You are on page 1of 18

1.

PENGARUH MILITER DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA


Sejak awal kemerdekaan Indonesia TNI/militer merasa punya andil yang sangat besar terhadap kemerdekaan Indonesia. Jasa yang besar yang diberikan itu sehingga TNI merasa berhak untuk ikut terlibat dalam memperoleh kue politik. Meskipun TNI merasa punya andil besar namun pada mulanmya timbul pertentangan antara para pendiri RI dengan TNI. Karena para pendiri republic Indonesia merasa kurang yakin bahwa kemerdekaan ini diperoleh dengan mengandalkan tentara. Karena itu pada awal kemerdekaan, militer jalan sendiri dan pemerintah jalan sendiri. Namun pada saat revolusi fisik terjadi di era 1945-1949 peran TNI(setelah disahkan oleh pemerintah dengan Jenderal Soedirman)sangatlah besar dengan memukul mundur Belanda yang ingin menginjakkan kakinya kembali di Indonesia. Di era gerakan reformasi sebagai proses menata kembali kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang mengacu kepada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi telah menghadapkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada berbagai tantangan. Tantangan terberat, antara lain, adalah penataan kembali peran TNI dalam konteks hubungan sipil-militer yang demokratis. Terkait dengan persoalan ini, masalah redefinisi peran dan keterlibatan TNI dalam konteks transisi demokrasi menjadi isu besar, yang dapat mempengaruhi berhasil atau gagalnya proses demokratisasi itu sendiri. Pengalaman beberapa negara di Amerika Latin dan Eropa Selatan menunjukkan bahwa proses transisi demokrasi tidak selamanya bermuara pada terciptanya konsolidasi demokrasi. Transisi demokrasi, tanpa pengelolaan secara rasional, sistematik, dan terencana, memungkinkan kembalinya intervensi militer dalam sistem politik. Intervensi militer dalam sistem politik inilah yang merupakan tema sentral buku Arif Yulianto. Dalam buku tersebut, Yulianto memodifikasi teori Alfred Stepan dan menawarkan tipologi baru bagi hibridisasi dari dimensi-dimensi kontestansi, hak istimewa, dan hubungan sipil-militer yang demokratis. Bagi Yulianto, ada lima tipe hubungan sipil-militer, yaitu: (1) posisi bagi pemimpin militer yang tidak dapat dipertahankan lagi; (2) posisi bagi para pemimpin sipil demokratis yang hampir tidak dapat dipertahankan lagi; (3) akomodasi sipil yang tidak seimbang; (4) kontrol sipil; dan (5) akomodasi sipil-militer. Untuk menentukan tipologi hubungan sipil-militer di Indonesia, Yulianto menggunakan tiga indikator bagi dimensi kontestansi militer (hlm 463-508), yaitu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan tindak kekerasan militer, kebijakan pemerintah sipil dalam menata struktur, peran dan kontrol atas militer, serta anggaran belanja militer. Tiga indikator ini dilengkapi dengan 11 indikator dari dimensi hak-hak istimewa militer. Kesebelas indikator tersebut adalah: (1) peranan independen militer dalam sistem politik; (2) hubungan militer dengan kepala eksekutif; (3) koordinasi sektor pertahanan; (4) partisipasi militer dinas aktif dalam kabinet; (5) peranan badan pembuat undang-undang dalam bidang pertahanan; (6) peranan pegawai negeri sipil dan pejabat politik senior dalam perumusan kebijakan bidang pertahanan; (7) peran militer dalam intelijen negara; (8) tugas bantuan militer dalam dinas kepolisian; (9) peran militer dalam promosi; (10) keterlibatan militer dalam perusahaan negara/swasta (bisnis militer); dan (11) peran militer

dalam sistem hukum. Hasil kajian Yulianto, yang sangat terbuka untuk diperdebatkan, menunjukkan bahwa dari 11 indikator dimensi hak-hak istimewa sipil, Indonesia telah berada di tipe ideal untuk empat indikator, yaitu: hubungan militer dengan kepala eksekutif, partisipasi militer dinas aktif dalam kabinet, peranan badan undang-undang dalam bidang pertahanan, peranan pegawai negeri sipil dan pejabat politik senior dalam perumusan kebijakan pertahanan, serta peran militer dalam promosi. Untuk empat indikator ini, otoritas sipil telah dapat menempatkan TNI dalam tataran kewenangan yang tepat. Yulianto juga menunjukkan bahwa moderasi hubungan sipil-militer terjadi untuk enam indikator lainnya, kecuali indikator peran militer dalam sistem hukum. Namun, jika lima tipologi Yulianto dielaborasi lebih dalam akan tampak bahwa militer di Indonesia masih cenderung melakukan penentangan terhadap kebijakan pemerintah sipil yang berkenaan dengan sistem politik nasional serta tugas bantuan militer dalam dinas kepolisian. Penentangan ini diuraikan terjadi karena belum adanya independensi partai-partai politik dalam kegiatan politik nasional; dan belum jelasnya tataran kewenangan antara TNI dan Polri. Hasil kajian Yulianto secara jitu menunjukkan bahwa pekerjaan rumah terberat bagi reformasi militer di Indonesia adalah penanganan pelanggaran HAM dan tindak kekerasan militer. Di indikator ini, hubungan sipil-militer berada di kotak merah yang menunjukkan militer masih otonom dan independen dari pengawasan dan kendali otoritas politik sipil. Jika kajian Yulianto ini dijadikan landasan bagi transformasi militer Indonesia, setidaknya ada lima masalah reformasi sektor keamanan yang harus ditemukan solusinya, yaitu: (1) posisi militer dalam sistem dan kegiatan politik nasional; (2) koordinasi dan kerja sama lintas institusi di sektor pertahanan-keamanan; (3) peran militer dalam intelijen negara; (4) keterlibatan militer dalam bisnis; serta (5) pelanggaran HAM dan tindak kekerasan militer. Penyelesaian lima masalah ini menjadi kunci bagi terciptanya TNI yang profesional dalam suatu sistem politik yang demokratis. Namun, dalam jangka pendek, Indonesia cenderung tidak akan mengalami transformasi militer yang drastis. Ada tiga faktor yang ingin disorot di tulisan ini, yaitu: karakter politik TNI, regulasi-regulasi politik yang mengatur TNI, dan kapasitas ekonomi Indonesia. Reformasi internal TNI yang digulirkan sejak tahun 1998 belum sepenuhnya melepaskan TNI dari karakter tentara politik. Tentara politik ini merupakan antitesa dari konsep Huntington tentang non-political professional military. Sebagai tentara politik, TNI memiliki karakter inti yang dipopulerkan oleh Finer dan Janowitz, yaitu: militer secara sistematis mengembangkan keterkaitan yang erat dengan sejarah perkembangan bangsa serta arah evolusi negara. Hal ini dilakukan dengan mengombinasikan prinsip hak sejarah (birthright principle) dan prinsip kompetensi (competence principle). Prinsip hak sejarah didasarkan pada suatu interpretasi sejarah bahwa militer berperan besar dalam sejarah pembentukan bangsa dan telah melakukan pengorbanan tidak terhingga untuk membentuk dan mempertahankan negara. Sedangkan prinsip kompetensi didasarkan pada ide bahwa militer merupakan institusi terbaik yang dimiliki negara untuk mempertahankan dan mencapai kepentingan nasional bangsa. Faktor utama yang mendasari penilaian ini adalah wacana tentang ketidakmampuan institusi sipil untuk mengelola

