You are on page 1of 11

MEMBANGUN SISTEM HUKUM JAMINAN FIDUSIA DALAM PERSIMPANGAN JALAN

(Analisis Terhadap Ketentuan Kewajiban Pendaftaran Jaminan Fidusia Pasal 22 UU No.42 Tahun 1999)
(BUILDING LEGAL SYSTEM OF FIDUCIARY GUARANTEE IN THE CROSSROAD) (An Analysis To Registration Provision Of Fiduciary Guarantee Article 22 Of Law No. 42 Of 1999)

Suhariningsih
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Jl. Mayjen Haryono 169 Malang, Telp. (0341) 553898 e-mail : rini_fhub@yahoo.com
ABSTRAK Penyerahan hak milik secara fidusia sebagai jaminan (fiduciare eigendomoverdracht tot zakerheid) adalah lembaga jaminan baru atas benda bergerak di samping hak gadai. UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia di Indonesia juga mengatur dan menjelaskan bahwa jaminan fidusia dicirikan sebagai pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan, untuk menjamin pelunasan utang (debitur= pemberi fidusia kepada kreditur = penerima fidusia). Sedangkan barang obyek jaminan tetap penguasaan debitur. Apabila debitur wanprestasi maka kreditur dapat meminta barang yang dikuasai oleh debitur untuk diserahkan kepadanya agar barang dapat dijual untuk pelunasan utangnya. Keberadaan lembaga jaminan fidusia untuk menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Untuk itu perbuatan hukum pendaftaran jaminan fidusia merupakan hal yang penting dan wajib dilakukan oleh penerima fidusia (ps 11 jo ps 13 UU No. 42 Tahun 1999) ke kantor pendaftaran jaminan fidusia. Perusahaan pembiayaan konsumen adalah perusahaan yang mencirikan produk layanannya : melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembiayaan angsuran atau berkala (ps 1 ayat (6) Keppres No. 61 Tahun 1988). Sistem pembiayaan secara angsuran menunjukkan adanya konstruksi hukum perjanjian jual beli yang tidak dibayar secara tunai. Fenomena yang terjadi dalam praktek di masyarakat, perjanjian pembiayaan konsumen dibuat dalam bentuk formulir yang isi perjanjian dibuat baku, berikut perjanjian jaminan fidusia yang menyertainya, namun tidak dibuat dengan akte notaris dan tidak didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia. Ada 3 sub sistem dalam sistem hukum jaminan fidusia yang harus digerakkan secara teratur dalam mencapai tujuan yaitu : perjanjian jual beli (pokok), perjanjian jaminan fidusia (assesoir) dan pendaftaran fidusia. Ternyata sub sistem pendaftaran fidusia diabaikan, akibatnya tidak ada kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak, lebih lanjut itikad baik cenderung dilanggar demikian juga keadilan. Akhirnya tujuan ketertiban tidak tercapai, pelaku usaha mengatur sendirisendiri usahanya. Kata Kunci : Jaminan Fidusia, Sistem Hukum ABSTRACT Submission of fiduciary property as collateral (fiduciare eigendom overdracht zakerheid tot) is the new security institutions of the moving objects in addition to the lien. Act No. 42 of 1999 on Fiduciary Security in Indonesia has also set up and explained that the detailed fiduciary as a transfer of ownership of an object on the basis of trust, to guarantee the repayment of debt (debtor-giver fiduciary to creditors = receiver fiduciary). While security remains the object goods of debtor control. If the debtor defaults, the creditor can ask for goods held by the debtor to be submitted to him for the goods can be sold to repay debts. The existence of fiduciary institutions to ensure legal certainty and be able to provide legal protection for the parties concerned. For that act of registration law fiduciary is important and must be done by the recipient of fiduciary (article 11 jo Article 13 of law No. 42 of 1999) to the registration office fiduciary. Consumer payments company is a company that characterize service products: make payments for consumer goods by installments or periodic financing system (Article 1 Paragraph (6) Presidential Decree No. 61 of 1988) in installment financing system indicates the existence of legal construction and purchase agreement is not paid in cash. Phenomena that occur in practice in the community, consumer financing agreement made in a form that the agreement was made standard, along with the accompanying fiduciary agreement but not made by deed of notary and not registered

110

Kertha Wicaksana Vol. 17 No. 2 Juli 2011

ISSN : 0853-6422

to the registration office fiduciary. The existence of three sub-systems within the legal system fiduciary who must be driven on a regular basis in achieving its objectives, namely: the number and purchase agreement (principal), fiduciary agreement (assesoir) and registration fiduciary. Apparently sub-system pendafaran fiduciary ignored, consequently there is no certainty and legal protection for both parties, further good faith tends to be violated as well as justice. Finally, the purpose of order is not achieved, perlaku businesses manage their own business. Keywords : Fiduciary Guarantee, Legal System

