You are on page 1of 12

MAKALAH IMMUNOLOGI

Dosen : Prof. Dr. Ni Made Mertaniasih, dr., M.S., Sp.M.K.(K).

RESPON IMUN PADA HIPERSENSITIVITAS TIPE I YANG DISEBABKAN OLEH PROTEIN SERBUK SARI (POLLEN)

DISUSUN Oleh: BAHARUDDIN 011 214 153 020

MAGISTER ILMU KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2012

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya. Makalah ini di dalamnya membahas tentang respon imun pada Hipersensitivitas Tipe I yang disebabkan oleh protein serbuk sari (pollen) pada kesempatan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada : Prof. Dr. Ni Made Mertaniasih, dr., M.S., Sp.M.K.(K). selaku Dosen Pegajar dan PJMK MK Immunologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih terdapat banyak kekurangan,untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik agar makalah ini dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Surabaya,10 November 2012 Penyusun

PENDAHULUAN Dalam dunia ekologi yang kita pahami bersama terdapat istilah bahwa antara satu faktor dengan faktor yang lain di alam ini akan saling mempengaruhi hal ini di karenakan sistem yang kita tempati adalah sistem yang terbuka, yang tentunya berlaku pula untuk setiap organisme. Organisme berdasarkan cara memperoleh makananannya dikelompokkan menjadi 2 yaitu: autotrof dan heterotrof, organisme autotrof dalam menjaga kelestariannya di alam ini akan melakukan proses reproduksi yang biasanya akan menghasilkan bungan (flos). Bunga merupakan organ reproductivum yang di dalamnnya terdapat putik (alat kelamin betina) dan benang sari (alat kelamin jantan). Pada benang sari ini terdapat bagian yang dinamakan kotak sari yang mengandung sangat banyak serbuk sari (pollen) yang ukurannya sangat kecil walaupun terkadang pada beberapa tanaman ada yang berukuran besar. Secara alamiah ketika serbuk sari telah matang maka kotak sari akan pecah karena adanya proses higroskopis dan dengan bantuan angin akan bergerak secara random di udara dan tanpa sengaja akan terhirup (inhalasi) dan masuk melalui sistem pernafasan. Pada sebagian orang hal ini tidak memiliki efek yang berarti namun ada sebahagian kecil yang akan mengalami reaksi alergi hebat oleh karena masuknya alergen tersebut. Setiap orang memiliki karakter atau respon alergi yang berbeda-beda pada setiap bahan tersebut ada yang rendah, sedang bahkan parah dengan kondisi akhir yang kritis. respon berlebih inilah yang dikenal dengan hipersensitivitas yang merupakan salah satu bentuk dari respon imun. Berdasarkan uraian permasalahan ini maka sangat penting untuk mengetahui tentang mekanisme hipersensitivitas khususnya pada pollen atau serbuk sari tanaman yang merupakan salah satu bahan alergen.

DEFINISI RESPON IMUN Secara konsep dikatakan respon imun ketika adanya reaksi antara sel-sel imun atau molekul-molekul antibodi dengan suatu antigen, yang dalam hal ini di khususkan untuk alergen yang bersumber dari salah satu bagian tanaman yaitu pollen (serbuk sari).

DEFINISI HIPERSENSITIVITAS DAN HIPERSENSITIVITAS TIPE I Hipersensitivitas dalam immunologi adalah kondisi dimana seseorang ketika terpapar dengan antigen yang dalam hal ini di kenal dengan istilah alergen akan menghasilkan reaksi berlebih dengan memproduksi antibodi IgE yang sangat banyak, yang lebih spesifik lagi dibedakan menjadi 4 tipe yang salah satunya adalah hipersesitivitas tipe I (Rengganis et al., 2008).
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena seseorang terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Seseorang dapat terpapar dengan bahan tersebut karena ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung dengan bahan tersebut. Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma (Boediana, 1996).

