Professional Documents
Culture Documents
Adab-Adab Berbicara
“ Dan janganlah kalian mengikuti apa-apa yang kalian tidak mempunyai ilmu tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung
jawabannya “ (Al-Israa` : 36 )
“ Barang siapa yang dapat memberi jaminan atas apa yang ada antara jenggotnya dan
yang berada diantara kedua kakinya, maka saya akan menjaminnya surga “1
1. Menjaga Lisan
Yang sepatutnya bagi seorang muslim adalah memperhatikan lisannya dengan baik.
Menghindari perkataan yang batil, perkataan dusta, ghibah, adu domba, perkataan
yang keji, secara ringkas dari semua itu adalah menjaga lisannya dari segala yang Allah
dan Rasul-Nya haramkan.
“ Sesungguhnya seorang hamba akan berbicara dengan suatu ucapan yang sama sekali
dia memperoleh kejelasannya,maka diapun dijerumuskan diapi neraka lebih jauh dari
pada arah timur “ Dan pada riwayat Muslim dan Ahmad : “ Lebih jauh melebihi jarak
antara timur dan barat “2
1
Takrijnya akan disebutkan nanti
2
HR. Al-Bukhari ( 6477 ), dan lafazh diatas adlah lafazh riwayat beliau, Muslim
( 2988 ) dan Ahmad ( 8703 )
Dan juga pada riwayat Ahmad : “ Sesungguhnya seseorang akan berbicara dengan
suatu ucapan untuk membuat orang-orang yang duduk menyertainya tertawa, maka
dia dicampakkan melebihi jauhnya bintang tsurayya “3
Dan sebagaimana suatu kalimat akan dapat menjadi penyebab kemurkaan Allah,
juga suatu kalimat dapat menjadi sebab pengangkatan derajat dan kebahagiaan. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Sesunguhnya seorang hamba akan mengucapkan suatu kalimat dari keridhaan Allah
dimana dia sama sekali tidak memperhatikannya, maka Allah mengangkatnya
beberapa derajatkarena kalimat tersebut. Dan sesungguhnya seorang hamba akan
mengucapkan suatu kalimatdari kemurkaan Allah yang dia sama sekali tidak
menyadarinya, hingga dia dicampakkan ke neraka jahannam “4
Dan pada pertanyaan Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan yang akan memasukkan kedalam surga
dan menjauhkan dari api neraka, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan rukun-rukun Islam, dan beberapa pintu kebaikan. Kemudian beliau
bersabda:
Saya berkata : Wahai Nabi Allah, akankah kami disiksa karena apa yang kami
ucapkan?
“ Barang siapa yang dapat memberi jaminan atas apa yang ada antara jenggotnya dan
yang berada diantara kedua kakinya, maka saya akan menjaminnya surga “6
Jadi wajib bagi seorang muslim untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari hal-hal
yang Allah haramkan, untuk mengharapkan keridhaan-Nya, dan berharap meraih
ganjaran pahala dari-Nya. Dan hal itu suatu yang mudah bagi yang Allah mudahkan
baginya.
Faedah : Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu [ Hammad bin Zaid mengatakan ]
Saya tidak mengetahui kecuali hadits ini beliau riwayatkan secara marfu’ , beliau
berkata : “ Apabila bani Adam bangun pada pagi hari, maka seluruh anggota tubuhnya
menegur lisan, dan mengatakan : Takwalah engaku kepada Allah, karena apabila
engkau lurus maka kamipun akan lurus, dan apabila engkau menyimpang maka
kamipun akan menyimpang “7
Dan sabda beliau: “ Anggota tubuhnya menegur lisannya”, maknanya bahwa seluruh
anggota tubuhnya tunduk dan merendah dihadapan lisan, taat kepadanya. Apabila
engkau wahai lisan, lurus maka kamipun kaan lurus, dan apabila engkau menyelisihi
dan menyimpang dari jalan yang lurus, maka kami akan mengikutimu, maka
bertakwlaah engkau kepada Allah bagi kami8.
Dan hadits ini tidaklah kontradiktif dengan saba beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
- dari hadits An-Nu’man bin Basyir - : “ Ketahuilah bahwa pada jasad seseorang
erdapat segumpal daging, apabila daging tersebut baik, maka seluruh jasad akan
6
HR. Al-Bukhari dari hadits Sahl bin Sa’ad ( 6474 ),Ahmad ( 22316 ) an At-Tirmidzi
( 2408 ) dengan perbedaan pada lafazh-lafazhnya.
7
HR. Ahmad ( 11498 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, berkata pen-tahqiq Al-
Musnad : Sanadnya hasan ( 18 / 402 ), ( 11908 ) dan At-tirmidzi ( 2407 )
8
Lisan Al-‘Arab ( 5 / 150 ), bahasan: كفر
menjadi baik, dan apabila segumpal daging tersebut rusak maka akan rusaklah seluruh
jasad. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati “9
Dan selamanya anda akan menyaksikan seorang yang diam akan kagum
Adab Nabawi pada perkataan bagi orang-orang yang ingin berbicara supaya
berbicara dengan pelan dan memikirkan perkataannya yang ingin dia katakan
dengannya, jika perkataan itu baik maka bagus untuk dikatakan dan hendaklah dia
mengatakannya, jika perkataan itu buruk maka hendaklah dia berhenti darinya maka
hal itu baik bagi dirinya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau
berkata : “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa beriman
kepada Allah dan Hari Akhir maka janganlah dia menyakiti tetangganya, Barang siapa
beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya,
Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah dia berkata yang baik
atau diam”.11
9
Hr. Al-Bukhari ( 52 ) dan Muslim ( 1599 )
10
Tuhfah Al-Ahwadzi ( 7 / 75 ) dengan sedikit perubahan.
11
HR. Al-Bukhari ( 6018 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 47 ), dan
Ahmad ( 75751 ).
Sabda beliau : “hendaklah dia berkata yang baik atau diam”. Berkata Ibnu Hajar : “
Perkataan ini adalah Jawami’ul kalam dikarenakan semua perkataan bisa dia berupa
kebaikan, bisa berupa keburukan dan bisa juga bermuara kepada salah satu dari
keduanya. Termasuk dalam cakupan kebaikan semua yang dituntut dari perkataan-
perkataan yang wajib ataupun yang sunnah, diperbolehkan padanya tentang
perbedaan jenisnya, dan masuk padanya segala perkataan yang bermuara kepadanya.
Adapun selainnya maka hal tersebut adalah keburukan atau yang bermuara kepada hal
yang buruk, maka disaat hendak memperdebatkannya diperintahkan untuk berdiam
diri ”.12
Terkadang suatu kalimat yang baik akan menjauhkan pembicaranya dari api
neraka. Dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
12
Kitab Fathul Baari ( 10 / 461 ).
13
HR. Al-Bukhari ( 2989 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 1009 ),
dan Ahmad ( 27400 ).
sallammenyebut perihal api neraka neraka lalu beliau memalingkan wajahnya dan
berlindung darinya, kemudian beliau berkata : “ Takutlah bertakwalah kepada neraka
walau dengan sebutir kurma, barang siapa yang tidak mendapatinya maka dengan
kalimat yang baik”.14
Telah diterangkan lebih dari sebuah hadits tentang anjuran untuk sedikit berbicara.
Karena banyak berbicara dapat menjadi sebabtergelincirnya seseorang dalam dosa. Jadi
seseorang yang banyak berbicara tidaklah berasa aman dari lisannya yang lepas dan
kekeliruannya. Oleh karena itulah, ada anjuran untuk sedikit berbicara dan larangan
banyak berbicara.
Sabda beliau : “ Dan membenci jika kalian mengutip perkataan “, yaitu menceburkan
diri pada kabar dan cerita-cerita orang tentang keadaan dan perbuatan mereka yang
tidak mendatangkan manfaat. Demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi15.
Banyak berbicara adalah suatu yang tercela dalam syariat. Jabir bin Abdullah
radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “ Sesunggunya oang yang paling saya cintai diantara kalian dan yang paling
dekat majlisnya kepadaku pada hari kiamat adalah yang paling terpuji akhlaknya. Dan
sesungguhnya yang paling saya benci dan paling jauh majlisnya dariku pada hari
HR. Al-Bukhari ( 6563 ), dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat beliau, Muslim
14
( 1016 ), dan Ahmad ( 17782 ) tanpa menyebutkan penggalan hadits yang terakhir
dan An-Nasa’I ( 2553 ).
