You are on page 1of 12

Selama lebih dari 4 tahun menangani kasus-kasus gangguan psikosomatik, saya sering mencatat hal-hal yang menarik berhubungan

dengan pasien yang mengalami gangguan ini. Pasien yang datang dengan keluhan fisik yang beraneka ragam ataupun pasien yang hanya mengalami satu atau dua macam keluhan saja. Namun seperti pada beberapa tulisan saya terdahulu, kebanyakan kasus psikosomatik melibatkan sistem saraf otonom sehingga gejalanya lebih banyak adalah gejala di jantung, paru dan lambung. Inilah sebagian besar gejala yang dialami pasien psikosomatik Pahami Dulu Apa Itu Psikosomatik Kalau merujuk ke asal kata PSIKOSOMATIK, maka terdiri dari dua kata yaitu PSIKO yang artinya jiwa,mental atau psikis dan SOMATIK yang artinya badan, tubuh atau soma. Banyak orang yang bertanya kepada saya, sebenarnya arti PSIKOSOMATIK itu apa. Kita tidak perlu bingung masalah istilah, namun sebenarnya kata PSIKOSOMATIK itu bisa bermakna : a. Adanya keluhan fisik (Soma) yang disebabkan oleh faktor psikologis (Psiko) : ini merupakan arti istilah Psikosomatik yang paling sering dipahami b. Adanya keluhan psikologis (Psiko) dan fisik (Soma) bersama-sama pada seorang pasien : ini merupakan istilah psikosomatik yang juga banyak dipahami sebagai bagian yang membuat penanganan kasus psikosomatik itu melibatkan pendekatan biologis,psikologis dan sosial. c. Adanya faktor-faktor psikologis yang berpengaruh pada kondisi somatik (tubuh) dan sebaliknya : ini biasanya pengertian dalam praktek ilmu kedokteran psikiatri konsultasi dan liaison. Psikiater bidang psikosomatik biasanya mempunyai urusan dengan pasien-pasien gangguan medis yang mengalami gejala-gejala psikologis dan pasien gangguan jiwa yang mengalami sakit medis. Apakah Gejala Psikosomatik Itu Lebih Mudah Hilang? Berdasarkan pengalaman klinis, memang saya mencatat banyak kasus psikosomatik yang pasiennya mengeluh fisik dan psikis (lihat atas bagian b.) kebanyakan setelah diobati dengan obat antidepresan dan psikoterapi suportif akan lebih hilang gejala fisiknya lebih dahulu dibandingkan keluhan psikisnya. Apalagi jika keluhan fisik tersebut terkait gejala depresi. Walaupun pada banyak penelitian mengatakan gejala depresi itu akan berbarengan hilangnya dengan gejala fisiknya, dalam artian jika depresinya teratasi maka gejala fisiknya juga akan baik, ternyata pada kenyataannya tidak demikian. Gejala fisik yang diobati dengan tepat biasanya lebih dulu membaik daripada gejala psikologisnya. Walaupun hasil ini berbeda-beda untuk tiap pasien, namun dari catatan saya memang lebih dari 50% pasien merasakan dia lebih nyaman secara fisik dulu baru kemudian rasa cemas atau depresifnya berkurang. Keluhan fisik yang berkurang gejalanya ini yang membuat perasaan was-was dan cemas pasien menjadi lebih baik akhirnya. Pengamatan pada pasien psikosomatik yang lebih mengeluh fisiknya memang sedikit berbeda dengan pasien gangguan jiwa yang lebih banyak mengalami keluhan psikis seperti skizofrenia misalnya. Jadi memang menarik untuk diamati bahwa ketika keluhan fisiknya berangsur menghilang, pasien akan merasa lebih percaya diri dalam mengatasi kondisi kehidupan sehari-harinya. Cegah Psikosomatik Berulang Pembahasan kasus-kasus psikosomatik selalu biasanya saya tutup dengan pesan kepada pasien atau orang yang mengalami psikosomatik bahwa pemeriksaan dengan seorang psikiater adalah yang