PENDAHULUAN
Sejak lahirnya UU No.42 tahun 1999 tentang Jaminan fidusia, Indonesia telah menambah perbendaharaan UU tentang jaminan, dan telah dapat memenuhi kebutuhan hukum ( Jaminan) yang dapat lebih memacu pembangunan nasional, terutama di bidang ekonomi dan secara khusus dunia usaha. Keberadaan lembaga jaminan fidusia adalah untuk menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan. Untuk itu di pandang perlu adanya perbuatan hukum pendaftaran jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia. Dalam perjalanannya, ternyata banyak persoalan sosial, ekonomi dan hukum yang terjadi terkait penerapan jaminan fidusia oleh perusahan pembiayaan konsumen dalam pelayanan produknya yang terkenal di masyarakat KEGIATAN PEMBIAYAAN KONSUMEN . Lembaga pembiayaan ini memperoleh dasar hukum keberadaannya dengan KEPPRES No. 61 tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan. Perusahaan pembiayaan konsumen (consumers finance company) adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala (pasal 1 ayat 6). Adapun tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988, dan di tegaskan kembali mengenai kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang di cirikan dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen. Sistem pembayaran secara angsuran, menunjukkna adanya konstribusi hukum perjanjian jual beli yang pembayaran harganya dilakukan dengan angsuran, bukan secara tunai ( seperti : pasal 1457 BW) jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang orang ini mencapain sepakat

tentang kebendaan tersebut dan harganya (pasal 1458 BW) Makna yang dapat dipetik adalah terhadap kesepakatan para pihak dalam perjanjian jual beli terjadi saat kesepakatan tercapai, menimbulkan kewajiban untuk melakukan penyerahan barang yang dijual oleh penjual dan membayar harga barang yang telah dibelinya (oleh pembeli). Hak milik atas barang baru beralih setelah ada penyerahan secara riil. Kemudahan dalam jual beli secara angsuran ialah penyerahan barang sudah dilakukan hanya harga/pembayarannya diangsur. Kegiatan pembiayaan konsumen yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan konsumen di Indonesia kebanyakan untuk pembelian sepeda motor (barang bergerak yang terdaftar). Untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan bagi kreditur (perusahaan pembiayaan konsumen) maka biasanya perjanjian pembiayaan konsumen (sebagai perjanjian pokok) diikuti dengan perjanjian jaminan fidusia (sebagai perjanjian tambahan), ditambah perjanjian pemberian kuasa membebankan jaminan fidusia (SKPIJF), surat kuasa khusus (untuk mengasuransikan kendaraan bermotor), dll. Seringkali pendaftaran jaminan fidusia ke kantor pendaftaran fidusia tidak dilakukan oleh pihak penerima jaminan. Dan ini menurut penulis merupakan sebuah pelanggaran terhadap norma hukum yang tertulis dalam UU Fidusia (ps !!). Fenomena tidak mendaftarakan jaminan fidusia yang telah dibuat oleh para pihak, sudah berjalan 12 tahun, dan dibiarkan saja oleh pemerintah, belum ada tindakan nyata, memperbaiki, menambah ketentuan pasal 11 UU Fidusia, atau memberikan sanksi pada pihak kreditur yang tidak melakukan pendaftaran fidusia. Sebagai dukungan kebenaran adanya fenomena tidak mendaftarkan jaminan fidusia oleh kreditur diinformasikan berdasarkan penelitian mahasiswa dalam menulis tugas akhirnya.

111

Suharaningsih : Membangun Sistem Hukum Jaminan FIdusia dalam Persimpangan jalan

Arum Normasari, Penyelesaian Sengketa Klausula Baku (Pengenaan Denda dan Penarikan Barang Jaminan) pada Sewa Beli dengan Obyek Jaminan Kendaraan Bermotor Tahun 2008. Penelitian dilaksanakan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Kediri. Kesimpulan penelitian tersebut : Perjanjian pembiayaan bersama dengan penyerahan hak milik secara fidusia (ini merupakan judul formulir perjanjian yang dibuat oleh pihak PT Adira Finance), di dalamnya tercantum adanya penjaminan yang dituangkan dalam syaratsyarat perjanjian. Perjanjian penjaminan yang dibuat (terintegrasi dalam perjanjian pembiayaan) tidak ditindaklanjuti dengan perbuatan pendaftaran jaminan oleh perusahaan pembiayaan karena harga pembelian barang tidak lebih dari 15 juta rupiah. Klausula baku dapat ditetapkan (tentang denda dan penarikan barang) dinilai memberatkan konsumen.. dan kasus keberatan pihak konsumen membayara denda dan menarik kendaraan yang sudah dibeli tersebut diadukan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Dalam keputusannya, menghukum pihak perusahaan pembiayaan konsumen membayar kembali uang yang telah dibayar konsumen dengan pertimbangan : perjanjian tersebut bertentangan dengan hukum (melanggar asas kebebasan berkontrak yang berkeseimbangan) anatar debitur dan kreditur. Frendi Hendra Pratama, Perkembangan hukum terhadap Perusahaan Finance pada perjanjian Pembiayaan Konsumen bagi Layanan Kredit Kendaraan Bermotor dengan Jaminan Fidusia yang dibuat di bawah tangan, 2010, dalam kesimpulannya: Perusahaan finance dalam membuat perjanjian jaminan fidusia, dibuat secara di bawah tangan (tidak berbentuk akte otentik), padahal UU Fidusia mewajibkan dibuat dengan akta notaris. Alasan mengurangi besarnya biaya administrasi yang dikeluarkan konsumen (biaya pembuatan akta notaris dan pendaftarannya) dibebankan pada pihak konsumen. Ada kebijakan yang diambil oleh pihak perusahaan mengenai : Apabila plafon kredit relatif kecil < 15 juta dan jangka waktu kredit relatif pendek (1-3 tahun) tidak perlu perjanjian jaminan dibuat secara akta notaris. Arif Nurdiyanto, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Debitur Wanprestasi Atas Penyitaan Obyek Jaminan Sepeda Motor tanpa disertai sertifikat Jaminan Fidusia (Studi

di Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia), 2010, dalam kesimpulannya : Perusahaan finance dalam membuat perjanjian jaminan fidusia, dibuat secara di bawah tangan (tidak berbentuk akte otentik), padahal UU Fidusia mewajibkan dibuat dengan akta notaris. Alasan mengurangi besarnya biaya administrasi yang dikeluarkan konsumen (biaya pembuatan akta notaris dan pendaftarannya) dibebankan pada pihak konsumen. Ada kebijakan yang diambil oleh pihak perusahaan mengenai : Apabila plafon kredit relatif kecil <15 juta dan jangka waktu kredit relatif pendek (13 tahun) tidak perlu perjanjian jaminan dibuat secara akta notaris. Arif Nurdiyanto, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Dibitur Wanprestasi Atas Penyitaan Obyek Jaminan Sepeda Motor tanpa disertai sertifikat Jaminan Fidusia (Studi di Lambang Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia), 2010, dalam kesimpulannya : Ketika pihak debitur tidak dapat membayar angsuran dalam waktu tertentu (wanprestasi) telah ditentukan dalam persyaratan perjanjian pembiayaan konsumen ternetu adalah menarik kembali sepeda motor yang dipakai sebagai obyek jaminan fidusia. Hal ini dianggap melanggar UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen tentang klausula baku. Perusahaan pembiayaan tidak melaksanakan pendaftaran jaminan fidusia yang diwajibkan oleh ps 11 UU No. 42 Tahun 1999. Berdasarkan PP No. 87 Tahun 2000 untuk obyek jaminan sepeda motor yang nilai penjaminannya sampai 50 juta dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,- per akte. Dalam praktek lebih dari itu. Penelitian ini hendak menganalisis dari perspektif hukum dalam hal ini terhadap bangunan sistem hukum jaminan fidusia (Indonesia) yang hendak memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum baik bagi debitur maupun kreditur, yang ternyata dalam persimpangan jalan artinya : berhenti, tidak dapat berjalan karena banyak hambatan yang terjadi oleh sebab itu, permasalahan pokok yang perlu dikaji adalah : Bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan dari fenomena tidak mendaftarkan jaminan fidusia oleh kreditur / perusahaan pembiayaan ke kantor pendaftaran fidusia terhadap berjalannya sistem hukum ? Kerugian apa saja yang dapat ditimbulkan dari adanya fenomena tidak mendaftarkan jaminan fidusia ke kantor pendaftaran fidusia?

112

Kertha Wicaksana Vol. 17 No. 2 Juli 2011

ISSN : 0853-6422

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif yaitu hendak meneliti tingkat konsistensi pasal-pasal dalam UU No. 42 Tahun 1999; keterkaitan dengan PP No. 61 Tahun 1988 Tentang Pembiayaan Konsumen; PP No. 20 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Fidusia dan Keputusan Menteri Keuangan No. 84/KMK/ .012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan Dari Bahan hukum primer tersebut di atas dilengkapi bahan hukum sekunder : dokumen/ formulir-formulir perjanjian pembiayaan, formulir perjanjian jaminan fidusia, perjanjian pemberian kuasa,dsb.,bahkan perjanjian pemberian kuasa pembebanan jaminan fidusia juga telah melengkapi keberadaan perjanjian pembiayaan konsumen. Adapun analisis bahan hukum dulakukan dengan, pertama, melakukan pengelompokan peraturan perundang-undangan yang setara; peraturanperaturan dalam hirarki di bawahnya. Kemudian dianalisis menggunakan logika induktif deduktif dengan menggunakan teori kepastian dan perlindungan hukum, teori manfaat dan teori keadilan. Untuk mengetahui bekerjanya sistem hukum dilakukan analisis terhadap tiga komponen yang ada dalam sistem hukum yaitu struktur, substansi dan budaya hukum.

PEMBAHASAN
Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dalam Bentuk Formulir dengan Klausula Baku Di dalamnya Sudah diketahui oleh masyarakat luas bahwa setiap perjanjian jual beli barang bergerak (angsuran sewa beli) yang dibuat oleh pihak bank, non bank / perusahaan pembiayaan konsumen selalu dibuat dalam bentuk baku. Sutan Remi Syahdini menyatakan perjanjian baku : perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang merundingkan atau meminta perubahan. (Sutan Remy Syahdini, 1993 : 66) Selanjutnya Miriam Darus Badrul Zaman menyatakan : Perjanjian Baku adalah perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan perjanjian tersebut dituangkan dalam bentuk formulir. (Mariam Darus Badrul Zaman, 1991 : 47-48)

