You are on page 1of 9

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAYATI DAN PENGELOLAAN HABITAT CENDAWAN PATOGEN SERANGGA

Disusun oleh:

Dosen Praktikum Ir. Ruly Anwar, M.Si Dr. Ir. Pudjianto, MS

Asisten Praktikum Imam Khoiri Busyairi Sagita Phinanthie (A34080034) (A34080083) (A34080090)

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN 2011

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Cendawan patogen serangga (entomopatogen) adalah organisme heterotrof yang hidup sebagai parasit pada serangga. Cendawan entomopatogen merupakan salah satu jenis bioinsektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama tanaman. Cendawan entomopatogen termasuk dalam enam kelompok

mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai bioinsektisida, yaitu cendawan, bakteri, virus, nematoda, protozoa dan ricketsia (Wikipedia, 2011). Cendawan entomopatogen sejauh ini telah dimanfaatkan sebagai agens pengendali hayati dan bahan obat herba. Di Indonesia, agens hayati cendawan entomopatogen digunakan untuk mengendalikan hama pada tanaman perkebunan Cendawan entomopatogen dapat pula dimanfaatkan sebagai obat herba. Beberapa anggota dari Hypocreales dikenal sebagai komponen utama beberapa obat-obatan, di antaranya ialah Cordyceps sinensis, Hypocrella, dan Torubiella. Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang sudah diketahui efektif mengendalikan hama penting tanaman adalah Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Nomuraea rileyi, Paecilomyces fumosoroseus, Aspergillus parasiticus, dan Verticillium lecanii.

1.2 Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui morfologi konidia cendawan patogen serangga (entomopathogen).

BAB II BAHAN DAN METODE

2.1 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu cover glass, kaca preparat, mikroskop cahaya, air, pipet, spesimen cendawan Metharizium sp, Verticillium sp., spesimen cendawan X dan spesimen awetan kutu putih pada pepaya dan Thips.

2.2 Metode Pelaksanaan Praktikum kali ini hanya melakukan pengamatan pada konidia cendawan secara mikroskopis. Spesimen cendawan yang sudah disiapkan diambil sedikit spesimennya dan ditaruh pada kaca preparat yang sudah diberi tetesan air, kemudian ditutup dengan cover glass. Setelah itu lakukan pengamatan dibawah mikroskop. Pada spesimen awetan pada kutu putih pada pepaya dan pada Thrips dilakukan pengamatan dibawah mikroskop cahaya lalu difoto konidia primer, konidia sekunder, hypal body dan cendawan saprofit sebagai hasil dari pengamatan.

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil pengamatan Gambar Keterangan Gambar Konidia primer thrips

Konidia sekunder thrips

Hyphal body pada kutu putih pepaya

Metarhizium anisopliae

Vercillium sp.

Cendawan X

http://www.beedata.com/apisuk/newsletters08/apis-uk1008/imgF.jpgsp.

Literatur Metharizium sp.

http://www.mycology.adelaide.edu.au/ima ges/verticillium.gif

Literatur Verticillium sp.

3.2 Pembahasan Penggunaan insektisida sintetik yang berkelanjutan akan menyebabkan serangga hama sasaran menjadi resisten terhadap insektisida sintetik tersebut dan residu insektisida sintetik akan terakumulasi dilingkungan dan organisme lain non target. Salah satu alternatif untuk mengurangi penggunaan insektisida sintetik dalam mengendalikan populasi serangga hama adalah menggunakan agensia hayati yang berupa entomopatogen yang bersifat patogen hanya pada serangga sasaran. Entomopatogent ersebut adalah jamur entomopatogen. Jamur ini dapat menyebabkan penyakit bilaterinfeksi pada serangga, sehingga dapat menurunkan populasi serangga hama dalamsuatu areal pertanian (Gopalakrishnan, 2001). Sekitar 700 spesies jamur entomopatogen dari kelas deuteuromycetes diketahuimenunjukkan patogenisitas yang tinggi terhadap serangga hama. Beberapa genera jamur. Entomopatogen yang telah digunakan sebagai pengendali populasi serangga hama antaralain Metarhizium, Beauveria, Aspergillus dan Verticillium (Ihara, e t a l ., 2003). Metarhizium adalah genus dari jamur entomopatogen dalam family Clavicipitaceae. Dengan munculnya profil genetik, kini menjadi mungkin untuk menempatkan jamur di taksa yang tepat. Sebagian besar berubah menjadi bentuk aseksual (anamorphs) dari jamur divisi dalam filum dan Ascomycota merupakan untuk

