You are on page 1of 24

KEBUDAYAAN DAYAK NGAJU

Kata Pengantar Puji dan Syukur Kami Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat RahmatNyalah kami bisa menyusun makalah mata kuliah Transkultural tentang kebudayaan Dayak Ngaju Semoga dengan adanya makalah ini, dapat memberi pengetahuan atau wawasan kita semua. Kita menyadari makalah yang disusun, jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan. Agar lebih baik nantinya.

Banjarmasin, 2012

Kelompok

Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan . Kebudayaan adalah salah satu aset penting bagi sebuah Negara berkembang, kebudayaan tersebut untuk sarana pendekatan sosial, simbol karya daerah, asset kas daerah dengan menjadikannya tempat wisata, karya ilmiah dan lain sebagainya. Dalam hal ini suku Dayak Kalimantan yang mengedepankan budaya leluhurnya, sehingga kebudayaan tersebut sebagai ritual ibadah mereka dalam menyembah sang pencipta yang dilatarbelakangi kepercayaan tradisional yang disebut Kaharingan. 1. asal usul Asal usul leluhur orang Dayak Ngaju dapat diketahui dari dua cara. Pertama dari Tetek Tatum (ratap tangis sejati) tentang penciptaan manusia pertama kali oleh Tuhan mereka yang bernama Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) (Riwut, 2003). Menurut Tetek Tatum leluhur orang Dayak Ngaju merupakan ciptaan langsung Ranying Hatalla Langit yang sempurna, yang ditugaskan untuk menjaga bumi dan isinya agar tidak rusak (http://betang.com/). Para leluhur ini diyakini sebagai manusia keturunan Raja Bunu, anak daripasangan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan laut dan Kameloh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun (http://betang.com/). Kedua, tentang leluhur asal usul Dayak Ngaju dapat ditelusuri dari tulisan-tulisan sejarah tentang orang Dayak Ngaju (Maunati, 2006). Dalam sejarahnya leluhur Dayak Ngaju diyakini berasal dari kerajaan yang terletak di lembah pegunungan Yunan bagian Selatan, tepatnya di Cina Barat Laut berbatasan dengan Vietnam sekarang (http://nyahudayak.blogspot.com/). Mereka bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia (Provinsi Yunan, Cina Selatan) sekitar 30001500 sebelum masehi (Widjono, 1998:2). Suku Dayak Ngaju memahami dunianya (kosmologi) melalui pemaknaan terhadap Pohon Batang Garing (pohon kehidupan). Pohon ini diyakini diturunkan langsung oleh Tuhan Dayak Ngaju yang bernama Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam tetek tatum (ratap tangis sejati) diceritakan bahwa Ranying Hatalla Langit menciptakan dua pohon yang berbuah dan berdaun emas, berlian dan permata, diberi nama Batang Garing Tinggang (pohon kehidupan) dan Bungking Sangalang (Riwut, 2003:490).

Dalam gambaran yang ada, Pohon Batang Garing berbentuk tombak dan menunjuk ke atas yang melambangkan Ranying Mahatala Langit. Bagian bawah pohon terdapat guci berisi air suci dan dahan berlekuk, yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Sedangkan daun-daunnya melambangkan ekor Burung Enggang. Masing-masing dahan memiliki tiga buah yang menghadap ke atas dan ke bawah, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja bunu atau buno

