pengurangan temperatur air pada cooler, meski terjadi
kenaikan kembali mulai detik ke 800. Sedangkan pada posisi 45
o
(Gambar 5) profile temperatur
seperti pada kasus 30
o
tidak terjadi, temperatur air di daerah heater naik secara perlahan. Meskipun
demikian gradien kenaikannya sekitar 14
o
C selama 1000 detik. Pada kasus kemiringan untai 90
o
,
temperatur air di daerah heater dari awal naik secara perlahan hingga detik terakhir pada 3000
detik. Kenaikan hanya sekitar 6
o
C selama 3000 detik. Perbedaan gradien keanikan temperatur jika
disimpulkan mengalami perubahan berdasarkan perubahan sudut kemiringan untai. Gradien
temperatur mengalami penurunan untuk kenaikan besarnya sudut kemiringan untai.
Pembahasan
Berdasarkan data pengukuran temperatur air pada daerah heater dan cooler sepertti yang
dipresentasikan pada Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6. Kemudian harga massa jenis air
berdasarkan perubahan temperatur menggunakan tabel sifat fisik air, kemudian data tersebut
dimasukkan ke dalam korelasi (7). Hasil perhitungan berdasarkan korelasi (7) kembali dimasukkan
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100


T
e
m
p
e
r
a
t
u
r

T
e
r
m
o
k
o
p
e
l
,

T
[
o
C
]
waktu, t [detik]
T
c
T
h
T=T
h
-T
c
Kurva Temperatur heater dan cooler USSA FT-01
=45
o
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100


T
e
m
p
e
r
a
t
u
r

T
e
r
m
o
k
o
p
e
l
,

T
[
o
C
]
waktu, t [detik]
T
c
T
h
T=T
h
-T
c
Kurva Temperatur heater dan cooler USSA FT-01
=90
o
28 Mulya Juarsa dkk

ke dalam korelasi (2) dengan terlebih dahulu menghitung luas tampang lintang dalam pipa (A),
resistansi hidrodinamika (R). Hasil perhitungan disajikan pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9
untuk setiap perubahan besar sudut kemiringan.











Gambar 7. Laju aliran massa air terhadap waktu untuk sudut kemiringan 0
o

Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9 memiliki profile perubahan laju aliran massa air yang sesuai
dengan profile perubahan temperatur di daerah heater atau selisih temperatur. Stabilitas laju aliran
pada kasus kemiringan 30
o
(Gambar 7) mulai terjadi pada detik 750 hingga detik ke 3000. Hal ini
sangat sesuai dengan yang terjadi pada perubahan temperatur seperti pada Gambar 4. Demikian
kondisi serupa juga terjadi pada Gambar 8 dan Gambar 9 untuk sudut kemiringan untai 45
o
dan
90
o
, bahwa pengaruh satbilitas temperatur pada untai akan berpengaruh pula pada stabilitas laju
aliran massa. Keadaan ini telah diprediksikan oleh Misale [10] dan DAuria [11], bahwa stabilitas
temperatur akan berpengaruh pada stabilitas aliran fluida.











Gambar 8. Laju aliran massa air terhadap waktu untuk sudut kemiringan 45
o

Mekanisme yang dapat dijelaskan dari kasus ini adalah, untuk sudut kemiringan untai 30
o
, efek
dari gaya apung dengan ketinggian H=0,275 meter menyebabkan gerakan molekul air untuk segera
mengisi kembali bagian yang kurang rapat kurang terbantu oleh efek gaya apung. Kemudian jika
dibandingkan dengan sudut kemiringan 45
o
dan 90
o
, efek gaya apung semakin membesar seiring
dengan perubahan ketinggian, yaitu berturut-turut menjadi H= 389 meter dan H=0,550 meter.
Menjadi jelas bahwa, efek perubahan sudut kemiringan berlaku untuk waktu pencapaian kestabilan
selisih temperatur air. Sedangkan besarnya perubahan laju aliran massa air bergantung pada
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
0,10
0,12
0,14
0,16
0,18
0,20


L
a
j
u

a
l
i
r
a
n

m
a
s
s
a

a
i
r
,

m

[
k
g
/
s
]
waktu, t [detik]
data laju aliran massa air
Kurva laju aliran massa air
=30
o
laju aliran massa (rata2) = 0,05656 kg/s
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
0,10
0,12
0,14
0,16
0,18
0,20


L
a
j
u

a
l
i
r
a
n

m
a
s
s
a

a
i
r
,

m

[
k
g
/
s
]
waktu, t [detik]
data laju aliran massa air
Kurva laju aliran massa air
=45
o
laju aliran massa (rata2) = 0,04967 kg/s
Studi Eksperimen Laju Aliran Massa Air Berdasarkan Perubahan Sudut Kemiringan Untai ... 29

kestabilan temperatur air. Beda besarnya laju aliran massa air terkait dengan beda temperatur air
pada daerah heater dan cooler. Hal tersebut dapat dijelaskan pada Gambar 10. Gambar 10
menjelaskan perubahan laju aliran massa air akan didominasi oleh besarnya beda temperatur air di
daerah heater dan cooler. Selain itu efek gaya apung memberikan kontribusi terhadap mekanisme
kestabilan temperatur dan laju aliran massa.







Gambar 9. Laju aliran massa air terhadap waktu untuk sudut kemiringan 90
o












Gambar 10. Efek beda tempratur dan laju aliran massa air berdasarjan sudut kemiringan
4. Kesimpulan
Hasil studi eksperimental laju aliran massa air berdasarkan perubahan sudut kemiringan untai,
menyimpulkan bahwa:
- Karakteristik laju aliran massa dipengaruhi oleh beda temperatur air di daerah heater dan
cooler, serta beda ketinggian antara heater dan cooler.
- Laju aliran tertinggi adalah 0,098 kg/s untuk H=0,550 m dan beda temperatur rata-rata 38,19
o
C untuk sudut 90
o
. Laju aliran minimal terjadi pada sudut 45
o
, dikarenakan beda temperatur
rata-ratanya 16,37
o
C meskipun memiliki ketinggian H yang lebih besar dibandingkan sudut
kemiringan 30
o
.
- Keadaan tersebut menyimpulkan bahwa, efek besarnya perbedaan rata-rata temperatur air
pada daerah heater dan cooler lebih besar dibandingkan efek gaya apung yang beracuan pada
beda ketinggian.
-500 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
0,10
0,12
0,14
0,16
0,18
0,20


L
a
j
u

a
l
i
r
a
n

m
a
s
s
a

a
i
r
,

m

[
k
g
/
s
]
waktu, t [detik]
data laju aliran massa air
Kurva laju aliran massa air
=90
o
laju aliran massa (rata2) = 0,09804 kg/s
0 15 30 45 60 75 90 105 120
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
0,10
0,12
0,14
0,16
0,18
0,20


Rata-rata laju aliran massa air
L
a
j
u

a
l
i
r
a
n

m
a
s
s
a

a
i
r

r
a
t
a
-
r
a
t
a

[
k
g
/
s
]
sudut kemiringan untai, [
o
]
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
B
e
d
a

t
e
m
p
e
r
a
t
u
r

r
a
t
a
-
r
a
t
a

[
o
C
]
T
rata-rata
30 Mulya Juarsa dkk

Studi awal ini menunjukkan bahwa perlunya dilakukan eksperimen lanjutan dengan menetapkan
beda temperatur air harus sama. Sehingga efek gaya apung terhadap mekanisme pergerakan fluida
akan lebih diperjelas dan dianalisis dengan baik.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakutas Teknik UIKA Bogor atas dukungan
moril dan menyediakan Lab. EdfEC untuk riset dosen dan mahasiswa. Para sarjana alumni EDfEC
maupun yang masih riset TA, kami ucapkan terimakasih atas kerjasama dan kerja kerasnya.
Daftar Pustaka
1. P. Welander, Journal of Fluid Mech, 29, Part 1, 17-30 (1967).
2. R.T. Dobson, Transient response of a closed loop thermosyphon, R & D J., 9, 32-38 (1993).
3. K. Chen, On the oscillatory instability of closed-loop thermosypons, Journal of Heat Transfer ,
105 (1985).
4. P.K.Vijayan et al., Effect of loop diameter on the stability of single-phase natural circulation in
rectangular loop, Proc. 5th Int.Topical Meeting on reactor thermal hydraulics (Salt Lake City),
September 21-24. pp 261-267 (1992).
5. P.K.Vijayan et al., Simulation of unstable oscillatory behaviour of single-phase natural
circulation with repetitve flow reversals in a rectangular loop using computer code ATHLET,
Nuclear Engineering and Desaign, 155, 623-41 (1995).
6. R. Greif, Natural circulation loops, Journal of Heat Transfer, 110, 124357 (1988) .
7. Y. Zvirin, A review of N. C. loops in PWR and other systems, Nuclear Engineering and
Design, 67, 20325 (1981).
8. M. Misale et al., Some considerations on the interaction between the fluid and wall tube during
experiments in a single-phase natural circulation loops, IASME Transaction Issue 9 , 2,
171722 (2005).
9. Y.Y. Jiang, M. Shoji, Flow stability in a natural circulation loop: influence of wall thermal
conductivity, Nuclear Engineering Design, 222, 628 (2003).
10. M. Misale et al., Experiments in a single-phase natural circulation mini-loop, University of
Genoa, Genoa, Italy (2006).
11. F. DAuria, et al., Insights Into Natural Circulation Stability, Dipartimento Di Ingegneria
Meccanica, Nucleare e Della Produzione Universita' di Pisa 56100 Pisa, Italy, IAEA Course
on Natural Circulation in Water-Cooled Nuclear Power Plants, ICTP, Trieste, Italy, 25-29 June
(2007).
12. P.K. Vijayan et al., Experimental observations on the general trends of the steady state and
stability behaviour of single-phase natural circulation loops, Nuclear Engineering and Design,
215, 13952 (2002)
Jurnal Material dan Energi Indonesia
Vol. 01, No. 01 (2011) 31 39
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
31
ESTIMASI DISTRIBUSI TEMPERATUR, ENTALPI DAN TEKANAN
DALAM RESERVOIR PANAS BUMI
ALAMTA SINGARIMBUN

, ROBI IRSAMUKHTI
KK Fisika Sistim Kompleks, Prodi Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10 Bandung
CYRKE A. BUJUNG
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Manado
diterima 3 November 2010
revisi 9 Februari 2011
dipublikasikan 28 Februari 2011
Abstrak. Karakteristik reservoir panas bumi ditentukan oleh beberapa sifat fisisnya, antara lain distribusi
temperatur, tekanan, dan entalpi. Oleh karena itu pengetahuan akan nilai-nilai parameter tersebut amat
penting. Penelitian ini dilakukan untuk memperkirakan nilai-nilai parameter tersebut dengan teknik simulasi.
Untuk itu beberapa persamaan matematis dari hukum-hukum kekekalan, termodinamika serta aliran fluida
dalam medium berpori dipadukan. Untuk melakukan perhitungan dilakukan model numerik 2D yang
dibangun melalui metode diskretisasi beda hingga. Dalam hal ini reservoir diasumsikan terisi oleh air dalam
kondisi satu fasa. Fluks energi disuplai secara terus menerus dari ruang magma melalui rekahan pada dasar
formasi reservoir. Hasilnya dapat terlihat berupa peningkatan nilai temperatur, entalpi sebagai fungsi waktu
pada formasi reservoir. Meningkatnya nilai entalpi dan temperatur memiliki kecenderungan yang sama, akan
tetapi peningkatan tersebut tidak linear terhadap kedalaman. Apabila entalpi melebihi nilai entalpi saturasi air,
maka fasa fluida dalam reservoir berubah dari fasa cair menjadi sistim dua fasa.
Kata kunci : reservoir panas bumi, medium berpori, diskritisasi beda hingga, fluks energi
Abstract. Characteristics of the geothermal reservoir is determined by several physical properties, among
others, is the distribution of temperature, pressure, and enthalpy. Therefore, knowledge of these parameter
values is very important. This research was conducted to estimate the value of these parameters with
simulation techniques. For that some mathematical equations of conservation laws, thermodynamics and
fluid flow in porous medium combined. To do the calculations performed 2D numerical model developed by
discretizing the finite difference method. In this case the reservoir is assumed to be filled by water in a single-
phase conditions. Energy flux is continuously supplied from the magma chamber through the fracture at the
base of the reservoir formation. The results can be seen by increasing the value of the temperature, enthalpy
as a function of time at the reservoir formation. Increasing the value of enthalpy and temperature have the
same trend, but the increase was not linear with depth. If the enthalpy exceeds the value of enthalpy of water
saturation, the fluid phase in the reservoir changed from liquid to two-phase system.
Keywords : geothermal reservoir, porous medium, finite difference discretization, energy flux
1. Pendahuluan
Isu energi merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian yang sangat serius di dunia saat ini.
Seiring dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi dan gas (migas) di seluruh dunia
akibat eksploitasi terus menerus, maka dibutuhkan pencarian sumber-sumber energi alternatif baru
untuk mengatasi berkurangnya pasokan energi dari migas di masa datang. Dalam hal ini, salah satu

email : alamta@fi.itb.ac.id
32 Alamta Singarimbun, Robi Irshamukhti dan Cyrke A. Bujung

sumber energi yang dapat dikembangkan untuk mengatasi krisis migas adalah energi panas bumi.
Energi panasbumi merupakan energi panas dari dalam bumi yang dibangkitkan oleh proses
magmatisasi lempeng-lempeng tektonik. Besarnya potensi cadangan suatu lapangan panas bumi
dapat digambarkan dengan beberapa parameter reservoir seperti temperatur, tekanan, dan entalpi
yang merepresentasikan energi termal yang terkandung di dalam fluida reservoir tersebut. Karena
itu pengetahuan mengenai distribusi temperatur, tekanan, dan entalpi dari sistem reservoir
merupakan hal yang sangat penting.
2. Aliran Fluida dalam Reservoar Panas Bumi
Aliran fluida melalui medium berpori dan proses penghantaran panas (heat transport) merupakan
dasar dari model matematis sistem panas bumi fasa tunggal [1]. Gerakan fluida melewati zona
permeabel secara diasumsikan tidak kencang, karena itu berlaku hukum empiris Darcy, yaitu :
( ) P D g
k
Q
m
=

(1)
dimana Q
m
adalah fluks massa fluida per satuan luas, k adalah permeabilitas, merupakan
viskositas kinematik, adalah densitas fluida, g adalah percepatan gravitasi, D adalah gradien
kedalaman, dan P adalah gradien tekanan.
2.1. Kekekalan Massa dalam Sistem Reservoir
Dalam kesetimbangan fluida dengan aliran transien, perubahan massa terhadap waktu di dalam
reservoir haruslah sama dengan selisih fluks massa yang masuk ke dalam reservoir dan fluks
massa yang keluar reservoir selama selang waktu tersebut. Secara matematis, hubungan ini dapat
dirumuskan sebagai:
m m
Q q
t
W
=

(2)

dimana W adalah massa di dalam reservoir per unit volume, t adalah waktu dan q
m
merupakan
fluks massa sumber (inlet) per unit volume serta Qm merupakan fluks massa keluar reservoir
(outlet) per unit volume. Persamaan (2) merupakan jenis persamaan difusi dan merupakan
persamaan diferensial parsial parabolik. Persamaan ini dapat disusun lagi penulisannya dalam
bentuk:
0 = +

m m
q Q
t
W
(3)

Fluida yang dimodelkan di dalam simulasi ini merupakan fluida satu fasa air, sehingga saturasi air
dapat diasumsikan sama dengan 1. Jika adalah porositas medium, maka dengan
mensubstitusikan persamaan (1) ke dalam persamaan (3) diperoleh persamaan (4) [2].

