You are on page 1of 9

RINGKASAN ALIRAN LUTHERAN

GEREJA LUTHERAN Aliran ataupun gereja-gereja Lutheran mengambil namanya dari tokoh Reformasi, yaitu Martin Luther. Aliran ini berpedoman pada ajaran Luther. Di lingkungan gereja-gereja Protestan sedunia, aliran ataupun denominasi Lutheran merupakan yang tertua dan memiliki jumlah anggota gereja penganutnya yang terbanyak, yang tersebar di Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Australia. Sekitar 90 persen dari gereja-gereja yang mengaku masuk aliran Lutheran, yaitu 105 organisasi gereja bergabung dalam The Lutheran World Federation (LWF; berdiri tahun 1947). Di Indonesia sekurang-kurangnya ada 8 organisasi gereja yang termasuk aliran Lutheran serta menjadi anggota LWF, yaitu HKBP, GKPS, GPKB, GKPI, HKI, GKLI, GKPA dan GKPM; semuanya (kecuali GPKB) berkantor sinode (pusat) di Sumatera Utara dan sekitarnya. Kedelapan gereja ini merupakan hasil pekerjaan Rheinische Mission-gesell-schaft (RMG; lembaga pekabarab Injil dari Rheinland, Jerman) yang berasal dari lingkungan gereja yang menganut aliran Uniert (campuran Lutheran dan Calvinis) yang bekerja sejak 1861. Di lain pihak pengaruh ajaran Lutheran dan aliran Lutheran tidak hanya terasa di lingkungan gereja-gereja di atas, tetapi juga hampir semua gereja yang termasuk mazhab Protestan. Hal itu wajar, mengingat Martin Luther adalah tokoh pertama Reformasi gereja abad ke-16. Latar belakang dan Sejarahnya Berbicara tentang aliran Lutheran, dengan sendirinya harus berbicara tentang Martin Luther dan keadaan gereja di Eropa pada umumnya dan di Jerman pada khususnya di sekitar awal abad ke16. Selain itu juga, kita akan melihat beberapa pokok pandangan dan ajarannya, termasuk perkembangan dan pergeseran dari Luther ke Lutheranisme. Latar belakang Reformasi yang dicanangkan Luther tidak terlepas dari perkembangan situasi kerohanian atau kegerejaan, sosial politik, kebudayaan dan perekonomian di Eropapada masa itu. Di bidang kerohanian atau kegerejaan, sudah sejak abad ke-5 uskup Roma (Paus) semakin memperlihatkan dan mengklaim supremasi atau keunggulan atas seluruh gerejanya di Eropa. Supremasi ini tidak hanya berlaku di gereja tetapi juga atas Negara atau pemerintah. Klaim supremasi ini kemudian disusul dengan penetapan berbagai ajaran gereja (Katolik Roma) yang tidak hanya bersumber dari Alkitab, melainkan juga dari tradisi. Di dalamnya antara lain dinyatakan bahwa Paus-lah yang memiliki dan menentukan keselamatan manusia, dan dalam memperoleh keselamatan itu manusia harus ikut berperan dalam bentuk beramal atau berbuat baik; jadi tidak hanya cukup mengandalkan iman dan kasih karunia Allah. Sehubungan dengan ini, kalau seseorang mau selamat melintasi purgatorium (api penyucian) menuju ke kehidupan kekal, ia harus berbuat banyak hal yang baik bagi gereja dan harus membeli surat penghapusan siksa dari pejabat gereja sesuai dengan timbangan dosanya. Padahal banyak pejabat gereja yang memperlihatkan perilaku yang jauh dari kesucian dan kesalehan ataupun dari ketergantungan penuh pada rahmat Allah, hidup dalam gemilangan kemewahan dan berbuat amoral. Pelayanan, pembinaan dan penggembalaan kepada umat sangat diabaikan, karena manusia secara otomatis sudah dianggap menjadi anggota gereja sejak kelahirannya. Keadaan ini meresahkan banyak orang, termasuk sejumlah rohaniawan yang masih berusaha memelihara ketertiban hidup dan kemurnian ajaran gereja dan semakin kuat pula niat untuk membarui dan memurnikan kehidupan dan ajaran gereja. Luther bukanlah orang pertama yang mencanangkan reformasi gereja di Eropa. Sebelumnya sudah ada John Wycliffe (Inggris) dan Johannes Hus (Cheko).

