You are on page 1of 4

TUGAS PERPAJAKAN II PERALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN MENJADI PAJAK DAERAH

Disusun Oleh: JEIHAN PRAJA YUDANTO (21) 2-X AKUNTANSI NPM: 103060017357

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TAHUN 2012

Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan menjadi Pajak Daerah Sesuai dengan UU no. 28 tahun 2009, PBB merupakan bagian dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan selanjutnya disebut Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Menurut UU ini, PBB-P2 merupakan jenis pajak kabupaten/ kota dan tidak dikelola lagi oleh pemerintah pusat. Sebelum adanya UU no. 28 tahun 2009, PBB merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat. Dalam UU No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 tahun 1994, bumi dan bangunan di daerah merupakan obejk pajak yang penarikan pajaknya dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Dampak positif dari sentralisasi PBB ini salah satunya adalah memudahkan bagi pemerintah daerah dalam proses penentuan nilai dan penarikan pajaknya. Pemerintah daerah tidak perlu memikirkan tentang penarikan pajak bumi dan bangunan yang rumit. Selain itu, Suharno seperti yang dikutip oleh Kadar Pamuji dalam jurnalnya, mengatakan bahwa ada empat keuntungan dari sentralisasi pengelolaan PBB, yaitu sebagai berikut. 1. Sistem administrasi PBB yang sudah dikembangkan dengan teknologi informasi dan basis PBB yang sangat besar memiliki banyak manfaat (multipurposes), terutama dalam menggali sumber penerimaan PBB. 2. NJOP dapat dikembangkan sebagai nilai tunggal untuk berbagai keperluan (single value for multipurposes). 3. Sistem informasi geografi PBB dapat dikembangkan sebagai embrio sistem informasi pertanahan multi guna (multipurpose land information system) 4. Dalam jangka panjang, NJOP dapat dijadikan sebagai cadaster single information number.1
Suharno, 2003, Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Dalam Era Otonomi Daerah, Jakarta: Direktorat PBB dan BPHTB, hlm vii, seperti dikutip oleh Kadar Pamuji, Implikasi Kebijakan Pendaerahan Pengelolaan PBB Setelah Berlakunya UU No. 28 Tahun 2009, Jurnal Hukum, 2011, hal. 2.
1

Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah mulai mempertimbangkan untuk menyerahkan pengelolaan PBB ke daerah. Alasannya adalah objek PBB bersifat tetap dan perkembangannya lebih mudah dikelola oleh pemerintah daerah. Selain itu, gagasan ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, di mana penerimaan daerah seharusnya dikelola oleh pemerintah daerah setempat. Meskipun demikian, Suharno seperti yang dikutip oleh Kadar Pamuji dalam jurnalnya, kembali menekankan bahwa pengalihan pengelolaan PBB ke daerah dapat menimbulkan beberapa kerugian, yaitu ketidakefisienan dalam pengelolaan PBB dan tidak memenuhi asas economic of scale, terjadi kesenjangan penerimaan PBB antar daerah karena disparitas potensi PBB, munculnya perbedaan kebijakan pengelolaan PBB antar daerah, rawan dari pengaruh kepentingan politisi lokal, serta pendataan dan penilaian objek PBB menjadi uncontrollable.2 Pengalihan PBB menjadi bagian dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini tentunya tidak bisa dilakukan dengan cepat. Karena kebijakan pengalihan PBB ini bukan lagi merupakan wacana melainkan sudah dituangkan dalam bentuk norma, pemerintah harus sesegera mungkin memfasilitasi daerah dalam menyiapkan hal-hal berikut. 1. Sumber daya manusia pelaksana Dengan sumber daya manusia yang ada sekarang di pemerintah daerah, tentunya sangat sulit bagi mereka untuk melakukan pengelolaan PBB. Pengelolaan PBB merupakan hal baru bagi mereka, karena selama ini mereka hanya bersifat pasif, yaitu segala sesuatunya telah dipersiapkan oleh pemerintah pusat. Para pegawai pemerintah daerah harus diberikan pelatihan-pelatihan secara bertahap dan kontinu sebelum pengelolaan PBB tersebut benar-benar diserahkan ke daerah. 2. Kelembagaan Pemerintah daerah harus mempertimbangkan kemungkinan pembentukan lembaga baru yang khusus menangani pajak daerah, khususnya PBB. Hal ini disebabkan oleh begitu luas dan kompleksnya masalah mengenai PBB. Sulit bagi lembaga daerah yang
2

Ibid

sekarang, seperti Dinas pendapatan Daerah, apabila dibebani dengan pengelolaan PBB yang sangat kompleks. 3. Instrumen yuridis (perda maupun perbub) Pemerintah daerah harus melakukan penyesuaian kebijakan pengelolaan pajak daerah dan pembuatan instrumen yuridis di bidang perpajakan daerah. 4. Sarana dan prasarana pendukung lainnya Sarana pendukung yang perlu dipersiapkan ini tentunya tidak lepas dari kesiapan teknologi yang tersedia. Selain itu, pemerintah daerah juga harus menyiapkan sistem yang akan digunakan dalam proses pendataan, pendaftaran, dan pembayaran. Beberapa persiapan-persiapan di atas kemudian telah diwujudkan dasar hukumnya melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2010. Selain persiapan-persiapan dari sisi internal pemerintahan, pemerintah juga harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang peralihan ini. Sosialisasi ini dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti melalui selebaran, pemasangan baliho di jalan raya, pengadaan stand sosialisasi PBB di tempat ramai, dan lain-lain. Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan sosialisasi melalui iklan dan pengumuman di media massa, baik di media cetak maupun media elektronik. Setelah semua persiapan telah diterapkan, diharapkan pada 1 Januari 2014 pengelolaan PBB telah dialihkan sepenuhnya ke daerah menjadi PBB-P2. Apabila dikelola dengan benar dan tidak disalahgunakan, PBB-P2 dapat meningkatkan penerimaan daerah secara signifikan. Pemerintah daerah juga dapat mengalokasikan pendapatan daerah tersebut secara mandiri. Desentralisasi PBB ini akan sangat berguna bagi masyarakat daerah, karena pemerintah daerahlah yang paling mengerti akan potensi dan kebutuhan daerahnya sendiri.

Referensi: 1. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2010 3. Pamuji, Kadar (2011). Implikasi Kebijakan Pendaerahan Pengelolaan PBB Setelah Berlakunya UU No. 28 Tahun 2009. From fh.unsoed.ac.id/sites/.../ VOL11J2011%20KADAR%20PAMUJI.pdf, 22 Maret 2012

You might also like