You are on page 1of 47

MAKALAH PENYAKIT KULIT

(Sindrome steven johnson, Nekrolisis Epidermal Toksik, Femvigus Vulgaris, Eritroderma)

(BLOK GAWAT DARURAT DAN TRAUMATOLOGI)

YANA GUSTINA 61109009 SEMESTER VII

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM


1

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

BATAM, DECEMBER 2012

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................... 1 KATA PENGANTAR.................................................................................................... 2 DAFTAR ISI................................................................................................................. 3 BAB 1 1.1 Pemdahuluan.................................................................................................. 4 1.2Tujuan ............................................................................................................. 5 BAB II Pembahasa
2.1 Sindrome steven johnson............................................................................ 6 2.2 Nekrolisis Epidermal Toksik............................................................................... 19 2.3 Femvigus Vulgaris.............................................................................................. 26 2.4 Eritroderma....................................................................................................... 35 BAB III

3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 46 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 47

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan.
Sindrom Stevens-Jhonson merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Jhonson saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya Sindrom Stevens-Jhonson seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada Sindrom Stevens-Jhonson adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya.

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut dan berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru.Nekrolisis epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut memberikan gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan satu atau lebih membran mukosa.
Istilah pemfigus dari kata pemphix (Yunani) berarti melepuh atau gelembung. Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berupa bula yang timbul dalam waktu yang lama, menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara histopatologik ditandai dengan bula interepidermal akibat proses akatolisis

Eritroderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro- (red = merah) dan derma, dermatos (skin = kulit), merupakan keradangan kulit yang mengenai 90% atau lebih pada permukaan kulit yang biasanya disertai skuama. Pada beberapa kasus, skuama tidak selalu ditemukan, misalnya pada eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena bercampur dengan hiperpigmentasi. Nama lain penyakit ini adalah dermatitis eksfoliativa generalisata, meskipun sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda. Kata eksfoliasi berdasarkan pengelupasan skuama yang terjadi, walaupun kadang-kadang tidak begitu terlihat, dan kata dermatitis digunakan berdasarkan terdapatnya reaksi eksematus

1.3 Tujuan

Untuk

mengetahui

pengertian,etiologi,serta

bagaimana

penatalaksanaan untuk penanganan penyakit kulit agar dapat berguna untuk pengetahuan diri sendiri maupun orang lain sehingga dapat diterapkan untuk menunjang kesehatan sehari-hari.

6 BAB II PEMBAHASAN

Sindrom Steven Johnson Definisi Sindrom Stevens-Johnson adalah penyakit akut dan berat, terdiri dari erupsi kulit, kelainan mukosa dan lesi pada mata (Siregar, 1996). Sedangkan menurut Laskaris (2000), Sindrom Stevens-Johnson atau eritema multiformis mayor adalah variasi eritema multiformis mukokutan yang lebih parah dengan ditandai keterlibatan membran mukosa. Menurut Sharma and Sethuraman (1996), Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang dari ringan sampai berat berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai makula, vesikel, bula dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih 10 % dari area permukaan tubuh, serta melibatkan lebih dari satu membran mukosa. Kasus dengan pengelupasan epidermis antara 10% sampai dengan 30% disebut dengan overlap Stevens-Johnson Syndrome-Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN), sedangkan kasus dengan pengelupasan epidermis lebih dari 30% disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) (BastujiGarin, et al., 1993).

Etiologi Sindrom Stevens-Jhonson Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, adalah : a. Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti- peuritik ). Penggunaan obat paling sering pada anak yang berkaitan dengan timbulnya sindrom ini adalah sebagai berikut: Carbamazepine (Tegretol pengobatan anti kejang) o Cotrimoxazole (Septra, Bactrim dan berbagai nama generik dari trimethoprimsulfazoxazole). Ini adalah golongan sulfa antibiotik yang digunakan untuk mengatasi infeksi saluran kemih dan mencegah infeksi pada telinga o Sulfadoxine dan pyrimethamine, digunakan sebagai pengobatan malaria dan pada anak dipakai pada pasien dengan penyakit immunodefisiensi b. Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti- peuritik ). Penyakit infeksi yang telah dilaporkan dapat menyebabkan sindrom ini meliputi: Viral: herpes simplex virus (HSV)1 dan 2, HIV, Morbili, Coxsackie, cat-scratch fever, influenza, hepatitis B, mumps, lymphogranuloma venereum(LGV), mononucleosis infeksiosa, Vaccinia rickettsia dan variola. Epstein-Barr virus and enteroviruses diidentifikasi sebagai penyebab timbulnya sindrom ini pada anak. Bakteri: termasuk kelompok A beta haemolytic streptococcus, cholera, Fracisella tularensis, Yersinia, diphtheria, proteus, pneumokokus, Vincent agina, Legionaire, Vibrio parahemolitikus brucellosis, mycobacteriae, mycoplasma pneumonia tularemia and salmonella typhoid. Jamur: termasuk coccidioidomycosis, dermatophytosis dan histoplasmosis. rotozoa: malaria and trichomoniasis. c. Neoplasma dan faktor endokrin

7
d. e. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X) Makanan : coklat

Insidensi dan Prevalensi Sindrom Stevens-Johnson paling sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda, jarang terjadi di bawah usia 3 tahun (Sularsito, dkk., 1986; Siregar, 1996; Mansjoer, dkk., 2000; Smelik, 2005). Menurut Parillo, et al. (2005), rata-rata umur penderita adalah 2040 tahun, walaupun pernah dilaporkan penderita anak berumur 3 bulan. Hasil penelitian Foster, et al. (2005) menyatakan bahwa rata-rata umur penderita Sindrom Stevens-Johnson adalah 25-47 tahun. Menurut Foster, et al. (2005), di Jerman dilaporkan insidensi Sindrom Stevens-Johnson sebesar 1,1 kasus tiap satu juta orang pertahun. Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan antara pria dan wanita pada penderita Sindrom Stevens-Johnson adalah 2:1 (Sularsito, dkk., 1986; Parillo, et al., 2005). Data yang diperoleh berdasarkan penelitian oleh Committee Drug Adverse Reaction Monitoring, Directory for Drug and Food Administration, Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1981-1995 menyatakan selama periode tersebut terjadi 2646 kasus reaksi samping obat. Dari 2646 kasus, sebanyak 35,6% atau 942 kasus berupa erupsi kulit. Sindrom Stevens-Johnson dilaporkan terjadi pada 8,57% dari kasus erupsi kulit atau sebesar 81 kasus (Budimulja dan Selamat, 1998). Di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, insidensi Sindrom Stevens-Johnson setiap tahun kira-kira terdapat 10 kasus, sindrom ini makin meningkat karena salah satu penyebabnya ialah alergi obat dan sekarang semua obat dapat diperoleh secara bebas (Hamzah, 2002). Patofisiologi Patogenesis Sindrom Stevens-Jonson sampai saat ini belum jelas namun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV (delayed-type hypersensitivity reactions) adalah reaksi yang dimediasi oleh Limfosit T yang spesifik (Foster, et al., 2005). Sindrom Stevens-Johnson merupakan reaksi imun sitotoksik dengan sasaran destruksi keratinosit. Pembentukan imun ditandai dengan kelambatan antara paparan hingga permulaan penyakit (1 sampai 45 hari; rata-rata 14 hari). Aktivasi sel T (termasuk CD4+ dan CD8+) telah dilihat secara in vitro pada sel-sel darah perifer dari pasien dengan erupsi obat berlepuh (bullous drug eruption); adanya produksi yang tinggi dari interleukin-5. Kerusakan epidermis berdasarkan pada induksi apoptosis. Terdapat ekspresi berlebih yang drastis dari TNF pada epidermis. TNF memainkan peranan penting dalam destruksi epidermis, dengan menginduksi apoptosis secara langsung atau dengan menarik sel-sel efektor sitotoksik atau keduanya (Fitzpatrick, 1999; Foster, et al., 2005). Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi

8 lainnya. Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal. Sindrom Stevens-Johnson dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab (Fitzpatrick, 1999; Foster, et al., 2005). Gejala Klinis Umum Secara umum gejala klinis Sindrom Stevens-Johnson didahului gejala prodormal yang tidak spesifik seperti demam, malaise, batuk, sakit kepala, nyeri dada, diare, muntah dan artralgia. Gejala prodormal ini dapat berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari ringan sampai berat. Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik, sedangkan dalam keadaan yang berat gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran pasien menurun bahkan sampai koma (Siregar, 1996; Mansjoer, dkk., 2000; Langlais and Miller, 2003). Gejala pada Kulit Lesi kulit pada Sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal atau dapat juga terjadi sesudah gejala klinis di bagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat asimetri dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar. Mula-mula lesi kulit berupa erupsi yang bersifat multiformis yaitu eritema yang menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini menyebar luas secara cepat dan biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat hari, bahkan seringkali hanya dalam hitungan jam. Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki sedangkan pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada wajah, dada dan seluruh tubuh (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Eritema yang tersebar luas pada wajah (Dunne, 2000). Eritema akan menjadi vesikel dan bula yang kemudian pecah menjadi erosi, ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan terlepas meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat perdarahan akan menjadi krusta yang umumnya berwarna coklat gelap sampai kehitaman. Variasi lain dari lesi kulit berupa purpura, urtikaria dan edema. Selain itu, adanya erupsi kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal dan rasa terbakar (Roujeau and Stern, 1994; Emond, et al., 1995; Lagayan, 2005; Parillo, et al., 2005). Gejala pada Mata Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien Sindrom Stevens-Johnson. Kelainan yang sering terjadi adalah konjungtivitis (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Konjungtivitis (Cohen, 2000). Selain konjungtivitis, kelopak mata seringkali menunjukkan erupsi yang merata dengan krusta hemoragi pada garis tepi mata. Penderita Sindrom Stevens-Johnson yang parah, kelainan mata dapat berkembang menjadi konjungtivitis purulen, photophobia, panophtalmintis, deformitas kelopak mata, uveitis anterior, iritis, simblefaron, iridosiklitis serta sindrom mata kering, komplikasi lainnya dapat juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi kornea, dan kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan kebutaan (Shafer, 1983; Lim and Constable, 1987; Sonis, et al., 1995; Manjoer, dkk., 2000; Smelik, 2005; Lagayan, 2005). Gejala pada Genital Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis, balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada glans penis (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Balanitis (Cohen, 2003). Uretritis merupakan peradangan pada uretra dengan gejala klasik berupa sekret uretra, peradangan meatus, rasa terbakar, gatal, dan sering buang air kecil. Vulvovaginitis adalah peradangan pada vagina yang biasanya melibatkan vulva dengan gejala-gejala berupa bertambahnya cairan vagina, iritasi vulva, gatal, bau yang tidak sedap, rasa tidak nyaman, dan gangguan buang air kecil. Sindrom Stevens-Johnson dapat pula menyerang anal berupa peradangan anal atau inflamed anal (Scopp, 1973; Sularsito, dkk., 1986; Levene and Calnan, 1989; Bricker, et al., 1994). Gejala pada Rongga Mulut Lesi oral mempunyai karakteristik yang lebih bervariasi daripada lesi kulit, seluruh permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung banyak terjadi pada bibir,

