You are on page 1of 15

PENDAHULUAN

Latar Belakang Diare merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas anak di dunia yang menyebakan 1,6 -2,5 juta kematian pada anak tiap tahunnya, serta merupakan 1/5 dari seluruh penyebab kematian. Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia menunjukkan penurunan angka kematian bayi akibat diare dari 15,5% (1986) menjadi 13,95% (1995). Penurunan angka kematian akibat diare juga didapatkan pada kelompok balita berdasarkan survey serupa, yaitu 40% (1972), menjadi 16% (1986) dan 7,5% (2001). Tetapi, penurunan angka mortalitas akibat diare tidak sebanding dengan penurunan angka morbiditasnya. Penurunan mortalitas ini merupakan salah satu wujud keberhasilan ORS (Oral Rehydration Solution) untuk manajemen diare. Diare terbagi menjadi diare akut dan kronik. Diare akut berdurasi dua minggu atau kurang, sedangkan diare kronis lamanya lebih dari 2 minggu. Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar kasus penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit, akan tetapi berbagai penyakit lain juga dapat menyebabkan diare akut, termasuk sindroma malabsorpsi. Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit dan sering disertai dengan asidosis metabolic karena kehilangan basa. Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episode diare dapat menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan menyerap sari makanan, sehingga apabila episodenya berkepanjangan akan berdampak terhadap pertumbuhan dan kesehatan anak.

TINJAUAN PUSTAKA

1.

Definisi Diare prolonged merupakan klasifikasi diare berdasarkan lamanya diare, yaitu buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung selama 7 sampai 14 hari (Fleisher et al., 2012).

2.

Etiologi dan Predisposisi a. Etiologi Etiologi diare terbanyak adalah karena infeksi virus. Penyebab lainnya adalah infeksi bakteri, efek samping dari antibiotik, dan infeksi yang tidak berhubungan dengan sistem gastrointestinal. Penyebab lain dari diare adalah karena infeksi parasit yang mengontaminasi air dan penularan secara ingesti. Penyebab non infeksi antara lain adalah intoleransi, malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebagainya (Fleisher et al., 2012). b. Predisposisi dan Penularan Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal-oral yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat. Singkatnya, dapat dikatakan melalui 4F yakni Ifinger (jari), flies (lalat), fluid (cairan), dan field (lingkungan). Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain (Fleisher et al., 2012) : 1. Usia < 2 tahun 2. Infeksi asimptomatik terutama pada anak < 2 tahun 3. Daerah endemik diare 4. Kurangnya sarana dan prasarana kebersihan lingkungan

3.

Patofisiologi Patogenesis terjadingan diare yang disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan diare pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-ujung villus pada usus halus. Biopsi usu halus menunjukkan berbagai tingkat penumpulan villus dan infiltrasi sel bundar pada lamina propia (Sudoyo Aru, 2006). Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan menyerang villus di usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorpsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus halus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum matang sehingga fungsinya belum baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap atau tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistalyik usus sehingga cairan beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare osmotic dari penyerapan aor dan nutrient yang tidak sempurna (Sudoyo Aru, 2006). Pada usus halus, enterosit viluus sebelah atas adalah sel-sel yang terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida dan fungsi penyerapan seperti transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (kotransporter) glukosa dan asam amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang tidak mempunyai enzim hidrofilik tepi bersilia dan merupakan pansekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan demikian infeksi virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan ketidakseimbangan rasio penyerapan cairan usus terhadap sekresi dan malabsorbsi karbohidrat kompleks, terutama laktosa (Sudoyo Aru, 2006). Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan pengaturan transport ion dalam sel-sel usus cAMP, cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E. coli agak berbeda dengan pathogenesis diare oleh virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini dapat menembus (invasi) sel mukosa usus halus sehingga dapat menyebabkan reaksi sistemik. Toksin shigella juga dapat masuk ke dalam serabut otak sehingga menimbulkan

kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri (Subagyo, 2011). Menurut mekanisme diare, maka dikenal diare akibat gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih besar daripada kapasitas absorpsi. Di sini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus, mengakibatkan absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus halus normal, diare dapat terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di kolon meningkat. Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi, dan imunologi. Beberapa mekanisme diare adalah sebagai berikut (Subagyo, 2011) : 1. Gangguan absorpsi atau diare osmotik Secara umum, terjadi penurunan fungsi absorpsi oleh berbagai sebab seperti celiac sprue, atau karena: a. b. Mengkonsumsi magnesium hidroksida Defisiensi sukrase-isomaltase adanya lactase defisien pada anak yang lebih besar c. Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus jejunum yang bersifat permeable, air akan mengalir kea rah lumen jejunum sehingga air akan banyak terkumpul dalam lumen usus. Natrium akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar natrium yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan tetapi lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat diserap seperti Mg, glukose, sukrose, laktose, maltose, di segmen ileum dan melebihi kemampuan absorpsi kolon sehingga terjadilah diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dari jus buah atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah yang berlebihan akan memberikan dampak yang sama.

2. Malabsorpsi umum

Keadaan seperti short bowel syndrome, celiac, protein, peptide, tepung, asam amino, dan monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotic pada lumen usus. Kerusakan sel (yang secara normal akan menyerap natrium dan air) dapat disebabkan virus atau kuman, seperti Salmonella, Shigella, atau Campylobacter. Sel tersebut juga dapat rusak karena inflammatory bowel disease idiopatik, akibat toksin atau obatobatan tertentu. Gambaran karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorbsi usus halus adalah atropi villi. Lebih lanjut, mikroorganisme tertentu (bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan enteroadheren E. coli) menyebabkan malabsorbsi nutrien dengan meribah faal membran brush border trigliserid diakibatkan insuffisiensi eksokrin pankreas

menyebabkan malabsorbsi yang signifikan dan mengakibatkan diare osmotic (Field, 2003). Gangguan atau kegagalan ekskresi pankreas menyebabkan kegagalan pemecahan kompleks protein, karbohidrat, trigliserid, selanjutnya

menyebabkan maldigesti, malabsorbsi dan akhirnya menyebabkan diare osmotik. Steatorrhe berbeda dengan malabsorbsi protein dan karbohidrat dengan asam lemak rantai panjang intraluminal, tidak hanya menyebabkan diare osmotik, tetapi juga menyebabkan pacuan sekresi klorida sehingga diare tersebut dapat disebabkan malabsorpsi karbihidrat oleh karena kerusakan difus mukosa usus, defisiensi sukrosa, isomaltosa, dan defisiensi congenital lactase, pemberian obat pencahar; laktulose, pemberian Mg hydroxide (misalnya susu Mg), malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan pada hipermotilitas pada kolon iritabel. Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar dan cepat, menyebabkan kekambuhan diare. Pemberian makan/minum yang tinggi KH, setelah mengalami diare, menyebabkan kekambuhan diare. Infeksi virus yang menyebabkan kerusakan mukosa sehingga menyebabkan gangguan sekresi enzim lactase, menyebabkan gangguan absorpsi nutrisi laktose (Field, 2003).

3. Gangguan sekresi atau diare sekretorik Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta asam lemak rantai panjang. Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase. Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosfolirasi membran protein sehingga mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain terjadi peningkatan pompa natrium dan natrium masuk ke dalam lumen usus bersama Cl- (Field, 2003). Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase. Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler, meningkatkan permeabilitas intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat menyebabkan sekresi intestinal. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit Crihn dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi garam empedu dan lemak (Field, 2003).

4.

Penegakkan Diagnosis a. Anamnesa Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologic. Gejala gastrointestinal berupa diare, kram perut, dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya (Pickering, 2004). Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis netabolik, dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling

berbahaya

karena

dapat

menyebabkan

hipovolemia,

kolaps

kardiovaskuler, dan kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonic, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dan dehidrasi berat (Pickering, 2004). Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. Panas badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare. Nyeri perut yang lebih hebat dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah serta rectum menunjukkan terkenanya usus besar (Pickering, 2004). Mual dan muntah adalah symptom yang non spesifik akan tetapi muntah mungkin disebabkan oleh karena organism yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seperti enterik virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporidium (Pickering, 2004). Muntah juga sering terjadi pada non-inflammatory diare. Biasanya penderita tidak panas atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukkan bahwa saluran cerna bagian atas terkena. Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan perhatian khusus, informasi tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit kronis sangat penting (Pickering, 2004). Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare, frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir, dan darah. Bila disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang, atau tidak kencing dalam 6-8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti batuk, pilek, otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare: member oralit, membawa berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya.