15
Muslim, Syarh An-Nawawi jilid 6 ( 12 / 10 )
kiamat adalah orang-orang yang banyak cakap, oang-orang yang memfasihkan
bicaranya serta al-mutafaihiquun. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah kami telah
mengetahui apa itu ats-tsatsaaruun16 – yang banyak cakap – dan juga al-mutasyaddiquun,
namun apakah itu al-mutaaihiquun ? Beliau menjawab: Yakni orang-orang yang angkuh
“17
Faedah: Abu Hurairah berkata : “ Tidak ada kebaikan pada perkataan yang
berlebihan ”. Umar bin Al-Khaththab mengatakan: “Barang siapa yang banyak
berbicara maka akan sering tergelincir “
Ibnu Al-Qasim mengatakan: “ Saya telah mendengar dari Malik, beliau berkata: “ Tidak
ada kebaikan pada banyak berbicara, dan hal itu meruapkan tingkah kaum wanita dan
anak-anak. Tingkah laku mereka selamanya adalah berbicara dan tidak diam …
Lainnya mengatakan:
16
Didalam Al-LisanL ats-tsartsaar al-mutasyaddiq adalah yang banyak bicara ... ats-
tsartsarah min al-kalam: adalah banyak bicara dan sering diulang-ulangi ...
Dikatakan: Laki-laki tsartsaar, wanita tsartsaarah, dan suatu kaum tsatsaaruun.
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: Yang
paling saya benci diantara kalian adalah ats-tsartsaaruun dan al-mutafaiqihuun.
Yaitu mereka yang banyak berbicara dan berlebihan dalam berbicara hingga
menyimpang dari kebenaran. ( 4 / 102 ). Bahasan: ثرر
17
HR. At-Tirmidzi dari hadits Jabir ( 2018 )dan lafazh diatas adalah lafazh beliau. At-
Tirmidzi mengatakan: Hadist hasan gharib, Ahmad dari hadits Abu Tsa’labah al-
Khusyani ( 17278 )
18
Kutipan-kutipan terdahulu dari Al-Adab Asy-Syar’iyah karya Ibnu Muflih ( 1 / 66 –
67 ) dengan sedikit perubahan.
Sangat banyak kutipan dari Al-Qur`an ataupun As-Sunnah yang menunjukkan
larangan melakukan ghibah dan namimah. Dengan konsukuensi ancaman yang sangat
berat. Larangan terhadap kedua perbuatan tersebut juga telah maklum adanya
ditengah-tengah kaum muslimin seluruhnya. Akan tetapi, kita masih akan menjumpai
sangat banyak orang yang tidak berhati-hati dalam mempergunakan lisaannya
berbicara menyangkut kehormatan dan daging orang-orang. Akan tetapi inilah hiasan
syaithan bagi mereka, untuk mencerai beraikan persatuan mereka dan mengobarkan
kemarahan didalam hati sebagian dari mereka atas sebagian lainnya.
Dari Jabir radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: Saya telah mendengar Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “ Sesungguhnya syaithan telah putus asa untuk disembah
Ada yang berkata: Bagaimanakah jika yang dikatakan tersebut benar ada pada
saudaraku seperti yang saya ucapkan? Beliau bersabda: apabila benar ada padanya
seperti yang engkau katakan, maka sungguh anda telah mengghibahnya. Dan
apabila tidak seperti yang anda katakan maka sungguh anda telah berdusta
terhadapnya “ HR. Muslim ( 2589 ), Ahmad ( 7106 ), At-Tirmidzi ( 1934 ), Abu Daud (
4874 ) dan Ad-Darimi ( 2714 ) dengan pebedaan sedikit pada lafazh-lafazhnya.
Dan karakteristik ghibah adalah: Setiap yang anda sampaikan kepada orang lain
perihal kekurangan seorang muslim maka termasuk perkara ghibah yang
diharamkan. ( Al-Adzkar karya An-Nawawi hal. 486 ).
Makna hadits diatas : bahwa sesungguhnya syaithan telah berputus asa menggoda
para penduduk jazirah Arab untuk menyembahnya, akan tetapi syaithan senantiasa
berusaha menghasut mereka untuk saling bermusuhan, kebencian, peperangan,
menyebar fitnah dan lain sebagainya. Demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi21.
Ghibah dan namiman adalah salah satu benih lebencian dan permusuhan yang
ditanamkan diengah-tengah menusia. Dan Allah telah mengabarkan perihal syaithan
bahwa dia adalah musuh kita. Dan seorang musuh tidak akan emnghendaki kebaikan
pada diri kita – dan hal itu tidak kita sangsikan lagi – dan Allah telah memerintahkan
kita untuk memusuhinya dan memeranginya
“Sesunggunya syaithan adala musuh bagi kalian, maka jadikanlah dia sebagai musuh,
sesungguhnya syaithan akan mengajak kepada golongannya agar mereka semuatermasuk
penghuni neraka sa’iir “ (Fathir : 6)
Ghibah dan namimah, termasuk salah satu senjata Iblis dan kelompoknya, untuk
mencerai beraikan kaum manusia. Menanamkan kebencian dihati sbeagian kaum
manusia kepada sebagian lainnya. Dan kedua hal tersebut termasuk diantara penyakit
yang akan membinasakan individu serta mencerai beraikan jama’ah.
Ada baiknya kita akan sebutkan sebagian yang berkaitan dengan kedua hal tersebut.
Dan seorang yang mendapatkan taufik adalah yng menundukkan hatinya kepada
kebenaran sertamenjaga lisannya terhadap makhluk Allah.
20
HR. Muslim ( 2812 ), Ahmad ( 13957 ) dan At-Tirmidzi ( 1937 )
21
Muslm,bi-syarh An-Nawawi jilid. 9 ( 17 / 131 )
“Dan janganlah sebagian dari kalian menghibah sebagian lainnya. Apakah salah seorang
diantara kalian akan memakan daging bangkai saudaranya, maka kalian tentunya merasa jijik.
Maka bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha
Pengasih “ (Al-Hujurat : 12 )
Dan dari hadits Abu Barzah Al-Aslami, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “ Wahai segenap orang yang merasa amandenganlisannya
namun belumlah iman masuk kedalam hatinya. Janganlah kalian mengghibah kaum
muslimin dan janganlah kalian mencari-cari aurat mereka. Karena sesungguhnya
seseorang yang mencari-cari aurat mereka maka Allah akan mencari-cari auratnya. Dan
barang siapa yang Alah mencari-cari auratnya niscaya Allah akan mempermalukannya
dirumahnya “22
Pertama : Ketidak adilan, maka diperbolehkan bagi yang didhalimi untuk mengadukan
ketidak adilan yang dia alami kepada penguasa atau halim dan selain keduanya yang
mana padanya punya pemerintahan, atau berkehendak untuk berlaku adil pada orang
yang mendhaliminya.
HR. Abu Daud ( 4880 ) dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat beliau. Al-Albani
22
HR. Al-Bukhari ( 6056 ), Muslim ( 105 ) dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat
23
Ketiga: Meredakan masalah, maka dia berkata kepada mufti / yang memberi fatwa :
Ayahku telah mendhalimiku , atau saudaraku…dan semisal hal tersebut, maka hal ini
diperbolehkan sesuai keperluan, akan agar lebih berhati-hati agar dia berkata :
Apakah engkau mengatakan kepada laki-laki atau seseorang siapa saja yang
menyuruhnya berbuat demikian? Yang mana dia akan tercapai dengannya tujuan
tanpa adanya ketentuan yang pasti, dengan demikian maka penentuan tersebut
diperbolehkan.
Keempat: Peringatan kepada kaum muslimin dari kejelekan dan menasehati mereka …
termasuk pula men-jarh kaum yang cacat sifatnya baik para perawi hadits atukah para
saksi. Diantaranya pula musyawarah untuk menjalin kekerabatan dengan seseorang …
dengan syarat tujuan dari itu smeua adalah untuk nasihat. Dan hal ini yang sering
terjadi kesalah pahaman. Seorang pembcara terkadang terbawa rasa dengki pada hal-
hal itu, dan syaithan mengaburkannya. Dan syaithan menampakkan seolah-olah hal
tersebut suatu nasihat, maka mestilah hal itu lebih dicermati.