Hal itu dibenarkan dalam dunia usaha karena memang ada dasar hukum yang memungkinkan para pihak dalam dunia usaha diberi kebebasan membuat perjanjian baik bentuk dan isinya sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum dan harus dilaksanakan dengan itikad baik (ps 1338 BW). Namun dalam perjanjian baku itu diketahui adanya kedudukan yang tidak seimbang antara pihak pelaku usaha (Kreditur) dengan pihak konsumen (debitur). Isi perjanjian senantiasa memuat ketentuan yang berat sebelah, pihak yang secara ekonomi lebih kuat selalu menentukan klausula-klausula tertentu yang tidak dapat diubah oleh pihak konsumen. Pihak konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan. Dalam perjalanannya klausula baku yang dituangkan dalam perjanjian baku itu dirasakan tidak adil oleh pihak konsumen. Misal : dalam perjanjian baku memuat 5 bagian penting : Pertama, identitas para pihak dalam perjanjian pembiayaan bersama yang diawali dengan kalimat perjanjian pembiayaan bersama dengan penyerahan hak milik secara fidusia, dst. Kedua, pasal memuat fasilitas pembiayaan bersama yaitu pasal yang menjelaskan adanya pemberian fasilitas pembiayaan dari kreditur kepada debitur. Ketiga, Hal jaminan ditentukan sebagai berikut : untuk menjamin pembayaran kembali seluruh kewajiban debitur kepada kreditur berikut bunga, denda, provisi serta biaya-biaya lain yang mungkin timbul berdasarkan perjanjian debitur/dan atau penjamin menjaminkan barang jaminan berupa kendaraan bermotor dengan rincian.dst Keempat, Hal lain-lain isinya persyaratanpersyaratan yang dituangkan dalam lembar bagian belakang perjanjian ini (7 butir) Kelima, pada lembar persyaratan terdapat 16 butir yang ditulis lebih kecil dari lembar perjanjian. Butir-butir dalam bagian maupun dalam persyaratan cukup membuat siapapun yang membaca sulit memahami, disamping ukuran huruf yang sangat kecil nyaris tak terbaca. Banyak keluhan masyarakat yang didengar oleh pemerintah, banyak tulisan lewat media Koran, elektronik bahkan dunia akademik menyuarakan keluhan konsumen yang merasa dirugikan oleh perilaku pelaku usaha. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) No. 8 Tahun 1999 menyatakan :

113

Suharaningsih : Membangun Sistem Hukum Jaminan FIdusia dalam Persimpangan jalan

Klausula baku yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha : Pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang telah atau bentuknya sulit dilihat atau tidak dapat dibaca dengan jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Lebih jelas lagi dalam UU Perlindungan Konsumen menyatakan : Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen perjanjian yang memenuhi larangan dari klausula baku tersebut dinyatakan batal demi hukum. Dari penyelesaian sengketa yang ditangani oleh lembaga perlindungan konsumen terkait penyitaan obyek jaminan sepeda motor yang jaminan fidusianya tidak didaftarkan sehingga pihak pelaku usaha tidak mempunyai sertifikat jaminan fidusia, selalu diselesaikan dengan caracara litigasi dan non litigasi : mediasi, konsolidasi, arbitrase, advokasi. Berdasarkan hasil penelitian (Arif Nurdiyanto) diperoleh informasi bahwa selama bulan Januari 2008 sampai dengan Maret 2010 terdapat 378 kasus pengaduan ke LPKNI. Namun tidak satupun yang mempermasalahkan bentuk perjanjian pembiayaan yang ditulis dengan huruf yang sulit dibaca, demikian pula memuat klausula larangan yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, yang berakibat batal demi hukum perjanjian tersebut. (Arif Nurdiyanto, 2010). Fenomena ini menurut penulis merupakan bentuk pembiaran, pengabaian dari para pelaku usaha, pihak konsumen/ masyarakat, pemerintah yang tersangkut/terlibat dalam perkembangan maraknya perjanjian pembiayaan konsumen dalam bentuk baku yang cenderung merugikan masyarakat luas bahkan merugikan pihakpelaku usaha sendiri. Pemerintah tidak melakukan tindakan pengawasan terhadap bentuk dan isi perjanjian baku yang memuat klausula yang dilarang oleh

UU Perlindungan Konsumen (sebagai wujud perlindungan konsumen). Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya perjanjian baku yang dibuat (seperti dijelaskan uraian tersebut di atas). Secara hukum ketentuan pasal 18 UU No. 9 Tahun 1999 tidak efektif dalam penegakkannya. Penulis menyimpulkan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagai berikut : dalam pergaulan hidup manusia membutuhkan adanya hidup secara teratur. Hasrat hidup teratur dipunyai manusia sejak lahir, berkembang dalam pergaulan yang lebih luas dengan sesama manusia lainnya. Keteraturan perlu ada perangkat patokan agar tidak terjadi pertentangan kepentingan maka muncullah apa yang disebut nilai pantas, tidak pantas selanjutnya dituangkan dalam suatu norma hukum. Penegakan hukum sebagai suatu proses mempertemukan peraturan dengan pola perilaku. Apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan dengan perilaku yang mengganggu ketentraman pergaulan harus ada tindakan tegas dari pemerintah yang bersifat teguran, untuk memperbaiki perilaku manusia yang tidak menaati peraturan-peraturan yang ada (mengabaikan). Demikian juga dengan fenomena ketidakadilan dan ketidaktaatan dalam membuat perjanjian baku yang terungkap dalam perjanjian baku pada umumnya yang ditulis dengan huruf kecil-kecil yang nyaris tak terbaca, berisi klausula yang dilarang oleh UU (Perlindungan Konsumen). Perjanjian Jaminan Fidusia Dalam Bentuk Akta Di Bawah Tangan Telah dijelaskan dalam uraian pendahuluan bahwa lahirnya jaminan fidusia sebagai wujud jawaban kebutuhan perkembangan dunia usaha (tingginya persaingan, lemahnya daya beli masyarakat),sehingga penjualan produk harus dijual dengan cara mengangsur. Konsekwensinya harus dicarikan formula hukum baru dalam member payung perkembangan usaha seperti tersebut. Sehingga jadilah seperti kenyataan yang ada saat ini yaitu jual beli dengan angsuran diikuti perjanjian jaminan fidusia yang membolehkan barang obyek jaminan berada dalam kekuasaan orang berutang (debitur). Sedangkan yang diserahkan secara yuridisnya adalah hak kepemilikan atas barang yang telah dibeli dengan cara

