You are on page 1of 85

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, membawa masyarakat pada suatu tatanan hidup yang serba cepat dan praktis. Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan penentu bagi suatu peradaban yang modren. Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tentu saja membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun tidak dapat dipungkiri kemajuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan diringi dengan meningkatnya penyimpangan dan kejahatan dibidang ekonomi dan sosial. Ini dapat dilihat di negara maju ataupun dinegara yang sedang berkembang, jenis penyimpangan dan kejahatan semakin banyak ragamnya. Semakin tinggi pradaban suatu bangsa maka semakin maju pula ilmu pengetahuan yang berkembang dalam bangsa tersebut. Apabila kemajuan ilmu pengetahuan tidak diimbangi dengan semangat kemanusiaan, maka berpengaruh pada akses yang negatif. Munculnya tindak pidana baru pada bidang ilmu pengetahuan yang ketenteraman, berkembang tersebut. Yang menimbulkan gangguan

ketenangan dan sering kali menimbulkan kerugian materil

maupun immateril bagi masyarakat. Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpangan yang hidup dalam masyarakat. Yang artinya tindak pidana akan selalu ada selama manusia masih ada di muka bumi ini. Hukum sebagai sarana bagi penyelesaian problematika ini diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Oleh karena itu perkembangan dan
Universitas Sumatera Utara

hukum

khususnya

hukum

pidana

perlu

ditingkatkan

diupayakan secara terpadu. Kodifikasi, unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan Undang-undang baru sangat dibutuhkan untuk menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya perkembangan tindak pidana. Ilmu kesehatan adalah salah satu bidang ilmu yang mengalami perkembangan paling cepat saat ini. Begitu pula dengan perkembangan tindak pidana dibidang ilmu kesehatan. Adapun tindak pidana yang terjadi di bidang ilmu kesehatan antara lain : malpraktek, pemalsuan obat, mengedarkan obat tanpa izin dan transplantasi organ manusia. Masalah kesehatan merupakan keprihatinan serius di setiap negara, baik negara maju maupun sedang berkembang. karena kesehatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemajuan suatu negara dan merupakan hak asasi manusia. Negara memiliki kewajiban kepada rakyatnya untuk menyediakan layanan kesehatan dan menetapkan aturan-aturan hukum yang terkait dengan kepentingan perlindungan kesehatan. Secara awam kesehatan dapat diartikan ketiadaan penyakit. Menurut

WHO kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis . Dapat disimpulkan kesehatan itu sangat penting dalam kelangsungan hidup masyarakat. Jadi apabila terjadi tindak pidana di bidang kesehatan akan menyerang langsung masyarakat tidak dapat baik. melangsungkan kehidupanya dengan Hukum kedokteran dan hukum kesehatan mulai di perkenalkan di Indonesia dengan terbentuknya kelompok study untuk Hukum Kedokteran di
1

baik secara materil maupun immateril. Sehingga

masyarakat

Titon Slamet Kurnia, Hak Atas Drajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia,Bandung, 2007 hal 13 Universitas Sumatera Utara

Universitas Indonesia pada tanggal 1 November 1982 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo oleh beberapa dokter dan sarjana hukum . Hukum kesehatan ini sebenarnya sudah lama diperkenalkan, namun dalam
2

perkembanganya hukum kesehatan ini masih kurang mendapat perhatian oleh para sarjana hukum di indonesia. Ini dapat dilihat dari masih jarangnya ditemukan buku-buku yang membahas kesehatan. tentang hukum

Salah satu kejahatan dalam hukum kesehatan yang marak terjadi pada saat ini adalah kejahatan dibidang farmasi. Farmasi adalah suatu profesi yang berhubungan dengan seni dan ilmu dalam penyediaan bahan sumber alam dan bahan sintetis yang cocok dan menyenagkan untuk didistribusikan dan digunakan dalam pengobatan dan pencegahan suatu penyakit . Masih segar di ingatan, hebohnya kasus formalin dalam makanan, ditariknya produk pengusir nyamuk HIT karena dikhawatirkan mengandung bahan yang berbahaya bagi keamanan dan keselamatan konsumen. Juga kasus minuman isotonik yang mengandung zat pengawet berbahaya yang disinyalir oleh Lembaga Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet (KOMBET). Adapun zat berbahaya yang terkandung dalam minuman isitonik tersebut adalah natrium benzoat dan kalium sorbet yang dapat menyebabkan penyakit yang dalam ilmu kedokteran disebut Sytemic Lupus Erythematosus, yaitu penyakit yang mematikan yang dapat menyerang seluruh tubuh dan sistem internal manusia itu sendiri. Sekarang heboh jamu berbahaya, kosmetik berbahaya, makanan-minuman mengandung susu produk RRC yang berbahaya, beras seterusnya. mengandung bahan pengawet berbahaya dan
3

Universitas Sumatera Utara

2 3

Amri Amir, Bunga Ranpai Hukum Kesehatan, Jakarta 1997 hal 2 Moh. Anief, Farmasetika, Yogyakarta 1993 hal 11

Universitas Sumatera Utara

Konsumen di Indonesia masih cenderung pasif meskipun sudah ada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang hak-hak konsumen, kewajiban pelaku usaha serta memberikan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen.

Konsumen masih belum sepenuhnya menyadari hak-hak mereka, sedangkan pelaku usaha juga belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya. Kondisi tersebut cenderung untuk mendorong lahirnya berbagai bentuk pelanggaran pelaku usaha terhadap hak konsumen namun pelaku usaha yang bersangkut an

tidak memperoleh sanksi hukum yang mengikat. Oleh karena itu pemerintah selaku pihak yang berwenang untuk menegakkan hukum perlindungan konsumen harus bersifat proaktif dalam melindungi hak-hak konsumen di Indonesia. Terkait dengan sediaan farmasi yang akan dibahas oleh penulis, upaya pemerintah untuk melindungi konsumen adalah melalui pembentukkan

lembaga yang bertugas untuk mengawasi pada suatu produk serta memberikan perlindungan kepada konsumen Di Indonesia telah dibentuk suatu badan yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat dan makanan, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 166 Tahun 2000 jo Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang mengatur mengenai pembentukan lembaga- lembaga pemerintah nondepartemen. LPND adalah lembaga

pemerintah pusat yang dibentuk untuk menjalankan tugas pemerintahan tertentu dari presiden serta bertanggung jawab langsung pada presiden. BPOM merupakan salah satu LPND
Universitas Sumatera Utara

yang mempunyai tugas yang terkait dengan pengawasan obat dan makanan. Tetapi lembaga yang bertugas mengawasi belum optomal dalam melakukan tugasnya, ini terbukti dengan masih banyaknya ditemui obat dan makanan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan masih beredar di masyarakat. Untuk mencapai kesembuhan jasmani dan rohani dari suatu penyakit, tidak bisa lepas dari suatu pengobatan optimal dan benar. Namun apabila obat yang diedarkan oleh pihak yang di tunjuk oleh Undang-Undang berhak mengedarkan obat, mengedarkan obat dengan melakukan penyimpangan sudah tentu obat tersebut tidak dapat digunakan dalam proses penyembuhan . Karena mungkin saja obat tersebut tidak memenuhi standar racikan obat, kadaluarsa dan aturan pakai. Obat seperti ini apabila digunakan dapat menimbulkan penyakit baru bagi penggunanya bahkan dapat menimbulkan kematian. Suatu perbuatan yang dapat menimbulkan sakit pada orang lain atau bahkan menimbulkan kematian merupakan kejahatan dalam Undang-undang. Perbuatan jahat merupakan suatu perbuatan yang harus dipidana. Dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah pihak yang ditunjuk Undang-undang berhak mengedarkan obat dan memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Kebutuhan masyarakat atas perlindungan kesehatan merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi, Karena langsung menyerang kebutuhan masyarakat yang primer. Sudah menjadi perundang -undangan yang ada untuk menanggulangi permasalahan yang semakin kompleks dalam hukum kesehatan ini. kewajiban pemerintah untuk menegakan aturan

www.tesishukum.com, Tanggung Jawab Badan Pengawas Makana Dan Obat, terakhir kali di akses 12 februari 2010 Universitas Sumatera Utara

Oleh sebab itu penulis mencoba mengkaji mengenai

tindak pidana

mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar untuk mengetahui bagaimana sebenarnya tindak pidana ini. Dalam hal ini penulis mencoba mengkaji pengaturan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif Indonesia, faktor-faktor yang melatarbelakangi perbuatan ini serta upaya penanggulanganya.

Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah Dari uraian diatas adapun permasalahan yang akan dibahas penulis yaitu : 1. Bagaimana pengaturan tindak pidana mengedarkan sedian farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif indonesia 2. Bagaimana penerapan Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No.36 tentang Kesehatan terhadap penegakan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar (Studi Putusan No 1902/Pid B/2004/PN Medan) 3. Upaya penanggulangan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan Secara umum yang menjadi tujuan penulis membahas skripsi ini adalah guna melengkapi dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, disamping untuk membiasakan penulis dalam menyusun suatu karya ilmiah. Adapun tujuan yang khusus dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui : 1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana mengedarkan sediaan

farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan UU No.36 Tahun 12009

Tentang Kesehatan terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar ( Studi Putusan No.1902/Pid B/2004/PN Medan )

Universitas Sumatera Utara

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar. Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya: a. Secara teoritis Hasil penelitiaan ini diharapkan dapat hukum, Khususnya hukum kesehatan di bidang farmasi. b. Secara praktis Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1. Bagi aparat penegak hukum, sebagai sumbanagan pemikiran untuk penanganan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar. 2. Akademisi dan praktisi hukum untuk memberi masukan dan gambaran mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin menambah khazanah ilmu tindak pidana

pidana yang terkait dengan

edar khususnya di kota medan.

D. Keaslian Penulisan Skripsi ini berjudul Tindak Pidana Mengedar Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Menurut Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Studi Putusan No. 1902 /PID B/ 2004 / PN Medan) . Penulisan ini dilakuka n penulis dimulai dengan mengumpulkan

bahan- bahan yang berkaitan dengan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar, baik itu melalui literatur yang diperoleh dari buku-buku yang ada di

Universitas Sumatera Utara

perpustakaan maupun media cetak dan elektronik, disamping itu juga diadakan analisis kasus. Dan sehubungan dengan penulisan skripsi ini, pada saat penulis menulis skripsi ini belum ada judul yang sama. Walaupun ada yang membicarakan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar, namun objek yang dibahas tidak sama. Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah di tulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi maka hal itu akan menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.

E. Tinjauan kepustakaan 1. UU NO.23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN Pelayanan kesehatan adalah hak semua orang. kekurangan dalam pelayanan kesehatan masyarakat bisa disebabkan oleh sistem pelayanan kesehatan yang buruk. Oleh karena itu diperlukan peraturan perundangan yang menjamin terlaksananya sistem pelayanan kesehatan yang sempur na bagi masyarakat. Dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastiaan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi dasar bagi pembangunan

kesehatan diperlukan perangkat hukum kesehatan yang dinamis bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan, makanan, minuman hasil produksi rumah tangga yang masih dalam, pembinaan pemerintah, pelaksanaan hukum diberlakukan secara bertahap. Perangkat hukum tersebut hendaknya dapat menjangkau

perkembangan yang masih kompleks yang terjadi dimasa akan datang. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dimaksud sebagai landasan bagi berbagai peraturan mengenai sistem pelayanan kesehatan bagi
Universitas Sumatera Utara

seluruh masyarakat. Undang-Undang ini mencakup pengaturan berbagai hal pokok tentang kesehatan, antara lain: 1. Asas dan tujuan yang menjadi landasan dan memberi arah pembangunan kesehatan yang dilaksanankan melalui upaya kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi orang sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal tanpa membedakan status sosial; 2. Hak dan kewajiban setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal serta wajib untuk ikut serta didalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; 3. Tugas dan tanggung jawab pemerintah pada dasarnya adalah mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan serta mengerakan peran serta masyarakat; 4. Upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan

berkesinambungan melalui pendekatan peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; 5. Sumber daya kesehatan sebagai pendukung upaya kesehatan, harus tetap melaksanakan fungsi dan tanggung jawab sosialnya, dengan pengertian bahwa sarana kesehatan harus tetap memperhatikan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan; 6. Ketentuan pidana untuk melindungi pemberi dan penerima jasa

pelayanan kesehatan bila terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.

Universitas Sumatera Utara

2. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang

sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional. Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsurangsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mencakup upaya
Universitas Sumatera Utara

mengikutsertakan

masyarakat

secara

luas

yang

promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitikberatkan pada pengobatan (kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan. Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma
Universitas Sumatera Utara

kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang berwawasan sakit. Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

3. Pengertian Tindak Pidana Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik perhatianya. Masalah pokok dalam hukum pidana

tersebut meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban.
5

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang

dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dan demikian juga dalam Wvs Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.
6

Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan

5 6

Fuat Usfa & Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, , Malang ,2004 ,hal 31 Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta ,2002, hal 67 Universitas Sumatera Utara

dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan . Tindak pidana merupakan suatu peristiwa dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan (crime) yang bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis. Isi dari pengertian tindak pidana tersebut dalam kenyataanya tidak ada kesatuan pendapat diantara para sarjana.
8 7

Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo , pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi : a. Defenisi menurut teori memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si
9

pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum ; b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundangundangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif di atas, J.E Jonkers juga telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertiaan, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Pornomo
10

, yaitu :

a. Definisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang.

7 8

Adawi Chazawi. Op. Cit, hal 69 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang ,1990, hal. 40 Universitas Sumatera Utara

10

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 91 Ibid

Universitas Sumatera Utara

b. Definis panjang atau lebih dalam memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alfa oleh orang yang dapt dipertanggungjawabkan. Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang, dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang. Definisi yang panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggung jawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diamdiam dianggap ada.
11

Pendapat Moeljanto sebagaimana yang dikemukakan oleh E.Y Kanter dan S.R Sianturi , memilih perbuatan pidana sebagai terjemahan dari strafbaar feit. Beliau memberikan perumusan atau pembatas sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh menghambat akan tercapainya tata pergaulan masyarakat yangdicita-citakan. Makna perbuatan pidana, secara mutlak harus termasuk dalam unsur formil, yaitu mencocoki rumusan Undang-Undang, dan Unsur materil, yaitu sifat bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau sifat melawan hukum (rechtswiradigkeit). Pengertian perbuatan hukum pidana tidaklah diikuti oleh hukum pidana kita. Menurut sistem hukum adat tidaklah diadakan pemisahan antara pelanggaran
11 12

12

Ibid. EY. Kanter & Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapanya, Storia Grafika, Jakarta 2002, hal 208 Universitas Sumatera Utara

hukum yang memungkinkan reaksi dalam lapangan hukum pidana dan pelanggaran hukum yang hanya dapat digugat di lapangan hukum perdata. Berdasarkan hal tersebut, apabila terjadi suatu pelanggaran hukum maka petugas hukum mengambil tindakan konkrit (inilah reaksi adat) guna membetulkan hukum yang dilanggar.
13 14

Satochid Kartanegara

menganjurkan pemakaian istilah tindak pidana

hal ini karena istilah tindak (tindakan) , mencakup pengertian melakuka n atau perbuatan dan/atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat (passive handeling). Istilah perbuatan berarti melakukan, berbuat tidak mencakup pengertian mengakibatkan. hanya tindakan manusia, sedangkan terjemahan pidana untuk straffbaar adalah sudah tepat. Secara literlijk kata straf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan. Kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh ternyata diterjemahkan juga dengan kata hukum, padahal sudah lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya.
15

Istilah

peristiwa

tidak

menunjukkan

kepada

Kata baar mempunyai 2 istilah yang digunakan yakni boleh dan dapat. Secara literlijk bisa kita terima. Kata feit biasa digunakan 4 istilah yakni tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Secara literlijk feit memang lebih

pas untuk diterjemahkan sebagai perbuatan. Kata perbuatan lebih lazim digunakan dalam perbendaharaan hukum kita untuk mengartikan dari istilah overtreding

Universitas Sumatera Utara

13

Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara baru, Jakarta, hal. 15 14 Satochid Kartenegara, Hukum Pidana Bag I, Balai lektur Mahasiswa, hal. 74 15 Adawi Chazawi. Op. Cit. Hal.69

Universitas Sumatera Utara

sebagai lawan dari istilah misdrijven (kejahatan) terhadap kelompok tindak pidana masing-masing dalam buku III dan buku II KUHP.
16

Kata peristiwa, menggambarkan pengertian yang lebih luas dari pengertian perbuatan. Hal ini karena peristiwa tidak saja menunjuk kepada perbuatan manusia melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata tetapi juga oleh alam seperti matinya orang karena disambar petir atau tertimbun tanah longsoryang tidak masuk dalam hukum pidana. Peristiwa baru menjadi penting dalam hukum pidana apabila kematian orang itu diakibatkan oleh perbuatan manusia (pasif maupun aktif).
17

Istilah tindak memang telah lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatanya. Tidak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten). Pengertian sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun perbuatan pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk

perbuatan yang untuk mewujudkanya diperlukan /disyaratkan adanya suatu gerakan dari tubuh atau bagian tubuh manusia, misalnya mengambil pasal 362 KUHP Barang siapa mengambil suatu barang yang sama sekali atau

sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian 406 KUHP Barang atau merusak pasal

siapa dengan sengaja dan dengan melawan

hakmembinasakan, merusak, membuat sehinga tidak bisa dipakai lagi atau menghilangkan suatu barang yang sama sekali
16

Ibid.