disarankan bagian pasien untuk mengatasi keluhannya. Kondisi perbaikan fisik maupun psikis yang terkait dengan psikosomatik akan bisa diatasi oleh psikiater yang merupakan seorang dokter yang mengambil ilmu kedokteran jiwa sebagai spesialisasinya. Lain daripada kontrol ke psikiater ada hal-hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan kasus psikosomatik, hal itu antara lain : a. Pengobatan tuntas Pengobatan yang tuntas dan selesai dengan baik memberikan kemampuan pasien untuk mempertahankan dirinya dari kekambuhan akibat penyakit ini kembali. Struktur sistem otak yang sudah baik akan membantu mencegah penyakit ini datang lagi b. Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental Kekambuhan bukan hal yang mustahil dalam gangguan psikosomatik. Bahkan dari penelitian, gangguan psikosomatik yang didasari oleh depresi maka kemungkinan kambuhnya bisa mencapai lebih dari 50% walaupun sudah diobati dengan baik. Kesehatan fisik sangat mempengaruhi kondisi mental dan begitu pula sebaliknya. Pasien yang mengalami psikosomatik memang lebih sensitif terhadap respon fisiknya dan menjadi lebih tidak nyaman saat sakit datang. Kesehatan fisik yang baik dan didukung oleh kesehatan mental yang baik akan sangat berguna untuk mencegah psikosomatik datang kembali. c. Tidur yang cukupdan berkualitas Saya selalu menekankan pasien saya untuk tidur yang cukup dan berkualitas. Tidur akan membuat tubuh kita relaks dan beristirahat sedangkan jika kita merasa tidak cukup tidur maka badan akan terasa lemah. Jadi usahakan tidur di jam yang baik dan dengan jumlah waktu yang cukup. Semoga informasi ini bisa berguna untuk kita semua. Psikosomatik Sembuh ? Pasti BISA

Obat Antidepresan dan Seluk Beluknya


Oleh : dr.Andri,SpKJ (Psikiater Keminatan Psikosomatik Medis) Praktek sehari-hari saya kebanyakan menangani kasus-kasus gangguan kecemasan dan gangguan depresi. Pasien dari dua jenis gangguan jiwa ini sangat sering mengeluh gejala-gejala fisik yang tidak didasari adanya bukti obyektik (Gejala Psikosomatik). Hal ini membuat ketika melakukan terapi maka saya akan mengedepankan menterapi diagnosis dasarnya seperti yang telah saya bahas pada tulisan-tulisan saya terdahulu tentang gangguan psikosomatik. Pengobatan untuk gangguan cemas dan gangguan depresi tentunya perlu meliputi ketiga aspek yang mempengaruhi kejiwaan seseorang. Pendekatan biologis, psikologis dan sosial (termasuk spiritual) adalah hal yang tidak bisa dilepaskan pada pengobatan pasien-pasien tersebut. Apa yang akan saya bahas kali ini lebih kepada pengobatan dengan obat-obatan terutama antidepresan.

Efektifitas Obat Ketika diagnosis sudah ditegakkan, maka sebagai dokter tentunya saya akan mengatur strategi pengobatan. Strategi pengobatan ini tentunya didasarkan pada rujukan pedoman pengobatan yang telah disetujui bersama oleh para ahli. Organisasi psikiatri baik di Indonesia maupun di luar negeri telah membuat pedoman-pedoman pengobatan untuk kasus-kasus psikiatri yang dihadapi sehari-hari. Kali pertama yang terpikir oleh saya untuk meresepkan obat tertentu kepada pasien terutama untuk kasus gangguan cemas dan depresi adalah efektifitas obat tersebut. Obat Antidepresan golongan Serotonin Selective Reuptake Inhibitor (SSRI) dan Serotonin Norephineprine Reuptake Inhibitor (SNRI) adalah pilihan-pilihan obat yang digunakan untuk kasus depresi. Kedua golongan obat ini dipakai saat ini karena dinilai efektif untuk mengobati gangguan depresi. Pasien dengan gangguan cemas juga mendapatkan manfaat dari pengobatan dengan golongan antidepresan. Selain efektif juga mempunyai profil obat yang lebih relatif aman dibandingkan dengan pengobatan menggunakan obat anticemas golongan benzodiazepine (obat penenang). Seperti kita tahu obat anticemas seperti Alprazolam, Lorazepam, Bromazepam, walaupun efektif mengatasi kecemasan sering kali menimbulkan permasalahan lain yaitu toleransi (dosis yang semakin meningkat) dan ketergantungan. Tolerabilitas Obat Selain efektif mengobati, pemilihan obat juga perlu melihat tolerabilitasnya atau kemampuan pasien dalam beradaptasi dengan obat itu. Kadang memang ada obat yang efektif tapi pasien tidak tahan dengan efek samping yang sering muncul akibat obat yang dia minum. Antidepresan golongan SSRI atau SNRI seperti yang disebutkan di atas cukup mempunyai tolerabilitas yang baik. Pasien biasanya cukup nyaman dengan obat yang diberikan. Sering kali memang muncul efek samping obat pada awal penggunaan, biasanya berlangsung pada minggu pertama. Namun demikian efek samping ini hanya bersifat sementara dan sering kali bisa dilewati tanpa perlu menambahkan obat lain. Efek samping yang sering muncul pada obat yang bekerja di serotonin adalah gangguan perut atau maag, perasaan mengantuk, kadang bisa mengalami insomnia, sering merasa kepala berat atau pusing dan perasaan cemas. Untuk itu biasanya pada pasien diberikan dosis setengah dulu untuk pasien mampu lebih beradaptasi dengan obat ini. Keamanan Obat Kita memahami bahwa pasien dengan penggunaan antidepresan biasanya berlangsung lama. Pada berbagai literatur terbaru disarankan agar pasien tetap melanjutkan pengobatan walaupun sudah membaik sampai minimal 6 bulan sejak perbaikan gejala. Hal ini adalah agar keberulangan gejala tidak terjadi. Untuk itu pemilihan obat selain tolerabilitas dan efektifitas, maka keamanan obat jika dipakai dalam jangka waktu panjang atau jika dipakai bersamaan dengan obat lain perlu diperhatikan. Pasien yang memakai obat antidepresan golongan SSRI atau SNRI masih bisa menggunakan obat lain misalnya obat flu, obat demam atau obat batuk yang sering takut digunakan. Kebanyakan peringatan di obat flu bahwa obat flu tidak boleh