10 lidah palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan pada gusi relatif jarang terjadi lesi (Pindborg, 1994; Langlais and Miller, 2003). Lesi oral didahului oleh makula, papula, segera diikuti oleh vesikel dan bula. Ukuran vesikel maupun bula bervariasi dan mudah pecah dibandingkan lesi pada kulit. Vesikel maupun bula terutama pada mukosa bibir mudah pecah karena gerakan lidah dan friksi pada waktu mengunyah dan bicara, sehingga bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu pemeriksaan klinis intaoral. Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi, kemudian mengalami ekskoriasi dan berbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan nekrotik yang berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudomembran. Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga meninggalkan suatu ulkus yang berbentuk tidak teratur dengan tepi tidak jelas dan dasar tidak rata yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma mekanik dan megalami perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta berwarna coklat sampai kehitaman. Krusta kehitaman yang tebal dapat terlihat pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada mukosa bibir meluas sampai tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut (Gambar 2.4) (Shafer, 1983: Pindborg, 1994; Emond, et al., 1995; Laskaris, 2000; Hamzah, 2002; Langlais and Miller, 2003).

Gambar 2.4 Krusta sanguinolenta pada bibir (Dunne, 2000). Diagnosa Diagnosa merupakan hal yang penting sehubungan dengan perawatan yang akan dilakukan. Diagnosa sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar perawatan dapat segera dilakukan sehingga hasilnya akan lebih memuaskan dan prognosis yang buruk dari sindrom Stevens-Johnson dapat dihindarkan. Penegakkan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat berbagai macam bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosa Sindrom Stevens-Johnson terutama berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis Anamnesis mempunyai peranan yang sangat penting dalam menegakkan diagnosa penyakit. Anamnesis diperoleh dari hasil wawancara antara dokter gigi dengan penderita atau keluarga penderita yang mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan. Seorang dokter gigi harus menguasai cara melakukan anamnesis yang baik sehingga dapat mengarahkan dan menganalisis jawaban-jawaban pasien untuk memperoleh suatu kesimpulan yang merupakan penegakkan diagnosis dari sindrom Stevens-Johnson.

11 Anamnesis yang dilakukan meliputi keluhan utama, riwayat penyakit yang sedang dan pernah diderita baik penyakit umum maupun penyakit gigi, riwayat penyakit keluarga, riwayat menggunakan obat secara sistemik, serta riwayat timbulnya erupsi kulit. Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan klinis dapat dilakukan baik ekstra oral maupun intra oral. Pemeriksaan klinis yang dilakukan oleh dokter gigi diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas. Ada beberapa hal penting dalam pemeriksaan klinis yang dapat dijadikan bahan acuan dalam mendiagnosis sindrom Stevens-Johnson, yaitu (Mansjoer, dkk., 2000; Labreze, et al., 2000; Fagot, et al., 2001; Dunant, et al., 2002; Chopra, et al., 2004; Shuen Lam, 2004; Jones, et al., 2004) : 1. Diawali oleh penyakit peradangan akut yang disertai gejala prodormal berupa demam, malaise, nyeri dada, diare, muntah dan artralgia. 2. Tiga gejala yang khas yaitu kelainan pada mulut berupa stomatitis, kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis 3. Keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk dan kesadaran penderita mulai dari sopor bahkan menurun sampai koma. 4. Berhubungan dengan reaksi alergi terhadap obat tertentu secara sistemik, imunologi, atau kombinasinya. 5. Manifestasi oral biasanya timbul setelah erupsi kulit, tetapi adakalanya timbul mendahului erupsi kulit. 6. Pada lesi kulit terdapat makula, vesikel atau bula, dapat disertai purpura yang tersebar luas pada tubuh. 7. Terdapat pengelupasan epidermis seluas kurang dari 10% area permukaan tubuh. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan hemaglutinasi dengan mikroskop imunoflouresensi. Pemeriksaan hemaglutinasi bertujuan untuk memperlihatkan adanya komplemen dan antibodi Ig G atau Ig M. Selain itu, pemeriksaan histopatologis dengan biopsi membantu membedakan sindrom StevensJohnson dengan penyakit lainnya. Hasil pemeriksaan biopsi menunjukkan adanya bula subepidermal yang terdapat di bawah epidermis, adanya area perivaskuler yang diinfiltrasi oleh limfosit dan terdapat juga nekrosis sel epidermal (Siregar, 1996; Lagayan, 2005). Pada umumnya perubahan-perubahan terjadi pada bagian atas kulit berupa pelebaran atau dilatasi pembuluh darah superfisial yang dikelilingi oleh infiltrasi sel radang limfosit dari ringan sampai berat dan sejumlah sel radang yang lainnya seperti neutrofil, eosinofil, leukosit dan sel polimononuklear. Selanjutnya reaksi edematus meluas sampai epidermis, yang diikuti penetrasi sejumlah besar cairan edema sehingga menyebabkan pembentukan vakuola. Batas antara dermis dan epidermis menjadi tidak jelas dan pada kahirnya pembentukan vakuola akan menyebabkan terjadinya vesikel. Vesikel ditandai dengan adanya celah pada perbatasan antara dermis dan epidermis serta nekrosis sel epidermis bagian atas yang tebal dan padat. Vesikel selanjutnya dapat membentuk bula yang berisi eksudat fibrinosa dan sejumlah besar sel radang. Vesikel maupun bula dapat terjadi pada subepitel dan intraepitel (Laskaris, 2000; Cawson, et al., 2001; Fagot, et al., 2001; Foster, et al., 2005).

12 Diagnosa Banding Diagnosa banding dibuat karena sindrom Stevens-Johnson memiliki gambaran klinis yang bervariasi sehingga menimbulkan masalah dalam menentukan diagnosa yang tepat. Penyakit yang memiliki tanda-tanda klinis menyerupai sindrom Stevens-Johnson antara lain : 1. Phempigus vulgaris (Shafer, 1983; Sularsito, dkk., 1986; Lynch, et al., 1994; Sonis, 1995) 2. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) (Lynch, et al., 1994; Mansjoer, dkk., 2000; Ghislain and Roujeau, 2005) 3. Sindrom Behcet (Langlais and Miller, 2003) 4. Pemphigoid bulosa (Langlais and Miller, 2003) 5. Lichen planus tipe bula (Pindborg, 1994) 6. Eksantem fiksum multiple generalisata (Mansjoer, dkk., 2000) Prognosa Tingkat keparahan penyakit sangat mempengaruhi prognosa sindrom StevensJohnson. Apabila perawatan dilakukan secara tepat dan seksama, maka prognosa sindrom Stevens-Johnson biasanya baik. Mortalitas sindrom Stevens-Johnson rata-rata sebesar 515%. Apabila membran mukosa terlibat antara lain pada orofaring, mata, genital dan anal memerlukan perhatian serta perawatan yang seksama. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang mempunyai komplikasi pada epitel trakheobronkial dan gastrointestinal menyebabkan morbiditas yang tinggi. Penderita dengan umur yang lebih tua, terjadi peningkatan persentase pengelupasan epidermis, peningkatan konsentrasi urea dan natrium dalam darah, dan keterlibatan organ vital akan memperburuk prognosa penyakit (Ghislain and Roujeau, 2005). Pada kasus sindrom Stevens-Johnson yang berat dapat terjadi keadaan yang fatal, walaupun sudah diberikan perawatan. Keadaan fatal dapat disebabkan oleh komplikasi yang menyertainya yaitu sepsis (Roujeau and Stern, 1994). Menurut Hamzah (2002), apabila terdapat purpura yang luas, leucopenia, keadaan umum yang buruk dan bronkopneumonia akan memperburuk prognosis. Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi rekuren dua atau tiga kalidalam setahun, kemudian dapat mereda secara spontan (Cawson, et al., 1994). Angka spesifik kesakitan TEN yaitu SCORTEN, dengan meningkatnya kesakitan dan luasnya pengelupasan epidermal berhubungan dengan meningkatnya mortalitas Sindrom Stevens-Johnson sampai Toksik Epidermal Nekrolisis dimana Sindrom Stevens-Johnson < 10% (1-5% mortalitas), overlap SJS-TEN 10-30% dan TEN > 30% (25-35% mortalitas). 7 faktor risiko pada Sindrom Stevens-Johnson dan Toksik Epidermal Nekrolisis yaitu (Bastuji-Garin, 2000) : 1) Usia > 40 tahun 2) Keganasan 3) Takikardia >120/menit 4) Permukaan pengelupasan epidermal pada permulaan >10% 5) Urea > 28 mg/dl 6) Glukosa > 252 mg/dL 7) Bikarbonat < 20 mmol/L Setiap parameter diberikan 1 poin bila positif sehingga jumlah SCORTEN tingkatannya 0-7. Mortalitas berdasarkan nilai SCORTEN (Parillo, 2009) yaitu : SCORTEN 0-1, mortalitas >3.2% SCORTEN 2, mortalitas >12.1%

