Professional Documents
Culture Documents
diagnosis, bila apendiks tidak diangkat yang dapat menimbulkan serangan berulang. Sedangkan mortalitas adalah 0,1% jika apendisitis akut tidak pecah dan 5% jika pecah. Keterlambatan dalam mendiagnosis juga berpengaruh pada angka mortalitas jika terjadi komplikasi. (4) Komplikasi utamanya menurut Junaidi;1982 adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70 C atau lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinu.
Apendektomi direncanakan pada apendisitis infiltrate tanpa pus yang sudah ditenangkan. Dimana sekitar 6-8 minggu sebelumnya diberikan antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Pada anak kecil, wanita hamil , dan usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses dianjurkan drainase saja dan apendektomi setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laborayorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan pembatalan tindakan bedah.(1) Menurut sumber lain mengatakan bila massa apendiks dengan proses radang
Hal. 1
Pencegahan pada apendisitis infiltrat dapat dilakukan dengan cara menurunkan resiko obstruksi atau peradangan pada lumen apendik atau dengan penanganan secara tuntas pada penderita apendisitis akut. Pola eliminasi klien harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit dapat terjadi karena tidak adekuatnya diit serat, diit tinggi serat. Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga meminimalkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda apendisitis dan apendisitis infiltrat meminimalkan resiko terjadinya gangren, perforasi, dan peritonitis.(1)
I.2 Ruang lingkup pembahasan Pada kesempatan ini penulis berusaha membahas mengenai apendisitis infiltrat dan penanganannya. Hal-hal yang akan dibahas dalam referat ini meliputi anatomi apendiks, definisi, insidensi, patofisiologi, pemeriksaan fisik,
I.3 Tujuan penulisan Referat ini disusun untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik ilmu bedah dan diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis juga sebagai bahan informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan medis agar dapat membuat diagnosa, membuat perencanaan perioperatif appendektomi, mampu
mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan pada pasien post operatif appendektomi.
Hal. 2
Appendiks menerima suplai darah dari cabang appendikular arteri ileocolica. Arteri ini terletak posterior dari ileum terminalis, masuk ke mesoapendiks dekat dari basis appendiks. Percabangan arteri kecil terbentuk pada titik tersebut dan meneruskan diri sebagai arteri caecal. Perdarahan appendiks berasal dari arteri appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren. Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta Hal. 3
Pengaliran aliran limfatik dari appendiks menuju nodus limfatikus yang terletak sepanjang perjalanan arteri ileocolica. Inervasi dari appendiks berasal dari elemen simpatis pleksus mesenteric superior (T10-L1), oleh karena itu nyeri visceral pada appendisitis bermula di sekitar umbilicus. Serabut afferentnya berasal dari elemen parasimpatis nervus vagus. Gambaran histologis dari appendiks termasuk diantaranya: pertama, lapisan muskularis yang tidak tersebar secara merata dan mungkin terdapat defisiensi pada beberapa lokasi. Kedua, submukosa, dimana terdapat agregasi jaringan limfoid dengan atau tanpa disertai struktur tipikal dari centrum germinativum. Pembuluh limfe lebih prominen pada regio dibawah agregasi limfoid. Ketiga, mukosa yang menyerupai dari usus besar kecuali terdapat
perbedaan densitas dari folikel limfoid. Kripta pada appendiks memiliki iregularitas baik dari ukuran dan bentuk, berbeda dengan kripta pada colon yang memiliki gambaran uniform. Kompleks neuroendokrin dari appendiks yang terdiri dari sel ganglion, sel Schwann, serat neural, dan sel-sel neurosekretorik terletak tepat dibawah dari kripta-kripta pada appendiks. Serotonin merupakan produk sekretorik utama dan dihubungkan dengan nyeri yang muncul pada appendiks non-inflamasi. Hal. 4
II.2 Fisiologi Appendiks tidak memiliki fungsi yang sesuai dengan bentuk anatomisnya sebagai organ berongga, dimana fungsi dari appendiks ini tidak diketahui dengan pasti. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terdapat infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. Mukosa appendiks memiliki kemampuan yang sama dalam
memproduksi cairan, musin, dan enzim-enzim proteolitik, Appendiks dapat menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.
II.3 Insidensi Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas.