0 (
) (
=


m
q D g P
k
t

(4)

Oberbeck-Boussinesq mengasumsikan bahwa perubahan massa jenis dalam persamaan (4) tersebut
dapat diabaikan kecuali untuk suku D g dalam hukum Darcy [3]. Oleh karena itu, jika
porositas medium diasumsikan konstan maka persamaan (4) tereduksi menjadi persamaan (5).
Estimasi Distribusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoir Panas Bumi 33

0 ( =


m
q D g P
k

(5)
2.2. Kekekalan Energi dalam Sistem Reservoir
Reservoir panas bumi mendapatkan energi dari ruang magma melalui proses recharge. Energi di
dalam reservoir dapat mengalir keluar reservoir melalui proses discharge. Dalam keadaan
setimbang, perubahan energi terhadap waktu di dalam reservoir haruslah sama dengan selisih dari
fluks energi yang masuk ke dalam reservoir dan fluks energi yang keluar reservoir selama selang
waktu tersebut. Secara matematis, hubungan ini dapat dirumuskan persamaan (6)
e e
Q q
t
E
=

(6)
dimana E adalah energi dalam reservoir, q
e
adalah fluks energi sumber dan Q
e
merupakan fluks
energi yang keluar dari reservoir. Persamaan (6) dapat disusun menjadi persamaan (7).
0 = +

e e
q Q
t
E
(7)
Jika
r
adalah densitas batuan dan h
r
adalah entalpi batuan, maka dengan memasukkan persamaan
(2) dan (3) ke dalam persamaan (7), diperoleh persamaan (8) [4].
0 ) ( } ) 1 ( { = + +

e m r r
q T K h Q h h
t

(8)

Berdasarkan hubungan termodinamika didefenisikan bahwa T merupakan fungsi dari P dan h
sehingga T K dapat diuraikan secara parsial menjadi persamaan (9).
h
h
T
K P
P
T
K T K
P h

=
(9)

Jika persamaan (2) disubstitusikan ke dalam persamaan (9) akan didapatkan persamaan (10).
0 ) ( ) ( {
} ) ( { } ) 1 ( {
=


+ +

e P h
r r
q h
h
T
K P
P
T
K
h D g P
k
h h
t


(10)

Persamaan (10) dapat disusun penulisannya dalam bentuk persamaan (11).
0 ) ( ) (
} ) 1 ( {
2 2
2
2
=

+ +

e P h
r r
q h
h
T
K P
P
T
K
D gh
k
P h
k
h h
t



(11)
3. Metodologi
Persamaan (5) untuk kesetimbangan massa dan persamaan (11) untuk kesetimbangan energi
merupakan persamaan utama yang digunakan dalam program simulasi ini. Agar persamaan
34 Alamta Singarimbun, Robi Irshamukhti dan Cyrke A. Bujung

tersebut dapat dimasukkan ke dalam proses komputasi, maka dibutuhkan perhitungan numerik dan
pemberian syarat awal (initial value problem) serta syarat batas (boundary condition) terhadap
kedua persamaan tersebut. Untuk tujuan tersebut digunakan metode diskretisasi numerik beda
hingga selisih pusat (central finite difference method).
Di dalam simulasi ini, pengaruh gravitasi terhadap laju fluks massa yang dirumuskan di dalam
hukum empiris Darcy diabaikan. Akibatnya, persamaan (5) dan persamaan (11) tereduksi menjadi
persamaan (12) [5].
e r r P h
q h h
t
h
h
T
K P
P
T
K h
k
+

+ } ) 1 ( { ) ( } ) ( {
2 2

(12)
3.1. Skema Numerik Sistem Reservoir
Dengan menggunakan metode beda hingga selisih pusat (central finite difference method),
persamaan (12) dapat diaproksimasi menjadi persamaan (13) [6].
0
2 2
2
, 1 , , 1 1
2
, 1 , , 1 1
=

+
+

+
+ +
z
P P P
x
P P P
k i k i k k i k i k
(13)
Dengan menggunakan diskretisasi beda hingga (finite difference) dan skema metode numerik
FTCS (forward time centered space), persamaan (13) dapat diaproksimasi dan ditulis dalam
bentuk persamaan (14) [3].
( )
( )
n
j i e
n
k i
n
k i
n
k i
h
n
k i
n
k i
n
k i
h n
k i
n
k i
q
A
t
h h h
z A
t T
h h h
x A
t T
h h
, 1 , , 1 , 2
, 1 , , 1 2 ,
1
,
2
2

+ +

+
+

+ =
+
+
+
(14)

dimana n merupakan level waktu.
3.2. Geometri, Syarat Batas dan Syarat Awal Reservoir
Reservoir pada simulasi ini diasumsikan berada pada keadaan alaminya tanpa ada perlakuan
proses produksi selama simulasi baik berupa pengambilan massa fluida dari dalam reservoir
maupun injeksi fluida ke dalam reservoir. Pada keadaan awal, belum ada aliran massa maupun
energi dari dan keluar reservoir, reservoir pada keadaan ini diasumsikan berada pada fasa air
dengan gradien temperatur 0,07

C/m [7].
Formasi reservoir terletak pada kedalaman 250 meter di bawah permukaan bumi dengan ketebalan
formasi 1,5 km dan lebar formasi secara horizontal juga 1,5 km. Ketebalan 250 m pada bagian
paling bawah formasi ditafsirkan sebagai daerah di bawah pengaruh kuat ruang magma (magma
chamber) dan ruang tengah vertikal pada reservoir merupakan daerah rekahan (fractured zone)
yang memiliki porositas dan konduktivitas termal paling tinggi dibandingkan daerah sekitarnya.
Formasi ini selanjutnya didiskretisasi dengan ukuran grid 5x5 m.
Semua dinding reservoir diasumsikan impermeabel baik terhadap fluks massa maupun fluks energi
kecuali sel paling bawah pada ruang magma yang terletak pada daerah rekahan merupakan daerah
yang permeabel terhadap fluks energi. Geometri dan kondisi batas dari reservoir selanjutnya
diperlihatkan pada Gambar 1.
Estimasi Distribusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoir Panas Bumi 35
















Gambar 1. Geometri dan Kondisi Batas Reservoir
Daerah yang diarsir pada gambar di atas menyatakan daerah rekahan dengan porositas dan
konduktivas termal paling tinggi, warna merah-gelap menyatakan daerah yang ditafsirkan sebagai
daerah di bawah pengaruh kuat ruang magma, dan sel dengan warna hitam merupakan daerah yang
permeabel terhadap fluks energi tempat masuknya energi dari ruang magma ke dalam reservoir.
Formasi yang ditinjau lebih lanjut dalam simulasi ini adalah daerah di atas warna merah-gelap.
Daerah warna merah-gelap (daerah di bawah pengaruh kuat ruang magma) memiliki kontras
entalpi dan temperatur yang sangat tinggi dibandingkan dengan daerah di atasnya, sehingga
meninjaunya sekaligus dengan daerah di atasnya menyebabkan daerah di atasnya menjadi tidak
signifikan. Nilai parameter/variabel fisis yang digunakan dalam simulasi ini dinyatakan dalam
Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Parameter / Variabel Fisis
Parameter/Variabel Fisis Nilai Satuan
Konduktivitas Termal Zona Rekahan 5 Watt/m.K
Konduktivitas Termal Daerah Sekitar 1 Watt/m.K
Kapasitas Panas Spesifik 775 J/kg.K
Densitas Fluida 1,000 kg/m
3

Densitas Batuan 2,700 kg/m
3

Porositas Zona Rekahan 17 %
Porositas Daerah Sekitar 1,7 %
Fluks Energi Sumber 100 MWatt/kg.m
2

Pendekatan hidrostatik digunakan untuk menyatakan syarat awal simulasi distribusi tekanan, dan
keadaan awal reservoir dengan gradien temperatur 0,07

C/m digunakan untuk menyatakan syarat


awal entalpi. Distribusi temperatur pada simulasi ini diperoleh secara manual dari steam table [8]
JSME berdasarkan kenyataan bahwa secara termodinamika variabel temperatur merupakan fungsi
dari tekanan dan entalpi.
qe =0, Qe =0
qm=0, Qm=0
qe ? 0, Qe =0
qm=0, Qm=0
qe =0, Qe =0
qm=0, Qm=0
qe =0, Qe =0
qm=0, Qm=0 qe =0, Qe =0
qm=0, Qm=0
qe =0, Qe =0
qm=0, Qm=0
36 Alamta Singarimbun, Robi Irshamukhti dan Cyrke A. Bujung

4. Hasil dan Analisis
4.1. Distribusi Tekanan
Setelah program perhitungan numerik dijalankan, diperoleh hasilnya bahwa distribusi tekanan
hanya sedikit bergantung terhadap waktu. Hal ini karena asumsi tidak adanya fluks massa yang
masuk dan keluar reservoir. Distribusi tekanan merupakan distribusi tekanan hidrostatis, dengan
tekanan terendah terletak pada bagian atas formasi dengan nilai 2,6 MPa sedangkan tekanan
tertinggi terletak pada bagian paling bawah formasi dengan nilai 17,251 MPa. Distribusi tekanan
ini valid selama fasa fluida yang digambarkan oleh distribusi ini masih dalam fasa air.
4.2. Distribusi Entalpi
Keadaaan awal reservoir pada simulasi ini merupakan reservoir fasa tunggal (air). Dengan adanya
fluks energi yang masuk ke dalam reservoir secara terus menerus dari ruang magma
mengakibatkan keadaan air berubah menjadi uap atau dua fasa uap-air.















Gambar 2. Distribusi Entalpi Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-50













Gambar 3. Distribusi Entalpi Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-100
Estimasi Distribusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoir Panas Bumi 37














Gambar 4. Distribusi Entalpi Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-150
Hasil simulasi di atas menunjukkan adanya perambatan energi ke seluruh formasi reservoir akibat
adanya fluks energi dari ruang magma yang masuk terus menerus ke dalam reservoir seperti
diperlihatkan pada Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4.. Perambatan energi ini mengakibatkan
peningkatan energi pada permukaan yang ditunjukkan dengan peningkatan entalpi reservoir di
permukaan. Peningkatan energi ini dapat menyebabkan perubahan fasa fluida dari air menjadi uap
atau dua fasa uap-air jika peningkatan entalpi telah melewati ambang batas nilai entalpi saturasi air.
Akibatnya ketebalan reservoir yang hanya mengandung satu fasa air semakin lama akan semakin
menipis seiring dengan peningkatan waktu. Pada tahun ke-1500, ketebalan reservoir fasa air pada
daerah rekahan hanya tersisa 5 meter dengan nilai entalpi pada bidang batas dua-fasa sebesar 830
kJ/kg dan besarnya entalpi di permukaan reservoir 540 kJ/kg. Simulasi ini dilakukan sampai
dengan tahun ke-1500, di atas 1500 tahun fluida di seluruh ruang tengah reservoir (fractured zone)
telah berubah menjadi uap.
4.3. Distribusi Temperatur
Distribusi temperatur untuk keadaan satu fasa ditampilkan pada Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar
7. Bidang datar x-y dalam gambar tersebut menyatakan bidang vertikal reservoir 2D yang
disimulasikan dan 0 pada sumbu thickness of reservoir dimulai dari permukaan reservoir itu
sendiri.
Terlihat pada hasil simulasi tersebut bahwa distribusi temperatur memiliki kecenderungan yang
sama dengan distribusi entalpi. Ketebalan reservoir yang hanya mengandung satu fasa air semakin
lama akan semakin menipis seiring dengan peningkatan waktu. Hal ini diikuti dengan peningkatan
temperatur yang terus merambat ke permukaan. Akan tetapi, sebagaimana dengan hasil simulasi
entalpi, peningkatan ini secara umum tidaklah linear terhadap kedalaman. Linearitas baru
diperoleh ketika ketebalan reservoir yang hanya mengandung satu fasa air tersebut semakin
menipis.



38 Alamta Singarimbun, Robi Irshamukhti dan Cyrke A. Bujung















Gambar 5. Distribusi Temperatur Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-50















Gambar 6. Distribusi Temperatur Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-100














Gambar 7. Distribusi Temperatur Fasa Tunggal Pada Tahun Ke-250
Estimasi Distribusi Temperatur, Entalpi dan Tekanan dalam Reservoir Panas Bumi 39

5. Kesimpulan
Hasil simulasi dapat memperlihatkan distribusi beberapa parameter fisis penting dalam reservoir
bumi. Distribusi nilai tersebut dapat dilihat perubahannnya sebagai fungsi waktu Besarnya nilai
temperatur di permukaan reservoir pada zona rekahan pada tahun ke- 50, 100 dan 250. Hasil ini
dapat memberi gambaran untuk memperkirakan kapan suatu reservoir panas bumi dapat secara
poternsial untuk dieksploitasi. Hal ini bergantung kepada efek termal dari ruang magma yang telah
mulai sampai ke permukaan reservoir yang ditunjukkan dengan kenaikan temperatur di permukaan
reservoir.
Daftar Pustaka
1. T.N. Narasimhan, and K. Pruess. A Practical Method for Modelling Fluid and Heat Flow in
Fractured Porous Media. Lawrence Berkeley Laboratory LBL-13487, University of
California, (1982).
2. A. Singarimbun, A Numerical Model of Magmatic Hydrothermal System: A Case Study of
Kuju Volcano, Central Kyushu, Japan. Kyushu: Department of Mining Engineering, Faculty
of Mining, Kyushu University (1997).
3. A. Sumardi, Pemodelan Numerik Sistem Hidrotermal Lapangan Panasbumi Kamojang.
Bandung: Departemen Fisika FMIPA ITB (2005).
4. G.S. Bodvarsson, and K. Pruess and M.J. Lipmann. Modelling of Geothermal System.
California: University of California (1985).
5. P.S. Huyakorn, and G. F. Pinder. Computational Methods in Subsurface Flow. New York:
Academic Press, Inc. (1983).
6. A.R., Mitchell, and D.F. Griffiths. The Finite Difference Method in The Partial Differential
Equations. John Wiley & Sons Ltd. (1980).
7. J. LeVeque Randall, Finite Difference Methods for Differential Equations. University of
Washington. (2006).
8. JSME. JSME Steam Tables. Japan: The Society of Mechanical Engineers (1980).





Jurnal Material dan Energi Indonesia
Vol. 01, No. 01 (2011) 40 46
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
40
KARAKTERISTIK FOTODIODA DAN SEL SURYA HIBRID BERBASIS
POLIMER POLIALKILTIOFEN
RAHMAT HIDAYAT
,1
, ANNISA APRILIA
1,2
, PRIASTUTI WULANDARI
1
, HERMAN
1

1)
Kelompok Keahlian Fisika Magnetik dan Fotonik, Program Studi Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10, Bandung 40132

