You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN I.1.

LATAR BELAKANG Sistem saraf merupakan sel yang sangat khusus yang dapat menghantarkan dan memicu rangsangan listrik secara hayati. Mereka berkomunikasi dengan sel saraf lain melalui jaringan kerja yang rumit dan dapat mengatur semua jaringan dan organ. Sel saraf dapat terangsang atau di hambat karena membran sel saraf permeabilitasnya pengaruh atau

kepermeabelannya endogen atau obat.

mudah

berubah

karena

neurotrasmitter

Kolenergik atau parasimpatomimetik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, dan lain-lain, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah, memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya.

I.2. MAKSUD DAN TUJUAN PERCOBAAN I.2.1 MAKSUD PERCOBAAN Mengetahui dan memahami efek pilokarpin dan adrenalin pada hewan coba mencit (Mus musculus) I.2.2 TUJUAN PERCOBAAN a. Mengetahui efek pilokarpin pada mencit (Mus musculus) b. Mengetahui efek adrenalin pada mencit (Mus musculus) c. Mengetahui efek NaCl pada mencit (Mus musculus) I.III PRINSIP PERCOBAAN Perlakuan terhadap hewan coba mencit (Mus musculus) untuk mengetahui efek pilokarpin dan adrenalin.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 TEORI UMUM Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadar dan sistem saraf tak sadar (sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat diatur otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi keringat. Di dalam sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung ganglion disebut urat saraf post ganglion (4). Sistem saraf otonom dapat dibagi atas sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik terletak pada posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga mempunyai urat pra ganglion pendek, sedangkan saraf parasimpatik mempunyai urat pra ganglion yang panjang karena ganglion menempel pada organ yang dibantu (4). Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Sistem saraf parasimpatik terdiri dari keseluruhan nervus vagus bersama cabang-cabangnya ditambah dengan beberapa saraf otak lain dan saraf sumsum sambung. Selain itu, fungsi saraf otonom pada sistem saraf simpatik, diantaranya sebagai berikut : 1.memperbesar pupil. 2.menghambat aliran ludah.

3.mempercepat denyut jantung. 4.mengecilkan bronkus. 5.menghambat sekresi kelenjar pencernaan. 6.menghambat kontraksi kandung kemih. Sedangkan, fungsi saraf otonom pada sistem saraf parasimpatik, diantaranya sebagai berikut : 1.mengecilkan pupil. 2.menstimulasi aliran ludah. 3.memperlambat denyut jantung. 4.membesarkan bronkus. 5.menstimulasi sekresi kelenjar pencernaan. 6.mengerutkan kantung kemih (4). Kelenjar saliva merupakan salah satu kelenjar dalam sistem pencernaan yang akan meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem saraf parasimpatik atau oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi sebaliknya, jika diberikaan obat-obat yang aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik atau bersifat parasimpatolitik, maka aktivitas kelenjar saliva akan menurun. System saraf otonom adalah system saraf yang bekerja tanpa mengikuti kehendak dan kemauan kita. Misalnya detak jantung, mata berkedip, kesadaran, pernafasan maupun pencernaan makanan. Menurut fungsi dan tanda tanda morfologinya system saraf otonom dibedakan menjadi dua yaitu, system saraf simpatik dan system saraf parasimpatik (4). Pada umumnya system saraf simpatik dan system saraf parasimpatik bekerja berlawanan tetapi dalam beberapa hal bersifat sinergis. Rangsangan dari susunan saraf pusat untuk sampai ke ganglion efektor memerlukan suatu penghantar yang disebut dengan

neurotransmiter. Bila rangsangan tersebut berasal dari saraf simpatis maka neurohormon yang bekerja adalah noradrenalin (adrenalin) atau

norepinephrin (epinefrin). Sebaliknya apabila rangsangan tersebut berasal dari saraf parasimpatis, maka neurohormon yang bekerja adalah asetilkolin (4). Untuk menghindari akumulasi dari neurohormon yang dapat mengakibatkan perangsangan saraf terus menerus maka neurohormon harus diuraikan oleh enzim khusus yang terdapat dalam darah maupun jaringan..Efek samping dosis tinggi pada jantung adalah berdebar, gelisah, gemetaran dan muka merah. Turunan yang paling sering digunakan adalah feneterol, terbutalin dan salbutamol. Simpatolitik / adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatis ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dll. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatis: Para simpatomimetik / kolinergik Kolenergik atau parasimpatomimetik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, dan lain-lain, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah, memperlambat pernafasan, antara lain dengan

menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi

pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya (4). Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal (4). Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan study ikatan dan panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M 2 terdapat dalam otot polos dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula (5). Sejumlah mekanisme molekular yang berbeda terjadi dengan menimbulkan sinyal yang disebabkan setelah asetilkolin mengikat reseptor muskarinik. Sebagai contoh, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan, maka reseptor ini akan mengalami perubahan konformasi dan berinteraksi dengan protein G, yang selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase C. Akibatnya akan terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)bifosfat (PIP2) menjadi diasilgliserol (DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat (IP3) yang akan meningkatkan kadar Ca++ intrasel. Kation ini selanjutnya akan berinteraksi untuk memacu atau menghambat enzim-enzim atau menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi

subtipe M2 pada otot jantung memacu protein G yang menghambat adenililsiklase dan mempertinggi konduktan K+, sehingga denyut dan kontraksi otot jantung akan menurun (5). Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan

neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular secara spesifik dihambat oleh turbokurarin (5). Stimulasi reseptor ini oleh kolenergika menimbulkan efek yang menyerupai efek adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama sekali. Misalnya vasokonstriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan jantung, juga stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan blokade neuromuskuler (4). Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung dan zat-zat dengan kerja tak langsung. Kolinergika yang bekerja secara langsung meliputi karbachol, pilokarpin, muskarin, dan arekolin (alkaloid dari pinang, Areca catechu). Zat-zat ini bekerja secara langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja utama yang mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium kwaterner yang bersifat hidrofil dan sukar larut memasuki SSP, kecuali arekolin (4).

Sedangkan kolinergika yang bekerja secara tak langsung meliputi zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, dan

piridogstimin. Obat-obat ini merintangi penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya untuk sementara. Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh segera akan dirombak lagi. Disamping itu, ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara irreversibel, misalnya parathion dan organofosfat lainnya. Kerjanya panjang, karena bertahan sampai enzim baru terbentuk lagi. Zat ini banyak digunakan sebagai insektisid beracun kuat di bidang pertanian (parathion) dan sebagai obat kutu rambut (malathion). Gas saraf yang digunakan sebagai senjata perang termasuk pula kelompok organofosfat ini, misalnya Sarin, Soman, dan sebagainya 4). Salah satu kolinergika yang sering digunakan dalam pengobatan glaukoma adalah pilokarpin. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek. Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian. Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turun dengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsung sekitar sehari dan dapat diulang kembali. Obat

penyekat kolinesterase, seperti isoflurofat dan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. Disamping kemampuannya dalam mengobati glaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan (5). 2. Parasimpatolitik / anti kolinergik yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatis ditekan atau melawan efek kolinergik. Semua antikolinergik memperlihatkan kerja yang hampir sama tetapi daya afinitasnya berbeda terhadap berbagai organ, misalnya atropin hanya menekan sekresi liur, mukus bronkus dan keringat pada dosis kecil, tetapi pada dosis besar dapat menyebabkan dilatasi pupil mata, gangguan akomodasi dan penghambatan saraf fagus pada jantung. Antikolinergik juga memperlihatkan efek sentral yaitu

merangsang pada dosis kecil tetapi mendepresi pada dosis toksik (5) Penggunaan Senyawa ini mengandung Nitrogen bervalensi bersifat basa kuat dan terionisasi baik, maka sulit melewati sawar darah otak sehingga tidak memiliki efek sentral. Khasiat antikolinergiknya lemah dengan kerja spasmolitik yang lebih kuat dari atropin dan efek samping lebih ringan. Penggunaan untuk meredakan peristaltik lambung-usus dan meredakan organ dalam. Yang termasuk dalam golongan ini adalah: propantelin, oksifenium, mepenzolat, isopropamida dan ipratropium (5) II.2 URAIAN HEWAN COBA II.2.1. Karakteristik hewan coba 1. Mencit (Mus musculus) a. Masa pubertas b. Masa beranak c. Masa hamil d. Jumlah sekali lahir e. Masa hidup : 4 5 hari (poliestrus) : 7 18 bulan : 19 21 hari : 10 12 ekor : 1,5 3,0 tahun

f. Masa tumbuh g. Masa menyusui h. Frekuensi kelahiran i. j. Suhu tubuh Laju respirasi

