You are on page 1of 28

BAB I LAPORAN KASUS

I.

IDENTIFIKASI Nama : By. S Umur : 0 hari Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Desa Batun Baru dusun 4 kecamatan Sira Pulau Padang Kabupaten OKI Kebangsaan : Indonesia Agama : Islam No. RM : 082286 Pav/kelas : Neonatus / III MRS Tanggal : 30 Juli 2012 pukul 12.50 WIB

ANAMNESIS (alloanamnesis dengan ibu penderita pada tanggal 31 Agustus 2012) Bayi perempuan lahir spontan dari ibu G1P0A0, Aterm dengan kala I lama, hamil 38 minggu, ditolong oleh bidan di ruang kebidanan RSUD Palembang Bari, saat lahir langsung menangis, APGAR Score 7/8 dilakukan pembersihan jalan nafas , Riwayat KPSW (-) , ketuban hijau (-), bau (-), kental (-), mekonium (-) LK : 33 cm, anus (+), BB= 2800 gram, PB 50 cm.
II.

Riwayat kehamilan Riwayat ibu demam (-) Riwayat ibu Hipertensi (-) Riwayat ibu diabetes melitus (-) Riwayat ibu anemia (-) Riwayat Penyakit dalam Keluarga Riwayat penyakit dalam keluarga (-) Pedigree Keluarga: Tn. J 23 thn, Buruh

Ny. S 22 thn, ibu rumah tangga

Os
1

Riwayat Sosial Ekonomi Os adalah anak Pertama dari Tn.J yang bekerja sebagai Buruh, dan Ny K seorang ibu rumah tangga. Secara ekonomi, keluarga Os tergolong ekonomi menengah ke bawah. III. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan Umum Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, Aktifitas: kurang aktif Refleks hisap: sedang Tangis: merintih Nadi Pernapasan Suhu badan Berat badan Panjang badan Lingkar kepala : 120 x/menit, isi dan tegangan cukup : 68 x/menit : 36,00C : 2800 gram : 50 cm : 33 cm Kesan: Gizi Baik

Pemeriksaan Khusus Kepala : caput (+), normocephali Rambut : hitam Ubun-ubun : frontanemia mayor dan minor belum menutup. Muka Mata Hidung Mulut Telinga Leher Thoraks Paru-paru Inspeksi Palpasi : bentuk simetris, pergerakan simetris, retraksi (+) : stemfremitus kanan = kiri
2

: tidak ada kelainan bentuk, muka oval. : simetris, sklera tidak icterus, conjungtiva, tidak anemis. : NCH (+), sekret (-), epistaksis (-) : Sianosis (-), bibir kering (-) : simetris, bersih, tidak ada serumen. : Tidak ada pembesaran KGB

Perkusi Auskultasi Jantung

: sonor di kedua lapangan paru : vesikuler (+) normal, ronchi (-), wheezing (-)

Inspeksi : pulsasi (-), iktus (-), voussur cardiaque (-) Palpasi : iktus (-), thrill (-) Perkusi : dalam batas normal Auskultasi : HR= 118 x/menit, irama regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen Inspeksi : datar Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba Perkusi : timpani , shifting dullness (-) Auskultasi : bising usus (+) normal Tali pusat : Belum lepas, Radang (-), bau busuk (-) Lipat paha dan genitalia : Anus (+) Ekstremitas : akral dingin (-), sianosis (-), CRT < 3 detik, sindactyly -/-, polidactily -/-

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah Rutin (30 Agustus 2012) Hb : 15,9 g/dl Ht : 46 % Leukosit : 15.800/mm3 Trombosit : 227.000/mm3 Diff count : 0/2/3/70/19/6 CRP : (-)

V.