digunakan bersama antidepresan adalah obat antidepresan dari golongan Monoamine Inhibitor (MAOIs). Farmakoekonomi Jangan lupakan salah satu yang perlu diperhatikan juga tentang farmakoekonomi. Yaitu bagaimana pemilihan obat yang baik dan efektif juga perlu dibarengi dengan suatu upaya untuk memberikan obat yang secara ekonomis bisa terjangkau. Sering kali ini menjadi dilema karena pengobatan dengan obat-obat golongan terbaru seperti SSRI dan SNRI memang memerlukan biaya yang cukup besar. Walaupun demikian jika memandang dari segi cost and benefit mungkin penggunaan obat-obat antidepresan golongan SSRI dan SNRI masih bisa dianggap sebagai mampu memberikan perhitungan ekonomis yang masuk akal. Hal ini disebabkan karena perbaikan gejala depresi dan cemas yang baik dan didukung dengan kemampuan kerja secara ekonomis pasien-pasien yang mengalami depresi dan cemas, keuntungan secara ekonomis memakai obat ini bisa terpenuhi.

Memilih Antidepresan Untuk Pasien


Oleh : dr.Andri,SpKJ (Psikiater Bidang Psikosomatik Medis) Saya beberapa kali dalam praktek harus mengganti obat antidepresan yang digunakan karena pasien kurang responsif terhadap pengobatan yang diberikan. Hal ini biasanya dilakukan ketika batasan responsif terhadap terapi yang diberikan sudah dilewati, biasanya adalah dua bulan atau 8 minggu. Pergantian antidepresan biasanya dilakuan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan yang signifikan atau terlihat dalam pemeriksaan klinis tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Sebenarnya hal ini merupakan hal yang biasa di dalam praktek sehari-hari. Kurang atau tidaknya responsif pasien terhadap suatu antidepresan tertentu bukan berarti menjadi terteutup harapan sembuh pasien dengan menggunakan antidepresan. Memilih Antidepresan Setelah diagnosis ditegakkan biasanya saya mulai memilih obat yang paling dianggap cocok untuk pasien yang saya hadapi. Pilihan antidepresan sangat beragam dari kelas dan jenis masingmasing kelas. Di dalam praktek sehari-hari beberapa kelas antidepresan yang sering digunakan adalah seperti di bawah ini 1. Antidepresan Golongan Trisiklik Contohnya adalah Amitripiline, Imipramine, Clomipramine 2. Antidepresan Golongan SSRI Contohnya : Fluoxetine (Prozac), Sertraline (Zoloft), Paroxetine (Paxil), Fluvoxamine (Luvox), Escitalopram (Cipralex) 3. Antidepresan Golongan SNRI Contohnya : Duloxetine (Cymbalta), Venlafaxine (Efexor) 4. Antidepresan Golongan Agomelatine

