You are on page 1of 9

ALOE VERA CENTER Ketika itu tahun 1999 pengembangan lidah buaya pada lahan gambut dipandang sesuatu

yang sulit dilakukan. Bahkan pengembangan lahan gambut lebih diarahkan untuk tanaman padi atau tanaman pangan lainnya. Namun, BIOTEK-BPPT mengambil sikap untuk melakukan introduksi teknologi kultur jaringan dengan berbekal motivasi penelitian. Dengan dukungan program Iptekda, BPPT mulai tahun 2001 dibuat percontohan pada lahan gambut di desa Siantan Hulu, Pontianak Utara dengan melibatkan petani setempat. Varietas yang dikenalkan ada tiga jenis yaitu : lidah buaya lokal Jawa, lokal Pontianak dan Aloe barbadensis Miller yang merupakan jenis varietas yang dibudidayakan secara komersial di Amerika Serikat. Bibit hasil kultur jaringan dikombinasikan dengan input pupuk cair dengan sistem irigasi tetes ternyata produktivitasnya sangat signifikan sehingga mampu memberikan keuntungan pada petani. Melihat hasil yang begitu menggiurkan dan adanya potensi pasar lidah buaya serta produk turunannya yang besar Pemerintah Pontianak akhirnya membangun Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional (National Center for the Assessment and Development of Aloe Vera) di kota Pontianak bekerjasama dengan BIOTEK-BPPT dan didukung oleh Balitbangda Propinsi Kalimantan Barat. Walikota Pontianak Dr. Buchary, yang seorang dokter sangat concern tentang potensi kandungan lidah buaya untuk mendukung kesehatan serta potensi lidah buaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di akhir pembangunan sebelum diresmikan, pemerintah Propinsi Kalimantan Barat menyelenggarakan Pertemuan Nasional Pengembangan Agribisnis Lidah Buaya pada tanggal 22 Juni 2002 yang dibuka dan dihadiri oleh Menteri Pertanian. Melalui pertemuan ini diharapkan adanya masukan dan dukungan dari berbagai pihak seperti instansi pemerintah, Lembaga penelitian, Perguruan Tinggi, swasta, perbankan dan masyarakat sehingga dapat dirumuskan suatu kebijakan strategis mengenai arah dan visi pengembangan agribisnis lidah buaya ke depan. Kehadiran Menristek/Ka BPPT Ir. M. Hatta Rajasa pada tanggal 6 Juli 2002 untuk meresmikan Aloevera Center sangat membanggakan masyarakat Pontianak. Menristek/kepala BPPT mengharapkan agar sarana ini digunakan sebagai pusat kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D), informasi agribisnis, akses peluang pasar dan investasi, serta agrowisata lidah buaya. Pada kesempatan tersebut Menristek/kepala BPPT me-release situs internet : //www:aloevera center.com// yang memberikan informasi tentang lidah buaya dari berbagai aspek mulai dari pembibitan, budidaya, pasca panen, pengolahan produk, pemasaran maupun peluang investasi agribisnis lidah buaya. Pada acara peresmian diisi penandatanganan MOU antara Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi, BPPT dengan Walikota Pontianak dan Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Kalimantan Barat tentang Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional. Dalam kerjasama ini, Dr. Wahono Sumaryono, APU selaku Deputi Kepala BPPT Bidang TAB mengungkapkan akan memberikan bantuan teknologi dan SDM yang menjadi kebutuhan untuk pengembangan lidah buaya melalui Aloevera Center. Pemerintah Kota dan Balitbang akan lebih berperan dalam pelaksanaan operasional, pembinaan dan koordinasi di daerah. Implementasi dari MUOKepala Balai Pengkajian Bioteknologi (BIOTEK-BPPT), menandatangani kerjasama teknis dengan Dinas Urusan Pangan Kotamadya Pontianak dan Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Kalimantan Barat tentang Penerapan Teknologi Kultur Jaringan dan Pupuk Cair menggunakan sistem Irigasi Tetes untuk melanjutkan program Iptekda