Keenam : Untuk tujuan identifikasi. Apabila seseorang lebih terkenal dengan suatu
julukan, seperti Al-A’masy – yang penglihatannya kabur - , Al-A’raj – yang pincang
kakinya -, Al-Asham – yang tuli -, Al-A’maa – yang buta -, Al-Ahwal – yang matanya
juling – dan lain sebagainya. Diperbolehkan mengidentifikasi mereka dengan julukan
itu. Dan diharamkan penggunaan julukan itu secara mutlak untuk tujuan penghinaan.
Dan sekiranya memungkinkan mengidentifikasinya selain dengan julukan itu, hal
tersebut lebih utama.
Inilah enam perkara yangdisebutkan oleh par aulama, dan sebagian besarnya
adalah perkara-perkara yang disepakati oleh mereka. Dan argumentasinya berupa
hadits-hadits yang shahih sangatlah populer, demikian yang dikatakan oleh An-
Nawawi24.
Kedua : Melarangnya dari perbuatan itu dan menasihatinya dan mencela perbuatan
yang dilakukannya tersebut.
Kelima : Segala cerita yang sampai kepadanya tidak mendorongnya untuk mencari-cari
dan menilik informasi tentang kabar itu.
Keenam : Tidak meridhai bagi dirinya sendiri apa yang dilarangnya bagi pelaku
namimah. Tidaklah dia menceritakan suatu namimah darinya dengan mengatakan :
Fulan menceritakan demikian, hingga diapun menjadi pelaku namimah. Dengan begitu
dia melakukan suatu yang dia telah larang.
Inilah akhir perkataan Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullah. Semua yang berkaitan
dengan namimah ini apabila tidak terdapat mashlaha syar’iyah. Namun apabila suatu
24
Riyadh Ash-Shalihin 450 -451
kebutuhan mengharuskan hal tersebut, maka tidaklah mengapa untuk disampaikan.
Demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi25.
Hal itu disebabkan karena perkataan yang didengar dari orang-orang ada yang
benar dan ada juga yang dusta. Apabila seseorang menceritakan segala yang
didengarnya, maka pastilah akan mencritakan suatu yang dusta. Dengan inilah seorang
yang menceritakan segala yang didengarnya diaktegorikan seorang yang
menyampaikan kedustaan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : Cukuplah seorang berdosa, ketika menceritakan segala yang
didengarnya “ Pada riwayat lainnya : “ Termasuk kedustaan seseorang apabila dia
menceritakan segala yang didengarnya “26
“ Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian orang-orang
yang benar “27
Makna yang tersirat pada ayat diatas adalah : janganlah kalian menjadi kelompok
orang-orang yang berdusta.
25
Syarh Shahih Muslim jilid 1 ( 2 / 92 – 94 )
26
HR. Muslim ( 5 ) didalam Al-Muqaddimah, dan lafazh diatas adalah lafazh beliau
dan Abu Daud ( 4992 )
27
QS. At-Taubah : 119
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “ Sesungguhnya kejujuran akan menuntun kepada perbuatan baik
dan perbuatan yang baik akan menuntun kepada surga. Dan seseorang akan berkata
jujur hingga dia tetulis disisi allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya
kedustaan akan menuntun kepad perbuatan fajir. Dan perbuatan fajir akan menuntun
kepada neraka. Dan seseorang akan berdusta hingga akan tertulis disisi Allah bahwa
dia adalah seorang pendusta “28
Ibnu Hajar mengatakan : “ Ar-Raghib mengatakan asal kata al-fajru berarti suatu
yang pecah. Berarti al-fujur memecahkan/menyingkap penutup keagamaan seseorang.
Dan kalimat ini juga dipergunakan untuk menunjukkan makan kecenderungan kepada
perbuatan fasad dan terbawa kepada perbuatan maksiat. Dan merupakan kalimat yang
menyatukan segala bentuk keburukan29.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :Tnda seorang munafik ada tiga: Apabila berbicar adia
berdusta, apabila berjanji dia menyalahi, dan apabila diberi kepercayaan dia berkhianat
“30
Barang siapa yang memiliki sifat dusta maka pada dirinya ada ciri orang-orang
munafik.
Dari Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu pada hadits Ru’ya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam , bahwa beliau bersabda :
“ … Akan tetapi malam itu saya melihat dua orang yangmendatangiku lalu keduanya
menggandeng tanganku dan mengeluarkanku dari tanah Maqdis. Dan seseorang
sedang duduk dan seseorangsedang berdiri dan pada tangannya penjepit-penjepit dari
besi – sebagian pengikut Musa berkata dari Musa - : Bahwa dia memasukkan penjepit
28
HR. Al-Bukhari ( 6094 ) dan lafazh diatas adalah lafazh Al-Bukhari, Muslim ( 2607 ),
Ahmad ( 3631 ), at-Tirmidzi ( 1971 ) Abu Daud ( 4989 ), Ibnu Majah ( 46 )dan Ad-
Darimi ( 2715 )
29
Fathul Bari ( 10 / 524 )
30
HR. Al-Bukhari ( 6095 ), Muslim ( 59 ), Ahmad ( 8470 ), At-Tirmidzi ( 2631 ) dan An-
Nasaa`I ( 5021 )
itu didalam rahangnya hingga sampai kedalam tengkuknya, lalu tengkuk yang satnya
juga diperbuat hal yang serupa dengan itu. Kemudian rahangnya dikembalikan seperti
sedia kalam, lalu diperbuat lagi yang semisalnya.
Dan pada akhir hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kedua
orang tersebut : Kalian berdua telah mengajakku berkeliling pada malam ini, maka
beritahukanlah semua yang telah aku lihat.
Keduanya mengatakan : Adapun seseorang yang anda lihat, yang rahangnya dijepit
maka dia adalah seorang pendusta , menceritakan cerita yang dusta hingga cerita itu
dibawanya hingga menyebar keseluruh pelosok, maka pad ahari kiamat dilakukan hal
tersebut baginya … al-hadits “31
Faedah : Kedustaan yang paling besar adalah kedustaan kepada Allah dan kedustaan
kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan bersumpah kepada Allah dengan
sumpah yang dusta untuk menguasai harta seorang muslim.
Adapun kedustaan kepada Allah, dapat dengan mentakwilkan dan menafsirkan kalam
Allah tanpa dasar ilmu. Diantara hal itu adalah mendudukkan beberapa nash-nash Al-
Qur`an dengan sejumlah kejadian yang bermunculan. Para ulama As-Salaf, telah
merasa berat untuk menafsirkan kalam Allah subhanahu wata’ala tanpa dasa rilmu,
dan ada banyak perkataan dari mereka tentang hal itu :
Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan: “ Demi Tanah yang aku pijak dan langit yang
menaungiku , apabila aku mengatakan sesuatu didalam Kitabullah yang tidak kau
ketahui … “
Dari Ibnu Abbas, beliau ditanya tentang sebuah ayat , apabila ayat tersebut ditanyakan
kepada sebagian dari kalian, maka dia akan mengatakan/menafsirkan ayat tersebut,
lalu beliau enggan untuk mengatakan/menafsirkan ayat tersebut …
31
HR. Al-Bukhari ( 1386 ) dan Ahmad ( 19652 )
Masruq mengatakan : Berhati-hatilah dalam menafsirkan karena tafsir adalah
meriwayatkan dari Allah.
