You are on page 1of 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Mitigasi Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU No. 24 tahun 2007). Mitigasi sebagai upaya pengurangan risiko bencana memiliki sifat struktural dan nonstruktural. Mitigasi struktural merupakan upaya yang berbentuk fisik untuk dapat mengurangi dampak dari ancaman bencana, misalnya pembangunan sarana dan prasarana yang mampu untuk mengurangi dampak dari ancaman bencana. Sedangkan mitigasi non-struktural merupakan upaya yang berkaitan dengan kebijakan, sosialisasi kepada masyarakat, dan penyediaan informasi kepada masyarakat sehingga mampu untuk mengurangi dampak dari bencana. Dengan adanya kombinasi antara mitigasi struktural dan mitigasi nonstruktural, maka diharapkan masyarakat akan lebih peka terhadap ancaman bencana yang terdapat di sekitar tempat tinggalnya misalnya dengan pembangunan rumah tahan gempa , maka masyarakat akan sadar bahwa di tempat pembangunan tersebut merupakan daerah yang memiliki potensi gempa bumi atau dengan adanya pengerukan sungai, maka masyarakat akan sadar bahwa di lokasi pengerukan tersebut merupakan daerah rawan banjir.

11

12

Pembangunan rumah tahan gempa dan pengerukan sungai tidak akan mampu memenuhi tujuan tanpa adanya sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi dapat berupa penyuluhan, penyebaran pamflet, maupun pemasangan rambu yang menjelaskan mengenai tujuan dibangunnya rumah tahan gempa dan pengerkan sungai. Oleh karena itu, mitigasi struktural dan mitigasi non-struktural harus berjalan secara simultan. B. Bencana Menurut keputusan Sekretaris Badan Koordinasi Nasional

Penanggulangan Bencana dan Penaganan Pengungsi Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, yang dimaksud bencana adalah : Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan atau oleh keduanya yang mengakibatkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bencana alam menurut Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung (2009 : 2) adalah gejala ekstrim alam dimana masyarakat tidak siap mengahadapinya. Jelas ada dua hal yang berinteraksi yakni gejala alam, masyarakat, atau sekumpulan manusia yang berinteraksi dengan gejala alam. Berdasarkan dua pengertian di atas, maka jelas bahwa bencana merupakan peristiwa yang diakibatkan oleh manusia, alam, maupun gabungan dari keduanya yang menimbulkan korban penderitaan manusia maupun kehilangan harta benda, serta merusak sistem kehidupannya. Bencana terbagi menjadi tiga yaitu, bencana alam, bencana non-alam, dan bencana manusia. Bencana alam merupakan

13

bencana yang disebabkan oleh adanya gejala alam. Gejala alam baru disebut sebagai bencana ketika bertemu dengan kerawanan, misalnya kejadian gempa bumi merupakan ancaman bagi daerah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi. Dalam hal ini kedudukan gempa bumi adalah sebagai ancaman, sedangkan kedudukan kepadatan penduduk merupakan kerawanan. Selanjutnya, bencana non-alam merupakan bencana yang disebabkan oleh hal-hal selain dari alam dan manusia. Bencana yang masuk kategori ini adalah bencana yang diakibatkan oleh kegagalan teknologi dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh manusia. Bencana yang masuk ke dalam kategori ini antara lain teror bom dan konflik antar kelompok masyarakat. Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made disaster) (UNDP, 2006 : 4). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana adalah sebagai berikut. 1. Bahaya alam dan bahaya karena ulah manusia dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi, bahaya hidrometeorologi, bahaya biologi, bahaya teknologi dan penurunan kualitas lingkungan. 2. Kerentanan yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kota atau kawasan yang berisiko bencana. 3. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat. Secara geologis Indonesia terletak di antara tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Hindia Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia. Pada Sumatera bagian barat, Jawa bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku

14

terdapat fenomena ring of fire yang menjadikan Indonesia memiliki potensi besar terhadap bencana geologis seperti gempa bumi, tanah longsor, tsunami, dan erupsi gunung api. Indonesia juga memiliki kekayaan mineral seperti emas, nikel, tembaga, dan barang tambang lainnya. Selama kurun waktu 1600-2010, Indonesia telah mengalami gempa bumi yang disebabkan oleh peregerakan lempeng. Gempa bumi dengan kekuatan lebih dari enam skala richter juga berimbas terhadap kejadian tsunami. Dampak tsunami akan parah jika morfologi pantai relatif datar dengan penggunaan lahannya didominasi oleh kawasan terbangun. Tsunami di Nangroe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2004 merupakan contoh nyata betapa hebatnya dampak dari pergerakan lempeng yang mengakibatkan gempa bumi dengan kekuatan 8,9 skala richter dan diikuti oleh gelombang tsunami yang memporak-porandakan semua yang dilewatinya. Korban jiwa akibat peristiwa itu pun tidak kurang dari 200.000 jiwa. Bencana ini sempat mengundang simpati dari berbagai belahan dunia, sehingga bencana ini sering disebut sebagai bencana kemanusiaan. Gempa lain yang cukup besar juga melanda Daerah Istimewa Yogyakarta pada Mei 2006. Peristiwa ini banyak menelan korban jiwa dan meratakan sebagian infrastruktur yang ada di Yogyakarta. Gempa Yogyakarta merupakan gempa yang episentrumnya terletak pada aktivitas patahan Opak yang masih aktif, namun banyak masyarakat yang belum mengetahui mengenai keaktifan patahan ini dan dampak yang akan ditimbulkan jika patahan ini melepaskan energi. Oleh karena itu, dibutuhkan pengetahuan kebencanaan yang cukup bagi masyarakat

15

mengenai berbagai macam ancaman bencana yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Gempa Yogyakarta juga menjadi pemicu munculnya perdebatan mengenai aktivitas Patahan Lembang yang juga aktif dan menjadi ancaman bagi aktivitas penduduk di Kota Bandung dan sekitarnya. Apalagi Kota Bandung memiliki batuan endapan danau muda yang belum terkonsolidasi dengan baik, sehingga jika terjadi gempa maka diprediksi akan merusak infrastruktur Kota Bandung dan menimbulkan banyak korban jiwa yang dikarenakan oleh tingkat kepadatan penduduk yang sangat padat. Bencana geologis, terdapat pula bencana sosial, bencana lingkungan, dan bencana akibat kegagalan teknologi. Bencana sosial sering terjadi di Indonesia terutama di Indonesia bagian timur. Konflik antar suku, antar agama, antar desa, dan tawuran pelajar merupakan contoh dari bencana sosial. Biasanya bencana sosial dipicu oleh adanya kesalahpahaman atau masalah pribadi yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Bencana lingkungan merupakan bencana yang disebabkan oleh adanya aktivitas manusia yang mengeksploitasi lingkungan sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan bencana. Bencana lingkungan sering terjadi karena pihak pelaku industri biasanya tidak mematuhi regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Keuntungan besar merupakan orientasi utama dalam melaksanakan aktivitas industri, sehingga faktor sumber daya sering diabaikan. Kegagalan teknologi juga merupakan bencana yang terkait dengan kesalahan manusia dalam menciptakan teknologi yang diakibatkan oleh bahan

16

yang kurang berkualitas, proses pembuatan yang kurang baik, atau sumber daya manusianya yang kurang memiliki kapabilitas contohnya kecelakaan transportasi. C. Risiko Bencana Menurut United States Agency for International Development (2009:10), yang dimaksud risiko bencana adalah : Kemungkinan terjadinya kerugian pada suatu daerah akibat kombinasi dari bahaya, kerentanan, dan kapasitas dari daerah yang bersangkutan. Pengertian yang lebih mudah dari risiko adalah besarnya kerugian yang mungkin terjadi (korban jiwa, kerusakan harta, dan gangguan terhadap kegiatan ekonomi) akibat terjadinya suatu bencana. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, pengertian risiko bencana adalah : Potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Berdasarkan dua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui risiko bencana yang terdapat di suatu daerah, maka terlebih dahulu harus mengetahui jenis bahaya, kerentanan, dan kapasitas daerah. Semakin rentan suatu daerah, maka tingkat risiko daerah tersebut akan tinggi. Apalagi jika masyarakat di daerah itu tidak memiliki kapasitas yang baik dalam penanggulangan bencana. D. Kerentanan Kerentanan adalah rangkaian kondisi yang menentukan apakah suatu bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan dapat menimbulkan bencana (United States Agency for International Development, 2009 : 9). Kerentanan dibagi menjadi kerentanan fisik, kerentanan sosial