DIAGNOSA SEMENTARA lahir spontan ibu G1P0A0 Neo aterm/AGA, Asfiksia ringan + RDS +Tersangka infeksi

VI. RESUME Pada tanggal 30 Juli 2012 pukul 12.50 WIB lahir seorang bayi perempuan, berusia 0 hari, beralamat di Desa Batun Baru dusun 4 kecamatan Sira Pulau Padang Kabupaten OKI, berkebangsaan Indonesia, beragama Islam, lahir spontan dari ibu G1P0A0, Aterm, hamil 38 minggu, ditolong oleh bidan di ruang kebidanan RSUD Palembang Bari, saat lahir langsung menangis,
3

APGAR Score 7/8 dilakukan pembersihan jalan nafas, Riwayat KPSW (-) , ketuban hijau (-), bau (-), kental (-), mekonium (-), LK : 33 cm, anus (+), BB= 2800 gram, PB 50 cm. Pada pemeriksaan umum didapatkan tampak sakit berat, aktifitas: kurang aktif, refleks hisap: sedang, tangis: sedang, nadi 120 x/menit, isi dan tegangan cukup, pernapasan 68 x/menit, suhu badan 36,0 oC. dilakukan pemeriksaan darah rutin, didapatkan hasil: hb 15,9 g/dl, ht 46 %, leukosit 15.800/mm3 trombosit 227.000/mm3, diff count : 0/2/3/70/19/6, CRP (-). OS lalu dikirim ke NICU (Neonatal Intensive Care) RSUD Palembang bari untuk dilakukan perawatan. VII. DIAGNOSIS BANDING Asfiksia ringan + RDS + Tersangka Infeksi VIII. DIAGNOSIS KERJA Asfiksia ringan + RDS + Tersangka Infeksi IX. PENATALAKSANAAN 1. Inj. Vit K 1 strip (i.m) 2. Zalf mata Kloramfenicol 1 % 3. Stop Oral 4. IVFD D10 % 5:1 gtt 6x/m 5. Inj. Ampicilin 2 x 140 mg 6. Inj. Ceftazidime 2 x 140 mg 7. Cek Laboratorium (darah rutin dan CRP) 8. Oksigenasi (O2 1 L/menit)

X.

PROGNOSIS Quo ad vitam : bonam Quo ad fungsional : bonam FOLLOW UP (Tanggal 31 Agustus 2012) S : (-) O: KU= Sens: CM Aktifitas: Aktif Tangis: Kuat R. Hisap: Kuat HR : 120x/m RR : 58 x/mnt Suhu : 36,4oC
4

XI.

BBL: 2800 gr BBS: 2800 gr U: 1 hr

KS: Kepala : NCH (-) Leher : t.a.k Thorax : Cor : BJ I/II (+) N, m(-), g(-) Pulmo: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-) Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N Extremitas: Akral dingin (-) A: Asfiksia ringan + T. Infeksi + RDS Penatalaksanaan Kebutuhan cairan: 168 cc/hr Asi/Pasi 12x5 cc (Oral) IVFD D10% 5:1 gtt 6 x/m Inj. Ampicilin 2 x 140 mg Inj. Ceftazidime 2 x 140 mg O2 k/p (Tanggal 1 Agustus 2012) S : (-) BBL: 2800 gr O: KU= Sens: CM BBS: 2900 gr Aktifitas: Aktif U: 2 hr Tangis: Kuat R. Hisap: Kuat HR : 116x/m RR : 50 x/mnt Suhu : 36,2oC KS: Kepala : NCH (-) Leher : t.a.k Thorax : Cor : BJ I/II (+) N, m(-), g(-) Pulmo: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-) Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N Extremitas: Akral dingin (-) A: Asfiksia ringan + T. Infeksi + RDS Penatalaksanaan Kebutuhan cairan: 232 cc/hr Asi/Pasi 12x10 cc (Oral) IVFD D10% 5 : 1 gtt 6x/m Inj. Ampicilin 2 x 140 mg Inj. Ceftazidime 2 x 140 mg

(Tanggal 2 Agustus 2012)