Ibnu Taimiyah mengatakan : Inilah beberapa atsar dan atsar-atsar lain yang semisalnya
dari para Imam As-Salaf yang mengindikasikan keengganan mereka berbicara dalam
masalah tafsir tanpa dasar ilmu pada mereka. Adapun perkataan yang diektahui baik
dari tinjauan etimloginya maupun secara syara’ maka hal tersebut tidak mengapa32.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :” janganlah kalian berdusta kepadaku, karena barang siapa yang berdusta
kepadaku maka pastilah dia akan disengat dengan api neraka “ pada riwayat lainnya :
“ akan disengat dengan api neraka “33
Adapun bersumpah atas nama Allah untuk mengambil harta seorang muslim, telah
diriwayatkan oleh Abduyllah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Barang siapa yang bersumpah dengan sumpah yang dusta untuk merampas harta
seorang muslim atau mengatakannya kepada saudaranya, maka dia akan menjumpai
Allah , sementara Allah sangat murka kepadanya … “34
32
Beberapa kutipan dari Al-Fatawa ( 13 / 371 – 374 )
33
HR. Al-Bukhari ( 106 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, ( Muslim ( 1 ),
ahmad ( 630 ), At-Tirmidzi ( 2660 ) dan Ibnu Majah ( 31 )
34
Hr. Al-Bukhari ( 6659 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 138 ),
ahmad ( 3566 ),At-Tirmidzi ( 1269 ), Abu Daud ( 3243 ) dan Ibnu Majah ( 2323 ).
Dari Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
beliau bersabda : Termasuk dosa-dosa besar : Berbuat syirik kepada Allah , durhaka
kepada kedua orang tua, membunuh seorang muslim dan sumpah yang dusta35 “36
Dan Dari Ibnu Mas’ud beliau mengatakan : “ kami mengkategorikan termasuk dosa
yang tidak ada kaffarahnya diatnaranya adalah sumpah yang dusta, yaitu seseorang
yang bersumpah – pengakuan - terhadap harta saudaranya dengan sumpah yang dusta
untuk menguasai harta tersebut “37
Ketiga : Seorang suami yang berbincang kepada Istrinya dan istri kepada suaminya.
Dalil hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Kultsum binti Kultsum bin
Abi Mu’ith radhiallahu ‘anha, beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Bukanlah dikatakan seorang pendusta yang
bertujuan mengadakan perbaikan ditangah-tengah kaum manusia, hingga memberi
hasil kebaikan ataukah mengatakan suatu kebaikan “38
Dan pada riwayat Abu Daud: Beliau mengatakan : “ Tidaklah saya mendengar dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan sedikitpun juga kedustaan
kecuali pada tiga perkara yang pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sampaikan : “ Tidaklah saya mengkategorikan seseorang sebagai pendusta apabila dia
mendamaikan antara kaum mausia. Dia mengatakan suatu perkataan yang tidak ingin
dia ucapkan kecuali untuk tujuan mendamaikan, dan seseorang yang berbicara disaat
35
Diaktakan sebagai al-ghamuuus, karena sumpah yang dusta akan
menjerumuskan pelakunya kepada dosa dan api neraka. ( Al-Fath 11 / 564 )
36
HR. Al-Bukhari ( 6675 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau,Ahmad ( 6845 ), At-
Tirmidzi ( 3021 ), An-Nasaa`I ( 4011 ) dan Ad-Darimi ( 2360 )
37
Ibnu Hajar mengatakan : Hadist diatas diriwayatkan oleh Abi bin Iyas didalam
Musnad Syu’bah dan Isma’il Al-Qadhi didalam Al-Ahkam dari hadits Ibnu Mas’ud
( Fathul Bari 11 / 566 )
38
HR. Al-Bukhari ( 2692 )
peperangan dan seseorang yang berbicara kepada istrinya dan seorang wanita yang
berbicara kepada suaminya “39
Para ulama berbeda pendapat dalam menganalisa makna hadits ini. Mayoritas
ulama berpendapat bolehnya berdusta pada tiga hal yang disebutkan diatas. Dan
sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits diatas bukanlah
dusta yang sebenarnya, melainkan hanya sebatas at-tauriyah40 dan al-ma’aaridh41 42.
Dan kemungkinan sebab dari perbedaan pendapat mereka karena memandang lafazh
tambahan yang ada pada hadits diatas, apakah lafazh tersebut lafazh yang mudraj atau
diriwayatkan secara marfu’ dan shahih.
Lafazh diatas lafazh yang shahih secara marfu’ – sebagaimana yang telah kami
terangkan – dengan begitu jelaslah pendapat bolehnya berdusta pada tiga perkara yang
telah disebutkan sebelumnya.
39
HR. Abu Daud ( 4921 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau. Al-Albani
menshahihkannya. Dan asal hadits ini terdapat didalam Ash-Shahihain. Al-Bukhari
meriwayatkannya ( 2692 ) dengan lafazh : “ Bukanlah dikatakan seorang pendusta
yang bertujuan mendamaikan antara kaum manusia, maka dia akan menghasilkan
kebaikan ataukah mengatakan suatukebaikan “. Dan Muslim ( 2605 ) dengan kedua
lafazh tersebut semuanya. Akan tetapi beliau menambahkan tambahan dari
eprkataan Az-Zuhri : “ Ibnu Syihab mengatakan : Dan saya tidak mendengarkan
sedikitpun juga dari beliau, bahwa beliau membolehkan sedikitpun dari perkataan
manusia yang berupa kedustaan ... “.
Dan Ibnu Hajar berpendapat seperti itu, dan mengatakan bahwa lafazh tambahan
tersebut adalah lafazh yang mudraj ( lihat Al-Fath 5 / 353 )
Al-Albani mengkritik hal itu didalam Ash-Shahihah ( 545 ) dan beliau menerangkan
bahwa lafazh tmabahan tersebut diriwayatkan secara marfu’ dan shahih dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Silahkan anda melihatnya kembali jika berkenan. Dan
diantara yang juga meriwayatkan hadits ini adalah Ahmad ( 26731 ) dan At-Tirmidzi
( 1938 )
40
Yakni menampakkan sesuatu yang menyalahi maksud yang sebenarnya, penj
41
Yakni sindiran dengan perkataan, penj
42
Lihat Muslim bi-syarh An-Nawawi jilid 8 ( 16 / 135 ), Fathul Bari ( 5 / 353 ) dan Syrh
Riyadh Ash-Shalihih karya Ibnu ‘Utsiamin ( 1 / 272 )
Adapun riwayat syahid untuk mendamaikan antara kaum manusia, adalah hadits
yang telah dikemukakan sebelumnya.
Syahid riwayat berdusta ketika berperang, adalah hadits Jabir bin Abdullah
radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“ Siapakah yang akan menuntaskan Ka’ab bin Al-`Asyraf ? karena sesungguhnya dia
telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.
Dan ketika dia mendengarnya, dia mengatakan : Dan demi Allah dia juga telah
menjemukan kami dengannya … al-hadits “43
Abda beliau : “ Izinkanlah saya akan berdua dengannya “, “ Sungguh dia telah
menekan kami dengan shadaqah “, yaitu : Meminta kami untuk menempatkan
shadaqah pada masing-masing tempatnya.
Dan : “ Dan sungguh dia telah menyulitkan kami “, yakni : Membebani kami dengan
segala macam perintah dan larangan44.
An-Nawawi mengatakan: “ Adapun dusta kepada istri dan dusta seorang istri
kepada suaminya. Yang dimaksud dengan dusta ini adalah dengan manampakkan
kasih sayang dan janji yang bukan suatu keharusan sertalain sebagainya.
didalam Musnadnya ( no. 329 ). As-Silsilah ( 1 / 817 ) no. ( 498 ). Dan hadits seperti
yang anda lihat adalah hadits yang mursal. Akan tetapi silahkan lihat didalam As-
Silsilah pada tempat yang
46
Syarh Shahih Muslm jilid 8 ( 16 / 135 )
47
As-Silsilah Ash-Shahihah ( 1 / 818 )
48
Didalam Al-Lisan : Seseorang berlaku fahisy, apabila dia mengatakan perkatan
yang fahisy / keji. Seperti dikatakan: Seseorang telah mengatakan perkataan yang
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling sempurna
kahlaknya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jauh dari sifat seorang yang
berkata buruk dan rendahan. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang
dari perkataan yang keji, melaknat, perkataan yang kotor dan perkataan-perkataan batil
lainnya.
