You are on page 1of 21

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

HIPERBILIRUBINEMIA NEONATORUM

Risnawati, S. Ked 03310246

KONSULEN dr. Oscar, Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK RS. CAMATHA SAHIDYA BATAM 2012

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Oscar Sp.A selaku konsulen yang telah memberi bimbingan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas di stase ilmu kesehatan anak dengan judul Hiperbilirubinemia Neonatorum pada kepaniteraan klinik senior di RS. CAMATHA SAHIDYA Dalam penyusunan makalah ini penulis masih merasa banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun guna perbaikan ke depan. Penulis berharap makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca sekalian pada umumnya. Semoga makalah ini dapat memberi masukan bagi rekanrekan yang ingin mengetahui masalah Hiperbilirubinemia Neonatorum.

Batam, Oktober 2012

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... DAFTAR ISI.............................................................................................................. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang............................................................................................. BAB II PEMBAHASAN 2.1. Definisi...................................................................................................... 2.2. Epidemiologi............................................................................................. 2.3. Patofisiologi............................................................................................... 2.4. Etiologi & Faktor Resiko........................................................................... 2.5. Klasifikasi.................................................................................................. 2.6. Gejala Klinis.............................................................................................. 2.7. Diagnosis................................................................................................... 2.8. Penatalaksanaan......................................................................................... 2.9. Pencegahan................................................................................................ 2.10.Monitoring................................................................................................ 2.11.Komplikasi............................................................................................... BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

i ii

2 2 3 4 6 7 8 11 12 13 13

15 16

BAB I
PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan ini timbul akbiat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada sclera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen hemoglobin mamalia. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses glukorodinasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Pada kebayakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena tansisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menyebabkan sekuele neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia. (1)

BAB II PEMBAHASAN

2.1.

Definisi Hiperbilirubinemia neonatorum adalah peningkatan kadar bilirubin total pada minggu

pertama kelahiran aterm. Gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Kadar normal bilirubin maksimum adalah 12-13 mg% (205-220 mol/L). (2)

2.2.

Epidemiologi Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian besar

neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya ikterus patologis 9,8% (tahun 2002) dan 15,66% (tahun 2003). RSAB Harapan Kita Jakarta melakukan transfusi tukar 14 kali/bulan (tahun 2002). Di Hospital Bersalin Kuala lumpur dengan tripple phototherapy tidak ada lagi kasus yang memerlukan tindakan transfusi tukar (tahun 2004), demikian pula di Vrije Universitiet Medisch Centrum Amsterdam dengan double phototherapy (tahun 2003). (3) Dari penelitian epidemiologi di Amerika Serikat, sekitar 65% dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, mengalami hiperbilirubinemia. Penelitian cross-sectional yang dilakukan di

Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo pada tahun 2003, menemukan angka kejadian hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sebesar 58% (kadar bilirubin di atas 5 mg/dL) dan 29,3% (kadar bilirubin di atas 12 mg/dL) pada minggu pertama kehidupan. (2)

2.3.

Patofisiologi Bilirubin, sebagian besar terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem

retikuloendotelial (RES). Laju penghancuran hemoglobin pada neonatus cenderung lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua, dimana satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek. Pada cairan amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. (2) Kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis pada kejadian inkompatibilitas darah ABO dan Rh. Selain itu, peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Mekanisme masuknya bilirubin ke cairan amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi diduga melalui mukosa saluran napas dan saluran cerna.(2) Pembentukan bilirubin pada fetus dan neonatus diperkirakan sama besar, tetapi kemampuan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. Selain itu, terdapat keterbatasan dalam kemampuannya untuk membentuk bilirubin terkonyugasi. Sehingga, hampir semua bilirubin pada janin berada dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Dalam keadaan fisiologis, pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin pada masa neonatus. Pada masa janin, fungsi ini dilakukan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini menyebabkan penumpukan bilirubin dan disertai gejala hiperbilirubinemia. Pada bayi baru lahir, karena fungsi hepar yang belum matang, gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis, karena kekurangan enzim

glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.(4) Bayi yang lahir kurang bulan, kadar albumin biasanya rendah, hal ini menyebabkan kadar bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Kapasitas pengikatan bilirubin indirek maksimal neonatus yang mempunyai kadar albumin normal pada umumnya dicapai saat kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg%.(5)

Gambar 1. Metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin (5)

2.4.

