You are on page 1of 6

Antara Pondok Modern Dan Pondok Salaf

Oleh : Munir Abdillah ** Pukul 17.00 tepat, bunyi bel berdentang disuatu pondok yang terletak di pinggiran desa di Ponorogo. Kawanan santri lari berbondong-bondong diawasi oleh beberapa kakak kelasnya laksana harimau yang siap menerkam siapa saja yang terlambat pergi ke masjid sore itu. Tidak berapa lama speaker masjid mulai menyenandungkan suara ayat-ayat ilahi yang dibaca live oleh seorang santri dengan suara merdu. Dari kejauhan santri-santri yang memakai jas berlari-lari mengikuti santri akhir yang mengendarai sepeda onta. Mereka berebut absent yang dibawa oleh santri akhir pengendara sepeda. Teriakan "kelas B, kelas C, sampai seterusnya bertalu-talu. Beberapa santri memakai jas yang masih sibuk mencari kelas mereka untuk menandatangani absensi. Mereka berebut, mendesak, mendorong agar waktu yang diberikan untuk absen tidak habis. Disisi lain, sebuah pondok megah dengan ribuan santri terlihat ramai dengan santri yang masih berolahraga sore. Beberapa dari mereka mengenakan sarung dengan sesekali melorot karena berupaya memasukkan bola ke gawang. Jam sudah menunjukkan pukul 17.30 tapi pertandingan sepak bola antar kamar belum juga selesai. Baru setelah suara tarhim menggema dari salon masjid, mereka membubarkan diri untuk mandi. Antrian panjangpun terjadi. Tak terasa adzan masjid sudah selesai dikumandangkan, tapi antrian belum kunjung habis. Kamar mandi mulai sepi saat sholat magrib berjama'ah telah usai. Beberapa santri yang terlambat jama'ah segera sholat dikamarnya masing-masing. Inilah paradigma sehari-hari yang dirindukan oleh alumninya. Banyak lagi paradigma seputar pesantren yang perlu dikaji secara mendalam. Anak kecil baru lulus SD sudah harus jauh dari rumah dan orang tua, dia harus memulai mengurus diri sendiri sejak kecil. Nyuci sendiri, makan tidak dilayani, jika barang kebutuhan habis harus beli sendiri. Susah memang, tapi inilah pendidikan. Dalam dunia pesantren pendidikan mental dan akhlak lebih diutamakan ketimbang pendidikan fikir. Walaupun sekarang sudah

mulai banyak pesantren yang menggabungkan unsur keduanya. Karena pendidikan mental dan akhlak lebih menjamin kearah positif dari pada fikir. Bukti konkritnya, koruptor itu juga orang pintar tapi bobrok akhlaknya. Jadi wajar jika dikatakan, pesantren adalah benteng bangsa. Karena setiap tahun pesantren bisa melahirkan ribuan alumninya yang langsung bisa terjun di masyarakat. Orientasi pendidikan bukan untuk jadi kaya atau pejabat, tapi lebih kepada kemasyarakatan dan penyebaran ilmu. Ironisnya, pendidikan pesantren kurang diangkat dan kurang mendapat tempat dihati masyarakat. Padahal tokoh sekelas Gus Dur, Hidayat Nur Wahid, Nur Cholis Majid, Din Syamsudin, Hasyim Muzadi dan yang lainnya adalah produk cetakan pesantren. Inilah salah satu yang menjadi sebab timbulnya kebobrokan moral bangsa. Lebih lanjut, pesantren juga bisa dikatakan solusi untuk memperbaiki moral generasi pemuda. Paradigma seputar pesantren terbagi menjadi dua corak. Ada yang bercorak modern dan bercorak salaf. Perbedaan tidak menjadi sebab karena semua punya orientasi yang sama, meski dalam menggapai visi dan misi terdapat perbedaan cara. Tapi inilah keindahan yang perlu dipelajari utnuk mewujudkan kesempurnaan pendidikan pesantren. Kesadaran dengan Paksaan Ada perbedaan yang sangat unik antara pondok pesantren salaf dengan pondok pesantren modern. Diantaranya pondok salaf lebih menitik beratkan pendidikan santrinya melalui kesadaran. Sehingga dalam proses menuju kesadaran dibutuhkan kyai dan pengurus yang tabah. Segala kewajiban yang berkaitan dengan agama, pondok salaf hanya menganjurkan, tidak ada paksaan kecuali bila sudah kelewat batas. Jadi wajar bila kita melihat santri pondok salaf yang ugal-ugalan, kabur dan kenakalan lainnya. Biasanya peran seorang kyai salaf sangat penting disamping mendidik, mendoakan santrinya adalah hal yang paling wajib. Dan ini yang hilang dari kebanyakan pesantren sekarang. Banyak juga kyai yang masuk kedunia politik sehingga lupa tujuan utama yang membesarkan namanya. Keikhlasan inilah yang harus selalu ada pada diri pendidik.