negara, ditandai dengan merebaknya berbagai krisis nasional. Untuk Indonesia, tampaknya TNI menjelma menjadi tentara politik dengan mengombinasikan hak sejarah dan kompetensi. Perpaduan dua prinsip tersebut dilakukan sepanjang sejarah perkembangan militer Indonesia, mulai dari masa perjuangan kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru. Perkembangan kronologis tentang persoalan ini dijelaskan secara rinci oleh Yulianto di bab 4 dan bab 5. Di dua bab tersebut Yulianto melakukan suatu kajian kepustakaan tanpa berupaya untuk melakukan interpretasi ulang sejarah yang diperlukan untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi wacana evolusi militer di Indonesia. Di tulisan ini, perkembangan sejarah militer Indonesia yang berkaitan dengan perpaduan prinsip hak sejarah dan prinsip kompetensi disajikan dalam tiga tahap. Di tahap pertama, militer Indonesia berkonsentrasi untuk mengedepankan prinsip hak sejarah, terutama dengan mengidentifikasi diri sebagai aktor yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan dan mendukung penuh kebijakan nasionalistik pemerintah untuk meredam gerakan-gerakan separatis serta upaya untuk mewujudkan kedaulatan teritorial Indonesia. Di tahap pertama ini perjuangan merebut kemerdekaan serta integrasi nasional merupakan dua konstruksi wacana yang dipergunakan untuk memperkuat prinsip hak sejarah. Wacana ini digulirkan untuk membentuk pemahaman bahwa ABRI merupakan suatu entitas yang lahir dengan sendirinya (self-creating entity) dan memiliki kemanunggalan dengan rakyat. Di tahap kedua, militer Indonesia menjelma menjadi penjaga, sekaligus penyelamat bangsa (the guardian and the savior of the nation). Hal ini dilakukan dengan menempatkan militer Indonesia sebagai pelindung Pancasila. Penempatan ini mulai dirintis oleh Nasution melalui perumusan doktrin dwifungsi di tahun 1950-an dan mendapat kulminasinya dalam penumpasan pemberontakan PKI 1965. Di tahap ketiga, prinsip hak sejarah dipadukan dengan prinsip kompetensi dengan menempatkan militer Indonesia sebagai satu-satunya aktor yang mampu menegakkan integritas bangsa sekaligus menjadi motor pembangunan nasional. Perpaduan ini dilakukan dengan memperkenalkan strategi pembangunan politik-ekonomi yang menggabungkan tahapan pertumbuhan lima tahunan yang diperkenalkan oleh Rostow dengan strategi stabilisasi politikkeamanan yang diungkapkan oleh Huntington. Kombinasi model Rostow-Huntington ini menghasilkan strategi pembangunan terencana jangka panjang yang menempatkan stabilitas politik keamanan sebagai prasyarat utama pembangunan ekonomi. Strategi ini menempatkan militer di titik sentral pembangunan nasional. Proses reformasi internal TNI yang telah dilakukan sejak tahun 1998 telah berhasil melaksanakan beberapa agenda penting, antara lain: pemisahan Polri dari TNI; validasi organisasi TNI; serta likuidasi Kepala Staf Teritorial TNI, Kepala Staf Sosial Politik ABRI, dan Badan Pembinaan Kekaryaan (Babinkar) ABRI. Di tahun 2003-2004, TNI tetap menunjukkan komitmen untuk melanjutkan reformasi internal TNI antara lain dengan menegaskan netralitas TNI dalam proses pemilu legislatif. Reformasi internal TNI yang cenderung condong ke pergeseran peran sosial-politik TNI diharapkan dapat segera diselesaikan sehingga TNI tidak lagi memiliki karakter tentara politik dan proses reformasi TNI bisa dilanjutkan dengan melakukan transformasi dan modernisasi pertahanan Indonesia.

Untuk merombak total karakter TNI sebagai tentara politik, otoritas-otoritas politik sipil dihadapkan pada hambatan kedua dari transformasi militer di Indonesia, yaitu belum lengkapnya regulasi politik yang mengatur posisi TNI dalam sistem politik Indonesia. Keberadaan regulasiregulasi politik ini diharapkan dapat memperkuat upaya untuk menularkan prinsip-prinsip good governance ke sektor pertahanan. Implementasi prinsip-prinsip good-governance ini dapat dijadikan titik awal untuk menciptakan tentara profesional dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Berkaitan dengan regulasi politik di bidang pertahanan negara, Yulianto memberikan suatu interpretasi unik tentang UUD 1945. Saat Yulianto membandingkan pola hubungan sipil-militer masa sistem parlementer (1954-1959) dengan sistem presidensiil pasca-Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Yulianto (hlm 7) menyatakan bahwa: "Berlakunya kembali UUD 1945 ini membawa keuntungan sendiri bagi militer Indonesia, karena selama berlangsungnya demokrasi parlementer, keikutsertaan militer dalam penyelenggaraan negara hanya sebatas pada alat negara yang mengurusi bidang pertahanan-keamanan saja. Oleh karena itu berlakunya UUD 1945 membawa peluang militer untuk ikut serta dalam penyelenggaraan negara tidak hanya sebatas bidang pertahanan keamanan, namun juga dalam bidang-bidang lainnya. Militer mulai mendapatkan kesempatan untuk ikut serta dalam percaturan politik." Interpretasi ini tentunya perlu dikaji ulang. Jika interpretasi Yulianto diterima, maka selama Indonesia tetap berlandaskan pada sistem presidensiil, sistem politik Indonesia akan terusmenerus mendapat intervensi dari TNI. Namun, telaah sederhana terhadap negara-negara demokrasi Barat yang menerapkan sistem presidensiil segera menunjukkan bahwa interpretasi Yulianto sulit diterima. Telaah-telaah teoretik cenderung tidak meletakkan sistem parlementer atau presidensiil sebagai variabel penjelas hubungan sipil-militer. Namun, ide besar Yulianto tetap dapat diterima dan menuntut elaborasi lebih dalam. Ide tersebut adalah pola hubungan sipil-militer di Indonesia akan sangat tergantung dari kualitas regulasiregulasi politik tentang institusi militer yang dirumuskan oleh otoritas politik sipil. Saat ini, proses perumusan regulasi-regulasi politik tentang pertahanan nasional tampaknya seperti jalan di tempat lantaran adanya ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan regulasi-regulasi politik yang ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Jika diinventarisasi regulasi-regulasi politik tersebut adalah UUD 1945 (Pembukaan UUD 1945 dan Bab Pertahanan Keamanan Negara), Tap MPR No VI dan VII (2002), UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Sebenarnya, sinkronisasi regulasi politik bisa dilakukan dengan merumuskan suatu cetak biru regulasi-regulasi politik di bidang pertahanan. Cetak biru ini harus memuat seluruh regulasi yang relevan dan diajukan ke DPR secara bersamaan. Jika dikaji, minimal ada empat kelompok regulasi politik yang perlu dibuat, yaitu: regulasi tentang kebijakan pertahanan nasional, regulasi tentang institusi dan prajurit TNI, regulasi tentang sumber daya pertahanan, dan regulasi tentang prosedur pengerahan TNI. Faktor terakhir yang menghambat transformasi militer di Indonesia adalah tidak adanya kapasitas ekonomi yang memadai untuk meluncurkan program modernisasi pertahanan. Yulianto (hlm 500-507) menjabarkan berbagai indikator ekonomi untuk menunjukkan kapasitas ekonomi tersebut. Indikator-indikator tersebut, antara lain, fluktuasi anggaran belanja militer Indonesia di