Namun reformasi yang mereka canangkan belum mampu untuk membuat suatu perubahan, karena pada masa itu gereja masih sangat kuat dan gagasan pembaruan yang mereka canangkan tidak cukup mendasar dan radikal untuk membongkar sistem dan sendi-sendi utama ajaran dan organisasi GKR. Tetapi pada masa Luther, keadaan sudah sangat matang sehingga Luther bisa berperan sebagai penarik picu alat peledak yang membongkar sistem yang sebelumnya sudah sangat mapan namun juga meresahkan dan mulai keropos. Di bidang sosial politik terjadi beberapa perkembangan, di antaranya cita-cita persatuan semua orang Kristen di bawah pimpinan Paus sudah pudar, timbulnya semangat emansipasi politik hampir di seluruh Eropa, setiap raja ingin mengatur urusan wilayah kekuasaannya masingmasing dan tidak lagi mengakui klaim supremasi gereja atau Paus atas negara. Raja-raja wilayah ini sangat banyak berperanmendukung dan memajukan gerakan Reformasi yang dicanangkan Luther dan kawan-kawan. Selain itu juga, di kalangan bangsa Jerman bangkit semangat nasionalisme yang menekankan kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain dan karena itu tidak lagi mau tunduk di bawah kekuasaan yang berasal dari negara atau bangsa lain, dalam hal ini Paus yang di Roma. Di bidang kebudayaan sejak abad ke-15 timbul Renaisans, yaitu semangat untuk kembali ke masa lalu dengan menggali sumber-sumber dan kejayaan masa lalu dan sekaligus mengembangkannya dalam bentuk-bentuk baru. Maka bangkitlah semangat untuk menggali sumber-sumber asli dari zaman kejayaan Yunani-Romawi. Semangat ini menghinggapi Luther, sehingga ia bekerja keras mendalami Alkitab bahasa asli Ibrani dan Yunani. Banyak pula di antara pendukung Renaisans yang berupaya menggabungkan filsafat Yunani dengan iman kristiani. Upaya ini melahirkan paham Humanisme dan salah satu tokohnya yang terkenal yaitu Desiderius Eramus, seorang Belanda. Renaisans ini juga mendorong bangkitnya semangat mengembangkan ilmu dan teknologi modern. Salah satu hasilnya adalah penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Dan penemuan ini berjasa mendukung penggandaan dan penyebaran tulisan-tulisan para reformator, terutama Luther. Di bidang ekonomi Eropa Barat mengalami perkembangan pesat. Sejak akhir abad ke-15bangkit kelas pedagang dan pengusaha di bidang perdagangan dan industri yang menjadi cikal bakal kapitalisme. Hal ini menggeser dominasi feodalisme yang berlangsung berabad-abad, dimana gereja juga terlibat. Feodalisme semakin dipandang tidak cocok dengan kenyataan dan kebutuhan masyarakat sehingga menimbulkan kritik yang nantinya melahirkan sikap kritis terhadap keadaan di masyarakat. Karena gereja di dalamnya berperan sebagai sokoguru sistem feodalisme, maka gereja juga menjadi sasaran sikap kritis tersebut. Selayang-pandang Riwayat Hidup dan Awal Pergumulan Luther Martinus Luther (1483-1546) lahir di Eisleben 10 November 1483 di lingkungan keluarga yang setia kepada GKR. Sesuai dengan ajaran gereja, ia dididik sangat takut kepada Tuhan, sebab ia hanya diajar untuk memandangNya sebagai Hakim yng keras dan pemurka. Pada usia 21 tahun, ia berhenti dari kuliahnya setelah ia menjalaninya selama empat di Universitas Erfurt dalam bidang hukum. Hal ini atas dasar ayahnya yang mengingininya untuk menjadi biarawan di biara Santo Augustin. Melihat keseriusannya, pimpinan biara menugaskannya belajar teologi dan dua tahun kemudian (1507), ia ditahbiskan menjadi imam. Pada tahun 1510 ia diutus ordonya menghadap Paus di Roma. Ia mendapat gelar doktor di bidang studi Kitab Suci dan diangkat menjadi guru besar di Universitas Wittenberg (1512). Jabatan inilah yang ia sandang sampai akhir hidupnya. Tugas utamanya adalh menafsir Alkitab dan untuk itu ia harus memeriks naskah asli. Setelah dikucilkan dari GKR, pengalaman ini mendorongnya menerjemahkan Alkitab ke

