You are on page 1of 9

Dinamika Sosial, Politik dan Budaya (Seni Islam)

Tugas ini di ajukan untuk memenuhi Tugas Critical Review Book pada Mata Kuliah SPI Kawasan Asia Tenggara II Dosen: Drs. Sudarnoto Abdul Hakim, M. A. Imas Emalia, M. Hum.

Disusun Oleh: Akhmad Yusuf (109022000008)

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012
0

Judul Buku Penulis Pengantar Penerbit

: Seni Kaligrafi Islam : Drs. Didin Sirojuddin AR : Prof. Dr. H. Ahmad Sadali : Multi Kreasi Singgasana, Jakarta

Tahun Terbit : Cet. Kedua, 1987 Hal ISBN : 380 : 979-8066-00-6

Judul Artikel : Kaligrafi Arab Sebagai Karya Seni Penulis Jurnal : Rispul (Staf Pengajar Kriya, Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta) : TSAQAFA, Jurnal Kajian Seni Budaya Islam Vol. 1, No. 1, Juni 2012

Tahun Terbit : 2012 Halaman : 10 Hal

Tentang Penulis, Didin Sirojuddin AR, lahir 15 Juli 1957 di Desa Karangtawang, Kuningan, Jawa Barat, dulu (kini) ia Dosen Fakultas Adab IAIN (UIN) Jakarta. Kaligrafi merupakan pekerjaan ekstra diluar tugas pokoknya memberikan kuliah Bahasa Arab. Belajar Kaligrafi di Pondok Modern Gontor, Jatim (1969-75) dengan dukungan bakat melukis yang dimilikinya. Sejak mahasiswa aktif menulis kaligrafi murni untuk buku-buku agama dan majalah Islam. 1983 menjadi Dewan Hakim kaligrafi pada MTQ Nasional XIII di Padang. 1983-sekarang mengajar Seni Kaligrafi Islam di Fakultas Adab. 1985, mendirikan Lembaga Kaligrafi Al-Quran (Lemka) dan memimpinnya sampai sekarang. 1986-sekarang membuka Program Pembinaan Bakat Menulis Kaligrafi Antar Pelajar dan Mahasiswa se-Jabodetabek di IAIN (UIN) Jakarta. Selanjutnya menyelenggarakan beberapa pameran dan lomba kaligrafi, mengkoordinasi Musabaqah dan Pameran Kaligrafi se-Jakarta. Sejak 1987, mulai sering memamerkan karya lukisnya di berbagai daerah, aktif memberikan ceramah Kaligrafi di banyak kampus, sekolah dan kelompok remaja Islam di Jakarta. Memberikan training pengkaderan Kaligrafi, dan lain sebagainya. Buku-buku karangannya: Seni Kaligrafi Islam (1985), Pelajaran Kaligrafi Islam (1985, dua jilid), Serial Belajar Kaligrafi (1991, tujuh jilid) dan Dinamika Kaligrafi Arab (1992, terjemahan). Buku ini di dalamnya berisi 21 Bab yang di dalamnya terdapat bahasan-bahasan yang lebih khusus lagi. Menurut saya buku ini sangat representatif untuk dibaca, hal ini dikarenakan penulis benar-benar otoritatif dalam bidang kajian Seni khususnya Kaligrafi Islam, hal ini dapat dilihat dari backgroundnya sang penulis yang merupakan salah seorang
1