Verticillium adalah genus dari jamur di anamorphic bentuk

Ascomycota , keluarga. Genus

Plectosphaerellaceae

digunakan

menyertakan kelompok-kelompok beragam yang terdiri dari saprobes dan parasit tumbuhan tinggi, serangga, nematoda, telur moluska dan jamur lainnya. Proses infeksi cendawan entomopatogen terhadap inangnya (serangga) dibagi menjadi fase parasit dan fase saprob. Penyerangan pada serangga inang dilakukan

melalui penetrasi langsung pada kutikula. Pada awalnya spora cendawan melekat pada kutikula, selanjutnya spora berkecambah melakukan penetrasi terhadap kutikula dan masuk ke hemosoel. Cendawan akan bereproduksi di dalamnya dan membentuk hifa. Serangga akan mati, sedangkan cendawan akan melanjutkan siklus hidupnya dalam fase saprob. Setelah tubuh serangga inang dipenuhi oleh massa miselium, tubuh tersebut akan mengeras dan berbentuk seperti mumi yang berwarna putih, hijau, atau merah muda. Setelah itu spora akan diproduksi untuk menginfeksi inang lainnya Serangga yang terinfeksi jamur entomopatogen ditandai dengan pertumbuhan hifa berwarna putih pada permukaan kutikula tubuh, dan memasuki hemocoel. Di dalam hemocoel, hifa akan membentuk yeastlike hyphal bodies (blastopora), yang memperbanyak diri dengan cara pembentukkan tunas. Blastopora tumbuh dan berkembang di dalam hemocoel dengan menyerap cairan hemolimpf. Selain itu infeksi jamur ini menghasilkan enzim dekstruksin yang bersifat toksik dan menimbulkan kerusakan pada jaringan serangga. Pada saat kondisi yang tidak menguntungkan, cendawan membentuk resting spores, dengan membentuk suatu dinding yang tebal agar dapat membuatnya survive di alam yang tidak menguntungkan, dan dapat membentuk spora infektif sebagai konidia primer (berumur pendek). Karena konidia primer harus dikeluarkan dari tubuh serangga inang, sering kali serangga inang yang terinfeksi oleh entomopatogen nampak seperti dikeliligi oleh konidia cendawan. Namun jika konidia yang dikeluarkan tidak menginfeksi inang yang peka, maka akan terbentuk konidia sekunder. Ukuran konidia primer biasanya lebih besar daripada konidia sekunder. Bila cendawan ini membentuk resting spore, serangga inang yang mati akan nampak bcrwarna hitam, dan apabila membentuk konidia primer maka akan nampak berwarna lebih terang. Spesimen cendawan X belum dapat teridentifikasi oleh kelompok kami, karena keterbatasan pengetahuan dan literatur. Selain itu, pada preparat cendawan X hanya ditemukan struktur sporanya, tidak ditemukan struktur sporangium dan konidiofor sehingga kita tidak dapat mengidentifikasinya.

BAB IV KESIMPULAN

Pada saat yang tidak menguntungkan cendawan akan membentuk konidia primer sebagai spora infektif. Konidia pimer harus dikeluarkan dan menginfeksi serangga inang. Sedangkan jika konidia yang dikeluarkan tidak mengenai inang yang peka, akan terbentuk konidia sekunder yang memiliki ukuran lebih kecil dari konidia primer. Selain itu serangga yang terinfeksi cendawan entomopatogen akan membentuk hyphal body.

DAFTAR PUSTAKA

Gopalakrishnan, C. 2001. Fungal Pathogens as Components in Integrated PestManagement of Horticultural Crops. Integrated Pest Management inHorticultural Ecosystems. Capital Publishing Company. New Delhi.122 132.

Ihara, F., M. Toyama and T. Sato. 2003. Pathogenicity of Metarhizium anisopliae to thechestnut weevil larvae under laboratory and fieldconditions. AppliedEntomology Zoology 38 (4): 461 465 [wikipedia]. 2011. Cendawan Entomopatogen. [Terhubung Berkala].

http://id.wikipedia.org/wiki/Cendawan_entomopatogen. (31 Oktober 2011)

You might also like