dalam bahasa Jerman dengan maksud supaya sebanyak mungkin orang dapat membaca Alkitab dalam bahasanya sendiri. Pada saat itu mustahil bagi warga gereja untuk membaca Alkitab dalam bahasanya sendiri, karena menggunakan bahasa Latin (vulgata) dan hanya boleh dibaca oleh kaum klerus atau rohaniawan. Sementara mendalami Kitab Suci, ada 1 perkara yang intens digumuli Luther, yaitu tentang keselamatan: bagaimanakah caranya agar bisa mendapatkan rahmat Allah supaya memperoleh keselamatan? Dan pada tahun 1514, ia menemukan jalan keluar dari kegelisahannya itu melalui pemahaman bru atas kesaksian Paulus dalam Roma 1:16-17. Lewat pengalaman dan pemahaman baru itu Luther lebih lanjut menghayati hubungan antara Allah dan manusia secara baru. Hal ini tersebar dan sekaligus menjadi titik tolak pusat gerakan Reformasi. Permulaan Reformasi Luther Penyebab mendasar timbulnya Reformasi adalah perbedaan antara ajaran atau teologia dan praktek gereja (GKR) dengan ajaran Alkitab. Tetapi peristiwa pemicu Reformasi itu adalah penjualan surat penghapusan siksa (aflat) di Jerman oleh Johann Tetzel. Menentang propaganda Tetzel, Luther menyusun 95 dalil yang ditulis dalam bahasa Latin, lalu ia tempelkan di pintu gerbang di Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517 (tanggal ini diperingati gereja-gereja Protestan sebagai hari Reformasi). Dalil-dalil ini merupakan ungkapan dan pengalaman Luther sendiri, jadi tidak bersifat teoritis. Membaca dalil-dalil itu, segera banyak orang tertarik lalu menggandakannya dan menyebarluaskannya. Dalil ini kemudian diterjemahkan para mahasiswa ke dalam bahasa Jerman. GKR menjadi gusar dan penjualan aflat merosot tajam. Di hadapan Paus Leo X merka mendakwa Luther sebagai penyesat. Lalu Paus menuntut agar ajarannya dicabut dan untuk kasus ini, ia bisa mendapatkan hukuma mati. Tetapi elektor (raja wilayah) Saaksen, Friedrich, melindungi Luther dengan tidak menahannya atau menyerahkannya kepada Paus atau hakim-hakim di Roma. Pada tahun 1520 keluarlah bulla (surat resmi) paus, berisi peringatan terakhir agar Luther bertobat. Luther menolak bulla itu dan membalasnya dengan tulisan, Melawan Bulla yang Terkutuk dari Antikristus, sambil membakar bulla itu. Sesudah itu keluarlah bulla baru berisi kutuk atas dirinya dan ajaran Luther di cap sebagai ajaran sesat. Sejak 1519 itu ia menjadi semakin insaf bahwa Paus pun bisa keliru dan konsili-konsili gereja bisa sesat. Kian hari pandangan ini menapat dukungan besar, salah satunya adalah Philip Melanchton, seorang humasis Kristen dan guru besar di Wittenberg. Pokok-pokok ajaran Reformasi Luther disusun Melanchton secara sistematis dalam tulisannya, Pokok-pokok Teologi yang menjadi buku dogmatik Protestan yang pertama. Ia juga membantu Luther menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman. Sambil menerjemahkan Alkitab mereka semakin menyadari dan menekankan kewibawaan Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran gereja yang benar (Sola Scriptura). Prinsip Reformasi Luther dan Melanchton adalah: apa yang berlawanan dengan Alkitab harus dihapuskan. Tetapi yang tidak bertentangan dengan Alkitab tidak perlu diubah (ini biasa disebut adiafora). Yang menjadi sasaran utama reformasi atau pembaharuan yang dicanangkan Luther adalah pembaharuan gereja. Luther melihat bahwa GKR pada masa itu sudah jauh melenceng dari Alkitab. Misalnya, Alkitab bukanlah satu-satunya ajaran gereja yang memuat penyataan (wahyu) dari Allah. Jadi pembaharuan di bidang lain: praktek pelayanan setiap hari, organisasi dan jabatan, dan hal sekunder lainnya. Lanjutan Reformasi Luther dan Munculnya Gereja-gereja Lutheran Reformasi yang dicanangkan Luther tidak hanya melahirkan gerakan yang menjadikan Luther