APBN, proporsi anggaran pertahanan Indonesia ke produk domestik bruto (PDB), hingga perencanaan pengadaan alat utama sistem pertahanan Indonesia yang tertuang di Rencana Strategis Pertahanan Negara 1999-2004. Indikator-indikator tersebut mendukung pendapat konservatif yang menyatakan bahwa untuk 10-15 tahun ke depan, anggaran pertahanan Indonesia akan tetap kecil, baik dari sisi proporsi ke PDB maupun ke APBN. Selanjutnya kita menilik peranan militer di era Presiden Gusdur. Peristiwa pengepungan Istana Negara pada 17 Oktober 1952 oleh TNI AD seolah segar kembali dlam ingatan. Gusdur berulang-ulang mengulas peristiwa ini di berbagai kesempatan. Alasannya cukup jelas, sebagai peringatan kepada militer bahwa ia tidak takut sejarah akan berulang. Dalam hal ini Gusdur tidak ingin mundur dari jabatannya sebelum 2004, apapun resikonya. Hal yang melatarbelakangi pengungkapan sejarah perlawanan tentara kepada pemerintah adalah agenda pelaksanaan SI-MPR yang segera dilaksanakan. Dalam situasi kritis dan kemelut politik yang sedang berlansung, presiden Gusdur tidak berhasil mendapatkan simpati kekuatan-kekuatan politik besar yang ada. Banyak pihak yang menyayangkan sikap Gusdur yang keras kepala. Seandainya saja ia segera berkompromi setelah keluarnya memorandum pertama, mungkin tidak sepanik saat ini. Perilaku politik Presiden Wahid sangat arogan, sehingga para elite politik yang berseberangan dengannya berketatapan hati untuk menghentikan kekuasaannya. Hal inilah yang membuat Gusdur sangat gusar. Terlebih lagi, tentara sebagai senjata pamungkas pelanggeng kekuasaan kini tidak dapat diandalkan. Cara-cara politik kekerasan tidak dapat dilakukan tanpa dukungan tentara. Tentara adalah harapannya yang terakhir bila semua jalan kompromi telah buntu. Namun, tentara telah mengecewakannya, setidaknya hingga hari ini. Hal ini diakibatkan karena sejak reformasi 1998, tentara telah berbenah diri secara interen diikuti dengan Polri. Peran tentara mulai kembali pada jati dirinya sebagai militer yang professional. Karena itu ditatalah hubungan sipil-militer yang seharusnya melalui reformasi internal TNI dan Paradigma barunya. Jadi kesimpulan saya mengenai peranan militer dalam system politik di Indonesia adalah peranan militer dalam politik di Indonesia sebelum reformasi sangatlah bertolak belakang dengan peranan militer setelah masa reformasi. Dimana sebelum reformasi, militer berperan sebagai alat politik. Hal ini sejalan di masa orde baru, presiden soeharo kala itu menggunakan militer sebagai alat politik. Misalnya saja, terjadi kekerasan politik oleh militer terhadap mahasiswa di tahun 1998 sebagai akibat dari ketidakinginan Soeharto melepaskan tahta kekuasaannya. Sedangkan dimasa reformasi peranan militer telah menjadi mitra sipil dalam membangun demokrasi dan tidak lagi sebagai alat politik yang bernuansa pelanggeng kekuasaan.

2. MILITER DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA:


I. PENDAHULUAN Dalam dekade beberapa tahun belakangan ini, terutama sejak digulirkannya reformasi tahun 1998 yang berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 perbincangan mengenai peran militer (TNI) khususnya peran Tentara Nasional Indonesia-

Angkatan Darat (TNI-AD) semakin banyak diperbincangkan serta melahirkan banyak istilah mengenai peran TNI, Back to Basics, hapuskan Dwi Fungsi ABRI, Kembali ke barak adalah sebagian dari banyak istilah yang muncul tersebut. Menghangatnya perbincangan back to basics ini terjadi lebih-lebih setahun setelah berlangsungnya pemilu 1992, ketika para wakil rakyat sedang bersidang untuk memilih presiden untuk periode berikutnya dan menjelang pemilihan ketua umum Golkar saat itu. (Santoso, 1995: 140) Peran dan posisi militer (TNI) dalam percaturan dan sistem politik Indonesia adalah sejarah panjang bangsa ini. Tentara dalam sejarah kelahirannya berperan aktif dalam kehidupan politik bangsa dan merupakan salah satu kekuatan dalam perjuangan bangsa. Dalam periode pra kemerdekaan, peran politik tentara diwujudkan melalui kegiatan politik para laskar pejuang, yang karena kesadarannya mengangkat senjata berupaya untuk mengusir penjajah dan memerdekakan bangsa Indonesia. Pada periode berikutnya, peran dan format politik tentara diaktualisasikan melalui upaya menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di awal tahun 1950-an hingga menjelang berakhirnya dekade 1950-an, kehidupan politik bangsa Indonesia diwarnai pelaksanaan demokrasi liberal dengan sistem multi-partai. Kondisi kehidupan politik saat itu melahirkan ketidakstabilan pemerintahan, pemerintahan jatuh-bangun dan hanya bertahan hingga beberapa bulan, karena masing-masing partai lebih cenderung memperjuangkan kepentingan ideologi partainya daripada kepentingan bangsa secara utuh. Dalam dekade 1950-an ini peran sosial-politik tentara mulai tampak kepermukaan, yaitu dengan menjadi pelopor untuk menyarankan kembali ketatanan kehidupan politik berdasarkan UUD 1945 yang berlanjut dengan adanya peristiwa 17 Oktober 1952. Peran sosial-politik TNI/ABRI secara formal dalam periode ini adalah sejak TNI mendapatkan kesempatan untuk menjadi Dewan Nasional yang dibentuk oleh Presiden Soekarno. Peran TNI/ABRI dalam sosial-politik ini dikukuhkan secara formal melalui pidato Kasad Jenderal TNI A.H. Nasution, tanggal 11 November 1958, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Dwi Fungsi ABRI. (Ginting, 1997: 6) Peran TNI/ABRI dalam bidang sosial-politik tidak hanya berhenti sampai pada periode 1950-an. Peran ini bahkan menjadi lebih besar terutama sejak pertengahan tahun 1960-an, yaitu dengan dibentuknya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sek-Ber Golkar) pada tanggal 20 Oktober 1964 dan mencapai puncak pada masa kekuasaan Orde Baru (ORBA). Reformasi hubungan sipil-militer mutlak menjadi salah satu bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Namun begitu panjangnya sejarah keikutsertaan TNI/ABRI dalam bidang sosialpolitik bangsa membuat sebagian para petinggi TNI/ABRI saat itu (sebelum reformasi 1998) terasa enggan untuk meninggalkannya dan melakukan perubahan. Adanya keengganan sebagian para petinggi TNI/ABRI dalam rangka untuk melakukan perubahan merupakan suatu tantangan dalam mewujudkan demokratisasi dan supremasi sipil. Pada tahun 1998 menjelang peringatan HUT TNI/ABRI ke-53 militer (tentara) merespon perubahan lewat Paradigma Baru TNI dan adanya reposisi peran POLRI dengan dipisahkannya dari institusi militer (TNI/ABRI) yang berdiri sendiri dan posisinya langsung di bawah presiden. Dalam paradigma lama, orientasi TNI adalah melaui pendekatan keamanan. Orientasi