Contohnya : Agomelatine (Valdoxan) Pemilihan obat antidepresan berdasarkan diagnosis pasien dan pedoman tata laksana untuk gangguan tertentu yang sudah disepakati oleh para ahli di tingkat internasional atau nasional. Selain itu pemilihan obat juga lebih bersifat individual dalam artian setiap pasien mempunyai karakteristik yang berbeda yang membedakan juga pengobatannya. Obat yang dipilih biasanya adalah obat yang mempunyai tolerabilitas atau kemampuan obat itu diterima oleh individu yang paling tinggi. Hal ini biasanya karena disebabkan penggunaan obat antidepresan yang cukup lama harus mendapatkan obat yang biasanya juga mempunyai tolerabilitas terhadap pasien yang lebih baik. Selain itu sebenarnya yang paling penting adalah bahwa obat itu efektif terhadap pasien dan mampu menghilangkan gejalanya. Pengobatan Tidak Berespon Baik Ketika memutuskan untuk memulai pengobatan, pasien biasanya akan dilihat respon pengobatannya di awal-awal minggu pertama. Minggu pertama adalah masa "pengenalan" obat tersebut di otak dan tubuh pasien. Beberapa pasien mengalami efek samping karena pengenalan ini. Efek samping yang timbul biasanya akan menghilang dengan sendirinya dalam beberapa hari tanpa memerlukan penanganan khusus. Beberapa efek samping yang sering timbul misalnya keluhan lambung (maag),lebih cemas daripada biasanya, sulit tidur, mengantuk, kepala tegang dan mulut kering. Salah satu cara menguranginya adalah dengan memulai dosis lebih kecil di awal minggu pertama. Jika sudah dilewati maka akan masuk ke minggu berikutnya di mana obat sudah mulai mencapai tahapan stabilisasi di otak tetapi belum berespon maksimal. Pada minggu kedua ada beberapa pasien yang sudah mulai merasakan perubahan dalam gangguan atau keluhan yang dialami tetapi ada juga pasien yang mengalami kondisi yang sama dengan sebelumnya. Hal ini masih dianggap sebagi suatu proses yang belum memerlukan penanganan khusus. Memasuki minggu ketiga dan keempat obat antidepresan sudah mulai mencapai keseimbangan di dalam otak pasien. Pada minggu ketiga dan keempat ini biasanya keluhan sudah jauh lebih berkurang jika pasien cocok dengan obat-obatan yang diberikan. Namun demikian ada sebagian pasien yang merasa belum banyak perubahan berarti. Pada kondisi ini biasanya saya tetap meneruskan pengobatan dan memilih untuk tetap mempertahankan dosis terakhir. Minggu kelima dan keenam adalah saat keseimbangan sudah mulai stabil dan biasanya pasien sudah hampir merasakan kesembuhan (remisi) yang baik. Jika respon pengobatan baik, pasien hampir merasa lupa akan gangguan yang dialaminya. Namun demikian ada juga pasien yang masih kadang mengalami gejala-gejala keluhannya tapi sangat minimal atau kalau pun ada misalnya perasaan kecemasan, masih bisa ditangani dengan baik oleh pasien. Pada minggu ini jika ada pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan maka biasanya kita memperhitungkan apakah akan mengganti obat atau akan meningkatkan dosis. Pilihan itu tentunya akan diperhitungkan dengan kondisi klinis, keluhan yang masih dialami dan preferensi pasien. Pada beberapa obat peningkatan dosis ada yang membuat efek sampingnya lebih banyak. Hal-hal seperti ini perlu dipertimbangkan sebelum melakukan keputusan berdasarkan hasil pengobatan sampai minggu keenam ini. Memilih Obat Pengganti Memilih obat pengganti tentunya perlu memperhatikan berbagai macam hal termasuk juga harga