sebagai pemimpinnya dan berpedoman pada ajarannya, melainkan juga merangsang munculnya berbagai aliran dan gerakan radikal dan revolusioner yang juga menamakan diri gerakan Reformasi, tetapi pandangan dan prakteknya jauh menyimpang dari Luther. Yang pertama adalah gerakan pemberontakan petani yang dipimpin oleh Thomas Munzer (1491- 1525). Semula ia pengikut setia Luther, tetapi sejak 1521, ia menyalahgunakan ajaran Luther tentang Kebebasan Seorang Kristen untuk berkorban melawan para penguasa politik. Munzer memberi tafsiran yang materialistis atas kemiskinan atau orang-orang miskin pada Matius 5:3. Menurut dia maksud nats ini adalah orang miskin dan melarat dalam hal harta benda dan hanya orang seperti itulah menerima Roh, yakni Terang batiniah dari Allah dan merekalah disebut orang berbahagia. Sementara orang kaya, justru kaya, adalah orang-orang fasik. Karena itu, kata Munzer, orangorang miskin dan saleh itu hendaklah orang-orang kaya yang durhaka, lalu mendirikan Kerajaan Allah di bumi. Pada tahun 1524-1525 meletuslah pemberontakan petani di Jerman dan Munzer membenarkan serta ikut memimpin pemberontakan itu, sementara Luther menolaknya dengan keras. Yang kedua adalah gerakan atau kaum Anabaptis. Gerakan ini bermula dari Swiss, kemudian ke Jerman dan Negara lain di sekitarnya. Semula mereka mengikuti tokoh Reformasi Swiss, Ulrich Zwingli, namun dalam wktu singkat mereka memisahkan diri dari gereja dan upaya Reformasi yang dipimpinnya. Sama dengan gerakan pemberontakan petani, cita-cita gerakan ini adalah menciptakan persekutuan orang-orang suci dan mendirikan Kerajaan Kristus di bumi. Namun untuk mewujudkannya, mereka lama-kelamaan menjadi gerakan pemberontakan dan menghalalkan kekerasan. Tetapi sejak 1532, Luther mendengar tindakan revolusioner dari gerakan ini, ia menulis surat terbuka kepada dan tentang mereka, yang ia sebut orang-orang munafik dan pendeta-pendeta gelap. Ia mengencam gerakan ini, baik karena pemahaman mereka tentang baptisan yang ia nilai keliru maupun tindakan kekerasan yang merea lakukan, yang puncaknya pada peristiwa pembantaian di kota Munzer (1535). Dan Luther mendukung tindakan pemerintah setempat dalam membasmi gerakan radikal ini. Di tengah kesibukannya membasmi gerakan radikal ini dan mengkonsolidasikan gerakan reformasi yang dipimpinnya, pada usia 41 tahun (1525), Luther menikah dengan Katharina von Bora. Kemudian secara bertahap dirumuskanlah dokumen yang menjadi kesepakatan bersama antara pengikut Luther dan kemudian menjadi pegangan bagi gereja-gereja Lutheran. Yang pertama adalah Konfesi Augsburg 1530. Dokumen ini disusun oleh para teolog pengikut Luther, terutama Philip Melanchton, berdasarkan permintaan yang ditandatangani oleh sejumlah raja wilayah dan dewan kota yang mendukung reformasi Luther dan selanjutnya diserahkan dan dibacakan di hadapan Kaisar Karel V (25 Juni 1530). Dokumen itu denga tegas mengemukakan posisi dan keyakinan Luther dan para pengikutnya yang membedakan mereka dari GKR dan kelak dipandang sebagai magna charta Lutheran dan menjadi dokumen terpokok yang dipedomani gereja Lutheran. Dokumen ini langsung diserang oleh pihak GKR dan kaisar menyatakan penolakannya dan memerintah supaya dokumen itu dimusnahkan. Melanchton sendiri menjawab serangan pihak GKR, menyusun dokumn baru: Apologi Konfesi Augsburg (1531). Pada tahun 1538, Luther atas permintaan pangeran Johann Friedrich dari Saksen dan rekan-rekannya yang terhimpun dalam Liga Smalkaden, menyusun pasal-pasal Smalkaden. Setelah konsili Trente (1545-1563) yang menyatakn kutukan atas GKR atas Reformasi beserta semua tokoh dan penganutnya, para pengikut Luther banyak mengalami penindasan dan memasuki masa-masa gelap, apalagi karena Luther sudah meninggal pada 18 Februari 1546. Kemudian tecapailah kesepakatan yang dituangkan di dalam dokumen Formula Konkord (Rumusan Kesepakatan) tahun 1577. Pasal-pasal Smalkaden dan Formula Konkord kemudian