Perkataan yang keji, dapat berarti beberapa makna. Terkadang bermakna makian
dan celaan dan perkataan dusta, sebagaimana didalam hadits Abdullah bin Amru
radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
seorang yang berkata keji dan sering berkata kotor. Dan beliau seringkali mengatakan:
Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya “51
keji, dia seorang yang berkata keji, ucapannya keji ... Dan al-faahisy adalah seroang
yang berkata keji dan kotor demikian juga perbuatannya. Dan al-mutafahhisy
adalah seseorang yang berlebihan dalam mencaci orang dan bersengaja
melakukannya. ( 6 / 325 – 326 ) bahasan : فحش
49
Didalam Al-Lisan: Dan pada sebuah hadits: Tidaklah seorang mukmin seorang
yang senang menghujat. Yakni sering melanggar kehormatan orang lain dengan
mencela, ghibah dan semisalnya. Dan kaliamt tersebut berasal dari kalimat :
tha’ana ( menghujat ) dengan wazan/timbangan : Fa’aalun.. Dan dari sinilah
perkataan yang menghujat, dapat dengan harakat al-fathah dan adh-dhammah,
apabila orang tersebut mencelanya. Diantaranya juga mencela nasab. ( 12 / 266 )
bahasan: طعن
50
HR. Ahmad ( 3938 ), al-Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad ( 312 ) dan lafazh
diatas adalah lafazh beliau. Al-Albani menshahihkannya, dan At-Tirmidzi ( 1977 )
51
HR. Al-Bukhari ( 3559 ), Muslim ( 2321 ), Ahmad ( 6468 ) dan At-Tirmidzi ( 1975 )
52
Lihat : Lisan Al-‘Arab ( 6 / 325 )
Aisyah berkata : Saya mengatakan : bahkan jawablah: As-saamu wa adz-dzaamu –
kematian dan celaan bagi kalian - 53.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidakkah hal tersebut telah terjadi pada
mereka apa yang mereka katakan. Saya berkata : Dan bagi kalian. “54
Peringatan : Seorang yang sering melaknat tidak menjadi seorang yang jujur. Dia akan
diharamkan dari syafa’at dan perskasian pada hari kiamat. Dan barang siapa yang
melaknat sesuatu namun sesuatu itu tidak pantas dilaknat, maka laknatnya akan
kembali kepadanya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “ Tidaklah pantas bagi seorang yang jujur untuk sering melaknat
“55
Dari Abu Ad-Darda`, beliau berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya orang-orang yang sering melaknat tidak
akanmenjadi saksi dan pemberi syafa’at pada hari kiamat “56
Dan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: Bahwa seseorang
melaknat angin disisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
53
Adz-Dzaamu : aib/celaan ( lihat Lisan Al-‘Arab ( 12 / 219 ) bahasan: ذام
54
HR. Al-Bukhari ( 6024 ), Muslim ( 2165 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau,
Ahmad ( 242330 ), At-Tirmidzi ( 2701 ) dan Ibnu Majah ( 3690 )
55
HR. Muslim ( 2597 ), Ahmad ( 8242 ) dan Al-Bukhri didalam Al-Adab Al-Mufrad
( 317 )
56
HR. Muslim ( 2598 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Ahmad ( 26981 ), Al-
Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad ( 316 ) danAbu Daud ( 4907 )
“ Janganlah engkau melaknat angin , karena angin hanyalah suatu yang mendapat
perintah. Dan sesungguhnya siapa saja yang melaknat sesuatu yang tidak sepantasnya
dilaknat maka laknat tersebut akan kembali kepadanya “57
An-Nawawi mengatakan: “ Pada hadits diatas terdpat larangan melaknat dan siapa
saja yang berakhlak demikian tidak akan tterdapat pada dirinya sifat-sifat terpuji.
Dikarenakan laknat adalah doa yang dimaksudkan untuk menjauhkan seseorang dari
rahmat Allah ta’ala. Dan doa seperti ini bukanlah akhlak kaum mukminin yang Allah
sifati mereka sebagai kaum yang saling menebar rahmat, tolong menolong dalam
kebaikan dan takwa, menjadikan mereka layaknya suatu bangunan yang saling
menguatkan sebagian dengan sebagian lainnya, bagaikan sebuah tubuh yang satu, dan
seorang mukmin mencintai segala sesuatu untuk saudaranya sebagaimana dia
mencintai sesuatu untuk dirinya. Maka siapa saja yang mendoakan laknat saudaranya
sesama muslim yakni menjauhkannya dari rahmat Allah ta’ala, berarti dia telah berada
pada puncak pemutusan silaturrahim dan saling berjauhan. Dan ini tujuan yang
seorang muslim disukai untuk menerapkannya kepada seorang kafir dan mendoakan
laknat baginya. Dari sinilah pada sebuah hadits yang shahih disebutkan : “ Melaknat
seorang mukmi bagaikan membunuhnya “58
Peringatan lainnya : Termasuk dosa yang paling besa bahkan tergolong dosa-dosa
besar, jikalau seseorang melaknat kedua orang tuanya.
Dari Abdullah bin ‘Amru radhiallahu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda : “ Sesungguhnya tergolong dosa-dosa besar seseorang
57
HR. At-Tirmidzi ( 1978 ), Abu Daud ( 4908 ) dan Al-Albani menshahihkannya.
58
Penggalan hadits diatas, diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 6047 ), Muslim ( 110 ) dan
Ahmad ( 15950 )
59
Shahih Muslim bi-syarh An-Nawawi jilid 8 ( 16 / 127 )
melaknat kedua orang tuanya. Ada yang mengatakan : Wahai Rasulullah,
bagaimanakah seseorang akan melaknat kedua orang tuanya ?
Beliau menjawab : Orang tersebut mencaci bapak orang lain, lalu orang tersebut
mencaci bapaknya dan mencaci ibunya.” Pada lafazh Muslim : “ Beliau bersabda :
Temasuk dosa-dosa besar seseorang menghujat kedua orang tuanya. Para sahabat
mengatakan: Wahai Rasulullah : Apakah mungkin seseorang menghujat kedua orang
tuanya ?
Beliau bersabda: “ Benar. Dia mencaci bapak orang lain lalu orang tersebut mencaci
bapaknya dan mencaci ibu orang lain lalu orang tersebut mencaci ibunya “60
Berasal dari kalimat: mariyat asy-syaah, Apabila anda memeras dan mengeluarkan
susunya61.
Dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “ Saya adalah pemuka dihamparan62 surga bagi siapa saja
yangmeninggalkan perdebatan walau dia dalam keadaan beanr. Dan di pertengahan
60
HR. Al-Bukhari ( 5973 ),Muslim ( 90 ), ahmad ( 6493 ), At-Tirmidzi ( 1902 ) dan Abu
Daud ( 5141 )
61
Lisan Al-‘Arab ( 15 / 278 ), bahasan: مرا
62
Didalam Al-Lisan ( 7 / 152 ), bahasan ربض: Ibnu Khalwaih mengatakan : rubudh
al-madinah, dengan harakat adh-dhammah pada huruf ar-raa` huruf al-baa, berarti
pondasinya, dan dengan harakat al-fathah, berarti yang berada disekitarnya.
Dan pada hadits disebutkan: Saya adalah pemuka di rabadh al-jannah, yakni degan
harakat fathah pada al-baa, maknanya yang disekitarnya diluar darinya.
Penyerupaan dengan bangunan yang berada di sekitar kota dan berada dibawah
benteng.
surga bagi seseorang yang meninggalkan kedustaan walau dlam keadaan bercanda,
dan dibagian surga yang tertinggi bagi yang terpuji akhlaknya “63
Pada hadits tersebut diterangkan bahwa siapa saja yang meninggalkan perdebatan
walau dia dalam keadaan jujur dan benar maka dia akan diberi janji melalui lisan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah rumah dihalaman surga.
Didalam A-Tuhfah : “ Hal itu dikarenakan dia telah berpaling dari perusakan hati
orang yang diajaknya berdebat dan mengahalunya merupakan keluhuran jiwa dan
penampakan kemuliaan keutamaan dirinya64.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
beliau bersabda: memperdebatkan Al-Qur`an adalah kekufuran “65
Dari Jundub bin Abdillah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
beliau bersabda : “ Kalian bacalah Al-Qur`an atas apa yang dapat menyatukan hati-hati
kalian, dan apabila kalian bersengketa maka berdirilah “66
Dan dari hadits Anas bin Malik, diriwayatkan At-Tirmidzi ( 1993 ), Ibnu Majah ( 51 ),
dengan mengganti lafazh hamparan surga dengan pertengahan surga.