b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernafasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadara, rasa haus, dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya, seperti ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa mulut, dan lidah kering atau basah (Pickering, 2004). Pernafasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolic. Bisingusus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi (Pickering, 2004). Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare dan subyektif dengan menggunakan kriteria WHO, Skor Maurice King, kriteria MMWR, dan lainnya (Pickering, 2004). Tabel 1. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003
Simptom Minimal atau tanpa dehidrasi, Kehilangan BB < 3% Baik Normal Dehidrasi Ringan Sedang, Kehilangan BB 39% Normal, lelah, gelisah, irritable Normal meningkat Normal melemah Normal cepat Sedikit cowong Berkurang Kering Kembali < 2 detik Memanjang Dingin Berkurang Dehidrasi Berat, Kehilangan BB > 9% Apatis, letargi, tidak sadar Takikardi, bradikardia pada kasus berat Lemah, kecil, tidak teraba Dalam Sangat cowong Tidak ada Sangat kering Kembali > 2 detik Memanjang, minimal Dingin, mottled, sianotik Minimal

Kesadaran Denyut Jantung

Kualitas nadi Pernafasan Mata Air mata Mulut dan lidah Cubitan kulit Capillary refill Ekstremitas Kencing

Normal Normal Normal Ada Basah Segera kembali Normal Normal Normal

Sumber: adaptasi dari Dugaan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995

Tabel 2. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995


Penilaian Lihat: * Keadaan umum *mata *air mata *mulut dan lidah *rasa haus A Baik, sadar Normal Ada Basah Minum biasa (tidak haus) B Gelisah, rewel Cekung Tidak ada Kering Haus, ingin minum banyak C Lesu, lunglai atau tidak sadar Sangat cekung dan kering Kering Sangat kering Malas minum atau tidak bisa minum Kembali sangat lambat Dehidrasi berat Rencana Terapi C

Periksa : turgor kulit Hasil pemeriksaan Terapi

Kembali cepat Tanpa dehidrasi Rencana Terapi A

Kembali lambat Dehidrasi ringansedang Rencana Terapi B

c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat, contohnya pemeriksaan darah lengkap, kultur urin, dan tinha pada sepsis atu infeksi saluran kemih (Sudoyo Aru, 2006). Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan diare akut: Darah: darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika (Sudoyo Aru, 2006). Urin: urin lengkap, kultur, dan tes kepekaan terhadap antibiotika Tinja Pemeriksaan makroskopik Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa, atau disebabkan oleh infeksi di luar saluran gastrointestinal (Sudoyo Aru, 2006).

Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebakan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti: E. histolytica, B. coli, dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi E. histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garisgaris darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Crytosporidium, dan Strongyloides (Sudoyo Aru, 2006). 5. Penatalaksanaan a. Medikamentosa (Sudoyo Aru, 2006). TRO (Terapi Rehidrasi Oral) 1. Pengobatan diare tanpa dehidrasi Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga untuk mencegah dehidrasi, seperti air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-sayuran, dan sebagainya. Pengobatan dapat dilaukan di rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang diberikan adalah 10ml/kgBB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50-100ml, 1-5 tahun adalah 100-200ml, 5-12 tahun adalah 200-300ml dan dewasa adalah 300-400ml setiap BAB. Untuk anak di bawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan cara 1 sendok setiap 1-2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari cangkir atau gelas dengan tegukan yang sering. Bila terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya 1 sendok setiap 2-3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare berhenti. 2. Pengobatan Diare dengan Dehidrasi Ringan-Sedang Penderita diare dengan dehidrasi ringan-sedang harud dirawat di sarana kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit yang diberikan 3 jam pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui, meskipun cara ini kurang tepat, perkiraan kekurangan cairan