pendekatan keamanan yang mendorong terbangunnya persepsi diri TNI yang menempatkan TNI dalam posisi sentral dan menjadi penjuru atas keputusan yang menyangkutkehidupan bernegara dan berbangsa. Karena TNI berperan utama dalam fungsi keamanan ataupun karena tidak dapat dilepaskan dari kepentingan keamanan, pendekatan tersebut lebih dikenal sebagai pendekatan keamanan. Sebaliknya paradigma baru adalah paradigma yang dilandasi cara berpikir yang bersifat analitik dan prosfektif ke masa depan berdasarkan pendekatan komprehenshif yang memandang TNI sebagai bagian dari sistem nasional. Dalam kaitan ini cita-cita mewujudkan tujuan nasional harus dilaksanakan secara terpadu oleh segenap komponen bangsa berdasarkan satu visi nasional. (TNI, 1999: 22-23) Namun, paradigma ini masih mengesankan sesungguhnya militer belum rela meninggalkan kancah politik. Militer masih ingin berpolitik, cuma tidak di depan. Maka tidak mengherankan bila militer tetap berada di DPR dan MPR setidaknya sampai dengan tahun 2004 serta mempunyai kesempatan langsung mempengaruhi proses politik pasca Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya petinggi dan mantan petinggi TNI yang terjun ke politik praktis dengan ikut serta dalam pemilu legislatif (DPR dan DPD) dan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden). Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah; Bagaimanakah peran militer (TNI/ABRI) dalam proses demokratisasi dan mewujudkan supremasi sipil (civil society)? II. MILITER DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA Lahirnya Tentara Nasional Indonesia Membicarakan kelahiran Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bis lepas dari perkembangan militer dimasa pemerintahan Jepang. Kelahiran Tentara Nasional Indonesia tidak bersamaan dengan kelahiran Negara Republik Indonesia atau Proklamasi 17 Agustus 1945. (Karim, 1989: 21) Dalam catatan sejarah menunjukkan bahwa model gerakan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan oleh generasi-generasi sebelum tahun 1940-an, lebih banyak menempuh jalan diplomasi dengan tekanan-tekanan intelektual guna membentuk opini massa, daripada jalan kekerasan dan peperangan. Namun semenjak memasuki tahun 1940-an telah muncul generasigenaerasi yang tidak sabar terhadap cara perjuangan generasi tua yang masuk dalam generasi kebangsaan tersebut. Mereka telah menemukan caranya sendiri, bahwa untuk mencapai kemerdekaan tidak mungkin hanya melalui jalan berunding dengan pengajuan petisi, tanpa diikuti oleh tekanan aksi fisik (tindakan militer). Ketidak sabaran generasi muda tersebut telah mendorong terjadinya revolusi. Jalan pintas yang radikal telah membuahkan cara berpikir yang pragmatis, melakukan aksi perang. Dalam peristiwa tersebut telah melahirkan anak-anak revolusi dan dampaknya telah berhasil mendorong secara cepat terealisasikannya konsep-konsep menuju kemerdekaan yang telah dipupuk sejak pergerakan kebangsaan. (Dydo, , 1989: 26-27) Sebelum lahirnya Tentara nasional Indonesia, di negara kita dikenal adanya Heiho dan PETA. Banyak Putera Indonesia yang memasuki Heiho dan PETA ini. Pembentukn dua organisasi butan

tenta Jepang ini sudah barang tentu dilatar belakangi oleh maksud-maksud penjajahan Jepang yang berusaha mempertahankan kekuasaannya di negara kita. Di samping itu dikenal pula KNIL, tentara Belanda. Pada tanggal 22 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bukan merupakan suatu organisasi militer resin, melainkam bersifat kerakyatan. (Karim, 1989: 21) Tidak adanya kesatuan tentara (Angkatan Perang) permanen yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia sejak diproklamasikannya kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, menimbulkan keheranan dan tanda tanya besar oleh beberapa pimpinan pejuang yang bergerak dalam bidang ketentaraan. Oerip Soemohardjo, seorang pensiunan Mayor KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger), mengatakan Aneh, suatu negara zonder Tentara (Dydo, 1989: 26) Mengingat eksistensi kemerdekaan yang semakin hari semakin terancam dengan adanya usahausaha kaum pejajah untuk kembali ke Indonesia, dan Marsekal Terauchi diperintahkan oleh Mac Arthur untuk meampertahankan status quo di daerah pendudukannya serta mendaratnya Tentara Inggris di Jakarta pada tanggal 16 September 1945 yang dipimpin oleh Lord Louis Mounbatten yang mendesak jepang untuk mempertahankan status quo telah pula membuat anggota Badan Keamanan rakyat (BKR) semakin berani berhadapan dengan tentara Jepang. Dan semakin bertambah panas setelah datangnya pasukan tambahan tentara Inggris pada tanggal 29 September 1945 di bawsah pimpinan Sir Philip Christison. Adanya kenyataan yang demikian itu membuat para pemimpin pemerintahan kita saat itu menyadari betapa pentingnya sebuah angkatan perang (tentara) dalam mempertahankan kemerdekaan. Untuk itu pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945 mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Stafnya, dan sehari setelah itu pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat yang mengangkat Suprijadi sebagai menteri Keamanan Rakyat. Setelah lahirnya TKR, maka BKR, PETA, KNIL, Heiho, dan lasykar-lasykar lainnya, oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dikeluarkan perintah mobilisasi TKR, yaitu dengan menyatukan lembaga-lembaga yang telah ada selama ini di bawsah panji TKR. Atas prakarsa Markas tertinggi TKR pada tanggal 1 Januari 1946, dikeluarkanlah Penetapan Pemerintah No. 3/SD. 1946 yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dan Kementerian Keamanan Rakyat diubah menjadi Kementerian Pertahanan. Dan pada tanggal 26 Januari 1946 keluarlah maklumat Pemerintah yang mengubah Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Berdasarkan maklumat ini, dinyatakan bahwa Tentara Republik Indonesia (TRI) bersifat nasional (kebangsaan) dan sekaligus merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia. (Karim, 1989: 23) Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesai dalam perjalanan selanjutnya juga tidak lepas dari polarisasi orientasi politik sipil-militer, Soekarno-Hatta-Sjahrir di satu pihak yang lebih menekankan pada strategi diplomasi, dan dipihak lain Soedirman-Oerip-Soetomo dari kalangan militer bersama lasykar-lasykar yang berorientasi pada strategi perang dalam menghadapi Belanda hampir saja membawa petaka, yaitu rusaknya persatuan nasional yang belum lama dibangun. Di samping adanya polarisasi militer-sipil tersebut, dalam tubuh barisan