sastrawan Sirojuddin AR sudah tentu ahli dalam bidang ini. Namun juga jika dilihat dari sudut pandang lain cukup mencakup beberapa aspek bidang kajian termasuk sejarah, dinamika sosial budaya dan pemikiran. Dia dalam menulis buku ini memiliki tujuan dan harapan agar dapat memberi manfaat kepada para pembaca, mengenai gambaran umum Seni Kaligrafi Islam melalui pandangan yang disampaikannya dalam buku ini. Melalui tulisan ini beliau menyampaikan bagaimana sejarah, makna-makna yang terkandung dalam kaligrafi, pertumbuhan dan perkembangan kaligrafi dari mulai periode klasik hingga kontemporer seperti yang dimaksudkan oleh penulis. Masalah yang dibahas dapat dilihat melalui sudut pandang pemikiran, sejarah, budaya dan sosio kultural. Secara umum buku ini merupakan buku yang kompeten dan sangat baik untuk dibaca bagi berbagai kalangan khususnya sejarawan dan budayawan, serta orang-orang yang terkait dengan seni, ilmu sosial dan budaya baik dari kalangan pemerhati sejarah, mahasiswa dan dosen untuk memahami esensi dari Seni Kaligrafi Islam itu sendiri. Ungkapan kaligrafi (dari bahasa Inggris yang disederhanakan, calligraphy) diambil dari kata latin kalios yang berarti indah dan graph yang berarti tulisan atau aksara. Arti seutuhnya kaligrafi adalah kepandaian menulis elok, atau tulisan elok. Bahasa Arab sendiri menyebutnya khat yang berarti garis atau tulisan indah. Garis lintang, equator atau khatulistiwa terambil dari kata Arab khattul istiwa, melintang elok membelah bumi jadi dua bagian yang indah. Definisi lebih lengkapnya dikemukakan oleh Syeikh Syamsuddin AL Akfani di dalam kitabnya, Irsyad Al Qasid,1 bab Hasr Al Ulum sebagai berikut: Khat/Kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letakletaknya, dan cara-cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun. Atau apa-apa yang ditulis di atas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis; mengubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya. Ada beragam pendapat dikemukakan, tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi. Mungkin hanya cerita-cerita keagamaan yang dapat dijadikan pegangan. Para pekabar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam As-lah yang pertama kali mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah SWT sendiri melalui wahyu.2 Agaknya inilah yang dimaksud: Allah mengajari Adam pengetahuan tentang semua nama, seperti diterangkan dalam Al-Quran (Surat Al Baqarah, ayat 31). Dikatakan bahwa 300 tahun sebelum wafatnya
1 2

Lihat Al Qalqasyandy, Subh Al Asya III, h. 3-4. Al Qalqasyandi, op. cit., h. 6-7.

Adam menulis di atas lempengan tanah yang selanjutnya dibakar dan menjadi tembikar. Setelah bumi dilanda banjir bah di zaman Nabi Nuh As dan air sudah surut,3 setiap bangsa atau kelompok turunan mendapatkan tembikar bertulisan tersebut. Dari sinilah lahir anggapan bahwa setiap bangsa telah punya tulisannya masing-masing. Begitu pun dengan cerita keagamaan dari bangsa-bangsa lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan tulisan berasal dari dewa-dewa. Tak ada bukti-bukti nyata tentang asal-usul tulisan seperti yang dikemukakan diatas. Buku-buku sejarah selalu mencatat, tentang kaligrafi yang lahir dari ide menggambar atau lukisan yang dipahat atau dicoretkan dalam benda-benda tertentu seperti daun, kulit, tanah dan batu. Budaya tersebut menyebar luas seperti halnya bahasa, tapi tidak semua gambar punya makna tulisan, sebab maksud gambar-gambar itu pun bermacam-macam pula. Kaligrafi yang mula-mula ditemukan adalah di Mesir, sejak zaman perunggu, kemudian tersebar ke Asia dan Eropa, setelah mengalami perubahan-perubahan. Selain itu kaligrafi juga ditemukan di Tiongkok, penemuan ini khas Tiongkok jadi independen.4 Bangsa-bangsa lain, seperti Indian Maya di Amerika Tengah dan Selatan atau bangsa Aztek di Meksiko juga telah mengenal tulisan. Kaligrafi Mesir yang disebut Hierogliph berkembang menjadi Hieratik dan Demotik. Tulisan yang ditemukan 3.200 SM di lembah Nil ini bentuknya tidak berupa kata-kata terpustus seperti tulisan paku, tapi sederhana dalam bentuk gambar sebagai symbol-simbol pokok tulisan yang mengandung isyarat pengertian yang dimaksudnya. Kaligrafi Kanan Semith inilah yang diduga kelak sebagai cikal bakal kaligrafi Arab. Kaligrafi Murni dan Lukisan Kaligrafi, yang pertama dimaksudkan sebagai kaligrafi yang mengikuti pola-pola kaedah yang sudah ditentukan dengan ketat berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi (khat) yang baku. Disini dapat dibedakan dengan jelas aliran-aliran seperti: Naskhi; kaligrafi yang ditulis lebih mudah dengan bentuk geometrical cursif, tanpa macam-macam struktur yang kompleks. Sulus; tulisan kaligrafi yang bersifat monumental, dipakai terutama untuk tujuan-tujuan dekorasi pada pelbagai manuskrip dan inskripsi-inskripsi sebagaimana sekarang banyak dipakai untuk menghias tembok-tembok gedung. Muhaqqaq; digolongkan ke dalam jenis tulisan yang berumur tua, huruf-hurufnya kurang menyudut daripada Kufi, dengan ikatan-ikatan ruang yang indah seluruhnya dibuat lebih tertib. Rayhani; tulisan yang pukulan-pukulan garis-garis vertikalnya lurus kejur dan
3 4