dihimpun bersama Katekismus Kecil dan Katekismus Besar dari Martin Luther di dalam Kitab Konkord. Kitab ini diterbitkan tanggal 25 Juni 1580, yang menjadi patokan bagi gereja Lutheran yang sejak akhir abas ke-16 semakin menjelma menjadi gereja yang mapan. Pietisme di dalam Gereja Lutheran Beberapa dasawarsa gereja Lutheran (terutama di Jerman) telah menjadi gereja yang mapan, dimana ajarannya telah terumus dengan lengkap, organisasinya sudah mantap, dengan dukunagn penuh dari negara. Pendek kata, dari sifat (cita-citanya) sebagai persekutuan yang penuh kehangatan dan sukacita sebagai umat yang ditebus Kristus semata-mata karena kasih karunia, gereja Lutheran telah melembaga, lengkap dengan sistem ajaran dan organisasinya. Para pendeta semacam klerus GKR abad pertengahan menjadi penguasa gereja dengan rumusan-rumusan dogmatik-intelektual dan birokrasi organisasi. Gereja Lutheran, bersama dengan gereja Reformed di Belanda, semakin kehilangan dinamika dan lan vitalnya. Keadaan ini meresahkan warga gereja yang ingin menikmati suasana persekutuan dan ingin menikmati pengalaman rohani berhubungan langsung dengan Allah. Keresahan ini muncul sejak akhir abad ke-16 tetapi semakin kuat pada akhir abad ke-17, antara lain dengan terbitnya tulisan Ph. J. Spener, Pia Desideria (Hasrat Kesalehan). Dengan perkembangan ini sekaligus melihat adanya beberapa tipe semangat dan gerakan Pietisme, mulai dari yang tetap bertahan sebagai anggota gereja yang setia, yang cukup berbobot akademis-intelektual, sampai pada yang ekstrem (memisahkan diri dari gereja dan kehidupan sehari-hari) dan cenderung menjadi persekutuan mistik. Pietismebukanlah suatu sistem ajaran atau embaga keagamaan yang baku. Ia lebih semacam semangat hidup atau gaya religiositas yang saleh. Semangat Pietisme ini nanti bergabung dengan semangat Revival (Kebangunan Rohani) dari Inggris. Gereja yang Mengaku Sejak awalnya gereja Lutheran sudah menampilkan diri sebagai gereja yang mengaku yaitu dengan tegas menyatakan pengakuan imannya. 95 dalil yang disusun oleh Luther sudah berisi sejumlah pernyataan yang mengandung pengakuan iman. Sebagaian mengikuti pola pengakuan iman yang sudah lazim dikenal gereja, yaitu Pengakuan Iman Rasuli, Nicea-Constantinopel dan Athanasianum. Konfesi Augsburg menjadi titik tolak lahirnya tradisi gereja yang mengaku yang mencerminkan upaya mereka untuk memperlihatkan ciri konfesional yang khas, yang membedakan mereka dengan gereja-gereja Protestan lainnya. Pokok-pokok Ajarannya Pusat Ajaran Lutheran Firman dan Sakramen adalah kata-kata kunci dalam gereja-gereja Lutheran dan merupkan pusat ajaran Luther. Firman semata-mata mengacu kepada Alkitab sebagaimana dinyatakan lewat semboyan sola scriptura. Sakramen mengacu kepada penghargaan tinggi atas kedua sakramen, yaitu: Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus. Bagi Luther, sakramen adalah Firman yang kelihatan atau diperagakan. Keyakinan Luther bahwa keselamatan hanya diperoleh berdasar kasih karunia melalui iman (sola gratia dan sola fide) diungkapkan jelas dalam penggandaan gereja-gereja Lutheran atas Alkitab dan dalam cara mereka merayakan Perjamuan Kudus. Di dalam memberikan pelayanan Firman dan pelayanan Perjamuan Kudus, selalu ditekankan pengakuan dosa dan pengampunan yang disediakan Allah lewat pengorbanan Kristus. Sakramen (khusus Perjamuan Kudus) Berdasarkan penelitiannya atas Alkitab Luther menemukan bahwa hanya ada dua sakramen yang