BAHAN ALAM PEMICU HIPERSENSITIVITAS Setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh akan memicu respon imun baik yang humoral atau seluler. Setiap mekanisme ini pada dasarnya memiliki tujuan untuk menghasilkan antibodi dalam jumlah tertentu yang digunakan sebagai pengenal pada setiap antigen sehingga antigen tersebut dapat di netralkan atau dihancurkan oleh sel. Antigen dapat berupa molekul, bahan hidup atau bahkan partikel benda mati yang juga dapat memicu timbulnya alergi. Bahan yang bersifat alergenik dari bahan alam dapat berasal dari hewan atau tumbuhan. Salah satu bagian dari tumbuhan yang sering memicu respon imun adalah pollen yang merupakan bagian utama dari suatu bunga yang di dalamnya berisi inti sperma yang berperan dalam polinasi atau penyerbukan dimana pollen ini memiliki molekul protein yang tentunya merupakan pencetus timbulnya reaksi alergi tersebut.

Gambar 1. Bunga rumput Phleum pratense dengan serbuk sari (pollen) yang telah matang. (Sumber : International Union of Immunological Societies)

Tingkat hipersensitivitas bahan ini didukung oleh beberapa faktor utama yaitu: pertama adalah kandungan protein pemicu alergi dimana konsentrasi dan jenis protein adalah faktor kunci kedua ukuran pollen yang sangat kecil walaupun adapula yang besar, ketiga bobot massa dari serbuk sari karena semakin kecil massanya maka gerak di udara akan semakin cepat dan terakhir adalah faktor struktur luar karena beberapa pollen memiliki struktur eksternal luar yang berfungsi sebagai aksesoris yang berperan dalam kontak pengikatan dengan putik (alat kelamin betina).

MEKANISME HIPERSENSITIVITAS Abbas dan Kurt (2004) menerangkan bahwa untuk alasan yang tidak diketahui, ketika seseorang berkontakan dengan antigen seperti protein di dalam pollen, bahan makanan, racun serangga, atau bagian dari suatu hewan atau jika mereka terpapar dengan obat-obatan seperti penicillin, utamanya Sel T akan merespon dengan membentuk Sel TH2. Banyak reaksi atopic yang terjadi pada individu yang mungkin saja disebabkan oleh satu atau beberapa antigen ini.

Reaksi alergi ini ini pula memiliki frekuensi yang besar dalam penyakit sistem imun yaitu sekitar 20%. Dalam tubuh individu yang normal, memperlihatkan bahwa sel mast banyak membawa molekul IgE dengan spesifikasi yang berbeda-beda karena mungkin saja banyak antigen yang lebih kecil dari IgE ini. Ini pula yang memberikan gambaran yang kuat akan beranekaragamnya gen yang berperan di dalam proses respon imun ini, hal ini sangat berkaitan dengan erat dengan keberadaan super gene family. Berikut ini adalah bagan mekanisme reaksi imun terhadap masuknya bahan allergen dalam tubuh.

Gambar 2. Mekanisme hipersensitivitas yang tidak diperantarai (Sumber : Basic Immnuology, 2004).

Sell mast akan muncul pada semua jaringan penghubung, dan bagian dari sell mast akan membentuk hubungan antara allergen dengan IgE spesifik yang seringkali bergantung pada jalan masuknya allergen. Sebagai contoh, masuknya allergen pada saat inhalasi akan mengaktifkan sel mast pada jaringan sub mukosa pada bronkus sedangkan masuknya bahan allergen melalui proses ingesti akan mengatifkan sel mast pada usus. Rantai IgE memiliki rantai yang afinitasnya sangat kuat yang disebut FceRI yang akan di ekspresikan di permukaan sell mast. Reseptor ini secara umum memiliki 3 rantai suatu bagian pada rantai Fc yang merupakan rantai berat yang sangat kuat dengan kisaran harga Kd 10 -11 M dimana hal ini sesuai pula dengan kisaran yang diberikan oleh Hans Kamerling (2012) tentang kekuatan interaksi antara protein dan protein. S Lie (1999) menerangkan pula bahwa hipersensitvitas tipe I memiliki proses dimana mastosit akan mengikat Ig E melalui reseptor Fc. Ikatan antara antigen dan Ig E tersebut akan menimbulkan degranulasi mastosit yang melepas mediator seperti yang tampak pada gambar 2. Menurut Boediana (1996) adanya alergen pada kontak pertama akan menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya urtikaria (gatal), vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan mediator sekunder menyebakan peningkatan pelepasan metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) dan protein (sitokin and enzim) yang terdapat pada tabel 1.