5

S : (-) BBL: 2800 gr O: KU= Sens: CM BBS: 3100 gr Aktifitas: Aktif U: 3 hr Tangis: Kuat R. Hisap: Kuat HR : 114x/m RR : 52 x/mnt Suhu : 36,8oC KS: Kepala : NCH (-) Leher : t.a.k Thorax : Cor : BJ I/II (+) N, m(-), g(-) Pulmo: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-) Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N Extremitas: Akral dingin (-) A: Asfiksia ringan + T. Infeksi + RDS Penatalaksanaan Kebutuhan cairan: 320 cc/hr Asi/Pasi 12x10 cc IVFD D10 % 5:1 gtt 6x/m Inj. Ampicilin 2 x 140 mg Inj. Ceftazidime 2 x 140 mg (3 Agustus 2012) S : (-) BBL: 2800 gr O: KU= Sens: CM BBS: 3100 gr Aktifitas: Aktif U: 4 hr Tangis: Kuat R. Hisap: Kuat HR : 122x/m RR : 60 x/mnt Suhu : 36,8oC KS: Kepala : NCH (-), dyspneu (-), sianosis (-) Leher : t.a.k Thorax : Cor : BJ I/II (+) N, m(-), g(-) Pulmo: Vesikular (+) N, wh (-), rh(-) Abdomen: Datar, lemas, BU (+) N Extremitas: Akral dingin (-), CRT < 3 dtk A: Asfiksia ringan + T. Infeksi + RDS Penatalaksanaan Kebutuhan cairan: 360 cc/hr Asi/Pasi 12x10 cc IVFD D10% 5:1 gtt 10x/m
6

Inj. Ampicilin 2 x 140 mg Inj. Ceftazidime 2 x 140 mg

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Asfiksia Neonatorum A. Definisi Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir1. Menurut American College of Obstetricans and Gynecologists (ACOG) dan American Academy of Pediatrics (AAP), seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut. a. Nilai Apgar menit kelima 0-3. b. Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0). c. Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma). d. Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular,gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal). e. Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multi organ, kejang dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama (Health Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008). B. Etiologi Asfiksia Neonatorum Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit - menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir (McGuire, 2007). Towell (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan Pernafasan pada bayi, yang terdiri dari : 1. Faktor ibu a. Hipoksia ibu Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia dalam. b. Gangguan aliran darah uterus
8

Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan : a). Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat. b). Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan. c). Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain. 2. Faktor Plasenta Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain. 3. Faktor fetus Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbulikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada kelainan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat janin dan jalan lahir, dan lain-lain. 4. Faktor Neonatus Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal, sebagai berikut. a. Pemakaian obat anastesia/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernapasan janin. b. Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial. c. Kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresi/stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru, dan lain-lain. (Abdoerrachman dkk, 1985) C. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum 1. Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang

bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta. Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen. Pada saat bayi mengambil napas pertama, udara memasuki alveoli paru dan cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru. Pada napas kedua dan berikutnya, udara yang masuk alveoli bertambah banyak dan cairan paru diabsorpsi sehingga kemudian seluruh alveoli berisi udara yang mengandung oksigen. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli. Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan (Health Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008). 2. Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi
10

Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin. Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan napas dan paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Aliran darah paru meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan ekspansi paru yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru dan peningkatan tekanan oksigen alveoli, keduanya, menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran darah paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai beralih arah yang kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus. Kegagalan penurunan resistensi vaskuler paru menyebabkan hipertensi pulmonal persisten (Persisten Pulmonary Hypertension of the Neonate) pada bayi baru lahir, dengan aliran darah paru yang inadekuat dan hipoksemia relatif. Ekspansi paru yang inadekuat menyebabkan gagal napas (Dharmasetiawani, 2008). 3. Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen. Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun demikian, jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi
11

kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah (Health Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).

12

FR asfiksia

Bayi baru lahir

Arteri pulmonal tetap berkontraksi Alveoli tetap berisi cairan Nonatus ekspirasi

Pembuluh darah sistemik tidak mendapat O2

Kontraksi arteriol pada organ-organ tubuh Autoregulasi otak/ reretribusi organ O2<< Kegagalan fungsi miokard takipneu