Kisah topan Nuh selengkapnya, dipaparkan dalam Al-Quran, Surat Hud/11:25-49. Drs. Mahjunir, Mengenal Pokok-pokok Antropologi dan kebudayaan, h. 81.

memanjang. Tawqi, sering disebut juga Tawaqi atau Tawqiat; artinya tanda tangan tulisan yang huruf-hurufnya lebih banyak memiliki bentuk bundaran, garis-garis untuk Tawqi lebih gemuk dan rapat. Riqa jamaknya Ruqah; lembaran daun kecil halus, tulisan Riqa lebih cenderung kepada bulatan-bulatan daripada tulisan Tawqi, lebih halus, Tarwis atau janggut sangat jarang atau hanya sedikit sekali di dapat pada kepala alif tunggal dan saudarasaudaranya. Menurut pendapat sejarah, empat tulisan lainnya banyak mendapat sorotan sebagai Tulisan Besar, melengkapi model enam diatas. Yaitu: Gubar, Tumar, Taliq dan Nastaliq. Sedangkan yang kedua adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil karya lukis, atau coretan kaligrafi yang dilukis-lukis sedemikian rupa, biasanya dengan kombinasi warna beragam, bebas dan (umumnya) tanpa mau terikat rumus-rumus baku yang ditentukan. Kaligrafi Arab, jika dibandingkan dengan Bangsa lain seperti Mesir, Babilonia atau Cina yang telah sukses mengembangkan sistem tulis dan bentuk kaligrafi, bangsa Arab agak terlambat dalam hal ini dikarenakan bangsa Arab merupakan masyarakat yang nomaden, masyarakat Arab jahiliyah bukanlah semata-mata sebagian besarnya buta huruf, melainkan ada juga yang anti huruf. Tetapi mereka memiliki tradisi mulut ke mulut dalam menyimpan informasi atau untuk menyampaikan komunikasi, yang lebih dikenal dengan pantun dan syair. Menurut literatur Arab, hanya pernah ada 7 jenis syair pujaan yang disebut Al Muallaqat (gantungan) sebagai hasil karya seni sastera maha indah dan paling sempurna yang punya nama terhormat karena ditulis dengan tinta emas dan digantungkan didinding Kabah. Tradisi itu terputus sejak masa Islam, karena kaum Muslimin sudah banyak yang pandai menulis. Sejak itu diganti dengan tradisi penempelan kiswah (baju) pada seluruh tubuh Kabah yang dihiasi aneka corak tulisan yang sangat indah. Seperti disebutkan diatas, Kaligrafi/Khat Arab berasal dari kaligrafi Mesir (Kanan Semith5 atau Tursina). Lalu terpecah menjadi khat Feniqi (Funisia), yang pecah pula menjadi Arami dan Musnad6 dengan cabang-cabang (Arami): Nabati di Hirah/Huron dan SatranjiliSuryani di Irak; dan (Musnad): Safawi, Samudi, Lihyani (utara jazirah Arabia) dan Humeiri, selatannya. Khat Nabati dipandang sebagai biang dari model khat Nashki, sedangkan khat

Bangsa Semith adalah turunan Sam ibn Nuh As yang melahirkan masyarakat Arab, Kaldan, Assira

(Asyuria), Hitsoya, Kanan, Ibrani, Arami dan lain-lain. Lihat: Naji Zaynuddin, op. cit., h. 300 Induk bahasa Semith sangat misterius, belum diketahui asal dan gramatikanya. Lihat: al Iskandary wa Musthafa Anany, op. cit., h. 5
6

Musnad adalah kaligrafi tertua yang pernah diketahui di Semenanjung Arabia.