13 SCORTEN 3, mortalitas >35.3% SCORTEN 4, mortalitas >58.3% SCORTEN 5 atau lebih, mortalitas >90%

Perawatan Sindrom Stevens-Johnson Perawatan Secara Umum Perawatan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat keparahan penyakit dan perawatan secara umum meliputi : 1) Rawat Inap Penderita sindrom Stevens-Johnson yang mengalami masa kritis akibat ketidakseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, kesadaran penderita menurun, serta keadaan umum yang buruk, maka rawat inap di rumah sakit sangat diperlukan. Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari keadaan penderita (Mansjoer, dkk., 2000; Hamzah, 2002; Perdoski, 2003). 2) Preparat Kortikosteroid Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10 mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari. Penurunan dosis kortikosteroid sistemik harus dilakukan oleh setiap dokter karena kortikosteroid mempunyai efek samping yang besar bagi penderita (Hamzah, 2002). Penggunaan preparat kortikosteroid harus di bawah pengawasan seorang ahli, mengingat kortikosteroid memiliki efek samping berupa supresi daya tahan tubuh dan menekan aktivitas korteks adrenal. Kortikosteroid hanya mengurangi gejala, memperpendek durasi penyakit, dan tidak menyembuhkan penyakit secara total (Scopp, 1973). 3) Infus Hal yang perlu diperhatikan pada penderita adalah mengatur keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat adanya lesi oral dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infus yang diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. (Mansjoer, dkk., 2000; Hamzah, 2002). 4) Obat Anabolik Obat anabolik diberikan untuk menetralkan efek katabolik akibat penggunaan preparat kortikosteroid. Obat anabolik yang sering digunakan seperti nandrolon fenilpropionat dengan dosis 25-50 mg untuk dewasa dan dosis untuk anak tergantung berat badan (Mansjoer, dkk., 2000). 5) KCl Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari peroral (Mansjoer, dkk., 2000; Hamzah, 2002; Perdoski, 2003).

14 6) Adenocorticotropichormon (ACTH) Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan berupa ACTH sintetik dengan dosis 1 mg (Siregar, 1996). 7) Agen Hemostatik Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K (Siregar, 1996). 8) Diet Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama, penderita mangalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan (Hamzah, 2002). 9) Vitamin Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler (Hamzah, 2003).

Perawatan pada Kulit Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, kebanyakan penderita merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur (Landow, 1983). Lesi kulit yang erosive dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit (Siregar, 1996; Mansjoer, dkk., 2000; Hamzah, 2000). Perawatan pada Mata Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik, kompres dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan ointment. Pada kasus yang kronis, suplemen air mata seringkali digunakan untuk mencegah terjadinya corneal ephithelial breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder. Konsultasi dokter gigi dengan dokter spesialis mata sangat direkomendasikan dan sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar kebutaan dapat dihindarkan (Lagayan, 2005). Perawatan pada Genital Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson seringkali mengalami gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil (Landow, 1983; Lagayan, 2005). Perawatan pada Rongga Mulut

15 Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian anestetik topikal dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%. Penggunaan lidokain 2% dengan cara mengoleskan secukupnya pada daerah lesi sampai merata dengan menggunakan cotton swab. Campuran 50% air dan hidrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi. Balloon dilatation kadang-kadang diindikasikan untuk perawatan esophageal strictures (Smelik, 2005). Lesi pada mukosa bibir yang parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3% (Siregar, 1996). Menurut Perdoski (2003), lesi oral terutama pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid. Triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topikal. Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum.Rasa nyeri yang dialami penderita akibat adanya lesi oral menyebabkan penderita mengalami sukar menelan makanan atau minuman. Apabila penderita mampu minum secara peroral, maka penderita diijinkan makan makanan padat. Penderita tidak dapat menyikat gigi, maka diganti dengan obat kumur seperti sodium bikarbonat. Lesi pada mukosa bibir dapat diolesi dengan ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin yang digunakan untuk menjaga kelembaban bibir agar tidak melekat satu sama lain (Landow, 1983). Antiretroviral Jenis Antiretroviral Antiretroviral (ARV) merupakan obat yang dapat melawan HIV karena dapat menekan replikasi HIV dalam darah, sehingga dapat mengendalikan infeksi HIV serta melindungi sistem kekebalan dari kerusakan. Tiga golongan ARV yang umumnya dipakai, yaitu NRTI (nucleoside/ nucleotide reverse transcriptase inhibitor, atau analog nukleosida/nukleotida), NNRTI (non nucleoside reverse transcriptase inhibitor, atau penghambat non-nukleosida), dan PI (protease inhibitor). Ketiga golongan ini bekerja dengan cara yang berbeda untuk menghambat replikasi HIV dalam sel CD4 (McGilvray, 2007). Tabel 2.2 Macam Kelas Obat Anti-Retroviral (Ministry of Health Malawi, 2003). NNRTI PI NsRTI NtRTI Zidovudine (ZDV) Didanosine (ddI) Lamivudine (3TC) Stavudine (d4T) Zalcitabine (ddC) Tenofovir (TDF) Nevirapin e (NVP) Efavirenz (EFV) Nelfinavir (NFV) Saquinavir (SQV) Ritonavir (RTV) Lopinavir (LPV) Indinavir (IDV)

16 Abacavir (ABC) Amprenav ir (APV)

Indikasi Penggunaan Antiretroviral Penggunaan ARV yang tepat sebaiknya mengikuti pedoman yang telah dikeluarkan oleh WHO. Pedoman WHO menjelaskan bahwa ART (Antiretroviral Therapy) sebaiknya sudah ditawarkan pada orang yang terinfeksi HIV/AIDS stadium 4, tanpa melihat jumlah CD4-nya. ART sebaiknya diberikan bila jumlah CD4<350 sel/mm3 pada orang yang terinfeksi HIV/AIDS stadium 3, sedangkan orang yang terinfeksi HIV/AIDS pada stadium 1 atau 2 sebaiknya ditawarkan ART bila jumlah CD4<200 sel/mm3. Namun yang paling penting adalah kesiapan orang yang terinfeksi HIV/AIDS untuk memulai ART. Bila orang yang terinfeksi HIV/AIDS belum siap, walaupun telah sakit sebaiknya ART ditunda sampai ODHA siap (McGilvray, 2007). 2.2.3 Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antiretroviral Tabel 2.3 Standar Dosis Obat Antiretroviral (Ministry of Health Malawi, 2003). Ns Zidovudine 300 mg 2x/hari RTIs Didanosine jika Lamivudine Stavudine 60Kg) Zalcitabine Abacavir Tenofovir Efavirenz Nevirapine PIs Nelfinavir Saquinavir /ritonavir Lopinavir / ritonavir Indinavir / ritonavir 0.75 mg 3x/hari 300 mg 2x/hari 300 mg 1x/hari 600 mg 1x/hari 200 mg 1x/hari untuk 14 hari, lalu 200 mg 2x/hari 1250 mg 2x/hari 1000 mg / 100 mg 2x/hari 400 mg / 100 mg 2x/hari 800 mg / 100 mg 2x/hari < 60Kg) 150 mg 1x/hari 40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari jika < 400 mg 1x/hari (250 mg 1x/hari

Nt RTI NN RTIs

Obat yang termasuk dalam golongan NRTI dieliminir terutama melalui ginjal dan tidak berinteraksi dengan obat lain yang melalui sitokrom P-450. Obat-obatan ini juga dapat dikombinasikan dengan obat dari golongan PI dan NNRTI tanpa dilakukan penyesuaian dosis. Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah zidovudine (AZT), didanosine (DDL), zalcitabine (ddC), stavudin (d4T), lamivudine (3TC), abacavir (ABC), tenofovir (TDF), dan emtricitabine (FTC).

17 Zidovudine (AZT, ZDV, Retrovir) memiliki efek samping anemia, netropenia, mual, muntah, rasa lemah, lelah, asidosis laktat. Dengan dosis pemakaian 2x300 mg per hari obat ini tidak boleh dipakai bersama Stavudine (d4T). Sedangkan stavudine (d4T, Zerit) memiliki efek samping neuropati, lipoatrofi. Dosis pemakaiannya berdasarkan berat badan. Bila >60 kg maka dosisnya adalah 2x40 mg per hari dan bila <60 kg adalah 2x30 mg per hari. Lamivudine (3TC, Epivir, Hiviral) biasanya dapat ditoleransi baik dengan efek samping ringan. Dosisnya adalah 2x150 mg per hari (Depkes RI, 2004; Department of Health and Human Services. 2008). Obat yang termasuk dalam golongan NNRTI adalah Nevirapine (NVP), Delavirdine (DLV), Efavirenz (EFV). Obat ini dapat menghambat atau menginduksi aktivitas sitokrom P450 di hati sehingga dapat berinteraksi dengan obat-obat lain yang melalui sitokrom P-450. Obat ini memerlukan lebih, apabila akan dikombinasikan dengan ARV lain. Nevirapin akan menurunkan kadar Indinavir dan Saquinavir. Efavirenz akan menurunkan kadar plasma indinavir, lopinavir, saquinavir, amprenavir dan akan menaikkan kadar plasma ritonavir dan nelvinavir. Nevirapine dan efavirenz juga akan menurunkan plasma konsentrasi metadon sebesar 50 persen sehingga pemakaian bersama dengan kedua obat ARV ini, harus berhatihati terhadap gejala withdrawal serta membutuhkan dosis yang lebih tinggi (Depkes RI, 2004; Department of Health and Human Services. 2008). Nevirapine (Neviral) memiliki efek samping ruam karena alergi, Sindrom StevenJohnson, anafilaksis, meningkatnya SGOT/PT, menurunkan konsentrasi rifampisin dan ketokonazol dalam darah. Dosis yang digunakan adalah 1x200 mg per hari untuk 2 minggu pertama, dan selanjutnya 2x200 mg per hari. Efavirenz dimakan pada malam hari dengan dosis 600 mg per hari. Efek samping mengonsumsi obat ini adalah teratogenik, gejala sistem saraf pusat (dizziness, sakit kepala ringan, mimpi buruk) yang akan hilang pada mingggu pertama pertama (Depkes RI, 2004; Department of Health and Human Services. 2008). Golongan obat ketiga dari ARV adalah PI, yang terdiri dari saquinavir (SQV), indinavir (IDV), ritonavir (RTV), nelvinafir (NFV), amprenavir (APV), lopinavir/Kaletra (LPV/r), atazanavir (ATV). Obat-obatan ini menghambat CYP3A4 sehingga harus berhati-hati jika digunakan bersama obat lain. Golongan obat ini memiliki kontraindiksi jika dipakai bersama dengan obat antiaritmia, hinotik-sedatif, dan derivat ergot serta menurunkan knsentrasi plasma lovastatin dan simvastatin secara umum (Depkes RI, 2004; Department of Health and Human Services. 2008). Reaksi Samping Antiretroviral Reaksi simpang (adverse reaction) dari obat-obatan antiretroviral bervariasi dari ringan sampai berat. Beberapa reaksi simpang yang umum yaitu (Balano, 2002) : 1. Nausea Antiretroviral yang biasa dihubungkan dengan nausea adalah Zidovudine (AZT, ZDV, Retrovir), Didanosine (ddI, Videx), Abacavir (ABC, Ziagen), semua protease inhibitor, Tenofovir gas/bloating & flatulence. 2. Diare Antiretroviral yang paling sering menyebabkan diare antara lain : ddI (tablet/ formula bubuk), Abacavir , Nelfinavir, Ritonavir, Amprenavir, dan Lopinavir. 3. Ruam Antiretroviral yang biasa dihubungkan dengan ruam yaitu Nevirapine, Delavirdine, dan Amprenavir. Ruam juga terlihat pada Abacavir, 3TC, Nelfinavir, dan Efavirenz.