114

Kertha Wicaksana Vol. 17 No. 2 Juli 2011

ISSN : 0853-6422

mengangsur tersebut. Jadi perlindungan hukum orang berpiutang (pelaku usaha) lemah karena secara riil tidak menguasai barang. Baru kedudukan orang berpiutang menjadi jelas dan mendapat perlindungan hukum ketika perjanjian fidusia didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia (ps 11 UU Fidusia No. 42 Tahun 1999). Di lain pihak hukum gadai dalam usaha memberikan perlindungan hukum bagi pihak penerima gadai (pihak berpiutang) haruslah dilakukan penyerahan barang dalam penguasaan penerima gadai (pemberi pinjaman uang) sebagai jaminan utang bagi pemberi gadai, artinya si pemberi gadai memberi kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya (ps 1150 BW). Sistem Hukum Jaminan Gadai Lahirnya gadai dalam system hukum jaminan menurut BW adalah konsekwensi

pembedaan benda atas benda tetap dan bergerak. Sifat kebendaannya dapat dijumpai dalam ps 528 BW : Atas suatu kebendaan seorang dapat mempunyai baik suatu kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak waris, baik hak pakai hasil, baik hak pengabdian tanah, baik hak gadai maupun hipotik. Tentu saja yang menjadi rujukan penulis dalam hal ini tentang hak gadai untuk menjelaskan adanya jaminan bagi pemegang gadai bahwa di kemudian hari piutangnya pasti dibayar dari nilai barang jaminan tersebut. Selanjutnya ketika benda gadai berada dalam penguasaan pemegang gadai, harus ada hubungan nyata antara benda dan pemegang gadai yaitu harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai. Rationya adalah hak kebendaan (yang dimiliki pemberi gadai) beralih kepada penerima gadai sebagai publikasi untuk umum. Demikian juga hak gadai hapus apabila barang gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai (ps 1152 ayat (3) BW).

Karakteristik Jaminan Gadai dan Jaminan Fidusia


Jaminan Gadai (ps 1150 1157 BW) a. b. c. d. e. Untuk benda bergerak dan tidak terdaftar Benda gadai dikuasaipemegang gadai (inbezittelling) Hak menjual sendiri benda gadai (recht von eigenmachtige verkoop) Hak yang didahulukan (ps 1133 jo 1150 BW) Hak Accessoir Jaminan Fidusia (UU No. 42 Tahun 1992) a. Untuk benda bergerak berwujud dan terdaftar, benda bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan Benda obyek fidusia tetap dalm penguasaan pemberi fidusia Penerima fidusia mempunyai kedudukan yang diutamakan terhadap kreditor lainnya Fidusia adalah pengalihan kepemilikan suatu atas dasar kepercayaan Hak accessoir

b. c. d.

e.

Sesuai ketentuan pasal 1133 BW menyatakan : Hal untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa dari gadai dan hipotik. Artinya kedudukan untuk didahulukan pembayaran utang itu telah diperoleh si pemegang gadai (si berpiutang) dibanding kreditor-kreditor lainnya. Inilah yang dikenal dengan sebutan kreditur preference. Kepada kreditur preference ini barhak menjual benda jaminan atas kekuasaannya sendiri (jika tidak diperjanjikan lain), apabila debitur (si berutang) si pemberi gadai cedera janji setelah lewat waktu yang ditentukan. Menjual dengan kekuasaan sendiri dikenal

dengan istilah parate eksekusi artinya menjual benda obyek jaminan yang telah berada dalam kekuasaan kreditur untuk mengambil pelunasan piutang dari kekayaan si debitur tanpa memiliki eksekutorial title. Sistem Hukum Jaminan Fidusia Di Indonesia, system hukum jaminan fidusia dibangun ditata melalui UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu terdiri dari Bab I Ketentuan Umum, Bab II Ruang Lingkup, Bab III Pembebanan, Pendaftaran, Bab IV Eksekusi Jaminan Fidusia, Bab V Hak Mendahului, Bab VI Ketentuan

115

Suharaningsih : Membangun Sistem Hukum Jaminan FIdusia dalam Persimpangan jalan

Pidana, Bab VII Ketentuan Peralihan, Bab VIII Ketentuan Penutup. Sedangkan yang mendapat perhatian dalam penulisan ini adalah Bab II yaitu tentang pembebanan, pendaftaran, pengalihan dan hapusnya jaminan fidusia. Hal pembebanan Jaminan Fidusia (pasal 4 10 UU Jaminan Fidusia) menyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Dalam penjelasan menyatakan : Suatu prestasi yang dimaksud adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Menurut penulis hal ini menunjukkan bahwa perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian tambahan yang memayungi perjanjian pokoknya yaitu jual beli barang dengan angsuran. Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akte notaris, dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia (ps 5 ayat (1)). Ketentuan pasal 5 ayat (1) inilah yang dalam praktek tidak dibuat dengan akta notaristetapi akta di bawah tangan yang telah dibakukan oleh perusahaan pembiayaan konsumen. Padahal jika diperhatikan bunyi ketentuannya dibuat dengan akta notaris, tidak dijumpai alternative lainnya yang dibolehkan oleh undang-undang. Sekali lagi penulis menyebutnya telah terjadi fenomena pengabaian ketentuan undangundang yang mewajibkan pada para pihak untuk melaksanakan pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaries. Sebenarnya pembuatan akta jaminan fidusia (secara notariil) dimaksudkan agar perbuatan hukum para pihak yang diselenggarakan melalui pejabat yang berwenang dalam hal ini perjanjian jaminan fidusia mempunyai jaminan kepastian, ketertiban, perlindungan hukum. Notaries merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat. Seperti dijelaskan dalam ilmu hukum bahwa fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Tujuan hukum dijelaskan dengan 2 teori yang terkenal yaitu teori etis dan teori utilities. Teori etis menyatakan bahwa tujuan hukum semat-mata mewujudkan keadilan artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya. Aristoteles mengajarkan 2 macam keadilan yaitu keadilan distributive dan keadilan komulatif.