64
Tuhfah Al-Ahwadzi ( 6 / 109 )
65
HR. Ahmad ( 7789 ), Abu Daud ( 4603 ). Ibnul Qayyim mengatakan : Hasan. Lihat
‘Aun Al-Ma’bud jilid 6 ( 12 / 230 ). Al-Albani mengatakan : Hasan shahih.
66
HR. Al-BUkhari ( 5060 )Muslim ( 2667 ), Ahmad ( 18337 ), Ad-Darimi ( 3359 )
perbedaan yang akan menimbulkan sesuaut yang tidak diperbolehkan. Seperti
perbedaan tentang Al-Qur`an itu sendiri atau pada salah satu kandungan maknanya
yang tidak ditoleransi adanya ijtihad, ataukah perbedaan yang akan menyebabkan
keraguan dalam masalah-masalah furu’ agama. Adapun diskusi para ulama berkaitan
dengan hal itu untuk mendapatkan faedah dan menampilkan kebenaran, dan
perbedaan mereka dalam hal itu bukan suatu yang terlarang, melainkan suatu yang
diperintahkan dan keutamaannya nampak jelas. Kaum muslimin telas sepakat akan hal
ini dizaman sahabat hingga sekarang wallahu a’lam67.
Pada hadits diatas juga berisikan sugesti untuk membentuk jama’ah/persatuan dan
kesatuan. Serta peringatan dari perpecahandan perselishan, larangan memperdebatkan
Al-Qur`n tanpa alasan yang benar. Dan diantara hal buruk dari perkara itu , jikalah
nampak suatu argumentasi ayat kepada suatu permasalahan yang menyelisihi
pendapat nalar, maka dengan segala bantuan nalar , analisa yang mendalam untuk
mentakwilkan ayat itu agar sesuai dengan nalar tersebut dan terjadi kesimpang siuran
dalam pertentangan itu. Sebagaimana disebutkan didalam Al-Fath68.
“ Dan janganlah engkau mendebat mereka kecuali dengan perdebatan yang zhahir “ ( QS. Al-
Kahfi : 22 )
“ Kecuali dengan perdebatan yang zhahir “ yakni yang didasari dengan ilmu dan
keyakinan, dan juga terkandung faedah.
Adapun perdebatan yang didasari dengan kejahilan dan mereka-reka suatu yang tidak
diketahui, ataukah perdebatan yang tidak mendatangkan faedah, tidak terdapat faedah
agama dengan mengetahuinya , seperti – memperdebatkan – jumlah Ashhabul kahfi,
dan lain sebagainya, maka hal itu pada banyaknya perdebatan dan analisa yang
67
Syarh Shahih Muslim jilid 8 ( 16 / 188 )
68
Fathul Bari ( 8 / 721 )
berkelanjutan tiada henti hanya melalaikan waktu dan memberi pengaruh pada
kecenderungan hati tanpa faedah “69
Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu berkata: Sya telah mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Celakalah bagi yang menceritakan sesuatu
kemudian dia berusta pada ceritanya dengan tujuan membuat kaum yang
mendengarnya tertawa. Celakalah dia celakalah dia “70
HR. Abu Daud ( 4868 ), Al-Albani menghasankannya, Ahmad ( 14644 ) dan At-
71
Tirmidzi ( 1959 )
dan tidak disebar luaskan. Ibnu Raslan mengatakan: Dikarenakanmenengoknya dia
adalah pemberitahuan kepada orang yang diajaknya berbicara bahwa dia khawatir
orang lain akan mendengar ucapakannya, dan dia telah mengkhususkan dirinya
dengan rahasianya tersebut. Jadi menengoknya dia sama dengan ucapan: Simpanlah ini
dariku baik-baik, yakni dengarlah dariku lalu simpanlah dan ini merupakan amanah
bagimu72.
Dalil akan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rafi’ bin Khudaij dan Shal bin
Abu Hatsmah, keduanya mengatakan: Bahwa Abdullah bin Sahl dan Muhaishah bin
Mas’ud keduanya mendatangi Khaibar maka keduanya terpisah dalam peperangan,
kemudian Abdullah bin Sahl terbunuh, datanglah Abdurrahman bin Sahl, Huwaishah
dan Muhaishah keduanya anak Mas’ud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
kemudian mereka membicarakan perkara sahabat mereka, mulailah dengan
Abdurrahman dan dia adalah orang yang paling kecil pada kaum tersebut, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “ Agungkanlah orang tua”.-Berkata
Yahya ( Ibnu Mas’ud ) yakni diharapkan pembicaraan dari yang lebih tua …al-hadits.73
72
‘Aun Al-Ma’bud jilid 7 ( 13148 )
73
HR Al-Bukhari ( 6142 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 1669 ), At-
Tirmidzi ( 1422 ), An-Nasa’I ( 4713 ), Abu Daud ( 4521 ), Ibnu Majah ( 2677 ). Dan
lafazh dari Ahmad ( 15664 ), Malik ( 1630 ), dan Ad-Darimi ( 2353 ).
Maka terbersit didalam hatiku bahwa pohon tersebut juga adalah pohon korma.
Namun saya tidak menyukai berbicara sementara ada Abu Bakar dan Umar. Namun
tatkala keduanya tidak memberi tanggapan bicara, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : Pohon tersebut adalah pohon kurma.
Kemudian tatkala saya keluar bersama bapakku, saya berkata : Wahai ayah,
sesungguhnya telah terbersit didalam hatiku bahwa ohon tersebut adalah pohon
kurma.
Beliau – Umar – berkata: Lalu apakah yang menghalangi engkau sehingga tidak
mengatakannya, seandainya engkau mengatakannya, maka engkau lebih saya sengangi
dari pada ini dan ini.
Ibnu Umar mengatakan : Tiada yang menghalangiku, selain saya melihat anda dan abu
Bakar tidak berbicara.”
Pada riwayat Muslim : “ Saya lalu berniat untuk mengatakannya, akan tetapi dikaum
tersebut ada orang-orang yang dituakan, hingga saya segan untuk berbicara “.
Pada riwayat Ahmad : “ Lalu saya memperhatikan, ternyata saya adalah yang termuda
dari kaum yang ada, maka sayapun terdiam “74
Beliau bersabda : “ Apabila amanah telah diabaikan, maka nantikanlah datangnya hari
kiamat “
Beliau bersabda: “ Apabila suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya maka
nantikanlah datangnya hari kiamat “75
Yang menjadi acuan pada hadits diatas adalah sabda beliau: “ Namun Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan pembicaraannya “, yakni beliau tidak
memutuskan pembicaraan beliau. Hal itu dikarenakan yang berhak adalah yang
membuka majlis bukan sipenanya ini. Maka sepantasnyalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak memotong pembicaraan beliau hingga menyelesiakannya.
75
HR. Al-Bukhari ( 59 ) dan Ahmad ( 8512 )
menjadikan mereka bosan. Akan tetapi diamlah engkau, apabila mereka memintamu
untuk menceritakan kepaa mereka maka beritahukanlah kepada mereka, disaat mereka
berkemauan untuk mendengarnya …al-hadits76
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma telah menerangkan bahwa sebab dari larangan
memotong pembicaraan, karena hal tersebut akan menyebabkan kejenuhan dan
kebisanan pada diri mereka. Kemudian beliau mengarahkannya untuk duduk
mendengarkan dengan baik. Apabila mereka meminta anda untuk menceritakan –
yakni hadits dan selainnya, penj- maka beritahukanlah kepada mereka, karena hal
tersebut akan lebih menjadikan penyampaian anda diterima.
Tergesa-gesa dalam bebricara akan menjadi sebab utama tidak terpahaminya suatu
penyampaian dengan baik oleh pendengar. Olehnya itu perkataan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah tergesa-gesa yang akan menjadikan setiap yang duduk
menyimaknya akan memahami yang beliau katakan.