grunting

Glikolisis anaerob

sianosis

curah jantung

As. Laktat dan as. piruvat as. Organik tubuh PH menurun

tekanan darah

Depresi pernafasan

Kerusakan jaringan tubuh Asidosis metabolik Tonus otot buruk

D. Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum


13

Beberapa faktor risiko yang berperan dalam menimbulkan asfiksia neonatorum diuraikan sebagai berikut. 1. Faktor Risiko Ibu a. Primigravida dan primiparitas Gravida dan paritas turut menjadi faktor risiko terjadinya asfiksia neonatorum karena persalinan yang lama biasanya terjadi pada wanita yang baru menjalani kehamilan dan persalinan anak pertama. b. Penyakit pada ibu Penyakit pada ibu seperti Pregnancy Induced Hypertension/PIH yang apabila telah timbul gejala kejang dan disusul dengan koma akan menyebabkan gangguan aliran darah ke uterus sehingga berakibat terjadinya asfiksia berat. 2. Faktor Risiko Intrapartum a. Kelainan tali pusat Adanya lilitan pusat pada bayi dapat menyebabkan asfiksia, dimana saat mulai timbul kontraksi dan kepala janin mulai turun, maka lilitan tali pusat menjadi semakin erat akibat terkompresi sehingga dapat mengakibatkan hipoksia. b. Partus lama Kala II lama akan menyebabkan kompresi tali pusat dan kontraksi uterus yang berlangsung lama sehingga transportasi oksigen ke janin berkurang. c. Mekoneum dalam ketuban Kondisi hipoksia pada janin akan menyebabkan reaksi pengurangan aliran darah ke beberapa organ untuk mempertahankan aliran darah ke otak dan jantung. Vasokontriksi pembuluh darah usus yang diikuti relaksasi sfingter ani akan mengakibatkan pengeluaran mekonium dalam air ketuban sehingga bercampurnya air ketuban dalam mekonium merupakan kondisi yang dapat menunjukkan terjadinya gawat janin dan apabila teraspirasi oleh janin akan menyebabkan asfiksia. d. Induksi Oksitosin Induksi oksitosin adalah pemberian oksitosin pada ibu yang bertujuan untuk merangsang atau menginduksi terjadinya persalinan. Induksi oksitosin ini dapat menyebabkan meningkatnya risiko kelahiran dengan seksio sesaria. e. Plasenta Previa Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian ataupun seluruh pembukaan jalan lahir. f. Seksio sesarea
14

Seksio sesarea adalah operasi untuk melahirkan atau mengeluarkan bayi dari rahim ibu dengan cara membuat sayatan pada perut dan rahim ibu. Hal ini dapat mengakibatkan asfiksia neonatorum karena tidak adanya kompresi bayi seperti pada persalinan normal 3. Faktor Risiko Janin a. Prematuritas Preterm adalah kelahiran yang terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu. Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian akibat asfiksia neomatorum. Bayi prematur mempunyai organ tubuh yang belum berfungsi dengan baik termasuk pada organ paru-paru sehingga mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. b. BBLR Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah neonatus dengan berat badan lahir pada saat kelahiran kurang dari 2.500 gram (1500 gram sampai dengan 2.499 gram) tanpa memandang masa kehamilan. Pada bayi BBLR biasanya disertai dengan prematuritas maupun dismaturitas termasuk organ-organ seperti sistem respirasi. Bayi BBLR sering mengalami defisiensi surfaktan akibat paru yang belum sempurna sehingga tegangan membran permukaan udara-air (darah) menjadi tinggi dan risiko alveoli kolaps pada saat ekspirasi sangat besar yang menyebabkan alveoli akan menguncup selama ekspirasi (atelektasis) dan paru kolaps yang pada akhirnya akan menyebabkan asfiksia. c. Keterlambatan pertumbuhan dalam rahim/IUGR Janin tidak mendapat dukungan plasenta secara adekuat karena terjadi insufisiensi uteroplasenta sehingga masukan nutrisi dan oksigenisasi menjadi sangat terbatas. Pada saat persalinan terjadi pengurangan aliran oksigen ke plasenta sebagai akibat kontraksi dinding uterus sehingga kekurangan oksigen yang terjadi akan bertambah menjadi lebih berat. E. Klasifikasi Asfiksia Neonatorum Klasifikasi asfiksia neonatorum dibagi berdasarkan tingkat keparahan asfiksia yang dinilai berdasarkan skor apgar. Nilai Apgar ditemukan pada tahun 1952 oleh seorang obstetrical anesthesiologist bernama dr. Virginia Apgar di Sloane Hospital for Women, New York. Skor apgar ini biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap, yaitu pada saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan pengisapan lendir dengan sempurna. Skor apgar 1 menit
15