1
Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan
Hal. 5
II.4 Etiologi dan faktor resiko Obstruksi appendisitis akut. lumen merupakan penyebab paling sering terjadinya
appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfe, tumor, sayuran dan biji buah, serta parasit usus yang menyebabkan erosi mukosa seperti E. histolytica. Frekuensi obstruksi meningkat dengan adanya proses inflamasi. sederhana, 65% kasus
adalah appendisitis gangrenosa tanpa disertai ruptur, dan hampir 90% kasus adalah appendisitis gangrenosa dengan ruptur. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Sedangkan serat diperkirakan menurunkan viskositas dari feses, menurunkan waktu transit di usus, dan melunakkan formasi dari fekalit. Konstipasi akan menaikkan tekanan intracaecal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora colon.
II.5 Patogenesis Obstruksi proksimal dari lumen appendiks merupakan close-loop obstruction, dan produksi sekresi normal yang terus menerus dari mukosa appendiks menyebabkan distensi. Normalnya kapasitas lumen appendiks hanya 0,1 mL. Sekresi sebanyak 0,5 mL meningkatkan tekanan intraluminal menjadi 60 cm H2O. Distensi appendiks menstimulasi saraf visceral afferen sehingga
menyebabkan rasa tidak enak, rasa nyeri yang tumpul dan merata pada midabdomen atau epigastrium bawah. Peristaltik juga distimulasi sehingga rasa
seperti kram perut sering menyertai. Distensi terus bertambah akibat sekresi mukosa yang terus menerus dan multiplikasi dari bakteri appendiks yang cepat. Distensi yang besar ini biasanya menimbulkan reflek mual dan muntah. Dengan meningkatnya tekanan dalam rongga appendiks, tekanan vena menjadi besar. Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta Hal. 6
Hal. 7
Tekanan dalam caecum Erosi selaput lendir (E. histolytica) Flora kuman colon Pengosongan isi Sumber appendiks terhambat : : Stenosis Gangguan motilitas Mesoappendiks pendek
Appendicitis mukosa
Hal. 8
Obstruksi limfatik
Kongesti vena
Edem
Invasi bakteri Inflamasi lapisan serosa yang berhubungan dengan peritoneum parietal
Peritonitis
Hal. 9
Appendicitis supurativa
Perforasi
II.6 Gambaran klinis Nyeri abdomen adalah gejala utama pada appendisitis akut. Secara klasik, nyeri tersebut tersebar merata pada epigastrium bawah atau daerah umbilical, nyerinya berat dan menetap, kadang-kadang disertai dengan rasa seperti kram perut. Setelah 1 12 jam (rata-rata 4 6 jam) rasa nyeri tersebut dirasakan di perut kanan bawah. Tetapi pada beberapa pasien, rasa sakit appendisitis mulai di perut kanan bawah dan menetap. Variasi lokasi anatomi menentukan pula variasi dari lokasi rasa nyeri, contohnya, appendiks yang panjang dengan inflamasi pada ujung tepi di perut kiri bawah menyebabkan rasa nyeri di daerah tersebut;
appendiks retrocaecal dapat menyebabkan rasa seperti sakit pinggang; appendiks pelvis menyebabkan nyeri dearah suprapubik; dan appendiks retroileal dapat menyebabkan nyeri testikular, yang sering dikira sebagai iritasi dari a. Spermatica dan ureter.