18 4. Fatigue Antiretroviral yang dihubungkan dengan fatigue adalah Zidovudine dan Efavirenz. Reaksi samping obat antiretroviral pada rongga mulut antara lain (Kalmar, 2006; Meechan and Seymour, 2002) : Serostomia yaitu Efavirenz. Pigmentasi yaitu Zidovudin. Pembengkakan bibir dan lidah yaitu Zidovudin. Parestesi yaitu Lamivudin dan Zidovudin. Ulserasi mukosa yaitu Zidovudin. Gangguan indera pengecap yaitu Efavirenz, dan Zidovudin. Sindrom Stevens-Johnson yaitu Efavirenz, dan Nevirapine (Gambar 2.

Gambar 2.5 Seorang bayi dengan sindrom Stevens-Johnson akibat Nevirapine (Scheff, 2004).

19 NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK ( N.E.T ) A. DEFINISI Nekrolisis epidermal toksik atau Lyell's syndrome adalah kelainan kulit yang memerlukan penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun begitu, etiologi lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa menyebabkan penyakit ini. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut dan berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru. Nekrolisis epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut memberikan gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan satu atau lebih membran mukosa. Pada Stevens-Johnson Syndrome (SJS) epidermal detachment meliputi kurang dari 10% luas permukaan kulit tubuh ; transitional SJS-TEN ditentukan dengan epidermal detachment antara 10 sampai 30 % ; dan TEN detachment lebih dari 30 %.

B. EPIDEMOLOGI Kejadian di seluruh dunia adalah 0,5 sampai 1,4 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan frekuensi yang sama pada pria dan wanita. NET dapat mengenai semua kelompok usia tetapi lebih umum pada orang tua, kemungkinan karena meningkatnya jumlah obat yang dikonsumsi oleh orang tua. C. ETIOLOGI Etiologi NET sama dengan Syndrome Steven Johnson. NET juga dapat terjadi akibat reaksi graft versus host, infeksi (virus,jamur,bakteri,parasit), dan sepertiga kasus nekrolisis epidermal toksika disebabkan oleh suatu reaksi terhadap suatu obat. Hubungan antara intake obat dan onset penyakit ini merupakan faktor yang sangat penting. SJS dan TEN umumnya dimulai kurang dari 8 minggu tapi lebih dari 4 hari sejak intake obat pertama kali. Obat yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah :

20

Sumber : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 2008.

D. PATOFISIOLOGI Patogenesisnya belum jelas. Ada yang menganggap bahwa N.E.T. merupakan bentuk berat Sindrome Stevens-Johnson karena pada sebagian para penderita SJS penyakitnya berkembang menjadi NET. Keduanya dapat disebabkan oleh alergi obat dengan spectrum yang hampir sama. Anggapan lain N.E.T. berbeda dengan SJS karena pada N.E.T tidak didapati kompleks imun yang beredar seperti pada Sindrome Stevens-Johnson dan eritema multiformis. Gambaran histologiknya juga berlainan. NET dipercaya merupakan immune-related cytotoxic reaction yang menghancurkan keratinosit yang mengekspresikan sebagai antigen asing. TEN menyerupai reaksi hipersensitivitas dengan karakteristik reaksi lambat pada pajanan pertama dan reaksinya meningkat cepat pada pajanan ulang. Adanya bukti yang mendukung beberapa jalur immunopatologik yang mengacu pada apoptosis keratinosit, sebagai berikut : Aktivasi Fas-ligand pada membran keratinosit death receptor mediated apoptosis Pelepasan protein dekstruktif (perforin and granzyme B) dari sitotoksik T limfosit akibat interaksi dengan sel yang mengekspresikan major histocompatability complex (MHC) class I. Produksi berlebih dari T cell dan/atau macrophage-derived cytokines (interferon-, tumor necrosis factor- *TNF-+, and various interleukins). Drug-induced secretion of granulysin dari CTLs, natural killer cells, dan natural killer T cells. E. MANIFESTASI KLINIS N.E.T. umumnya terdapat pada orang dewasa. Pada umumnya N.E.T. merupakan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau karena sepsis. Gejalanya mirip Sindrome Steven Johnson.

21 Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodromal. Penderita tampak sakit berat dengan demam tinggi, mialgia, cephalgia, dan kesadaran menurun. Kelainan kulit mulai dengan eritema generalisata kemudian banyak timbul vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam. Kelainan semacam itu dapat pula terjadi di orifisium genitalia eksterna. Juga dapat disertai kelainan pada mata seperti pada syndrome Steven Johnson. Pada N.E.T. yang terpenting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombustio. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolski positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena biasanya penderita berbaring. Pada sebagian para penderita kelaina kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Kuku dapat terlepas (onikolisis). Pada organ tubuh dapat terjadi perdarahan traktus gastrointestinal, trakeitis, bronkopneumonia, udem paru, emboli paru, gangguan keseimbangan cairan & elektrolit, syok hemodinamik & kegagalan ginjal. Pada penyakit ini terlihat adanya trias kelainan berupa : 1. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura. 2. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas. 3. Kelainan mata Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Lebih dari 80% pasien memperlihatkan adanya kelainan yang melibatkan konjungtiva, ulserasi kornea, uveitis anterior dan synechiae. F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Hal yang terpenting yaitu adanya riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Semua kasus yang dicurigai NET harus dilakukan biopsi kulit dan hapusan immunofluoresensi harus dipertimbangkan jika diduga pemphigus / pemphigoid. Laboratorium didapatkan adanya leukositosis, peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria, gangguan fungsi ginjal, dan ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi TBC dan bronkopneumonia. Pemeriksaan histopatologi, lesi awal menunjukkan apoptosis keratinosit lapisan suprabasal

22 dan pada lesi lanjut didapatkan adanya nekrosis di seluruh lapisan epidermis, kecuali stratum korneum, dan terpisahnya lapisan epidermis dan dermis.

Sumber : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 2008. G. DIAGNOSIS BANDING

Sumber : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 2008.

23

Sumber : Hongkong medical diary, 2008. H. PENATALAKSANAAN Hanya pasien dengan keterlibatan kulit yang terbatas dan SCORTEN 01 yang tidak perlu penanganan spesial. Sedangkan yang lain harus ditanganin di unit intensive atau burn centers. Supportive cares terdiri dari : mempertahankan kestabilan hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam nyawa.

Sumber : Hongkong medical diary, 2008. Pengobatan Simptomatik : Fluid replacement secepatnya : Tujuan Mengatur+mempertahankan keseimbangan cairan & elektrolit. Suhu ruangan dipertahankan 28 30 oC cegah hipotermi. Early nutritional support pasang nasogastric tube (NGT), diet tinggi protein & rendah garam Debridement ekstensif dan agresif tidak dianjurkan. Konsultasi disiplin ilmu lain : THT, mata, penyakit dlm, gigi dan mulut, dll. Mata diperiksa oleh ophthalmologist setiap hari, beri artificial tears, tetes mata

24 antibiotik, dan vitamin A setiap 2 jam sekali selama fase akut dan cegah synechiae. Mulut berkumur dengan larutan antiseptik atau antifungal beberapa kali sehari. Pengobatan Spesifik : Kortikosteroid masih kontroversial, beberapa penelitian menyatakan penggunaan pada fase akut dapat mencegah perluasan penyakit, dan penelitian lain menyatakan steroid tidak menghentikan progresivitas penyakit dan bahkan berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan efek samping, terutama sepsis. Intravenous Immunoglobulin gunakan high-dose dikarenakan adanya fas-mediated cells death. Cyclosporin A agent immunosupresif kuat; mekanismenya dengan mengaktivasi Th2 sitokine, inhibisi CD8+ sitotoksik, dan anti-apoptosis dengan inhibisi Fas-L, nuclear factor dan TNF-. Plasmapheresis/Hemodialysis tujuannya untuk mengeluarkan medikasi penyebab, metabolitnya, atau mediator inflamasi (sitokin), tapi tidak direkomendasikan karena kurangnya bukti dan risiko yang berhubungan dengan kateter intravaskular. Anti-TNF agents anti-TNF monoclonal antibodi telah berhasil dipakai untuk mengobati beberapa pasien, tapi pada penggunaan thalidomide dihentikan karena dilaporkan banyaknya kematian. I. KOMPLIKASI Infeksi sistemik dan septisemia Syok dan gagal multi-organ (MODs) Komplikasi pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerolunefritis. Pengelupasan membran mukus dalam mulut, tenggorokan, dan saluran pencernaan; ini menimbulkan kesulitan dalam makan dan minum sehingga mengarah pada dehidrasi dan kekurangan gizi. Pengelupasan konjungtiva dan gangguan-gangguan mata lainnya bisa menyebabkan kebutaan. Infeksi kulit oleh bakteri, scars and nail dystrophy, hiperpigmentasi atau hipopigmentasi Adhesi genital dyspareunia, nyeri dan perdarahan Pneumonia atau respiratory failure J. PROGNOSIS Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas, meliputi 50-70% permukaan kulit, prognosisnya buruk. Luas kulit yang terkena mempengaruhi prognosisnya. Juga bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia. Angka kematian NET 30-35% , jadi lebih tinggi daripada Sindrome Steven Johnson yang hanya 5 % atau 10-15% pada bentuk transisional, karena N.E.T. lebih berat. SCORTEN merupakan sistem skoring prognostik yang dikembangkan untuk menghubungkan mortalitas dengan parameter yang terpilih.