Satranjili akhirnya melahirkan khat Kufi yang sebelum Islam bernama Hieri (diambil dari kata Hirah, kota kelahirannya) dan sering juga disebut Jazm.7 Huruf Hijaiyah, Alfabet Arab disebut huruf al hija (iyah) dan huruf al tahajji. Di Indonesiakan menjadi huruf ejaan. Ahli gramatika Arab, Sibawaihi dan Al Khalil menamakannya huruf al arabiyah atau huruf al lugah al arabiyah, maksudnya: huruf bahasa Arab, yang dengannyalah tersusun bahasa Arab. Sering juga disebut huruf al mujam (huruf yang bertanda baca) atau bertitik, entah dalam bentuk terpisah-pisah yang belum dapat dipahami sehingga menjadi sebuah rangkaian kata, ataupun karena beberapa bagian daripadanya atau seluruhnya dibubuhi tanda baca.8 Tertib huruf Hijaiyah tersebut disusun atas dua bentuk: mufrad (tunggal) dan nuzdawij (berangkai). Huruf Hijaiyah itu sendiri berjumlah 28-29. Khat Muzawwa (kubisme) yang banyak disebut sebagai khat Kufi adalah tulisan Arab yang pernah Berjaya di Hirah, Raha dan Nasiban sebelum kota Kufah lahir. Kelahiran kota Kufah sebagaimana markas agama dan politik Islam telah membawa khat tersebut pada penyempurnaan bentuk anatomi dan keindahannya, terlebih dipakai untuk menyalin musnad Al-Quran. Ciri-ciri pokok tulisan Kufi sangat jelas, yakni berukuran seimbang yang spesifik dengan sifat bersudut-sudut atau persegi menyolok, memiliki sapuan-sapuan garis vertikal pendek dan garis-garis horizontal yang memanjang dalam ukuran sama lebar. Sejarah tanda baca, waktu yang paling tepat untuk menentukan awal kebangkitan minat menulis di kalangan umat muslim adalah setelah Perang Badar pada tahun kedua Hijriah. Rasulullah mengambil kebijakan untuk membasmi buta huruf dengan cara para tawanan yang enggan masuk Islam dibebaskan dengan tebusan. Sebaliknya bagi mereka yang mampu namun pandai baca tulis, diwajibkan masing-masing mengajari sepuluh anak muda Madinah cara membaca dan menulis.9 Ajakannya berlaku intensif setelah Fathu Makkah dan berkumpulnya kaum Muhajirin dan Ansar. Ketika wahyu penghabisan turun, Rasulullah punya koleksi lebih dari 40 orang kaligrafer. Empat di antara juru tulis sahabat Rasul paling utama (yang menulis mushaf-mushaf Utsman ra) ialah Zayd ibn Sabit, Abdullah ibn Zubeir, Said ibn Alas dan Abdul Rahman ibn Al-Haris ibn Hisyam.10
7

Bandingkan: Drs. Abdul karim Husain, Khat/Seni Kaligrafi, tuntutan menulis halus huruf Arab, jl. I, Tanda baca dalam tulisan Arab terdiri dari titik yang disebut naqt atau Ijam; dan baris yang disebut Selengkapnya, lihat fasal Ghanimah pada Tafsir Al Azhar, juzu-X, oleh: Prof. Dr. hamka. Ahmad Al Iskandary wa Mustafa Anany, op. cit., h. 123.

h. 13.
8

harakat atau syakal.