Hal. 10
gejala mempunyai perbedaan yang signifikan dalam mendiagnosis banding. Lebih dari 95% pasien appendisitis akut, anoreksia merupakan gejala yang pertama muncul, diikuti dengan nyeri perut, serta muntah (bila ada). Bila muntah merupakan gejala yang pertama kali dirasakan, diagnosa appendicitis masih harus dipertanyakan. Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80 90% appendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada orang berusia lanjut, gejalanya juga sering samar-samar saja. Tidak jarang terlambat didiagnosis. didiagnosis setelah perforasi. Pada pasien-pasien khusus, seperti pasien yang dalam penggunaan imunosupresan, pasien yang menerima transplantasi organ, pasien dengan HIV, pasien dengan diabetes melitus, pasien yang mengidap kanker atau yang sedang menerima kemoterapi, dan pada pasien-pasien yang obesitas, gejala yang dirasakan hanyalah rasa tidak enak secara umum. Akibatnya lebih dari penderita baru dapat
II.7 Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik menentukan posisi anatomik dari appendiks dan apakah appendiks sudah mengalami ruptur ketika pasien pertama kali di periksa. Tandatanda vital hanya mengalami sedikit perubahan pada appendicitis tanpa komplikasi. Kenaikan suhu jarang melebihi 1oC (sekitar 37,5 38,5oC) dan nadi Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta Hal. 11
mengindikasikan adanya iritasi peritoneum. Psoas sign : Mengindikasikan adanya fokus iritatif yang dekat dengan otot tersebut. Pasien berbaring pada sisi kiri, pemeriksa pelan-pelan mengekstensikan paha kanan yang mengakibatkan peregangan dari m. Iliopsoas. Test (+) bila ekstensi menimbulkan rasa sakit karena appendiks yang meradang menempel di m. Psoas. Obturator sign : Mengindikasikan iritasi pada pelvis. Prinsipnya dengan meregangkan m. Obturator internus, dan melihat apakah appendiks yang meradang kontak dengan muskulus tersebut. Pasien dalam posisi telentang, paha kanan dalam posisi fleksi lalu dilakukan rotasi interna secara pasif. Dunphys sign : Adanya rasa nyeri yang tajam pada kuadran kanan bawah bila sengaja dibatukkan (cough sign).
Cutaneus hiperestesi sering menyertai. Dipersarafi oleh n. Spinalis bagian kanan dari Th 10, 11, dan 12. Tahanan muskuler dinding abdomen berjalan sesuai Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta Hal. 12
menyebabkan gejala yang berbeda pula. Pada appendiks retrocaecal, rasa nyeri pada abdomen anterior jarang, dan pasien lebih banyak mengeluhkan rasa nyeri pada pinggang kanan sampai ke belakang. Pada appendiks letak pelvik, tandatanda pada abdomen bisa tidak ada sama sekali dan bisa tidak terdiagnosis bila Rectal Touche (RT) tidak dilakukan. Rectal touche juga untuk membedakan ada atau tidaknya suatu massa.
Hal. 13
Foto Polos Abdomen Foto polos abdomen dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosa banding. Pada appendicitis akut dapat terlihat abnormal gas pattern dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukannya fekalit dapat
mendukung diagnosa. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, perubahan bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi. Pemeriksaan ini mungkin berguna pada pasien dengan gejala dan tanda-tanda yang tidak khas. Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang
Hal. 14
membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien yang sedang hamil karena tidak menggunakan paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks diidentifikasi sebagai blind end, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendicitis akut adalah adanya noncompressible appendiks sebesar 7 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada kontinuitas jaringan submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal. Sensitivitas sonografi dalam mendiagnosis appendicitis sebesar 55 96% dan spesifisitas 85 98%. False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan pada pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat. Sedangkan false (-) didapat pada appendiks letak retrocaecal dan appendiks yang membesar. Hal ini tergantung kemahiran operator. Gambaran sagital graded akut compression dari yang
menunjukkan Struktur
inlamasi
appendiks. kurangnya
tubular
noncompressible,
Gambaran transverse graded compression yang menunjukkan inflamasi akut dari appendiks.
Adanya gambaran target like appearance karena penebalan dari dinding appendiks dan cairan pada sekelilingnya.
Hal. 15
Gambaran
pelebaran
appendiks
dengan
Hal. 16
Dalam rangka meningkatkan tingkat akurasi dari diagnosis apendisitis, maka telah disusun sebuah system penilaian yang dibuat berdasarkan penelitian secara retrospektif oleh Alvarado. Sistem penilaian ini meliputi gejala-gejala (nyeri yang berpindah dari periumbilikal ke perut kanan bawah, mual dan penurunan nafsu makan), tanda-tanda (nyeri tekan pada perut kanan bawah, nyeri lepas, dan demam), dan pemeriksaan laboratorium (leukositosis dan pergeseran ke kiri).