yang telah dilakukan selama ini. Pengelolaan dari hasil-hasil Iptekda sendiri telah diserahkan kepada Pemerintah Kota Pontianak oleh BPPT beberapa waktu yang lalu, Ungkap Dr. Ir. Koesnandar, M.Eng. selaku Kepala Balai Bioteknologi, kerjasama teknologi yang dilakukan BIOTEK-BPPT dapat membantu mempercepat proses pembangunan didaerah melalui pengembangan lidah buaya. Penerapan hasil-hasil kajian bioteknologi dan peran pemerintah pusat dan daerah dalam memfasilitasi implementasi hasil-hasil kajian bioteknologi tersebut dapat berjalan secara sinergis dan terarah sehingga mampu mengangkat dan mempromosikan lidah buaya sebagai salah satu komoditas unggulan nasional. Di negara maju lidah buaya digunakan sebagai nutriceutical, bahan pangan yang berperanan sebagai komponen gizi dan pencegah penyakit. (Yt/humas) http://www.bppt.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1738&Itemid=30

Melon masih Menjanjikan

Minggu, 23 Oktober 2005

Di saat Ramadan ini, selain kurma, buah melon juga merupakan salah satu buah-buahan yang cukup favorit untuk berbuka. Tidak hanya itu, melon bahkan sudah menjadi menu sehari-hari untuk cuci mulut. Di hotel-hotel pun, melon digunakan untuk makanan penutup bersama nenas dan semangka. Sayangnya, Riau dan khususnya Pekanbaru belum menghasilkan melon secara maksimal. Buah ini kebanyakan justru didatangkan dari luar. Laporan Muhammad Amin, Pekanbaru Padahal potensi Melon (Cucumis Melo L) juga menjanjikan di Riau termasuk Pekanbaru. Dinas Pertanian Kota Pekanbaru bahkan pernah membuat kebun percontohan Melon dan berhasil. Kebun percontohan melon itu saat ini belum dikembangkan lagi. Padahal, saat dilakukan pemanenan, hasil maksimal pernah diraih, dengan mencapai hasil panen hingga 15 ton. Kendati tanaman Melon biasanya tumbuh di daratan menengah yang suhunya agak dingin, namun itu tak masalah untuk cuaca di Pekanbaru. Syaratnya, pengairan harus baik. Normalnya ketinggian tanah yang cocok untuk melon adalah pada ketinggian 300 hingga 1000 meter dari permukaan laut. Adapun jenis tanah yang baik dipakai adalah jenis tanah andosol atau tanah berpasir dengan PH 6-7. Pada umumnya berbagai jenis melon tak toleran terhadap tanah asam (pH rendah), seperti halnya semangka. Namun ini bisa disiasati dengan pengairan yang baik dan itu dilakukan di Pekanbaru. Pada kebun percontohan Dinas Pertanian Pekanbaru yang sudah pernah dipanen pada 5 Maret 2005 lalu di wilayah Kelurahan Tebing Tinggi Okura, kondisi tanah yang kering bukanlah masalah. Pihak Dinas Pertanian menggunakan sistem irigasi tetes, sehingga air bisa dialirkan secara terusmenerus sesuai kebutuhan. Pemki Demplot Budidaya Melon Dinas Pertanian Pekanbaru, Amor mengatakan, dengan sistem irigasi tetes ini, Melon dapat tumbuh dengan baik. Kebun Demplot Melon ini semuanya memiliki areal 10 hektare. Namun yang digunakan hanya sekitar 0,5 hektare saja. Di areal itu dapat ditanam 8 ribu pohon Melon yang rata-rata memiliki usia 65 hari untuk siap panen. Proses Tanam Penanaman perdana pohon melon ini dimulai pada 30 Desember 2004 lalu, sebanyak 2 ribu pohon. Bibit didatangkan dari Sakata, merek Glamour Melon F-1 Hybrid asal Jepang. Penanaman perdana sebanyak 2 ribu pohon. Sepekan kemudian ditanam 2 ribu pohon lagi hingga empat kali masa tanam. Dengan demikian, total pohon yang ditanam adalah 8 ribu pohon. Masing-masing pohon ditanam dengan jarak 15 cm. Di antara tanaman itu dibuat irigasi tetes yang dapat secara otomatis mengalirkan air ke melon setiap pagi dan petang. Dengan demikian, tanah tak pernah kering. Biasanya, melon-melon ini tumbuh antara 10 hingga 15 buah. Akan tetapi tak semuanya bagus. Makanya petani harus melakukan seleksi terhadap pohon melon yang ada dan ditinggalkan hanya yang besar dan baik saja. Kalau banyak dan kecil, rata-rata beratnya kurang dan manisnya juga akan berkurang, ujar Amor. Setelah dilakukan penyeleksian hingga 2 atau 3 buah, maka dilakukan pensortiran akhir hingga hanya satu buah saja. Buah itulah yang kemudian dipelihara dengan cara dibungkus plastik sejak kecil. Tujuannya adalah agar tak diserang hama, terutama lalat buah. Adapun sistem irigasi tetes yang dilakukan adalah dengan melakukan penyiraman secara merata ke seluruh pohon melon ini. Caranya dengan membuat pompa air dan mengalirkannya ke tanaman dengan pipa-pipa yang dibocorkan tiap 15 cm. Penyiraman dilakukan 10 menit dua kali sehari.