obat. Pasien biasanya yang pertama kali memakai antidepresan golongan SSRI bisa dicoba untuk ditingkatkan dosisnya terlebih dahulu lalu kemudian jika tidak ada respon atau pasien tidak tahan dengan efek samping akibat dosis yang besar maka obat bisa diganti ke golongan lain misalnya SNRI. Pengobatan dengan antidepresan biasanya memakan waktu cukup lama antara 4-12 bulan tergantung kondisi pasien. Penggunaan obat antidepresan dalam jangka waktu tertentu ini untuk mencegah kekambuhan pasien. Inilah yang perlu dipahami oleh pasien. Pertanyaan pasien terkait apakah obat ini akan menimbulkan ketergantungan atau kesulitan dilepaskan adalah hal yang paling sering ditanyakan. Obat antidepresan memang tidak menimbulkan ketergantungan sehingga ada kata selesai memakai obat ini pada beberapa kasus yang sehari-hari didapatkan. EFeknya ke ginjal dan hati sebagai hal yang sering ditakutkan pasien juga sangat minimal untuk pasien yang kondisi ginjal dan hatinya baik. Bagi yang meminum alkohol atau mengalami gangguan fungsi hati (misalnya pada penderita Hepatitis) sebelum menggunakan obat antidepresan golongan tertentu perlu melakukan pemeriksaan yang lebih intensif. Semoga informasi ini berguna

Mekanisme Gangguan Cemas dan Keperluan Obat


Oleh : Dr.Andri,SpKJ (Psikiater Bidang Psikosomatik Medis) Sejak mendalami bidang psikosomatik sejak memulai karier sebagai psikiater, saya lebih sering mendapatkan pasien-pasien dengan latar belakang gangguan kecemasan dan depresi yang menjadi dasar dari keluhan psikosomatiknya. Keluhan psikosomatik yang pasien keluhkan memang lebih banyak menekankan pada gejala fisik tapi sayangnya semua fungsi tubuhnya ketika diperiksa dengan pemeriksaan laboratorium atau penunjang semuanya dinyatakan dalam batas normal. Pasien kemudian sering bertanya mengapa hal itu terjadi ? Pada kesempatan pertemuan pertama dengan pasien saya biasanya menjelaskan panjang lebar tentang mekanisme terjadinya keluhan psikosomatik dan bagaimana gangguan kecemasan dan depresi menjadi pemicu hal ini. Namun pertanyaan kemudian tidak berhenti sampai di situ saja. Beberapa pasien dan calon pasien yang bertanya lewat email kemudian menanyakan apakah gangguan dasarnya yaitu gangguan cemas bisa diobati tanpa menggunakan obat-obat psikiatri yang mereka kenal sebagai obat penenang ? Saya kemudian menjelaskan bahwa hal tersebut tergantung dari pasien dan bagaimana gejala tersebut telah dialami pasien. Di bawah ini saya akan sedikit menjelaskan tentang keperluan obat untuk gangguan cemas. Gangguan Sistem Otak

Cemas bisa kita rasakan sehari-hari dengan adanya pemicu dari lingkungan ataupun internal diri kita sendiri. Kondisi sakit fisik, tekanan stres psikologis dan stres dari lingkungan sosial bisa membuat kecemasan pada diri kita. Rasa cemas ini kemudian diintepretasikan sebagai suatu stres oleh otak kita dan membuat otak kita meresponnya. Kondisi ini adalah bagian dari mekanisme sistem otak untuk mempertahankan kestabilan di dalam otak manusia. Respon stres tersebut dapat berupa pengaktifan sistem saraf otonom yang terdiri dari simpatis dan parasimpatis. Inilah yang membuat respon orang terhadap cemas adalah gejala-gejala seperti jantung berdebar, perasaan sesak napas, keringat dingin, ingin buang air besar/kecil, perasaan melayang, rasa seperti tidak stabil, gemetaran, kesemutan, perasaan tidak terkendali. Kondisi ini kemudian yang dirasakan pasien sebagai gejala psikosomatik. Lalu kenapa pada sebagian orang mengatakan gejala-gejala tersebut timbul tanpa adanya pemicu ? Inilah yang disebut sebagai False Alarming di dalam otak. Mekanisme adaptasi stres oleh otak biasanya memang didasarkan karena adanya pemicu, namun pada suatu kondisi stres kronik maka otak bisa memberikan respon yang salah dan berespon secara otomatis walaupun tidak ada pemicu. Inilah yang menyebabkan pasien-pasien terutama pasien gangguan cemas panik merasakan adanya kondisi kecemasan dan gejala psikosomatik yang akut padahal dia tidak sedang dalam kondisi stres saat itu terjadi. Respon otomatis ini sebenarnya menandakan bahwa otak telah berada pada fase kelelahan (exhausted) yang akhirnya menyebabkan responnya kacau terhadap stres. Membalikan Keadaan Setelah mengetahui apa yang terjadi pada pasien gangguan cemas maka akan lebih mudah memahami apakah pasien memerlukan obat atau tidak saat ini. Kebanyakan pasien yang datang ke saya adalah pasien yang telah mengalami gejala-gejala psikosomatik yang sudah cukup lama. Sebelum datang biasanya mereka telah pergi ke beberapa dokter spesialis terutama jantung dan penyakit dalam untuk memeriksakan kondisi fisiknya. Setelah beberapa kali mengatakan tidak ada masalah baru biasanya pasien mulai berpikir ada apa sebenarnya. Terima kasih kepada media internet yang memberikan informasi tentang kondisi ini sehingga biasanya pasien akan bisa mengenali bahwa dirinya menderita gangguan kecemasan. Lalu apa yang harus dilakukan ? Pasien yang datang dengan keluhan respon stres yang sudah kacau seperti yang saya ceritakan di atas biasanya memerlukan pengobatan dengan obat. Hal ini untuk memperbaiki sistem saraf di otaknya terutama sistem yang berkaitan dengan sistem monoamine yang berhubungan dengan kinerja zat serotonin, dopamin dan nor-epineprin. Perbaikan pada sistem ini akan membuat kestabilan dapat dicapai dalam proses perbaikan pasien. Obat antidepresan golongan SSRI seperti SERTRALINE (dijual dengan berbagai macam merk) adalah obat utama yang biasanya diberikan pada pasien. Obat penenang golongan benzodiazepine seperti alprazolam, clobazam, diazepam biasanya diberikan dalam waktu sementara sebelum efek sertraline yang biasanya bekerja pada minggu kedua mulai berefek. Hal ini juga agar mampu memberikan pasien kebaikan dan rasa yang lebih nyaman karena kita ketahui pada pasien dengan gangguan kecemasan dan psikosomatik seringkali sensitif dengan efek samping obat walaupun sifatnya