2)
Program Studi Fisika, Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang km. 21, Sumedang 45363

diterima 3 November 2010
revisi 8 November 2010
dipublikasikan 28 Februari 2011
Abstrak. Telah dilakukan kajian karakteristik fotoarus dari fotodioda dengan polialkiltiofen, yakni
poliheksiltiofen (P3HT) regio-regular, sebagai bahan aktifnya. Fotodioda tersebut dibuat dalam bentuk
struktur lapis tunggal dengan susunan ITO/P3HT/Al. Karakteristik fotoarus yang teramati menunjukkan
karakterisitik fotodioda umumnya yang dicirikan oleh kondisi space-charged limited current. Akan tetapi,
besar fotoarus tidak tepat bergantung secara kuadratis terhadap tegangan bias, melainkan sedikit bervariasi
bergantung pada intensitas cahaya, yang diduga terkait dengan proses generasi dan transpor pembawa muatan
dalam bahan ini. Karakteristik fotovoltaik dari polimer ini juga telah dikaji dalam struktur sel surya terbalik
(inverted) dengan konfigurasi ITO/ZnO/P3HT/Ag, dimana lapisan ZnO-nya dibuat dengan metoda sol-gel.
Karakteristik fotovoltaik teramati dengan potensial elektroda Ag lebih positif dari elektroda ITO, yang berarti
elektron mengalir dari ITO ke Ag di dalam rangkaian beban. Meski rapat fotoarus lebih kecil dibanding
dengan sel surya P3HT/fullerene, dari hasil ini dapat diklarifikasi kemungkinan terjadinya proses transfer
elektron dari P3HT ke lapisan ZnO, yang juga berperan sebagai lapisan pemblok hole.
Kata kunci : sel surya hibrid, polialkiltiofen, polimer terkonjugasi, ZnO, sol-gel, fotodioda, fotovoltaik
Abstract. Photocurrent characteristics of photodiode made from poly(alkylthiophene) as the active material,
namely regio-regular polyhexylthiophene, has been carried out. This photodiode has a single layer structure
with ITO/P3HT/Al configuration. The measured photocurrent shows a typical photodiode characteristics
which is indicated by space-charged limited current. However, the photocurrent is not exactly depending on
the square of bias voltage, but it is slightly influenced by the light intensity which is related with the
photogeneration and transport of charge carrier. The photovoltaic characteristics of this polymer has been
also investigated in an inverted solar cell structure with ITO/ZnO/P3HT/Ag configuration, where the ZnO
layer was prepared by sol-gel method. The photovoltaic characteristics was indicated by the Ag electrode
with more positive potential than the ITO electrode, as the result of electron flowing from ITO to Ag inside
the load circuit. Although the photocurrent density is smaller compared to the P3HT/fullerene system, the
result may confirm electron transfer process from P3HT to ZnO layer, which is also functioning as hole
blocking layer.
Keywords : hybrid solar cell, poly(alkylthiophene), conjugated polymers, ZnO, sol-gel, photodiode,
photovoltaic
1. Pendahuluan
Berbagai jenis sel surya telah dikembangkan menggunakan bahan anorganik, seperti silikon, CdTe,
GaAs, dan kombinasi dari golongan I-III-VI (misalnya, CuInSe). Dalam dua dekade terakhir ini,
berbagai upaya telah dilakukan secara intensif untuk mengembangkan sel surya dengan

email : rahmat@fi.itb.ac.id
Karakteristik Fotodioda dan Sel Surya Hibrid berbasis Polimer Polialkiltiofen 41

menggunakan bahan organik, yang dapat dikelompokkan menjadi dye synthesized solar cell (DSC)
dan conjugated polymer solar cell (CPSC). Tipe DSC umumnya berbentuk sel basah yang
memiliki efesiensi konversi energi yang relatif besar tetapi rentan terhadap terjadinya aglomerasi
dye dan kebocoran larutan elektrolitnya [1]. CPSC memiliki bentuk padatan (all solid state
devices) sehingga terbebas dari masalah tersebut, namun sayangnya efesiensi konversi sel surya ini
masih rendah dibandingkan tipe DSC. Di antara sel surya berbahan organik ini, sel surya yang
menggunakan polimer terkonjugasi dan turunan fullerene merupakan salah satu jenis yang paling
banyak dipelajari, dengan efesiensi konversi hingga 4.4% telah dilaporkan [2]. Selain kedua tipe
sel surya tersebut, akhir-akhir ini telah dilakukan berbagai upaya untuk mengembangkan sel surya
hibrid dengan struktur persambungan hetero dari bahan polimer terkonjugasi dan semikonduktor
oksida logam [3].
Struktur sel surya hibrid organik/anorganik mendapatkan perhatian yang cukup besar akhir-akhir
ini dalam upaya meningkatkan kinerja devais berbasis bahan polimer/organik. Dalam struktur
semacam tersebut, perbedaan tingkat energi pada persambungan diharapkan akan memfasilitisasi
pemisahan eksiton, yang merupakan produk primer serapan cahaya oleh polimer terkonjugasi. Di
antara bahan oksida yang sering dipakai, ZnO mendapatkan perhatian yang besar karena lapisan
tipis ZnO dapat disintesis dalam suhu rendah dan dengan berbagai metoda penumbuhan, termasuk
metoda deposisi kimia dan sol-gel yang relatif sederhana. Semikonduktor oksida ini memiliki
energi ikat eksiton sebesar 60 meV pada suhu kamar. Tanpa adanya dopan pada ZnO, material ini
merupakan bahan semikonduktor tipe-n. [5]
Dalam makalah ini akan dipaparkan hasil kajian kami tentang fabrikasi sel surya hibrid dengan
persambungan hetero ZnO/poli(alkiltiofen) dan karakteristik fotovoltaiknya. Metoda pembuatan
lapisan tipis ZnO yang digunakan adalah metoda deposisi kimia dan sol-gel. Metoda ini dipilih
karena kemudahan proses pembuatan lapisan tipis, yang memiliki potensi untuk sel berpenampang
luas nantinya. Fungsi kerja dari sel surya ini dikaji melalui pengukuran karakteristik fotoarus statik
dan transien. Akan juga dicoba dikaji kemungkinan keterkaitannya dengan proses elektronik dan
pengaruh dari nano-morfologi lapisan ZnO.
2. Eksperimen
Polialkiltiofen yang digunakan dalam penelitian ini adalah P3HT, yang memiliki gugus samping
alkil (R = C
n
H
n+1
) dengan panjang n = 6. Lapisan tipis polimer dibuat dengan spin-coating larutan
polimer dalam kloroform atau toluene pada substrat gelas atau gelas ITO. Untuk mempelajari
karakteristik fotoarus, lapisan tipis polimer di atas gelas ITO kemudian dilapisi dengan logam
(Aluminium) melalui metoda deposisi vakum fisis. Karakteristik fotoarus dikaji melalui
pengukuran tegangan bias vs. fotoarus (I-V).
Untuk membentuk sel surya, lapisan tipis ZnO dibuat lebih dulu di atas gelas ITO dan kemudian
dilanjutkan dengan lapisan politiofen serta lapisan logam (Ag). Susunan tersebut membentuk
struktur hibrid juga membentuk struktur terbalik (inverted), yakni pengkoleksian elektron pada sisi
ITO. Lapisan ZnO di sini adalah lapisan ZnO dengan doping Alumunium yang dipreparasi melalui
metoda sol-gel. Larutan prekursor dibuat dari Zn asetat dihidrat di dalam pelarut metanol atau
metoksietanol dengan tambahan dietilamin atau dietanolamin sebagai stabilisator. Larutan
prekursor tersebut kemudian dispin-coating di atas gelas ITO dan dikenai pemanasan bertahap
mulai dari suhu 100
o
C hingga 500
o
C. Pengukuran Scanning Electron Microscopy (SEM) dan
Atomic Force Microscopy (AFM) dilakukan untuk mengetahui morfologi dari lapisan ZnO
tersebut. Karakteristik sel surya dikaji melalui pengukuran I-V, dalam keadaan gelap dan di bawah
penyinaran cahaya, dan pengukuran spektrum fotoarusnya.
42 Rahmat Hidayat dkk

3. Hasil dan pembahasan
3.1. Karakteristik foto arus
Gambar 1 menunjukkan hubungan antara tegangan bias vs. fotoarus (I-V) yang diukur dari
struktur ITO/regio-regular P3HT/Al di bawah pengaruh bias mundur dan maju. Kebergantungan
terhadap intensitas cahaya penyinaran di bawah bias mundur lebih tampak jelas dibandingkan di
bawah bias maju. Dalam kondisi gelap, fotoarus tidak teramati karena belum ada pembentukan
pembawa muatan di dalam polimer. Dalam keadaan bias maju, arus lebih didominasi dengan arus
injeksi sehingga kontribusi dari fotoarus kurang terlihat. Di bawah panjar mundur, arus injeksi
sangatlah kecil sehingga kontribusi fotoarus menjadi dominan. Kebergantungan fotoarus terhadap
tegangan bias ternyata tidak secara linier, melainkan mengikuti suatu fungsi pangkat berbentuk
( )
b
V a V I = . Inset dalam Gambar 1 menunjukkan bahwa kurva I-V tersebut dapat difit dengan
hubungan tersebut dengan a = 6.6 10
-10
A and b = 2.2. Hal ini menunjukkan bahwa fotoarus
bergantung hampir secara kuadratis terhadap tegangan bias.
Kebergantungan fotoarus secara kuadratis terhadap tegangan bias dapat mengindikasikan bahwa
karakteristik fotoarus dibatasi oleh akumulasi pembawa muatan pada bidang batas elektroda.
Kondisi semacam ini dikenal sebagai space-charged limited current (SCLC), dimana fotoarus
diberikan oleh hubungan: [4]
2
3
9
8
s
SCL
V
j nq E
d

= =
(1)
dengan j adalah rapat fotoarus dan V adalah tegangan bias. Secara umum, efek akumulasi
pembawa muatan ini terjadi pada bidang batas metal/semikonduktor yang menghasilkan medan
listrik internal yang akan membatasi besar aliran arus di dalam devais tersebut. Akan tetapi,
jumlah pembawa muatan di dalam polimer ini, dan juga polimer terkonjugasi secara umum,
tidaklah sebesar dalam bahan kristal semikonduktor inorganik (seperti silikon). Selain itu, lapisan
polimer dalam struktur fotodioda ini bukanlah dalam keadaan terdoping. Oleh karena itu,
karakteristik kurva I-V yang teramati bisa dipengaruhi oleh faktor lain selain efek SCLC.
-2.0E-5
-1.5E-5
-1.0E-5
-5.0E-6
0.0E+0
-12 -10 -8 -6 -4 -2 0
F
o
t
o
a
r
u
s

(
A
)

Tegangan Bias (V)
dark
18V
21V
0 2 4 6 8 10 12
0
1x10
-6
2x10
-6
3x10
-6
4x10
-6
5x10
-6
0 2 4 6 8 10
0
1x10
-6
2x10
-6
3x10
-6
4x10
-6
Iluminasi
(Lux)
200K
160K
120K
80K
40K
12K
dark
F
o
t
o
a
r
u
s

(
A
)
Tegangan Bias (V)
I
Illum
120KLux
fitting
F
o
t
o
a
r
u
s

(
A
)
TeganganBias (V)
Gambar 1. Karakteristik fotoarus diukur dari struktur ITO/P3HT(regio-regular)/Al
pada berbagai intensitas cahaya (a) di bawah tegangan bias mundur dan (b) tegangan
bias maju. Inset: Hasil kurva fiting untuk fotoarus diukur pada intensitas cahaya 120
KLux.
(a) (b)
Karakteristik Fotodioda dan Sel Surya Hibrid berbasis Polimer Polialkiltiofen 43

Meskipun sifat kelistrikan dari polimer terkonjugasi ini dapat dijelaskan secara sederhana dengan
mengadopsi konsep pita energi dan pembawa muatan elektron-hole seperti dalam bahan kristal
semikonduktor anorganik, terdapat perbedaan yang mendasar pada skala mikroskopik. Produk
foto-eksitasi adalah eksiton polaron, yakni pasangan elektron dan hole yang terstabilkan oleh
distorsi struktur molekul sehingga memiliki energi ikat yang besar. Eksiton tersebut harus
mengalami disosiasi untuk menghasilkan pembawa muatan bebas, yakni polaron negatif dan
polaron positif, suatu keadaan yang membawa elektron dan hole tetapi disertai juga dengan
distorsi struktur molekul. Oleh karena itu, konsentrasi pembawa muatan (n) dan mobilitas
pembawa muatan () di dalam persamaan (1) tidaklah konstan untuk polimer ini.
Model Onsager sering dirujuk untuk mendeskripsikan karakteristik fotogenerasi dalam bahan
dengan ke-takteraturan keadaan dan energi ikat eksiton yang besar [5]. Dalam kondisi semacam
tersebut, proses disosiasi eksiton memerlukan bantuan medan listrik seperti diilustrasikan dalam
Gambar 2. Fotoarus di dalam bahan merupakan produk dari proses pembangkitan pembawa
muatan yang bergerak di bawah pengaruh tegangan bias (V), yang diberikan oleh hubungan

( ) ( )
d
V
E T h E g e I
h
, , =
(2)
dimana E adalah medan listrik lokal, g adalah laju fotogenerasi, adalah mobilitas pembawa
muatan, adalah waktu hidup pembawa muatan dan d adalah ketebalan lapisan polimer. Laju
fotogenerasi pada energi eksitasi (h) tertentu adalah:
( ) ( )
( , ) ( , , )
ph
h I x
g E T E h T
h

=
(3)
dimana adalah efesiensi pembentukan eksiton per foton yang diserap, (h) adalah absorbansi
(yang bergantung pada energi eksitasinya), dan I
ph
adalah intensitas cahaya pada kedalaman
penetrasi (x) tertentu pada lapisan polimer. Jelas bahwa kebergantungan laju generasi dan
mobilitas pembawa muatan pada medan listrik ini dapat turut memberikan pengaruh pada
karakteristik I-V seperti yang teramati.
E (eV)
r
Gambar 2. Ilustrasi proses disosiasi eksiton yang dibantu oleh medan listrik.
44 Rahmat Hidayat dkk

3.2. Karakteristik sel surya

Dalam sel surya, foto-arus harus terjadi secara spontan, meski tanpa kehadiran medan listrik atau
tegangan bias eksternal. Oleh karena itu, untuk menghasilkan disosiasi eksiton secara spontan,
biasanya dibentuk struktur persambungan donor-akseptor (D-A), baik dalam bentuk persambungan
bulk-hetero ataupun lapisan hetero. Dalam penelitian ini digunakan persambungan lapisan hetero
dengan struktur terbalik (inverted) ITO/ZnO/P3HT/Ag. Meskipun ZnO sering dipakai sebagai
lapisan transpor elektron, dalam penelitian ini kami menduga bahwa ZnO dapat juga berperan
sebagai akseptor. Elektron akan mengalir keluar lewat lapisan ZnO dan kemudian ke ITO,
sehingga elektroda ITO akan memiliki tegangan lebih negatif dibanding elektroda emas. Diagram
tingkat energi dan ilustrasi aliran pembawa muatan (elektron dan hole) ditunjukkan dalam Gambar
3. Dalam kondisi terbalik seperti ini, sel surya ini beroperasi dengan polarisasi yang berlawanan
dibandingkan dengan struktur sel surya polimer konvensional [24].
Lapisan ZnO yang dipakai dibuat dengan metoda sol-gel [2]. Hasil pengukuran Energy Disperse
Spectrum (EDS) dari lapisan yang telah dibuat menunjukkan kandungan ZnO, yakni 22.3% ZnO
dan 77.3% In
2
O
3
(yang berasal dari substrat gelas ITO yang dipakai). Gambar 4 menunjukkan citra
AFM
300 400 500 600 700 800
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
E
Q
E

(
%
)
Wavelength (nm)
-0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
C
u
r
r
e
n
t

(
m
A
)
/
c
m
2
Voltage (V)
dark
irradiated
(a) (b)
Gambar 5 (a) Kurva I-V dalam keadaan gelap dan penyinaran cahaya. (b) Spektrum
fotoarus yang menunjukkan dua daerah sintesasi, yang masing-masing berasal dari ZnO
dan P3HT.
Gambar 4. Citra AFM yang menunjukkan morfologi
lapisan ZnO dengan kekasaran < 10 nm.
Gambar 3. Diagram tingkatan energi untuk sel surya
hibrid.
Karakteristik Fotodioda dan Sel Surya Hibrid berbasis Polimer Polialkiltiofen 45

