You are on page 1of 14

i

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Agama Islam bertugas mendidik dhahir manusia, mensucikan jiwa
manusia, dan membebaskan diri manusia dari hawa nafsu. Dengan ibadah
yang tulus ikhlas dan aqidah yang murni sesuai kehendak Allah, insya Allah
kita akan menjadi orang yang beruntung.
Ibadah dalam agama Islam banyak macamnya. Haji adalah salah
satunya, yang merupakan rukun iman yang kelima. Ibadah haji adalah ibadah
yang baik karena tidak hanya menahan hawa nafsu dan menggunakan tenaga
dalam mengerjakannya, namun juga semangat dan harta.
Dalam mengerjakan haji, kita menempuh jarak yang demikian jauh untuk
mencapai Baitullah, dengan segala kesukaran dan kesulitan dalam perjalanan,
berpisah dengan sanak keluarga dengan satu tujuan untuk mencapai kepuasan
batin dan kenikmatan rohani.
Untuk memperdalam pengetahuan kita, penulis mencoba memberi
penjelasan secara singkat mengenai pengertisn haji dan umrah, tujuan yang
ingin kita capai dalam haji dan umrah, dasar hukum perintah haji dan umrah,
syarat, rukun dan wajib haji dan umrah serta hal-hal yang dapat membatalkan
haji dan umrah.

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi salah satu tugas pada Mata Kuliah Pembelajaran Fiqih
Pada Jurusan PAI, STIT YAPTIP Kampus II Ujung Gading.
2. Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai teori-teori yang berhubungan
dengan Kerjasama Atas Lahan Pertanian

i
BAB II
PEMBAHASAN

A. Musaqah
1. Pengertian
Secara bahasa, musaqah berasal dari Bahasa Arab
yang artinya memberi minum. Musaqah adalah kerja sama antara
pemilik pohon dengan pemeliharanya dengan perjanjian bagi hasil yang
jumlahnya disepakati bersama , menurut istilah fiqih, ada beberapa
definisi musaqah yang disampaikan ulama, di antaranya:
Abdurrahman al-Jaziri mendefinisikan musaqah sebagai:


Artinya : Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman
(pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.

Ulama Syafiiyah memberikan definisi musaqah sebagai berikut:




Artinya : Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon kurma
dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya
dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan
pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang
dihasilkan pohon-pohon tersebut.

Hasbi Ash-Shiddiqie mengartikan musaqah dengan:
mempergunakan buruh (orang upahan) untuk menyiram tanaman,
menjaganya, memeliharanya dengan memperoleh upah dari hasil yang
diperoleh dari tanaman itu.
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa musaqah
adalah suatu akad di mana pemilik lahan yang sudah ditanami
mempekerjakan orang lain untuk mengelola lahan tersebut, dengan
memelihara, menyirami, dan menjaganya. Untuk pengelolaan itu,
penggarap akan mendapatkan bagian tertentu dari hasil lahan.
i
Pada prinsipnya musaqah ialah pemilik kebun menyerahkan
kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya, ada penghasilan yang
didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian
keduanya sewaktu perjanjian (akad). Agama Islam membolehkan adanya
parohan kebun ini karena banyak yang membutuhkannya. Maka dengan
adanya peraturan ini keduanya dapat hidup dengan baik, yang dihasilkan
oleh negara bertambah banyak pula, dan masyarakat bertambah baik
kehidupannya.
1


2. Dasar Hukum
Musaqah merupakan kerjasama bagi hasil antara pemilik tanah
pertanian dengan penggarapnya, dengan demikian merupakan salah satu
bentuk tolong-menolong.
Rasulullah SAW pernah melakukan akad musaqah dengan
penduduk Khaibar sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar:


( )



Artinya : Dari Ibnu Umar RA, sesungguhnya Rasulullah SAW
mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separuh
dari hasil (lahan) yang diperoleh berupa buah-buahan atau
tanaman. (HR. Muslim).

Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah
melakukan praktik musaqah selama masa hidup beliau dengan penduduk
Khaibar. Beliau mempekerjakan mereka untuk mengurusi lahan pertanian
dengan imbalan separuh dari hasil panen.

1
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari. (terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta:
Gema Insani Press, 2005)
i
Berdasarkan dalil di atas, jumhur ulama sepakat atas kebolehan
melakukan akad musaqah kecuali Abu Hanifah yang tidak
memperbolehkannya.