17

Ibid

atau sebagianya kepunyaan orang lain, dihukum penjara delapan bulan atau denda. Perbuatan pasif adalah suatu perbuatan tanpa melakukan suatu perbuatan fisik apapun oleh karenanya, dengan demikian seorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong pasal 351 KUHP Barang siapa menyaksikan sendiri ada orang didalam keadaan maut, lalai memberikan atau pertolongan itu dapat mengadakan pertolongan kepadanya sedang

diberikannyaatau diadakanyadengan tidak atau orang lain akan kena bahaya

menguatirkanya, bahwa iya sendiri atau

dihukum kurungan atau perbuatan membiarkan pasal 304 KUHP Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang dia wajib memberikan kehidupan perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena perjanjian, dihukum penjara.
18

4. PENGERTIAN SEDIAN FARMASI Adapun yang dimaksud dengan sediaan farmasi dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Peraturan pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang pengamanan sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan perubahan dalam fungsi biologis melalui proses kimia. Sedangkan definisi yang lengkap, obat adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk : 1. Pengobatan, peredaan, pencegahan atau diagnosa suatu penyakit, kelainan fisik atau gejala-gejalanya pada manusia atau hewan; atau

18

Ibid

2. Dalam pemulihan, perbaikan atau pengubahan fungsi organik pada manusia atau hewan. Obat dapat merupakan bahan yang disintesis di dalam tubuh (misalnya : hormon, vitamin D) atau merupakan merupakan bahan-bahan kimia yang tidak disintesis di dalam tubuh. Penggolongan sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di atas yaitu obat untuk manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada beberapa penggolongan obat yang lain, dimana penggolongan obat itu dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi. Berdasarkan undang-undang obat digolongkan dalam : 1. Obat Bebas 2. Obat Keras 3. Obat Psikotropika dan Narkoba Berikut penjabaran masing-masing golongan tsb : 1. OBAT BEBAS Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter (disebut obat OTC = Over The Counter), terdiri atas obat bebas dan obat bebas terbatas. 1.1. Obat bebas Ini merupakan tanda obat yang paling aman . Obat bebas, yaitu

obat yang bisa dibeli bebas di apotek, bahkan di warung, tanpa resep dokter, ditandai dengan lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Obat bebas ini digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan. Misalnya : vitamin/multi vitamin (Livron B Plex, ) 1.2. Obat bebas terbatas

Obat bebas terbatas (dulu disebut daftar W). yakni obat-obatan yang dalam jumlah tertentu masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter, memakai tanda lingkaran biru bergaris tepi hitam. Contohnya, obat anti mabuk (Antimo), anti flu (Noza). Pada kemasan obat seperti ini biasanya tertera peringatan yang bertanda kotak kecil berdasar warna gelap atau kotak putih bergaris tepi hitam, dengan tulisan sebagai berikut : P.No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya. P.No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan. P.No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan. P.No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar. P.No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan
19

Memang, dalam keadaaan dan batas-batas tertentu; sakit yang ringan masih dibenarkan untuk melakukan pengobatan sendiri, yang tentunya juga obat yang dipergunakan adalah golongan obat bebas dan bebas terbatas yang dengan mudah diperoleh masyarakat. Namun apabila kondisi penyakit semakin serius sebaiknya memeriksakan ke dokter. Dianjurkan untuk tidak sekali-kalipun melakukan seharusnya diperoleh dengan mempergunakan resep dokter. Apabila menggunakan obat-obatan yang dengan mudah diperoleh tanpa menggunakan resep dokter atau yang dikenal dengan Golongan Obat Bebas dan Golongan Obat Bebas Terbatas, selain meyakini bahwa obat tersebut telah memiliki izin beredar dengan pencantuman nomor registrasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Departemen Kesehatan, terdapat hal- hal yang perlu uji coba obat sendiri terhadap obat obat yang

19

www. Phapros.com, Mengenal Penggolongan Obat, terakhir kali di akses 10 februari 2010

diperhatikan, diantaranya: Kondisi obat apakah masih baik atau sudak rusak, Perhatikan tanggal kadaluarsa (masa berlaku) obat, membaca dan mengikuti keterangan atau informasi yang tercantum pada kemasan obat atau pada brosur / selebaran yang menyertai obat yang berisi tentang Indikasi merupakan petunjuk kegunaan obat dalam pengobatan Kontra-indikasi (yaitu petunjuk penggunaan obat yang tidak

diperbolehkan), efek samping (yaitu efek yang timbul, yang bukan efek yang diinginkan), dosis obat (takaran pemakaian obat), cara penyimpanan obat, dan informasi tentang interaksi obat dengan obat lain yang digunakan dan dengan makanan yang dimakan. 2. OBAT KERAS Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan lain-lain) Obat-obat bisa berbahaya ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan penyakit atau

bahkan

meracuni

tubuh,

memperparah

menyebabkan mematikan. 3. PSIKOTROPIKA DAN NARKOTIKA Obat-obat ini sama dengan narkoba yang kita kenal dapat menimbulkan ketagihan dengan segala konsekuensi yang sudah kita tahu.

Karena itu, obat-obat ini mulai dari pembuatannya sampai pemakaiannya diawasi dengan ketat oleh Pemerintah dan hanya boleh diserahakan oleh apotek atas resep dokter. Tiap bulan apotek wajib melaporkan pembelian dan pemakaiannya pada pemerintah. 3.1.PSIKOTROPIKA Psikotropika adalah Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya. Menurut Undang-Undang golongan sebagai berikut: No.5/1997 psikotropika dibedakan dalam 4

Psikotropika golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh: MDMA, ekstasi, LSD, ST

Psikotropika golongan II : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh: Amfetamin, fesiklidin, sekobarbital, metakualon,metilfenidat (Ritalin)

Psikotropika golongan III : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh : Fenobarbital, flunitrazepam

Psikotropika golongan III : Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan, contoh: Diazepam, klobazam, bromazepam, klonazepam, khlordiazepoxide, nitrazepam (BK, DUM, MG).
20

Bentuk psiotropika a. Ekstasi Ekstasi adalah salah satu obat bius yang di buat secara ilegal di sebuah laboratorium dalam bentuk tablet atau kapsul.Ekstasi dapat membuat tubuh si pemakai memiliki energi yang lebih dan juga bisa mengalami dehidrasi yang tinggi. Sehingga akibatnya dapat membuat tubuh kita untuk terus bergerak. b.Amfetamin Nama aslinya methamphetamine. Berbentuk kristal seperti gula atau bumbu penyedap masakan. Jenisnya antara lain yaitu gold river, coconut dan

kristal. Sekarang ada yang berbentuk tablet.Obat ini dapat di temukan dalam bentuk kristal dan obat ini tidak mempunyai warna maupaun bau, maka ia di sebut dengan kata lain yaitu Ice. Obat ini juga mempunyai pengaruh yang kuat terhadap syaraf. c.Diazepam Sedatif (obat penenang) dan hipnotikum (obat tidur). Nama jalanan BDZ antara

20

penjelasan Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psiotropika

lain BK, Lexo, MG, Rohip, Dum. Cara pemakaian BDZ dapat diminum, disuntik intravena, dan melalui dubur. 3.2 NARKOTIKA Adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat , halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya. Menurut Undang-Undang No 35 tahun 2009, Narkotika dibagi menjadi 3 golonggan, yaitu : Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
21

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Merupakan kelompok narkotika yang terdiri atas : tanaman papaver somniferum, opium mentah, opium masak, erythroxylon cocae (koka), cannabis satira (ganja), tetra hydro cannabinol Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan tinggi
21

ilmu

pengetahuan

serta

mempunyai

potensi

http/www.henrydunan.blogspot.com, Rekaman Medis, terakhir kali di akses 18 februari 2010 Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan ketergantungan. Merupakan kelompok narkotika yang terdiri atas : alpha-cethyl-metadol, alpha-medprodina, alpha-prodine, phentanyl, pethidine, methadone Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Merupakan kelompok narkotika yang terdiri atas : asetildihidrokodeina, kodeina, etil morfina.
22