lapisan ZnO yang telah dibuat dengan uniformitas yang baik dan kekasaran permukaan < 10 nm.
Dengan mengatur konsentrasi prekursor dan kecepatan putaran spin coater, dapat dibuat lapisan
ZnO dengan ketebalan berkisar dari 30-200 nm.
Fullerene atau PCBM tidak ditambahkan ke dalam P3HT dalam sel surya ini karena kami ingin
mengklarifikasi kemungkinan fungsi ZnO juga sebagai lapisan akseptor dalam kajian ini. Gambar
5(a) menunjukkan kurva I-V dari sel surya hibrid ini. Dalam keadaan gelap, tampak bahwa arus
berubah secara linier terhadap perubahan tegangan. Di bawah penyinaran simulator surya AM 1.5,
kurva I-V yang terukur jelas-jelas menunjukkan karakteristik fotovoltaik. Elektroda Ag memiliki
potensial lebih positif dibandingkan elektroda ITO, yang berarti juga elektron mengalir dari ITO
ke Ag. Karakteristik ini jelas menunjukkan fungsi kerja yang terbalik (inverted) dari karakterisitik
fotodioda jenis ini dengan struktur yang standar. Dalam struktur standar, elektroda ITO bermuatan
lebih positif dari elektroda metal, umumnya Al. yang berarti elektron mengalir dari Al ke ITO.
Akan tetapi, kurva I-V dalam kedua kondisi tersebut sepertinya menunjukkan karakteristik Ohmic,
yakni perubahan arus yang hampir linier terhadap perubahan tegangan. Karakteristik ini sedikit
berbeda dengan karakteristik efek fotovoltaik yang umum dengan karakteristik dioda, yang
dipengaruhi oleh adanya daerah space-charge yang terbentuk di bidang batas persambungan.
Karakteristik ini belum dapat dipahami sepenuhnya saat ini, tetapi diperkirakan terkait dengan
karakteristik persambungan ZnO/P3HT yang terbentuk. Spektrum fotoarus dalam Gambar 5(b)
menunjukkan sebuah pita dengan puncak di 500 nm dan sebuah pita dengan puncak di 350 nm,
yang masing-masing merupakan fotoarus yang berasal dari hasil sentisasi molekul ZnO dan P3HT.
Masing-masing pita tersebut memiliki bentuk yang serupa dengan spektrum absorbsinya.
4. Kesimpulan
Telah berhasil dibuat devais fotodioda dan sel surya dengan bahan aktif P3HT. Untuk sel surya,
struktur yang dibuat adalah struktur terbalik (inverted) dengan lapisan ZnO yang dibuat dengan
metoda sol-gel. Karakteristik fotodioda yang teramati mirip dengan karakteristik fotodioda
umumnya, yang biasanya dipengaruhi oleh efek SCLC. Akan tetapi, teramati adanya deviasi dari
model SCLC bergantung pada intensitas penyinaran cahaya, yang diduga terkait dengan
mekanisme generasi dan transpor pembawa muatan dalam P3HT. Efek fotovoltaik juga teramati
dalam struktur sel surya terbalik yang telah dibuat. Fotoarus mengalir dari elektroda Ag ke
elektroda ITO. Meski fotoarus yang teramati kecil, hasil yang diperoleh dapat mengklarifikasi
kemungkinan terjadinya proses transfer elektron dari P3HT ke lapisan ZnO, yang juga berperan
sebagai lapisan pemblok hole.
Ucapan terima-kasih
Penulis berterimakasih pada program Riset Unggulan Institut Teknologi Bandung. 2009 (Project
number: 0098/k01.20/SPK-LPM/I/2009). Penulis juga berterima kasih pada Prof. Masanori Ozaki,
Osaka University, yang telah memberikan kesempatan menggunakan beberapa peralatan yang
digunakan dalam penelitian ini.
Daftar Pustaka
1. M. Law et al., Nanowire dye-sensitized solar cells, Nat. Mater., 4 (2005) 455; T. Oekermann,
et al., J. Phys. Chem. B 108 (2004) 22272235.
2. H. Hoppe and N. S. Sariciftci, Polymer Solar Cells, Adv Polym Sci., DOI 10.1007 (2007) 121;
C. J. Brabec, Plastic Solar Cells, Adv. Funct. Mater., 11 (2001) 15; G. Li et al., Nat. Mater. 4
(2005) 864.
3. T. Shirakawa et al., J. Phys. D: Appl. Phys., 37 (2004) 847-850; J. Owen et al., Appl. Phys.
Lett. 90 (2007) 033512.
4. S. M. Sze, Physics of Semiconductors and Devices, (1981), John Wiley, New York.
46 Rahmat Hidayat dkk

5. S. Barth, D. Hertel, Y.-H. Tak, H. Bassler, and H.H. Horhold, Chem. Phys. Lett. 274 (1997)
165
6. . zgr et al., J. Appl. Phys., 98 (2005) 041301.
7. Beek et al., Adv. Funct, Mater, 16 (2006) 1112-1116.
8. P. Quist et al., J. Phys. Chem.. B, 110 (2006) 10315-10321.
9. Sekine Nobuyuki et al., Org. Electron. (2009), doi:10.1016/j.orgel.2009.08.01.
10. Annisa Aprilia, Herman, and Rahmat Hidayat, AIP Conference Proceedings Vol. 1284 (2010)
142-147.





Jurnal Material dan Energi Indonesia
Vol. 01, No. 01 (2011) 47 57
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
47
SIMULASI LATTICE BOLTZMANN UNTUK MENENTUKAN
KONSENTRASI POLARISASI PADA SOLID OXIDE FUEL CELL
IRWAN ARY DHARMAWAN

, DINI FITRIANI, KUSNAHADI SUSANTO


Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang km.21, Jatinangor 45363, Indonesia
WAHYU PERDANA YUDISTIAWAN
School of Chemical and Biomedical Bioengineering
Nanyang Technological University
Nanyang Road, Singapore
diterima 3 November 2010
revisi 24 Februari 2011
dipublikasikan 28 Februari 2011
Abstrak. Dalam makalah ini telah disimulasikan metoda lattice Boltzmann untuk memprediksi nilai
konsentrasi polarisasi pada Solid Oxide Fuel Cell (SOFC). Nilai konsentrasi polarisasi pada SOFC sangat
dipengaruhi oleh bentuk geometri pada anoda berporinya. Metoda Lattice Boltzmann digunakan untuk
menghitung konsentrasi H2 dan H2O untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam persamaan Nerst untuk
menghasilkan nilai konsentrasi polarisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai konsentrasi
polarisasi terendah dimiliki oleh bentuk geometri anoda yang memiliki porositas tinggi.
Kata kunci : konsentrasi polarisasi, metode lattice Boltzmann
Abstract. In this paper, we performed lattice Boltzmann method to predict the polarization concentration of
the SOFC. The polarization concentration value is depends on the anode geometry itself. The lattice
Boltzmann is used to calculate the concentration of H2 and H2O, and these value will be consider as the input
for the Nerst equation to produce polarization concentration value. Results showed that the lowest
concentration polarization is obtained for the higher porosity media.
Keywords : concentration polarization, lattice Boltzmann method
1. Pendahuluan
Dengan semakin terbatasnya sumber energi dari bahan fosil (bahan bakar minyak atau BBM) dan
meningkatnya konsumsi energi dunia, khususnya energi listrik serta dengan semakin tingginya
harga minyak dunia saat ini, mendorong pencarian sumber energi alternatif yang dapat
diperbaharui. Salah satu sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui dan sangat berpotensi
untuk dikembangkan di Indonesia adalah sumber energi berbasis hidrogen.
Fuel Cell atau sel bahan bakar adalah sebuah divais elektrokimia yang mengubah energi kimia ke
energi listrik secara kontinyu. Dari berbagai macam teknologi sel bahan bakar yang ada saat ini,
salah satu sel bahan bakar yang sering digunakan pada industri adalah sel bahan bakar oksida
padatan atau Solid Oxide Fuell Cell (SOFC), selain mempunyai efisiensi yang lebih tinggi, SOFC
tidak memerlukan jaringan pemasok hidrogen yang banyak dibandingkan sel bahan bakar lainnya
seperti molten carbonate, polymer electrolyte, phosphoric acid dan alkali [1]. Namun, di pihak lain

email : iad@phys.unpad.ac.id
48 Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan

SOFC mempunyai kelemahan yaitu temperatur kerja yang cukup tinggi dibandingkan sel bahan
bakar lainnya [2].
Pada prinsipnya SOFC terdiri dari dua buah elektroda yang berpori, yaitu katoda dan anoda. Dua
buah elektroda karbon yang tercelup dalam larutan elektrolit (dalam hal ini asam) dan dipisahkan
dengan sebuah pemisah gas. Bahan bakar, dalam hal ini hidrogen, digelembungkan melewati
permukaan satu elektroda melewati elektroda lainnya. Ketika kedua elektroda yang secara listrik
dihubungkan dengan beban luar, beberapa hal terjadi yaitu hidrogen menempel pada permukaan
katalitik elektroda, membentuk ion ion hidrogen dan elektron elektron. Ion ion hidrogen (H
+
)
migrasi melewati elektrolit dan pemisah gas ke permukaan katalitik elektroda oksigen. Secara
simultan, elektron elektron bergerak melewati lintasan luar pada permukaan katalitik yang sama.
Oksigen, ion ion hidrogen dan elektron bersatu pada permukaan elektroda membentuk gas H
2
O.
Reaksi total yang dihasilkan adalah H
2
O dan energi.
Kinerja SOFC bergantung kepada fenomena transport fluida dalam anoda dan faktor geometrinya
[24], selain itu menurut Yakabe, kinerja SOFC sangat bergantung pada faktor konsentrasi
polarisasi [5]. Faktor konsentrasi polarisasi menunjukkan kehilangan energi yang berkaitan dengan
efek perpindahan massa dalam proses difusi gas pada anoda. Laju difusi ini sangat bergantung
pada faktor geometri anoda seperti ukuran pori, porositas dan tortuositas. Dalam penelitian ini
hanya difokuskan pada faktor konsentrasi polarisasi, dimana perhitungannya menggunakan
persamaan Nerst dan dalam perhitungannya melibatkan faktor transport dan geometri anoda.
Transport gas dalam anoda disimulasikan secara numerik menggunakan metoda Lattice Boltzmann
yang telah dimodifikasi untuk aliran gas multikomponen [67]. Dari simulasi ini dihitung nilai
konsentrasi gas hidrogen dan air pada elektroda untuk selanjutnya akan digunakan dalam
persamaan Nerst.
2. Pemodelan dan Simulasi
2.1. Proses Difusi
Proses difusi dalam media berpori memenuhi hukum Stefan Maxwell yaitu :

=
N
i j
j ij T
j i i j
i
D c
X X
X
1
J J
(1)

Dengan
i
X dan
i
J adalah fraksi mol dan mol fluks dari gas komponen ke i , sedangkan
T
c adalah
total konsentrasi molar dan
ij
D merupakan koefisien difusi antardua buah komponen. Persamaan
di atas merupakan persamaan yang menggambarkan kasus difusi untuk gas multikomponen dalam
campuran yang ideal, dengan N menyatakan jumlah komponen gas yang terlibat dalam sistem.
Apabila 2 = N , maka persamaan (1) akan berubah menjadi persamaan hukum Fick, yang
dinyatakan oleh persamaan (2)
i T i
X D c J = (2)
Persamaan (2) menyatakan bahwa setiap komponen gas dalam campuran akan terdifusi dari suatu
daerah yang konsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi rendah. Proses difusi untuk masing-
Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell 49


masing gas terlibat disertakan, karena proses ini sangat berhubungan erat dengan perhitungan rapat
arus pada anoda yang secara langsung nantinya akan diketahui besarnya konsentrasi polarisasi.
2.2. Metoda Lattice Boltzmann
Simulasi numerik dalam penelitian ini bertujuan: (i) memvalidasi model matematik yang
dikembangkan sekaligus sebagai kontrol model tersebut, (ii) Untuk memahami proses yang
sebenarnya terjadi pada SOFC, (iii) mengetahui pengaruh geometri terhadap faktor-faktor yang
menunjang kinerja SOFC, (iv) mengetahui perilaku SOFC beserta kinerjanya apabila komponen
gasnya divariasikan.
Pada dasarnya metoda LB yang dikembangkan adalah metoda LB yang diadopsi dari model yang
dikembangkan oleh Joshi [67], dimana persamaan umumnya diungkapkan oleh persamaan
berikut :
) , ( ) , ( ) 1 , ( t x t x f t e x f
i i i i

+ = + + (3)
Dengan
i
f

merupakan fungsi distribusi partikel pada posisi x dan waktu t yang didefinisikan
sebagai jumlah partikel dari komponen ke i yang bergerak dengan kecepatan sepanjang arah
i
e

. Indeks i menyatakan indeks komponen gas yang berada dalam system anoda. Jumlah
komponen pada gas anoda ada sebanyak tiga terdiri dari H
2
, O
2
dan H
2
0.
i

adalah operator
tumbukan, di mana dalam hal ini menggunakan operator BGK atau Bhatnagar-Gross-Krook. Kisi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kisi D2Q9 yang merupakan kisi dua dimensi dengan
sembilah arah kecepatan, yang digambarkan pada gambar 1 berikut :












Gambar 1 Gambar sembilan arah kecepatan untuk komponen gas pertama atau yang teringan
pada metoda LB D2Q9
Adapun vektor kecepatan untuk masing-masing komponennya adalah :

n M
T k
e
B
1
1
=

,
n M
T k
e
B
2
2
=

,
n M
T k
e
B
3
3
=

(4)

50 Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan

Dengan
B
k , T , M dan n menyatakan konstanta Boltzmann, temperatur, berat molekul dan mol
secara berturut-turut. Sedangkan untuk operator tumbukannya dinyatakan oleh

33 32 31 3
23 22 21 2
13 12 11 1



+ + =
+ + =
+ + =
(5)

Persamaan (5) menyatakan operator tumbukan untuk masing-masing partikel gas, yang masing-
masing sukunya dinyatakan oleh persamaan berikut :

|
|

\
|
=
i
i i
ii
f f

(6)
) ( ) (
1
2
,
) (
j i
i
i s
eq i
j
ij
D
ij
e
c
f
u u u
|
|

\
|
=

(7)
Persamaan (6) menyatakan operator tumbukan antarpartikel sejenis, sedangkan persamaan (7)
menyatakan operator tumbukan antarpartikel antarkomponen. Sedangkan
) (eq i
f

,
ij
D
, ,
2
sj
c dan
u menyatakan fungsi kesetimbangan, waktu relaksasi, densitas, kecepatan suara dan kecepatan
fluida secara berturut-turut.
Fungsi kesetimbangan yang dipilih untuk simulasi multikomponen adalah [7] :
) (
2
,
) 0 (
2
,
4
,
2
,
) (
) ( ) (
1
2 2
) (
1
eq i
i s
i
i
i s i s
i
i s
i
i
eq i
f
c
e
f
c c
e
c
e
n f




(
(


+ =
(
(

+ =
u u u
u u u u
(8)
Dengan

adalah vektor bobot statistik, dimana untuk D2Q9 nilainya adalah :


36
1
9
1
9
4
8 7 6 5
5 4 3 2
1
= = = =
= = = =
=

(9)
Waktu relaksasi dalam perasmaan (7) ditentukan oleh besarnya nilai koefisien difusi
antarkomponen sebagai berikut

|

\
|
=
2
1
2
ij
D
j i
ij
M M n
P
D

(10)

Variabel
i
M menyatakan berat molekul dari komponen ke i . Sedangkan tekanan ( P ) ditentukan
oleh persamaan berikut :
Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell 51


2
3 , 3
2
2 , 2
2
1 , 1 s s s
c c c P + + = (11)

Dengan
3
1
1 ,
=
s
c ,
2
1
2 ,
3
1
M
M
c
s
= ,
3
1
3 ,
3
1
M
M
c
s
= (12)
Persamaan (12) menyatakan kecepatan suara dalam metoda LB untuk setiap komponennya. Dari
persamaan (11) dan (12) maka persamaan (11) dapat dinyatakan sebagai
3 / n M P
i
= (13)
Dari persamaan (13) terlihat bahwa jika tekanan bernilai tetap maka total konsentasi ( n ) akan
bernilai tetap. Dengan mensubstitusikan persamaan (13) ke dalam persamaan (10) dihasilkan
persamaan berikut
|
|

\
|
(

=
6
1 2
1
ij
D
j i
ij
n M M
M
D

(14)
Dari persamaan (14) dapat dihitung koefisien relaksasi untuk setiap kisinya sebagai berikut
(

+ =

n
M
M M
D
j i
ij
ij
D
1
3
2
1
(15)
Untuk menjaga kestabilan numerik maka harus diupayakan agar koefisien relaksasi (15) selalu
berharga dalam orde satu [7].