25

Sumber : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 2008.

26 PEMFIGUS VULGARIS

Istilah pemfigus dari kata pemphix (Yunani) berarti melepuh atau gelembung. Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berupa bula yang timbul dalam waktu yang lama, menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara histopatologik ditandai dengan bula interepidermal akibat proses akatolisis.(1,2) Secara garis besar Pemfigus dibagi menjadi 4 bentuk yaitu Pemfigus Vulgaris, Pemfigus Eritomatosus, Pemfigus Foliaseus dan Pemfigus Vegetans. Semua bentuk Pemfigus diatas memberikan gejala yang khas, yakni pembentukan bula yang kendur pada kulit yang umumnya terlihat normal dan mudah pecah, pada penekanan bula tersebut meluas (Nikolsky positif), akantolisis selalu positif, dan adanya antibody tipe IgG terhadap antigen interseluler di epidermis yang dapat ditemukan dalam serum, maupun terikat di epidermis.(2) Pemfigus Vulgaris (PV) merupakan bentuk tersering dijumpai (80% semua kasus Pemfigus). Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Angka kejadian PV bervariasi 0,5-3,2 kasus per 100.000 penduduk. Penyakit ini meningkat pada pasien keturunan Ashkenazi Yahudi dan orang-orang asal Mediterania.(1,2,3) Penyebab pasti timbulnya penyakit ini belum diketahui, namun kemungkinan yang relevan adalah berkaitan dengan faktor genetik, lebih sering menyerang pasien yang sudah menderita penyakit autoimun lainnya (terutama Miastenia Gravis dan Timoma), serta dapat dipicu karena penggunaan penisilamin dan captopril. Kelainan pada kulit yang ditimbulkan akibat PV dapat bersifat lokal ataupun menyebar, terasa panas, sakit, dan biasanya terjadi pada daerah yang terkena tekanan dan lipatan paha, wajah, ketiak, kulit kepala, badan, dan umbilicus. Pengobatan pada PV ditujukan untuk mengurangi pembentukan autoantibodi. Penggunaan kortikosteroid dan imunosupresan telah menjadi pilihan terapi, akan tetapi morbiditas dan mortalitas akibat efek samping obat tetap harus diwaspadai.(1,2,3,4) EPIDEMIOLOGI PV merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua kasus). Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Frekuensi kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai umur pertengahan (dekade ke-4 dan ke-5), termasuk dapat juga mengenai semua umur termasuk anak-anak. Di India penyakit ini banyak mengenai anak-anak jika dibandingkan di Negara barat. Di Negara-negara timur seperti India, Cina, Malaysia, dan Timur Tengah kasus pemfigus yang paling umum adalah Pemfigus Blistering. Ras Yahudi terutama Yahudi Ashkenazi memiliki peningkatan kerentanan terhadap PV. Di Afrika Selatan, PV ini lebih sering terjadi pada bangsa India dibanding pada bangsa berkulit hitam dan berkulit putih. PV jarang sekali terjadi pada orang barat. (1,2,5) ETIOPATOGENESIS Pada penyakit ini, autoantibodi yang menyerang desmoglein pada permukaan keratinosit membuktikan bahwa autoantibodi ini bersifat patogenik. Antigen PV yang dikenali sebagai desmoglein 3, merupakan desmosomal kaderin yang terlibat dalam perlekatan interseluler pada epidermis. Antibodi yang berikatan pada domain ekstraseluler

27 region terminal amino pada desmoglein 3 ini mempunyai efek langsung terhadap fungsi kaderin. Desmoglein 3 dapat ditemukan pada desmosom dan pada membran sel keratinosit. Dapat dideteksi pada setiap deferensiasi keratinosit terutamanya pada epidermis bawah dan lebih padat pada mukosa bucal dan kulit kepala berbanding di badan. Hal ini berbeda dengan antigen Pemfigus Foliaseus, desmoglein 1, yang dapat ditemukan pada epidermis, dan lebih padat pada epidermis atas. Pengaruh dari faktor lingkungan dan cara hidup individu belum dapat dibuktikan berpengaruh terhadap PV, namun penyakit ini dapat dikaitkan dengan genetik pada kebanyakan kasus. (1,6,7,8) Tanda utama pada PV adalah dengan mencari autoantibodi IgG pada permukaan keratinosit. Hal ini merupakan fungsi patogenik primer dalam mengurangi perlekatan antara sel-sel keratinosit yang menyebabkan terbentuknya bula-bula, erosi dan ulser yang merupakan gambaran pada penyakit PV. Pada perwarnaan imunofloresensi direk dan indirek, kita dapat membedakan antara Pemfigus Paraneoplastik dari bentuk klasik suatu Pemfigus. Pada kulit perilesi, imunofloresensi direk menunjukkan penimbunan IgG dan komplemen C3 pada permukaan sel epidermal dan juga di sepanjang basal membrane zone. Berbeda dengan Pemfigus Klasik, autoantibodi hanya berikatan dengan epitel bertanduk, sama seperti yang dideteksi pada imunofloresensi indirek.(1,4,7) Autoantibodi patologik yang menyebabkan terjadinya PV adalah autoantibodi yang melawan desmoglein 1 dan desmoglein 3, yang mana hal ini yang menyebabkan terjadinya pembentukan bula. Pemeriksaan mikroskopi imunoelektron dapat menentukan lokasi antigen pada desmosom untuk kedua PV dan Pemfigus Foliaseus, yang lebih sering pada perlekatan sel-sel pada epitel bertanduk.(1,6,7)

Gambar 1: Kompensasi desmoglein; pada awal pemfigus vulgaris, antibodi hanya menyerang desmoglein 3, dan menghasilkan bulla pada lapisan mukosa dalam tanpa kompensasidari desmoglein 1. Pada pemphigus mukokutaneus, antibodi menyerang kedua

28 desmoglein 1 dan desmoglein 3, menyebabkan bulla terhasil pada kedua membran mukosa dan kulit.(7) GEJALA KLINIS PV ditandai oleh adanya bulla berdinding tipis, relatif flaksid, dan mudah pecah yang timbul pada kulit atau membran mukosa normal maupun di atas dasar eritematous. Cairan bula pada awalnya jernih tetapi kemudian dapat menjadi hemoragik bahkan seropurulen. Bula-bula ini mudah pecah, dan secara cepat akan ruptur sehingga terbentuk erosi. Erosi ini sering berukuran besar dan dapat menjadi generalisata. Kemudian erosi akan tertutup krusta yang hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki kecenderungan untuk sembuh. Tetapi bila lesi ini sembuh sering berupa hiperpigmentasi tanpa pembentukan jaringan parut.(4,9) PV biasanya timbul pertama kali di mulut kemudian di sela paha, kulit kepala, wajah, leher, aksila, dan genital. Pada awalnya hanya dijumpai sedikit bula, tetapi kemudian akan meluas dalam beberapa minggu, atau dapat juga terbatas pada satu atau beberapa lokasi selama beberapa bulan.9 Tanda Nikolsky positif karena hilangnya kohesi antar sel di epidermis sehingga lapisan atas dapat dengan mudah digeser ke lateral dengan tekanan ringan. Kulit tanpa lapisan mukosa sangat jarang ditemukan pada PV. Pada suatu penelitian hanya 11% dari kasus PV.(7,9) Lesi di mulut muncul pertama kali dalam 60% kasus. Bula akan dengan mudah pecah dan mengakibatkan erosi mukosa yang terasa nyeri. Lesi ini akan meluas ke bibir dan membentuk krusta. Keterlibatan tenggorokan akan mengakibatkan timbulnya suara serak dan kesulitan menelan. Esofagus dapat terlibat dan telah dilaporkan suatu esophagitis dissecans superficialis sebagai akibatnya. Konjungtiva, mukosa nasal, vagina, penis, dan anus dapat juga terlibat.(9)

29 Gambar 2. Pemfigus vulgaris. A. Bula flaksid B. Lesi oral(7)

Gambar 3. Pemfigus vulgaris. Erosi luas akibat lepuh pada kulit(7) DIAGNOSIS Untuk dapat mendiagnosis PV diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Lepuh dapat dijumpai pada berbagai penyakit sehingga dapat mempersulit dalam penegakkan diagnosis. Perlu dilakukan pemeriksaan manual dermatologi untuk membuktikan adanya Nikolskys sign yang menunjukkan adanya PV. Untuk mencari tanda ini, dokter akan dengan lembut menggosok daerah kulit normal di dekat daerah yang melepuh dengan kapas atau jari. Jika memiliki PV, lapisan atas kulit akan cenderung terkelupas. Tanda ini tampaknya adalah patognomonik karena hanya ditemukan pada Pemfigus dan Nekrolisis Epiderma Toksik.(9,10) Beberapa pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain: Biopsi Kulit dan Patologi Anatomi Pada pemeriksaan ini, diambil sampel kecil dari kulit yang berlepuh dan diperiksa di bawah mikroskop. Pasien yang akan dibiopsi sebaiknya pada pinggir lesi yang masih baru dan dekat dari kulit yang normal. Gambaran histopatologi utama adalah adanya akantolisis yaitu pemisahan keratinosit satu dengan yang lain.(7,9,11)

30

Gambar 4. Gambaran hitopatologi pemfigus. (A). Pemfigus vulgaris (B). Pemfigus foliaseus (C). Pemfigus paraneoplastik.(9) Imunofluoresensi Imunofluoresensi langsung Sampel yang diambil dari biopsi diwarnai dengan cairan fluoresens. Pemeriksaan ini dinamakan direct immunofluorescence (DIF). DIF menunjukan deposit antibodi dan imunoreaktan lainnya secara in vivo, misalnya komplemen. DIF biasanya menunjukkan IgG yang menempel pada permukaan keratinosit yang di dalam maupun sekitar lesi.(3,7) Imunofluoresensi tidak langsung Antibodi terhadap keratinosit dideteksi melalui serum pasien. Pemeriksaan ini ditegakkan jika pemeriksaan imunofluoresensi langsung dinyatakan positif. Serum penderita mengandung autoantibodi IgG yang menempel pada epidermis dapat dideteksi dengan pemeriksaaan ini. Sekitar 80-90% hasil pemeriksaan ini dinyatakan sebagai penderita PV.(7)

31

(A)

(B)

Gambar 5. Imunofluoresensi pada pemfigus. (A). Imunofluoresensi langsung. (B). Imunofluoresensi tidak langsung.(7)

VI.

