You are on page 1of 2

Tadarus Sejarah Kabupaten Blora Sebuah Refleksi Hari Jadi Ke 263 Kabupaten Blora Jejak sejarah tentang Blora

terekam mulai abad XVI, pada saat itu Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang bagian dari Kerajaan Demak Bintoro. Dengan Adipatinya yang bernama Aryo Penangsang, Kadipaten Jipang meliputi daerah Pati, Lasem, Blora dan Jipang sendiri. Setelah Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir (1550-1582) mewarisi takhta Demak, pusat pemerintahan dipindah ke Pajang, dengan demikian Blora pada saat itu masuk Kerajaan Pajang. Dari proses ini terjadilah konflik antara Arya Penangsang dengan Kerajaan Pajang yang dimenangkan oleh Sultan Hadiwijaya, Aryo Penangsang berhasil ditaklukkan Sultan Hadiwijaya melalui utusannya yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Atas jasanya tersebut Sultan Hadiwijaya memberikan hadiah tanah di Hutan Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati. Pemanahan beserta keturunannya berhasil membangun Hutan Mentaok menjadi Kerajaan Mataram. Puncak kejayaan Mataram terjadi ketika dipimpin oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). Ia merupakan penguasa lokal pertama yang secara besarbesaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur. Blora yang pada saat itu juga bagian dari Mataram disinggahi seorang panglima Mataram yang bernama Pangeran Surabahu atau yang kita kenal dengan Sunan Pojok (Syaikh Amirullah Abdulrahim). Dari sisi geneologisnya Sunan Pojok masih mempunyai hubungan darah dengan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Ampel dan Dewi Candrawati binti Arya Tejo Bupati Tuban, serta keturunan dari Sunan Ngudung yang berasal dari Jipang Panolan. Tugas yang diemban Sunan Pojok pada waktu itu adalah menghadapi VOC dan beberapa adipati seperti Tuban, Pati, Pasuruan, Surabaya yang masih mbalelo terhadap Sultan Mataram. Sunan Pojok berhasil menuntaskan pekerjaannya dengan kemenangan yang diraih pada 20 Nopember 1626, yang tercatat sebagai arsip nasional karena satu satunya peperangan yang mampu mengalahkan VOC, serta mengalahkan semua adipati yang menentang. Karena jasa-jasa Sunan Pojok, maka putranya yang bernama Raden Tumenggung Djaya Dipa diangkat sebagai Bupati Blora yang pertama (Dinasti Surobahu Abdul Rohim), setelah wafat digantikan oleh putranya yang bernama Jaya Wirya, Kemudian oleh Jaya Kusumo Keduanya, setelah wafat dimakamkan dilokasi Makam Pangeran Pojok Kauman. Jika menurut keterangan ini maka Bupati Blora yang pertama bukanlah Raden Tumenggung Wilotikto sebagaimana yang sering kita jumpai diberbagai keterangan. Kejayaan Mataram berakhir ketika terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid (Pangeran Sambernyawa), pemberontakan ini muncul sebagai bentuk penolakan terhadap campur tangan VOC yang kian kuat di Mataram. Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Atas keberhasilannya itu Mangkubhumi diangkat menjadi raja oleh rakyatnya pada 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, di antaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora. Pengangkatan RT Wilotikto sebagai bupati Blora ini didaulat menjadi hari jadi Kota Blora sampai saat ini. Balada pemberontakan di Mataram di bawah pemerintahan Sunan Pakubuwana II & III berujung pada peristiwa yang disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Perjanjian yang terdiri dari 9 pasal membagi Mataram menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang memakai gelar Hamengku Buwana I

dan mendirikan kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya. Perjanjian Giyanti yang terjadi bukan hanya merugikan Mataram, tetapi justru semakin memperluas gelombang pemberontakan dan perlawanan. Pemberontakan yang awalnya terjadi diantara keluarga raja, kini menjadi perlawanan rakyat di daerah-daerah. Tak ketinggalan perlawanan terhadap Belanda juga terjadi di Blora. Tokoh Naya Gimbal (Naya Santika) melakukan pemberontakan dari bulan Nopember 1827 sampai Maret 1828. Pemberontakan itu berhasil mendapatkan kemenangan - kemenangan besar bahkan berhasil mengepung kota Blora. Pemberontakan melawan Belanda di Blora dengan metode tanpa kekerasan juga dilakukan oleh Samin Surosentiko. Ajaran Samin dalam melawan sistim kolonial Belanda adalah dengan jalan yang terkenal dinamakan nggendeng(menggila), yaitu dengan menggunakan logika yang berlainan aturan normal, mengintegrasikan ajaran spiritual dengan ajaran politik. Menurut laporan resmi dari pihak Belanda ajaran Samin yang berasal dari Desa Klopoduwur itu meluas sampai Bojonegoro, Tuban , Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati, Rembang, Kudus, Brebes, dan sekitarnya. Dari zaman ke zaman Blora senantiasa bergoloak menyikapi setiap ketidak adilan yang terjadi, sekuat apapun penguasa ketika menindas rakyatnya atau memutuskan kebijakan yang merugikan rakyatnya pasti perlawanan akan selalu ada. Sejarah telah mencatat, sejarah telah terbukti, dan sejarah mungkin akan terulang lagi, namun kebenaran yang sejati tetaplah milik rakyat yang berhati. Benar kata Bung Karno, Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Oleh : M Yusuf Aksin Saqo

You might also like