Penulis memilih keadilan yang distributive dalam mejelaskan pengaturan/ penjabaran perihal makna perjanjian pembebanan jaminan fidusia, dimana pemberi jaminan fidusia (pemegang hak kepemilikan atas benda yang diserahkan pada penerima jaminan fidusia secara kepercayaan) mendapatkan imbalan kepercayaan juga dari penerima fidusia agar dapat menguasai benda jaminan untuk dipergunakan. Di sinilah letak keseimbangan kedudukan para pihak yang mencerminkan adanya keadilan yang hendak dicapai oleh para pihak. Jaminan kepastian dan perlindungan tersebut apabila diselenggarakan atau dibuat oleh notaris akan jelas karena jika ada perilaku pihak-pihak yang tidak baik mengingkari isi ketentuan dalam akte, proses pemberian sanksi tidak sulit, tidak perlu menyelenggarakan sarana hukum lain, tindakan kekerasan melalui pelaku-pelaku pemaksa penarikan kendaraan dan sebagainya bentuk pemaksaan di luar ketentuan yang diwajibkan oleh undang-undang. Pendaftaran Jaminan Fidusia Dalam Sistem Hukum Jaminan Fidusia Pendaftaran jaminan fidusia merupakan rangkaian perbuatan hukum yang wajib dilakukan oleh pihak penerima fidusia (pelaku usaha), setelah pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akte notaris. Pasal 11 UU No. 42 Tahun 1999 menyatakan :Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan .Dalam penjelasan menyatakan : pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia. Pendaftaran mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun diluar wilayah Negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Dari penjelasan pasal 11 ayat (1) dapat dimengerti bahwa tujuannya agar pihak kreditur (pelaku usaha) mendapat kedudukan preference, jika ada wanprestasi dari pihak pemberi jaminan fidusia sekaligus melakukan pelanggaran atas klausula yang telah ditetapkan terkait dengan mengalihkan, menukar, menjual,dsb dalam perjanjian pembiayaan konsumen. Justru hal penting ini seringkali diabaikan oleh beberapa perusahaan pembiayaan konsumen, mereka tidak mendaftarkan perjanjian fidusia yang dibuat para pihak.

116

Kertha Wicaksana Vol. 17 No. 2 Juli 2011

ISSN : 0853-6422

Seperti telah diuraikan pada bab pendahuluan, banyak factor yang menyebabkan tidak melakukan pendaftaran. Itu artinya ketentuan yang mewajibkan adanya pendaftaran perlu dikritisi kembali, baik dari kalangan akademisi, pemerintah, LSM, pelaku usaha,dsb, untuk selanjutnya dilakukan koreksi, pembetulan, penambahan pasal UU Fidusia. Kemudian lebih dari itu unsur pengawasan sangat penting diadakan pada penegakan hukum. Fenomena tidak mendaftarkan benda jaminan fidusia sudah menjadi perilaku social yang sudah tidak asing lagi di masyarakat (Indonesia). Sejumlah pasal yang menjelaskan mengenai keberadaan kantor pendaftaran fidusia nyaris tidak punya arti apa-apa (ps 12 ayat (1), (2), (3), (4)). Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia (ps 13 ayat 1,2,3,4) merupakan aturan lanjutan terkait adanya pendaftaran jaminan fidusia juga tidak punya kekuatan apa-apa. Selanjutnya pasal 14 menyatakan : Ayat 1 : Kantor pendaftaran fidusia menerbitkan dan menyerah-kan kepada penerima fidusia sertifikat jaminan fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan per-mohonan pendaftaran. Ayat 2 : Sertifikat fidusia yang merupakan salinan dari buku daftar fidusia memuat catatan tentang hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (2) Ayat 3 : Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Hal penting yang perlu dipahami oleh penerima fidusia yaitu tentang terbitnya sertifikat fidusia sebagai bukti otentik adanya hak jaminan yang dipunyai oleh penerima fidusia sekaligus alat bukti yang memposisikan bahwa penerima fidusia sebagai kreditur preference yang mempunyai hak untuk didahulukan pembayaran piutangnya. Juga kedudukan preference membebaskan benda jaminan dari budel pailit seorang debitur. Sertifikat jaminan fidusia (ps 14 ayat (1)) dicantumkan kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sertifikat itu mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila debitur cedera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang

menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (ps 15 ayat 1,2,3). Jadi dari uraian mengenai pendaftaran jaminan fidusia yang terangkum dalam pasalpasal undang-undang fidusia sudah memberikan penjelasan pentingnya pendaftaran jaminan fidusia oleh penerima jaminan fidusia (pelaku usaha). Namun persoalan besar yang melemahkan semua ketentuan pendaftaran fidusia adalah bagaimana jika benda jaminan yang ada dalam penguasaan pemberi fidusia sudah ada dalam penguasaan pihak ketiga, rusak karena kecelakaan, hilang, dsb. Kondisi tersebut menafikan kedudukan preference pelaku usaha. Untuk apa punya sertifikat fidusia ketika debitur wanprestasi ternyata obyek jaminan sudah tidak ada lagi dalam penguasaannya (debitur) karena berbagai hal seperti tersebut di atas. Di sinilah letak kelemahan jaminan fidusia sehingga perilaku manusia cenderung tidak mau mentaati peraturan yang ada karena kepentingannya tidak terlindungi dalam hal ini piutangnya tidak dapat ditagih/dibayar dengan penjualan benda jaminan yang diserahkan secara kepercayaan oleh pemberi fidusia kepada penerima fidusia (pelaku usaha). Ada lagi kasus-kasus penarikan kembali kendaraan bermotor secara paksa tanpa memperhitungkan pembayaran yang telah dilakukan dalam kurun waktu terdahulu oleh pemberi fidusia. Tentunya hal seperti itu sangat merugikan pihak pemberi fidusia yang wanprestasi yang cara penyelesaiannya dengan tindakan-tindakan yang tidak adil. Contoh kasus-kasus yang terjadi itu menunjukkan betapa terganggunya pergaulan di tengah masyarakat karena kepercayaan yang menjadi andalan dalam dunia bisnis sudah semakin tipis. Sistem Hukum Jaminan Fidusia Dalam Persimpangan Jalan Sesuai dengan judul yang ditetapkan, penulis hendak melakukan analisis hukum terkait keberadaan sub sistem hukum jaminan fidusia dalam sistem hukum jaminan nasional. Di Indonesia sistem hukum nasional (Indonesia) dapat diketahui dari tata hukumnya. Hukum yang berlaku pada waktu tertentu dalam suatu wilayah negara tertentu disebut hukum positif (ius constitutum). Hukum positif Indonesia terdiri dari hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Hukum yang tertulis adalah undang-undang dan

117

Suharaningsih : Membangun Sistem Hukum Jaminan FIdusia dalam Persimpangan jalan

peraturan-peraturan tertulis lainnya yang berlaku di Indonesia, misalnya : UUD 1945 yang sudah mengalami perubahan adalah hukum dasar tertulis; UUPA No. 5 Tahun 1960, UU No. 42 Tahun 1999; UU Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996,dsb. Hukum tidak tertulis adalah hukum kebiasaan dan hukum adat, misalnya jual beli secara angsuran, sewa beli. Seiring dengan berjalannya waktu, tata urutan peraturan perundang-undangan mengalami perubahan dan terakhir dengan dikeluarkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembenrukan Peraturan Perundang-undangan. Jenis hierarki yang diatur adalah sebagai berikut : Muchsin, 2005 : 18 - 19). UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis di negara Republik Indonesia, memuat dasar-dasar dan garis-garis besar hukum dalam penyelenggaraan Negara. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dibuat oleh DPR untuk melaksanakan UUD 1945. Peraturan Pemerintah dibuat oleh pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang Peraturan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh presiden untuk menajalankan fungsi dan tugasnya dalam pengaturan pelaksanaan administrasi pemerintah. Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Jadi pada dasarnya hukum di Indonesia dibangun dalam sebuah sistem hukum nasional yang akan mengatur perjalanan bangsa Indonesia. UUD 1945 sebagai dasar negara telah memberikan arahan yang mendasar bagaimana seharusnya hukum dalam pola pikir wawasan nusantara merupakan satu kesatuan hukum dalam arti hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Untuk lebih memberikan gambaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, seperti dijelaskan oleh Fuler dalam bukunya yang berjudul The Morality Of Law (1971) bahwa kumpulan peraturan-peraturan hukum dalam masyarakat baru dapat dikatakan sebagai suatu sistem hukum jika peraturan-peraturan hukum tersebut memenuhi 8 (delapan) asas yang dinamakan Principles of Legality, yaitu: (Muchsin, Ibid : 23): Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, tidak boleh mengandung sekedar keputusan ad hoc

Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan Peraturan-peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan organisasi kehilangan orientasi Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari Subekti (dalam Muchsin,Ibid:22), mengartikan sistem sebagai suatu sususnan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai tujuan. Sedangkan Mariam Darus Badrul Zaman (dalam Muchsin,Ibid) memberikan pengertian sistem sebagai suatu kumpulan asas-asas yang terpadu yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum. Merujuk pada pendapat para ahli tersebut di atas, penulis hendak menempatkan UU No. 42 Tahun 1999 sebagai produk lembaga legislatif dalam rangka melaksanakan UUD 1945 khususnya pasal 33 yang secara khusus dalam menimbang : Dijelaskan pada intinya; untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar bagi dunia usaha atas tersedianya dan jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan, dipandang perlu ada peraturan yang mengatur secara lengkap mengenai jaminan fidusia sebagai suatu kebutuhan hukum, untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan Jadi kelahiran UU No. 42 Tahun 1999 LN tahun 1999 no. 168 telah sesuai dengan teori jenjang norma yang dianut oleh Indonesia, yang dipertegas dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian agar sebuah UU dapat dilaksanakan maka harus ada peraturan pemerintah atau peraturan pelaksanaan atas UU yang baru dilahirkan, namun dalam kenyataannya peraturan pemerintah yang lahir kemudian adalah PP No. 86 tahun 2000 tentang Tata Cara