DIAGNOSA BANDING

1. Pemfigus Bulosa Gejala klinis pada Pemfigus Bulosa adalah terbentuknya bula yang besar dengan tekanan meningkat pada kulit normal atau dengan basal eritematous. Bula-bula ini sering timbul pada daerah andomen bagian bawah, bagian paha depan atau paha atas, dan fleksor lengan atas, walaupun ia bisa timbul dimana-mana bagian tubuh. Bula yang terbentuk biasanya terisi dengan cairan bening dan bisa juga terdapat perdarahan. Kulit yang lepas apabila bula-bula itu pecah biasanya mempunyai potensi reepitelisasi, tidak seperti PV, erosi yang terjadi tidak menyebar ke perifer. Lesi pada Pemfigus Bulosa tidak mengakibatkan pembentukan jaringan parut dan jarang sekali disertai oleh gatal.(1,4,12) Pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk menentukan Pemfigus Bulosa adalah biopsi yang memberikan gambaran bula subepidermal tanpa nekrosis pada epidermal dengan infiltrat limfosit, histiosit dan eosinofil pada permukaan dermal.1,4,7

Gambar 6. Pemfigus Bulosa pada dada(7)

32

Gambar 7: Imunofluoresensi pada pemfigus bullosa(7)

2. Dermatitis Herpetiformis Gejala klinis primer pada Dermatitis Herpetiformis adalah papul eritematous, plak yang menyerupai urtika atau yang paling biasa ditemukan adalah vesikel. Bula yang besar sangat jarang muncul pada penyakit ini. Akibat dari hilang timbulnya gejala klinis pada Dermatitis Herpetiformis bisa menyebabkan terjadinya hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Gejala yang timbul pada pasien bisa hanya krusta dan gejala klinis primer yang lain tidak ditemukan. Gejala klinis ini biasanya timbul secara simetris pada siku, lutut, bahu dan daerah sakral. Lokasi seperti kulit kepala, muka dan garis anak rambut.(1,7,12) Pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosa Dermatitis Herpetiformis adalah pemeriksaan serum di mana ditemukan antibodi IgA yang berikatan dengan substansi intermiofibril pada otot polos. Terdapat juga pemeriksaan imunogenetik.(1,12)

Gambar 8: Dermatitis herpatiformis(7)

Gambar 9:

33 Imunofloresensi pada dermatitis herpetiformis menunjukkan deposit IgA secara granular

Gambar 10: Biopsi lesi pada dermatitis herpetiformis menunjukkan penumpukan neutrofil dan eosinofil dan vesikulasi sub-epidermal

VII.

KOMPLIKASI 3,10 1. Infeksi sekunder , baik sistemik atau lokal pada kulit, dapat terjadi karena penggunaan imunosupresan dan adanya erosi. Penyembuhan luka pada infeksi kutaneous tertunda dan meningkatkan risiko timbulnya jaringan parut. 2. Terapi imunosupresan jangka panjang dapat mengakibatkan infeksi dan malignansi yang sekunder (misalnya, Sarkoma Kaposi), karena sistem imunitas yang terganggu. 3. Retardasi pada pertumbuhan telah dilaporkan pada anak yang memakai kortikosteroid sistemik dan imunosupresan. 4. Penekanan pada sumsum tulang telah dilaporkan pada pasien yang menerima imunosupresan. Peningkatan insiden leukemia dan limfoma dilaporkan pada pasien yang menerima imunosupresi yang berkepanjangan. 5. Gangguan respon kekebalan yang disebabkan oleh kortikosteroid dan obat imunosupresif lainnya dapat menyebabkan penyebaran infeksi yang cepat. Kortikosteroid menekan tanda-tanda klinis infeksi dan memungkinkan penyakit seperti septikemia atau TB untuk mencapai stadium lanjut sebelum diagnosis. 6. Osteoporosis dapat terjadi setelah penggunaan kortikosteroid sistemik. 7. Insufisiensi adrenal telah dilaporkan setelah penggunaan jangka panjang glukokortikoid.

VIII.

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa Glukokortiroid, 2-3 mg/KgBB prednison sampai penghentian pembentukan lepuhan baru dan hilangnya tanda Nikolsky. Kemudian pengurangan dengan cepat untuk sekitar setengah dosis awal sampai pasien hampir bersih, diikuti dengan tappering dosis dengan sangat lambat untuk meminimalkan keefektifitasan dari dosis. Terapi imunosupresif yang bersamaan. Agen imunosupresif diberikan bersamaan untuk mengurangi efek glukokortikoid.

34 Azathioprine, 2-3 mg/KgBB sampai pembersihan lengkap. Tapering dosis hingga 1mg/KgBB. Pemberian dengan hanya azathioprinedilanjutkan bahkan setelah penghentian pengobatan glukokortikoid dan mungkin harus dilanjutkan selama berbulan-bulan. Methotrexate, Baik secara oral (PO) atau IM dengan dosis 2535 mg/minggu. Dosis penyesuaian dibuat seperti azathioprine. Cyclophosphamide, 100-200 mg/sehari, dengan pengurangan dosis 50100 mg/sehari. Atau terapi cyclophosphamide "bolus" dengan 1000 mg IV seminggu sekali atau setiap 2 minggu di tahap awal, sebagai perbaikan diikuti oleh 50100 mg/d PO. Plasmapheresis, dalam hubungannya dengan glukokortikoid dan agen imunosupresif pada pasien kurang terkontrol, pada tahap awal pengobatann untuk mengurangi titer antibodi. Plasmaphresis dengan iklosporin atau siklosposfamid dan fotoforesis ekstrakorporal terkadang juga telah diteliti dapat berguna. Gold therapy, untuk kasus-kasus ringan. Setelah pengujian awal dosis 10 mg IM, 25 sampai 50 mg gold natrium thiomalate diberikan IM , interval per minggu dengan dosis kumulatif maksimum 1 gr. Dosis tinggi imunoglobulin intravena (HIVIg) (2 g/KgBB setiap 3- 4 minggu)telah dilaporkan memiliki efek sparing glukokortikoid.

Non Medikamentosa Pada pemberian terapi dengan dosis optimal, tetapi pasien masih merasakan gejala-gejala ringan dari penyakit ini. Maka perawatan luka yang baik adalah sangat penting karena ia dapat memicu penyembuhan bula dan erosi. Pasien disarankan mengurangi aktivitas agar resiko cedera pada kulit dan lapisan mukosa pada fase aktif penyakit ini dapat berkurang. Aktivitas-aktivitas yang patut dikurangi adalah olahraga dan makan atau minum yang dapat mengiritasi rongga mulut (makanan pedas, asam, keras, dan renyah). IX. PROGNOSIS

Sebelum adanya terapi glukokortikoid, PV hampir selalu berakibat fatal, dan Pemfigus Foliaseus berakibat fatal pada 60% pasien. Pemfigus Foliaseus hampir selalu berakibat fatal pada pasien usia lanjut dengan sejumlah permasalahan dalam pengobatan. Penambahan glukokortikoid sistemik dan penggunaan terapi imunosupresif telah meningkatkan prognosis pasien dengan PV. Namun demikian, PV tetap merupakan penyakit yang dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Infeksi sering menjadi penyebab kematian, dan dengan meningkatnya kebutuhan akan imunosupresan pada penyakit yang aktif, terapi seringkali menjadi faktor yang berperan dalam menyebabkan kematian. Dengan terapi glukokortikoid dan imunosupresan, mortalitas (baik dari penyakit maupun terapi) pasien dengan PV yang diikuti dalam 4 sampai 10 tahun adalah 10% atau kurang, dimana pada Pemfigus Foliaseus angka ini cenderung lebih kecil. Aktivitas penyakit umumnya berkurang dengan waktu dan relaps paling banyak terjadi di 2 pertama setelah diagnosis. Keadaan ini lebih buruk pada pasien yang lebih tua.

35 ERITRODERMA

2.1. Definisi Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya kemerahan atau eritema yang bersifat generalisata yang mencakup 90% permukaan tubuh yang berlangsung dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Dermatitis eksfoliativa dianggap sinonim dengan eritroderma.(2) Bagaimanapun, itu tidak dapat mendefinisikan, karena pada gambaran klinik dapat menghasilkan penyakit yang berbeda. Pada banyak kasus, eritroderma umumnya kelainan kulit yang ada sebelumnya misalnya psoriasis atau dermatitis atopik. Meskipun peningkatan 50% pasien mempunyai riwayat lesi pada kulit sebelumnya untuk onset eritroderma, identifikasi penyakit yang menyertai menggambarkan satu dari sekian banyak kelainan kulit. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena bercampur dengan hiperpigmentasi. Sedangkan skuama adalah lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Skuama mulai dari halus sampai kasar. Pada eritroderma, skuama tidak selalu terdapat, misalnya eritroderma karena alergi obat sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama. Skuama kemudian timbul pada stadium penyembuhan timbul. Bila eritemanya antara 50%-90% dinamakan pre-eritroderma.(1)

