You are on page 1of 15

KONSEP DASAR

I. Pengertian Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring

merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)

II. Etiologi Urutan tertinggi penderita karsinoma nasofaring adalah suku mongoloid yaitu 2500 kasus baru pertahun. Diduga disebabkan karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146). Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997 hal 460). Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146).

III.

Tanda dan Gejala Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara lain: 1. Gejala nasofaring Adanya epistaksis ringan atau sumbatan hidung.Terkadang gejala belum ada tapi tumor sudah tumbuh karena tumor masih terdapat dibawah mukosa (creeping tumor)

2.

Gangguan pada telinga Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)

3.

Gangguan mata dan syaraf Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik. Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral. Prognosis jelek bila sudah disertai destruksi tulang tengkorak.

4.

Metastasis ke kelenjar leher Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat. Hal inilah yang mendorong pasien untuk berobat. Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti dicina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukositis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun tahun akan menjadi karsinoma nasofaring. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 147 -148).

IV.

Patofisiologi Pada kanker nasofaring ini disebabkan oleh virus Epstein-Barr melalui mediator ikan asin, makanan yang diawetkan (mengandung nitrosamine), kontak dengan zat karsinogen (asap industri, gas kimia) dan juga dapat dikarenakan radang kronis daerah nasofaring. Setelah itu, virus masuk berkembang biak kemudian menyerang bagian telinga dan hidung khususnya. Dengan hidupnya virus EpsteinBarr didaerah nasofaring (dekat telinga dan hidung), membuat sel-sel kanker

berkembang sehingga membuat terjadinya sumbatan atau obstruksi pada saluran tuba eusthacius dan hidung. Sumbatan yang terjadi dapat menyebabkan baik gangguan pendengaran maupun gangguan penghidu, sehingga merupakan gangguan persepsi sensori. Terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan proteinprotein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring. Selain itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam Rusdiana (2006) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer. Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini . Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring. Terdapat 5 stadium pada karsinoma nasofaring yaitu: 1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa disebut nasopharynx in situ 2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing 3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke rongga hidung. Atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher.

4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua sisi leher 5. Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah. Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen dapat mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan terjadinya stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.

V.

Pemeriksaan Penunjang a. Nasofaringoskopi

b. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %. c. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan. d. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus E-B. e. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

(Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 148 - 149).

VI.

Komplikasi Dengan adanya karsinoma nasofaring dapat terjadi metastasis jauh ke tulang, hati, dan paru dengan gejala khas nyeri pada tulang, batuk-batuk, dan gangguan fungsi hati.

VII.

Penatalaksanaan Medis a. Radioterapi merupakan pengobatan utama

b. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik) , pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus. Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-

platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat RADIOSENSITIZER. VIII. Pengkajian a. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara b. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu. c. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan). d. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146) e. Tanda dan gejala : 1) Aktivitas

Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yangmempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas. 2) Sirkulasi

Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung. 3) Integritas ego

Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah. 4) Eliminasi

Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen. 5) Makanan/cairan

Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit. 6) Neurosensori

Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus 7) Nyeri/kenyamanan

Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran 8) Pernapasan

Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok), pemajanan 9) Keamanan

Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit. 10) Seksualitas Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan. 11) Interaksi sosial Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung (Doenges, 2000)

IX.

Diagnosa Keperawatan dan Intervensi 1. Nyeri b.d kompresi / destruksi jaringan saraf

Tujuan : rasa nyeri berkurang sampai dengan hilang

Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri. Intervensi : a. Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi

b. Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan. c. Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik. d. Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol e. Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik. 2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ

sekunder metastase tumor Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan Intervensi : a. Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.

b. Orientasikan pasien terhadap lingkungan c. Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi

d. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur e. f. Bicara dengan gerak mulut yang jelas Bicara pada sisi telinga yang sehat

3.

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual

muntah sekunder kemoterapi radiasi

Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi. Kriteria hasil : a. Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah

b. Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat c. Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab

d. Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan Intervensi : a. Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasien b. Berikan dorongan higiene oral yang sering c. Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan

d. Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran. e. f. Pantau masukan makanan tiap hari. Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)

g. Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat. h. Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan) 4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder

imunosupresi Tujuan : tidak terjadi infeksi Kriteria hasil : a. b. Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.

c.

Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori

Intervensi : a. b. Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi : Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih c. Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi. d. e. f. Tekankan higiene personal Pantau suhu Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)

5.

Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan imunologi,

efek radiasi kemoterapi Tujuan : integritas kulit tetap terjaga Kriteria hasil : Menunjukkan perubahan yang minimal pada kulit dan menghindari trauma pada area kulit yang sakit Intervensi : a. Kaji kulit dengan sering terhadap efek samping kanker

b. Mandikan dengan menggunakan air hangat dan sabun ringan c. Hindari menggosok atau menggaruk area

d. Anjurkan pasien untuk menghindari krim kulit apapun, bedak, salep apapun kecuali diijinkan dokter.

e. f.

Hindarkan pakaian yang ketat pada aea tersebut Oleskan vitamin A dan D pada area tersebut

g. Tinjau ulang efek samping dermatologis yang dicurigai pada kemoterapi.

6.

Resiko tinggi perubahan membran mukosa oral behubungan dengan efek

samping agen kemoterapi radiasi Tujuan : tidak terjadi gangguan pada membran mukosa Kriteria hasil : a. b. c. Menunjukkan mukosa oral yang bersih dan utuh Tidak menunjukkan adanya ulserasi atau infeksi pada rongga mulut Melaporkan tidak adanya nyeri, kesulitan menelan dan dehidrasi

Intervensi : a. b. Kaji kesehatangigi dan hihiene oral secara periodik kaji rongga mulut tiap hari, perhatikan perubahan pada integritas membran mukosa oral c. instruksikan mengenai perubahahn diet misalnya hindari makanan panas atau pedas, anjurkan penggunaan sedotan, mencerna makanan lembut atau diblender. d. e. Pantau dan jelaskan tanda-tanda tentang superinfeksi oral Mulai program higiene oral : gunakan pencuci mulut dari salin hangat, larutan pelarut dari hidrogen peroksida, sikat dengan sikat gigi/benang gigi, pertahankan bibir lembab dengan pelumas bibir. 7. rambut Tujuan : gangguan harga diri teratasi Gangguan harga diri berhubugan dengan efek samping radioterapi: kehilangan

Kriteria hasil : Mengungkapkan perubahan gaya hidup tentang perasaan tidak berdaya, putus asa. Intervensi : a. Tinjau ulang efek samping yang diantisipasi berkenaan dengan pengobatan tertentu b. c. d. e. Dorong diskusi tentang/pecahkan masalah tentang efek kanker Akui kesulitan yang mungkin di alami Evaluasi struktur pendukung yang ada dan digunakan oleh pasien /orang terdekat Beri dukungan emosi untuk pasien/orang terdekat selama tes diagnostik dan fase pengobatan f. 8. Gunakan sentuhan selama interaksi Konstipasi/diare berhubungan dengan iritasi mukosa GI sekunder kemoterapi

Tujuan : gangguan defekasi tidak terjadi Kriteria hasil : Mempertahankan konsistensi atau pola defekasi umum Intervensi : a. b. c. d. Kaji bising usus, gerakan usus termasuk frekuensi, konsistensi. Pantau masukan dna haluaran serta berat badan Dorong masukan cairan adekuat, peningkatan serat diet, latihan Pastikan diet yang tepat; hindari makanan tinggi lemak, makanan serat tinggi, kafein tinggi. e. f. 9. Periksa infeksi bila tidak defekasi selama 3 hari atau distensi abdomen. Berikan cairan IV, agen antidiare, laksatif. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem

hematopoetik

Tujuan : perdarahan dapat teratasi Kriteria hasil : a. b. c. Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi Tidak menunjukkan adanya darah feses, urin atau emesis Tidak menunjukkan perdarahan gusi

Intervensi : a. b. Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit Kaji terhadap perdarahan : petekhie, penurunan Hb Ht, perdarahan dari orifisium tubuh c. Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : gunakan sikat gigi halus, hindari cairan pembilas mulut komersial, hindari makanan yang sulit dikunyah d. Lakukan tindakan meminimalkan perdarahan : hindari mengukur suhu rektal, hindari suntikan IM, lembabkan bibir dengan petrolatum, mempertahankan masukan cairan e. Gunakan pelunak feses atau tingkatkan serat dalam diet.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta

Guyton, Athur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Edisi 9, EGC, Jakarta

Iskandar.N, 1989, Tumor Telinga-Hidung-Tenggorokan, Diagnosis dan Penatalaksanaan, Fakultas Kedokteran Umum, Universitas Indonesia, Jakarta NANDA International, 2001, Nursing Diagnosis Classification 2005 2006, USA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta

Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta

Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN KARSINOMA NASOFARING RUANG THT RSUP Dr. KARIADI SEMARANG

Oleh: MUHAMMAD AHSANI TAQWIM 10.7.028

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIKES WIDYA HUSADA SEMARANG DESEMBER 2012

You might also like