ini menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai pedoman untuk menentukan cara resusitasi. Skor apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat demgan morbiditas dan mortalitas neonatal (Abdoerrachman dkk, 1985). Skor Apgar
Tanda Warna kulit (Appearance) Frekuensi jantung (Pulse) Refleks (Grimace) Tonus otot (Activity) Usaha bernafas (Respiration) Tidak ada Lumpuh Ekstremitas fleksi sedikit Lambat Gerakan aktif Tidak ada Gerakan sedikit Menangis Tidak ada Nilai 0 Biru/pucat Nilai 1 Tubuh kemerahan, ekstremitas biru <100x/menit Nilai 2 Tubuh dan ekstremitas kemerahan >100x/menit

Menangis kuat

1. 2. 3. 4.

Berdasarkan standar penatalaksanaan ilmu kesehatan anak Rumah Sakit Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang, asfiksia neonatorum dapat dibagi sebagai berikut: Tidak asfiksia, yaitu skor Apgar menit pertama antara 8 - 10. Asfiksia ringan, yaitu skor Apgar menit pertama antara 5 - 7. Asfiksia sedang, yaitu skor Apgar menit pertama antara 3 - 4. Asfiksia berat, yaitu skor Apgar menit pertama antara 0 - 2.

F. Diagnosis Asfiksia Neonatorum 1. Anamnesis Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terjadinya asfiksia. 2. Pemeriksaan Fisik a. Bayi tidak bernafas atau menangis. b. Denyut jantung kurang dari 100x/menit. c. Tonus otot menurun. d. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium atau sisa mekonium pada tubuh bayi.
16

e. BBLR. 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium beupa analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat: a. PaO2 < 50 mm H2O b. PaCO2 > 55 mm H2 c. pH < 7,30 Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa : a. Darah perifer lengkap b. Analisis gas darah sesudah lahir c. Gula darah sewaktu d. Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium) e. Ureum kreatinin f. Laktat g. Ronsen dada h. Ronsen abdomen tiga posisi i. Pemeriksaan USG kepala j. Pemeriksaan EEG dan CT Scan kepala (IDAI, 2004). G. Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum Penatalaksanaan segera asfiksia adalah resusitasi bayi. Semua bayi dengan depresi pernapasan harus mendapat resusitasi yang adekuat. Bila bayi kemudian terdiagnosa sebagai asfiksia neonatorum sesuai dengan definisi AAP/ACOG, maka diperlukan tindakan medis lanjutan yang komprehensif sesuai dengan kondisinya. Saat bayi diperkirakan mengalami depresi pernapasan, hendaknya ada tim resusitasi yang minimal terdiri dari 2 orang, yaitu salah seorang sebagai pimpinan tim yang memiliki kemampuan resusitasi yang lengkap termasuk sanggup melakukan intubasi endotrakeal, kompresi dada, ventilasi tekanan positif dan memberikan obat-obatan serta seorang yang lain menjadi pembantu resusitasi yang dapat membantu keefektifan proses resusitas. Bila memungkinkan tim resusitasi dapat terdiri dari dua, tiga atau empat orang dengan berbagai tingkat kemampuan dalam resusitasi. Tim resusitasi mampu membagi
17

pekerjaan seperti melakukan ventilasi, memberikan kompresi dada, memberikan obat-obatan, dan mencatat. Alat Resusitasi Semua peralatan yang diperlukan untuk tindakan resusitasi harus tersedia di dalam kamar bersalin dan dipastikan dapat berfungsi baik. Pada saat bayi memerlukan resusitasi maka peralatan harus siap digunakan. Peralatan yang diperlukan pada resusitasi neonatus adalah sebagai berikut :
a. Perlengkapan penghisap
o

Balon penghisap (bulb syringe)


o o o

Penghisap mekanik dan tabung Kateter penghisap Pipa lambung

b. Peralatan balon dan sungkup


o

Balon resusitasi neonatus yang dapat memberikan oksigen 90% sampai 100%, dengan volume balon resusitasi 250 ml
o