(http://ceritadayak.blogspot.com/). Secara umum orang Dayak Ngaju memahami Batang Garing sebagai simbol tingkatan alam, yang terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu alam atas, pantai danum kalunen (bumi), dan alam bawah (air). Alam atas adalah tempat tinggal Ranying Hatalla Langit, bumi adalah tempat tinggal manusia, dan alam bawah adalah tempat tinggal jata atau lilih atau Raden Tamanggung Sali Padadusan Dalam atau Tiung Layang Raja Memegang Jalan Harusan Bulau, Ije Punan Raja Jagan Pukung Sahewan (Riwut, 2003:508). 2.Pengetahuan tentang Leluhur Dayak Ngaju Dalam pengetahuan orang Dayak Ngaju, leluhur mereka diyakini merupakan keturunan dari Raja Bunu, anak dari pasangan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan laut dan Kameloh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun. Keduanya diyakini sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit. Raja Bunu diciptakan untuk menghuni bumi, di mana keturunannya akan mati setelah generasi ke sembilan. Menurut kepercayaan orang Dayak Ngaju, Raja Bunu mempunyai dua saudara bernama Raja Sangen dan Sangiang. Raja Bunu dan kedua saudaranya dianugrahi juga oleh Ranying Hatalla Langit seekor burung yang bernama Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan dan besi Sanaman Lenteng (senjata Dohong Papan Benteng). Dalam ceritanya, Raja Bunu dan kedua saudaranya saling berebut untuk mendapatkan burung itu. Tiba-tiba Raja Sangiang menikamkan dohongnya ke burung tersebut. Darah yang bercecer ke luar dari burung tersebut diyakini orang Dayak Ngaju berubah jadi emas, berlian, permata dan kekayaan alam yang melimpah di Kalimantan. Tempat burung itu mati dipenuhi dengan kekayaan yang abadi. Menurut kepercayaan agama Kaharingan tempat itu disebut dengan Lewu Tatau (Surga) Pada awal penciptaan leluhur Dayak Ngaju, di langit terjadi benturan berupa perkelahian antara dua ekor burung Enggang, yaitu Enggang jantan dan Enggang betina yang sedang mencari dan memakan buah dari Pohon Kehidupan atau Batang Garing. Enggang betina mulai bergerak dari bawah pohon, sedangkan Enggang jantan bergerak dari puncak ke bawah. Ketika kedua Enggang bertemu terjadilah perkelahian hebat yang berakhir dengan matinya kedua burung tersebut dan rusaknya Batang Garing. Bagian dari Batang Garing yang berserakan dan bertebaran di mana-

mana kemudian memunculkan berbagai kehidupan, termasuk manusia laki-laki dan manusia perempuan (http://sckpfp.ifrance.com/filsafat.htm). Leluhur Dayak Ngaju diturunkan melalui Palangka Bulau dalam tiga bentuk, yaitu Tantan Puruk Pamatuan,Tatan Liang Mangan Puruk Kaminting, dan Puruk Kambang Tanah Siang (http://nyahudayak.blogspot.com/). Pendapat lain menyatakan sebanyak empat bentuk, yaitu Di Tantan Puruk Pamatuan, hulu sungai Kahayan dan Barito, Di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting, Di Tatah Takasiang, hulu Rakaui Malahui, Di Pueruk Kambang, dan Tanah Siang (Riwut, 2003: 423) Kehidupan Leluhur Dayak Ngaju dipenuhi dengan kebiasaan atau tradisi yang hingga saat ini masih dilakukan oleh orang Dayak Ngaju, seperti upacara hasaki atau hapalas, yaitu mengoleskan darah binatang seperti ayam, kerbau, sapi dan babi ke dahi, tangan, dada, dan kaki untuk penyucian diri; manawur behas (menabur beras); memotong kerbau; malahap (pekik rimba); menggunakan daun-daunan sebagai obat tradisional, bertato, pesek (tindik telinga), katinting katune (menghitamkan gigi), mempunyai kesaktian; dan mihup baram (minum brem) dalam setiap upacara adat (Riwut, 2003).