Tabel 1.Jenis molekul mediator primer dan sekunder Mediator Primer : - Histamine - Serotonin - ECF-A - NCF-A - proteases Mediator Sekunder : - Leukotrienes - Prostaglandins - Bradykinin - Cytokines Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos Vasodilatasi pembuluh darah, aktivasi platelet, kontaksi otot polos Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos Aktivasi sel endothelium, penarikan eosinofil

Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos Kemotaksis eosinofil Kemotaksis eosinofil Sekresi mucus, degradasi jaringan penghubung

Reaksi hipersensitivitas ini dapat diperkuat dengan adanya PAF (Platelet Activator Factor), yang menyebabkan agregasi platelet dan pelepasan histamin, heparin, dan amina vasoaktif. eosinofil dapat melepaskan berbagai enzim hidrolitik yang dapat menyebabkan kematian sel, serta mengontrol pelepasan arylsulphatase, histaminase, phospholipase-D dan prostaglandin-E, walaupun belum diketahui peran pasti dari eosinofil. Penjelasan singkatnya, alergen (protein pollen) akan memicu penghasilan antibodi IgE oleh sel B dan sel mast akan memproduksi mediator primer dan sekunder, mediator primer akan

mempengaruhi sel-sel pada jaringan tertentu yang dapat berupa kerusakan. Kemudian hal selanjutnya adalah karakteristik dari IgE dimana sangat labil bila terpapar panas dan kemampuannya untuk menempel pada sel mast dan basofil. Hal ini dapat dilihat bahwa walaupun waktu paruh IgE adalah 2,5 hari, sel mast dan basofil dapat tersensitisasi selama lebih dari 12 minggu karena tersensitisasi atopic serum yang mengandung IgE. Pada gambar 3 akan diperlihatkan bagaimana pelekatan antigen-antibodi pada sel mast yang di perantarai oleh pengikatan antibodi IgE pada Fc atau FceRI yang terdapat pada permukaan membran sel mast.

Gambar 3. Mekanisme hipersensitivitas yang tidak diperantarai dimana antigen yang telah berikatan dengan antibodi akan diikat oleh sel mast dengan perantaran reseptor Fc (Sumber : Basic Immnuology, 2004). Telah disampaikan bahwa reaksi terhadap pollen yang merupakan salah satu bahan alergen ini merupakan immediate hypersensitivity (Hipersensitivitas spontan atau tidak perantarai) yang dapat disebut juga sebagai alergi atau atopi yang merupakan Tipe I yang di sebabkan oleh produksi Antibodi IgE karena masuknya antigen dari lingkungan sekitar seperti pollen (protein serbuk sari) tanaman sehingga sangat penting untuk menghindari atau bekerja pada sumbersumber tersebut jika kita adalah orang-orang yang rentan mengalami

hypersensitivitas atau meggunakan masker dengan filter yang baik dimana dengan menggunakan masker ini fungsi pernafasan tidak akan terganggu tetapi maksimal dalam filter benda-benda penyebab alergen di udara.

Setiap reaksi hipersensitivitas memiliki ciri khas yang ditentukan bahan alergennya dan jaringan yang berkontakan. Seperti protein pada pollen tanaman akan menyebabkan beberapa reaksi alergi seperti: rhinitis dan sinusitis yang biasanya disertai dengan demam yang merupakan reaksi terhadap bahan allergen yang dihirup, seperti pollen rumput yang sangat kecil dan ringan sehingga mudah terbawa oleh angin.