BahanObat adalah sesuatu yang dapat dipergunakan atau dipakai untuk tujuan membuat obat. Baik itu bahan kimia, tumbuhan, bahan mineral atau campuran dari bahan tersebut. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika, hewan atau tumbuhan yang dilindungi, dan bahan kimia obat di dalam obat tradisional. Ini sesuai dengan Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 (Permenkes dan Pendaftaran Obat Tradisional.
23

mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut

246/1990)

tentang

Izin

Usaha

Industri Obat

Tradisional

Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksud untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital
Universitas Sumatera Utara

22 23

penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika www.tesishukum.com, op cit

Universitas Sumatera Utara

bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, untuk mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau memelihara tubuh pada kondisi baik. Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik. Kosmetik dibagi 2 (dua) golongan Berdasarkan bahan dan penggunaannya 1. Kosmetik golongan I adalah : a. Kosmetik yang digunakan untuk bayi; b. Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa lainnya; c. Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan penandaan; d. Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya. 2. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I

5. Putusan No. 1902/ PID B/ 2004/ PN Medan Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar. Terdakwa dalam kasus ini telah terbukti mengedarkan sediaan farmasi atau alat kesehatan tanpa izin edar, yang hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Bahwa dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Medan berdasarkan surat perintah Tugas Kepala Balai Besar Pengaawas Obat dan Makanan di Medan No : PO.02.02.82.824.2550. Menemukan sejumlah obat yang tidak terdaftar atau tanpa izin edar di dalam toko obat berijin milik terdakwa.

Universitas Sumatera Utara

F. Metode penulisan 1. Pendekatan Masalah Penelitian yang digunakan untuk menjawab persoalan dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan metode Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Penelitian yuridis normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal Menurut Soerjono Soekamto sebagaimana dikemukakan oleh burhan ashofa, bentuk penelitian normatif (doktrinal) ini dapat berupa: 1. Inventaris hukum positif 2. Penemuan azas hukum 3. Penemuan hukum in concreto 4. Perbandingan hukum 5. Sejarah hukum Soetandyo Wignosoebroto sebagaimana dikemukakan oleh Bambang Sunggono, membagi penelitian hukum doktrinal sebagai berikut: 1. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif 2. Penelitian yang berupa penemuaan azas-azas dan dasar- dasar falsafah ( dogma atau doktrinal ) hukum positif 3. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu. Penelitian yuridis empiris merupakan penelitian yang dilakukan dengan melakukan study langsung dilapangan atau pada instansi-instansi terkait guna memperoleh data-data yang berkaitan penulisan skripsi.
24 25

24

25

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rieneke Cipta, Jakarta ,1996 ,hal 14 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, hal 43 Universitas Sumatera Utara

2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di kota Medan, alasan dipilihnya kota Medan dikarenakan terdapat kasus mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar yang penyelesaiannya belum memuaskan, dalam

hal ini penelitian lapangan penulis melakukannya di Pengadilan Negeri Medan, untuk mendapat gambaran atau bahan akurat dengan penulisan skripsi ini. 3. Sumber Dan Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: i. Data primer yaitu data yang dilakukan melalui studi lapangan. Dilakukan
26

dengan menggali dan memahami secara mendalam persepsi mengenai Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar studi Putusan No.1902/ Pid B/ 2004/ Pengadilan Negeri Medan sehingga dapat dijadikan untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini. Studi lapangan ini dilakukan melalui pembahasan mengenai kasus No.1902/ Pid B/ 2004/ PengadilanNegeri Medan. Jadi lapangan Pengadilan Negeri Medan. ii. Data skunder, diperoleh melalui studi pustaka yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber pustaka buku-buku, dokumen-dokumen resmi hasil penelitian yang berwujud laporan, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana mengedarkan sedian farmasi tanpa izin edar.
27

pokok bahasan dalam skripsi ini yaitu :

Universitas Sumatera Utara

26 27

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984 hal 12 Loc.cit

Universitas Sumatera Utara

4. Metode Dan Analisis Data Data yang diperoleh melalui pustaka dikumpulkan dan diurutkan lalu di organisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar.
28

Analisis data

yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu menganalisis melalui data lalu mengorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dari responden dan data-data yang diperoleh dari lapangan, kemudian dianalisis secara kualitatif sehingga memperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan Sisitematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab diuraikan permasalahanya secara tersendiri, namun dalam konteks yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematika penulis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhanya dalam beberapa bab berikut ini: Bab I Pendahuluan: Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang permasalahan, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II Pengaturan Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Dalam Hukum Positif Indonesia Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaturan hukum terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.
28

Lexy Moelong, Metode penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya Cetakan ke-10, Bandung, 1999, halaman 103

Bab III Studi Kasus Putusan No. 1902 / Pid B / 2004 / PN Medan Dalam hal ini akan dibahas mengenai penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tahun tentang Kesehatan dan Undang-Undang No.36

2009 tentang Kesehatan. STUDI PUTUSAN NO. 1902 /PID B/ 2004 / PN MEDAN, apa saja yg menjadi unsur-unsur tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dan pertanggung jawaban pidananya. Bab IV Upaya Penaggulangan Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan

Farmasi Tanpa Izin Edar Dan Upaya Dalam bab ini dibahas mengenai upaya penangulangan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar melalui kenijakan penal dan non penal. Bab V Penutup Dalam bab ini akan diambil kesimpulan yang disertai dengan saran dari penulis melalui penelitian yang dilakuka n oleh penulis.

Universitas Sumatera Utara

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Dalam uraian-uraian yang telah di jelaskan sebelumnya maka dalam hal ini penulis berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Dengan demikian maka mengedarkan sediaan farmasi sebelum diberi izin edar merupakan suatau tindak pidana. Adapun pengaturan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif

Indonesia adalah : A. Berdasarkan Undang-Undang NO.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495) Pengertian sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 1 ayat (9) yaitu sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Mengenai pengamanan sediaan farmasi diatur dalam pasal 39 sampai pasal 43. Adapaun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah : Pasal 39 Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselengarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi sediaan mutu dan atau keamanan dan atau kemamfaatan. Pasal 40 31

Universitas Sumatera Utara

ayat (1) Sediaan farmasi berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat farmakof Indonesia atau buku standar lainya. ayat (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetik serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan. Pasal 41 ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektif dan kelengkapan serta tidak menyesatkan. ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah mendapat izin edar, yang kemudiaaan terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemamfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 42 Pekerjan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang beredar. Pasal 43 Ketentuan tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan

ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi diatur dalam Pasal 81 ayat (2), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Barang siapa dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dipidana dengan pidana

Universitas Sumatera Utara

penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 140.000.000.00 (seratus empat puluh juta rupiah.
29

B. Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor

144,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) Pengertian sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 1 ayat (4) yaitu, sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Mengenai pengaturan pengamanan dan pengunaan sediaan farmasi diatur dalam pasal 98 sampai pasal 108. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah : Pasal 98 ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. ayat (2) Setiap orang yang tidak menyimpan, memiliki keahlian dan kewenangan mengolah, mempromosikan, dan

dilarang mengadakan,

mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. ayat (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar

mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. ayat (4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran

29

Undang-undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Universitas Sumatera Utara

Pasal 99 ayat (1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga

kelestariannya. ayat (2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. ayat (3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi. Pasal 100 ayat (1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya. ayat (2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional. Pasal 101 ayat (1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. ayat (2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi,

mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 102

Universitas Sumatera Utara

ayat

(1)

Penggunaan sediaan

farmasi

yang

berupa narkotika dan

psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan. ayat (2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 103 ayat (1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu. ayat (2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 104 ayat (1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan. ayat (2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional. Pasal 105 ayat (1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya. ayat (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan. Pasal 106

Universitas Sumatera Utara

ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan. ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 107 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 108 ayat (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan

pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ayat (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 197, rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah setiap mengedarkan orang yang dengan sengaja memproduksi atau

Universitas Sumatera Utara

sediaan farmasi dan atau/alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidanana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar limaratus juta rupiah )

C. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3671) Dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062) Sebenarnya dalam kedua Undang-Undang diatas tidak ada pasal-pasal yang secara langsung mengatur tentang mengedarkan sedian farmasi tanpa izin edar, namun terdapat beberapa pasal yang sangat berkaitan erat dengan mengedarkan sediaan farmasi. 1. Berdasarkan Psiotropika Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang

Pengaturan mengenai peredaran psiotropika dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 8 sampai pasal 13. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut yaitu: Pasal 8 Peredaran psikotropika penyerahan Pasal 9 ayat (1) Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan
Universitas Sumatera Utara

terdiri

dari

penyaluran

dan

ayat (2) Menteri menetapkan persyaratan dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa obat Pasal 10 Setiap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika, wajib dilengkapi dengan dokumen pengangkutan psikotropika Pasal 11 Tata cara peredaran psikotropika diatur lebih lanjut oleh Menteri Pasal 12 ayat (1) Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah ayat (2) penyaluran psiotropika sebagaimana diatur dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan oleh : a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan. b. Pedagang basar farmasi kepada pedang besar farmasi lainnya,

sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah kepada rumah sakit pemerintah, puskesmas dan balai pengobatan pemerintah. ayat (3) Psiotropika gokongan satu hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan atau pendidikan guna psiotropika.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 13 Psiotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan yang bersangkutan. Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatura dalam pasal 60 ayat (1) huruf (c), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Barang siapa memproduksi atau

mengedarkan psikotropoka berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebagaiman dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
30

2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pengaturan mengenai peredaran narkotika dalam Undang-Undang ini diatur dalam pasal 35 sampai pasal 38. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut Pasal 35 Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindah tanganan, untuk kepentingan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 36 ayat (1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri. pelayanan

30

Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psiotropika Universitas Sumatera Utara

ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara perizinan peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. ayat (3) Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan. ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pasal 37 Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 38 Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Pasal 39 (1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. (2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran Narkotika dari Menteri. Pasal 40 ayat (1) Industri menyalurkan Farmasi tertentu hanya dapat

Universitas Sumatera Utara

Narkotika kepada: a. pedagang besar farmasi tertentu; b. apotek; c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan d. rumah sakit. ayat (2) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada: a. pedagang lainnya; b. apotek; c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; d. rumah sakit; dan e. lembaga ilmu pengetahuan; ayat (3) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada: a. rumah sakit pemerintah; b. pusat kesehatan masyarakat; dan c. balai pengobatan pemerintah tertentu. Pasal 41 Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri. besar farmasi tertentu

Universitas Sumatera Utara

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Undang-Undang ini diatur menurut golongannya. Ketentuan mengenai tindak pidanan mengedarkan narkotika golongan I diataur dalam pasal 113 ayat (1), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Mengenai tindak pidana mengedarkan narkotika golongan II diatur dalam pasal 118 ayat (1), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) Mengenai tindak pidana mengedarkan narkotika golongan III diatur dalam pasal 123 ayat (1), rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
31

Rp600.000.000,00

(enam

ratus

juta

31

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Universitas Sumatera Utara

D. Berdasarkan

Peraturan

Pemerintah

No.72

Tahun

1998

Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3781) Peraturan pemerintah tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan ini dibuat atas perintah UU kesehatan untuk mengatur hal teknis dan oprasional dari UU tersebut. Pengaturan mengenai peredaran sediaan farmasi dalam Peraturan Pemerintah ini diatur dalam pasal 6 sampai pasal 8. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut Pasal 6 Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan penyerahan Pasal 7 peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan

memperhatikan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 8 ayat (1) Setiap pengankutan sedian farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran harus disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan ayat (2) Setiap pengankutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 9 sampai pasal 10 Peraturan pemerintah ini mengatura mengenai tata cara mendapatkan izin edar, adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah Pasal 9 ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan

setelah memperoleh izin edar dari menteri kesehatan ayat (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diperoduksi oleh perorangan Pasal 10 ayat (1) Izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan diberikan atas dasar permohonan secara tertulis kepada menteri kesehatan ayat (2) Permohonan secara tertulis sebagaiman dalam ayat (1) disertai dengan keterangan dan atau data mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar serta contoh sediaan farmasi dan alat kesehatan ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan izin edar sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan oleh menteri kesehatan Pasal 11 Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Peraturan Pemerintah ini diatura dalam pasal Pasal 75 huruf (b) rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah Barang siapa memproduksi atau mengedarkan Barang siapa dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanp izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dipidana

Universitas Sumatera Utara

denganpidan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 140.000.000.00 (seratus empat puluh juta rupiah
32

32

Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Universitas Sumatera Utara

BAB III ANALISA KASUS PUTUSAN NO.1920 / PID B / 2004 / PN MEDAN

A. Kasus Posisi Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengangkat kasus tentang mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar di wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan. Pada kasus dengan No Putusan 1902/ Pid B/ 2004/ PN Medan, dengan terdakwa Nerawati. Bahwa terdakwa Nerawati pada hari Kamis tanggal 2 Oktober 2003, sekitar pukul 14.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2003, di toko obat Dwi jaya jalan Mayor No.7-f Pajak Palapa Medan atau setidak- tidaknya pada suatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, telah mengedarkan sedian farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar, yang hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut : - Pada waktu dan tempat seperti tersebut diatas, terdakwa selaku pemilik toko obat Dwi Jaya, telah membuka toko tersebut sejak tahun 2000 untuk menjual obat-obatan Balai pada pelanggan, dan tiba-tiba datang petugas

Besar Pengawas Obat dan Makanan Medan yaitu Sahat T.Marpaung,

Drs.Ramses Doloksaribu dan Dahlinar Astuty untuk melaksanakan tugas pemeriksaan terhadap toko obat berizin berdasarkan Surat Perintah Tugas Kepala Balai Besar POM di Medan Nomor : PO.02.02.82.824.2550 tanggal 30 September 2003.
Universitas Sumatera Utara

46

Universitas Sumatera Utara

- Kemudian para petugas Balai Besar POM melakukan pemeriksaan obatobatan yang berada di toko obat Dwi Jaya milik Nerawati, dan hasilnya petugas menemukan sejumlah obat-obatan yang tidak terdaftar atau tanpa izin edar yaitu : 13 (tiga belas) botol obat batuk, 60 (enam puluh) Tube Fluoclnonide Oitment, 20 (dua puluh) pot salap HL, 10 (sepuluh) kotak Niu Huang dan 16 (enam belas) tube cream Cinolone. - Selanjutnya petugas Balai Besar POM melakukan penyitaan terhadap obat- obatan tersebut dan terdakwa mengakui bahwa obat-obatan tanpa izin edar tersebut diperoleh dengan membeli dari toko obat Kemenangan dan toko obat Abadi, dan sebagian obat-obatan tersebut telah terjual secara eceran kepada orang-orang yang datang ke toko obat tersebut. - Berdasarkan keterangan ahli yaitu Dra. Florasari, Apt, menerangkan

bahwa obat-obatan yang telah disita dari toko Dwi Jaya milik terdakwa tersebut, adalah benar obat yang tidak terdaftar atau tanpa izin edar.

Dengan Dakwaan Diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (2) huruf c Barang siapa yang tampa keahlian dan kewenangan dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana diatur dalam pasal41(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana dendapaling banyak Rp. 140.000.000,00 (seratus enpat puluh juta rupiah Jo Pasal 41 ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

Dengan Putusan Menyatakan terdakwa Nerawati telah terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) huruf c Jo Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selam 6 (enam) bulan dengan masa hukuman percobaan selama 1 (satu) tahun

B. Analisis Kasus 1. Unsur-unsur Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan farmasi tanpa Izin Edar Syarat utama memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hal ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting, artinya sebagai prinsip kepastian, undang-undang pidana sifatnya harus pasti, didalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan. Pandangan tentang unsur-unsur tindak pidana dapat dibagi menjadi dua aliran, aliran monistis dan aliran dualistis. a. Aliran mo ni st is dia nut ole h: 1. Simons Unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah sebagaiberikut:
33

33

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hal 44 Universitas Sumatera Utara

a. Perbuatan Manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld); c. Melawan hukum (onrechtmatig); d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand); e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (torekeningsvatbaar persoon); Simon menyebutkan adanya dua unsur strafbaarfeit, yakni 1. Unsur objektif meliputi dari: a. Perbuatan Orang; b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu; c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. 2. Unsur subjektif adalah: a. Orang yang mampu bertanggung jawab; b. Adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan. 2.Van Hamel Unsur-unsur tindak pidana menurut Van Hamel adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; b. Melawan hukum; c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana. 3. E. Mezger Unsur-unsur tindak pidana menurut E. Mezger adalah:

Universitas Sumatera Utara

a. Perbuatan dalam arti yang luas (aktif atau membiarkan); b. Sifat melawan hukum (baik yang bersifat objektif ataupun subektif); c. Dapat dipertangungjawabkan kepada seseorang; d. Diancam dengan pidana. b. Aliran dua list is diantaranya dianut oleh: 1. Moeljanto Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia; b. Yang memenuhi rmusan dalam undang-undang(merupakan syarat formil); c. Bersifat melawan hukum; 2. H.B. Vos Unsur-unsur tindak pidana menurut H.B Vos adalah: a. Kelakuan manusia b. Diancam pidana dalam undang-undang. c. Sifat Melawan hukum dalam tindak pidana Salah satu unsur tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum, unsur ini merupakan penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam unang-undang, dalam bahasa Jerman ini disebut tatbestandmaszing tatbestand dalam arti sempit adalah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana, tastbestand dalam arti sempit ialah masing-masing unsur dari rumusan delik, perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya

Universitas Sumatera Utara

perbuatan tersebut.

