PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
I. PENGERTIAN Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emIisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595) .
II. KLASIFIKASI a. Broknkitis Kronis Menurut Price & Wilson (2006), bronkitis kronis merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut. Definisi ini tidak mencakup penyakit-penyakit seperti bronkoektasis dan tuberkolosis yang menyebabkan batuk kronik dan pembentukan sputum. Sputum yang terbentuk pada bronkhitis krinis dapat mukoid atau mukopurulen. 1. Etiologi Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu : - Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae. - Alergi
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
- Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll. Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa alat tubuh, yaitu : - Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi. - Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronchus. - Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi. - Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lender bronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. 2. Patofisiologi Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas bagian atas, biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut. Dokter akan mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami batuk atau produksi sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut. Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan bronchospasme. 3. Manifestasi Klinis Klien dengan bronchitis kronis akan mengalami : - Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana akan meningkatkan produksi mukus.
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
- Mukus lebih kental Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus. Oleh karena itu, mucocilliary deIence dari paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat. Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula- mula mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena. Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis. Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2. Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary. Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF. b. Emfisema Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Sesuai
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emIisema, melainkan hanya sebagai overinIlation (Bruner & Suddart, 2002). 1. Patogenesis Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu: - Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar. - Hyperinflation Paru Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi. - Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X ray. - Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas. 2. Tipe emfisema Terdapat tiga tipe dari emfisema : - Emfisema Centriolobular Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan bronchiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar tetap bersisa. - Emfisema Panlobular (Panacinar) Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok.
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
- Emfisema Paraseptal Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner, seringkali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul. 3. Patofisiologi Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan elastisitas recoil. Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolar (disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada dead space atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja naIas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok.
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
c. Asma Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang- cabang trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme. d. Bronkiektasis Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yan mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe.
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
III. ETIOLOGI PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas. a. Genetik PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi 1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi 1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom. b. Paparan Partikel Inhalasi Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi meningkat. Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia. Meskipun bahan- bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK. Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa- sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru c. Pertumbuhan dan Perkembangan Paru Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya. d. Stres Oksidatif Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK e. Jenis Kelamin Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang merupakan perokok saat ini f. Infeksi Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun
IV. PATHWAY (TERLAMPIR) V. PATOFIOLOGI Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar ( sentrilobular ), emfisema panasinar ( panlobular ) dan emfisema periasinar ( perilobular ) yang sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi. Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok. Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene , TNF , IL-1 dan TGF. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease,
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear Iactor sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal. a. Inflamasi pada PPOK 1. Inflamasi Lokal dan Sistemik Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait dengan eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak sistem sehingga menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi komponen. Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas keparenkim dan arteri pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan infiltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik (CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang penting juga terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen IL-4 yang
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret. TNF yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkoordinasi dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang kemudian akan menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitoin diatas selain berada didalam saluran nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada saluran nafas sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit pada gambaran darah tepi.5 Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu jelas dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan proses tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor risiko yaitu asap rokok. Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara independen menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan inflamasi sistemik melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya kejadian ini juga akan dialami oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun. Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa respon inflamasi
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
lokal ber diri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari penelitian akan kadar TNFR dan IL8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi pada sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat. Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses inflamasi lokal berupa kenaikan temperatur tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya saja terjadi perbedaan dimana memang inflamasi sistemik tampak pada subjek yang mengalami demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang pada PPOK, dimana hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi perifer.
Gambar 3. Lingkaran terjadinya proses kerusakan pada PPOK 2. TNF Alpha pada PPOK TNF Alpha atau sinonim lainnya Lymphotoxin B, Cachectin adalah sitokin inflamasi pleotropik . Teori tentang respon anti tumoral dari sistim imun secara in vivo sudah di ketahui sejak 100 tahun yang lalu oleh seorang medis William B. Coley. Pada tahun 1968 Dr. Gale A Granger dari University of California melaporkan adanya faktor sitotoksik yang dihasilkan oleh lymphocyte dan diberi nama Lymphotoxin (LT). Sesudah itu pada tahun 1975 Dr. Lloyd J. Old dari Memorial Sloan-Kettering Cancer Center, New York , melaporkan faktor
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