Besaran makro yang diperoleh dari metoda ini diperoleh dengan persamaan (16) dan (17) berikut
di bawah ini :
i i i
n M = (17)

=
=
3
1 i
i
(18)
Dengan
i
n menyatakan kerapatan partikel ke i yang dihitung melalui persamaan (4.19)

=
=
8
0

i
i
f n (19)
Dan total jumlah densitas diperoleh menggunakan persamaan (20)
3 2 1
n n n n + + = (20)
Untuk komponen ke i , kecepatan
i
u digunakan untuk menghitung fungsi kesetimbangan dengan
menggunakan persamaan (21). Namun demikian kecepatan komponen
i
u digunakan untuk
menghitung mol flux yang dievaluasi menggunakan persamaan (22) . Selain itu persamaan (22)
digunakan untuk menurunkan syarat batas pada inlet dan outlet. Mol flux dan kecepatan campuran
u dihitung menggunakan persamaan (23) dan (24).
i i
i i
e f u n


=
=
8
0
(21)
52 Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan


= =
|
|

\
|
+ +
|
|

\
|
=
8
0
,
8
0
1 1 1 1
4 4



i eq i
ik ij
i i
ik ij
i i
e f e f u n (22)
i i i
u n J = (23)
3 3 2 2 1 1
u u u u + + = (24)

Syarat batas
Untuk menangani syarat batas untuk konsentrasi dan fluks maka kita perlu memodifikasi
kecepatan terlebih dahulu dengan menggunakan

(25)


dan parameter relaksasi
(26)


Dengan kedua persamaan di atas, maka persamaan (22) dapat dinyatakan kembali menggunakan

(27)

(28)

Dengan mendefinisikan variabel dummy

(29)



Persamaan (19) , (27) dan (28) dapat dimodifikasi menjadi

(30)


(31)



(32)


(33)


1
~
M
M
i
i i
u u =
|
|

\
|
+ =
ik ij

1 1

+ =
i
i i
x i x
S f e u n
, 1 ,
) 4 (
~
4

+ =
i
i i
y i y
S f e u n
, 2 ,
) 4 (
~
4

eq
i
eq
i
eq
i
eq
i
eq
i
eq
i i
eq
i
eq
i
eq
i
eq
i
eq
i
eq
i i
f f f f f f S
f f f f f f S
, 9 , 8 , 5 , 7 , 6 , 3 , 2
, 8 , 7 , 4 , 9 , 6 , 2 , 1
+ + =
+ + =
[ ]
[ ]
i x
i i i i i i i i i
i
u
S f f f f f f f f f
n
,
1 5 8 4 7 3 1 8 7 4
~
4 ) 4 (
) )( 4 ( ) )( 4 (

+ + + + + + + +
=


+ + + =

4
~
4
, 2 ,
5 8 7 3 9 6
i i y i i i i i i
S u n
f f f f f f
2
,
, 1 ,
8 7 9 6
9
2
4
~
4
i s
x
i i x i i i i
c
n S u n
f f f f
u


+ + = +

2
,
4 2
9
2
i s
x i i
c
n
f f
u
+ =
Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell 53


Persamaan (30) s.d (33) menyatakan fungsi distribusi partikel pada syarat batas inlet yang akan
ditentukan, dan secara simultan keempat persamaan tersebut dapat diselesaikan. Hal yang sama
pula dapat diterapkan untuk syarat batas di outlet.
2.3. Sistem transport gas
Dua buah parameter utama tak berdimensi dalam persamaan transport dalam poros media adalah
porositas , yang didefinisikan sebagai fraksi luas anoda yang ditempati oleh pori, dan fluks
*
J .
Hubungan kedua parameternya dijelaskan oleh persamaan berikut :
31
*
D c
JL
T
= J (34)
Dengan J menyatakan mol fluks pada TPB (Triple Phase Boundary), L adalah panjang media,
T
c total konsentrasi molar dan
31
D koefiesien difusi antara H
2
dan N
2
. Secara fisis
*
J merepresentasikan besarnya transport konveksi dan difusi massa dari gas hidrogen melalui gas
nitrogen. Nilai
*
J berorde sekitar 10
-2
, karena transport massa dalam SOFC lebih didominasi oleh
proses difusi. Parameter LB dapat dipilih secara sembarang sepanjang bilangan tak berdimensi
yang dipilih ada benar. Sebagai contoh untuk mensimulasikan kasus di mana
*
J = 0.16, parameter
LBnya adalah (dalam satuan kisi) 150 = L , 069 . 0 = J , 600 =
T
c , 337 . 0
12
= D ,
069 . 0
23
= D dan 1085 . 0
31
= D . Fraksi mol yang dipilih adalah H
2
= 0,47, H
2
O = 0,03 dan N
2

= 0,5 yang terletak pada 0 = x . Nilai
*
J juga dapat direlasikan dengan arus pada sel bahan bakar
melalui :
J F i = 2 (35)
i menyatakan rapat arus dan F adalah konstanta Faraday. Dalam kasus ini mol fluks akan selalu
konstan pada TPB, hal ini menyebabkan rapat aruspun akan konstan pada antarmuka anoda-
elektrolit. Nilai arus yang tidak berdimensi dinyatakan oleh
*
31
*
2
J = =
D Fc
iL
i
T
(36)

Tegangan yang dihasilkan E diperoleh menggunakan tekanan parsial (atau fraksi mol) dari
hidrogen sebagai bahan bakar, dan produk antara H
2
O dan O
2
pada TPB melalui persamaan Nerst
[7]

(
(

+ =
O H
O H
P
P P
F
RT
E E
2
2 2
5 , 0
0
ln
2
(37)
Dalam persamaan (37),
0
E adalah tegangan pada tekanan standar dan R adalah konstanta gas.
Konsentrasi polarisasi (
conc
V ) didefinisikan kehilangan tegangan karena hilangnya konsentrasi
bahan bakar hidrogen melalui anoda (media berpori) pada 0 = x menuju L x = .
TPB g conc
E E V = (38)
54 Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan

Dalam persamaan (37) nilai
g
E ditentukan dengan menggunakan nilai fraksi mol H
2
dan H
2
O
yaitu 0.47 dan 0.03. Sedangkan nilai
TPB
E ditentukan dengan menggunakan nilai fraksi mol pada
TPB menggunakan model LB.
3. Hasil dan diskusi
3.1. Validasi metoda LB
Dalam validasi ini kita akan membandingkan antara nilai konsentrasi polarisasi dengan nilai arus
yang disimulasikan menggunakan LB. Hasilnya kemudian akan diplotkan dengan penelitian
sebelumnya yang dikembangkan oleh Chan et.al [4] dan Zhao [8]. Hasil yang diperoleh disajikan
pada gambar 2 di bawah ini

Gambar 2 Validasi model LB untuk porositas 0,3
Media yang dipilih adalah media yang mempunyai porositas 0,3. Dari gambar terlihat bahwa
metoda prediksi metoda LB cukup sesuai dengan dua metoda lainnya, hal ini mengindikasikan
bahwa model LB cukup akurat untuk memodelkan konsentrasi polarisasi dalam SOFC
menggunakan model dua dimensi. Perbedaan nilai konsentrasi polarisasi yang terjadi diprediksi
terjadi karena perbedaan geometri untuk setiap metoda, sehingga menyebabkan faktor tourtuositas
berbeda pula, sedangkan hal ini merupakan faktor yang cukup signifikan dalam kontribusi
penghitungan nilai konsentrasi polarisasi. Selain itu, perbedaan inipun terjadi karena dalam model
LB digunakan sistem ternary yang artinya komponennya terdiri dari tiga jenis gas, sedangkan
model yang lainnya menggunakan sistem binary atau yang terdiri atas dua jenis gas.
3.2. Efek tortuositas pada laju difusi
Pada bagian ini akan disajikan kasus aliran fluida pada anoda dua dimensi. Anoda yang dijadikan
objek merupakan media berpori hasil rekonstruksi secara acak yang divariasikan menurut
porositasnya. Terdapat lima macam geometri anoda pada kasus ini yang diperoleh dengan variasi
porositas dari 0,60 s.d 0,85 dengan ukuran geometri sebesar 128 128 kisi. Pemilihan porositas
Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell 55


bernilai tinggi ini dimaksudkan agar nilai konsentrasi polarisasi yang dihasilkan relatif lebih kecil
dibandingkan dengan porositas yang rendah [7].
Besarnya konsentrasi awal dan fluks mol yang digunakan pada bagian ini sama persis dengan yang
telah dilakukan pada bagian 3.1. Simulasi dilakukan pada mesin komputer dengan prosesor quad
core 2.8 GHz dengan RAM sebesar 8 MB. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan tunak
adalah delapan jam untuk setiap simulasinya.










(a) (b) (c)





(d) (e)
Gambar 3. Profil kecepatan fluida H20 untuk setiap geometrinya (a) porositas 0,6 (b) porositas
0,7 (c) porositas 0,75 (d) porositas 0,8 (e) porositas 0,85
Gambar 3 mengilustrasikan laju aliran fluida dihasilkan oleh H
2
O, bentuk geometri bola pada
media menandakan bentuk penghalang berupa padatan. Pemilihan gas ini semata-mata karena gas
tersebut mendapatkan perlakuan mol fluks yang lebih tinggi dibandingkan gas lainnya, sehingga
pola fluks yang dihasilkan lebih jelas. Hasil yang diperoleh untuk gas H
2
tidak jauh berbeda
dengan hasil pada gambar 3, yang berbeda hanyalah skala nilai yang dihasilkan.
Gambar 3 menjelaskan bahwa meskipun fluks yang diberikan untuk anoda media berpori ini
sangat rendah, namun dari hasil simulasi terlihat munculnya vorteks laminar di sekitar penghalang.
Hal ini berlaku pula untuk gas H
2
. Pola aliran yang ditunjukkan pada gambar 3 menggambarkan
bagaimana pengaruh trajektori fluida dalam hal ini tortuositas untuk setiap alirannya. Tortuositas
merupakan perbandingan antara trajektori fluida sebenarnya dari inlet menuju outlet dengan
panjang geometri sepanjang aliran. Dari gambar 3 terlihat bahwa besarnya luas vorteks laminar
56 Irwan Ary Dharmawan, Dini Fitriani, Kusnahadi Susanto dan Wahyu Perdana Yudistiawan

yang dihasilkan (warna gelap sekitar penghalang) adalah bernilai kecil seiring dengan besarnya
nilai porositas. Pada porositas 0,85 (gambar 3.e) medan fluks yang dihasilkan (warna terang di
sekitar pori) lebih besar dibandingkan luas vorteks laminarnya, hal ini berbeda dengan apa yang
dihasilkan oleh porositas terendah yaitu pada gambar 3(a), di mana luas vorteks laminarnya lebih
besar daripada medan fluks massanya.
Fenomena ini menggambarkan bagaimana pengaruh dari efek tortuositas pada proses difusi gas
multikomponen. Secara umum nilai tortuositas tertinggi dihasilkan oleh bentuk geometri dengan
porositas yang lebih rendah. Hal ini menandakan bahwa geometri dengan porositas yang rendah
akan menghasilkan tingginya resistansi difusi massa karena jejak aliran fluida akan semakin
bersifat tortuos. Meskipun tidak dapat dijelaskan dengan gambar, fraksi mol H
2
O bervariasi
sepanjang arah vertikal dan fraksi terendah ditemukan pada daerah yang mendekati penghalang.
3.3. Efek porositas dan fluks terhadap konsentrasi polarisasi
Ketika fraksi mol H
2
dan H
2
O pada anoda diketahui dengan menggunakan metoda LB, maka
konsentrasi polarisasi dapat dihitung menggunakan persamaan (37) untuk mempelajari kinerja dari
SOFC. Rendahnya konsentrasi bahan bakar pada anoda dapat mengindikasikan tingginya
kehilangan polarisasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa kehilangan ini akan terjadi pada media
dengan nilai porositas yang rendah dan nilai mol fluks yang tinggi. Konsentrasi polarisasi dihitung
dengan memvariasikan nilai porositasnya, grafiknya seperti yang diilustrasikan pada gambar 4 di
bawah ini.
















Rapat arus tak berdimensi (
*
i )
Gambar 4. Konsentrasi Polarisasi pada anoda untuk perbedaan nilai porositas
Dari gambar 4 terlihat bahwa semakin kecil porositasnya maka polarisasinya semakin menaik.
Seperti yang diharapkan, karena
*
i proporsional dengan
*
J , nilai polarisasi terkecil terjadi pada
nilai
*
i yang rendah. Tren umum untuk kurva polarisasi akan sama untuk setiap nilai porositas
anoda yang berbeda, namun semakin kecil porositas maka konsentrasi polarisasi menjadi menaik.
Hal ini disebabkan karena reduksi fraksi mol H
2
pada anoda untuk porositas yang rendah.
K
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i

P
o
l
a
r
i
s
a
s
i

[
V
]

0 0.05 0.1 0.15 0.2
0
0.05
0.1
0.15
0.2
=.65
=.70
=.75
=.80
=.85
Simulasi Lattice Boltzmann untuk menentukan konsentrasi polarisasi pada Sel Oxide Fuel Cell 57


Menaiknya porositas pada anoda mengindikasikan semakin baiknya transport massa dalam bahan
bakar dan rendahnya nilai konsentrasi polarisasi. Namun demikian, untuk porositas tinggi akan
menyebabkan rendahnya kekuatan mekanik dari media tersebut. Porositas dan struktur geometri
yang optimum akan ada apabila kombinasi polarisasi (konsentrasi + aktivasi + ohmic) juga
minimum[6]. Khusus untuk konsentrasi aktivasi dan ohmic tidak dibahas dalam penelitian ini.
4. Kesimpulan
Metoda Lattice Boltzmann (LB) telah dibangun untuk mensimulasikan transport massa dari H
2

(bahan bakar) dan H
2
O (produk) dalam kehadiran gas N
2
pada struktur anoda berpori dalam SOFC.
Struktur geometri yang kompleks mengindikasikan efek tortuositas pada proses difusi gas
sepanjang geometri. Secara numerik efek tortuositas dapat diukur, namun proses difusi satu
dimensi belum dapat digunakan untuk mengoptimalisasi proses transfer massa dalam bentuk
geometri dua dimensi.
Struktur berpori yang digunakan dalam model LB dihasilkan dari pencitraan SEM yang
dikonversikan ke dalam bentuk digital. Hasil-hasil distribusi fraksi mol yang diperoleh untuk
variasi nilai porositas dan mol fluks. Dengan turunnya nilai porositas, konsentrasi bahan bakar
pada anoda secara drastis akan berkurang, hal ini mengindikasikan besarnya nilai konsentrasi
polarisasi, dan demikian pula sebaliknya dengan besarnya nilai porositas maka akan turunnya nilai
konsentrasi polarisasi yang mengakibatkan meningkatnya kinerja dari sel bahan bakar. Namun di
lain pihak, besarnya nilai porositas akan mengurangi nilai kekuatan mekanik dari bahan.
Perhitungan konsentrasi polarisasi belum merupakan jaminan dalam meningkatkan kinerja dari sel
bahan bakar, perlu adanya perhitungan konsetrasi lain seperti aktivasi dan ohmik untuk
memberikan gambaran yang utuh tentang kinerja dari sel bahan bakar.
Ucapan Terimakasih
Penulis berterimakasih pada DIKTI yang telah membiayai penelitain ini melalui program Hibah
Bersaing 2010 No : 005/SP2H/PP/DP2M/III/2010.
Daftar Pustaka
1. S.C. Singhal. Science and Techologi of Solid-Oxide Fuel Cells MRS Bull. Vol 25, No.3, 200 p
16-21
2. Eileen J. De Guire, A Solide Oxide Fuell Cell , Journal of Electrochemical Society (128) 6,
2003
3. S.H.Chan, Z.T. Chia, Anode Micro Model of Solid Oxide Fuel Cell, Journal of the
Electrochemical Society, 148 (4) 2001.
4. S.H.Chan, K.A.Khor, Z.T.Chia, A complete polarization model of a solid oxide fuel cell and its
sensitivity to the change of cell component thickness, Journal of Power Sources (87) 4, 2000.
5. Yakabe, M. Uratani, I. Yasuda, Evaluation and modeling of performance of anode-supported
solid oxide fuel cell, Journal of Power Sources (86) 2000
6. Abhijit S. Joshi, Kyle N. Grew, Aldo A. Peracchio, Wilson K. Chiu, Lattice boltzmann
modeling of 2D gas transport in a solid oxide fuel cell anode, Journal of Power Sources (164),
2007
7. Abhijit S. Joshi, Kyle N. Grew, Aldo A. Peracchio, Wilson K. Chiu, Lattice boltzmann method
for continuum, multi-component diffusion in complex 2D geometries, Journal of Applied
Physics (40) 2007.
8. Feng Zhao, Anil F. Virkar, Dependence of polarization in anode-supported solid oxide fuel
cells on various cell parameters, Journal of Power Sources (141) 5, 2005
Jurnal Material dan Energi Indonesia
Vol. 01, No. 01 (2011) 58 70
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran

58

PENELITIAN BAHAN THERMOELEKTRIK
BAGI APLIKASI KONVERSI ENERGI DI MASA MENDATANG
(REVIEW ARTICLE)
INGE M. SUTJAHJA



Grup Riset Fisika Magnetik dan Fotonik
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132
Indonesia
diterima 22 Oktober 2010
revisi 10 Februari 2011
dipublikasikan 28 Februari 2011
Abstrak. Bahan thermoelektrik adalah bahan unik yang dapat mengkonversi energi panas menjadi energi
listrik, atau sebaliknya yang ramah lingkungan. Kinerja dari bahan thermoelektrik ditentukan oleh nilai figure
of merit (FOM) yang didefinisikan sebagai T=(S
2
/)/T, dengan S adalah koefisien Seebeck, adalah
konduktivitas listrik, adalah konduktivitas thermal, dan T adalah temperatur yang dinyatakan dalam Kelvin.
Devais thermoelektrik konvensional umumnya menggunakan bahan aloy bulk binary semikonduktor.
Walaupun demikian, penggunaan devais thermoelektrik konvensional ini dibatasi oleh nilai efisiensinya yang
relatif masih rendah. Dalam makalah ini direview hasil penelitian bahan thermoelektrik baru dalam usaha
untuk meningkatkan kinerjanya untuk aplikasi. Teknik yang digunakan berupa manipulasi sifat fisis bahan
dengan induksi elemen tertentu (rattler), manipulasi struktur kristal dengan struktur nano, dan
investigasi bahan oksida bulk baru berbasis logam oksida kobalt.
Kata kunci: Bahan thermoelektrik, figure of merit (FOM), thermopower (koefisien Seebeck), resistivitas
(konduktivitas) listrik, konduktivitas thermal.
Abstact. The thermoelectric material is a unique material that can convert the heat energy directly into elec-
trical energy, or vise versa, with environmental friendly properties. In general the performance of the ther-
moelectric material is determined by its figure of merit (FOM) defined by ZT=(S
2
/)/T, where S is the See-
beck coefficient, is the electrical conductivity, is the thermal conductivity, and T is the operating tem-
perature measured in Kelvin. The conventional thermoelectric device commonly used alloy bulk binary sem-
iconductor materials. However its application is limited by its relatively low efficiency compared to other
energy converter methods. In this article we review several investigations on the new thermoelectric mate-
rials to increase its performance for application. The techniques consist of doping the semiconductor mate-
rials with rattler, crystal structure manipulation by using nanostructure, and investigation of new bulk oxide
materials mainly based on cobalt oxide system.
Keywords: thermoelectric material, figure of merit (FOM), thermopower, electrical resistivity (conductivity),
thermal conductivity.