34

Sifat melawan hukum hapus apabila diterobos


35

dengan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf . Sifat melawan hukum dibedakan atas empat bagian, yakni terdiri dari: 1.Melawan hukum formil Yaitu suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila ada perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus hanya berdasrkan suatu ketentuan undang-undang, jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangtan dengan undang-undang. 2. Melawan hukum materil Yaitu suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukm yang tidak tertulis, sifat melawan
36

hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis. Pengertian melawan hukum materil dapat dibedakan menjadi dua yaitu: sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif dan sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif:
37

a. Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif yaitu Mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada diluar undang-undang menghapus sifat

34

Ibid. hal. 76. Samidjo, Ringkasan Dan Tanya Jawab Hukum Pidana, Armico, Bandung, 1985, halaman 123. 36 D. Schffmeister et al, dalam J.F. Sahetapi (ed), Hukum Pidana, Liberty Edisi Pertama Cetakan Ke-1, Yogyakarta, halaman 39. 37 Ibid. hal.81.
35

Universitas Sumatera Utara

melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi alasan tersebut sebagai pengahapus sifat melawan hukum. b. Sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif yaitu menganggap suatu perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada diluar undang-undang, jadi disini diakui hukum yang tidak tertulis sebagai sumber hukum yang positif. 3. Sifat melawan hukum umum Yaitu diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidannya yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana (perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela). 4. Sifat melawan hukum khusus Yaitu sifat rumusan delik. Mengenai unsur-unsur tindak pidana yang menjadi dasar melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari

dakwaan terhadap Nerawati, yang mana unsur-unsur tersebut adalah: 1. Menurut pasal 81 ayat (2) huruf (c) Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, adapun rumusan pasal tersebut adalah Barang siapa

dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1), yaitu Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar Unsur-unsur objektif : a. Barang siapa : terdakwa Nerawati

Universitas Sumatera Utara

b. Perbuatan : mengedarkan c. Objeknya : sediaan farmasi dan atau alat kesehatan d. Keadaan : tanpa izin edar Unsur subjektif : Dengan sengaja 2. Menurut pasal 197 Undang-Undang No.36 tahun 2009 Tentang

Kesehatan, rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau/alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana

dimaksud dalam pasal 106 ayat (1), yaitu Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Unsur-unsur objektif : a. Setiap orang : terdakwa Nerawati b. Perbuatan : mengedarkan atau memproduksi c. Objeknya : sediaan famasi dan atau alat kesehatan d. Keadaan : tidak memiliki izin edar unsur subjektif : Dengan sengaja Dari pengamatan penulis terhadap kedua rumusan unsur-unsur tindak pidana yang ada dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1992 dan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tidak terdapat perbedaan, yang membedakan adalah lamanya pidana penjara dan besarnya pidana denda.

Universitas Sumatera Utara

2. Pertanggungjawaban dalam tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar. Pepatah mengatakan tangan menjinjing, bahu memikul, artinya seseorang harus menanggung segala akibat dari tindakan atau kelakuanya, di dalam hukum pidana juga ditentukan tentang dinamakan pertanggungjawaban pidana. Bedanya, hal seperti itu, makna yang

pepatah tadi

mengandung suatu pengertian yang sangat luas sekali, dalam hukum pidana pertanggungjawaban pidana dibatasi dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang.
38

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukanya. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnyamerupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan, diwujudkan dalam bentuk larangan (dan ancaman dengan pidana) atas perbuatan tersebut.
39

Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab (toerekenigsvatbaar), bilamana pada umunya : 1. Keadaan Jiwanya : a. tidak tergangu oleh penyakit terus-menerus atau sementara. b. tidak cacat dalam pertumbuhan
40

38

E.y Kanter & S. sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapanya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, Hal 249 39 Chairul Huda, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju kepada Tiada PertanggungJawaba Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media, Jakarta, 2006, Hal 47 40 E.y Kanter & S. sianturi, Op. Cit, hal 250 Universitas Sumatera Utara

c. tidak terganggu karena terkejut, amarah yang meluap, mengigau karena demam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar. 2. kemampuan jiwanya a. dapat menginsyafi hakekat dari tindakanya b. dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah

akan dilaksanakan atau tidak c. dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan terebut. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana atau yang juga disebut criminal responsibility artinya adalah orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, belum berarti ia harus dipidana, tetapi dia harus bertanggungjawab atas perbuatan yang telah diperbuatnya. Mempertanggungjawabkan suatu perbuatan berarti untuk menentukan pelaku salah atau tidak, disamping orang yang telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan padanya untuk bisa diminta pertanggungjawabannya. Asas pertanggungjawaban pidana berbunyi tidak ada pidana tanpa kesalahan. Asas ini oleh masyarakat indonesia dijunjung tinggi dan akan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan jika ada orang tidak bersalah dijatuhi pidana.
41

Kesalahan merupakan suatu pertanggungjawaban pidana. Seseorang melakukan kesalahan, jika pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan demikian seseorang mendapat pidana, tergantung pada dua hal:
42

41 42

Suharto, Hukum Pidana Materil, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, Hal.106 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal.31

Universitas Sumatera Utara

1. harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada perbuatan melawan hukum. Jadi ada unsur objektif. 2. terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggung jawabkan padanya. Jadi ada unsur subjektif. Suatu perbuatan melawan hukum belum cukup untuk menjatuhkan pidana. Selain perbuatan yang melawan hukum harus ada seseorang pembuat yang bertanggungjawab atas perbuatanya, yaitu unsur kesalahan dalam arti kata bertanggungjawab ( strafbaarheid van de dader). Pelaku tindak pidana tidak dipidana jika ada alasan penghapusan kesalahan, karena orang yang bersalahlah yang dipidana. Alasan penghapusan kesalahan atau penghapusan pidana disebut juga tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).
43

subjectieve

strafuitsluitingsgrounnd

karena

asasnya

tiada

pidana

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana ada yang dilakukan atas dasar kesalahan dan ada juga yang dilakukan tanpa harus membuktikan adanya kesalahan tersebut (strict liability). Kesalahan dapat dibagi menjadi dua macam yaitu kesengajaan dan kealpaan. diarahkan pada terwujudnya
44

Kesengajaan adalah kehendak yang seperti yang dirumuskan dalam

perbuatan

Undang-Undang, sedangkan kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan. Kealpaan biasanya terjadi karena pelaku melakukan perbuatannya karena kurang hati-hati.
45

Pandangan normatif membuka pemahaman yang sempit mengenai kesalahan. Kesalahan bukan hanya dipandang sebagai masalah psikologis

43 44

Ibid. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidan di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal.65 Universitas Sumatera Utara

45

Sudarto. Op.Cit., hal 124

Universitas Sumatera Utara

pembuat. Akibatnya, kesengajaan dan kealpaan kemudian dipandang sebagai pertanda adanya suatu kesalahan, bukan kesalahan itu sendiri

konsekuensinya adalah, dalam perumusan tindak pidana tidak perlu dirumuskan dengan sengaja atau karena kealpaan. Dengan demikian, apabila kesalahan dilihat menurut teori normatif, terbuka kemungkinan untuk mengakui indikator lain untuk menentukan adanya suatu kesalahan, selain psikologis pembuat. Selain karena kesengajaan dan kealpaan, pembuat dapat saja dikatakan melakukan suatu tindak pidana dengan kesalahan. Dengan kata lain kesengajaan atau kealpaan merupakan pertanda adanya
46

kesalahan. Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana kesehatan hanya dapat

diterapkan kepada orang yang melakukan tindak pidana kesahatan. Dalam kasus (Putusan N0 1902 / Pid.B / 2004 / PN. Medan ) pelaku tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi yang diakwa dengan pasal 81ayat (2) huruf c jo pasal 41 ayat (1) UU N0. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan terdakwa

dijatuhi hukuman penjara selama 6 bulan. Menurut penulis terdakwa dapat mepertanggungjawabkan

perbuatannya karena, sewaktu mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin tersebut terdakwa memenuhi unsur-unsur mampu bertanggungjawab unsur-unsurnya adalah : 1. Keadan jiwa pelaku tidak terganggu atau tidak dibawah pengaruh apapun, tidak terganggu oleh penyakit, tidak terganggu karena terkejut atau amarah yang meluap dan lain sebagainya. , adapun