17

kependudukan, dan kerentanan ekonomi. Kerentanan fisik misalnya kondisi permukiman yang terletak di dekat patahan aktif sedangkan kerentanan sosial kependudukan misalnya kepadatan penduduk di suatu permukiman sangat padat. Kerentanan fisik merupakan kerentanan yang diakibatkan oleh adanya gejala alam yang berpotensi menimbulkan bencana. Kerentanan sosial kependudukan merupakan kerentanan yang disebabkan oleh adanya aktivitas manusia yang memicu timbulnya bencana sedangkan kerentanan ekonomi terkait dengan pendapatan masyarakat. Semakin rendah pendapatan penduduk maka dianggap penduduk tersebut lebih rentan terhadap bencana gempa bumi. Dua hal ini sangat berkaitan karena semakin tinggi kerentanan sosial kependudukan yang ada di suatu tempat, maka akan semakin tinggi pula tingkat kerentanan fisik yang mengancam. Kerentanan ekonomi juga masih terkait dengan kerentanan fisik dan kerentanan sosial kependudukan. Kerentanan ekonomi merupakan kerentanan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Mata pencaharian dan pendapatan merupakan aspek yang termasuk ke dalam kerentanan ekonomi. Mata pencaharian dalam hal ini dilihat dari tempat bekerja seseorang. Orang yang bekerja lebih banyak di dalam bangunan dianggap lebih rentan terkena ancaman gempa bumi daripada orang yang bekerja di luar ruangan. Pendapatan masyarakat dalam hal ini ditinjau dari tingkatannya. Orang yang berpendapatan tinggi akan lebih mudah dalam mengakses jenjang pendidikan, sehingga pengetahuan kebencanaan yang dimilikinya akan mengurangi tingkat kerentanan dari ancaman bencana gempa bumi.

18

Salah satu aspek yang menentukan kerentanan adalah letak suatu komunitas dari pusat ancaman misalnya daerah rawan letusan gunung api merupakan daerah yang terdapat di sekitar tubuh gunung api. Daerah seperti ini pada umumnya mempunyai daya tarik dalam kondisi tanah yang subur untuk bercocok tanam, mata air dan pemandangan yang indah, sehingga masyarakat senang tinggal dan beraktivitas di wilayah itu seperti bertani dan pariwisata. Masyarakat juga banyak yang tinggal di sekitar ancaman bencana, misalnya masyarakat yang rentan terhadap tsunami adalah mereka yang tinggal di pesisir pantai yang berada di dekat daerah penunjaman lempeng bumi, mereka yang rentan terhadap gempa bumi adalah yang tinggal di dekat patahan aktif, penduduk yang rentan terhadap gerakan tanah adalah mereka yang tinggal di lerang-lereng yang labil, masyarakat yang rawan banjir adalah mereka yang tinggal di bantaran-bantaran sungai atau di daerah-daerah yang dahulunya memang merupakan dataran banjir. Tsunami Aceh merupakan contoh dari bencana yang menelan korban di pesisir pantai, longsor Pasir Jambu merupakan bencana yang korbannya adalah masyarakat sekitar lereng, banjir Baleendah merupakan bencana yang menimbulkan korban di bantaran sungai. E. Ancaman Ancaman adalah kondisi bahaya atau kejadian yang memiliki potensi melukai, menyebabkan kematian, merusak harta milik, fasilitas, pertanian, dan lingkungan (Boli dkk, 2004 : 12). Berdasarkan asalnya, ancaman terdiri atas ancaman alami dan ancaman tidak alami. Ancaman alami merupakan ancaman