Lain halnya dengan pondok modern. Kewajiban dalam melakukan aktivitas selalu dipantau dan diawasi. Mereka berpedoman paksaan bisa menjadi kebiasaan. Karena pola fikir anak-anak bila dibebaskan akan condong kepada main-main. Setiap aktivitas akan selalu di absent dan bagi yang tidak hadir akan dikenai hukuman. Inilah yang membuat santri pondok modern lebih militant ketimbang pondok salaf. Biasanya hubungan antara guru dengan murid sangat jauh karena penjagaan wibawa sangat dipelihara. Antara adik kelas dengan kakak kelas-pun sangat dijaga karena kakak kelas/santri akhir bertugas sebagai pengotrol aktivitas santri. Tapi fungsi siswa akhir bukan itu saja, tapi lebih dianjur kepada jadi kakak, jadi ibu dan teman bagi adik kelasnya. Bahasa Arab Aktif Dan Pasif Pondok modern lebih menfokuskan diri kepada hal yang bersifat praktek ketimbang teori. Dalam mendidik percakapan sehari-hari, pondok modern lebih mengambil tema "nasional" dari pada "daerah". Jadi, para siswa baru wajib meninggal bahasa daerahnya dan wajib memakai bahasa Indonesia. Ada larangan berkumpul dengan satu daerah. Ditakutkan jika terjadi perkumpulan daerah dalam keseharian, menyebabkan berkembangnya unsur fanatisme kedaerahan dan menghambat laju perkembangan 2 bahasa. Kecuali diforum-forum resmi antar daerah yang bernama "konsulat". Mereka boleh mengapresiasikan kecintaan kepada daerahnya selama tidak melewati batas. Ada hukuman yang sangat keras bagi santri yang memakai bahasa daerah. Pertama dibotak dan dipejeng dihadapan para santri dengan menggunakan papan hukuman bertuliskan " Don't follow me, I spok by javans language". Ada yang disuruh menghafalkan kosakata sampai ratusan, jika dalam tempo yang telah diberikan tidak bisa dipenuhi diganti dengan hukuman botak tadi. Keras memang tapi hasilnya-pun juga luar biasa. Setiap pagi santri pondok modern wajib mengikuti pemberian kosakata yang harus dihafal dengan disertai kalimat yang benar. Jadi tidak mengherankan jika berkunjung ke pondok modern setelah sholat shubuh, akan ditemui suara-suara yang memekikkan telinga, karena model penyampaian kosakata dilakukan dengan berteriak, itupun punya makna yaitu agar para pendengarnya semangat dan keadaan pondok lebih hidup.

Dilain pihak pondok pesantren salaf lebih mendalami ilmu nahwu dan shorof yang merupakan ilmu alat dalam penggunaan Bahasa Arab. Kitab-kitab klasik seperti Al fiyah yang berisi 1000 bait wajib dihafal oleh santri salaf. Belum lagi ditambah nadzom imfrity yang berisi 500 bait, yang paling rendah tingkatannya adalah jurumiah. Pondok salaf lebih fokus kepada ilmu ini, karena sangat berguna dalam memahami kitab-kitab klasik karya ulama-ulama besar zaman dahulu. Percakapan dengan menggunakan 2 bahasa tidak terlalu dianjurkan karena dalam memaknai kitab mereka lebih menggunakan bahasa jawa halus. Jika dibandingkan, semua mempunyai kelebihan dan kekurangan. Salah satunya pondok modern bisa langsung berkomunikasi dengan native speaker dan pondok salaf pemahaman tentang teori ilmu alat lebih dalam dan detail. Sarung dan Jas Dalam keseharian pondok modern, sarung hanya digunakan untuk sholat, dengan ketentuan memakai ikat pinggang dan baju wajib dimasukkan karena itu yang membedakan santri dengan ustadz. Jika dipakai selain itu bisa mendapat hukuman. Memang dalam berpakaian-pun pondok modern telah mengatur secara ketat. Jika sarung dipakai untuk mencuci ataupun tidur bisa dikenai sanksi yang berat. Dalam cara berpakaian inilah terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara keduanya. Salaf sering menggunakan sarung bahkan saat sepak bola-pun tidak jarang menjumpai santri yang memakai sarung. Di pondok modern sudah mulai diperkenalkan dengan cara pemakaian dasi dan jas secara benar. Sampai kesekolah diwajibkan menggunakan sepatu pantopel. Malah ada salah satu pondok modern yang sampai mengadakan pengecekan bagi santri yang belum mandi dan tidak menggunakan minyak rambut ketika masuk sekolah. Dari rambutpun harus dicukur layaknya ABRI agar terlihat rapi. Berbeda dengan salaf yang lebih membebaskan santri dalam berpakain dan potong rambut. Kecuali masuk sekolah yang memang harus menggunakan seragam. Malah di pondok modern membebaskan santrinya untuk tidak berseragam ketika masuk sekolah. Yang penting rapi dan kemeja yang digunakan tidak gelap. Satu lagi yang sangat mencolok perbedaannya, yaitu masalah warna peci. Di pondok