Sungkup ukuran bayi cukup bulan dan bayi kurang Sumber oksigen dengan pengatur aliran (ukuran

bulan (dianjurkan yang memiliki bantalan pada pinggirnya)


o

sampai 10 L/m) dan tabung.


c.
o o

Peralatan intubasi Laringoskop Selang endotrakeal (endotracheal tube) dan stilet (bila tersedia) yang cocok dengan pipa endotrakeal yang ada

d. Obat-obatan
o o

Epinefrin 1:10.000 (0,1 mg/ml) 3 ml atau ampul 10 ml Kristaloid isotonik (NaCl 0.9% atau Ringer Laktat) untuk penambah volume100 atau 250 ml.
o

Natrium bikarbonat 4,2% (5mEq/10 ml)ampul 10

ml.

18

Naloxon hidroklorida 0,4 mg/ml , atau 1,0 mg/ml Dextrose 10%, 250 ml Kateter umbilikal

(ada dua konsentrasi)


o o

e. Lain-lain
o

Alat pemancar panas (radiant warmer) atau sumber panas lainnya


o

Monitor jantung dengan probe serta elektrodanya Oropharyngeal airways Selang orogastrik

(bila tersedia di kamar bersalin.


o o

f. Untuk bayi sangat prematur


o o o o

Sumber udara tekan (CPAP, neopuff) Blender oksigen oksimeter Kantung plastik makanan (ukuran 1 galon) atau Alas pemanas Inkubator transport untuk mempertahankan suhu

pembungkus plastik yang dapat ditutup


o o

bayi bila dipindahkan ke ruang perawatan Resusitasi neonatus Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritma resusitasi neonatal. Penilaian awal dilakukan pada setiap bayi baru lahir untuk menetukan apakah tindakan resusitasi harus segera dimulai. Segera setelah lahir dilakukan penilaian pada semua bayi dengan cara melihat : 1. Apakah bayi lahir cukup bulan ? 2. Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium ? 3. Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis ? 4. Apakah tonus otot baik ? Apabila semua jawaban diatas Ya, berarti bayi baik dan tidak memerlukan tindakan resusitasi. Pada bayi ini segera dilakukan

19

1). a.

b.

c.

d.

Asuhan Bayi Normal. Bila salah satu atau lebih jawaban tidak, bayi memerlukan tindakan resusitasi segera. Langkah awal dalam stabilisasi Memberikan kehangatan Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup atau untuk pemasangan pipa endotrakeal. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang benar Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh dan ekstremitas bayi.

2). Ventilasi tekanan positif Setelah dilakukan langkah awal resusitasi, ventilasi tekanan positif harus dimulai bila bayi tetap apnea setelah stimulasi atau pernapasan tidak adekuat, dan/atau frekuensi jantung memadai tetapi sianosis sentral, bayi diberi oksigen aliran bebas. Bila setelah ini bayi tetap sianosis, dapat dicoba melakukan ventilasi tekanan positif. 3). Pemberian Oksigen
20

Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen. Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan sungkup oksigen, sungkup dengan balon tidak mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan selang/pipa oksigen. Pemberian oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang bulan karena dapat merusak jaringan. Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara bertahap bila tidak terdapat sianosis sentral lagi yaitu bayi tetap merah atau saturasi oksigen tetap baik walaupun konsentrasi oksigen sama dengan konsentrasi oksigen ruangan. Bila bayi kembali sianosis, maka pemeberian oksigen perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral hilang. Kemudian secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah arteri dan oksimetri untuk menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal. 4). Kompresi dada Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Kompresi dada dilakukan dengan menekan sternum menggunakan 1 jempol atau 2 jari tegak lurus di linea parasentralis kiri sedalam 1/3 diameter anteroposterior rongga dada dengan 3 kali penekanan dan 1 kali ventilasi dalam 2 detik (45 kali kompresi dada dan 15 kali ventilasi selama 30 detik). 5). Terapi Medikamentosa a. Epinefrin 1:10.000 Dosis : 0,1-0,3 ml/kg berat badan atau 0,01-0,03 mg/kg berat badan diberikan secara cepat, dilarutkan dengan larutan NaCl 0,9% menjadi 1-2 ml bila secara endotrakea. b. Cairan penambah volume darah (plasma expander) Dosis awal 10 ml/kg dengan kecepatan 5-10 menit secara intravena. Bila bayi menunjukkan perbaikan yang minimal setelah pemberian dosis pertama, dapat dberikan dosis tambahan lagi 10 ml/kg. c. Nalokson Dosis : 0,1 mg/kg diberikan secara intravena atau intramuskular. d. Natrium Bikarbonat Dosis : 1-2 mEq/kg diberikan secara intravena setelah ventilasi dan perfusi adekuat dicapai, diberikan dalam kira-kira 2 menit yaitu 1 mEq/kg/menit (Dharmasetiawani, 2008).

