You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Pada kondisi penglihatan binokular normal, bayangan suatu benda jatuh secara bersamaan di fovea masing-masing mata (fiksasi bifovea), dan posisi kedua meridian vertikal retina tegak lurus. Salah satu mata bisa tidak sejajar dengan mata lain sehingga pada satu waktu hanya satu mata yang melihat objek yang dipandang. Setiap penyimpangan dari penjajaran okular yang sempurna ini disebut strabismus. Ketidaksejajaran tersebut dapat terjadi di segala arah ke dalam, keluar, atas, bawah, atau torsional. Besar penyimpangan adalah besar sudut mata yang menyimpang dari penjajaran. Strabismus dijumpai pda sekitar 4 % anak. Terapi harus dimulai sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan agar dapat menjamin ketajaman penglihatan dan fungsi penglihatan binokular sebaik mungkin. Strabismus kanak-kanak jangan dianggap akan menghilang dengan bertumbuhnya anak. Strabismus juga bisa didapat, disebabkan oleh kelumpuhan nervus cranialis, massa di orbita, fraktur orbita, penyakit mata tiroid, atau kelainan-kelainan didapat lainnya. 1 1.2. Tujuan Penulisan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan memahami tentang Strabismus dan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. 1.3. Manfaat Penulisan Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai Strabismus.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi

Strabismus (Mata juling) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penyimpangan abnormal dari letak satu mata terhadap mata yang lainnya, sehingga garis penglihatan tidak paralel dan pada waktu yang sama, kedua mata tidak tertuju pada benda yang sama.1 2.2. Etiologi

Strabismus disebabkan oleh kurangnya koordinasi antara otot-otot mata. Hal ini dapat terjadi berkaitan dengan:1 pada otot-otot penggerak mata 2.3. 1. Kelainan saraf Klasifikasi deviasi mata Menurut manifestasi manifestasinya, deviasi mata terbagi menjadi deviasi mata Berdasarkan Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi Masalah, ketidakseimbangan, atau trauma

bermanifestasi (heterotropia) dan laten (heteroforia). Heterotropia adalah suatu keadaan penyimpangan sumbu bola mata yang nyata di mana kedua penglihatan tidak berpotong pada titik fiksasi. Sedangkan heteroforia adalah penyimpangan sumbu penglihatan yang tersembunyi yang masih dapat diatasi dengan reflek fusi.2,3 Berikut ini akan dibahas satu persatu. a. 1). Heterotropia Esotropia Esotropia adalah keadaan dimana satu mata berfiksasi pada objek yang menjadi pusat perhatian sedangkan mata yang lain menuju arah yang lain, yaitu hidung.4 Strabismus jenis ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu paretik (akibat paresis satu atau lebih otot ekstraokular) dan non paretik.5

Gambar 1. Esotropia (Diunduh dari http://images.emedicinehealth.com)6 Nonparetik a) Nonakomodatif Infantilis Pada sebagian besar kasus, penyebabnya tidak jelas. Deviasi konvergen telah bermanifestasi pada usia 6 bulan. Deviasinya bersifat comitant yaitu sudut deviasi kira-kira sama dalam semua arah pandangan dan biasanya tidak dipengaruhi oleh akomodasi. Dengan demikian, penyebab tidak berkaitan dengan kesalahan refraksi atau bergantung pada parese otot ekstraokular. 5 Didapat Jenis esotropia ini timbul pada anak, biasanya setelah usia 2 tahun.5 b) Akomodatif Esotropia ekomodatif terjadi apabila terjadi mekanisme akomodasi fisiologis normal disertai respon konvergensi berlebihan tetapi divergensi fusional yang relatif insufisien untuk menahan mata tetap lurus.5 c) Akomodatif parsial Dapat terjadi mekanisme campuran yakni sebagian ketidakseimbangan otot dan sebagian ketidakseimbangan akomodasi. 5 Paretik (incomitant) Pada strabismus incomitant selalu terdapat satu atau lebih otot ekstraokular yang paretik. Paresis biasanya mengenai satu atau kedua otot rektus lateralis, biasanya akibat kelumpuhan saraf abdusen.5

Gejala dan tanda esotropia

Juling ke dalam Kelainan refraksi biasanya sphere positif, Eksotropia

namun dapat sphere negatif bahkan emetropia.4 2). Eksotropia adalah keadaan dimana satu mata berfiksasi pada objek yang menjadi pusat perhatian sedangkan mata yang lain menuju ke arah lain yaitu ke arah luar (eksodeviasi). Anak-anak tertentu mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya eksotropia. Adapun yang mempunyai resiko tersebut diantaranya anak yang mengalami gangguan perkembangan saraf, prematur atau berat lahir rendah dan anak dengan riwayat keluarga juling serta adanya anomaly ocular atau sistemik.4

Gambar 2. eksotropia (emedicine) (Diunduh dari http://images.emedicinehealth.com)6

Gejala dan tanda melamun, atau sakit cahaya terang sekali ambliopia

Pada kebanyakan kasus awalnya bersifat Deviasi menjadi manifest, terutama saat lelah, Pasien dapat menutup satu mata bila terpapar Bila bersifat intermiten jarang ditemukan Kelainan refraksi biasanya sphere negatif Penglihatan ganda kadang-kadang dikeluhkan

intermiten dengan onset umumnya pada usia di bawah 3 tahun

penderita yang juling intermiten.4

3).