Irigasi tetes ini dilakukan dengan cara drip line yang memungkinkan tanah tempat tumbuh melon ini tetap basah. Masing-masing fase penanaman memiliki jumlah air yang berbeda. Untuk fase vegetatif (ketika daun mulai tumbuh), misalnya, diberikan sebanyak 250 cc perpohon. Sedangkan pada masa generatif, diberikan sebanyak 350 cc per pohon. Setelah pohon melon ini tumbuh, maka diberikan lanjaran berupa kayu yang disilangkan untuk tempat tanaman ini merambat. Tanaman ini kemudian dibesarkan selama 65 hari, dan siap panen setelah berumur 65 hari. Keuntungan Keuntungan budi daya melon ini bisa mencapai dua kali lipat. Untuk menanam hingga memanen satu batang melon, diprediksi akan menghabiskan dana sebesar Rp5 ribu hingga Rp6 ribu. Jika sudah berbuah, maka 1 kg bisa dijual Rp7 ribu hingga Rp7500. Seandainya satu melon bisa mencapai 2 kg, maka bisa didapat Rp15 ribu. Dengan demikian, keuntungannya mencapai Rp10 ribu perpohon. Bayangkan jika ada 8 ribu pohon, tentu keuntungan akan berlipat ganda. Namun itu harus dikurangi dengan kemungkinan gagal dan ongkos lainnya sebesar 20 persen. Dari panen perdana melon percontohan ini saja bisa terjual melon seharga Rp72 juta per 65 hari. Sedangkan biaya produksi hingga pemasaran mencapai Rp35 juta. Dengan demikian, keuntungannya cukup besar. Menurut Amor, ketika kebun percontohan ini dibangun, pihaknya juga melibatkan petani. Selain petani ahli yang sengaja didatangkan, juga terdapat beberapa petani yang berasal dari Okura sendiri. Jadi kita harapkan setelah ini mereka bisa sendiri, ujar Amor. Sayangnya, belum ada kelanjutan untuk proyek ini. Pasalnya, jika ditanam di areal yang sama, maka akan muncul bibit penyakit. Untuk mengantisipasinya, maka ditanam pepohonan atau tanaman lain. Saat ini di areal itu ditanam cabe dan jagung milik petani. Dilakukannya rotasi tanam ini adalah untuk memutuskan siklus penyakit dan hama yang memang sering muncul pasca panen. Biasanya sampai dua hingga tiga musim panen atau sekitar enam hingga sembilan bulan, ujarnya. Untuk proyek di lokasi yang sama, rencananya Dinas Pertanian Pekanbaru akan membangun pada Maret hingga April 2006 mendatang. Itu tentu dengan asumsi, hama yang masih ada pada tanah dan lokasi itu bisa habis terlebih dahulu setelah ditanam tanaman lain sebagai rotasi. Sebenarnya, jika petani memiliki lahan lain dan juga modal kerja, maka melon ini bisa dikembangkan secara lebih intensif. Pasalnya, di Pekanbaru masih banyak lahan-lahan kosong yang belum tergarap. Sayangnya, petani di kota ini belum memiliki modal yang memadai untuk membuat kebun melon sendiri. Membuat kebun melon, selain perlu perencanaan yang matang, juga diperlukan biaya yang tidak sedikit. Namun, pihak Dinas Pertanian optimis bahwa melon bisa dikembangkan di Pekanbaru secara lebih baik lagi. Target kita bisa memenuhi kebutuhan pasar untuk Pekanbaru, ujar Amor. Target itu direncanakan bisa tercapai pada tiga hingga empat tahun mendatang, atau sekitar tahun 2008 hingga 2009. Menurutnya saat ini sudah ada beberapa petani dan pengusaha yang memiliki lokasi pertanian melon sendiri. Di antaranya disebutkannya ada lokasi di Rumbai sebanyak 3 ribu pohon, di Marpoyan damai 3 ribu pohon, di perbatasan Pekanbaru-Kampar 3 ribu pohon dan beberapa lokasi lainnya.***