Pada sebuah hadits, dari Aisyah – ummul mukminin radhiallahu ‘anha – berkata : “
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila menyampaikan suatu hadits,
jikalau ada yang berkehendak untuk menghitungnya niscaya dia akan dapat
menghitungnya “. Pada riwayat Muslim : “ Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah menyampaikan suatu hadits dengan cepat sebagaimana
kalian menyampaikannya dengan cepat “
76
HR. Al-BUkhari ( 6327 )
77
HR. Al-Bukhari ( 3568 ), Muslim ( 2493 ), Ahmad ( 25677 ), At-Tirmidzi ( 3639 ) dan
Abu Daud ( 3654 )
Perkataan Aisyah : “ Bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
menyampaikan hadits dengan cepat sebagaimana kaliam menyampakannya dengan
cepat “. An-Nawawi mengatakan : “ Memperbanyak dan saling menyambungnya “78
“Dan pelankanlah suaramu, karena sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai
“ ( QS. Lukman : 19 )
Firman Allah ta’ala : “ Dan pelankanlah suaramu “, suatu adab bersama kaum manusia
dan juga kepada Allah.
“ Dan sesungguhnya seburuk-buruk suara “ yakni yang paling jelek dan paling hina ,
“ adalah suara keledai “.
Tidak disangsikan lagi jikalau mengeraskan suara kepada dorang lain merupakan
adab yang buruk, dan menunjukkan ketidak hormatan kepada orang lain.
Pada kesempatan ini tidaklah memungkinkan bagi kita untuk mencakup semua
lafazh-lafazh tersebut, akan tetapi cukuplah bagi kita untuk menyebutkan sebagiannya
secara ringkas, karena sesuatu yang tidak dapat dijangkau seluruhnya tidaklah lantas
ditinggalkan sebagian besarnya.
82
Fatawa Al-‘Aqidah ( Daar Al-Jiil, Maktabah As-Sunnah ) cet. 2 1414 H ( hal. 730 )
Telah diketahui sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Siapa saja yang
mengatakan kepada saudaranya wahai kafir, maka sungguh kalimat itu tertuju
kepada salahsatu dari keduanya “ Dan pada riwayat Abu Daud : “ Siapa saja
seorang muslim yang mengkafirkan seorang muslim lainnya, maka apabila dia
memang seorang yang kafir, apabila tidak maka yang menuding itulah yang kafir
“83
Sekelompok manusia yang Allah butakan mata hati mereka dan melanggar
kehormatan orang lain dengan ucapan takfir, tabdi’ dan tafsiq. Seolah-olah Allah
mereka smebah dengan perkataan itu. Diantara mereka ada yang menggunakan
ungkapan takfir, tabdi’ atau tafsiq secara mutlak dengan hati yang lapang,
sementara para ulama as-salaf dari generasi sahabat dan para Imam Islam yang
meniti jalanpetunjuk mereka – seperti Abu Hanifah, Malik,Asy-Syafi’I dan Ahmad –
mereka demikian berhati-hati dengan ibarat itu. Terlebih dalam ungkapan takfir.
Dimana mereka tidaklah mengucapkan sedikitpun dari lafazh itu kecuali setelah
ada pada mereka dalil-dalil yang tidak ada keraguan lagi padanya. Dan juga telah
tertiadakan pada diri seseorang yang dituju segala penghalang, dan argumen telah
tersampaikan kepadanya.
Dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam khuthbah beliau pada hari ‘Iedul Adha mengatakan: “ …
Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian dan kehormatan kalian haram atas
diri sesama kalian.Sebagaimana haramnya hari ini bagi kalian , pada bulan ini, dan
dinegeri ini. Dan yang hadir seharusnya menyampaikan kepada yang tidak hadir,
dan karena yang hadir bisa jadi menyampaikannya kepada yang lebih
memahaminya “84
83
HR. Al-BUkhari ( 6104 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 60 ),
Ahmad ( 4673 ), At-Tirmidzi ( 2637 ), Abu Daud ( 4687 ) dan Malik ( 1844 )
84
HR. Al-Bukhari ( 67 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim ( 1679 ),
ahmad ( 19873 ), Ad-Darimi ( 1916 )
b. Perkataan seseorang: Bahwa celakalah kaum manusia.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata: bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “ Apabila seseorang mengatakan bahwa kaum manusia
telah celaka, maka dialah yang paling celaka diantara mereka “85
Sabda beliau : “ Maka dialah yang paling celaka diantara mereka “, dengan hukum
rafa’ – sebagai khabar mubtada`, penj - dan juga diriwayatkan dengan fathah –
yakni fi’il madhi wazan af’ala,penj – yakni dialah yang menyebabkan mereka
celaka, bukan mereka yang binasa secara hakikatnya “86
An-Nawawi mengatakan: “ Para ulama sepakat atas celaan ini, sesungguhnya dia
bagi orang yang mengatakannya adalah untuk meremehkan orang lain,
menyombongkan diri dihadapan mereka, mengutamakan dirinya atas mereka dan
menjelekkan keadaan- keadaan mereka dikerenakan dia tidak mengetahui rahasia
Allah pada ciptaan-Nya, mereka berkata : Adapun yang mengatakan demikian
dalam keadaan sedih ketika dia melihat pada dirinya dan pada orang lain ada
kekurangan dalam perkara agama maka hal tersebut tidak mengapa. Sebagaimana
dia berkata : Saya tidak mengetahui ummat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kecuali mereka semuanya mendirikan shalat. Demikianlah penafsiran Imam Malik
dan diikuti oleh kaum muslimin.
85
HR. Muslim ( 2623), Ahmad ( 9678 ), Abu Daud ( 4983 ), Malik ( 1845 ), Al-Bukhari
didalam Al-Adab Al-Mufrad ( 759 )
86
Lihat Syarh Shahih Muslim jilid 8 ( 16 / 150 )
sendiri – dan memandang bahwa dirinyalah yang paling baik diantara mereka.
Wallahu a’lam87.
Sumpah yang dilakukan oleh makhluk dapat dengan salah satud ari tiga
huruf sumpah , yaitu: al-wawu, al-baa`, at-taa`. Anda mengatakan: Tallahi, Billahu
dan Wallahi.
87
Syarh Muslim jilid 8 ( 16 / 150 )
88
Fathul Baari ( 11 / 540 )
89
Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Aiman wa An-Nudzur
Dan sumpah juga dapat dengan meniyandarkan salah satu makhluk ciptaan
Allah kepada-Nya, seperti menyandarkan ka’bah, langi dan bumi kepada Allah
subhanahu wata’ala. Sebagaiman perkataan anda:” Demi Rabb ka’bah, demi Rabb
langit dan lain sebagainya, dengan mensucikan Allah jalla wa ‘ala dari
penyandaran makhluk-makhluk Allah yang dianggap buruk penyebutannya.
Walaupun Allah yang menciptakannya, akan tetapi adab berasama allah
mengharuskan seperti itu.
Dan ada beberapa lafazh yang telah didengarkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , yang temasuk kedalam tiga lafazh sumpah sebelumnya. Seperti sabda
beliau :Ayyamillah, sabda beliau : Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya. Dan
sabda beliau : Tidaklah Demi Zat yang membolak-balikkan hati “91
Dan barang siapa yang bersumpah kepada selain Allah, maka dia telah kafir
atau telah berbuat syirik, sebagaimana yang diterangkan didalam hadits Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhuma. At-Tirmidzi meriwayatkan : “ Bahwa Ibnu Umar telah
mendengar seseoran mengatakan : Tidaklah demi Ka’bah. Maka Ibnu Umar
mengatakan : Janganlah bersumpah kepada selain Allah karena saya telah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Barang siapa yang
bersumpah kepada selain Allah maka dia telah kafir atau berbuat syirik “92
Hadist tersebut sebagaimana yang anda lihat berlaku umum pada larangan
bersumpah kepada segala sesuatu selain Allah. Dan beberapa hadits lainnya dalam
lafazh yang lebih spesifik. Seperti larangan bersumpahdengannenek moyang. Dari
90
HR. Muslim ( 771 ), Ahmad ( 805 ), At-Tirmidzi ( 3422 ), An-Nasaa`I ( 897 ), Abu
Daud ( 760 ) dan Ad-Darimi ( 1314 )
91
HR. Al-Bukhari ( 6627 ), ( 6628 ) dan ( 6629 )
92
HR. At-Tirmidzi ( 1535 ), dan beliau mengatakan : Hadist hasan, Ahmad ( 6036 ),
Abu Daud ( 3251 ) dan Al-Albani menshahihkannya.