Bahan thermoelektrik adalah bahan unik yang dapat mengkonversi energi panas menjadi energi
listrik, atau sebaliknya, tanpa menghasilkan gas beracun karbondioksida maupun polutan lain
seperti elemen logam berat (ramah lingkungan). Di dalam kehidupan manusia di muka bumi ini
energi panas terutama dihasilkan dari cahaya matahari; energi panas yang tidak berguna banyak

email : inge@fi.itb.ac.id
Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang 59

pula dihasilkan dari limbah industri (pabrik) maupun dari kegiatan antropogenik manusia seperti
kendaraan bermotor (automotive) dan pemakaian AC (air conditioning). Dengan demikian, dengan
menggunakan bahan thermoelektrik ini, energi panas yang jumlahnya berlebih atau tidak berguna
dapat dikonversi menjadi energi listrik yang berguna bagi kehidupan manusia, terutama bagi dae-
rah-daerah terpencil atau terisolir dimana distribusi energi listrik masih memerlukan transmisi-
transmisi energi. Dalam skala aplikasi yang lebih besar, material thermoelektrik ini diharapkan
dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif untuk menggantikan energi dari bahan bakar
fosil yang bersifat tak terbarukan, sejajar dengan sumber-sumber energi alternatif yang lain seperti
tenaga air, geotermal, energi surya, energi angin, energi berbahan bakar biogas, dan energi nuklir.



















Gambar 1. Kebergantungan dari parameter-parameter thermoelektrik: konduktivitas listrik ( ), thermopower (S), dan
konduktivitas thermal () pada konsentrasi pembawa muatan bebas (n). Untuk nilai optimum tertentu, n 10
25
/m
3
=10
19
/cm
3

,faktor daya S
2
mencapai nilai maksimum [1].
Kinerja dari bahan thermoelektrik ditentukan oleh nilai figure of merit (FOM) bahan yang ber-
sangkutan, yang didefinisikan sebagai [1,2]


( ) ( )
l e
T S T S
ZT

+
= =
2 2
(1)

dimana T adalah temperatur mutlak, S adalah thermopower atau koefisien Seebeck, (=1/) ada-
lah konduktivitas (resistivitas) listrik, dan adalah konduktivitas thermal total yang merupakan
jumlahan dari kontribusi elektronik (
e
) dan kontribusi kisi (
l
). Nilai konduktivitas thermal
elektronik berhubungan dengan konduktivitas listrik menurut hukum Wiedemann-Franz [1,2],

T L
e

0

(2)

S
S
2


e

60 Inge M. Sutjahja

dimana L
0
= 2,44 x 10
-8
V
2
/K
2
adalah nilai Sommerfeld dari bilangan Lorenz. Seperti diperlihatkan
dalam Gambar 1, secara umum nilai-nilai parameter S, , dan
e
bergantung pada konsentrasi
pembawa muatan (melalui doping) dalam bahan, yaitu untuk bahan umum logam, semikonduktor,
dan superkonduktor [1]. Secara khusus, faktor daya, S
2
, memiliki sebuah nilai maksimum terten-
tu untuk nilai konsentrasi pembawa muatan yang optimum sekitar n 10
19
/cm
3
[1]. Dalam hal ini
diperlukan nilai yang besar dari mobilitas pembawa muatan untuk mencapai nilai konduktivitas
listrik maksimum untuk suatu konsentrasi pembawa muatan tertentu. Dengan demikian dapat dis-
impulkan bahwa kinerja dari bahan thermoelektrik terutama ditentukan oleh pembawa muatan
listrik n (elektron atau lubang) dengan minor kontribusi dari kisi (lattice).
Dapat dilihat pula dari Gambar 1 kebergantungan yang berlawanan dari nilai S dan pada n. Se-
cara umum nilai thermopower dari suatu bahan bergantung pada temperatur bahan dan struktur
kristalnya. Dapat disebutkan bahwa umumnya logam memiliki nilai S yang relatif kecil berkaitan
dengan pita valensi yang terisi setengah penuh. Dalam hal ini, baik elektron (muatan negatif) dan
lubang (muatan positif) berkontribusi secara bersamaan pada nilai S dengan tanda yang saling ber-
lawanan, sehingga menghasilkan nilai S total yang relatif kecil. Sebaliknya, bahan semikonduktor
dapat didoping oleh elektron atau lubang (melalui doping elemen lain) sehingga dapat menghasil-
kan nilai S yang lebih besar, dimana tanda dari nilai S yang dihasilkan sesuai dengan mayoritas
jenis pembawa muatan. Di sisi lain, bahan superkonduktor memiliki nilai thermopower sama den-
gan nol berhubungan dengan nilai entropi nol dari pembawa muatan yang dikenal dengan nama
pasangan Cooper.
Prinsip kerja bahan thermoelektrik adalah berdasarkan efek Peltier (produksi dari gradien
temperatur oleh arus listrik), efek Seebeck (konversi langsung gradien temperatur menjadi arus
listrik atau daya listrik), dan efek Thomson (pendinginan atau pemanasan dari sebuah konduktor
pembawa arus oleh sebuah gradien temperatur) [2,3]. Hal ini memberikan banyak keuntungan dari
pemakaian bahan thermoelektrik bagi aplikasi devais semikonduktor dan elektronik lain karena
merupakan refrigerator bahan-padat (solid-state refrigerator) yaitu tanpa adanya bagian-bagian
yang bergerak atau bervibrasi, performa yang baik berhubungan dengan kemampuannya untuk
melokalisasi spot pendinginan, bersifat ramah lingkungan, dan dapat dengan mudah digunakan
dalam teknologi untuk menangkap panas atau untuk konversi energi [3].













Gambar 2. Prinsip kerja devais thermoelektrik sebagai: (a) generator daya, dan (b) pompa panas. I adalah arus listrik [2].



(a)
(b)
Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang 61

Devais thermoelektrik secara umum terdiri dari dua material thermoelektrik yang berbeda jenis
(tipe-n dan tipe-p) yang saling terhubung satu sama lain membentuk sebuah junction [2]. Jelasnya,
elemen-elemen tersebut dihubungkan seri secara elektrik dan paralel secara thermal, yang dapat
dipakai sebagai devais generator daya dan pompa panas, seperti diperlihatkan dalam Gambar 2.
Dapat disebutkan secara singkat bahwa prinsip kerja generator daya adalah dengan memberikan
sebuah gradien thermal sehingga arus listrik akan mengalir dari satu bahan ke bahan yang lain,
sedangkan prinsip kerja dari pompa panas adalah melewatkan sebuah arus listrik melalui junction
sehingga akan dihasilkan pendinginan pada bahan [2].
















Gambar 3. Nilai FOM ZT untuk beberapa bahan thermoelektrik konvensional [3].
Devais thermoelektrik konvensional umumnya menggunakan bahan aloy bulk binary
semikonduktor yang tersusun dari pasangan elemen material thermoelektrik berbeda (tipe-n dan
tipe-p). Selama lebih dari 30 dekade, bahan aloy semikonduktor dengan sistem Bi
2
Te
3
, (Bi
1-
x
Sb
x
)
2
(Te
1-x
Se
x
)
3
, PbTe, dan Si
1-x
Ge
x
telah dikaji secara intensif untuk menghasilkan nilai ZT yang
optimum [1,4]. Variasi nilai ZT terhadap temperatur dari beberapa bahan thermoelektrik
konvensional tipe-p dan tipe-n diperlihatkan dalam Gambar 3 [3,5]. Walaupun demikian,
penggunaan devais thermoelektrik konvensional ini dibatasi oleh nilai efisiensinya yang relatif
masih rendah. Hal ini berkaitan dengan sulitnya memanipulasi ketiga parameter S, and , untuk
mencapai nilai ZT yang besar pada bahan-bahan padatan konvensional. Fakta menunjukkan bahwa
modifikasi pada satu parameter tersebut akan mempengaruhi nilai parameter yang lain, sehingga
nilai ZT tidak berubah secara signifikan. Dengan demikian, pada daerah temperatur ruang nilai ZT
dari bahan thermoelektrik konvensional hanya berkisar pada angka satu, yang jauh berbeda dengan
nilai ZT sekitar 4 yang diperlukan dalam skala aplikasi. Gambar 4 menunjukkan perbandingan
nilai performansi atau efisiensi dari bahan thermoelektrik dibandingkan dengan metoda konversi
energi yang lain [6]. Dari gambar tersebut terlihat bahwa nilai performansi (efisiensi) dari

62 Inge M. Sutjahja

teknologi berbasis bahan thermoelektrik (ZT = 0,5) masih jauh di bawah nilai dari teknologi yang
lain yang memiliki nilai ZT yang lebih besar













Gambar 4. Perbandingan dari teknologi bahan thermoelektrik dengan metoda konversi energi yang lain untuk: (a)
pendinginan dan (b) generator daya [6]. Performansi (efisiensi) dari teknologi berbasis bahan thermoelektrik ditandai oleh
nilai ZT = 0,5.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh para peneliti mancanegara untuk melahirkan bahan-bahan
thermoelektrik baru yang dapat menghasilkan nilai ZT yang lebih tinggi bagi keperluan aplikasi.
Secara prinsip nilai efisiensi thermoelektrik yang tinggi memerlukan material dengan nilai
konduktivitas listrik yang besar (untuk mereduksi efek pemanasan diri atau self-heating
berhubungan dengan arus listrik yang melewati devais), koefisien Seebeck yang tinggi (untuk
menghasilkan tegangan yang besar di dalam generator daya dan koefisien Peltier yang besar di
dalam proses pendinginan), dan konduktivitas thermal yang rendah (untuk menghasilkan beda
temperatur yang besar dan dengan demikian nilai tegangan yang besar di dalam generator daya).
Dari sisi eksperimen, upaya tersebut berupa manipulasi sifat fisis bahan dengan induksi elemen
tertentu (rattler) [2,3,7,8] dan investigasi bahan oksida bulk baru (berbasis logam transisi)
dengan kadar doping yang dapat divariasi [9,10]. Di sisi lain, manipulasi struktur kristal bahan
dengan film tipis atau struktur dimensi rendah (struktur nano) menunjukkan peningkatan nilai ZT
thermoelektrik yang cukup signifikan [2,3,6,11,12].
Semikonduktor dengan rattler
Bergantung pada bagaimana baiknya sifat konduktivitas listrik dan buruknya sifat konduktivitas
thermal dari suatu bahan tertentu, Glen Slack (Rensselaer Polytechnic Institute) mengkarakterisasi
material sebagai semikonduktor "holey" atau "unholey". Pengelompokkan ini berdasarkan prinsip
bahwa bahan thermoelektrik yang baik harus bersifat seperti sebuah material phonon-glass,
electron-crystal (PGEC), atau dengan kata lain bahan thermoelektrik tersebut harus memiliki sifat
thermal seperti sebuah glass dan sifat elektronik seperti sebuah kristal [2,3,7].
Konsep Slack dari semikonduktor holey untuk bahan thermoelektrik yang baru berpusat pada
minimisasi nilai konduktivitas thermal kisi dengan memasukkan atom-atom lain yang tidak terikat
("rattlers") ke dalam lubang-lubang di dalam struktur bahan. Berkaitan dengan hilangnya
keteraturan berjangkauan panjang (long-range order), atom-atom rattlers ini akan bergerak bebas
Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang 63

di dalam lubang dan dengan demikian menghamburkan fonon (kuantisasi vibrasi kisi), yang pada
gilirannya akan mereduksi secara efektif dan meminimalkan nilai konduktivitas thermal kisi. Dari
investigasi ini dikenal beberapa material baru yang disebut sebagai skutterudites [2,3,7,13,14] dan
clathrates [2,3,7].






Gambar 5. Struktur kristal dari binary skutterudites [14].
Secara umum material skutterudites dengan rumus pokok ReTm
4
M
12
adalah suatu senyawa
kompleks yang terdiri dari elemen tanah jarang (Re), logam tansisi (Tm) dan Pnicogen atau
metalloids (M). Nama skutterudites berasal dari nama mineral alami skutterudite atau CoAs
3
yang
ditemukan di daerah skutterud, Norwaygia. Dalam hal ini elemen tanah jarang merupakan
rattler yang dimasukkan dalam material binary skutterudites yang memiliki rumus kimia TmM
3
,
yang awalnya memiliki nilai konduktivitas termal dan nilai koefisien Seebeck yang relatif besar.
Struktur kristal dari binary skutterudites diperlihatkan dalam Gambar 5. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa binary skutterudites memiliki dua ruang kosong yang besar dalam tiap unit sel
satuan. Pengisian tempat kosong tersebut dengan ion-ion tanah jarang bervalensi +3 dengan
ukuran diameter yang relatif kecil dan massa yang relatif besar akan berakibat pada reduksi
konduktivitas thermal, yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai ZT.






(a) (b)
Gambar 6. Penurunan nilai konduktivitas thermal kisi dari material skutterudites: (a) IrSb3 dan Ir0.5Rh0.5Sb3, serta (b)
ReIr4(Ge3Sb9) untuk Re = La, Sm, dan Nd [14].