http://www.riaupos.com/web/content/view/1128/27/

BPPT Membantu Petani Dengan Sistem Hidroponik Jumat,01 Maret 2002 09:55 Baru-baru ini, BPPT telah menerapkan system hidroponik untuk membantu meningkatkan pendapatan petani meski lahan sempit. Demikian penjelasan yang diberikan Iding Chaidir, Direktur Teknologi budidaya Pertanian BBPT kepada pers di Jakarta akhir pekan lalu. Menurut Iding, pihaknya telah membangun laboratorium lapangan untuk mengembangkan system ini. Laboratorium tersebut berada di desa Cugenang, Cipanas, kabupaten Cianjur, sebagai paket teknologi budidaya pertanian non konvensional.

Iding juga menjelaskan sebagian paket teknologi itu sudah disebarkan ke masyarakat, termasuk teknologi hidroponik rumah palstik yang terbuat dari kerangka bamboo seluas 1.200 m2 dengan sistem irigasi tetes dan menggunakan polybag. Untuk menanam 3.200 batang tanaman paprika, di rumah plastik itu dibuthkan investasi dana sebesar 73 juta. Sedang biaya produksi mulai dari pupuk hingga tenaga kerja diperkirakan sebesar 22 juta selama periode enam sampai tujuh bulan. Demikian penjelasan Iding. Dari modal sebesar itu akan didapatkan hasil sebanyak 6.400 kg dengan rata-rata harga jual 5.500 per kg. Sehingga bila dihitung-hitung nantinya diperoleh keuntungan bersih 13.320.000 rupiah atau pendapatan kotor sebesar 35.300.000 rupiah. Kalau dilihat secara umum, hidroponik memiliki beberapa keuntungandibanding menanam di tanah secara langsung. Misalnya, tanaman ini bisa ditempatkan di dalam rumah karena kebersihannya lebih terjaga. Selain itu, tanaman hidroponik juga tidak terpengaruh iklim sehingga bisa berbuah terus sepanjang dikehendaki serta terhindar dari erosi dan kekeringan. Menurut Iding, BPPT siap memberikan pelatihan bagi petani berlahan kecil untuk menggunakan teknologi tersebut. Menurutnya, paket teknologi ini dikemas sedemikian rupa sehingga lebih sederhana dan paket tingkat pelatihannya disesuaikan dengan tingkat pendidikan peserta

http://www.ristek.go.id/index.php?mod=News&conf=v&id=334

Mengatasi Kerawanan Pangan di NTT


Naik Sinukaban SEMENTARA hiruk-pikuk politik tentang kenaikan harga bahan bakar minyak belum reda, sepuluh kabupaten di Nusa Tenggara Timur dikabarkan (lagi) gagal panen. Mungkin kekeringan yang dialami oleh sebagian provinsi itu sudah berulang dan bahkan ada daerah yang mengalami kekeringan hampir setiap tahun. Namun, tahun ini kekeringan yang dialami sepuluh kabupaten itu terjadi lebih awal dari biasanya dan sudah mengakibatkan kekurangan makanan, terutama beras, di Kabupaten Lembata. SECARA umum, memang Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah daerah yang beriklim agak kering (semi arid) dengan total curah hujan 800-1.000 milimeter per tahun. Daerah yang sekarang sudah mengalami kekeringan termasuk dalam tipe kelas hujan kemarau kering, yaitu daerah yang lebih dari enam bulan mempunyai curah hujan kurang dari 60 milimeter per bulan. Karena pada saat ini adalah baru permulaan musim kemarau-tetapi beberapa kabupaten sudah mengalami gagal panen akibat kekeringan-maka patut diduga bahwa keadaan kekeringan yang lebih parah akan terjadi pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, bahkan September dan Oktober. Kalau bulan Maret sekarang saja kekeringan sudah mengakibatkan tanaman rusak, gagal panen, dan bahkan puso, maka program darurat untuk mengatasi kemungkinan kelaparan di NTT sudah sepatutnya diantisipasi oleh pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Program darurat ini bertujuan hanya untuk mengantisipasi agar tidak terjadi bahaya kelaparan di bulan-bulan mendatang melalui penyediaan dan pengiriman pangan, terutama beras yang sangat diperlukan masyarakat. Karena NTT daerah yang kering, kerawanan pangan akibat kekeringan akan selalu berulang-ulang seperti bahaya banjir di daerah yang bercurah hujan tinggi. Untuk mengatasi kerawanan pangan di NTT harus dilakukan program yang sistematis guna menghindarkan terjadinya kemungkinan kelaparan walaupun kekeringan akan selalu datang