alkitabiah. Berdasarkan ini, kaum Lutheran menolak lima lainnya yang diakui di GKR (peneguhan/konfirmasi, pengakuan dosa, penahbisan iman, pengurapan/ peminyakan terutama pada orang sakit atau yang menjelang ajalnya, dan perkawinan). Ajaran Lutheran tentang Perjamuan Kudus disebut konsubstansi, artinya kedua unsur perjamuan, yaitu roti dan anggur, mencakup dua hakikat sekaligus: hakikat jasmani, tetap sebagai roti dan anggur dan hakikat rohani sebagai tubuh dan darah Kristus, yang diterima peserta perjamuan secara nyata. Ini bergeser arti dari ajaran GKR: transsubstansiasi. Bagi Luther pemahaman GKR itu bersifat magis dan tidak realistis, sebab tidak lagi mengakui bahwa roti dan anggur itu tetap berada sebagai roti dan anggur. Jabatan dan Tata Gereja Ketika Luther berbicara tentang jabatan, ia segera mengaitkan dengan pusat atau inti amanat Alkitab dan dengan hakikat gereja sebagai persekutuan orang-orang beriman, yang telah diselamatkan Kristus dan yang hidup di sekitar Firman dan Sakramen. Setiap jabatan ditetapkan oleh Allah sebagai pelaksanaan fungsi pelayanan Firman dan Sakramen. Menurut Luther jabatan imam telah digenapi sekaligus diakhiri oleh Tuhan Yesus Kristus, Imam Besar Agung. Berdasarkan imamat dan pengorbanan Yesus, semua orang percaya adalah imam. Inilah yang disebut Luther bersama para reformator lainnya: Imamat Am Semua Orang Percaya. Sesuai dengan inti ajaran Luther bahwa Firan dan Sakramen harus merupakan pusat kehidupan gereja atau umat kristiani, maka jabatan terpenting dan memerlukan tahbisan khusus adalah jabatan pemberita Firman dan pelayan Sakramen, dalam hal ini pendeta (pastor, gembala; poimen) yang dipandang sama jabatannya dengan uskup dalam GKR. Bersama dengan para penatua (presbuteroi); pendeta juga melaksanakan tugas pengajaran dan penggembalaan. Sementara itu jabatan-jabatan lainnya, seperti guru (pengajar), diaken, pemimpin nyanyian dan sebagainya, tidaklah dianggap sebagai jabatan gerejawi yang permanent dan mutlak ada. Yang terpenting bagi Luther adalah jabatan-jabatan gereja itu tidak bertentangan dengan inti amanat Alkitab atau Injil, yaitu bahwa setiap jabatan ditetapkan sebagai fungsi pelayanan di tengah persekutuan umat tebusan Kristus. Di pihak lain gereja Lutheran memiliki kelemahan, yakni: gereja-gereja Lutheran tidak cukup kuat menolak campur tangan kekuatan pemerintah setempat dalam menentukan struktur pemerintahan/organisasi gereja, maupun mencegah peniruan terhadap struktur organisasi dan birokrasi sekuler bersama dengan jalan pemikiran yang melandasinya. Tata Ibadah Suasana dan liturgi dalam ibadah di gereja-gereja Lutheran tidak jauh berbeda dari GKR, karena Luther mengikuti pola dasar ibadah GKR. Bagi Luther[an] yang terpenting dalam ibadah adalah bagaimana agar jemaat mengalami dengan nyata tindakan penyelamatan Allah di dalam Kristus, dan itu bisa dialami bila kepada mereka Firman diberitakan dengan murni dan dalam bahasa yang dapat dimengerti jemaat, dan sakramen dilayankan dengan benar. Dalam setiap ibdah Minggu harus ada pemberitaan Firman yang murni (semata-mata dari Alkitab). Sementara Perjamuan Kudus tidak mesti diselenggarakan pada setiap ibadah Minggu. Di dalam tata ibadah yang dipergunakan Luther dan pengikutnya, nyanyian dan musik mendapat tempat penting. Tata ibadah di lingkungan Lutheran ini, dituangkan dalam buku tata ibdah yang disebut Agenda. Namun yang menarik dalam tata ibadah Lutheran yang asli adalah di dalamnya tidak ada pembacaan Hukum Tuhan (dasa titah ataupun nas-nas lain yang menggantikannya).