Alvarado Score Symptoms Migratory right iliac fossa pain Anorexia Nausea and vomiting Signs Right iliac fossa tenderness Rebound tenderness Fever Laboratory Leucocytosis 2 points 2 points 1 point 1 point 1 point 1 point 1 point
A score of 7 or more is strongly predictive of acute appendicitis. Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta Hal. 17
II.9 DIAGNOSIS BANDING Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. Inflamasi dari diverticulum Meckels jarang ditemukan, namun penyakit ini memiliki pathogenesis dan perjalanan penyakit yang menyerupai appendicitis. Apabila gejala-gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah lebih dominan, perlu dipertimbangkan gastroenteritis sebagai diagnosis banding, terutama apabila gejala-gejala gastrointestinal tersebut mendahului gejala nyeri perut, namun nyeri perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik lebih sering ditemukan. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut. Urolitiasis pielum atau ureter kanan (batu ureter atau batu ginjal kanan). Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri costovertebral di sebelah kanan dan piuria. Kasus-kasus keganasan juga harus menjadi bahan pertimbangan. Karsinoma dengan perforasi ke dalam sekum maupun kolon ascendens akan memberikan gejala nyeri yang akut disertai tanda-tanda perangsangan peritoneum. Pada kasus yang jarang ditemui, dapat terjadi apendisitis sekunder akibat obstruksi lumen sekum oleh karena karsinoma. Limfoma pada ileum terminal juga dapat memberikan gejala-gejala yang menyerupai appendicitis. Secara umum pada kasus-kasus keganasan abdominal dapat ditemukan tinja dengan test guaiac yang positif, anemia, riwayat penurunan berat badan, perubahan kronis dari pola defekasi.
Hal. 18
II.10 PENATALAKSANAAN Indikasi Operasi Apabila diagnosis apendisitis telah ditegakkan dengan berbagai pemeriksaan yang mendukung, hal tersebut sudah merupakan suatu indikasi operasi (apendektomi), kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti halnya pada keadaan dimana masa akut telah dilewati namun muncul komplikasi dengan terbentuknya abses. Pada beberapa kasus dapat digunakan antibiotik sebagai Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta Hal. 19
Dilakukan pengangkatan apendiks apabila pada saat operasi ditemukan gambaran inflamasi. Hal penting yang harus diingat adalah untuk melakukan disseksi apendiks sampai ke basis, yaitu pada pertemuan taenia di dinding sekum. Kegagalan dalam mengangkat seluruh apendiks sampai ke basis-nya dapat mengingkatkan resiko terjadinya apendisitis rekuren. Mengingat bahwa terdapat beberapa laporan terjadinya appendicitis rekuren, maka penting untuk tetap berwaspada terhadap kemungkinan munculnya apendisitis rekuren meski terdapat riwayat operasi apendiks dan bukti jaringan parut yang nyata. Apabila diseksi secara aman tidak dimungkinkan oleh karena adanya inflamasi ataupun pembentukan abses, sebuah closed suction drain dapat diletakan kedalam kavum peritoneum. Tindakan ini bermanfaat untuk mengalirkan materi fekal maupun pus keluar sehingga mencegah tertimbunnya materi-materi tersebut kedalam kavum peritoneum.
Pasca Operasi Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta Hal. 21
II.11 KOMPLIKASI Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami wall-off sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan lekuk usus halus. Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut. Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakan dengan pasti. Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur, transfuse untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada. Bila terbentuk abses apendik akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol atau Appendicitis Infiltrat, Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Jogja, Kota Yogyakarta Hal. 22
Hal. 23
Hal. 24
Appendicitis inflitrat sebenarnya adalah istilah yang salah, seharusnya disebut dengan massa periappendikular. Massa appendiks ini terjadi bila
appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi oleh pendindingan oleh omentum dan / atau lekuk usus. Umumnya massa appendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa
appendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur > 5 tahun karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang. GEJALA DAN TANDA Gejala klinisnya sama dengan gejala appendicitis ditambah dengan terabanya massa pada kuadran kanan bawah. TERAPI Pada massa periappendikular yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, disarankan massa
periappendikular yang masih mobile di operasi segera untuk mencegah penyulit tersebut. Disamping itu, operasi masih mudah. Pada massa periappendikular yang terfiksir dan pendindingan sempurna, dirawat dulu dan diberi antibiotik. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain : Suhu tubuh Ukuran massa Luasnya peritonitis Leukosit Bila sudah tidak ada demam, massa periappendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan appendektomi elektif dapat dikerjakan 2 3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin (interval appendektomi).
Hal. 25
Hal. 26