modern wajib menggunakan peci warna hitam dengan alasan supaya seragam dan terlihat rapi. Salaf lebih tidak mengharuskan memakai peci hitam tetapi membebaskan santrinya untuk memilih warna kesukaan dan bentuknya favoritnya. Sebutan Ustadz, Al Akh dan Kang Guru atau pengurus di pondok salaf lebih sering dipanggil kang dari pada ustadz. Begitu juga jika memanggil orang yang lebih tua. Anak kyai yang laki-laki dipanggil dengan julukan "gus" dan untuk perempuan "neng". Penghormatan kang lebih kepada umur. Antara kang dengan santri tidak batasan pergaulan. Makan bersama, tidur bersama dan lain sebagainya serba bersama. Baiknya adalah unsur kekeluargaan sangat kental tetapi utnuk mendidik sangat riskan terjadi peremehan, karena seringnya bergaul. Di pondok modern kakak kelas dipanggil dengan sebutan Al Akh, untuk guru Ustadz. Tidak ada gelar untuk anak kyai. Menurut pondok modern, ditakutkan terjadi pembedaan pelayanan yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial. Pergaulan antara kakak kelas dengan adik kelas sangatlah dibatasi. Di sisi lain ada kelemahannya dan di sisi lain banyak manfaatnya. Biasanya karena pergaulan mereka terjaga, jarang terjadi peremehan dalam berlangsungnya proses pendidikan dan pemberian tugas. Maka dikenal dalam istilah dalam pondok modern "pendidikan 24 jam". Karena dari bagun sampai tidur lagi semua kegiatan terpantau dan diatur. Nantinya muncul sebuah slogan " apa yang kamu dengar, apa yang kamu lihat dan apa yang kamu rasakan semuanya pendidikan. Kyai Modern dan Kyai Salaf Kyai salaf mempunyai wibawa yang sangat tinggi. Sampai kalau kyai berjalan didepan pondok, para santri akan terbirit-birit masuk kekamar karena malu. Atau yang lebih ekstrim, biasanya air minum bekas unjukan kyai, diperebutkan oleh santrinya karena mengandung barokah. Dalam pemilihan kyai lebih cenderung kepada turun temurun. Dalam arti kepemimpinan pondok diwariskan kepada anaknya. Kelemahannya jika kyainya mati, pondoknya juga ikut mati, karena anaknya tidak punya kharisma

seperti bapaknya. Inilah yang sering terjadi di pondok-pondok pesantren tersohor dulu. Pondok pesatren modern, kyai tidak punya wibawa sehebat pondok salaf. Kyai tidak membaur dengan santri. Jika pertemua-pertemuan penting saja kyai biasanya tampil dan memberikan wejangan kepada santrinya. Kyai lebih fokus dalam mendidik dewan guru. Jadi seakan ada stuktur khusus yang membedakan hubungan kyai dengan ustadz dan ustadz dengan santri. Pondok modern membentuk badan wakaf yang mengatur system kepemimpinan. Jadi kyai adalah pilihan berdasarkan rapat badan wakaf. Tidak ada istilah dalam pondok modern turun temurun, ditakutkan pemegang estafet kepemimpinan selanjutnya tidak sebaik yang dilanjutkan. Wakaf dan Keluarga Pondok modern menganut sistem wakaf. Yang berarti bahwa segala sesuatu yang ada dipondok adalah milik umat. Kyai tidak boleh sedikitpun memiliki ataupun memakai peralatan pondok tanpa seizin penanggung jawab peralatan. Sehingga upaya untuk memperkaya diri sangat minim berkembang di pondok modern. Berbeda dengan pondok salaf yang lebih menganut kepada system keluarga. Buruknya jika kyainya meninggal akan terjadi persaingan antara sanak keluarga. Dalam realisasinya pondok modern juga memakai konsep "kaderisasi" yang berguna jika kyainya meninggal sudah ada yang siap mengganti. Maka timbul filosofi dalam pondok modern "Patah tumbuh hilang berganti, belum patah sudah tumbuh, belum hilang sudah berganti". Mungkin ini yang kurang populer dalam dunia pondok salaf yang sangat penting eksistensinya.

You might also like