: 50 hari : 21 hari : 6 10 kali kelahiran : 36,5 -38,0 0 C : 163 x / mn : 113-147/81-106 mm Hg : 76 80 mg/kg : 20 g : 36 cm

k. Tekanan darah l. Volume darah

m. Luas permukaan tubuh II.2.2. Klasifiasi hewan coba a. Mencit (Mus musculus) Filum Kelas Ordo Family Subfamily Genus Spesies II.3 URAIAN BAHAN 1. Aquadest (FI edisi III hal 96) Nama resmi Nama lain Rumus Kimia Berat molekul Pemeriaan : Chordata : Mamalia : Rodentia : Muridae : Murinae : Mus : Mus musculus

: AQUA DESTILLATA : Air suling : H2O : 18,02 : Cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa.

Penyimpanan K/P

: dalam wadah yang tertutup baik : Pelarut

BAB III METODE KERJA III.1. ALAT DAN BAHAN A. ALAT YANG DIGUNAKAN Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini adalah papan datar bulat,alat kasar, gelas kimia, spoit 1 cc, labu ukur 10 ml, dan gelas ukur B. BAHAN YANG DIGUNAKAN Adapun nahan yang di gunakan pilokarpin, adrenalin dan larutan NaCl fisiologis steril III.2. CARA KERJA III.2.1. PENGENCERAN LARUTAN PILOKARPIN a. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan b. Dihitung dosis parenteral c. Diambil 1 ml larutan pilokarpin dengan menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur 4 ml lalu di cukupkan hingga 4 ml dengan menggunakan aquadest d. Diambil 1 ml larutan pilokarpin dari gelas ukur dengan menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml lalu di cukupkan hingga 10 ml dengan

menggunakan aquadest e. Diambil 1 ml larutan pilokarpin dari labu ukur dengan menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml lalu di cukupkan hingga 10 ml dengan

menggunakan aquadest f. Larutan siap digunakan

III.2.2. PENGENCERAN LARUTAN ADRENALIN a. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan b. Dihitung dosis parenteral adrenalin c. Diambil 1 ml larutan adrenalin dengan menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur 4 ml lalu di cukupkan hingga 4 ml dengan menggunakan aquadest d. Diambil 1 ml larutan adrenalin dari gelas ukur dengan menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml lalu di cukupkan hingga 10 ml dengan

menggunakan aquadest e. Diambil 1 ml larutan adrenalin dari labu ukur dengan menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml lalu di cukupkan hingga 10 ml dengan

menggunakan aquadest f. Larutan siap digunakan III.2.3. PENGENCERAN LARUTAN NaCl FISIOLOGIS STERIL a. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan b. Dihitung dosis parenteral c. Diambil 1 ml larutan NaCl dengan menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur 4 ml lalu di cukupkan hingga 4 ml dengan menggunakan aquadest d. Diambil 1 ml larutan NaCl dari gelas ukur dengan menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml lalu di cukupkan hingga 10 ml dengan

menggunakan aquadest e. Diambil 1 ml larutan NaCl dari labu ukur dengan

menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml lalu di cukupkan hingga 10 ml dengan

menggunakan aquadest

f. Larutan siap digunakan III.2.4. PEMBERIAN PARENTERAL PILOKARPIN,ADRENALIN DAN NaCl PADA MENCIT a. Diambil larutan pilokarpin 1 ml dengan menggunakan spoit 1cc b. Disuntikkan pada mencit (Mus musculus) jantan dan betina larutan pilokarpin sesuai dengan perhitungan dosis

berdasarkan berat badan mencit c. Diamati gejala yang timbul pada hewan percobaan seperti miosis,midriasis,vasokonstriksi,vasodilatasi,tremor,grooming, saliva,straub dan diare d. Diberi perlakuan yang sama pada mencit betina dan jantan dengan menggunakan larutan adrenalin dan NaCl