3. Syarat-syarat Musaqah
Syarat-syarat musaaqah sebenarnya tidak berbeda dengan
persyaratan yang ada dalam muzaraah. Hanya saja, pada musaaqah tidak
disyaratkan untuk menjelaskan jenis benih, pemilik benih, kelayakan
kebun, serta ketetapan waktu.
Beberapa syarat yang ada dalam muzaraah dan dapat diterapkan
dalam musaaqah adalah:
a. Ahli dalam akad.
b. Menjelaskan bagian penggarap.
c. Membebaskan pemilik dari pohon.
d. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad.
e. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir

4. Rukun Musaaqah
Jumhur ulama menetapkan bahwa rukun musaaqah ada lima, yaitu:
a. Dua orang yang berakad (al-aqidani). Al-aqidani ini disyaratkan
harus baligh dan berakal.
b. Objek musaaqah. Objek musaaqah menurut ulama Hanafiah adalah
pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut
sebagian ulama Hanafiah lainnya dibolehkan musaaqah atas pohon
yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan
siraman. Ulama Malikiah berpendapat bahwa objek musaaqah adalah
tumbuh-tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki
akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-
lain, dengan dua syarat:
1) Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan
i
2) Akad ditentukan dengan waktu tertentu. Ulama Hanabilah
berpendapat bahwa musaaqah dimaksudkan pada pohon-pohon
yang berbuah yang dapat dimakan. Ulama Syafiiah dalam Qaul
Jadidnya berpendapat bahwa musaaqah hanya dapat dilakukan
pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan
Rasulullah SAW terhadap orang Khaibar, sedangkan anggur
hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi wajib
zakatnya. Akan tetapi, Mazhab Qadim membolehkan semua jenis
pepohonan.
c. Buah. Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak
d. Pekerjaan. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika
disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara
bersama-sama, akad menjadi tidak sah. Ulama mensyaratkan
penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal
berbuah dan kapan minimal berbuah. Ulama Hanafiah tidak
memberikan batasan waktu, baik dalam muzaraah maupun musaaqah
sebab Rasulullah SAW pun tidak memberikan batasan ketika
bermuamalah dengan orang Khaibar.
e. Sighat. Menurut ulama Syafiiah, tidak dibolehkan menggunakan kata
ijarah (sewaan) dalam akad musaaqah sebab berlainan akad.
Adapun ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting
adalah maksudnya. Bagi orang yang mampu berbicara, qabul harus
diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut
ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzaraah, tidak disyaratkan
qabul dengan ucapan, melainkan cukup dengan mengerjakannya.
2


B. Muzaraah dan Mukhabarah
1. Pengertian
Secara etimologi, muzaraah () adalah wazan mufaalah
( dari kata yang artinya sama dengan (menumbuhkan).

2
Rachmat Syafiie, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006)
i
Muzaraah juga berarti tharh al-zurah (melemparkan tanaman),
maksudnya adalah modal (al-badzar). Makna yang pertama adalah makna
majaz dan makna yang kedua adalah makna hakiki.
Muzaraah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda,
pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafii dan al-Nawawi. Sedangkan
menurut al-Qadhi Abu Thayid bahwa muzaraah dan mukhabarah adalah
satu pengertian.
Sedangkan menurut istilah, muzaraah dan mukhabarah
didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:
1. Menurut Hanafiah, muzaraah

Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari
bumi.
Sedangkan mukhabarah ialah:

Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar
dari bumi.
Definisi muzaraah dan mukhabarah menurut ulama Hanafiah
di atas hampir tidak bisa dibedakan. Dalam muzaraah menggunakan
kalimat , sedangkan dalam mukhabarah dengan
kalimat . Dengan adanya perbedaan redaksi
tersebut menunjukkan adanya perbedaan. Namun belum diketahui
perbedaan tersebut berdasarkan pemikiran Hanafiah.
2. Menurut Hanabilah
bahwa muzaraah ialah: menyerahkan tanah kepada kepada orang yang
akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman
(hasilnya) tersebut dibagi di antara keduanya.
3. Menurut Malikiah
Muzaraah ialah: perkongsian dalam bercocok tanam. Lebih lanjut
dijelaskan dari pengertian tersebut bahwa muzaraah adalah
i
menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan atau barang-barang
perdagangan.
4. Ulama Syafiiah membedakan antara muzaraah dan mukhabarah:
.
.
Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang
dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun
muzaraah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal
dari pemilik tanah.