angkatan bersenjatapun masih terdapat friksi-friksi yang timbul dari lasykar-lasykar yang belum sepenuhnya mampu keluar dari bayang-bayang ideologi induknya semula. Guna mengatasi kemelut yang terjadi dalam tubuh militer ini maka pada tanggal 5 Mei 1947 Pemerintah mengeluarkan dekrit untuk membentuk panitia yang diketuai oleh Presiden, dengan beranggotakan 21 orang. Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia ini menghasilkan keputusan yang dimuat dalam Penetapan Presiden. Penetapan yang dikeluarkan 7 Juni 1947 inilah yang membentuk organisasi Tentara Nasional Indonesia. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka Tentara Nasional Indonesia (TNI) sekarang ini terbentuk dari tiga elemen pokok yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri, yaitu: KNIL, PETA, dan lasykarlasykar. Demokrasi dan Demokratisasi Demokrasi saat ini merupakan kata yang senantiasa mengisi setiap wacana perbincangan berbagai lapisan masyarakat baik dari lapisan masyarakat kelas bawah (grass root) hingga masyarakat kelas menengah dan atas. Dan sering sekali dikaitkan dengan berbagai persoalan yang berhubungan dengan keagamaan dan bidang keilmuan lainnya, seperti: Islam dan Demokrasi, Ekonomi dan Demokrasi, Hukum dan Demokrasi, dan lain sebagainya. Demokrasi sebagai salah-satu corak pemerintahan, berasal dari kata demos dan cratein (bahasa Yunani) yang berarti rakyat dan kekuasaan. Jadi titik sentral dari pemerintahan demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Mengingat kedaulatan itu melekat pada diri orang untuk mengatur dan mempertahankan dirinya, serta mengingat rakyat itu bukan pula satu atau dua orang, tetapi merupakan gabungan atau kumpulan dari orang-orang yang secara sadar bergabung untuk mengatur diri mereka, maka kedaulatan itu pun kemudian digabung pula. Kedaulatan rakyat ini pun bukan untuk melindungi sebagian rakyat dan menindas sebagian yang lain. Tetapi untuk melindungi keseluruhan rakyat dalam wilayah kedaulatan negara, sesuai dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam konstitusi. Moh. Mahfud MD, menyebutkan setidaknya terdapat dua alasan mengapa demokrasi dijadikan sebagai dasat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan, Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental; Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggaraakan negara sebagai organisasi tertingginya. (Mahfud, 1999: 5-6) Adapun Amien Rais dalam pengantar buku Demokrasi dan Proses Politik, seperti dikutip oleh Umaruddin Masdar menyebutkan ada tiga asumsi yang membuat demokrasi diterima secara luas di dunia. Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk vital dan terbaik pemerintahan yang mungkin diciptakan, tetapi juga merupakan suatu doktrin politik luhur yang akan memberikan manfaat bagi kebanyakan negara. Kedua, dsemokrasi sebagai system politik dan pemerintahan dianggap mempunyai akar sejarah yang panjang sampai ke zaman Yunani Kuno, sehingga ia tahan bantingan zaman dan dapat menjamin terselenggaranya suatu lingkungan politik yang stabil. Ketiga, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling alamiah dan manusiawi sehingga semua rakyat dinegara manapun akan memilih demokrasi bila mereka diberi kebebasan untuk melakukan pilihannya. (Masdar, 1999: 86)

Dalam menjalankan pemerintahan demokrasi, masing-masing negara tidaklah sama. Setiap negara mengklaim bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahaan atau sistem politik yang mereka bangun adalah demokrasi. Indonesia merupakan negara yang mendasarkan kedaulatannya atas dasar kedaulatan rakyat disamping atas dasar kedaulatan hukum. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Sebelum Perubahan, Kedaulatan ialah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan bandingkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Setelah Perubahan Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, namun dalam pelaksanaannya kedaulatan rakyat itu tidak pernah dijalankan selama lebih kurang empat puluh tahun (5 Juli 1959-21 Mei 1998). Setelah kejatuhan Soeharto (Orde Baru) tuntutan untuk penyelenggaraan pemerintahan demokrasi merebak sampai kepelosok-pelosok negeri. Demokratisasi menjadi salah satu istilah yang tak dapat dipisahkan dari tuntutan penyelenggaraan pemerintahan demokrasi tersebut. Untuk itu perlu kita ketahui apa dan bagaimanakah demokrasi, demokratisasi dan pemerintahan demokratis tersebut. Herts dalam bukunya Political Realism and Political Idealism sebagaimana dikutip oleh Soekarna dalam buku Sistem Politik, menyebutkan bahwa Democracy is a form of government in which no one member, has political prerogative over any other. Government thus the rule of all over all in the common, as opposed to the individual or separate group interest) (Soekarna, 1990: 37). Yang artinya adalah Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana tidak satu orangpun anggota (rakyat/kelompoknya), mempunyai hak prerogatif politik terhadap anggota (rakyat/kelompoknya) lainnya. Pemerintahan adalah dilakukan dengan aturan oleh keseluruhan anggota (rakyat/kelompoknya) untuk keseluruhan masyarakat, sebagai suatu penentangan terhadap kepentingan perseorangan atau kelompok terpisah. Josefh A. Schmeter menyebutkan, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai suatu keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk menentukan dan memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat, sedangkan Sidney Hook, menyebutkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dimana keputusankeputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa, adapun Philippe C. Schmiiter dan Terry Lynn Karl menyebutkan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama para wakil mereka yang telah terpilih. (Ubaidillah, 2000: 162) Pendapat lain menyebutkan bahwa demokrasi bukan sebagai suatu jenis organisasi, tetapi sebagi suatu keadaan tertentu dari kemakmuran, bukan sebagai cara memproduksi, tetapi sebagi suatu hasil produksi. Menurut Braybroooks, demokrasi adalah hasil dari segala sesuatu yang diinginkan: personal right, human welfare, collective preference. Ini adalah juga konsepsi marxis-leninis dari demokrasi. Suatu perekonomian seperti perekonomian Soviet disebut demokrasi rakyat, karena produksi dianggap mengabdi pada seluruh rakyat. (Doel, 1988: 11) Dari pendapat para ahli di atas terdapat benang merah atau titik singgung tentang pengertian demokrasi, yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan

kebijaksanaan tertinggi dalam penyelenggaran negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilaksanakan secara lanmgsung oleh rakyat atau mewakilimya melalui lembaga perwakilan. Karena itu negara yang menganut sistem demokrasi diselengarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat mayoritas serta tidak mengesampingkan rakyat minoritas. Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa negara yang negara yang menganut asas demokrasi, maka kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat. Pada negara yang menganut asas demokrasi ini didalamnya mengandung unsur; pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people). (Mahfud, 1999: 8) Demokrasi dalam menjalankan usahanya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, maka harus menjalankan prinsip-prinsip yang ada padanya. Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam demokrasi adalah, sebagai berikut: (Sukarna, 1990: 40-42) 1. Pembagian kekuasaan: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif berada pada badan yang berbeda. 2. Pemerintahan konstitusionil 3. Pemerintahan berdasarkan hukum 4. Pemerintahan mayoritas 5. Pemerintahan dengan dialog 6. Pemilihan umum yang bebas 7. Partai politik lebih dari satu dan menjalankan fungsinya, yaitu: a. Mencalonkan kandidat b. Mmbina pendapat masyarakat c. Menarik rakyat untuk memilih d. Mengeritik penguasa e. Memilih orang-oramg yang akan diangkat dalam pemerintahan f. Melakukan pendidikan politik g. Memilih pemimpi-pemimpin politik h. Memadukan pemikiran-pemikiran politik i. Melakukan sosialisasi politik j. Menyelesaikan perselisihan-perselisihan k. Mempersatukan pemerintahan l. Mempertanggumngjawabkan pemerintahan 8. Managemen terbuka (tranfarancy): a. Ikut sertanya masyarakat dalam urusan pemerintahan b. Mempertanggungjawabkan pemerintah terhadap rakyat c. Adanya dukungan rakyat terhadap pemerintah d. Adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintah 9. Pers yang bebas 10. Pengakuan terhadap hak-hak minoritas 11. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia

12. Peradilan yang bebas dan tidak memihak 13. Pengawasan terhadap adminisdtrasi negara 14. Mekanisme politik yang berubah antara kehidupan politik masyarakat dan kehidupan politik pemerintah 15. Kebijaksanaan negara dibuat oleh badan perwakilan politik tanpa paksaan dari badan lain 16. Penempatan pejabat-pejabat dalam pemerintahan dengan merit system bukan spoil system 17. Penyelesaiaan perpecahan secara damai atau secara kompromi 18. Jaminan terhadap kebebasan individu dalam batas-batas tertentu, seperti: a. Kebebasan berbicara atau mengemukakan pendapat dan pikiran b. Kebebasan beragama c. Kebebasan dari rasa takut d. Kebebasan dari pada kebutuhan (bekerja/berusaha) 19. Konstitusi/Undang-Undang Dasar/Peraturan Perundang-undangan yang demokratis 20. Adanya persetujuan Inu Kencana syafii, prinsip-prinsip demokrasi adalah sebagai berikut: (Ubaidillah, 2000: 166169) 1. Adanya pembagian kekkuasaan (sharing power) 2. Adanya pemilihan uumum yang bebas (general election) 3. Adanya manajemen pemerintahan yang terbuka 4. Adanya kebebasan individu 5. Adanya peradilan yang bebas 6. Adanya pengakuan hak minoritas 7. Adanya pemerintahan yang berdasarkan hokum 8. Adanya pers yang bebas 9. Adanya muti partai politik 10. Adanya musyawarah 11. Adanya persetujuan parlemen 12. Adanya pemerintahan yang konstitusionil 13. Adanya ketentuan pendukung dalam system demokrasi 14. adanya pengawasan terhadap administrasi publik 15. Adanya perlindungan hak asasi manusia 16. Adanya pemerintahan yang bersih (cleant and good government) 17. Adanya persaingan keahlian (profesionalitas) 18. Adanya mekanisme politik 19. Adanya kebijakan negara yng berkeadilan 20. Adanya pemerintahan yang mengutamakan tanggung jawab. Prinsip-prinsip demokrasi yang dikemukakan oleh Sukarna dan Inu pada prinsipnya hampir sama, yang membedakannya adalah dalam hal penomoran dan sistematikanya. Pendapat lain yang menyebutkan tentang prinsip-prinsip demokrasi ini adalah Robert S. Dahl