Hipertropia

Deviasi vertikal lazimnya diberi nama sesuai mata yang tinggi, tanpa memandang mata mana yang memiliki penglihatan lebih baik dan yang diugunakan untuk fiksasi. Hipertropia lebih jarang dijumpai daripada deviasi horizontal dan biasanya didapat setelah lewat masa anak-anak.5

Gambar 3. Hipertropia (Diunduh dari http://images.emedicinehealth.com)6

b. Heteroforia

Heteroforia merupakan kelainan deviasi yang laten, mata mempunyai

kecenderungan untuk berdeviasi ke salah satu arah, yang dapat diatasi oleh usaha otot untuk mempertahankan penglihatan binokular. Contoh: eksoforia dan esoforia.2,5 Penyebab heteroforia dibagi menjadi penyebab refraktif dan nonrefraktif. Penyebab refraktif, misalnya pada hipermetropia dan miopia. Sedangkan penyebab non refraktif, foria tampak pada keadaan neurastenia, anemia, penderita debil, infeksi lokal.2 Temuan klinis Gejala klinis dapat berupa diplopia atau astenopia (kelelahan mata). Gejala yang timbul pada astenopia memiliki bermacam bentuk. Dapat timbul rasa berat, lelah atau tidak enak pada mata. Mudah lelah, penglihatan kabur, dan diplopia, terutama setelah pemakaian mata berkepanjangan, dapat juga terjadi. Pemeriksaan:2,5

Cover

and

uncover

test

untuk

membedakan foria dari tropia. kelainan otot. Pemeriksaan refraksi.


5

Kekuatan duksi untuk mengetahui letak

2. a.

Menurut sudut deviasi Inkomitan (Paralitik) Sudut deviasi tidak sama, pada kebanyakan kasus disebabkan oleh kelumpuhan otot penggerak bola mata. Kelumpuhan otot dapat mengenai satu otot atau beberapa otot.2 Tanda-tanda:2 bekerja. Deviasi. Jika mata digerakkan ke arah otot yang lumpuh bekerja, mata yang sehat akan menjurus ke arah ini dengan baik, sedangkan mata yang sakit tertinggal. Diplopia terjadi pada otot yang lumpuh. Vertigo, mual-mual. Gerak mata terbatas pada daerah di mana otot yang lumpuh

Diagnosa berdasarkan:2 Keterbatasan gerak Deviasi Diplopia 1). Abdusen palcy Sering terdapat pada orang dewasa yang mendapat trauma kepala, tumor, atau peradangan dari susunan saraf serebral. Tanda-tanda: -

Gangguan pergerakkan bola mata ke arah luar Diplopia homonim, yang menjadi lebih hebat bila mata digerakkan ke

arah luar.2 2). Kelumpuhan N. III Tanda-tanda Ptosis


6

Bola mata hampir tidak dapat bergerak atau terdapat keterbatasan Mata berdeviasi ke temporal, sedikit ke bawah Sedikit eksoftalmus Crossed diplopia.

bergerak ke atas, nasal, dan sedikit ke arah bawah.

Penyebab: Kelainan dapat terjadi pada setiap tempat dari korteks serebri ke otot. Kelainan dapat berupa eksudat, perdarahan, periostitis, tumor, trauma, perubahan pembuluh darah. Pada umunya disebabkan oleh lues yang dapat menyebabkan tabes, ensafelitis, infeksi akut, diabetes melitus, penyakit sinus. Terjadinya dapat secara tiba-tiba, tetapi perjalanan penyakitnya selalu menahun.2 b. Nonkomitan (Non paralitik)

Sudut deviasi tetap konstan pada berbagai posisi, mengikuti gerak mata yang sebelahnya pada semua arah dan selalu berdeviasi dengan kekuatan yang sama. Deviasi primer (deviasi pada mata yang sakit) sama dengan deviasi sekunder (deviasi pada mata yang sehat).2 2.4. 1. Pemeriksaan Anamnesa Dalam mendiagnosis strabismus diperlukan anamnesis yang cermat, perlu ditanyakan usia pasien saat ini dan usia pada saat onset strabismus, jenis onsetnya, jenis deviasi, fiksasi dan yang tidak kalah penting yakni adanya riwayat strabismus dalam keluarga.2,5 2. Ketajaman penglihatan

Pemeriksaan tajam penglihatan dengan menggunakan kartu Snellen.5 3. Penentuan kelainan refraksi

Perlu dilakukan penentuan kesalahan refraksi sikloplegik dengan retinoslopi. Obat standar untuk menghasilkan sikloplegia total pada anak berusia kurang dari dua tahun adalah atropin yang dapat diberikan sebagai tetes atau salep mata 0,5% atau 1% dua kali sehari selama 3 hari.2,5 4. Inspeksi

Dapat memperlihatkan apakah strabismus yang terjadi konstan atau intermitan, bervariasi atau konstan. Adanya ptosis dan posisi kepala yang abnormal juga dapat diketahui.2,5

5. a.