Setelah diketahui dari definisi-definisi di atas, maka dapat
dipahami bahwa mukhabarah dan muzaraah ada kesamaan dan ada
pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan
muzaraah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah
menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola.
Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola,
maka disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik
tanah, maka disebut muzaraah.
3


2. Landasan Hukum
Ziraah merupakan salah satu bentuk kerja sama antara
pekerja/buruh dan pemilik tanah. Dalam banyak kasus, pihak buruh
memiliki keahlian mengolah tanah namun tidak memiliki tanah, dan ada
pemilik tanah tidak mempunyai keahlian dalam mengolah tanah tersebut.
Oleh karena itu, Islam mensyariatkan ziraah sebagai upaya
mempertemukan kepentingan kedua belah pihak.
Praktek muzaraah model tersebut pernah dilakukan oleh
Rasulullah dan para sahabat setelahnya. Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW mempekerjakan
penduduk Khaibar dengan upah sebagian dari biji-bijian dan buah-buahan
yang bisa dihasilkan tanah Khaibar.

3
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Terjemahan Bahasa Indonesia, Jakarta : Pena, 2006)
i
Muhammad Baqir bin Ali bin Husain ra. berkata, Tidak seorang
pun dari kaum Muhajirin di Madinah, kecuali mereka menjadi petani
dengan mendapatkan hasil sepertiga atau seperempat. Dan Ali ra., Said bin
Malik, Abdullah bin Masud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah,
keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, semua
bekerja dalam bidang pertanian. (HR. Bukhari).
Dalam kitab al-Mughni disebutkan, Pekerjaan tersebut sangat
populer, Rasulullah SAW sendiri mengerjakannya hingga tiba wafatnya,
kemudian dilakukan pula oleh para khalifahnya sampai mereka meninggal
dunia, kemudian keluarga mereka, dan sesudah mereka.
Di Madinah, tidak ada seorang penghuni rumah yang tidak melakukan
praktek tersebut, termasuk isteri-isteri Nabi SAW. Tradisi seperti ini tidak
boleh dihapuskan, karena penghapusan hanya berlaku pada masa
kehidupan Rasulullah SAW. Adapun sesuatu yang telah ia kerjakan hingga
berpulang ke rahmatullah, kemudian dilakukan oleh khalifah-khalifah
sesudahnya, para sahabat sepakat melakukan, dan tidak seorang pun yang
tidak turut serta melakukannya, tidak mungkin untuk dihapus.
Dasar hukum yang dipergunakan para ulama dalam menetapkan hukum
mukhabarah dan muzaraah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ra.:
.
( ( .

Sesungguhnya Nabi SAW tidak mengharamkan bermuzaraah, bahkan
beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang
lain, dengan katanya: barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah
ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak
mau maka tahanlah tanah itu. (HR. Bukhari).
4


3. Rukun dan Sifat-sifatnya

4
Ibid
i
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun muzaraah dan
mukhabarah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan keridhaan di antara
keduanya.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa muzaraah dan mukhabarah
tidak memerlukan qabul secara lafaz, tetapi cukup dengan mengerjakan
tanah. Hal ini sudah dianggap qabul.
Tentang sifat muzaraah dan mukhabarah menurut ulama Hanafiah,
merupakan sifat-sifat perkongsian yang tidak lazim. Adapun menurut
ulama Malikiah, diharuskan menaburkan benih di atas tanah supaya tubuh
tanaman atau dengan menanam tumbuhan di atas tanah yang tidak ada
bijinya. Menurut pendapat paling kuat, perkongsian harta termasuk
muzaraah dan harus menggunakan sighat.
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa muzaraah dan mukhabarah
adalah dua akad yang tidak lazim sehingga setiap yang melangsungkan
akad dapat membatalkan keduanya. Akad pun dapat dianggap batal jika
salah seorang aqid meninggal dunia.