PENERAPAN TERAPI TERHADAP PENYAKIT HIPERSENSITIVITAS TIPE I Pengupayaan untuk tidak terpapar dan masuknya bahan alergen tersebut ke dalam tubuh adalah sangat penting karena beberapa orang dapat mengalami penyakit asma penyempitan saluran nafas yang jika sangat parah akan berakibat pada ketidaksadaran sesaat (pingsan) atau bahkan meninggal. Kasus meninggal ini diakibatkan oleh banyaknya jaringan terutama otak yang tidak mendapatkan oksigen. Namun demikian terdapat beberapa terapi yang di berikan kepada penderita hipersensitivitas yang tidak diperantarai yang diberikan sesuai dengan gejalanya:

MOLEKULAR ALLERGOLOGY

Setiap bahan alam baik itu yang berasal dari tumbuhan, hewan atau mikroorganisme yang dapat menimbulkan reaksi alergi pastilah memiliki protein yang memicu reaksi alergi tersebut. Protein ini di bentuk dari proses transkripsi yang dilanjutkan dengan proses translasi (dogma sentral biologi molekuler), sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk menghasilkan bahan protein alergi (allergen) di butuhkan yang namanya gen-gen alergi. Untuk mengantisipasi terjadinya respon alergi berat salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan memberikan protein pencetus alergi dari bahan alam tersebut kepada seseorang dengan dosis tertentu sehingga terbentuk antibodi lebih dini sehingga pada saat terpapar dengan bahan alergi tersebut tidak akan menghasilkan reaksi hipersensitivitas yang berlebih atau dengan kata lain orang tersebut telah terbiasa. Teknologi pengembangan protein pencetus alergi tersebut telah banyak dikembangkan salah satunya adalah recombinant allergens. Prinsip rekombinasi alergen adalah menemukan gen-gen pengekspresi protein penyebab alergi yang kemudian dipotong dan disisipkan pada Eschrichia coli (E. coli) secara in vitro. Produk protein dari ekspresi gen tersebut kemudia dimurnikan dan digunakan untuk kepentingan pengembangan diagnosa alergen. Rekombinasi alergen memiliki prospek yang besar untuk digunakan sebagai alat diagnosis dan penanganan terhadap pasien yang mengalami alergi dalam upaya pengembangan immunotherapy pada standarisasi tes produk-produk allergenic. Steiman dan Sarah (2008) mengemukakan beberapa contoh dari produk rekombinasi alergen yaitu f353 rGly m 4 dari gen tanaman kedelai

Glycine max, f422 rAra h 1, f423 rAra h 2, f424 rAra h 3, f352 rAra h 8, dari gen tanaman kacang tanah Arachis hypogaea. Konsep rekombinasi alergen ini adalah salah satu alat bantu dalam pengembangan moleculer allergology.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas Abul K and Andrew H.L. 2004. Basic Immnuology Functions Disorders of The Immune System (2nd). Philadelphia: Sauders. Abbas Abul K and Andrew HL. 2006. Cellular and Molecular Immunology (5th). Philadelphia: Sauders. London, New York. Bartra J., J Sastre, A del C., J Montoro, I Juregui, I Dvila, M Ferrer, J Mullol, and A Valero. 2009. From Pollinosis to Digestive Allergy, J Investig Allergol Clin Immunol, Vol. 19, Suppl. 1: 3-10, Esmon Publicidad. Boedina dan Siti. 1996. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium, Edisi 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hans Kemerling. 2012, Sugar and Health Disease, Makalah disajikan pada Kuliah Tamu, diselenggarakan di Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga. Surabaya. Rengganis I., Alex H., Edi G., Samsuridjal D., dan Sri B. September, 2008. Sensitivitas terhadap Serbuk Sari pada Pasien Alergi Pernafasan. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 58, no.9. S Lie T.M., 1999. Peran Sel Mast Dalam Reaksi Hipersensitivitas Tipe-I. Jurnal Kedokteran Trisakti, September-Desember Vol.18, No.3. Steinman H. and Sarah R., 2008. Native & Recombinant Allergen Components Sweden: X-O Graf Tryckeri AB.

You might also like