Universitas Sumatera Utara

46

Cahirul Huda. Op. Cit., hal 82

Universitas Sumatera Utara

2. Kemampuan jiwa pelaku juga tidak terganggu karena pelaku dapat menginsyafi perbuatanya dan dapat mementukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak. Menurut penulis, seseorang yang telah melakukan tindak pidana kesehatan dan dipertanggung telah memenuhi unsur-unsu pidana. tindak Orang pidana tersebut harus harus

jawabkan secara dengan

bertanggungjawab

menerima hukuman yang telah di jatuhkan

kepadanya akibat perbuatan pidana yang telah di lakukanya, yaitu mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar. Orang yang telah melakukan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar ini harus bertanggungjawab secara langsung terhadap perbuatan yang dilakukanya. Orang tersebut harus

bertanggungjawab karena dalam perbuatan pidana yang dibuatnya terdapat unsur kesalahan berupa kesengajaan. Oleh sebab itu, penulis memandang putusan yang diberikan majelis hakim kepada terdakwa sanggatlah pantas untuk dipertanggungjawabkan terdakwa.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dikatakan bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali apabila sudah diatur dalam peratuan perundang-undangan. Ini maksudnya bahwa suatu perbuatan dapat dihukum hanya apabila sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu jelaslah bahwa kepada pembuat delik/tindak pidana harus diancam dengan hukuman pidana. Adanya hubungan tersebut karena memang sifat hukum

pidanasendiri yang mengharuskan adanya suatu ancaman hukuman yang merupakan sanksi yang sifatnya untuk melindungi kepentingan orang banyak atau kepentingan umum dengan memaksakan suatu penderitaan (Injury). Mr. Tirtaadmidjaja memberikan pngertian bahwa hukum pidana adalah bagian dari seluruh kumpulan norma-norma hukum yang mempunyai hukumanhukuman tertentu sebagai sanksi terhadap pelanggaran-pelanggarannya. Dalam sistem hukum Indonesia secara garis besarnya ada 2(dua) tindakan ataupun kebijakan yang dapat dilakukan terhadap suatu delik yang terjadi yaitu kebijakan penal dan non penal.

A. Kebijakan Penal. Kebijakan penal adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi atau kondisi tertentu. Secara mendalam

dikemukakan juga bahwa juga bahwa kebijakan penal merupakan kebijakan negara melalui alat- alat perlengkapanya yang berwenang utuk menetapkan peraturan-peraturan yang 59
Universitas Sumatera Utara

dikehendaki dan di perkirakan dapat digunakan untuk mengeksperesikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang di cita-citakan.
47

Kebijakan yang paling sering dilakukan adalah hukuman penjara. Penekanan pemahaman kepenjaraan adalah semata-mata melihat pada perbuatan jahat atau kejahatan yang dilakukan oleh terpidana. Oleh karena itu mereka harus menebus kesalahannya di penjara. Adapun ciri utama pidana penjara adalah harus lama, terdapat unsur derita dan berupa pembalasan masyarakat. Dengan dipenjaranya pelaku kejahatan berarti pula kemerdekaannya telah dirampas. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tujuan dikenakannya

pidana penjara adalah untuk mengadakan pembalasan dan untuk menakuti para pelanggar hukum dan calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan

kejahatan. Pidana penjara ini masuk ke Indonesia melalui pasal 10 KUHP dan sampai sekarang masih berlaku dan dikenal dengan Lembaga

Pemasyarakatan. Untuk menetapkan hukuman penjara peranan hakim sangat diharapkan, artinya bahwa kearifan dan kepekaan mengadili setiap peristiwa pidana sangat menentukan sebelum menjatuhkan hukuman.. Oleh karena itu dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal haruslah diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a.
48

hakim dalam

memeriksa dan

Penggunaan hukum pidana harus memperhatkan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

merata materil dan spritual berdasarkan Pancasila, maka hukum pidana harus bertugas dan bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
Universitas Sumatera Utara

47 48

Soedarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1981, hal 159 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta 2008,hal 28

Universitas Sumatera Utara

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh huku m pidana adalah perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian warga masyarakat. Perbuatan yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan yang merugikan perlu dicegah dengan menggunakan hukum pidana. c. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif berupa pidana perlu disertai penghitungan biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan tercapai. d. Penggunaaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum jangan sampai kelebihan beban tugas (overbelasting) yang mana akan mengakibatan efek dari peraturan itu akan menjadi kurang. Kebijakan penal yang dapat dilakukan terhadap tindak pidana

mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar pada kasus Putusan No. 1902/ PID B/ 2004/ PN Medan adalah dengan menerapkan hukuman yg terdapat dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, yaitu Pasal 81 ayat (2) huruf c yang menerapkan hukumana penjara maksimal 7 tahun. Untuk saat ini atas perubahan Undang-Undang t No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan menjadi Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, penerapan pasal 197 yang menerapakan hukuman penjara paling lama 15 tahun adalah kebijalan penal yang dapat diterapakan.

Universitas Sumatera Utara

B. Kebijakan Non Penal. Kebijakan penanggulangan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalahatau kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulakan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulanagan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategisdan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.
49

Kebijakan non penal ini juga diperlukan untuk menanggulangi kejahatan, kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana hukum pidana sebagai hukumannya melainkan lebih memperhatikan aspek-aspek lainnya seperti aspek psikologi, ekonomi, sosiologi tindakan konkret yang paling nyata dilakukan adalah tindakan administrasi berupa pencabutan izin. Adapun kebijakan non penal yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar adalah sebagai berikut : a. Harus dilakukan dengan cara-cara yang sedikit agak lebih bemoral seperti penyebarluasan ajaran-ajaran agama. Cara ini bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dalam suatu acara ibadah. b. Melalui tindakan administrasi dengan melakuka n pencabutan izin apotik atau toko obat.

49

Barda Nawawi Arief (buku III), Op. Chit.,hal. 33. Universitas Sumatera Utara

c.

Dalam membasmi kejahatan mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin ini harus dilakukan dengan sifat memberantas, misalnya untuk mencegah penyakit demam berdarah maka nyamuknya harus diberantas juga.

d. Dengan cara mencabut izin pabrik besar farmasi yang mengedarkan sediaan farmasi yang belum di registrasi kepada apotik atau toko-toko obat berizin. e. Memberikan peringatan keras kepada produsen yang bersangkutan dan memerintahkan segera menarik peredaran produk yang belum mendapat izin edar serta memusnahkannya f. Pemerintah maupun harus berperan secara dalam membina industri dari

importir/distributor

komprehensif,

mulai

pembuatan, peredaran serta distribusi, agar masyarakat terhindar dari penggunaan obat tanpa izin edar yang berisiko bagi pemeliharaan kesehatan. g. Dengan memberi penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat yang menjadi korban tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi. Disamping itu ada beberapa hal yang penting dilakukan dalam upaya penanggulangan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi : 1. Adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap lembaga kesehatan. Pemerintah dalam menjalankan sistem birokrasinya tentunya

mengharapkan agar setiap/segenap aparaturnya mulai tingkat pusat sampai daerah menjalankan tugasnya dengan sebaik-baikya. Bahwa tugas pelayanan publik yang dilakukan harus sesuai dengan peraturan. Harapan pemerintah itu sangat beralasan untuk menunjukkan citra pemerintah sebagai abdi

Universitas Sumatera Utara

masyarakat dan juga abdi

Universitas Sumatera Utara

negara. Namun karena adanya faktor lain ketika sedang melayani masyarakat seperti kedekatan hubungan pribadi, maka sering kali harapan itu tidak terwujud. Apabila ternyata tergiur menjalanan penyelewengan-penyelewengan karena mungkin masyarakat akan memberi sejumlah uang agar bisa menjalankan usaha. Untuk itu maka pemerintah melakukan pengawasan terhadap kinerja aparaturnya sebagai bentuk penertiban terhadap aparaturnya. Adapun

pengawasan itu dilakukan sesuai dengan bidang kerjanya masing-masing. 2. Adanya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Negara pada hakekatnya merupakan kekuatan dalam masyarakat yang terorganisir dilengkapi dengan alat negara dan dengan demikian

bertentangan sekali dengan gelombang opini masyarakat yang teratur. Peran dan fungsi masyarakat dalam hal ini adalah sebagai pengawas terhadap pelaku tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin, dan sebagai gerbang awal dalam penanganan tindak pidana ini. Langkah-langkah tersebutlah yang harus dijalankan pemerintah dalam rangka penanggulanagan tidak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dengan kebijakan non penal dalam kasus Putusan No. 1902/ PID B/ 2004/ PN Medan.