sementara. Untuk itu dosis antidepresan pun biasanya dimulai dengan dosis kecil dan dititrasi naik selanjutnya. Pengobatan ini biasanya berlangsung selama beberapa bulan (rentang 3-12 bulan) tergantung kondisi perbaikan pasien. Walaupun di literatur barat dikatakan 12-18 bulan, rata-rata pasien yang saya tangani memakai obat antara 3-6 bulan. Setelah itu biasanya obat benar-benar dilepas dan pasien tidak memakai obat lagi. Diupayakan pemakaian obat tidak stop di tengah jalan agar menghindari keberulangan. Selain itu yang paling penting juga bagaimana mekanisme adaptasi stres secara psikologis diperbaiki. Ini hal yang sangat perlu dan sangat khas untuk tiap-tiap orang. Fungsinya adalah mencegah keberulangan kembali karena mekanisme adaptasi psikologis stres yang salah juga akan memicu kembalinya stres dan akhirnya merusak kembali sistem otak. Lingkaran setan yang harus diputuskan segera.

Apakah Cemas obatnya selalu pake Antidepresan SSRI?


Tanya : saya kemarin periksa ke dr jiwa, menceritakan tentang penyakit saya ini, dan saya meminta pengobatan dgn menggunakan obat SRRI, kata dr: anda saya berikan aprazolam saja dan ini jg digunakan jika perlu, karena aprazolam sudah terbukti lebih berkhasiat, kemudian saya tanyakan lg tapi bagaimana tentang efeknya ? dia mengatakan efek sampingnya sama aja dengan SRRI. dan dia mengatakaan klu saya tdk mempunyai masalah psikologis yg berat, jadi kemungkinan ini hanya adanya ketidakseimbangan cairan otak, dan utk terapi obat SRRI katanya belum perlu buat saya. dengan meminum obat aprazolam dapat menetralisir cairan otak ini dan saya diminta jg utk mengendalikan emosi saya, sebelum dan sesudah emosi datang. menurut dokter perlu atau tidaknya terapi obat itu ada kriterianya dokter Andri ? dan apakah obat aprazolam itu hrs diminum jika kita butuh/ sudah terasa gangguan2 anxietas ? jika tiap hari minum kan dianjurkan cuma 2 s/d 4 minggu, tapi bagaimana klu cuma jika perlu, berapa lama dok ?. terima kasih dok sebelumnya atas jawabannya. Jawab : Setiap pasien memang mempunyai gejala dan tanda kecemasan yang beda. Pasien cemas sendiri bisa terdiri dari berbagai macam tipe : paling sering memang cemas panik, tapi ada juga cemas menyeluruh,cemas fobia sosial dll. Untuk kasus apakah perlu pengobatan dengan SSRI, sbnrnya itu tergantung kondisi pasien. Kalau pendapat saya karena kebanyakan pasien yang datang kepada saya sudah dengan keluhan cemas yang jelas dan disertai dengan gejala-gejala psikosomatik maka biasanya saya sudah langsung memulai terapi dengan antidepresan SSRI (biasanya saya berikan Sertraline) dan juga biasanya kadang saya berikan Clobazam (untuk diminum setengah di waktu malam). Saya jarang menggunakan alprazolam karena spt beberapa kali saya tulis, kebanyakan pasien banyak yang terlalu nyaman dgn obat ini dan sulit lepas. Jadi kalau psikiater anda tidak memberikan SSRI mungkin krn keluhan anda dianggap masih bisa diatasi sendiri. Efek samping alprazolam beda sekali dengan antidepresan SSRI. Alprazolam selain efek ngantuk jarang punya efek lain. Sedangkan antidepresan SSRI sering membuat mual,