3. Pengaruh Sosial Pengetahuan orang Dayak Ngaju pada Pohon Batang Garing, berimplikasi terhadap perilaku kehidupan sosial mereka, antara lain: a. Pengaruh terhadap keyakinan asal usul orang Dayak Ngaju Orang Dayak Ngaju meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Maharaja Buno yang diturunkan dari langit ketujuh oleh Ranying Hatalla dengan palangka bulau (Riwut, 2003: 497). b. Pengaruh pada upacara tradisional, antara lain: Upacara adat menawur behas (menabur beras), yaitu menaburkan beras ke segala penjuru dalam setiap upacara adat. Kenapa harus beras, karena beras berasal dari pantis kambang kabanteran bulan, lelek lumpung matanandau di bukit kagantung langit di langit ketujuh. Melalui beras orang Dayak Ngaju yakin kalau mereka dapat berkomunikasi dengan putir selang tamanang dan raja angking langit yang diteruskan kepada Ranying Hatalla (Riwut, 2003: 201). Upacara pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu bagian hidup orang Dayak Ngaju yang dianggap sakral, karena berhubungan dengan kepercayaan mereka terhadap leluhur mereka, yaitu Raja Bunu. Bagi Suku Dayak Ngaju, melakukan pernikahan berarti menghormati Raja Bunu. Pada saat ritual pernikahan dilaksanakan, roh Raja Bunu diyakini ikut hadir (http://jenggotcommunity.blogspot.com).

Upacara pernikahan. Dalam upacara pernikahan Dayak Ngaju, terdapat sebuah ritual berdoa dengan menengadahkan tangan. Empat jari tangan merupakan simbol dari: Jari jempol, melambangkan manfaat alam semesta sebagai sumber hidup kita. Jari telunjuk tengah, melambangkan perintah melestarikan alam semesta yang ada agar tidak rusak dan punah. Jari manis, melambangkan perintah untuk menyatu supaya bisa serasi dengan alam lingkungan hidup. Jari kelingking, melambangkan untuk menghormati kepentingan lingkungan hidup. (http://jenggotcommunity.blogspot.com). Upacara tiwah, yaitu proses mengantarkan arwah (liau) sanak kerabat atau leluhur yang sudah meninggal ke surga atau Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang, yaitu sebuah tempat yang kekal atau abadi. Orang Dayak Ngaju meyakini leluhur akan senang dan bahagia jika arwah mereka sudah diantarkan. Mereka juga meyakini bahwa sebelum dilaksanakan upacara tiwah, roh leluhur dianggap belum masuk surga (http://www.nilariwut.com/). Ritual pemotongan kerbau pada setiap upacara adat. Terlepas dari adanya hubungan dengan kebudayaan agraris, kerbau bagi orang Dayak Ngaju adalah binatang yang harus selalu dikorbankan dalam setiap upacara adat. Hal ini harus dilakukan karena mereka meyakini bahwa kerbau merupakan binatang yang selalu dikorbankan pada saat perkawinan leluhur mereka (Riwut, 2003). Kemampuan spiritual. Orang Dayak Ngaju terkenal dengan kemampuan spiritualnya yang luar biasa. Salah satu kemampuan spiritual itu adalah apa yang mereka sebut Manajah Antang (burung Elang), yaitu memanggil burung Elang agar dapat memberi petunjuk untuk berperang atau ingin mengetahui keadaan seseorang. Mereka meyakini burung yang datang adalah suruhan leluhur mereka, dan mereka meyakini petunjuk apapun yang diberikan oleh burung Elang adalah benar (Riwut, 2003). Tradisi ber-Tato/Tutang/Cacah, yaitu menato tubuh. Orang Dayak terkenal dengan seni tatonya. Baik kaum laki-laki maupun perempuan, menato bagian-bagian tertentu dari tubuhnya, seperti pergelangan tangan, punggung, pe rut atau leher. Bahkan terdapat orang yang menato seluruh tubuhnya (biasanya seorang pemimpin). Tato selain sebagai simbol status juga merupakan identitas. Mentato didasari oleh kayakinan bahwa kelak setelah meninggal dan sampai ke surga, tato itu akan bersinar kemilau dan berubah menjadi emas, sehingga dapat dikenali oleh leluhur mereka nanti di surga. Pelaksanaan hukum-hukum adat. Sejak dahulu hingga sekarang orang Dayak terkenal dengan hukum adat mereka, khususnya berkaitan dengan bagaimana cara mereka hidup berdampingan dengan alam (hutan). Hukum adat merupakan aturan yang telah digariskan oleh Ranying Hatalla dan diwariskan oleh leluhur mereka untuk ditaati. Orang Dayak Ngaju meyakini jika tidak melaksanakan hukum adat, maka leluhur mereka akan marah dengan mengirimkan berbagai bencana alam, seperti banjir dan kesulitan mencari makan.