Etiologi Dan Faktor Risiko Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh penyebab tunggal ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi hiperbilirubinemia neonatorum dapat dibagi: (2) 1. Produksi yang berlebihan

Bilirubin yang terbentuk melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, enzim piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. (2)

2.

Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Crigler-Najjar). Selain itu dapat disebabkan oleh defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. (2) 3. Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian dibawa ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat dan sulfafurazol. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. (2) 4. Gangguan dalam ekskresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (2) Tabel 1. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia Neonatarum (2) Faktor Maternal Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO, Rh) ASI Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hopotonik Obat:diazepam (Valium), oxytocin (Pitocin) Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Amerika,Yunani) Faktor Neonatus Trauma kelahiran: cephalohematoma, cutaneous bruising, instrumented delivery Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol) Infeksi: TORCH (toxoplasmosis, other viruses, rubella, cytomegalovirus, herpes (simplex) viruses) Rendahnya asupan ASI Faktor genetik Polisitemia Prematuritas

2.5.

Klasifikasi 1. Hiperbilirubinemia Fisiologi Hiperbilirubinemia fisiologi mengenai hampir semua neonatus. Biasanya, setiap

neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya. Pola hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonjugasi < 2 mg/dL. Pola hiperbilirubinemia fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Misalnya, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Faktor yang

dapat mempengaruhi munculnya hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir adalah peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses pengambilan dan konjugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik. (2,6)
2. Hiperbilirubinemia pada bayi mendapat ASI (Breastmilk jaundice)

Hiperbilirubinemia pada pemberian ASI dapat terjadi berkepanjangan pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak terdapat faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah. Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin. (2,6) 3. Hiperbilirubinemia patologi Hiperbilirubinemia patologi adalah hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin > 18 mg/dL yang terjadi pada hari pertama atau disebabkan oleh proses yang abnormal. Paling umum patologi disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin pada anemia hemolitik, biasanya dari inkompatibilitas tipe darah, polisitemia, dan hematoma. (2)

2.6.

Gejala Klinis Penentuan kadar bilirubin secara klinis bisa dilakukan dengan cara Kramer sesuai gambar

dan tabel berikut : (2)

Gambar 2. Pembagian hiperbilirubinemia menurut Kramer Tabel 2. Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah hiperbilirubinemia menurut Kramer. Kadar bilirubin (mg/dL) Prematur Kepala dan leher Dada sampai pusat Pusat bagian bawah sampai lutut Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu sampai pergelangan tangan Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan 48 5 12 7 15 9 18 Aterm 48 5 12 8 16 11 18

Daerah hiperbilirubinemia 1 2 3 4

Penjelasan

> 10

> 15

2.7.

Diagnosis Untuk menetapkan penyebab hiperbilirubinemia dibutuhkan pemeriksaan yang banyak

dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus agar dapat memperkirakan penyebabnya. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab terjadinya hiperbilirubinemia yaitu : (2)
a. Hiperbilirubinemia yang timbul pada 24 jam pertama (2)

Penyebab hiperbilirubinemia yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut : 1. Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain. 2. Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).

3. Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah :


1. 2. 3. 4. 5.

Kadar bilirubin serum berkala Darah tepi lengkap Golongan darah ibu dan bayi Uji Coombs Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G6PD, biakan darah atau biopsi hepar
b. Hiperbilirubinemia yang timbul 24-72 jam sesudah lahir (2)

bila perlu. a. Biasanya hiperbilirubinemia fisiologis. b. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0 atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam. c. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin. d. Polisitemia e. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain). f. Hipoksia g. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain. h. Dehidrasi asidosis i. Defisiensi enzim eritrosit lainnya. Pemeriksaan yang perlu dilakukan : Bila keadaan bayi baik dan peningkatan hiperbilirubinemia tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G6PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu.
c. Hiperbilirubinemia yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir

minggu pertama (2) a. Biasanya karena infeksi (sepsis) b. Dehidrasi asidosis c. Defisiensi enzim G6PD