pada musimnya. Untuk itu diperlukan program pembangunan pertanian berkelanjutan untuk daerah kering. Sementara itu, sumber daya lahan di NTT seluas 1.357.000 hektar sudah terdegradasi fungsinya. Lahan tersebut terdiri dari 1.057. 000 hektar lahan pertanian dan 300.000 hektar lahan hutan. Semua lahan pertanian tersebut dapat direhabilitasi menjadi lahan pertanian yang produktif kembali dengan teknik rehabilitasi lahan yang harus dapat dilakukan oleh petani setempat. MENURUNNYA fungsi lahan untuk berproduksi pada dasarnya karena tanahnya dangkal, kemiringan lereng agak curam sampai curam, kesuburan tanah sudah rendah, dan iklim yang kering. Untuk memproduktifkan kembali lahan tersebut harus dilakukan teknik rehabilitasi dengan konsep pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Untuk daerah kering seperti di NTT, sistem pertanian berkelanjutan (SPB) yang paling cocok direkomendasikan adalah Sistem Agroforestry (SAF). Agroforestry yang cocok di daerah ini dapat dibagi dua, yaitu SAF lebih dari 500 meter di atas permukaan laut (dpl) dan SAF kurang dari 500 meter dpl. Untuk daerah yang tingginya lebih dari 500 meter dpl, maka SAF yang disarankan adalah tanaman hutan/perkebunan seperti kemiri, lamtoro gung, atau pisang ditumpangsarikan dengan tanaman pangan seperti jagung, padi gogo, sorghum, ubi jalar, iles iles, atau bawang putih dan bawang daun. Untuk daerah yang tingginya kurang dari 500 meter dpl, maka SAF yang disarankan adalah tanaman hutan/perkebunan seperti lamtoro gung, jambu mete, atau pisang yang ditumpangsarikan dengan tanaman pangan seperti kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, padi gogo, sorghum, bawang merah atau bawang daun. Karena tanah di daerah ini pada umumnya berkadar bahan organik dan kesuburan yang rendah, maka perlu penambahan bahan organik dan pupuk yang cukup tinggi. Oleh sebab itu, SPB yang dibangun harus melibatkan ternak (sapi atau kuda). Karena iklim yang kering, di mana hujan hanya turun dalam beberapa bulan saja (2-4 bulan), maka harus dibangun embung untuk memanen air hujan di setiap usaha tani yang memungkinkan. Embung tersebut akan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air pada musim kemarau. Ukuran embung akan sangat bervariasi tergantung pada tempat, luas daerah tangkapan, dan curah hujan setempat. Apabila memungkinkan, untuk pertanaman buah-buahan yang bernilai tinggi, sistem irigasi tetes (drip irrigation system) perlu dibangun agar produksi buah-buahan kontinu dan berkualitas tinggi. Di daerah pantai yang cocok, penanaman rumput laut pun dapat dianjurkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat petani. Untuk membangun sistem pertanian berkelanjutan yang bersifat khas setempat (site specific) perlu ada program yang menyeluruh mulai dari perencanaan, pengadaan sarana produksi (saprodi), pengadaan modal, pelatihan, penyuluhan, dan pembangunan sistem monitoring dan evaluasi Sebelum diimplementasikan, setiap SPB atau SAF yang disarankan secara konseptual harus dapat memenuhi tiga indikator utama suatu pertanian yang berkelanjutan. Tiga indikator itu adalah: (1) pendapatan petani yang cukup tinggi; pendapatan petani harus dapat memenuhi kebutuhan hidup layak yang terdiri dari kebutuhan fisik minimum (pangan, pakaian, dan rumah), kebutuhan pendidikan dan rekreasi, kebutuhan kesehatan dan kegiatan