21

Algoritma Penangangan Bayi Baru Lahir


LAHIR Ya

Perawatan Rutin Letakkan bayi di bawah pemancar panas Bersihkan mulut dan hidung Keringkan seluruh tubuh bayi Ganti linen basah dengan yang kering Letakkan bayi dalam posisi yang benar Bersihkan saluran napas bayi (trakea) dari lendir, maupun mekonium, maupun cairan plasenta Lakukan stimulasi taktil

tid ak

Cukup bulan? Cairan amnion jernih? Bernapas atau menangis? Tonus otot naik?

Berikan kehangatan Posisikan; bersihkan jalan napas (bila perlu) Keringkan, rangsang, reposisi

Bernapas; FJ >100x/menit kemerahan Perawat an observas si

Evaluasi pernapasan, FJ, warna kulit

kemerahan sianosis

Apnu atau FJ <100

Berikan O2

sianosis ventilasi efektif FJ >100 & kemerahan


Perawatan Pasca Resusitasi

Berikan Ventilasi Tekanan Positif

FJ <60

FJ<60
Berikan epinefrin

Berikan Ventilasi Tekanan Positif Lakukan kompresi dada

22

H. Prognosis Asfiksia Neonatorum Apabila bayi yang mengalami asfiksia dapat bertahan hidup pada 24 jam pertama maka prognosis kehidupannya biasanya akan baik. Namun, sekitar 1 juta bayi yang bertahan dari asfiksia neonatorum hidup dengan gangguan perkembangan otak kronik, termasuk cerebral palsy, retardasi mental dan kesulitan belajar. I. Komplikasi Asfiksia Neonatorum Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi yang mengalami asfiksia neonatorum adalah asidosis metabolik, hipoglikemia, enselofati hipoksia iskemik dan gagal ginjal. Kompresi dada juga dapat menyebabkan trauma pada bayi. Organ vital dibawah tulang iga adalah jantung, paru, dan sebagian hati. Tulang rusuk juga rapuh dan mudah patah. Kompresi harus dilakukan dengan hati-hati supaya tidak merusak organ dibawahnya (Health Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).