118

Kertha Wicaksana Vol. 17 No. 2 Juli 2011

ISSN : 0853-6422

Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Dijelaskan dalam menimbang, bahwa untuk melaksanakan pasal 5 ayat (2) dan pasal 13 ayat (4) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia..dst.. Jadi betapa pentingnya tahapan-tahapan perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh pemberi fidusia dan penerima sebagai pihak pemilik benda yang hendak dipakai sebagai jaminan utang; yaitu disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) : Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akte notaris. Dalam praktek sehari-hari banyak yang tidak dibuat dengan akte notaris, yang memprihatinkan lagi adalah hal mendaftarkan jaminan fidusia yang harus dilakukan oleh penerima fidusia banyak kali tidak dilakukan (sejak tahun 2000 sekarang). Mengapa terjadi keengganan mendaftarkan jaminan fidusia? Apakah di masyarakat tidak terjadi ketimpangan / terusiknya ketidakpastian hukum dan rasa keadilan? Sebenarnya kehidupan masyarakat telah terganggu ketentramannya dengan adanya perilaku-perilaku melanggar peraturan dari pihak-pihak tertentu, ditambah tidak ada sanksi yang diberikan oleh pemerintah terhadap terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu tersebut serta tidak adanya pengawasan dari lembaga pengawas yang diadakan untuk itu. Ada sebuah asas dalam perjanjian (di lapangan harta kekayaan) yaitu asas Pacta Sunt servanda, dimana setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik. Lembaga pembiayaan diadakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyediakan dana untuk pembelian barang-barang kebutuhan (usaha ataupun konsumsi) secara angsuran. Dalam kegiatan ini yang dibangun adalah kepercayaan dan itikad baik dari para pihak yang berjanji. Kepercayaan sangat dibutuhkan dalam pergaulan di dunia usaha. Demikian juga dengan itikad baik dari setiap orang yang terikat di dalamnya. Dua asas tersebut harus diwujudnyatakan dalam perilaku konkret. Teks-teks hukum (UU tertulis) ternyata tidak dapat sepenuhnya dipercaya sebagai

representasi kehidupan hukum, karena ternyata ketika teks-teks hukum diundangkan untuk dilaksanakan, tidak direspon secara serta merta oleh masyarakat untuk patuh, taat sesuai bunyi undang-undang karena memang substansi peraturan dalam pasal-pasal kadangkadang menimbulkan multitafsir, tidak cocok dengan hati nurani, terlalu rumit, susah dimengerti untuk dapat dilaksanakan. Fakta riil di masyarakat membuktikan bahwa sistem hukum yang menurut asalnya sebuah keteraturan yang baik dari suatu tatanan aturan yang harapannya setiap orang akan mematuhinya, ternyata pula fenomena yang berkembang malah sebaliknya. Banyak orang melawan arus jalannya sistem hukum ketika kepentingan, keselamatannya terganggu oleh sistem hukum yang ada. SIMPULAN Ada 3 (tiga) sub sistem besar dalam sistem hukum jaminan yang harus dapat digerakkan secara teratur dalam mencapai tujuan yaitu : sub sistem perjanjian (pokok), sub sistem perjanjian jaminan fidusia (assesoir), sub sistem pendaftaran jaminan fidusia. Ternyata hal pendaftaran jaminan fidusia diabaikan sehingga jalannya sistem menjadi mandeg dan tidak punya makna, bahkan tidak bermanfaat bagi para pihak yang berkepentingan. Setiap orang dalam melakukan usaha/kegiatan bisnis, para pelaku usaha mengatur hubungan hukumnya disesuaikan berdasarkan kepentingan masing-masing yang kadang-kadang mengabaikan itikad baik dan terjadi ketidakadilan, misalnya penarikan kembali kendaraan bermotor yang berada dalam penguasaan pembeli (dalam angsuran). Akhirnya tujuan ketertiban tidak tercapai, kepastian dan perlindungan hukum tidak terwujud. Perlu ada tambahan pasal yang mengatur pengenaan sanksi bagi pihak-pihak yang tidak melakukan pendaftaran jaminan fidusia pada UU No. 42 Tahun 1999. Perlu dibentuk lembaga pengawas yang mengawasi pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen yang menyertakan perjanjian jaminan fidusia dalam formulir kredit. Pejabat pendaftaran jaminan fidusia perlu ada di setiap Kota / kabupaten.

119

Suharaningsih : Membangun Sistem Hukum Jaminan FIdusia dalam Persimpangan jalan

DAFTAR PUSTAKA Badrulzaman, Mariam Darus, 1991. Bab-Bab Tentang Creditverband Gadai dan Fidusia. Bandung : PT Citra Aditya Bakti. Muchsin, 2005. Ikhtisar Hukum Indonesia, Setelah Perubahan Keempat UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta Pusat : Penerbit Iblam. , 2006. Ikhtisar Ilmu Hukum. Jakarta Pusat: Penerbit Iblam. Rahardjo, Satjipto, 2009. Hukum Dan Perilaku, Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik. Jakarta: Kompas. Salim HS, 2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Subekti,1990, Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermosa. , 1991. Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Undang Undang Burgelijk Wetboek Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan pemerintah no. 26 Tahun 1999 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada departemen Kehakiman. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 448/KMK 017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan Skripsi Arif Nurdiyanto,2011. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Debitur Wanprestasi Atas Penyitaan Objek Jaminan Sepeda Motor Tanpa Disertai Sertifikat Jaminan Fidusia (Studi di Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia). Arum Normasari, 2008. Penyelesaian Sengketa klausula Baku (Pengenaan Denda dan Penarikan Barang Jaminan) pada Sewa Beli dengan Objek Jaminan Kendaraan Bermotor (Studi di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Kediri).

120

You might also like