dengan tujuh prinsipnya, yaitu: Pertama, kontrol atas keputusan pemerintah; kedua, pemilihan yang teliti dan jujur; ketiga, adanya hak memilih; keempat, adanya hak untuk dipilih; kelima, kebebasan menyetakan pendapat tanpa ancaman; keenam, kebebasan mengakses demokrasi; ketujuh, kebesasan berserikat. (Ubaidillah, 2000: 169) Sedangkan menurut Masykuri Abdillah, prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas persamaan, kebebasan dan pluralisme. Prinsip persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warga negarabaik rakyat biasa ataupun pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan dimuka hukum dan pemerintahan. Prinsip kebebasan menegaskan bahwa setiap individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan membentuk perserikatan. Prinsip pluralisme memberikan penegasan dan penagkuan bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama pemikiran dan sebagainya merupakan conditio sine qua non (sesuatu yang tidak bisa terelakkan). (Ubaidillah, 2000: 165-166) Prinsip-prinsip ini harus bersinergi antara satu dengan yang lainnya, karena kalau prinsip-prinsip ini berjalan berjalan tanpa diikuti oleh prinsip-prinsip yamh lainnya maka demokrasi tidak akan dapat berjalan dengan baik. Misalnya adalah demokrasi tidak akan dapat berjalan walaupun adanya pembagian kekuasaan, tetapi tidak diikuti oleh adanya pemerintahan berdasarkan atas hukum, atau tanpa diikuti oleh adanya partai politik yang lebih dari satu. Karena sangat sulit dikatakan demokrasi bila tidak adanya alternatif pilihan di luar partai politik yang telah ditentukan. Demokratisasi pertama kali ditiupkan di Indonesia oleh Paul Wolfowitz pada saat akan megakhiri masa jabatan duta besarnya di Indonesia pada tahun 1989. Pasca kejatuhan Soeharto 21 Mei 1998, Indonesia memasuki masa transisi menuju demokrasi, yaitu suatu masa dimana telah terjadi suatu peralihan dari rezim penguasa yang otoritarian menuju suatu tatanan pemerintahan dengan kehidupan kenegaraan yang demokratis. Demokratisasi merupakan suatu arus transformasi global yang terjadi dalam gelombang dunia ketiga yang sulit dielakkan, yang bermula pada tahun 1974, yaitu tahun ditumbangkannya rezim diktator Portugal. Ia mendefenidsikan gelombang demokrasi sebagai suatu kelompok transisi dari rezim-rezin non-demokratis yang terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu yang jumlahnya secara signifikan melebihi jumlah transisi yang terjadi sebaliknya. Gelombang pertama berlangsung lambat dan lama, yaitu hampir satu abad, mulai tahun 1823 sampai tahun 1926 dan gelombang kedua dari tahun 1943 sampai tahun 1964. Yang menarik adalah, bahwa setiap gelombang itu diakhiri oleh gelombang balik, yaitu jatuhnya rezim-rezim demokratik, pertama berlangsung dari tahun 1922-1942, dan kedua dari tahun 1961-1975. ( Ginting,1997,: 16-17) Tentara Nasional Indonesia, Politik dan Demokratisasi Pecahnya peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G.30S/PKI/1965) berdampak pula terhadap meningkatnya kekuasaan militer (TNI-AD khususnya) dalam peta perpolitikan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena setelah terjadinya G.30S/PKI/1965 ini dua kekuasaan besar saat itu, yaitu kekuasaan Presiden Soekarno dan PKI menjadi lemah dan hancur. Kekuasaan militer (TNI-AD) menjadi semakin besar setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya

keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi serta menjaminkeselamatan presiden dengan berkoordinasi dalam menjalankan pelaksanaan perintah bersama panglimapanglima angkatan serta melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan tugas dan tanggung jawabnya . Perjalanan politik tentara mencapai puncaknya pada masa Orde Baru (Seharto) yaitu dengan mengebiri partai-partai politik yang aspirasi ideologisnya digabungkan ke dalam dua partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai politik ini tidak lagi memiliki basis ideologi spesifik sebagaimana pada masa orde lama, pertentangan antar faksi dalam partai politik tersebut tidak dapat terelakkan dan berakibat pada lemahnya dua partai itu. Berbeda dengan Golongan Karya yang didukung oleh Birokrasi dan ABRI kelompok ini menjadi penguasa dalam menjalankan visi misi Orde Baru, serta menguasai parelemen dan pemerintahan yang dikenal dengan istilah (ABRI, Birokrasi, dan Golkar/ABG) Runtuhnya kekuasaan Soeharto (Orde Baru) berdampak pula terhadap kekuasaan militer (TNI) dalam bidang sipil dan pemerintahan. Tuntutan demokrasi dan demokratisasi juga melanda pemikiran para petinggi militer, dengan mengeluarkan paradigma baru ABRI (TNI) pada HUTnya yang ke-53 pada 5 Oktober 1998 yang dilaksanakan secara bertahap. Seperti pengurangan TNI/Polri menjadi 38 orang serta adanya maklumat Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto untuk tidak melakukan penggunaan hak pilih anggotanya (prajurit) TNI dalam pemilu 2004. III. PENUTUP Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa militer di Indonesia dalam masa Orde baru sudah terlalu jauh masuk dalam arena politik praktis yang seharusnya merupakan wilayah atau area pertempuran sipil. Adanya momentum reformasi turut serta mengembalikan militer ke dalam posisinya semula sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Tuntutan untuk tidak berpolitik praktis bagi militer (TNI) juga telah direspon dengan keluarnya paradigma baru TNI yang dicanangkan pada 5 Oktober 1998 dan diperkuat kembali dengan maklumat Panglima TNI Jenderal TNI. Endriartono Sutarto. Dengan semboyan terbaik bagi rakyat, terbaik bagi TNI. Adanya niat bak TNI tersebut hendaknya pula dapat diterjemahkan dengan baik oleh para politisi sipil untuk tidak kembali membawa dan menyeret militer (TNI) ke dalam kancah polik. Hal ini diharapkan dapat segera terwujudnya demokrasi dan demokratisasi yang salah satu unsurnya adalah adanya supremasi sipil atas militer. DAFTAR PUSTAKA Santoso, Budi, A, Made budisupriatna, 1995, ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995, Kanisius dan Lembaga Studi Realino, Yogyakarta Doel, J, van den alih Bahasa R.L.L Tobing, 1998, Demokrasi dan Teori Kemakmuran, Gelora Aksara Pratama, Jakarta Mahfud MD, Moh., 1999, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta Karim, Muhammad Rusli, 1989, Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap

pendidikan Politik di Indonesia (1965-1979), CV Haji Masagung, Jakarta Ginting, Selamat (ed), 1997, ABRI dan Demokratisasi, Mizan, Bandung Sukarna, 1990, Sistem Politik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung Dydo, Todiruan, 1989, Pergolakan Politik Tentara Sebelum dan Sesudah G30S/PKI, Golden Terayon Press, Jakarta TNI Abad XXI: Redefenisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan Bangsa, 1999, Penerbit Jasa Buma, Jakarta Masdar, Umaruddin (dkk), 1999, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, Lkis, Yogyakarta Ubaidillah, U, 2000, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta
3.

Definisi Militer:
Militer adalah kelompok yang memegang senjata. Militer adalah organisasi kekerasan fisik yang sah untuk mengamankan negara atau bangsa dari ancaman luar negeri maupun dalam negeri. Dalam hal ini, militer berfungsi sebagai alat negara yang menjunjung tinggi supremasi sipil.