2.2. Etiologi Eritroderma dapat disebabkan oleh akibat alergi obat secara sistemik, perluasan penyakit kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan.(3) Penyakit kulit yang dapat menimbulkan eritroderma di antaranya adalah psoriasis, dermatitis seboroik, alergi obat, CTCL atau Sindrom Sezary. a. Eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik Keadaan ini banyak ditemukan pada dewasa muda. Obat yang dapat menyebabkan eritroderma adalah arsenik organik, emas, merkuri (jarang), penisilin, barbiturate. Pada beberapa masyarakat, eritroderma mungkin lebih tinggi karena pengobatan sendiri dan pengobatan secara tradisional. Waktu mulainya obat ke dalam tubuh hingga timbul penyakit bervariasi, dapat segera sampai 2 minggu. Gambaran klinisnya adalah eritema universal. Bila ada obat yang masuk lebih dari satu yang masuk ke dalam tubuh, diduga sebagai penyebabnya ialah obat yang paling sering menyebabkan alergi.(1) b. Eritroderma yang disebabkan oleh perluasan penyakit kulit Eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang paling banyak ditemukan dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis maupun akibat pengobatan psoriasis yang terlalu kuat.(1) Dermatitis seboroik pada baik juga dapat menyebabkan eritroderma yang juga dikenal sebagai penyakit Leiner. Etiologinya belum diketahui pasti. Usia penderita berkisar 4-20 minggu.(3) Ptiriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa minggu

36 dapat pula menjadi eritroderma. Selain itu yang dapat menyebabkan eritroderma adalah pemfigus foliaseus, dermatitis atopic dan liken planus.(4) c. Eritroderma akibat penyakit sistemik Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam termasuk infeksi fokal dapat member kelainan kulit berupa eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma yang tidak termasuk akibat alergi obat dan akibat perluasan penyakit kulit harus dicari penyebabnya, yang berarti perlu pemeriksaan menyeluruh (termasuk pemeriksaan laboratorium dan foto toraks), untuk melihat adanya infeksi penyakit pada alat dalam dan infeksi fokal. Ada kalanya terdapat leukositosis namun tidak ditemukan penyebabnya, jadi terdapat infeksi bacterial yang tersembunyi (occult infection) yang perlu diobati.(1) Harus lebih diperhatikan komplikasi sistemik akibat eritroderma seperti hipotermia, edema perifer, dan kehilangan cairan dan albumin, dengan takikardia dan kelainan jantung harus mendapatkan perawatan yang serius. Pada eritroderma kronik dapat mengakibatkan kakesia, alopesia, palmoplantar keratoderma, kelainan pada kuku dan ektropion.

2.3. Epidemiologi Insidens eritroderma sangat bervariasi. Penyakit ini dapat mengenai pria ataupun wanita, namun paling sering pada pria dengan rasio 2 : 1 sampai 4 : 1, dengan onset usia rata-rata > 40 tahun, meskipun eritroderma dapat terjadi pada semua usia. Insiden eritroderma makin bertambah. Penyebab utamanya adalah psoriasis. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya insiden psoriasis.(1) Penyakit kulit yang sedang diderita memegang peranan lebih dari setengah kasus dari eritroderma. Identifikasi psoriasis mendasari penyakit kulit lebih dari seperempat kasus. Didapatkan laporan bahwa terdapat 87 dari 160 kasus adalah psoriasis berat.(4) Anak-anak bisa menderita eritroderma diakibatkan alergi terhadap obat. Alergi terhadap obat bisa karena pengobatan yang dilakukan sendiri ataupun penggunaan obat secara tradisional.

.4. Patofisiologi Mekanisme terjadinya eritroderma belum diketahui dengan jelas. Pathogenesis eritroderma berkaitan dengan pathogenesis penyakit yang mendasarinya, dermatosis yang sudah ada sebelumnya berkembang menjadi eritroderma, atau perkembangan eritroderma idiopatik de novo tidaklah sepenuhnya dimengerti. Penelitian terbaru imunopatogenesis infeksi yang dimediasi toksin menunjukkan bahwa lokus patogenesitas staphylococcus mengkodekan superantigen. Lokus-lokus tersebut mengandung gen yang mengkodekan toksin dari toxic shock syndrome dan staphylococcol scalded-skin syndrome. Kolonisasi S. aureus atau antigen lain merupakan teori yang mungkin saja seperti toxic shock syndrome toxin-1, mungkin meminkan peranan pada pathogenesis eritroderma. Pasien-pasien dengan eritroderma biasanya mempunyai kolonisasi S. aureus sekitar 83% dan pada kulit sekitar 17%, bagaimanapun juga hanya ada satu dari 6 pasien memiliki toksin S. aureus yang positif.(4)

37 Dapat diketahui bahwa akibat suatu agen dalam tubuh baik itu obat-obatan, perluasan penyakit kulit dan penyakit sistemik makan tubuh beraksi berupa pelebaran pembuluh darah kapiler (eritema) yang generalisata. Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke kulit meningkat sehingga kehilangan panas bertambah. Akibatnya pasien merasa dingin dan menggigil. Pada eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung. Juga dapat terjadi hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang makin meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan meningkat, kehilangan panas juga meningkat. Pengaturan suhu terganggu. Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme kompensator dan peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasi meningkat sebanding laju metabolisme basal.(1) Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m2 permukaan kulit atau lebih sehari sehingga menyebabkan kehilangan protein (hipoproteinemia) dengan berkurangnya albumin dengan peningkatan relatif globulin terutama gammaglobulin merupakan kelainan yang khas. Edema sering terjadi, kemungkinan disebabkan oleh pergeseran cairan ke ruang ekstravaskuler.(1) Eritroderma akut dan kronis dapat mengganggu mitosis rambut dan kuku berupa kerontokan rambut difus dan kehilangan kuku. Pada eritroderma yang telah berlangsung berbulan-bulan, dapat terjadi perburukan keadaan umum yang progresif.(1)

2.5. Gambaran Klinis Mula-mula timbul bercak eritema yang dapat meluas ke seluruh tubuh dalam waktu 12-48 jam. Deskuamasi yang difus dimulai dari daerah lipatan, kemudian menyeluruh. Dapat juga mengenai membrane mukosa, terutama yang disebabkan oleh obat. Bila kulit kepala sudah terkena, dapat terjadi alopesia, perubahan kuku, dan kuku dapat terlepas. Dapat terjadi limfadenopati dan hepatomegali. Skuama timbul setelah 2-6 hari, sering mulai di daerah lipatan. Skuamanya besar pada keadaan akut, dan kecil pada keadaan kronis. Warnanya bervariasi dari putih sampai kuning. Kulit merah terang, panas, kering dan kalau diraba tebal. Pasien mengeluh kedinginan.(5) Pengendalian regulasi suhu tubuh menjadi hilang, sehingga sebagai kompensasi terhadap kehilangan panas tubuh, sekujur tubuh pasien menggigil untuk dapat menimbulkan panas metabolik. Dahulu eritroderma dibagi menjadi primer dan sekunder. Pendapat sekarang semua eritroderma ada penyebabnya, jadi eritroderma selalu sekunder. Eritroderma akibat alergi obat secara sistemik diperlukan anamnesis yang teliti untuk mencari obat penyebabnya. Umumnya alergi timbul akut dalam waktu 10 hari. Pada mulanya kulit hanya eritem saja, setelah penyembuhan barulah timbul skuama.(3) Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit seringkali pada psoriasis dan dermatitis seboroik bayi. Psoriasis dapat menjadi eritroderma karena dua hal yaitu: karena penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat.(3) Psoriasis yang menjadi eritroderma tanda khasnya akan menghilang. Pada eritroderma et causa psoriasi, merupakan eritroderma yang disebabkan oleh penyakit psoriasis atau pengobatan yaitu kortikosteroid sistemik, steroid topikal, komplikasi fototerapi, stress emosional yang berat, penyakit terdahulunya misalnya infeksi.

38

Gambar 1. Eritroderma psoriasis

Dermatitis seboroik pada bayi (penyakit Leiner) terjadi pada usia penderita berkisar 4-20 minggu. Kelainan berupa skuama berminyak dan kekuningan di kepala. Eritema dapat pada seluruh tubuh disertai skuama yang kasar.(3)

Gambar 2. Dermatitis seboroik Ptiriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa minggu dapat pula menjadi eritroderma. Mula-mula terdapat skuama moderat pada kulit kepala diikuti perluasan ke dahi dan telinga; pada saat ini akan menyerupai gambaran dermatitis seboroik. Kemudian timbul hiperkeratosis palmoplantaris yang jelas. Berangsur-angsur menjadi papul folikularis di sekeliling tangan dan menyebar ke kulit berambut.(3)

39

Gambar 3. Ptiriasis rubra pilaris Pemfigus foliaseus bermula dengan vesikel atau bula berukuran kecil, berdinding kendur yang kemudian pecah menjadi erosi dan eksudatif. Yang khas adalah eritema menyeluruh yang disertai banyak skuama kasar, sedangkan bula kendur hanya sedikit. Penderita mengeluh gatal dan badan menjadi bau busuk.(3)

Gambar 4. Pemfigus foilaseus Dermatitis atopi dimulai dengan eritema, papul-papul, vesikel sampai erosi dan likenifikasi. Penderita tampak gelisah, gatal dan sakit berat.

40

Gambar 5. Dermatitis atopi Permukaan timbulnya liken planus dapat mendadak atau perlahan-lahan; dapat berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan dan mungkin kambuh lagi. Kadangkadang menjadi kronik. Papul dengan diameter 2-4 mm, keunguan, puncak mengkilat, polygonal. Papula mungkin terjadi pada bekas garukan (fenomena Koebner). Bila dilihat dengan kaca pembesar, papul mempunyai pola garis-garis berwarna putih (Wickhams striae). Lesi simetrik, biasanya pada permukaan fleksor pergelanagna tangan, menyebar ke punggung dan tungkai. Mukosa mulut terkena pada 50% penderita. Mungkin pula mengenai glans penis dan mukosa vagina. Kuku kadang-kadang terkena, kuku menipis dan berlubanglubang. Anak-anak jarang terkena tetapi bila terdapat bercak kemerahan mungkin tidak khas dan dapat keliru dengan psoriasis. Sering sangat gatal. Cenderung menyembuh dengan sendirinya.(3)

Gambar 6. Liken planus Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan, yang tidak termasuk golongan akibat alergi dan akibat perluasan penyakit kulit, harus dicari penyebabnya dan diperiksa secara menyeluruh, termasuk dengan pemeriksaan laboratorium dan foto toraks. Termasuk dalam golongan ini adalah sindrom Sezary.