sitotoksik lainnya yang diproduksi oleh makrofag dan diberi nama Tumor Necrosis Factor (TNF). Tumor Necrosis Factor (TNF)- adalah sitokin pleotropik yang memiliki efek yang bermacam-macam, seperti growth promotion, growth inhibition, angiogenesis, cytotoxicity, inflammation, dan imunomodulation yang berimplikasi terhadap beberapa kondisi inflamasi. Sitokin ini tidak hanya diproduksi oleh aktivasi makrofag tetapi juga oleh sistim imun yang lainnya meliputi : lymphocytes, natural killer cells, mast cells dan jaringan stromal meliputi : endotelhelial cells, fibroblasts, microglial cells. TNF di sintesis oleh monomeric Type-2 transmembrane protein (tmTNF) berada didalam membran homotrimer dan membelah menjadi matrix metalloprotease TNF- converting enzyme (TACE) dan untuk soluble circulating trimer (solTNF). Dimana keduanya tmTNF dan solTNF merupakan bentuk biologi yang aktif. Keseimbangan antara tmTNF dan solTNF menberikan signal yang dapat mempengaruhi tipe dari sel, aktivasi dari sel, dan menstimulus produksi dari TNF, aktifitas TACE, dan ekspresi dari endogenous TACE inhibitors merupakan petunjuk efek dari penyimpangan TNF mediated pada kelangsungan hidup sel. Alveolar macrophages memainkan peranan yang penting sebagai imunitas bawaan dan didapat., yang berperan sebagai pertahanan patogen terhadap paru- paru, pembersih dari partikel-partikel inhalasi dan respon inflamasi. Alveolar macrophages memiliki tempat yang unik di dalam tubuh, karena mereka berlokasi diantara penghubung yaitu udara dan jaringan paru-paru, dan bertindak sebagai pertahan pertama terhadap pertikel-partikel inhalasi yang berasal dari udara. Normalnya alveolar macrophages berjumlah kurang lebih 95% dari leukosit airspace , serta 1 sampai 4% limphosit dan hanya 1% neutophil, ini adalah alasannya bahwa alveolar macrophages berhubungan dengan sel phagositosis dari sistem imun bawaan pada paru-paru. Sel ini memegang peranan sebagai poros dari proses inflamasi pada PPOK. Alveolar macrophages mengalami kenaikan (5-10 kali) pada saluran nafas, parenkim paru, Broncho Alveolar Lavage (BAL) dan sputum pada penderita PPOK yang merokok dan peningkatan ju.mlah makrophag ini juga berhubungan dengan tingkat keparahan dari PPOK.
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
Paparan asap rokok memang merupakan penyebab tersering dari PPOK, di mana sebagai akibat dari asap rokok ini akan mengaktivasi makrofag untuk melepaskan beberapa mediator inflamasi, salah satunya adalah TNF. TNF di percaya memerankan peranan yang sangat penting terhadap patofisiologi dari PPOK. TNF di perlihatkan pada binatang percobaan yang dapat menginduksi perubahan patologi pada PPOK, termasuk infiltrasi sel inflamasi pada paru-paru, fibrosis paru dan emphisema. Secara In vivo peninggian kadar TNF juga dapat di jumpai pada darah perifer, biopsi bronkhial, induksi sputum dan BAL dari pasien-pasien PPOK stabil yang dibandingkan dengan kontrol
VI. PENATALAKSANAAN Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah: - Memperbaiki kemampuan penderita mengatasiu gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga fase kronik. - Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian. - Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal. Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut: - Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok, menghindari polusi udara. - Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara. - Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik. - Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih controversial. - Pengobatan simtomatik. - Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul. - Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran lambat 1 2 liter/menit.
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
- Tindakan rehabilitasi yang meliputi: Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling efektif. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran jasmani. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula. - Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis) Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan : Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4x0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat. Terapi oksigen diberikan jika terdapata kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2 Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara perlahan. - Terapi jangka panjang di lakukan
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4x0,25- 0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut. b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru. Fisioterapi - Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik - Mukolitik dan ekspektoran Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg) Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
VII. KOMPLIKASI PPOK a. Hipoxemia Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis. b. Asidosis Respiratory Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea. c. Infeksi Respiratory Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea. d. Gagal jantung Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
e. Cardiac Disritmia Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory f. Status Asmatikus Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat
VIII. ASKEP a. Pengkajian Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat kesehatan dari proses penyakit: - Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan? - Apakah aktivitas meningkatkan dispnea? - Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas? - Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas? - Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh? - Riwayat merokok? Obat yang dipakai setiap hari?Obat yang dipakai pada serangan akut? - Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya? Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut: - Frekuensi nadi dan pernapasan pasien? - Apakah pernapasan sama tanpa upaya? - Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi? - Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan? - Barrel chest? Apakah tampak sianosis? Apakah ada batuk? Apakah ada edema perifer? apakah vena leher tampak membesar? - Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien? - Bagaimana status sensorium pasien? - Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan? Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
- Chest X-Ray : dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma) - Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator. - TLC : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema. - Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema - FEV1/FVC : ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma. - ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma). - Bronchogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis) - Darah Komplit : peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma). - Kimia Darah : alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer. - Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
- ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema) - Exercise ECG, Stress Test : menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program. - Palpasi: Palpasi pengurangan pengembangan dada? Adakah fremitus taktil menurun? - Perkusi: Adakah hiperesonansi pada perkusi? Diafragma bergerak hanya sedikit? - Auskultasi: Adakah suara wheezing yang nyaring? Adakah suara ronkhi? Vokal fremitus nomal atau menurun? - IX. DIAGNOSA KEPERAWATAN - Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal. - Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas. - Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi - Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen. - Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia. - Ganggua pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi. - Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi. - Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi. X. RENCANA KEPERAWATAN (TERLAMPIR
LAPORAN PENDAHULAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN PPOK PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FIK UI OLEH YUNITA SAFITRI (0806323252)
XI. REFERENSI Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan, alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung, Bandung Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2001) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, edisi ketiga, Jakarta: balai Penerbit FKUI Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi 3, Jakarta: EGC Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih, edisi 6, Jakarta: EGC