Supremasi sipil dibangun dengan sebuah budaya politik yang baik. Budaya politik adalah suatu parameter dimana peran sipil sangat dominan dalam sebuah negara. Budaya politik yang baik dapat diwujudkan ketika mesin politik (partai) dapat menyentuh akar rumput dan melakukan kaderisasi politik yang baik. Pada masa pergerakan nasional di Indonesia, tidak ada partai politik yang mengakar dan memberikan budaya politik yang baik ke bawah. Partai-partai politik yang ada saat itu antara lain Sarikat Islam, Partai Sosialis Indonesia, Partai Nasional Mahasiswa (PNI), dll. Sarikat Islam merupakan partai yang memiliki massa yang sangat besar saat itu. Akan tetapi, banyaknya anggota partai tersebut tidak diimbangi dengan internalisasi budaya politik yang baik ke seluruh anggotanya. Banyaknya anggota partai itu lebih dikarenakan variabel lainnya yang berpengaruh seperti ikatan keagamaan maupun ketokohan pimpinannya terutama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Begitu juga dengan partai lainnya. Partai-partai lain juga kurang memiliki budaya politik yang baik. Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sjahrir memang dikenal sebagai partai kalangan intelektual. Namun, citra partai itu tidak menjadikan budaya politik partai itu dikatakan baik karena intelektual para pimpinan partainya tidak diiringi dengan budaya politik yang baik sehingga terbukti bahwa partai ini hanya memiliki kader-kader berkualitas di tingkat pimpinannya tetapi tidak memiliki sentuhan politik di lapisan akar rumput. Gambaran lintasan sejarah di atas memberikan suatu analisis tentang masuknya militer dalam dunia politik. Faktor dominan masuknya militer dalam dunia politik adalah budaya politik yang kurang dibangun dengan baik oleh partai-partai politik. Ketidakbecusan kalangan sipil

dalam mengurus negara membuat kalangan militer berinisiatif untuk masuk (intervensi) ke dunia politik. Masuknya militer dalam dunia politik disebut dengan Pretorian.

Pretorian adalah situasi dalam masyarakat yang kalangan militernya dominan sebagai aktor politik.

Beberapa cara seorang perwira militer menjadi pretorian:


Mengancam langsung pemerintah dengan kekuatan militer. Intervensi ke dalam pemerintahan dengan penguasaan otoritas pemerintah dalam bidang kebijakan militer.

Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak faktor pendukung. Secara kultur yang dibangun dalam dunia milter memang menjadikan setiap perwira militer memiliki keunggulan yang dapat dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang dibangun dalam dunia militer juga memberikan semangat juang yang berbeda dibandingkan kalangan sipil. Faktor-faktor pendukung itu antara lain adalah networking yang dibangun oleh setiap perwira cukup baik. Networking itu dibangun dari berbagai momen seperti latihan militer bersama, pendidikan militer bersama, atau hubungan antar pimpinan militer di negara yang berbeda. Perwira tinggi militer yang memiliki jaringan yang kuat dapat melakukan koordinasi bahkan bantuan dukungan jaringannya di negara lain. Selain networking, faktor pendukung lainnya adalah sistem kepemimpinan yang dibangun dalam dunia militer. Setiap perwira militer sudah dilatih kepemimpinannya dalam suatu entitas terkecil sampai memimpin satu angkatan secara keseluruhan. Kultur itu membuat pengalaman seorang perwira militer benar-benar terlatih sejak dini. Selain itu, ada faktor-faktor lain yang juga sangat mempengaruhi kualitas seorang perwira militer yang siap memimpin negara antara lain pendidikan berkualitas yang dididik dengan orang-orang berkualitas bahkan dari kalangan sipil yang memenuhi kriteria terbaik seperti Guru Besar, dsb. Masuknya militer masuk dalam dunia politik membuat kalangan sipil memikirkan untuk melakukan pengontrolan terhadap militer agar tidak terjadi kudeta yang bisa mengancam kekuasaan sipil. Oleh karena itulah dibuat sebuah pemerintahan sipil yang bisa mengontrol militer dengan sebaik-baiknya.

Tiga model kontrol sipil (Eric Nordinger, Soldiers in Politics) antara lain:

Tradisional Liberal Panetrasi 1. Model Tradisional adalah model kontrol sipil di negara monarki. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sangat berpengaruh dalam sistem pemerintahan kerajaan abad ke-17 dan abad ke-18 di Eropa. Hal itu terjadi karena golongan aristokrat Eropa merupakan elit sipil dan juga elit militer. Walaupun kedua golongan elit ini berbeda, akan tetapi dalam kepentingan dan pandangannya hampir sama karena keduanya berasal dari golongan aristokrat. Golongan bangsawan tidak bisa memanfaatkan kedudukan militer mereka untuk menentang raja karena raja masih sangat dihormati sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tindakan menentang raja justru akan melemahkan kedudukan politik, ekonomi, dan sosial mereka yang sangat bergantung kepada raja. Dalam model ini biasanya tidak terjadi konflik antara sipil dan militer. Ketika terjadi konflik, mereka lebih memilih untuk mempertahankan statusnya sebagai sipil atau bangsawan yang memiliki previlege. Dalam model ini, militer dianggap sebagai golongan amatir. Model ini mulai runtuh di Eropa Barat setelah tahun 1800-an ketika pendidikan dan kemahiran dijadikan parameter utama dibandingkan status dan kekayaan warisan. 2. Model Liberal dengan jelas mendasarkan pada diferensiasi tugas dan wewenang sipil dan militer. Militer hanya bertugas menjaga keamanan dan pertahanan negara. Selain itu, militer diberikan kemampuan manajemen militer yang mumpuni. Seluruh kebutuhan militer dipenuhi dengan sebaik-baiknya oleh sipil. Singkat kata, model ini berupaya melakukan depolitisasi semaksimal mungkin terhadap militer. Semua hak militer yang diberikan untuk sipil bukan berarti memberikan kewenangan yang seenaknya kepada sipil untuk melakukan apapun terhadap militer. Dalam hal ini, sipil dituntut untuk memiliki civilian ethic. Ada beberapa etika sipil yang harus dilakukan, antara lain sipil harus menghormati kehormatan militer, keahlian, dan otonomi, serta harus menunjukkan sikap netral. Selain itu, sipil tidak boleh melakukan intervensi ke dalam profesi militer apalagi menyusupkan ide-ide politik bahkan menggunakan militer untuk kepentingan politik tertentu. Model liberal ini sebenarnya memiliki banyak kelebihan, tetapi segalanya bisa bermasalah ketika sipil tidak konsisten dalam setiap etika yang harus dipenuhi. 3. Model Panetrasi adalah suatu model kontrol sipil yang melakukan penebaran ide-ide politik terhadap perwira militer yang masuk dalam partai-partai politik. Dalam hal ini, sipil dan militer adalah satu perangkat ideologi. Model ini hanya bisa diterapkan di suatu negara yang menerapkan sistem partai tunggal. Kontrol sipil terhadap militer dilakukan melalui dua struktur yaitu struktur militer itu sendiri dan struktur partai politik. Militer yang masuk dalam partai politik harus melepaskan semua aturan militernya dan masuk dalam aturan partai politik

sehingga semua tunduk dalam aturan partai. Hal ini membuat tidak dominannya peran militer. Kalaupun ada dominasi militer dalam partai hanya mungkin terjadi sebatas faksi. Model panetrasi ini biasanya diterapkan di negara komunis. Apabila model ini diterapkan, ia akan sangat memperlihatkan supremasi sipil. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, pelaksanaan yang kurang baik akan menimbulkan resiko yang cukup tinggi. Sama seperti model liberal, dalam model panetrasi ini akan berakibat buruk ketika setiap aksi kelompok sipil mengganggu wilayah otonom militer.

You might also like