Upacara mangayau kayu dan danum (air), yaitu upacara yang bertujuan mengembalikan keseimbangan dan hubungan manusia-alam yang telah rusak. Ini menunjukkan betapa hukum adat Dayak Ngaju menekankan sikap tidak saling mengganggu dan membinasakan antara alam dan manusia (http://budidayak.blogspot.com/). c. Pengaruh sikap terhadap binatang Suku Dayak Ngaju menghormati beberapa jenis binatang tertentu, antara lain: Burung Tingang yang merupakan lambang kemasyuran dan keagungan. Burung Antang (Elang) merupakan lambang keberanian, kecerdikan serta kemampuan memberikan petunjuk peruntungan baik dan buruk. Dalam acara ritual menenung atau acara menajah antang untuk mengetahui Dahiang-Baya, burung Antang digunakan sebagai mediator. Burung Bakaka diyakini memberikan petunjuk bagi pencari ikan apakah memperoleh banyak sedikitnya. Burung perintis juga diyakini mempunyai fungsi yang sama dengan Burung Bakaka Burung Kalajajau/Kajajau (Murai) dianggap sebagai burung milik dewa. Memperlakukan burung Kalajajau/ Kajajau (Murai) dengan semena-mena dapat membawa malapetaka. Burung Bubut mampu memberikan informasi bahwa tidak lama lagi permukaan air sungai akan meluap atau terjadi banjir. Tambun (ular besar/ular naga) melambangkan kearifan, kebijakan sarana, dan kekuatan. Suku Dayak Ngaju mempunyai pantangan pali (tabu) membunuh binatang yang sedang mengandung, ikan yang sedang bertelur, dan ikan yang masih kecil. Mereka juga melarang manusia mempunyai hubungan yang lebih dengan binatang, misalnya menyetubuhi binatang. Jika ini dilanggar seseorang, maka ia disebut manusia terkutuk. d. Pengaruh sikap terhadap lingkungan alam Manusia Dayak Ngaju berpandangan bahwa manusia sebagai bagian dari dunia, hidupnya harus menyatu dengan alam. Manusia dilarang merusak alam karena itu sama saja dengan merusak diri dan kehidupan itu sendiri. Pengaruh dari pandangan ini terlihat dalam hal-hal di bawah ini, yaitu: Dalam bertani atau berladang orang Dayak Ngaju telah mengatur penggarapan lahan dalam satu siklus. Misalnya, sebuah keluarga petani memiliki tiga lahan pertanian masing-masing dengan luas satu hektar. Oleh karena ladang tersebut hanya dipanen sekali dalam setahun, maka mereka menggarap ketiga lahan tersebut secara bergiliran. Dalam mengelola hutan. Sejak dahulu kala, di setiap desa, nenek moyang Dayak Ngaju memelihara suatu kawasan terbatas hutan suaka alam yang disebut Pahewan. Dalam pengelolaannya, para tokoh adat memberikan peringatan kepada setiap warga masyarakat, agar tidak menganggu hutan, tumbuh-tumbuhan atau binatang apapun yang terdapat di kawasan Pahewan. Dan yang terpenting adalah masyarakat Dayak Ngaju tidak boleh mengelola melebihi batas pahewan, karena akan mengganggu kelompok masyarakat lain. Adanya hak ulayat atas hutan adat. Hak ulayat adalah hak persekutuan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat suatu wilayah tertentu. Untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air, serta isinya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Manusia Dayak Ngaju umumnya mengetahui bahwa tidak lama lagi permukaan air sungai akan naik sampai suatu batas tertentu,