dapat ditentukan dengan menggunakan umur penderita, yaitu untuk umur < 1 tahun adalah 300ml, 1-5 tahun adalah 600ml, > 5 tahun adalah 1200 ml dan dewasa adalah 2400ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume yang sesungguhnya diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan memantau tanda-tanda dehidrasi. Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi. Sebaliknya bila dengan bolume di atas kelopak nata menjadi bengkak, pemberian oralit harus dihentikan sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar. Bila oedem kelopak mata sudah hilang dapat diberikan lagi. Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara per-oral, oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan kecepatan 20ml/kgBB/jam. Setelah 3 jam keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat dilanjutkan di rumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik adalah pemberian cairan parenteral. 3. Pengobatan Diare dengan Dehidrasi Berat TRP (Terapi Rehidrasi Parenteral) Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di Puskesmas atau Rumah Sakit. Pengobatan yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral. Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit sampai cairan infuse terpasang. Di samping itu, semua anak harus diberi oralit selama pemberian cairan intravena ( 5ml/kgBB/jam), apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam 3-4jam (untuk bayi) atau 1-2jam (untuk anak yang lebih besar). Pemberian tersebut dilakukan untuk member tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan cukup dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan Ringer Laktat dengan dosis 100ml/kgBB. Cara pemberiannya untuk <1tahun 1 jam pertama 30cc/kgBB dilanjutkan 5

jam berikutnya 70cc/kgBB. Di atas 1 tahun jam pertama 30cc/kgBB dilanjutkan 2 jam berikutnya 70cc/kgBB. Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan IV dapat dipercepat. Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada anak lebih besar, lakukan evaluasi, pilih pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu pengobatan diare dengan dehidrasi ringan sedang atau pengobatan diare tanpa dehidrasi. 4. Tablet Zinc Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara berkembang dan dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun dan meningkatnya kejadian penyakit infeksi yang serius. Seng merupakan mikronutrien komponen berbagai enzim dalam tubuh, yang penting antara lain untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT yang semuanya dilakukan di negara berkembang pada tahun 1999 didapatkan bahwa suplementasi seng dengan dosis minimal setengah dari RDA Amerika Serikat untuk seng, ternyata dapat menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi diare sampai 25%, kurang lebih sama dengan hasil yang dicapai upaya preventive yang lain seperti perbaikan hygiene sanitasi dan pemberian ASI. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg per hari selama 10-14 hari, dan pada bayi < 6 bulan dengan dosis 10 mg per hari selama 10-14 hari. 5. Obat farmakologi seperti : 1) Antibiotik 2) Antidiare 3) Absorben 4) Antiemetik 5) Antipiretik b. Nonmedikamentosa Diet lunak seperti bubur tempe, rendah serat, dan tetap diberikan asupan cairan.

6.

Prognosis Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare hasilnya sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Penderita dipulangkan apabila ibu sudah dapat/sanggup membuat/memberikan oralit kepada anak dengan cukup walaupun diare masih berlangsung dan diare bermasalah atau dengan penyakit penyerta sudah diketahui dan diobati.

7.

Komplikasi 1) Hipernatremia 2) Hiponatremia 3) Hiperkalemia 4) Hipokalemia 5) Dehidrasi berat 6) Kejang 7) Ileus paralitikus 8) Asidosis 9) Edema

KESIMPULAN

1.

Diare prolong merupakan klasifikasi diare berdasarkan lamanya diare, yaitu buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung selama 7 sampai 14 hari.

2.

Penyebab diare adalah infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit dan juga dapat disebabkan oleh keadaan non infeksi.

3.

Penegakkan diagnosis diare berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah rutin dan feses.

4.

Penatalaksanaan diare dibagi menjadi medikamentosa yaitu terapi rehidrasi cairan, obat-obat farmakologis, sedangkan terapi nonmedikamentosa adlaah diet lunak dan diet rendah serat.

DAFTAR PUSTAKA

Field M. 2003. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. J. Clin Invest. vol 111(7): 931-943 Fleisher, G, R, Matson, D, O, Ferry, Drutz, Torchia. 2012. Patient information : Acute Diarrhea in Children (Beyond the Basics). Available at : www.uptodate.com/contents/acute-diarrhea-in-children-beyond-thebasics#6 diakses tanggal 10 Desember 2012. Pickering LK, Snyder JD. 2004. Gastroenteritis in. Nelson textbook of Pediatrics 17ed. Saunders.: 1272-6 Subagyo B. Nurtjahjo NB. 2011. Diare Akut, Dalam Buku ajar Gastroenterohepatologi Jilid 1. Jakarta : IDAI; 87-120. Sudoyo Aru, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : FKUI. WHO, UNICEF. 2006. Oral Rehydration Salt Production of the new ORS. Geneva

You might also like