Transition Metal Atom
(Co, Rh, Ir)
Metalloids atau Pnicogen
Atom (P, As, Sb)
Void Space/Filler Ion
Transition Metal Atom
(Co, Rh, Ir)
Metalloids atau Pnicogen
Atom (P, As, Sb)
Void Space/Filler Ion
Transition Metal Atom
(Co, Rh, Ir)
Transition Metal Atom
(Co, Rh, Ir)
Metalloids atau Pnicogen
Atom (P, As, Sb)
Metalloids atau Pnicogen
Atom (P, As, Sb)
Void Space/Filler Ion Void Space/Filler Ion
L
a
t
t
i
c
e

T
h
e
r
m
a
l

C
o
n
d
u
c
t
i
v
i
t
y

(
m
W
/
c
m
K
)
Temperature (K)
L
a
t
t
i
c
e

T
h
e
r
m
a
l

C
o
n
d
u
c
t
i
v
i
t
y

(
m
W
/
c
m
K
)
Temperature (K)

64 Inge M. Sutjahja

Gambar 6 menunjukkan secara nyata penurunan nilai konduktivitas thermal kisi dari material
skutterudites Ir
0.5
Rh
0.5
Sb
3
(dibandingkan dengan IrSb
3
), dan ReIr
4
(Ge
3
Sb
9
) untuk Re = La, Sm, dan
Nd [14]. Selanjutnya, peningkatan nilai ZT dari beberapa material bulk skutterudites dibandingkan
dengan bahan thermoelektrik konvensional dan kebergantungannya terhadap temperatur
ditunjukkan dalam Gambar 7 [15].
Kelas lain dari bahan thermoelektrik baru dengan konsep semikonduktor holey yang menjanjikan
peningkatan nilai ZT yang cukup signifikan adalah clathrates. Material ini, seperti halnya
skutterudites, juga menunjukkan struktur seperti perangkap dan mekanisme rattling untuk
menurunkan nilai konduktivitas thermal. Terdapat dua tipe material clathrate, yaitu clathrates tipe I
dengan rumus umum X
2
Y
6
E
46
(X dan Y masing-masing adalah logam alkali, alkali tanah atau
logam tanah jarang yang berlaku sebagai atom rattler, dan E adalah elemen grup IV) dan
clathrates tipe II dengan rumus umum X
8
Y
16
E
136
[8].








Gambar 7. Nilai ZT dari beberapa material bulk skutterudites dan bahan thermoelektrik konvensional serta
kebergantunganya sebagai fungsi dari temperatur [15].
Material clathrates tipe I menunjukkan sifat-sifat fisis menarik yang jarang ditemui dalam bahan
padat lain, antara lain nilai konduktivitas thermal yang cukup kecil dan variasinya yang menarik
sebagai fungsi dari temperatur. Sebagai contoh, nilai konduktivitas thermal pada temperatur ruang
dari semikonduktor Sr
8
Ga
16
Ge
30
lebih rendah dari bahan vitreous silica dan sangat dekat dengan
amorphous Germanium [1618]. Di sisi lain, data konduktivitas termal pada temperatur rendah (T
< 1 K) menunjukkan kebergantungan temperatur T
2
, sedangkan pada temperatur yang lebih tinggi
konduktivitas termal menunjukkan sebuah nilai minimum atau dip yang mengindikasikan suatu
proses hamburan resonansi. Studi intensif hasil-hasil eksperimen dan kajian teori menunjukkan
korelasi antara sifat-sifat thermal, ultrasound, dan optik dengan struktur kristal bahan, yang
merupakan indikasi kuat dari kehadiran hamburan resonansi dari fonon akustik dengan modus
rattle optik frekuensi rendah, yang pada gilirannya menentukan sifat transport thermal di dalam
bahan clathrate. Hasil refinement struktur kristal pada suhu ruang dari data pengukuran hamburan
neutron dan difraksi sinar X menunjukkan parameter perpindahan atomik yang besar untuk atom-
atom di dalam struktur dari clathrate tipe I. Hal ini mengindikasikan disorder terlokalisasi di dalam

Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang 65

polihedra di sekitar vibrasi termal umum. Material tertentu dari clathrates tipe I seperti
Sr
8
Ga
16
Ge
30
dan Eu
8
Ga
16
Ge
30
menunjukkan konduktivitas thermal sperti glass dan mobilitas
pembawa muatan yang besar, sehingga dapat dipandang sebagai phonon glasselectron crystal
(PGEC). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keadaan penerobosan (tunneling states) dan
keadaan rattling pada material clathrate diperlukan untuk menghasilkan nilai konduktivitas
thermal yang kecil, yang pada gilirannya dapat meningkatkan nilai ZT. Lebih jauh, bentuk kristal
dari material ini menunjukkan sifat-sifat fisis yang lebih kaya, termasuk di dalamnya adalah
kelakukan semikonduktif dan superkonduktif, dengan sifat-sifat thermal seperti bahan amorphous.
Kebanyakan bahan thermoelektrik konvensional yang telah banyak dikaji sebelumnya merupakan
sistem binary intermetalik semikonduktor. Dengan demikian investigasi bahan baru berfokus pada
sistem ternary dan quaternary chalcogenides yang mengandung atom berat dengan struktur
kompleks isotropik atau berdimensi rendah [6]. Sistem ini merupakan bahan semikonduktor
unholey dengan massa efektif pembawa muatan yang besar dan konduktivitas thermal kisi yang
kecil. Termasuk contoh dari material chalcogenide ini adalah CsBi
4
Te
6
(Bi
2
Te
3
yang diisi oleh
elemen Cs) [19] dan pentatelluride (HfTe
5

and ZfTe
5
) [20]. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa
nilai ZT dari CsBi
4
Te
6
adalah 40% lebih tinggi dari bahan aloy konvensional [(Bi
1-x
Sb
x
)
2
(Te
1-
x
Se
x
)
3
] pada suhu 225 K, sedangkan nilai faktor daya dari bahan pentatellurides yang didoping
dengan Selenium melebihi nilai yang dicapai oleh material Bi
2
Te
3
pada suhu rendah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa material semikonduktor unholey ini memiliki potensi sifat
elektronik yang baik pada temperatur rendah, yang dapat berperan sebagai bahan thermoelektrik
temperatur rendah (T < 220 K).
Struktur nano
Material struktur nano menjanjikan konversi energi thermoelektrik yang lebih efisien
dibandingkan dengan material bulk. Hal ini terutama berkaitan dengan fakta bahwa di dalam
struktur nano, berbagai fenomena, sifat, dan fungsi baru yang tidak biasa (unusual) dapat muncul.
Hicks dan Dresselhauss [12] menunjukkan bahwa pada bentuk struktur nano dari material tertentu,
efek pembatasan gerak dari pembawa muatan listrik pada skala mikroskopik atau yang dikenal
sebagai efek pembatasan kuantum (quantum confinement) dapat meningkatkan nilai koefisien
Seebeck dan konduktivitas listrik. Efek pembatasan kuantum dapat dicapai, contohnya, melalui
reduksi dari dimensi sistem (struktur film tipis atau nanowire). Gambar 8 menunjukkan prediksi
nilai ZT dari bahan semikonduktor BiTe, yaitu berbentuk 3D (bulk), 2D (film tipis), dan 1D
(nanowire) [6]. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan nilai ZT berkaitan erat
dengan peningkatan efek pembatasan kuantum dengan reduksi dimensionalitas efektif sistem.



66 Inge M. Sutjahja




Gambar 8. Prediksi peningkatan nilai ZT dari bahan bismuth telluride dengan struktur nano [6].

Kontribusi utama lain dari peningkatan nilai ZT di dalam bahan struktur nano bersumber dari
perubahan sifat-sifat transport thermal pada skala nano. Sebagai contoh, investigasi eksperimental
dari sifat transport panas di dalam superlattice menunjukkan bahwa walaupun lapisan-lapisan
dalam struktur tersebut merupakan kristal tunggal dengan kualitas baik, nilai konduktivitas thermal
efektif yang dihasilkan jauh lebih rendah dari bahan bulk, dan juga lebih kecil dari nilai
konduktivitas thermal dari bahan aloy dengan komposisi ekivalen. Hal ini terkait erat dengan
peran sangat penting dari hamburan pembawa muatan pada permukaan dan interface [6].



















Gambar 9. Nilai ZT dari beberapa bahan thermoelektrik, dengan struktur nano dan bulk [6].






Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang 67


(a) (b) (c)
Gambar 10. Pendekatan baru dari penggunaan struktur nano untuk menghasilkan nilai ZT thermoelektrik yang besar: (a)
sistem superlattices Bi2Te3/Sb2Te3, (b) sistem superlattices quantum dot PbTe/PbTeSe, dan (c) sistem nanowire Bi, BiSb,
dan BiTe [6].
Bukti nyata hasil eksperimen dari peningkatan nilai ZT dari sistem struktur nano dan
perbandingannya dengan bahan thermoelektrik bulk diperlihatkan dalam Gambar 9 [21]. Dari
gambar tersebut, peningkatan nilai performansi thermoelektrik hingga mencapai nilai ZT 2,4
pada T 330 K diperoleh pada superlattices Bi
2
Te
3
/Sb
2
Te
3
dan ZT 1,3 1,6 pada struktur
superlattices quantum dot PbTe/PbTeSe. Struktur dari kedua material tersebut ditunjukkan secara
kualitatif dalam Gambar 10. Ekperimen menunjukkan bahwa kontribusi utama pada peningkatan
nilai ZT dari material superlattices bersumber dari reduksi konduktivitas thermal kisi daripada
peningkatan dari faktor daya. Sebaliknya, peningkatan nilai koefisien Seebeck yang cukup
signifikan diamati pada material struktur nanowire (Gambar 10 (c)), antara lain sistem nanowire
Bi, BiSb, dan BiTe [6].
Bahan Bulk Baru
Dibandingkan dengan bahan thermoelektrik yang lain, bahan oksida bulk menarik dari sisi sifat
kimiawinya yang stabil pada temperatur tinggi dan sifatnya yang tidak beracun. Loncatan besar
pada investigasi material bulk thermoelektrik dimulai dengan penemuan sistem oksida kobalt
berlapis Na
x
CoO
2
dengan nilai S mencapai 100 V/K pada temperatur ruang [9,10]. Selain bersifat
thermoelektrik, bentuk hidrat dari material ini juga bersifat superkonduktif pada suhu rendah [22].
Penemuan ini kemudian berlanjut pada sistem serupa seperti La
1-x
Sr
x
CoO
3
[23], Ca
3
Co
4
O
9
[24]
dan Bi
2
Sr
2
Co
2
O
y
[25,26].
Seperti diperlihatkan dalam Gambar 11, selain kesamaan kehadiran lapisan konduktif CoO
2
,
perbedaan mendasar dari struktur kristal sistem Na
x
CoO
2
dengan sistem oksida kobalt berlapis
yang lainnya adalah pada lapisan blok. Pada sistem Na
x
CoO
2
, lapisan blok hanya terdiri dari
lapisan Na tunggal dimana Na terorder secara struktur, sedangkan lapisan blok pada sistem lain
terdiri dari lapisan rock-salt yang tebal dengan tipe NaCl, yang berlaku sebagai lapisan reservoar
muatan untuk menjamin stabilisasi struktur secara elektrostatik. Dalam hal ini, variasi doping
dapat dilakukan dengan mengubah kation atau komposisi oksigen. Di sisi lain, sistem oksida
kobalt selain Na
x
CoO
2
menunjukkan struktur misfit dari kedua lapisan blok (modulasi dalam
bidang basal oktahedral), yang merupakan parameter penting dalam peningkatan nilai daya
thermopower sistem yang bersangkutan [28].



68 Inge M. Sutjahja

















Gambar 11. Struktur kristal material termoelektrik sistem oksida kobalt berlapis: NaxCoO2, Ca2Co2O5, dan Bi2Sr2CoO8
[27].
Di sisi lain, studi intensif menunjukkan bahwa sistem elektron 3d dari ion Co merupakan sistem
elektron yang terkorelasi kuat (strongly correlated electron system) yang memegang peranan
sangat penting bagi peningkatan nilai daya thermopower (S) [29]. Hal ini berkaitan dengan
degenerasi karakteristik yang diasosiasikan dengan derajat kebebasan spin dan orbital dalam
keadaan lokal dari ion-ion Co
3+
dan Co
4+
. Keadaan lokal tersebut dikarakterisasi oleh konfigurasi
elektron 3d dengan derajat degenerasi lipat 5 dalam orbital-orbital 3 t
2g
dan 2 e
g
, yang ditentukan
oleh nilai kopling Hund K, nilai splitting medan kristal (= 10 D
q
) antara tingkat energi e
g
dan t
2g
,
serta nilai temperatur T. Setiap keadaan yang dikarakterisasi dengan konfigurasi spin dan nilai spin
total yang berbeda dapat diklasifikasikan menjadi; 1) konfigurasi spin rendah (low spin, LS), 2)
spin menengah (intermediated-spin, IS), dan 3) spin tinggi (high spin, HS), di mana masing-
masing keadaan tersebut memiliki derajat degenerasi (g) yang berbeda sesuai dengan perkalian
antara derajat degenerasi orbital g
L
dan derajat degenerasi spin g
S
(= 2S + 1).
Secara teoritis, Koshibae telah menurunkan nilai ekspektasi thermopower pada daerah temperatur
yang cukup tinggi melalui modifikasi rumusan Heikes [29],

=
x
x
g
g
e
k
S
B
1
ln
4
3
(3)
dimana g
3
(g
4
) adalah derajat degenerasi ion Co dalam keadaan valensi Co
3+
(Co
4+
), serta x adalah
jumlah atau konsentrasi doping. Rumusan ini telah berhasil memprediksi nilai thermopower dari
material Na
x
CoO
2
sesuai dengan hasil eksperimen, yaitu prediksi keadaan spin rendah (LS) dari
ion-ion Co
3+
dan Co
4+
dalam bahan. Selain itu, rumusan ini juga dapat dipakai untuk memprediksi
tanda dan nilai thermopower dari material oksida lain berbasis logam transisi (jika valensi ionik
dari logam tersebut dapat memiliki keadaan divalensi seperti ion Co), dan dengan mengatur derajat
degenerasi yang bersesuaian. Beberapa contoh diperlihatkan dalam Tabel 1 berikut, dengan tingkat
kesesuaian yang tinggi dengan hasil eksperimen [27].



Penelitian Bahan Thermoelektrik Bagi Konversi Energi di Masa Mendatang 69

Tabel 1: Nilai ekspektasi thermopower dari material oksida lain berbasis logam transisi [27].
Ion logam transisi
4 3
g g ( ) ( )
4 3
ln g g e k
B
, V/K
Ti
3+
(3d
1
), Ti
4+
(3d
0
) 6 / 1 - 154
V
3+
(3d
2
), V
4+
(3d
1
) 9 / 6 - 35
Cr
3+
(3d
3
), Cr
4+
(3d
2
) 4 / 9 70
Mn
3+
(3d
4
), Mn
4+
(3d
3
) 10 / 4 - 79
Rh
3+
(4d
6
), Rh
4+
(4d
5
) 1 / 6 154

Ucapan Terimakasih
Sebagian hasil penelitian yang disajikan dalam artikel ini didukung oleh Riset Ikatan Alumni ITB
tahun anggaran 2010-2011.
Daftar Pustaka
1. D.M. Rowe, ed., CRC Handbook of Thermoelectrics (CRC Press, Boca Raton, FL, 1995).
2. Terry M.Tritt and M.A. Subramanian, Guest Editors, Thermoelectric Materials, Phenomena,
and Applications: A Birds Eye View, MRS BULLETIN VOLUME 31, p. 188-198 MARCH
2006
3. Jyrki Tervo, Antti Manninen, Risto Ilola & Hannu Hnninen, State-of-the-art of thermoelec-
tric materials processing (Properties and applications), V JULKAISIJA UTGIVARE
PUBLISHER, ISBN 978-951-38-7184-0 (URL: http://www.vtt.fi/publications/index.jsp),
ISSN 1459-7683, Copyright VTT 2009.
4. H.J. Goldsmid, Electronic Refrigeration (Pion Limited, London, 1986).
5. Terasaki, I. Introduction to Thermoelectricity (Ch 13). Materials for Energy Conversion De-
vices, eds. Sorrell, C., Sugihara, S. & Nowotny, J. Woodhead Publishing in Materials, Cam-
bridge, 2005, pp. 339357.
6. Chen, G. and Shakouri, A. 2002 Heat transfer in nanostructures for solid state energy
conversion, J. Heat Transfer, Vol. 124 pp. 242-252.
7. G.A. Slack, in CRC Handbook of Thermoelectrics, ed. by D.M. Rowe (CRC Press, Boca Ra-
ton, FL, 1995) pp. 407.
8. Terry M. Tritt, Overview of Various Strategies and Promising New Bulk Materials for Poten-
tial Thermoelectric Applications, Mat. Res. Soc. Symp. Proc. Vol. 691 2002 Materials Re-
search Society.
9. I. Terasaki and N. Murayama, eds., Oxide Thermoelectrics (Research Signpost, Trivandrum,
India, 2002).
10. I. Terasaki, Y. Sasago, and K. Uchinokura, Phys. Rev. B 56, 12685 (1997).
11. Handbook of thermoelectrics (From Macro to Nano), edited by D.M. Rowe, Ph.D, D.Sc.,
CRC Taylor and Francis, 2006.
12. L.D. Hicks and M.S. Dresselhaus, Phys. Rev.B 47 (1993) pp. 12727.
13. J.-P. Fleurial, T. Caillat and A. Borshchevsky , Skutterudites: An Update , Proceedings of the
XVI International Conference on Thermoelectrics, Dresden, Germany, August 26-29, 1997
14. Gary A. Lamberton, Jr., Terry M. Tritt, R. W. Ertenberg, M. Beekman, George S. Nolas,
Overview of the Thermoelectric Properties of Yb-filled CoSb
3
Skutterudites, Power Point
Presentation, The University of Mississippi.
15. Terry M. Tritt & Mas Subramanian, MRS Bulletin TE Theme, March 2006
16. J.L. Cohn, G.S. Nolas, V. Fessatidis, T.H. Metcalf and G.A. Slack, Phys. Rev. Lett. 82, 779
(1999).
17. G.S. Nolas, T.J.R. Weakley and J. L. Cohn, Chem. Mater. 11, 2470 (1999).
70 Inge M. Sutjahja