sosial, serta kebutuhan tabungan dan asuransi. Untuk itu komoditas yang dipilih harus yang cocok untuk setiap daerah agar produksinya tinggi dan laku di pasar. (2) Agroteknologi yang diterapkan harus dapat meningkatkan kesuburan tanah dan mempertahankan produktivitas tanah tanpa penurunan kualitas lingkungan sepanjang masa. (3) Agroteknologi yang diterapkan harus dapat diterima dan dikembangkan oleh petani dengan pengetahuan yang mereka miliki atau pengetahuan yang diperkirakan dapat ditambahkan kepada mereka melalui penyuluhan. Bila ketiga indikator utama tersebut dapat disamakan, akan berkelanjutan sepanjang masa. Dengan terbangunnya SPB atau SAF yang disarankan, kerawanan pangan yang mungkin sudah terjadi berulang-ulang di NTT akan dapat teratasi. Prof Dr Ir Naik Sinukaban MSc Guru Besar Konservasi Tanah dan Air, Institut Pertanian Bogor, Pengamat Pembangunan Pertanian dan Lingkungan Hidup http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/19/Fokus/1628299.htm

Rekayasa Peralatan Irigasi Untuk Menunjang Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (Jagung dan Buah-buahan), 2000. Prabowo, Abi; Firmansyah, Imam Uddin; IGP. Sarasutha Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia lainnya

Penelitian ini dilaksanakan pada TA. 2000 di lnstalasi Sidondo Sulawesi Tengah. Penelitian Perekayasaan ini terdiri atas : (1) rancang bangun peralatan irigasi tipe pancar untuk penyiraman tanaman kacang tanah dan jagung; (2) peralatan irigasi tipe tetes untuk penyiraman tanaman semangka,cabe dan timun. Total luas lahan yang dipergunakan adalah 1 ha. Faktor penting yang di evaluasi dalam perancangan sistem irigasi tetes dan pancar adalah kelayakan sistem secara teknis. Kelayakan teknis mencakup : panjang jaringan pipa distribusi, diameter selang dan lubang penetes, tekanan pada pipa, dll. Tahap uji awal rekayasa alat penetes dilakukan di laboratorium dengan karakieristik hidrolik pipa yang diperoleh adalah : (a) tekanan antara 0,145 - 0,334 atm; (b) kecepatan antara 0,278 0,825 m/d; (c) panjang pipa leteral antara 0,4 - 3,9 m; (d) bilangan Reynold antara 4642 - 13758; (e) faktor gesekan antara 0,0292 - 0,038; (f) frictionloss 2,5 x 10 kg/m2. Dengan bantuan analisa dimensi diperoleh panjang optimum pipa lateral untuk irigasi pancar adalah 10 m dengan debit keluaran yang diinginkan sebesar 0,96 ml/dt. Jarak lemparan air dari lubang pancar adalah 20 - 25 cm. Jarak tersebut apabila dipergunakan untuk menyiram tanaman jagung berarti pipa pancar diletakkan di dalam barisan tanaman. Jarak tanam jagung adalah 75 cm (antar baris) dan 20-25 cm dalam baris, sehingga pemasangan pipa menunjang diantara tanaman. Untuk tanaman kacang tanah dengan jarak tanam 20 cm x 40 cm maka pemasangannya diantara baris tanaman. Panjang optimum pipa lateral untuk irigasi tetes adalah 16 meter dengan debit yang diinginkan 0.32 ml/dt. Panjang optimum pipa lateral 16 meter dipilih karena setelah itu selisih antara debit hitung dan observasi sudah banyak berbeda serta debit minimal yang diinginkan adalah 0,4 ml/dt. Hubungan antara tekanan air dan debit yang keluar dan pipa lateral untuk masing-masing peralatan irigasi menyatakan bahwa mengoperasikan irigasi pancar agar memenuhi debit harapan sebanvak 3 ml/dt hanya dibutuhkan tekanan air kurang dari 0,4 kg/cm2. Tekanan tersebut dapat terpenuhi dari operasional pompa air diameter pipa 3 inci dengan putaran enjin motor 2000 - 3000 rpm.

Hasil panen dari beberapa komoditas yang ditanam semangka menghasilkan 7 t/ha, jagung 3,8 t/ha kacang tanah 2,2 t/ha, dan cabai besar 5 t/ha

http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id/abstrak/th_2000/irigasi_tanaman_pangan_hortikult ura.htm

You might also like