4. Syarat-syarat
Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa muzaraah dan
mukhabarah memiliki beberapa syarat yang berkaitan dengan aqid (orang
yang melangsungkan akad), tanaman, tanah yang ditanami, sesuatu yang
keluar dari tanah, tempat akad, alat bercocok tanam, dan waktu bercocok
tanam.
1. Syarat Aqid
a. Mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan baligh.
b. Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi
ulama Hanafiah tidak mensyaratkannya.
2. Syarat Tanaman
Di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi
kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan kepada
pekerja.
i
3. Syarat Dengan Garapan
a. Memungkinkan untuk digarap, yakni apabila ditanami tanah
tersebut akan menghasilkan.
b. Jelas.
c. Ada penyerahan tanah.
4. Syarat-Syarat Tanaman Yang Dihasilkan
a. Jelas ketika akad.
b. Diharuskan atas kerja sama dua orang yang berakad.
c. Ditetapkan ukuran di antara keduanya, seperti sepertiga,
setengah dan lain-lain.
d. Hasil dari tanaman harus menyeluruh di antara dua orang yang
akan melangsungkan akad. Tidak dibolehkan mensyaratkan
bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya mendapatkan
sekedar pengganti biji.
5. Syarat Tujuan Akad
Akad dalam Muzaraah dan Mukhabarah harus didasarkan pada
tujuan syara yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau
memanfaatkan tanah.
6. Syarat Alat Bercocok Tanam
Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau modern dengan
maksud sebagai konsekuensi atas akad. Jika hanya bermaksud
menggunakan alat, dan tidak dikaitkan dengan akad, Muzaraah
dan Mukhabarah dipandang rusak.
7. Syarat Muzaraah dan Mukhabarah
Dalam Muzaraah dan Mukhabarah diharuskan menetapkan waktu.
Jika waktu tidak ditetapkan, Muzaraah dan Mukhabarah
dipandang tidak sah.
5


5
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta : PT. Grafindo
Persada, 2006)
i
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-musaaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara
pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya. Musaqah
merupakan persekutuan perkebunan dalam mengembangkan pohon. Pemilik
pohon berada di satu pihak dan penggarap pohon di pihak lain. Dengan
perjanjian, buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak dibagi sesuai
dengan persentase yang disepakati, misalnya setengah, sepertiga,atau lainnya
Muzaraah dan mukhabarah ada kesamaan dan ada pula perbedaan.
Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzaraah terjadi pada peristiwa
yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain
untuk dikelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari
pengelola, maka disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik
tanah, maka disebut muzaraah.
Muzaraah, Mukhabarah dan Musaaqah pada dasarnya dibolehkan
demi kebutuhan kedua belah pihak yang berakad. Semua kerja sama yang
dibolehkan syara berlangsung berdasarkan keadilan dan dalam rangka
mewujudkan kebaikan serta menghilangkan kerugian.

B. Saran
Kami sebagai penulis dari makalah ini mengharapkan serta menerima
kritikan dan saran dari mahasiswa/mahasiswi demi memperbaiki isi makalah-
makalah ini, dengan mengucapkan terima kasih kami ucapkan kepada Bapak
dosen yang telah memberikan bimbingan kepada kami untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan benar.
i
DAFTAR KEPUSTAKAAN


Al-Fauzan, Saleh , Fiqih Sehari-Hari. terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.
Jakarta: Gema Insani Press, 2005

Hasa,n M. Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta : PT. Grafindo
Persada, 2006

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Terjemahan Bahasa Indonesia, Jakarta : Pena, 2006

Syafiie, Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2006




i
KATA PENGANTAR

O) *.- ^}4uOO- 1gOO-
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT dan shalawat
kepada Nabi Muhammad SAW dengan ridho-Nya juga pada kesempatan ini
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun dalam rangka melengkapi tugas Mata Kuliah Fiqih.
Dalam penyelesaian makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak dalam memberikan sumbangan pikiran, membantu dan membimbing
penulis dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua khususnya
pendidikan di masa yang akan datang.


Ujung Gading, Januari 2012
Penulis,


(Kelompok XIII)






i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ..................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Musaqah ................................................................................... 2
1. Pengertian .......................................................................... 2
2. Dasar Hukum..................................................................... 3
3. Syarat-syarat Musaqah ...................................................... 4
4. Rukun Musaqah................................................................. 4
B. Muzaraah dan Mukhabarah
1. Pengertian .......................................................................... 5
2. Ladasan Hukum................................................................. 7
3. Rukun dan Sifat-sifatnya ................................................... 8
4. Syarat-syarat ...................................................................... 9

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 11
B. Saran ........................................................................................ 11

DAFTAR KEPUSTAKAAN

You might also like