23

BAB III ANALISIS KASUS


Bayi perempuan lahir spontan dari ibu G1P0A0, Aterm dengan kala I lama, hamil 38 minggu, ditolong oleh bidan di ruang kebidanan RSUD Palembang Bari, saat lahir langsung menangis, APGAR Score 7/8 dilakukan pembersihan jalan nafas , Riwayat KPSW (-) , ketuban hijau (-), bau (-), kental (-), mekonium (-) LK : 33 cm, anus (+), BB= 2800 gram, PB 50 cm. Pada pemeriksaan umum didapatkan tampak sakit sedang, aktifitas: kurang aktif, refleks hisap: sedang, tangis: tidak kuat, nadi 120 x/menit, isi dan tegangan cukup, pernapasan 68 x/menit, suhu badan 36,0 oC. dilakukan pemeriksaan darah rutin, didapatkan hasil: hb 15,9 g/dl, ht 46 %, leukosit 15.800/mm3 trombosit 227.000/mm3, diff count : 0/2/3/70/19/6, CRP (-). OS lalu dikirim ke NICU (Neonatal Intensive Care) RSUD Palembang bari untuk dilakukan perawatan. Pada saat lahir bayi langsung menangis dan nilai APGAR SCORE menit pertama 7, menit kelima 8 yang menandakan bahwa bayi Ny. S mengalami asfiksia ringan. Hal ini dapat disebabkan dari faktor ibu, faktor persalinan maupun faktor janin. Dari anamnesis didapatkan bahwa ibu tidak memiliki riwayat penyakit seperti hipertensi, anemia, gagal jantung maupun infeksi sistemik. Sehingga dalam kasus ini kemungkinan penyebabnya adalah dari faktor janin dan persalinan, yaitu umur bayi yang 38 minggu aterm dan kala I lama. Riwayat KPSW (-), ketuban hijau (-), bau busuk (-), kental (-) dan tidak terdapat mekonium. Pada pemeriksaan umum didapatkan tampak sakit sedang, aktifitas: kurang aktif, frekuensi nafas bayi 68 x/menit, retraksi otot-otot penafasan dan NCH (+), dapat disimpulkan bayi tersebut juga mengalami gangguan ventilasi pernafasan / respiratory distres syndrom, yang dapat disebabkan gangguan pada traktus respiratorius seperti HMD, TTN, sindrom aspirasi, pneumonia, maupun hernia diafragmatica, ataupun gangguan dari luar traktus respiratorius seperti kelainan jantung kongenital, kelainan metabolik, darah dan SSP. Pada kasus ini HMD, dapat disingkirkan, karena riwayat bayi yang aterm usia kehamilan 38 minggu dan berat badan lahir yang normal. Sedangkan TTN biasanya terjadi pada bayi dengan sectio cessaria, sehingga diagnosis
24

TTN juga dapat disingkirkan. Sehingga diagnosis yang paling mungkin dalam kasus ini adalah RDS akibat persalinan kala I lama. Sedangkan untuk gangguan pada luar traktus respiratorius, belum sepenuhnya dapat disingkirkan, pada pemeriksaan rontgen thorax tidak dilakukan pemeriksaan. Sehingga hernia diafragmatica dan pneumonia belum dapat disingkirkan, kelainan jantung kongenital, kelainan metabolik, darah dan SSP belum sepenuhnya dapat disingkirkan dan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Tetapi kelainan tersebut jarang terjadi. Tetapi bila terdapat gangguan ventilasi pernafasan yang menetap dalam jangka waktu lama, perlu dipertimbangkan pemeriksaan penunjang lainnya.

25

BAB IV KESIMPULAN
Bayi Ny S, perempuan, berusia 0 hari, lahir spontan mengalami asfiksia ringan + tersangka infeksi + RDS ec. Persalinan kala I lama.

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdoerrachman, dkk. 1985. Ilmu Kesehatan Anak : Asfiksia Neonatorum. Jilid 3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia, hal. 1072-1081. 2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH. 2010. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak. RSMH, Palembang, Indonesia, hal. 1. 3. Dewi, Novita, dkk. Faktor Resiko Asfiksia Neonatorum pada Bayi Cukup Bulan. Berkala Ilmu Kedokteran, Vol. 37, No. 3, 2005, hal. 143-149. 4. Health Technology Assesment Indonesia Depkes RI. 2008. Pencegahan dan Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. 5. IDAI. 2004. Asfiksia Neonatorum. Dalam : Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; hal. 272- 276. 6. Indahwati, Elvi. 2010. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Asfiksia Neonatorum di Instalasi Rawat Inap Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang periode 1 Januari - 31 Desember 2008. Skripsi, Jurusan Kedokteran Unsri (tidak dipublikasikan). 7. Pencegahan & penatalaksanaan asfiksia neonatorum. Available at http://buk.depkes.go.id/index.php%3foption%3dcom_docman%26task %3ddoc_download%26gid%3d276%26itemid %3d142&sa=u&ei=vm4eunqug8w3rafyyyhqcg&ved=0ca4qfjaa&usg= afqjcnfzyuzcm06cvz0getjavkzodlu0tg 8. Situs Departemen Kesehatan R I. Available at www.depkes.go.id. Accesed 3 Agustus 2012 . 9. Wiknjosastro, dkk. 2005. Ilmu Kebidanan : Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Indonesia, hal. 771 - 784. 10. World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical Guide-Revision. Geneva: World Health Organization; 1999. Diunduh dari: www.who.int/reproductivehealth/publications/newborn _resus_citation/ index.html.

27

28

You might also like