Dampak Pietisme
DAMPAK PIETISME PADA PENGINJILAN

I.

Pendahuluan

Sesudah Reformasi, gereja-gereja mencoba mengukuhkan dan memperkembangkan apa yang telah di peroleh dalam bidang ajaran dan dalam kehidupan gerejawi. Pada satu pihak terlibat kecendrungan untuk mempertahankan hasil reformasi dan untuk mengatur telah ditetapkan lebih dahulu. Pada pihak lain orang-orang mulai menuntut kebebasan untuk percaya dan berfikir menurut perasaan sendiri. II. Isi 2.1. Pengertian Kata Pietisme berasal dari kata latin Pietis yang artinya Kesalehan[1], jadi Pietisme adalah aliran yang yang menekankan kesalehan dan penghayatan iman[2]. Pietisme adalah sebuah gerakan di lingkungan Lutheranisme Gerakan ini bermula sebagai reaksi terhadap ritual-ritual yang mekanis dan formal yang mewarnai pelayanan di gereja Lutheran yang saat itu telah mapan, namun semakin kurang kebebasan untuk mengungkapkan iman secara lebih spontan. Dengan menekankan kesalehan dan penghayatan iman pada perkembangan gereja-gereja Protestan sesudah reformasi.[3] pada saat yang sama pengikutnya berusaha menjaga apa yang telah diajarkan para reformator agar tidak terjadi penyimpangan, maksud Pietisme yaitu untuk menyelesaikan reformasi abad ke-16 supaya tidak hanya ajaran yang di reformasikan tetapi juga seluruh kehidupan, baik pribadi maupun dalam persekutuan Kristen yang mencerminkan Iman Kristen[4]. 2.2. Latar Belakang

Diawali dari pernyataan protes dari berbagai pihak atas kekurangan Gereja, banyak yang menganjurkan kebangkitan kembali kekristenan yang praktis dan saleh, gerakan Pietisme ini muncul pada awal abad ke-17 sampai berakhir pada akhir abad ke-18 dan yang menjadi penyebab munculnya aliran ini adalah reaksi mereka terhadap suasana gereja yang suam itu dan terhadap semangat dunia yang sudah merajalela didalam masyarakat Kristen[5]. Orang-orang Pietis sangat menyesalkan sifat intelektualitas watak khotbah-khotbah yang diperdengarkan di mimbar-mimbar, menurut mereka belum cukup jikalau hanya ajaran murni dan dogmatik saja yang diberikan hanya akan mamuaskan otak tetapi tidak member rohani dan jiwa.[6] Orang-orang Pietis sedih melihat kebanyakan anggota jemaat hidup untuk dunia ini saja, agama dipandang sebagai perkara biasa yang memang masih diindahkan tetapi tinggal perkara lahiriah saja yang tidak menggerakkan hati lagi dan kurang dipraktekkan dalam hidup kaum kristen sehari-hari. Pietisme berusaha untuk memberantas semangat yang suam itu dan membina kembali kehidupan rohani jemaat[7]. Cita-cita Pietisme pada dasarnya tidak lain dari apa yang

dicita-citakan oleh para reformator yaitu bahwa anggota-anggota gereja sesungguhnya percaya dan hidup dari pengampunan dosa yang telah diperoleh secara sukarela dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada Manusia[8]. 2.3. 2.3.1. Tokoh-Tokoh Pietisme Philip Jacob Spener

Spener lahir di Elzas pada 13 Januari 1635 di Rappoltsweiler, Alsace. Masa pelayanan Spener dimulai ketika ia menjadi pendeta jemaat di Strasbourg. Dari Strasbourg, Spener kemudian menjadi pengkhotbah dan guru di Frankfurt. Di Frankfurt, Spener merasakan kedekatan dengan suatu komunitas Kristiani bernama Kaum Labadis yang mendapat perlakuan kurang adil dari gereja Lutheran saat itu. Perlakuan kurang adil itu adalah menyuruh semua warga negeri Lutheran harus dibaptis supaya dianggap suci. Hal inilah yang menyebabkan Spener ingin memperbaharui apa yang dilakukan oleh gereja Lutheran. Karena usahanya itu, maka, pada tahun 1686, Spener mendapatkan perlawanan dari kaum Lutheran di Frankfurt, sehingga membuatnya harus meninggalkan kota itu. Dari Frankfurt, Spener pindah ke Berlin dan menjadi pendeta di sana hingga tahun 1691. Ia meninggal pada tahun 1705.[9] 2.3.2. August Hermann Francke