9 10

Mushaf Usman yang (menurut riwayat) berjumlah enam itu dipaketkan ke berbagai daerah dengan memakai tulisan yang sederhana sekali, masih kaku, belum memakai tanda baca/titik dan harakat. Mushaf-mushaf tersebut ditulis persis dengan mushaf induk Usman tanpa berkurang atau bertambah sedikit pun. Hal ini tidak jadi masalah karena orang-orang Arab masa itu sudah terbiasa membaca tulisan gundul dan sanggup meletakkan fungsi-fungsi bacaan pada setiap tulisan yang tidak disertai tanda baca. Akan tetapi setelah Islam meluas ke wilayah-wilayah lain dan negeri-negeri non-Arab, yang mana pemeluk Islam bukan lagi hanya dari kalangan Arab, terjadilah kekhawatiran keseleo lidah (lahn) dalam membaca tulisan Arab. Selain itu, mushaf Al-Imam (Usmany) sama persis seperti aslinya, hal ini sering menimbulkan salah baca di kalangan ajam (orang asing) non-Arab. Akibatnya sungguh berbahaya pada makna-makna yang tulisannya dibaca menyimpang tersebut. Ini tak lain karena tidak adanya tanda-tanda baca baik berupa titik maupun harakat pada tulisan tersebut. Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas mencatat, bahwa yang mula-mula meletakkan dasar-dasar tanda baca (ijam) adalah tiga tokoh dari Baulan, namun tokoh yang paling kompeten dalam bidang ini tiada lain adalah Abul Aswad Al-Dualy (w69H/688M) salah seorang tokoh dan peletak dasar-dasar ilmu nahwu (tata bahasa Arab) disamping Ali ibn Abi Thalib. Menurut sumber terpercaya, Amirul Mukminin Alilah yang menginstruksikan Abul Aswad merumuskan tanda baca pada tulisan. Sasaran pengolahan pertamanya adalah mushafmushaf Al-Quran karena disanalah letak kekhawatiran salah baca seperti yang kerap terjadi. Riwayat lain menyebutkan, bahwa sejarah perumusan tanda baca yang dikerjakan oleh Abul Aswad terjadi pada permulaan Daulah Umaiyah di masa kekuasaan Muawiyah. Ziyad ibn Abieh, tokoh pembantu Muawiyah konon telah meminta kepada Abul Aswad untuk menciptakan Syakal-syakal guna membuktikan adanya huruf hidup. Abul Aswad berhasil mewariskan sistem penempatan titik-titik tinta berwarna merah yang berfungsi sebagai syakal-syakal yang menunjukan pada unsur-unsur kata Arab yang tidak terwakili oleh huruf-huruf. Usaha yang dirintisnya ini disempurnakan oleh kedua muridnya, Nasr ibn Asim (w707/M) dan Yahya ibn Yamur (w708/M) yang terjadi pada masa pemerintahan Abdul Malik ibn Marwan (65-86H-685-705M). Mereka memberikan tanda (berupa rumus vocal dari Syria) pada huruf-huruf yang sama bentuknya agar mudah dibedakan antara satu dengan yang lain. Tanda tersebut berupa garis sudut-menyudut (diagonal) pendek yang ditempatkan di atas atau di bawah tulisan, terpisah satu persatu atau dalam ikatan berdua atau tiga. Walaupun masih banyak kekurangan-kekurangannya. Akhirnya jalan keluar diusahakan pemecahan terakhir ini dipelopori oleh seorang ahli tatabahasa kenamaan, Al-Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi (170H/786M). pada puncaknya,
6

tanda-tanda harakat atau syakal tersebut berkembang menjadi delapan buah, yaitu: fathah, kasrah, dammah, sukun, jazm, syiddah, maddah, alamat silah dan hamzah. Tiga pertama adalah rumusan Khalil, sedangkan sisanya tercipta beberapa generasi sesudahnya. 11 Kreasi Khalil tersebut menjadi dasar rumus-rumus atau tanda baca dalam tulisan Arab yang terus berlaku hingga sekarang sampai ke tangan kita. Di Indonesia sendiri didirikan Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran, dibentuk tahun 1957 di bawah Menteri Agama K.H.M. Ilyas. Lajnah tersebut bertugas mengesahkan koreksian (menthashih) semua jenis mushaf yang asli ditulis di Indonesia maupun yang dating dari luar negeri dengan aneka ragam bentuk penulisannya. Terakhir diusahakan dengan gigih ke arah standarisasi mushaf Al-Quran, yang berakhir dengan dikeluarkannya keputusan Menteri Agama, 4 April 1984, tentang Penetapan Mushaf Al-Quran Standar. Dengan demikian bentuk tulisan Al-Quran di Indonesia akan seragam.12 Sejarah penulisan Kiswah Kabah, ahli-ahli sejarah sepakat bahwa yang pertama kali mengelambui Kabah dengan sutera yang dihiasi adalah bangsa Himyar (Hameir), dua abad sebelum Hijriah. Seperti disebutkan dalam kitab Al-Rihlah Al-hijaziyah yang ditulis oleh Moh. Lebeib Al-Batnuni: yang pertama kali mengelambui Kabah adalah Abu Karbin Asad, Raja Himyar, tatkala Baginda kembali dari berperang (220/SH) dan kebetulan lewat di depan Kabah. Tapi dikatakan bahwa Kiswah itu cuma terbuat dari kulit yang disamak. Konon Baginda jugalah yang mula-mula menciptakan daun pintu lengkap dengan kuncinya. Dalam riwayat lain, bahwa Ummu (ibusuri) Abbas ibn Abdil Mutalliblah yang pertama kali membuat kiswah sepanjang tahun, dia juga yang pertama kali merancang kiswah dari dalam Kabah hingga pekerjaan itu beralih ke tangan orang kaya-dermawan, Abu Rabiah Al Muhzumi yang mengajak kaum Qureisy agar menirunya. Cerita lain dari alFakuhi mengatakan, bahwa Khalifah Al-Makmun adalah yang mula-mula membikin kiswah dari sutera putih bergambar. Di zaman Fatimi diganti lagi dengan sutera putih, kemudian kuning, kemudian hijau, kemudian hitam merupakan warna yang berlaku hingga kini. Menurut catatan sejarah, kalam atau pena berasal dari masyrakat Sumeria Kuno penduduk Irak. Biasanya dibuat dari besi atau kayu untuk ditekankan pada lempengan tanah. Maka terbentuklah huruf-huruf paku. Orang-orang Mesir untuk menulis diatas batu