18. B.C. Sales, B.C. Chakoumakos, R. Jin, J.R. Thompson and D. Mandrus, Phys. Rev. B 63,
245113 (2001).
19. Duck Young Chung, et. al., Science, 287, 1024 (2000).
20. W. M. Yim and F. D. Rosi, Solid-State Electronics, 15, 1121-40, (1972).
21. Chen, G., Dresselhaus, M. S., Dresselhaus, G., Fleurial, J.-P., and Caillat, T., 2003, Recent
Developments in Thermoelectric Materials, International Materials Reviews, Vol. 48.
22. K. Takada, H. Sakurai, E. Takayama-Muromachi, F. Izumi, R.A. Dilanian, T. Sasaki, Nature
422, 53 (2003).
23. K. Berggold, M. Kriener, C. Zobel, A. Reichi, M. Reuther, R. Mller, A. Freimuth, and T.
Lorenz, Phys. Rev. B 72, 155116 (2005).
24. A. Maignan, S. Hbert, M. Hervieu, C. Michel, D. Pelloquin, and D. Khomskii, J. phys. :
Condens. Matter 15, 2711 (2003).
25. D. Pelloquin, A. Maignan, S. Hebert, C. Martin, M. Hervieu, C. Michel, L. B. Wang, and B.
Raveau, Chem. Mater. 14, 3100 (2002).
26. R. Funahashi and M. Shikano, Appl. Phys. Lett. 81, 1459 (2002).
27. S. Maekawa, IMR, Tohoku University, Spin, Charge and Orbital and their Excitations in
Transition Metal Oxides, Hong Kong, Dec. 18, 2006.
28. H. Leligny, D. Grebille, O. Perez, A.C. Masset, M. Hervieu, and B. Raveau, Acta Crystallo-
graphica Section B, B56, 173-182 (1999).
29. W. Koshibae, T. Tsutsui and S. Maekawa, Phys. Rev. B 62, 6869 (2000).


73

INDEKS PENULIS

A
Alamta Singarimbun, 31
Andika Nurcahyo, 22
Annisa Aprilia, 40
Annisa Aprilia, 7
Arief Goeritno, 22
Asep Suheri, 22
Ayi Bahtiar, 7
D
D Wahyudi, 15
Darminto, 1
Dewanto Saptoadi, 22
Dini Fitriani, 47
F
Febie Angelia Perdana, 1
Fitrilawati, 7
H
Herman, 40
I
Inge M. Sutjahja, 59
Irwan Ary Dharmawan, 47
Iwan Sumirat, 22
K
Kusnahadi Susanto, 47
M
Malik Anjelh Baqiya, 1
Mashuri, 1
Mulya Juarsa, 22
P
Priastuti Wulandari, 40
R
Rahmat Hidayat, 40
Robi Irsamukhti, 31
S
Sri Wahyu Suciyati, 15
T
Triwikantoro, 1
W
Warsito, 15
Wildan Khoiron, 15


INDEKS SUBJEK

A
Akumulator, 15, 19, 20, 21
B
Bahan thermoelektrik, 58, 59, 60, 61, 62, 64,
65, 67
Bulk-heterojunction, 7, 8, 14
D
Diskritisasi beda hingga, 31
E
Energi terbarukan, 15
F
Figure of merit, 58, 59
Fluks energi, 31, 33, 34, 35, 36, 37
Fotodioda, 40, 42, 45
Fotovoltaik, 40, 41, 45
K
Koefisien Seebeck, 58, 59, 62, 63, 65, 67
Konduktivitas thermal, 58, 59, 62, 63, 64,
65, 66, 67
Konsentrasi polarisasi, 47, 48, 49, 53, 54,
55, 56, 47
M
Massa, 22, 25, 26, 27, 28, 29, 32, 33, 34, 36,
48, 53
Medium berpori, 31, 32
Metode lattice Boltzmann, 47
Molekul aditif, 7, 8, 9, 11, 12, 13
N
Nanohidro, 15, 16, 17, 18, 19, 21
Nanopartikel, 1,2, 3, 4, 5
O
Optical spacer, 7, 8, 9, 11, 13
P
Polialkiltiofen, 40, 41
Polietilen Glikol, 1
Polimer terkonjugasi, 8, 41, 41, 43
R
Reservoir panas bumi, 31, 33, 39
Resistivitas listrik, 59
S
Sel surya hibrid, 40, 41, 44, 45
Sel-surya polimer, 7, 9, 11
Sirkulasi alamiah, 22, 23
Sol-gel, 9, 40, 41, 44, 45
T
Thermopower, 58, 59, 60, 68, 68
Z
ZnO, 40, 41, 44, 45

71

Panduan Persiapan Naskah



Panduan Umum.
Editor menerima makalah dalam Bahasa Indonesia maupun
Bahasa Inggris. Karena itu, teks naskah ditulis dalam bahasa
Indonesia (dapat juga dalam bahasa Inggris) menggunakan
piranti lunak pengolah-kata Microsoft Office. Teks dibuat
dalam satu kolom, rata kiri, huruf Times New Romance,
ukuran 12, spasi Double. Margin kiri, atas, kanan dan bawah
masing-masing adalah 4, 2,5, 3 dan 2,5 cm. Tiap halaman
dibubuhi nomor halaman dan baris teks dibubuhi nomor
guna proses review. Gunakan format yang sesederhana
mungkin karena editor akan memformat ulang sesuai
dengan format akhir publikasi guna kesergaman format
pada Jurnal Material dan Energi Indonesia (JMEI).

Tataletak Naskah:
Naskah terdiri dari Halaman Muka, Teks,
Ilustrasi/Gambar/Grafik, Tabel dan Data Tambahan.
Masing-masing dijelaskan sebagai berikut.

1. Halaman Muka
o Judul. Harus singkat dan informatif. Hindari singkatan
dan rumus pada judul jika memungkinkan
o Nama penulis dan afiliasi. Nama lengkap seluruh
penulis ditulis. Nama institusi, alamat institusi, nama
negara jika ada dan alamat email ditulis lengkap setelah
baris nama-penulis. Hubungan nama penulis dan
afiliasinya ditunjukan dengan angka superskrip.
o Penulis koresponden. Tunjukan dengan jelas penulis
yang menangani korespondensi selama tahap
pengirimin, revisi dan publikasi. Di samping alamat
email dan kode pos alamat, tuliskan juga nomor telepon,
faksimili (kode negara jika ada).

2. Struktur Teks Naskah
o Abstrak. Tuliskan abstrak dengan singkat dan faktual. Isi
abstrak harus dengan singkat menggambarkan tujuan
penelitian, hasil-hasil mendasar dan simpulan penting
atas isi makalah. Abstrak seringkali disajikan terpisah
dari makalah sehingga harus bersifat berdiri-sendiri.
Oleh karena itu, dalam abstrak tidak diperkenankan
acuan dan referensi maupun persamaan matematik.
Abstrak harus kurang dari 200 kata, tidak boleh
mengandung singkatan dan harus disertakan maksimum
lima kata kunci yang relevan. Abstrak (Abstract) dalam
bahasa Inggris juga harus dibuat dan harus dituliskan
lima keywords.

Gunakan subseksi (seksi bernomor) untuk penomoran
subseksi naskah anda. Subseksi diberi nomor 1.1 (kemudian
1.1.1, 1.1.2, ...), 1.2, dan seterusnya (Abstrak/abstract tidak
termasuk dalam penomoran seksi). Tiap judul subseksi
harus ditulis sesingkat mungkin.
o Pendahuluan. Tuliskan tujuan beserta latar belakang
yang relevan atas pekerjaan penelitian.
o Bahan dan metoda. Berikan informasi detail yang
memadai untuk pembaca yang tertarik untuk
melakukan-ulang penelitian tersebut. Metoda-metoda
yang digunakan namun telah dipublikasikan harus diacu
dalam naskah.
o Eksperimen. Berikan informasi detail yang memadai
untuk pembaca yang tertarik untuk melakukan-ulang
penelitian tersebut. Metoda-metoda yang digunakan
namun telah dipublikasikan harus diacu dalam naskah.
o Teori/perhitungan. Bagian teori harus memperluas,
bukan mengulang, latar belakang yang telah
diungkapkan di bagian Pendahuluan. Sedangkan
Perhitungan menyajikan implementasi praktik dari
dasar teori tersebut. Jika memungkinkan, bagian ini
dapat digabung dengan seksi Hasil dan Diskusi.
o Hasil. Hasil penelitian harus dinyatakan
dengan jelas dan singkat. Sebaiknya hasil
bersifat kuantitatif, numerik dan spesifik.
o Diskusi. Seksi diskusi sebaiknya membahas
informasi penting yang terkandung dalam hasil
dan membahas pentingnya hasil yang telah
diperoleh dan disajikan bukan hanya
menceritakan (narasi) atas hasil tersebut. Hasil
dan diskusi dapat juga digabungkan dalam satu
seksi. Hindari acuan dan diskusi yang
berlebihan atas literatur yang ditulis di Daftar
Pustaka.
o Simpulan. Tuliskan simpulan utama atas
penelitian tersebut di seksi Simpulan. Seksi
Simpulan bersifat berdiri-sendiri tidak
terhubung dengan seksi Hasil dan Diskusi.
Seksi Simpulan suatu makalah ilmiah tidak
boleh sama dengan bagian Abstrak. Simpulan
memuat rangkuman hasil umum; penemuan
unik dan kuantitatif harus ditekankan di sini
dengan implifikasi yang lebih luas daripada
Abstrak. Perbandingan dengan hasil-hasil
sebelumnya dapat juga dimuat.
o Lampiran. Jika terdapat lebih dari satu
lampiran maka dapat dituliskan dengan notasi
Lampiran A, B, dst. Rumus dan Persamaan
dalam bagian Lampiran harus diberi nomor
berbeda dengan isi teks, contoh Pers. (A.1),
Pers. (A.2), dst; persamaan dalam lampiran-
selanjutnya diberi nomor Pers. (B.1) dst. Begitu
juga dengan nomor tabel dan gambar dalam
Lampiran: Tabel A.1; Fig. A.1, dst.

3. Gambar. Ilustrasi/gambar/grafik diletakkan setelah
bagian Teks Naskah. Letakkan tiap gambar beserta
nomor dan keterangannya pada tiap halaman.
4. Informasi Pelengkap. Data tambahan yang kiranya
tidak dapat masuk ke teks namundirasa perlu
untuk mendukung hasil dan diskusi dapat
dimasukan di bagian Data Pelengkap di halaman
terakhir setelah bagian Gambar..

Panduan Tambahan:

Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih dibuat dalam satu seksi sebelum
seksi Daftar Pustaka. Jangan menulikan ucapan terima
kasih pada halaman muka atau sebagai catatan-kaki.
Ucapan terima kasih ditujukan pada individu atau
institusi yang memberikan bantuan selama penelitian
(mis. membantu dalam penyediaan dana, bantuan
eksperimen dan diskusi, dsj) tanpa menuliskan gelar
akademik, gelar sosial maupun gelar keagamaan.

Satuan
Satuan besaran fisis dinyatakan dengan sistem
internasional (SI) atau jika dinyatakan dengan satuan
lain, sertakan pula kesetaraaannya dalam SI.
72


Nomenklatur dan Satuannya
Nomenklatur dan satuannya menggunakan sistem
internasional (SI). Jika menggunakan sistem lain. Tuliskan
kesetaraaannya dalam SI.

Persamaan Matematika
Rumus matematika ditulis dengan Equation Editor 2.0,
Microsft Office. Setiap persamaan yang dirujuk dalam
makalah harus menggunakan penomoran dengan
menggunakan tanda kurung ( ). Penomoran diawali sesuai
dengan kemunculannya secara berurut.

Tampilan (Artwork)
Penggunaan huruf dan ukuran huruf harus seragam.
Teks yang tercantum di dalam grafik harus disimpan dalam
bentuk file image.
Gunakan jenis huruf Arial, Times New Romance, Courier di
dalam ilustrasi/gambar/grafik.
Ilustrasi/gambar/grafik dibuat dengan ukuran yang sesuai
dengan ukuran cetaknya.
Ilustrasi/gambar/grafik dimuat di halaman setelah halaman
teks.

Format. Ilustrasi/gambar/grafik dibuat dalam format grafik
file TIFF dengan resolusi 300 dpi.
Warna. Jika dimungkinkan untuk tidak menggunakan warna,
grafik dapat dibuat dalam warna hitam-putih.
Keterangan Gambar (Caption). Bubuhi nomor berurut pada
ilustrasi/gambar/grafik. Berikan keterangan (caption) dan
gambaran atas setiap gambar dengan singkat dan informatif.
Teks pada Grafik. Ukuran teks pada grafik seperti judul
grafik, judul dan nilai pada sumbu-sumbu grafik, legenda,
simbol dan keterangan tambahan pada grafik harus dibuat
proporsional sehingga dapat terbaca jelas meskipun grafik
tersebut diperkecil hingga 50% . Kejelasan tampilan
penyajian ilustrasi/gambar/grafik adalah tanggung jawab
penulis. Untuk kejelasan informasi pada grafik yang ingin
disampaikan, penulis harus antisipasi dan perhitungkan hal
ini.

Tabel
Tabel dibubuhi nomor berurut sesuai kemunculannya
dalam teks. Catatan kaki tabel diletakkan di bawah tabel
dan dituliskan dengan huruf-kecil superskrip.

Daftar Pustaka
Acuan Dalam Teks. Setiap literatur yang diacu di dalam
teks harus ada di dalam seksi Daftar Pustaka. Juga
sebaliknya, setiap literatur yang ditulis di Daftar Pustaka
harus diacu di dalam teks.
Format Daftar Pustaka. Daftar literatur di seksi Daftar
Pustaka ditulis dengan penomoran angka berurut (1, 2,
3, ... dst) sesuai dengan urutan kemunculannya di dalam
teks. Urutan informasi pada setiap literatur adalah
Nama penulis, Judul, Nama Jurnal, Edisi (volume),
(Tahun), Halaman.
Contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut.
Data yang tidak dipublikasi tidak boleh dimasukkan
dalam daftar pustaka.
1. Y. Rosandi et.al., Phys. Rev. Lett. 104, 075501
(2010)
2. D.A. Nield and A. Bejan, Convection in Porous
Media (Springer, New York, 2006)
3. K. Ernstons, In Groundwater geophysics, ed.
Reinhard Kirsch (Springer, Heidelberg, 2006)
4. P. P. Edwards, in Superconductivity and
Applications Proc. Taiwan Int. Symp. on
Superconductivity, ed. P. T. Wu et al. (World
Scientific, Singapore, 1989), pp. 2935.
5. I. A. Dharmawan, Disertasi Doktor, Institut
Teknologi Bandung, Bandung, 2006
6. J.S. Moon, Lattice Boltzmann method for blood
flow, MEYS preprint, November 2000
7. J. I. Katz, The Ptolemaic Gamma-Ray Burst
Universe, astro-ph/9204003




ISSN: 2087-748X
PENERBIT
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21 Jatinangor 45363
Telp: 022 779 6014, Fax: 022 779 2435
Email : head@phys.unpad.ac.id

You might also like