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : “ Bahwa beliau menjaumpai Umar
bin Al-Khathtba diatas kendaraan sementara Umar bersumpah dengan nama
bapaknya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kepadanya : “
Ketahuilah sesungguhnya Allah telah melarang kalian bersumpah atas naman
nenek moyang kalian, barang siapa yang bersumpah hendaknya dia bersumpah
atas nama Allah dan jika tidak maka diamlah “93
Dan juga termasuk dari hal itu , adalah larangan bersumpah dengan Nabi,
bersumpah dengan kehidupan,denganmengatakan : Demi kehidupanku ataukah
demi kehidupan si fulan dan lains ebagainya yang berupa sumpah kepada selain
Allah.
Telah tersebar disebagian kaum manusia yang jahil sumpah dengan talak.
Dengan mengatakan : Bagiku talak, untuk melakukan hal ini , ataukah mengatakan:
Bagiku – berlaku – talak tiga , saya tidak akan melakukannya dan lain sebagainya.
Orang yang jahil ini bisa menyebabkan kehancuran rumah tnagganya, kezhaliman
kepada keluarganya yang sama sekali tidak berdosa. Namun dosa adalah dosa yang
diperbuatsi pandir ini yang mempergunakan lisannya tanpa memperhatikan dan
melihat akibat dari semua perkara tersebut. Bisa jadi perkara yang dia hendak
sumpahkan tersebut adalah sesuatu yang tidak bernila, semisal seseorang
bersumpah bagi seseorang lainnya agr dia masuk kedalam rumahnya.
93
HR. Al-Bukhari ( 6646 ), Muslim ( 1646 ), Ahmad ( 4534 ), At-Tirmidzi ( 1533 ), an-
Nasaa`I ( 3766 ), Abu Daud ( 3249 ), Ibnu Majah ( 2094 ), Malik ( 1027 ) dan Ad-
Darimi ( 2341 )
94
HR. Abu Daud ( 3253 ), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, al-albani
menshahihkannya, Ahmad ( 22471 )
Bersumpah dengan talak ini, perkara yang diperselisihkan oleh para ulama,
ketika yang terjadi adalah melanggar sumpahnya. Mayoritas ulama berpendapat
bahwa seseorang yang melanggar sumpahnya wajib jatuh talak. Dan sebagian
ulama berpendapat disamakan dengan sumpah al-yamiin, dan harus baginya untuk
membayar kaffarah sumpah tersebut ketika dia melanggarnya.
Ibnu ‘Utsaimin mengatakan dalam salah satu jawaban beliau : “ Adapun mereka
yang bersumpah dengan talak untuk melakukan hal demikian, atau mengharuskan
talak jika tidak melakukan hal demikian, ataukah jika engkau melakukan hal
demikian maka istriku tertalak, ataukah jika engkau tidak melakukan hal meikian
akan istrikau tertalak dan yang serupa dengan sighat-sighat itu, maka perbuatan ini
adalah perbuatan yang menyalahi tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sebagian besar ulama bahkan ini pendapat mayoritas ulama : Bahwa apabila dia
melanggar sumpahnya maka wajib jatuh talak darinya kepada istrinya. Walau
pendapat yang terpilih , apabila kalimat talak dipergunakan dalam pemakaian
sumpah al-yamiin, yaitu ketika diniatkan hanya untuk mendorong dilakukannya
sesuatu, menolak sesuatu, untuk membenarkan atau mendustakan atau
mempertegas pernyataan, maka hukumnya adalah huku sumpah al-yamin.
Berdasarkan firman Allah ta’ala :
“ Wahai Nabi mengapakah engkau mengharamkan apa yang Allah telah halalkan bagimu,
hanya untuk mendapatkan keridhaan istri-istrimu. Dan Allah adalah Zat yang Maha
Pengampun lagi Maha Pengasih. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian semua
untuk berlepas dari sumpah kalian “ (QS. At-Tahrim : 1 – 2 )
Allah menjadikan pengharaman – istri – sebagai suatu sumpah yamiin. Dan juga
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Sesunguhnya semua maal
berdasarkan niatnya, dan masing-masing orang disesuaikan dengan niatnya “
Dan orang ini tidaklah meniatkan talak, melainkan hanya meniatkan sumpah biasa
ataukah hanya meniatka suatu yang semakna dengan sumpah yamiin. Apabila dia
melanggar sumpahnya maka cukup baginya untuk membayarkan kaffarah
sumpahnya. Inilah pendapat yang terpilih95
Sabda beliau : “ Apabila dia seorang tuan “ yakni yang dipertuan suatu kaum atau
yang mempunyai hamba sahaya laki-laki dan wanita dan harta yang melimpah ,”
Maka sesungguhnya kalian telah membuat murka Rabb kalian ‘azza wajalla “,
maknanya kalian telah menjadikannya murka karena telah mengagungkan orang
tersebut, sedangkan dia tidak selayaknya berhak dengan pengagungan. Bagaimana
pula jikalau dia bukan seorang tuan dari salah satu dari makna tersebut, dan dia
bersamaandenganitu hal tersebut adalah suatu kedustaan dan kemunafikan … Ibnu
al-Atsir mengatakan : “ Janganlah kalian mengatakan kepada seorang munafik tuan,
karena jikalau dia seorang tuan bagi kalian maka dia adalah seorang mnafik,
dimana keberadaan kalian lebih rendah dari keadaannya. Dan Allah tidaklah
meridhai hal itu bagi kalian. Demikian disebutkan didalam ‘Aun Al-Ma’bud97
95
Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al –‘Utsaimin ( 2 / 796 )
96
HR. Abu Daud ( 4977 ),dan lafazh diatas adlah lafazh beliau. Al-Albani
menshahihkannya, Ahmad ( 22430 )dan Al-Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad
( 760 )
97
Syarh Sunan Abu Daud jilid 7 ( 13 / 221 )
ini. Dan ibrah adalah mengikuti makna bukan dengan bentukan katanya. Wallahu
a’lam.
f. Mencela masa/zaman
“ Adam Adam telah menyakitiku, dia menghina masa sedangkan Aku adalah masa.
Ditanganku segala perkara, Aku membolak-balikkan malam dan siang “99
Dan pada hadits diatas berisikan larangan mencela masa. Hal itu disebabkan karena
mencela masa tiada lain adalah mencela Sang Pencipta masa, Yang mengaturnya
dan Yang membolak-balikkannya. Maka mereka dilarang untuk mencela masa agar
mereka tidak terperosok dalam mencela Sang Pencipta masa101.
98
( 3 / 1322 )
99
HR. Al-Bukhari ( 4826 ), Muslim ( 2246 ), Ahmad ( 7204 ), Abu Daud ( 5274 ) dan
Malik ( 1846 )
HR. Ahmad ( 10061 ). Ibnu Hajar mengatakan : Sanadnya shahih. Lihat Fathul Bari
100
( 10 / 581 )
101
Lihat Fathul Bari ( 8 / 438 ) dan Syarh Shahih Muslim jilid 8 ( 15 / 4 )
Masalah :Apakah dikatakan ini “ zaman tandus/gersang “ atau zaman
pengkhianatan atau wahai zaman yang mengecewakan yang saya telah melihatmu
ditempat tersebut ?
Yakni hari yang keras . Dan semua orang mengatakan : Ini adalah hari yang sangat
keras/sulit. Hari ini terdapat perkara ini dan ini, dan ini perkataan yang tidak
mengapa.
102
Fatawa Al-‘Aqidah ( hal. 614 – 615 )
Tidak diperbolehkan menyifati sesuatu dengan pegharaman kecuali sesuatu
tersebut telah diharamkan oleh Allah atau Rasul-Nya. Hal itu adalah menyifati
sesuatu yang bukan suatu yang haram dengan pengharaman – walaupun niatnya
selamat -. Pada hal tersebut mengandung unsur melampaui batas pada sisi
Rububiyah Allah. Dan mempersangkakan seolah-olah hal tersebut sesuatu yang
haram, padahal tidak demikian. Dan yang lebih selamat bagi seseorang pada
agamanya supaya menjauhi lafazh ini.103
“ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta “ Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Seseungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung “. (An-Nahl : 116 )
103
Silahkan lihat Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Asyraf Abdul
Makshud. Daar ‘Alimul Kutub, cet. Kedua 1412 H ( 1 / 200-201 )
104
Fathul Qaadir ( 3 / 227 )