11 12

Lihat: Abu Amr Al-Dany al-Qurtubi, Al-Muhkam. Lihat tanda-tanda waqaf dll. pada Alquranul Karim, Mushaf Standar Indonesia, Rasm Usmany,

keluaran Departemen Agama RI, cetakan PT Almaarif Bandung.

menggunakan kalam yang terbuat dari besi, sedangkan untuk menulis di atas kulit kayu, dipakai kalam bambu yang dikenal dengan bus.13 Dinamakan kalam14 karena pada mulanya alat tersebut terambil dari pohon qullam. Disebut kalam hanya apabila ujung kepalanya sudah teraut. Pada kitab-kitab Arab terdahulu tampak bahwa para penulisnya menggunakan kalam yang sudah diraut ujungnya menurut jenis kaligrafi yang menjadi idolanya. Kalam diruncingkan ujungnya dalam bentuk potongan yang beraneka ragam dari mulai yang halus kecil sampai yang berukuran besar dan kasar. Para penulis kaligrafi biasanya menggunakan jenis khat sebuah kalam sendiri, hingga mereka menamakan beberapa jenis tulisan/khat menurut nama-nama kalam yang digunakan tersebut. Kertas untuk menulis, Al-Quran pada waktu-waktu pertama diterima oleh Rasulullah ditulis langsung oleh sekretaris-sekretaris beliau di atas likhaf, yakni bebatuan putih tipis, tembaga dan besi atau benda-benda keras serupa, usub nakhl atau pelepah kurma yang tak berdaun, dan di atas tulang-tulang bahu unta atau kambing. Demikianlah Al-Quran ditulis pada benda-benda yang menurut ukuran sekarang masih bersahaja, dan keadaan semacam itu berlangsung terus hingga masa kekhalifan Harun Al-Rasyid. Pada waktu itu kertas sudah mulai banyak dan pemakaiannya sudah menyebar ke mana-mana. Khalifah menganjurkan agar orang-orang tidak lagi menulis kecuali di atas kagad atau kertas. Kulit atau sejenisnya akan mudah melunturkan tulisan, pada beberapa bagian yang luntur dianggap akan membuat kerancuan dalam membaca terlebih jika itu Al-Quran. Lain halnya dengan kertas, apabila terhapus, akan langsung rusak, dan jika terkelupas, kupasannya jelas kelihatan. Demikian pendapat Harun Al-Rasyid, hingga sejak saat itulah seni menulis di atas kertas menyebar ke mana-mana. Kaligrafi Arab yang bersumber pada ayat-ayat Al-Quran dalam proses

transformasinya menjadi suatu karya seni tidak hanya keindahan bentuk visualnya saja yang diungkapkan, tetapi juga makna-makna dalam ayat-ayat Al-Quran yang menggambarkan firman Allah sebagai kalam Ilahi. Kaligrafi Arab selain memiliki bentuk yang artistik juga memiliki makna yang luhur merupakan penggambaran firman-firman Allah. Kaligrafi Arab sebagai suatu karya seni merupakan paduan antara isi ayat yang dikutip dalam Al-Quran dengan bentuk visual yang ditampilkan, sehingga menjadi karya seni yang di balik keindahan visualnya atau makna yang tersurat juga mengandung keindahan non visual atau makna yang tersirat.
13 14

Naji Zaynuddin, op. cit., h. 341. Bacaan Arabnya: Qolam

You might also like