kepala terasa kencang atau perasaan tidak enak di awal minggu pertama, tapi biasanya keluhan ini menghilang dalam minggu kedua. Penggunaan alprazolam sebenarnya memang tidak boleh rutin ataupun kalau rutin hanya dua minggu saja. Kalau tidak rutin berapa lama bisa pakai? Kalau cemasnya sudah baik memang perlu memakai terus? Kita selalu berpikir positif gangguan ini bisa baik kan. Pada intinya Alprazolam digunakan untuk mengatasi serangan panik. Semoga bisa menjawab pertanyaan anda.

Pemeriksaan Apa Yang Membuktikan Depresi/Cemas?


Ketika pasien bertanya kepada saya tentang pemeriksaan apa yang bisa membuktikan adanya masalah di otak pasien terkait dengan gangguan cemas atau depresi yang dideritanya, terus terang saya tidak bisa merekomendasikan pemeriksaan apa yang umum dilakukan dalam praktek sehari-hari. Sistem otak yang terganggu dalam gangguan cemas adalah kondisi terkait fungsional sistem yang melibatkan banyak faktor sistem di otak, ada sistem saraf otonom, sistem aksis hipotalamus-pituitary-adrenal, serta sistem neurotransmitter monoamine (terkait tiga sistem lainnya yaitu serotonin,dopamin dan norepineprine). Sistem yang terganggu ini bukan bersifat anatomis yang bisa dicek masalahnya dengan pemeriksaan CT-Scan atau MRI. Pemeriksaan EEG juga tidak bisa mengungkapkan apa yang terjadi di dalam tiga sistem yang saya sebutkan di atas. Paling mungkin dan yang banyak diteliti adalah pemeriksaan dengan menggunakan f-MRI (functional MRI) dan PET-SCAN yang sebenarnya dalam praktek sehari-hari jarang digunakan atau bahkan tidak pernah sama sekali.

Gambar 1. Imaging f-MRI pada pasien depresi

(sumber : Google images from www.mayoclinic.com) Tampak pada gambar di atas adala hasil f-MRI pada pasien depresi. Terlihat bahwa gambaran pasien yang tidak depresi lebih banyak bagian otaknya yang aktif (bercahaya) dibandingkan dengan pasien depresi yang lebih banyak yang tidak aktif (tidak bercahaya). Hal ini memang secara teori dan klinik terbukti bahwa pasien yang mengalami depresi kebanyakan mengalami gangguan dalam kognitif (fungsi pikirnya) sehingga tampak sulit konsentrasi, sulit berpikir, sulit memutuskan sesuatu dan kesulitan daya kognitif yang lain.

Gambar 2. Gambaran PET-Scan pada pasien depresi (sumber : Google Search http://www.biologicalunhappiness.com) Gambar di atas adalah pasien depresi yang telah mengalami perbaikan setelah pengobatan. Gambaran PET-SCAN memperlihatkan bagian-bagian otak yang mulai aktif secara menyeluruh yang sangat berbeda dengan gambaran sebelumnya. Pemeriksaan inilah yang secara penelitian membuktikan adanya perbaikan yang nyata pada pasien depresi ataupun cemas depresi yang diberikan pengobatan, baik dengan obat atau psikoterapi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin di klinik. Selain hanya bersifat konfirmasi dan untuk menunjang hasil pengobatan, harganya juga relatif mahal. Diagnosis pasien depresi atau cemas sampai saat ini masih menggunakan pedoman diagnosis yang sudah diakui secara internasional yaitu ICD-10 (WHO) atau DSM-IV TR (American Psychiatric Association).