d. Pengaruh obat e. Sindrom Crigler-Najjar f.Sindrom Gilbert


d. Hiperbilirubinemia yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya 2

a. Biasanya karena obstruksi b. Hipotiroidisme


c. Breast milk jaundice

d. Infeksi e. Neonatal hepatitis f. Galaktosemia Pemeriksaan yang perlu dilakukan : a. Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala b. Pemeriksaan darah tepi c. Pemeriksaan penyaring G6PD d. Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi e. Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab Hiperbilirubinemia baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern icterus. Pada breast milk jaundice terjadi hiperbilirubinemia pada 1 % dari bayi yang diberikan ASI. Hiperbilirubinemia biasanya terjadi pada hari kelima dan kadar bilirubin mencapai puncak pada hari ke-14 dan kemudian turun dengan pelan. Kadar normal tidak akan tercapai sebelum umur 12 minggu atau lebih lama. Jika pemberian ASI distop dan fototerapi singkat diberikan, kadar bilirubin akan menurun dengan cepat dalam waktu 48 jam. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin. (3)

Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 mol/L), dan tidak reliable pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar. (3) Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain : Golongan darah dan Coombs test Darah lengkap dan hapusan darah
Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc

Bilirubin direk Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar. (3)

2.8.

Penatalaksanaan

a. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi (2) Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Glukosa perlu diberikan untuk konyugasi hepar sebagai sumber energy.

b. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi (2)

Indikasi terapi sinar adalah:


1. Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL. 2. Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.

Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam. c. Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut (2) a. b. c. Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL Peningkatan bilirubin >1 mg/dL Gambar 3. Kurva fototerapi berdasarkan America Association of Pediatry

Tabel 3. Penanganan Bilirubinemia Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum (2) Terapi Sinar Usia Bayi Sehat mg/dL Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 dst mmol/L Faktor Resiko mg/dL mmol/L 15 220 270 290 Bayi Sehat mg/dL 260 19 30 30 mmol/L 13 330 510 510 Tranfusi Tukar Faktor resiko mg/dL 220 15 20 20 260 340 340 mmol/L

Setiap ikterus yang terlihat 15 18 20 260 310 340 13 16 17

d. Terapi suportif, antara lain : (2)

a. Minum ASI atau pemberian ASI peras. b. Infus cairan dengan dosis rumatan.

2.9.

Pencegahan Hiperbilirubinemia dapat dicegah dan dihentikan laju peningkatannya dengan : (2)

Pengawasan antenatal yang baik b. c. d. e. f. g. h. i. 2.10. Menghindari obat yang dapat meningkatkan hiperbilirubinemia pada bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, mislnya sulfafurazol, novobiotin, oksitosin, dan lain-lain. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir Pemberian makanan yang dini Pencegahan infeksi Pemberian ASI eksklusif Bila memungkinkan, skrining golongan darah ibu dan ayah sebelum lahir. Bila ada riwayat bayi kuning dalam keluarga, periksa kadar G6PD Monitoring Monitoring yang dilakukan antara lain (2) 1. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan. 2. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS.

2.2.

Komplikasi

Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nukleus batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus.(7) Pada bayi sehat yang menyusu, kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu. Gambaran klinis kern icterus antara lain :(7) 1) Bentuk akut :

a. Fase 1(hari 1-2) : tidak kuat menyusui, stupor, hipotonia, kejang. b. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus, retrocollis,

demam. c. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni. 2) Bentuk kronis : reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor),

a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck

gangguan pendengaran. Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut: (2) 1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan 2. Penilaian berkala pendengaran 3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa

BAB III PENUTUP

3.1.

Kesimpulan Hiperbilirubinemia neonatorum adalah peningkatan kadar bilirubin total pada minggu

pertama kelahiran aterm. Gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Kadar normal bilirubin maksimum adalah 12-13 mg% (205-220 mol/L) Penentuan kadar bilirubin secara klinis bisa dilakukan dengan cara Kramer .Untuk menetapkan penyebab hiperbilirubinemia dibutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus agar dapat memperkirakan penyebabnya. Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nukleus batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus.(7) Pada bayi sehat yang menyusu, kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Pengurus Pusat

Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta


2. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. 2004. HTA Indonesia 2004

Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Kementrian kesehatan RI: Jakarta


3. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. 2004. HTA Indonesia 2010 Buku

Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit. Kementrian kesehatan RI: Jakarta
4. Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of

Health Malaysia. 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia


5. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J

Med 2001;344:581-90.
6. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and

breast-feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75. 7. Abdul Bari S. 2000. Buku Acuan Nasional Kesehatan Maternal dan Neonatal.

You might also like