BAB IV HASIL PENGAMATAN

IV.1. TABEL HASIL PENGAMATAN Efek 5 Mioisis Midriasis Vasokonstriksi Vasodilatasi Tremor Grooming Saliva Straub Diare + pilokarpin 10 + + + 15 + + + + + 5 + + + NaCl 10 + + 15 + + 5 + Adrenalin 10 + + + 15 + + + + + -

BAB V PEMBAHASAN Adapun percobaan yang akan dilakukan pada praktikum kali ini adalah untuk mengetahui efek pilokarpin dan adrenalin pada mencit serta menggunakan larutan NaCl sebagai larutan pembanding, pertama tama yang dilakukan adalah menimbang hewan coba mencit jantan dan mencit betina kemudian di hitung dosis parenteral pilokarpin, adrenalin dan NaCl untuk pemberian parenteral, penggunaan mencit betina dan jantan bertujuan sebagai hewan pembanding Dilakukan pengenceran pilokarpin dengan mengambil 1cc cairan pilokarpin dengan menggunakan spoit kemudian memasukkannya kedalam gelas ukur 4 ml dicukupkan dengan menggunakan aquadest selanjutnya cairan yang berada didalam gelas ukur di ambil 1cc kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 10 ml dan dicukupkan lagi dengan menggunakan aquadest untuk yang terakhir larutan pilokarpin yang sudah diencerkan 2 kali ini diambil lagi 1cc kemudian dimasukkan kedalam labu ukur yang terakhir kemudian dicukupkan hingga 10 ml, perlakuan yang sama di lakukan pada bahan yang lain seperti adrenalin dan NaCl. Untuk penimbangan pada hewan coba terlebih dahulu diberi tanda untuk mencit betina pertama di beri tanda pada ekor satu garis dengan menggunakan spidol, hewan betina kedua diberi tanda dua garis dan begitu seterusnya begitu juga pada hewan coba jantan pemberian tanda ini dilakukan agar hewan coba lebih mudah di tandai bobotnya sehingga dalam pemmberian parenteral volume yang akan diberikan telah diketahui berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan perhitungan berat badan mencit

Selanjutnya pemberian parenteral perlakuan sedapat mungkin di lakukan secara steril karena sediaan-sediaan yang digunakan adalah sediaan steril dan bertujuan penggunaan secara parenteral setelah mencit jantan dan mencit betina di suntik hewan coba diamati gejala-gejala yang ditimbul dari efek efek pemberiaan sediaan pilokarpin, adrenalin, dan NaCl Berdasarkan hasil pengamatan gejala yang timbul berbeda-beda pada menit kelima,kesepuluh dan kelima belas data dapat dilihat pada table hasil pengamatan

BAB VI PENUTUP VI.1. KESIMPULAN Berdasarkan data pengamatan dapat disimpulkan bahwa terjadi perbedaan gejala pada hewan percobaan mencit setelah pemberian pilokarpin, adrenalin dan larutan NaCl fisiologis steril pada menit 510 dan 15 hal ini disebabkan adanya efek farmakodinamik system saraf otonom mencit jantan dan betina setelah pemberiaan ketiga sediaan VI.2. SARAN Diharapkan agar asisten selalu mendampingi praktikan saat praktikum dilaksanakan, agar kesalahan menjadi sekecil mungkin saat praktikum.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim: system saraf otonom: http://khairulanas. blogspot. com/2012/03/ sistem syara fotonom.html#ixzz0VGzVxRIE diakses tanggal 8/4/11 2. Pratiwi, DA. Biologi 2. Jakarta: Erlangga..1996. 3. Pearce,Evelyn. Anatomi dan fisiologis PT.gramedia pustaka utama.2006 untuk paramedis. jakarta:

4. Jay,than hoon dkk. Obat-obat penting. Jakarta: Gramedia.2002 5. Mursyidi achmad. 1989. Analisis metabolit sekunder. UGM. Yogyakarta. 2002. 6. Dirjen POM.1979. Farmakope Indonesia Edisi III.Jakarta: Depkes RI.

You might also like