41 Sindrom Sezary Penyakit ini termasuk limfoma. Penyebabnya belum diketahui, diduga berhubungan dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan ke dalam CTCL (Cutaneus T-Cell Lymphoma). Yang diserang adalah orang dewasa, mulanya penyakit pada pria rata-rata berusia 64 tahun, sedangkan pada wanita berusia 53 tahun. Sindrom ini ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang universal disertai skuama dan rasa sangat gatal. Selain itu terdapat infiltrat pada kulit dan edema. Pada sepertiga hingga setengah pada pasien didapati splenomegali, limfadenopati superfisial, alopesia, hiperpigmentasi, hiperkeratosis palmaris et plantaris, serta kuku yang distrofik.(1)

Gambar 7. Sindrom Sezary

2.6. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan darah didapatkan albumin serum yang rendah dan peningkatan gammaglobulin, ketidakseimbangan elektrolit, protein fase akut meningkat, leukositosis, maupun anemia ringan.(4)

Histopatologi Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapat membantu mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan 50% kasus, biopsi kulit dapat menunjukkan gambaran yang bervariasi, tergantung berat dan durasi proses inflamasi. Pada

42 tahap akut, spongiosis dan parakeratosis menonjol, terjadi edema. Pada stadium kronis, akantosis dan perpanjangan rete ridge lebih dominan. Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin pleomorfik, dan mungkin akhirnya memperoleh fitur diagnostik spesifik, seperti bandlike limfoid infiltrate di dermis-epidermis, dengan sel cerebriform mononuclear atipikal dan Pautriers microabscesses. Pada pasien dengan Sindrom Sezary ditemukan limfosit atipik yang disebut sel Sezary. Biopsi pada kulit juga memberi kelainan yang agak khas, yakni terdapat infiltrat pada dermis bagian atas dan terdapatnya sel Sezary. Disebut sindrom Sezary, jika jumlah sel Sezary yang beredar 1000/mm3 atau lebih atau melebihi 10% sel-sel yang beredar. Bila jumlah sel tersebut di bawah 1000/mm3 dinamai sindrom pre-Sezary.(1) Pemeriksaan immunofenotipe infiltrate limfoid juga mungkin sulit menyelesaikan permasalahan karena pemeriksaan ini umumnya memperlihatkan gambaran sel T matang pada eritroderma jinak maupun ganas. Pada psoriasis papilomatosis dan gambaran clubbing lapisan papiler dapat terlihat, dan pada pemfigus foliaseus, akantosis superfisial juga ditemukan. Pada eritroderma ikhtisioform dan ptiriasis rubra pilaris, biopsi diulang dari tempat-tempat yang dipilih dengan cermat dapat memperlihatkan gambaran khasnya.

2.7. Diagnosis Diagnosis agak sulit ditegakkan, harus melihat dari tanda dan gejala yang sudah ada sebelumnya misalnya, warna hitam-kemerahan di psoriasis dan kuning-kemerahan di pilaris rubra pitiriasis; perubahan kuku khas psoriasis; likenifikasi, erosi dan ekskoriasi di dermatitis atopik dan eksema; menyebar, relatif hiperkeratosis tanpa skuama, dan pitiriasis rubra; ditandai bercak kulit dalam eritroderma di pilaris rubra pitiriasis; hiperkeratotik skala besar kulit kepala, biasanya tanpa rambut rontok di psoriasis dan dengan rambut rontok di CTCL dan pitiriasis rubra, ektropion mungkin terjadi. Dengan beberapa biopsi biasanya dapat menegakkan diagnosis. 2.8. Diagnosis Banding Ada beberapa diagnosis banding pada eritroderma: 1. Dermatitis atopik Dermatitis atopik adalah peradangan kulit kronis yang terjadi di lapisan epidermis dan dermis, sering berhubungan dengan riwayat atopik pada keluarga asma bronkial, rhinitis alergi, konjungtivitis. Atopik terjadi di antara 15-25% populasi, berkembang dari satu menjadi banyak kelainan dan memproduksi sirkulasi antibodi IgE yang tinggi, lebih banyak karena alergi inhalasi.(8) Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang mungkin terjadi pada usia berapapun, tetapi biasanya timbul sebelum usia 5 tahun. Biasanya ada tiga tahap: balita, anak-anak, dan dewasa. Dermatitis atopik merupakan salah satu penyebab eritroderma pada orang dewasa di mana didapatkan gambaran klinisnya terdapat lesi pra-existing, pruritus yang parah, likenifikasi dan prurigo nodularis, sendangkan pada gambaran histologi terdapat akantosis ringan, spongiosis variabel, derma eosinofil dan parakeratosis. (3)

43

Gambar 8. Dermatitis atopik 2. Psoriasis Eritroderma psoriasis dapat disebabkan oleh karena pengobatan topikal yang terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Ketika psoriasis menjadi eritroderma biasanya lesi yang khas untuk psoriasi tidak tampak lagi karena dapat menghilang, plak-plak psoriasis menyatu, eritema dan skuama tebal universal.(2) Psoriasis mungkin menjadi eritroderma dalam proses yang berlangsung lambat dan tidak dapat dihambat atau sangat cepat. Faktor genetic berperan. Bila orangtuanya tidak menderita psoriasi, resiko mendapat psoriasi 12%, sedangkan jika salah seorang orang tuanya menderita psoriasis, resikonya mencapai 34-39%.(1) Psoriasis ditandai dengan adanya bercak-bercak, eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner.(1)

Gambar 9. Psoriasis 3. Dermatitis seboroik Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang kronis ditandai dengan plak eritema yang sering terdapat pada daerah tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala, alis, lipatan nasolabial, belakang telinga, cuping hidung,

44 ketiak, dada, antara skapula. Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua umur, dan meningkat pada usia 40 tahun.(8) Biasanya lebih berat apabila terjadi pada lakilaki dariapda wanita dan lebih sering pada orang-orang yang banyak memakan lemak dan minum alkohol.(1) Biasanya kulit penderita tampak berminyak, dengan kuman pityrosporum ovale yang hidup komensal di kulit berkembang lebih subur. Pada kepala tampak eritema dan skuama halus sampai kasar (ketombe). Kulit tampak berminyak dan menghasilkan skuama putih yang berminyak pula. Penderita akan mengeluh rasa gatal yang hebat.(1) Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat seperti pada psoriasi. Hal ini dapat menerangkan mengapa terapi dengan sitostisk dapat memperbaikinya. Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya dermatitis seboroik dapat disebabkan oleh faktor kelelahan, stress emosional, infeksi, atau defisiensi imun.

Gambar 10. Dermatitis seboroik 2.9. Penatalaksanaan Pada eritroderma golongan I, obat tersangka sebagai kausanya segera dihentikan. Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dodsis prednisone 4 x 10 mg. penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid. Dosis mula prednisone 4 x 10 mg sampai 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak perbaikan, dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahanlahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis, makan obat tersebut harus dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan asetretin. Lama penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak secepat seperti golongan I. Pada pengobatan dengan kortikosteroid jangka lama (long term), yakni jika melebihi 1 bulan lebih baik digunakan metilprednisolon darpiada prednison dengan dosis ekuivalen karena efeknya lebih sedikit.

45 Pengobatan penyakit Leiner dengan kortikosteroid memberi hasil yang baik. Dosis prednisone 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrom Sezary pengobatan terdiri atas kortikosteroid (prednisone 30 mg sehari) atau metilprednisolon ekuivalen dengan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg sehari. Pada eritroderma kronis diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema misalnya dengan salep lanolin 10% atau krim urea 10%.(1) 2.10. Komplikasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Abses Furunkulosis Konjungtivitis Stomatitis Bronkitis Limfadenopati Hepatomegali Rhinitis Kolitis

2.11. Prognosis Prognosis eritroderma tergantung pada proses penyakit yang mendasarinya. Kasus karena penyebab obat dapat membaik setelah penggunaan obat dihentikan dan diberi terapi yang sesuai. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan dengan golongan yang lain.(1) Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya, pasien akan mengalami ketergantungan kortikosteroid (corticosteroid dependence). Eritroderma disebabkan oleh dermatosa dapat diatasi dengan pengobatan, tetapi mungkin akan timbul kekambuhan. Kasus idiopatik adalah kasus yang tidak terduga, dapat bertahan dalam waktu yang lama, seringkali disertai dengan kondisi yang lemah.(8) Sindrom Sezary prognosisnya buruk, pasien pria umumnya akan meninggal setelah 5 tahun, sedangkan pasien wanita setelah 10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau penyakit berkembang menjadi mikosis fungoides.

46
BAB III

Kesimpulan

Kulit merupakan organ terluas penyusun tubuh manusia yang terletak paling luar dan menutupi seluruh permukaan tubuh. Karena letaknya paling luar, maka kulit yang pertama kali menerima rangsangan seperti rangsangan sentuhan, rasa sakit, maupun pengaruh buruk dari luar. Fungsi kulit antara lain : melindungi permukaan tubuh, memelihara suhu tubuh, dan mengeluarkan kotoran-kotoran tertentu. Kulit juga penting bagi produksi vitamin D oleh tubuh yang berasal dari sinar ultraviolet. Mengingat pentingnya kulit sebagai pelindung organ-organ tubuh di dalamnya, maka kulit perlu dijaga kesehatannya. Selain sebagai pelindung tubuh, kulit juga memiliki nilai estetika Penyakit kulit adalah penyakit infeksi yang paling umum, terjadi pada orang-orang dari segala usia. Sebagian besar pengobatan infeksi kulit membutuhkan waktu lama untuk menunjukkan efek. Masalahnya menjadi lebih mencemaskan jika penyakit tidak merespon terhadap pengobatan. Tidak banyak statistik yang membuktikan bahwa frekuensi yang tepat dari penyakit kulit, namun kesan umum sekitar 10-20 persen pasien mencari nasehat medis jika menderita penyakit pada kulit. Matahari adalah salah satu sumber yang paling menonjol dari kanker kulit dan trauma terkait.

47

DAFTAR PUSTAKA
Michael I.Greenberg dkk.Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg jilid II jakarta:2005 ECG Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. Umar, H Sanusi. Erythroderma (generalized exfoliative dermatitis), diunduh dari: www.emedicine.com, pada 28 Januari 2012. Siregar, RS. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC, 2004. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th eds. New York: McGraw-Hill, 2001. 5Harahap, M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2008. Ekm. Itraconazole Oral untuk Terapi Dermatitis Seboroik, diunduh dari: www.kalbe.co.id, pada 28 Januari 2012.

You might also like