jika ada tumbuhan sejenis cedawan kecil pada kayu lapuk atau dari munculnya akar baru pada pohon dan dahan suatu jenis kayu yang tumbuh tepi sungai. Dalam menebang pohon kayu untuk bahan bangunan, manusia Dayak Ngaju mengetahui kapan waktu terbaik untuk menebangnya. Ini bertujuan agar kayu tidak mudah dimakan rayap. Manusia Dayak Ngaju juga dapat meramalkan tahun-tahun tertentu di mana akan terjadi kemarau panjang berdasarkan kedudukan binatang. e. Pengaruh terhadap motif kain Motif Batang Garing digunakan sebagai motif busana pengantin, karena dianggap mengandung makna yang sangat dalam dan sakral yaitu lambang manusia dan penciptanya, nilai-nilai moral, hidup yang lurus, rukun, kebikan, kewajiban dan hak pria dan perempuan yang harus dilaksanakan selama hidup di dunia (http://lindataway.wordpress.com/).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan .

Kebudayaan adalah salah satu aset penting bagi sebuah Negara berkembang, kebudayaan tersebut untuk sarana pendekatan sosial, simbol karya daerah, asset kas daerah dengan menjadikannya tempat wisata, karya ilmiah dan lain sebagainya. Dalam hal ini suku Dayak Kalimantan yang mengedepankan budaya leluhurnya, sehingga kebudayaan tersebut sebagai ritual ibadah mereka dalam menyembah sang pencipta yang dilatarbelakangi kepercayaan tradisional yang disebut Kaharingan.

Sebagai bukti ragam budaya Indonesia yaitu tradisi Tiwah sebagai salah satu kebudayaan masyarakat Dayak Ngaju Propinsi Kalimantan Tengah yangpada mulanya sebuah tradisi kepercayaan masyarakat Kaharingan. Berbagaimacam prosesi yang terjadi pada acara tersebut, diantaranya: Ngayau (penggalkepala), ritual Tabuh (tidak tidur selama dua malam dengan diselingi minum.

Dari uraian di atas kami tertarik untuk membuat makalah yang terkait lebih dengan mengambil judul "Kebudayaan Suku Dayak".

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dan mengacu pada judul yang ada, kami merumuskan masalah dalam penulisan makalah adalah ini sebagai berikut :

1. Mengapa masyarakat suku Dayak Ngaju masih melaksanakan Upacara Tiwah ? 2. Bagai mana system kekerabatan ssuku dayak ?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Secara umum penelitian ini berusaha mengungkap prosesi tiwah dalam perspektif hukum Islam dan Hukum Negara. Sedangkan secara rincinya sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kebudayaan suku dayak. 2. Untuk memenuhi nilai IPS .

BAB II PEMBAHASAN A. Geografi Antara daratan Asia dan Australia terletak Nusa Tenggara Indonesia termasuk pulau Borneo yang oleh orang Indonesia dinamakan Kalimantan. Nama Borneo mungkin berasal dari nama Brunei dan sering digunakan untuk menamai seluruh pulau sedangkan nama Kalimantan mungkin berasal dari keadaan pulau yang punya banyak kali, banyak mas, dan banyak intan, sehingga menjadi Kalimantan. Menurut beberapa pihak lain mungkin nama Kalimantan berasal dari namaLamanta. Lamanta adalah sagu dari pohon yang baru ditebang, yang masih mentah. Pada umumnya nama Kalimantan digunakan untuk bagian geografis tanah di bawah pemerintahan Indonesia dan West Malaysia atau nama Borneo untuk bagian di bawah pemerintahan Malaysia.

B. Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan. Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri. Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. C. Pengertian Suku Dayak Dayak atau Daya adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan yang meliputi Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan . Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.

Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:

"Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau), "Dayak Darat" (13 bahasa) "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina. "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.

"Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Kutai, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Tidung, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito Raya). D. Sejarah Suku Dayak Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orangorang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah Menteng Ueh Mamut, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur. Pada tahun 1977-1978 saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam. Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masingmasing memiliki sifat dan perilaku berbeda. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 . Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu sekitar tahun 1608 . Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Maanyan atau Ot Danum).

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orangorang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

E. Sistem Religi Religi asli suku Dayak tidak terlepas dari adat istiadat mereka. Bahkan dapat dikatakan adat menegaskan identitas religius mereka. Dalam praktik sehari-hari, orang dayak tidak pernah menyebut agama sebagai normativitas mereka, melainkan adat. Sistem religi ini bukanlah sistem hindu Kahuringan seperti yang dikenal oleh orang-orang pada umumnya. Orang Dayak Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah Jubata. Jubata inilah yang dikatakan menurunkan adat kepada nenek moyang Dayak Kanayatn yang berlokasi di bukit bawakng . Dalam mengungkapkan kepercayaan kepada Jubata, mereka memiliki tempat ibadah yang disebutpanyugu atau padagi. Selain itu diperlukan juga seorang imam panyangahatn yang menjadi seorang penghubung, antara manusia dengan Tuhan ( Jubata ). Sekarang ini banyak orang Dayak Kanayatn yang menganut agama Kristen dan segelintir memeluk Islam. Kendati sudah memeluk agama, tidak bisa dikatakan bahwa orang Dayak

Kanayatn meninggalkan adatnya. Hal menarik ialah jika seorang Dayak Kanayan memeluk agama Islam, ia tidak lagi disebut Dayak, melainkan Melayu atau orang Laut . F. Bahasa Dayak Kanayatn memakai bahasa ahe/nana' serta damea/jare dan yang serumpun. Sebenarnya secara isologis (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata yang serumpun) sangat sulit merinci khazanah bahasanya. Ini dikarenakan bahasa yang dipakai sarat dengan berbagai dialek dan juga logat pengucapan. Beberapa contohnya ialah : orang Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti (Landak) yang memakai bahasa ahe/nana' terbagi lagi ke dalam bahasa behe, padakng bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan Menyuke (Landak) terbagi dalam bahasa satolo-ngelampa', songga batukng-ngalampa' dan angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan logat menyebabkan percampuran bahasa menjadi bahasa baru. Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan bahasa yang dipakai oleh para generasi tua. Dalam komunikasi saat ini, banyak kosa kata Indonesia yang diadopsi dan kemudian "di-Dayak-kan". Misalnya ialah :bahasa ahe asli : Lea ,bahasa indonesia : seperti ,bahasa ahe sekarang : saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh generasi muda mudah dimengerti karena mirip dengan bahasa indonesia atau melayu.

G. Lembaga Adat Suku Dayak merupakan bagian dari masyarakat adat. Masyarakat adat adalah komunitaskomunitas yang hidup berdasarkan asal usul keturunan diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budayanya diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan hidup masyarakatnya. Hukum adat Dayak Kanayatn mempunyai satuan wilayah teritorial yang disebut Binua. Binuamerupakan wilayah yang terdiri dari beberapa kampong . Masingmasing binua punya otonominya sendiri, sehingga komunitas binua yang satu tidak dapat mengintervensi hukum adat di binua lain. Setiap binua dipimpin oleh seorang timanggong (kepala desa). timanggong memiliki jajaran-bawahan yaitu pasirah (kepala dusun) dan pangaraga (ketua RW/RT). Ketiga pilar inilah yang menjadi lembaga adat Dayak Kanayatn

H. Sistem Kekerabatan Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn menggunakan sistem bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai hubungan kekerabatan, seorang anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu. Hubungan kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan kekerabatan ini penting karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama pada perkara perkawinan. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak merusak keturunan. I. Adat Istiadat Suku Dayak Di bawah ini ada beberapa adat istiadat suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan. 1. Upacara Tiwah Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.