Tips Membedakan Cemas,Depresi, Psikotik


Sejak aktif di KAskus, Kompasiana dan Blogspot (http://psikosomatik-omni.blogspot.com) serta menjadi konsultan di Kompas.com saya sering menerima pertanyaan-pertanyaan via email atau

Facebook yang bertanya tentang diagnosis gangguan jiwa yang diderita oleh orang atau saudara dari orang yang mengirim email. Ada juga yang menanyakan opini kedua untuk pasien-pasien yang ternyata sudah memiliki psikiater. Sebisa mungkin pertanyaan tersebut akan saya jawab tentunya dengan tetap memegang etika kedokteran terutama pada kasus-kasus pasien yang sudah ditangani dan sedang ditangani oleh psikiater lain. Hal ini untuk mencegah bias dan pertentangan dalam pendapat. Apalagi saya sendiri tidak memeriksa langsung pasien-pasien yang bertanya tentang kondisi sakitnya. Pemeriksaan Langsung Salah satu alasan mengapa seorang pasien harus bertemu langsung dengan dokter jiwa alias psikiater untuk diperiksa adalah karena terkadang kalau hanya dari tulisan saja di email atau sms, sulit buat psikiater menjawab pertanyaan tersebut dan menentukan diagnosis yang baik. Penampilan pasien, cara bicara verbal, sikap saat diperiksa adalah hal-hal yang tidak tergambar dalam bahasa tulisan. Inilah mengapa keperluan pemeriksaan langsung adalah mutlak. Tips Singkat Terkadang dalam ceramah awam atau seminar dokter buat dokter umum saya suka memberikan tips bagaimana mengenali gejala gangguan jiwa di praktek sehari-hari. Sangat dangkal tetapi lumayan berguna untuk pasien dan dokter di garis depan. Tipsnya adalah sebagai berikut. A. Pasien CEMAS Pasien yang mengeluh keluhan cemas biasanya mengatakan TAKUT. Banyak macam takutnya, TAKUT MATI, TAKUT GILA, TAKUT SAKIT dan takut-takut lainnya. Cemas yang paling diderita adalah gangguan cemas panik sehingga biasanya keluhannya berhubungan dengan sistem otak dan otonom seperti Jantung Berdebar, Sesak Napas, Rasa ingin muntah, buangbuang air jika stres, keluar keringat dingin, bibir kering dan rasa seperti melayang. Keluhankeluhan ini biasanya jarang dialami oleh pasien dengan gangguan depresi yang nyata. Pengalaman klinis mengatakan pasien cemas lebih sering mengeluhkan keluhan fisiknya daripada keluhan perasaannya B. Pasien DEPRESI Pasien dengan keluhan depresi apalagi yang berat biasanya mengeluh INGIN MATI. Pasien merasa tidak berdaya, tidak ada gairah hidup dan merasa semuanya hampa. Pada beberapa pasien yang masih ada gejala kecemasannya seringkali tercampur dengan gejala yang lain di atas. Itu yang kita namakan Mixed Anxiety Depression. Keluhan fisik masih kadang terjadi terutama adalah keluhan lesu dan letih berlebihan serta sulit mempertahankan tidur. Terkadang pada beberapa pasien ada ditemukan ciri psikotik pada pasien depresi. C. Pasien PSIKOTIK Pasien psikotik biasanya ditandai dengan keluhan HALUSINASI yang jelas dan WAHAM yang jelas. Halusinasi adalah gangguan persepsi baik auditorik maupun visual yang biasanya disebabkan karena proses di otak. Biasanya pasien mendengar bisikan atau melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Waham adalah keyakinan yang salah tentang sesuatu yang dipertahankan walaupun sudah diberikan bukti-bukti yang mendukung bahwa hal tersebut tidak benar. Misalnya yang paling

sering adalah Waham Paranoid, pasien merasa dia dicurigai atau ada orang yang mau berbuat jahat terhadap pasien. Pada pasien Psikotik keyakinan ini dipertahankan dengan kukuh walaupun sudah diberikan bukti-bukti yang mengatakan lain. Demikian sekilas tips membedakan berbagai macam keluhan gangguan jiwa. Sangat dangkal sehingga memerlukan pemeriksaan oleh ahli lebih lanjut apalagi pada kasuskasus yang terkadang bias.

You might also like