August Hermann Francke lahir di Lubeck, dekat kota Hamburg pada tanggal 22 Maret 1663. Pada usia 16 tahun, ia masuk Universitas Erfurt dan memusatkan diri pada studi logika dan metafisika. Akan tetapi, karena tidak menyukai setuasi di kota Erfurt, Francke pun pindah ke Universitas Kiel dan di sana ia belajar teologi, fisika, filsafat, dan sejarah. Ia juga sempat belajar bahasa Ibrani dan Yunani di Hamburg sebelum akhirnya pada tahun 1684 masuk Universitas Leipzig. Francke adalah seorang mahasiswa teologi yang gemilang, pada umur 24 tahun ia sudah menjadi guru besar di Universitas Leipzig. Pada 1687 Francke bertobat. Menurut Francke, kehidupannya yang tampak berhasil itu sebenarnya tidak berarti, sebab ia belum memiliki iman yang hidup. Penganut Pietisme dan Revival kemudian memandang peristiwa pertobatan itu adalah sesuatu yang harus dialami oleh seorang Kristen. Sejak pertobatannya itu, Francke kemudian berkecimpung dalam lingkungan Spener, tokoh Pietisme yang banyak memberikan pengaruh besar bagi Francke. Pada tanggal 7 Januari 1692, Francke tiba di Halle dan menjadi guru besar di Universitas Halle. Halle kemudian menjadi salah satu pusat pietisme hingga. Francke meninggal dunia pada tahun 1727.[10] 2.4. Ajaran Pietisme

Untuk dapat mencapai tujuannya, kaum Pietis menekankan: 1. Iman yang berpusat pada Alkitab (jadi bukan pada ajaran gereja)

2. Pengalaman khas dalam kehidupan kristiani (rasa berdosa, pengampunan, pertobatan, kesucian hidup, dan kasih dalam persekutuan)[11]

3. Pengungkapan iman secara bebas melalui nyanyian, kesaksian dan semangat menginjili.[12] 2.5. 2.5.1. Dampak Pietisme Dampak Positif

Dampak Positif yang ditimbulkan oleh aliran Pietisme ini adalah: 1. Adanya Pekabaran injil yang dilakukan dalam rangka harapan kedatangan kerajaan Allah.

2. Pekabaran injil yang dilakukan bersifat oikumenis, dimana ajaran yang dipegang sesuai dengan Alkitab. 3. 4. Pusat hidup adalah firman Tuhan[13] Setia kepada Gereja

5. Pola kesalehan sangat ditanamkan dalam kehidupan kelompok-kelompok Kristen khhususnya pada diri sendiri.[14] 2.5.2. Dampak Negatif

Dampak negatif yang ditimbulkan oleh aliran pietisme ini adalah: 1. 2. 3. 4. Berpikir pada manusia yang saleh itu adalah menjadi pusat hidup rohani. Menimbulkan rasa semangat fanatik dan sekte-sekte kecil. Menimbulkan perpisahan-perpisahan jemaat yang berbeda aliran yang dupahami. Terjadinya pertikaian[15].

III. Kesimpulan Dari pemaparan diatas saya menyimpulkan bahwa aliran pietisme ini menekankan tentang kesalehan hidup manusia karena jika dilihat dari ajaran mereka yaitu mengenai pengungkapan hidup yang dalam artiannya bahwa kita harus hidup dalam kesalehan, karena dengan cara ini kita akan lebih dekat lagi dengan Tuhan dan apa bila kita dekat dengan Tuhan maka anugerah tuhan akan lebih banyak lagi kepada kita umat manusia, selanjutnya yaitu bahwa firman Tuhan itu bukan hanya didengarkan dan dikhotbahkan didalam gereja tetapi juga harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari yang dalam artiannya adalah hidup itu harus berlandaskan firman Tuhan.

You might also like