You are on page 1of 5

Contextual Teaching and Learning (CTL) Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual (CTL) adalah salah satu topik hangat

dalam dunia pendidikan saat ini. CTL juga telah banyak diterapkan dalam dunia pendidikan Indonesia, mulai dari TK sampai tingkat Universitas dan dinilai berhasil dalam membantu siswa untuk mencapai standar akademis yang tinggi. Penemuan-penemuan terbaru dalam ilmu pengetahuan modern tentang otak, dan prinsip-prinsip dasar tertentu yang menyokong semua sistem kehidupan dan keseluruhan alam semesta, menjadi dasar bagi pembelajaran dan pengajaran kontekstual. CTL adalah sebuah sistem yang bersifat menyeluruh yang menyerupai cara alam bekerja. (Jonshon, Elaine B., 2002) Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual merupakan suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan

menghubungkan muatan akademik dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Dalam prosesnya, melibatkan para siswa dalam aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para siswa melihat makna di dalam tugas sekolah. Dalam CTL terdapat 7 (tujuh) prinsip yaitu: Konstruktivisme, bertanya, masyarakat belajar, refleksi, inkuiri, authentic assessment dan modeling (Ibrahim, 2007). Pertama, kostruktivisme. Dalam pandangan ini strategi yang diperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Karena itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi kesempatan pada siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Sungguh sempurna bagi sebuah model pembelajaran yang mengedepankan siswa sebagai pusat belajar. (Sudrajat, 2007)

Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja mandiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Setiap manusia harus menjadi pembelajar aktif sepanjang hayat. Jadi pendidikan formal merupakan kawah candradimuka bagi siswa untuk menguasai cara belajar untuk belajar mandiri di kemudian hari. Untuk itu, mereka harus dilatih berpikir kritis dan kreatif dalam mencari dan menganalisis informasi dengan sedikit bantuan atau malah secara mandiri. Kedua, bertanya. Sudrajat (2007) mengungkapkan: Dalam bentuk formalnya sebagai salah satu kegiatan dalam mengawali, menguatkan, dan menyimpulkan sebuah konsep. Bentuknya bisa dilakukan guru langsung kepada siswa atau justru memancing siswa untuk bertanya kepada guru, kepada siswa lain atau kepada orang lain secara khusus. Tak dapat dipungkiri lagi, kegiatan ini sangatlah menunjang setiap aktivitas belajar. Bukankah pengetahuan yang dimiliki seseorang biasanya berawal dari bertanya. Menggunakan bertanya sebagai alat belajar serta mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. Sebuah pertanyaan dapat memunculkan problem yang dihadapi bersama, sehingga siswa akan merasa ditantang untuk berpikir kritis untuk memecahkannya. Problem seperti ini membawa makna personal dan sosial bagi siswa. Ketiga, masyarakat belajar. Menurut Sudrajat (2007), Konsep masyarakat belajar (learning community) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada komunikasi dua arah, yaitu guru terhadap siswa dan sebaliknya, siswa dengan siswa. Berbagai penelitian memang telah banyak menguji keberhasilan bentuk sharing pengetahuan ini, khususnya pembelajaran teman sebaya.

Menciptakan masyarakat belajar dimana siswa belajar dalam kelompok saling berbagi tanggungjawab dan bergantung satu sama lain. Siswa seharusnya dibiasakan saling belajar dari dan dalam kelompok untuk berbagi pengetahuan dan menentukan focus belajar. Dalam setiap kelompok selalu ada siswa yang menonjol. Siswa ini dapat dijadikan fasilitator dalam kelompoknya. Apabila komunitas belajar sudah terbina sedemikian rupa di sekolah, guru tentu akan lebih barperan sebagai pelatih, fasilitator dan mentor. Keempat, refleksi. Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari dan dilakukan setiap peserta belajar. Guru mengkoreksi dirinya, siswa dikoreksi oleh gurunya. Nilai hakiki dari prinsip ini adalah semangat introspeksi untuk perbaikan pada kegiatan pembelajaran berikutnya. Sepintas, inilah satusatunya model belajar yang mengembangkan kegiatan berbau introspeksi. Padahal, jika kita mau jujur dengan pembelajaran model lain pun yang ada, semuanya memuat prinsip ini. Masalahnya, diformalkan atau tidak diformalkan bahwa refleksi sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran. (Sudrajat, 2007) Melakukan refleksi di akhir pertemuan agar siswa merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu. Sehingga minimal, siswa merasa mengalami perubahan dari tidak tahu menjadi tahu setelah mengikuti pembelajaran. Kelima, inkuiri. Dalam Sudrajat (2007) dijelaskan bahwa: Prinsip ini mempunyai seperangkat siklus, yaitu: observasi, bertanya, mengajukan, dugaan, mengumpulkan data, dan menyimpulkan. Sebagai sebuah model pembelajaran, prinsip inkuiri sangat tepat bagi penanaman konsep yang membutuhkan kerja eksplorasi dalam bentuk induktif seperti materi-materi IPA. Meski bisa pula diterapkan materi lain selain IPA seperti bahasa Indonesia bahkan matematika. Kesulitan muncul tatkala dihadapkan pada penyampaian konsep beraroma deduktif. Melaksanakan kegiatan inkuiri untuk mencapai kompetensi yang diinginkan di semua bidang studi.standar unggul sering dipersepsi sebagai jaminan untuk