2. Dunia Supranatural Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. Panglima atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa

mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber Tariu ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.

Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada

tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan Palangka Bulau ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang ).

J. Seni Tari Dayak

1. Tari Gantar

Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.

Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.

2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang

Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.

Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.

3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong

Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.

Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian Tari Kancet Ledo tradisional suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.

4. Tari Kancet Lasan

Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulubulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai.

Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon. Posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulubulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.

5. Tari Leleng

Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.

6. Tari Hudoq

Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.

7. Tari Hudoq Kita'

Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manikmanik dengan ornamen Dayak Kenyah.

8. Tari Serumpai

Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).

9.

Tari Belian Bawo

Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.

10. Tari Kuyang

Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk Tari Hudoq Tari Belian Bawo mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.

11. Tari Pecuk Kina

Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.

12. Tari Datun

Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dankegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.

13. Tari Ngerangkau

Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.

14. Tari Baraga' Bagantar

Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.

H. Macam-macam suku dayak


Suku Dayak Abal Suku Dayak Bakumpai Suku Dayak Bentian Suku Dayak Benuaq Suku Dayak Bidayuh Suku Dayak Bukit Suku Dayak Darat:Dayak Mali Suku Dayak Dusun Suku Dayak Dusun Deyah Suku Dayak Dusun Malang Suku Dayak Dusun Witu Suku Dayak Kadazan Suku Dayak Lawangan Suku Dayak Maanyan Suku Dayak Mali Suku Dayak Mayau Suku Dayak Meratus Suku Dayak Mualang Suku Dayak Ngaju Suku Dayak Ot Danum Suku Dayak Samihim Suku Dayak Seberuang Suku Dayak Siang Murung Suku Dayak Tunjung Suku Dayak Kebahan Suku Dayak Keninjal Suku Dayak Kenyah Suku Dayak Simpangk Suku Dayak Kualant Suku Dayak Ketungau Suku Dayak Sebaruk

Suku Dayak Undau Suku Dayak Desa Suku Dayak Iban Suku Dayak Pesaguan Suku Dayak Lebang I. Senjata Tradisional Suku Dayak

Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru. Berikut ini adalah senjata-senjata tradisional suku dayak : 1. Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang - cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan. 2. Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras. 3. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 2 meter dengan lebar 30 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan. 4. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat. 5. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan dan analisis data pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang diangkat yaitu antara lain:

1. Sebagian masyarakat suku dayak pada dasarnya masih sangat menghargai kebudayaan tersebut dan juga sangat menghormati leluhur mereka, karena dalam kehidupan mereka sangat percaya pada leluhur mereka, apapun yang ditinggalkan oleh leluhur mereka itulah yang wajib dikerjakan dan mereka beranggapan bahwa bila ini tidak dijalankan maka aka nada bencana bagi keluarga mereka dan juga orang yang ada disekitar mereka . 2. Sistem kekerabatan suku dayak yaitu menggunakan system parental ( ayah dan ibu) .

B. Saran

Sebagai warga Negara Indonesia kita perlu mengetahui kebudayaan-kebudayaan yang ada di Negara kita sendiri. Kadang kita lebih mengenal budaya yang ada di Negara barat melainkan budaya kita sendiri. Salah satu budaya dari Negara kita adalah budaya suku dayak . Tentu bukan hanya budaya dayak yang ada di negara Indonesia, melainkan masih banyak budaya-budaya yang belum kita ketahui . Maka dari itu kita harus mengenal budaya kita sendiri mulai memberikan wawasan kepada anak-anak sejak dini agar memahami beragam budaya yang ada di Negeri cercinta ini.

You might also like