Uji strabismus Uji Hirschberg Pasien melakukan fiksasi terhadap suatu cahaya dengan jarak sekitar 33 cm, maka akan terlihat refleks sinar pada permukaan kornea. Pada mata yang normal, refleks sinar terletak pada kedua mata sama-sama di tengah pupil. Bila refleks cahaya terletak di pinggir pupil, maka deviasinya 15. Bila di antara pinggir pupil dan limbus, deviasinya 30. Bila letaknya di limbus, deviasinya 45.2,3

Gambar 4. Uji Hirschberg (Diunduh dari http://www.vision-training.com)7 b. Uji Krimsky

Pasien melakukan fiksasi terhadap suatu cahaya. Sebuah prisma yang ditempatkan didepan mata yang berdeviasi dan kekuatan prisma yang diperlukan untuk membuat refleks cahaya terletak di tengah merupakan ukuran sudut deviasi.3,5 c. Uji tutup mata

Uji ini dilakukan untuk pemeriksaan jauh dan dekat, dan dilakukan dengan menyuruh mata berfiksasi pada satu objek. Bila telah terjadi fiksasi, mata kiri ditutup dengan lempeng penutup. Dalam keadaan ini mungkin terjadi: Mata kanan bergerak berarti mata tersebut

mempunyai juling yang manifest. Bila mata kanan bergulir ke nasal berarti terjadi eksotropia. Dan sebaliknya, bila bergulir ke temporal berarti terjadi esotropia. ambliopia.

Mata kanan bergoyang, mungkin terjadi Mata kanan tidak bergerak, mata dalam Uji tutup mata berganti

kondisi terfiksasi.3 d. Bila satu mata ditutup dan kemudian mata yang lain maka bila kedua mata berfiksai normal maka matayang dibuka tidak bergerak. Bila terjadi pergerakan pada mata yang baru dibuka berarti terdapat foria atau tropia.3 e. Uji tutup buka mata

Uji ini sama dengan uji tutup mata, dimana yang dilihat adalah mata yang ditutup. Mata yang ditutup dan diganggu fusinya sehingga mata yang berbakat juling akan menggulir.3 2.5. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan terapi adalah pemulihan efek sensori yang merugikan (misal: ambliopia), memperbaiki kedudukan bola mata, dan mendapatkan penglihatan binokuler yang dapat dicapai dengan terapi medis atau bedah.2,5
1.

Terapi medis2,5 Terapi oklusi Merupakan terapi ambliopia yang utama. Mata yang baik ditutup untuk merangsang mata yang mengalami ambliopia. Alat optik

Kacamata yang diresepkan secara akurat merupakan alat optil terpenting dalam pengobatan strabismus. Klarifikasi citra retina yang dihasilkan oleh kacamata memungkinkan mata menggunakan fusi alamiah sebesar-besarnya.
9

2. Terapi bedah

Ortoptik

Prinsip operasi adalah melakukan reseksi pada otot yang terlalu lemah atau melakukan resesi otot yang terlalu kuat.5

BAB 3 KESIMPULAN

3.1.

Kesimpulan

Strabismus diperlukan anamnesis yang cermat, perlu ditanyakan usia pasien saat ini dan usia pada saat onset strabismus, jenis onsetnya, jenis deviasi, fiksasi dan yang tidak kalah penting yakni adanya riwayat strabismus dalam keluarga. Uji uji klinis pada strabismus juga sangat diperlukan dalam menentukan terapi penatalaksanaannya, seperti Uji Hirschberg, uji krimsky, uji tutup mata, uji tutup mata berganti dan uji tutup buka mata. Tujuan penatalaksanaan terapi adalah pemulihan efek sensori yang merugikan (misal: ambliopia), memperbaiki kedudukan bola mata, dan mendapatkan penglihatan binokuler yang dapat dicapai dengan terapi medis atau bedah.

10

Daftar Pustaka

1. Vaughan, D. G., Asbury, T., Riordan-Eva, P. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17,

cetakan ke-1. Jakarta: Widya Medika. 2010. Hal. 230-250.


2. Wijana, N. Ilmu Penyakit Mata. Edisi revisi, cetakan ke-6. Jakarta: Abadi Tegal.

1993. Hal. 277-299..


3. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3, cetakan ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

2007. Hal. 12-13.


4. Mardjono, M., Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2006. Hal.

131-134..
5. http://images.emedicinehealth.com 6. http://images.emedicinehealth.com 7. http://www.vision-training.com 8. Amal, A.S. Cranial Nerve VI: Abdcuens. 2010. Diunduh dari: http://toosogie-medical.

images.blogspot.com/. Dikutip tanggal 02 april 2012.


9. USU

digital

library.

2002.

Diunduh

dari:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1984/1/bedah-iskandar%20japardi25.pdf. Dikutip tanggal 02 april 2012.


10. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI. 2006. Hal 34-51.

11

You might also like