mendapat pekerjaan atau minimal membuat siswa merasa percaya diri untuk menentukan pilihan masa depan. Frasa standar unggul seharusnya terus menerus dibisikkan pada telinga siswa untuk mengingatkan agar menjadi manusia kompetitif pada abad persaingan seperti sekarang ini. Dengan demikian, sekolah seharusnya menentukan kompetensi lulusan yang dari waktu ke waktu terus ditingkatkan. Setiap sekolah juga harus melakukan uji mutu dengan melakukan studi banding ke berbagai sekolah. Keenam, authentic assessment. Sudrajat (2007) memberikan pendapat sebagai berikut: Penilaian autentik, penilain jenis ini memandang bahwa kemajuan belajar diniliai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanyalah salah satunya. Itulah hakekat penilaian autentik. Memang, selama ini forma tes matematika cenderung menekankan pada pengujian produk bukan proses. Hal ini terjadi karena sistem dan aturan yang dikembangkan menuntut untuk melakukan tes hanya produk saja. Tetapi, apakah benarbenar efektif bahwa tes autentik sebagai perangkat tes yang dapat dikembangkan dalam matematika. Ini perlu kajian mendalam. Terlalu dini jika pembuat kebijakan mengharuskan guru menyusun format tes autentik untuk para siswanya tanpa didampingi oleh suatu ilustrasi (contoh) atau apa saja namanya tentang tes autentik. Melakukan penilaian yang sebenarnya dari beberapa sumber informasi dan dengan berbagai cara. Mengapa demikian? Karena kontekstual hampir berarti individual, yakni mengakui adanya kekhasan sekaligus keluasan dalam pembelajaran, materi ajar dan prestasi yang dicapai siswa. Materi bahasa yang autentik meliputi Koran, menu, program radio, televisi dan sebagainya. Penilaian autentik menunjukkan bahwa belajar telah berlangsung secara terpadu dan kontekstual, dan memberi kesempatan pada siswa untuk maju terus sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Ketujuh, modeling. Tampaknya, prinsip inilah yang menjadi primadona CTL dibandingkan dengan beberapa model pembelajaran lainnya. Pemodelan menurut versi CTL, guru bukan satu-satunya model, melainkan harus memfasiliitasi suatu model tentang bagaimana cara belajar baik dilakukan oleh siswa maupun oleh guru sendiri. Memang, setelah dipraktekan penulis, prinsip inilah yang paling sukar. Kesulitan yang sering muncul adalah merancang sebuah modeling tentang suatu konsep. Apalagi bila tuntutannya sempit, yaitu pemodelan yang terkait dengan konteks lingkungan siswa, bukan terkait dengan konteks apa yang sudah tertanam dalam diri siswa. (Sudrajat, 2007) Menunjukkan model sebagai contoh pembelajaran, menggunakan benda, guru, siswa lain, karya inovatif dan lain-lain. Makna itu ada di mana-mana dalam konteks fisikal dan sosial.selama ini, ada yang keliru, menanggap bahwa makna (pengetahuan) adalah yang tersaji dalam materi ajar atau buu teks saja. Dalam CTL, guru membermaknakan pusparagam konteks (skolah, keluarga, masyarakat, tempat kerja dan sebagainya), sehingga makna yanmg diperoleh siswa menjadi semakin berkualitas.

You might also like