Universitas Sumatera Utara

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Setelah melalui pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan pada babbab sebelumnya dan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Medan maka dengan ini penulis akan mengambil kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diajukan sebagai berikut: 1. Tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar sebagai mana diatur dalam Undang-Undang no.23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan adalah tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi yang berupa obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik yg belum diregistrasi oleh pemerintah. Dalam hal ini mentri kesehatan yang berhak memberi izin edar. Syarat sediaan farmasi diberikan izin edar adalah sediaan farmasi tersebut telah lulus uji dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan. Adapun peraturan perundangundangan di Indaonesia yamg mengatur mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan 2. Berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan 3. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika 4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 5. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

65
Universitas Sumatera Utara

2. Dalam tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2) huruf c Jo Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan sangat berperan dalam mengoptimalisasikan hukum pidana sebagai sarana dalam upaya pencegahan kejahatan. Hal ini

didasarkan pada kasus Putusan No. 1902/ PID B/ 2004/ PN Medan yang terjadi dimana dalam melakukan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar, pelaku dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar untuk keuntungan pribadi. 3. Upaya penanggulangan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dapat dilakukan melalui : a. Kebijakan Penal. Kebijakan ini dilakukan dengan menggunakan sarana hukum pidana yang merupakan sanksi dari suatu delik, misalnya : hukuman penjara, hukuman denda, pidana kurungan, dan lainnya. Kebijakan yang paling sering dilakukan adalah hukuman penjara. Penekanan pemahaman kepenjaraan adalah semata-mata melihat pada perbuatan jahat atau kejahatan yang dilakukan oleh terpidana. Oleh karena itu mereka harus menebus kesalahannya di penjara. Adapun ciri utama pidana penjara adalah harus lama, terdapat unsur derita dan berupa pembalasan masyarakat. Dengan dipenjaranya pelaku kejahatan berarti pula kemerdekaannya telah dirampas. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tujuan dikenakannya pidana penjara adalah untuk mengadakan pembalasan dan untuk menakuti

Universitas Sumatera Utara

para pelanggar hukum dan calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan kejahatan. Kebijakan penal yang dapat dilakukan terhadap tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar adalah dengan menerapkan hukuman yg terdapat dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1992 yang Tentang

Kesehatan, yaitu Pasal 81 ayat (2) huruf c hukumana penjara maksimal 7 tahun.

menerapkan

Untuk saat ini atas perubahan Undang-Undang t No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan menjadi Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, penerapan pasal 197 yang menerapakan hukuman penjara paling lama 15 tahun adalah kebijalan penal yang dapat diterapakan. b. Kebijakan Non Penal. Kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana hukum pidana tindakan ini lebih bersifat administrasi dan lebih bermoral. Kebijakan non penal ini juga diperlukan untuk menanggulangi kejahatan kebijakan ini dilakukan dengan tidak menggunakan sarana hukum pidana sebagai hukumannya melainkan lebih memperhatikan aspek-aspek lainnya seperti aspek psikologi, ekonomi, sosiologi tindakan konkret yang paling nyata dilakukan adalah tindakan administrasi berupa pencabutan izin tindakan non penal yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi adalah sebagai berikut: a. Harus dilakukan dengan cara-cara yang sedikit agak lebih bemoral seperti penyebarluasan ajaran-ajaran agama. Cara ini bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dalam suatu acara ibadah.

Universitas Sumatera Utara

b.

Melalui tindakan administrasi dengan melakuka n pencabutan izin apotik atau toko obat.

c. Dengan cara mencabut izin pabrik besar farmasi yang mengedarkan sediaan farmasi yang belum di registrasi kepada apotik atau toko-toko obat berizin. d. Memberikan peringatan keras kepada produsen yang bersangkutan dan memerintahkan segera menarik peredaran produkserta

memusnahkannya e. Pemerintah harus berperan dalam membina industri maupun

importir/distributor secara komprehensif. Mulai dari pembuatan, peredaran serta distribusi, agar masyarakat terhindar dari penggunaan obat tanpa izin edar yang berisiko bagi pemeliharaan kesehatan. f. Dengan memberi penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat yang menjadi korban tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi.

B. Saran Adapun yang menjadi saran dari penulis dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Mengingat masih susahnya membedakan obat tanpa izin edar dengan obat dengan izin edar, diharapkan pemerintah memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan memberikan informasi mengenai obat yang telah ditarik dari pasar. 2. Dalam penanganan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin, hendaknya dibuat suatu peraturan yang khusus mengatur mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin, sehingga dalam menangani
Universitas Sumatera Utara

tindak pidana ini para aparat hukum dan para pihak yang terkait dapat menindak dengan tegas karena payung hukum terhadap kejahatan ini sudah jelas berikut dengan seluruh penjelasannya. Dengan cara ini, mudahmudahan dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana mengedarkan

sediaan farmasi tanpa izin edar. 3. Adanya pengawasan dari pemerintah dalam hal ini yang berwenang Balai POM supaya lebih pro aktif dalam melakukan pengawasan mulai dari tingkat daerah sampai dengan pusat. Yang menjadi objek pengawasan adalah pihak-pihak yang terkait, mulai dari produksi sampai peredaran, dengan lebih mengoptimalkan Badan Pengawas yang ada didaerah baik daerah Tkt II (Kab/Kota), daerah Tkt I (Propinsi) maupun tingkat pusat dengan melibatkan seluruh unsur mulai dari masyarakat, aparat penegak hukum maupun lembagalembaga tertentu. Dengan demikian praktek jual beli obat tanpa izin edar tidak begitu mudah didapatkan, dan dapat mengurangi tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar. 4. Agar pemerintah mencoba untuk menganalisa lagi apa-apa saja faktor yang menjadi penyebab mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin, sehingga ada suatu kesamaan persepsi tentang faktor penyebab mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin. Dengan demikian akan ditempuh slusi-solusi yang juga sifatnya sama mulai dari tingkat pusat sampai kedaerah.

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA Buku : Slamet, Titon Kurnia. 2007. Hak Atas Drajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia. Bandung. Amir,Amri.1997. Bunga Ranpai Hukum Kesehatan. Jakarta. Anief, Moh. 1993.Farmasetika. Yogyakarta. Usfa, Usfa & Tongat.2004 Pengantar Hukum Pidana.Malang : UMM Press, Chazawi, Adami. 2002. Pengantar Hukum Pidana Bag 1. Jakarta : Grafindo. Chazawi, Adami. 2002. Pengantar Hukum Pidana bag III. Jakarta : Grafindo Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang : Yayasan Sudarto Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia Kanter, EY & Sianturi. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapanya. Jakarta :Storia Grafika Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta : Aksara baru Kartenegara, Satochid. Hukum Pidana Bag I. Balai lektur Mahasiswa Ashofa, Burhan. 1996. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rieneke Cipta Bambang Sunggono, Bambang. 1998. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rajawali Pers Soerjono Soekanto, Soerjono.1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI-Press Lexy Moelong, Lexy. 1999. Metode penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya

Universitas Sumatera Utara

Samidjo. 1985. Ringkasan Dan Tanya Jawab Hukum Pidana. Bandung : Armico Schffmeister,D et al, dalam J.F. Sahetapi (ed). Hukum Pidana. Liberty Yogyakarta Suharto. 2002. Hukum Pidana Materil. Jakarta. Sinar Grafika Prodjohamidjojo, Martiman. 1997. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta : Pradnya Paramita Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidan di Indonesia. Bandung : Refika Aditama Arief, Barda Nawawi.2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta : Kencana

Undang-Undang Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indinesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063) Undang-Undang NO.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495) Undang-Undang No. Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3671) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062) Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3781)

Universitas Sumatera Utara

Sumber Lain TesisHuku m.com. Tanggung Jawab Pengawas Obat dan Makanan.www.tesishukum. com. terakhir kali di akses 12 februari 2010 Pharpos.com. Mengenal Penggolongan Obat. www. Phapros.com.terakhir kali di akses 10 februari 2010 Blogspot, Henrydunan.com. Rekaman Medis. www. henrydunan.blogspot.com. terakhir kali di akses 18 februari 2010

Universitas Sumatera Utara

You might also like