19

yang bersifat meteorologis, geologis, biologis, dan dari luar angkasa. Ancaman tidak alami adalah ancaman yang dibuat manusia atau karena teknologi. Ancaman juga terdiri atas beberapa jenis antara lain pemicu, tanda-tanda peringatan, peringatan awal, kecepatan terjadi, frekuensi, kapan, dan durasi. Pemicu terdiri atas angin, air, tanah, api, konflik, industri, dan ancaman lain yang berhubungan dengan manusia. Tanda-tanda peringatan terdiri atas indikator ilmiah maupun tradisional yang menunjukkan bahwa ancaman akan terjadi. Peringatan awal merupakan waktu antara peringatan dan dampak. Kecepatan terjadinya merupakan kecepatan terjadinya serta dampaknya, misalnya yang bisa diprediksi atau yang tidak bisa diprediksi. Frekuensi merupakan banyaknya ancaman terjadi, misalnya musiman, sekali seumur hidup, atau sepuluh tahun sekali. Kapan merupakan waktu terjadinya ancaman tersebut, misalnya setiap musim hujan atau setiap musim kemarau. Durasi merupakan panjang waktu ancman yang dirasakan, misalnya gempa bumi dan gempa susulannya. Dalam menganalisis ancaman terdapat hal-hal yang harus diperhatikan yaitu sejarah, pengalaman masyarakat, kemungkinan intensitasnya, ancaman sekunder, dan bahaya maksimum yang mungkin terjadi serta elemen-elemen yang ada dalam masyarakat yang berisiko bila ancaman terjadi antara lain manusia, harta benda, lingkungan, dan sistem, sedangkan dampak yang ditimbulkan antara lain kehilangan nyawa, luka, wabah penyakit, kerusakan lingkungan, kerusakan hak miliki, kerusakan infrastruktur, gangguan terhadap tanaman produksi,

20

gangguan terhadap pemerintahan, gangguan terhadap sistem, konsekuensi psikologis, dan perubahan geologis. F. Gempa Bumi Gempa bumi adalah goncangan akibat adanya gerakan, geseran, maupun patahan lapisan batuan di dalam bumi (Depkominfo, 2008 : 7). Gempa bumi merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia, dikarenakan letaknya yang berada di antara lempeng Pasifik, lempeng Hindia-Australia, dan lempeng Eurasia. Pergerakan lempeng terdiri atas dua cara, yaitu konvergensi atau

pertemuan dua atau lebih lempeng benua dengan lempeng samudera yang berupa subduksi, kolisi, dan obduksi. Selain konvergensi, pergerakan lempeng berikutnya disebut dengan divergensi yaitu pemisahan lempeng-lempeng dan pergerakan mendatar berupa pergeseran lempeng-lempeng. Pergerakan lempeng mengakibatkan wilayah kepulauan Indonesia memiliki potensi gempa bumi yang tinggi, terutama di daerah yang dekat dengan jalur pertemuan lempeng. Namun, terjadinya gempa bumi akan menimbulkan dampak yang berbeda bagi setiap wilayah di Indonesia, dikarenakan karakteristik wilayah Indoensia juga berbeda. Gempa bumi dapat merusak semua yang terdapat di permukaan bumi, misalnya rumah-rumah penduduk. Hal itu juga tergantung dari besarnya kekuatan gempa. Gempa bumi dapat memicu terjadinya longsor dan runtuhan batuan. Longsor dapat terjadi karena lereng curam dan tutupan vegetasi yang renggang. Longsor yang terjadi juga akan menimbun semua yang terdapat di bawah bidang lincir, termasuk permukiman penduduk. Semakin padat permukiman itu, maka

21

semakin rentan permukiman itu terhadap longsor. Bencana ikutan lain yang dipicu oleh gempa bumi antara lain banjir dan kecelakaan transportasi. Banjir terjadi karena runtuhnya bendungan sedangkan kecelakaan transportasi terjadi karena kepadatan lalu lintas. Wilayah yang memiliki batuan yang kompak akan memiliki tingkat risiko gempa bumi yang rendah, sedangkan wilayah yang memiliki batuan yang tidak kompak akan memiliki tingkat risiko bencana yang tinggi dikarenakan semakin kompak batuan yang terdapat di suatu wilayah, maka wilayah itusemakin terlindungi oleh kemampuan meredam batuan itu, sedangkan semakin tidak kompak batuan yang terdapat di suatu wilayah, maka akan semakin mudah wilayah tersebut hancur karena batuannya tidak mampu meredam gempa bumi dengan baik. Faktor demografi juga memegang peranan penting dalam menentukan tinggi atau rendahnya risiko yang ditimbulkan oleh gempa bumi. Semakin padat suatu permukiman maka akan semakin berisiko wilayah itu terjadi dampak gempabumi yang merusak, sedangkan semakin tidak padat suatu permukiman maka risiko gempa buminya akan semakin rendah. Begitu juga dengan kondisi penggunaan lahan. Semakin vital penggunaan lahan di suatu wilayah, maka wilayah itu memiliki risiko bencana gempa bumi yang tinggi, misalnya area pendidikan dan bisnis, sebaliknya semakin tidak vital penggunaan lahannya maka wilayah itu memiliki risiko bencana gempa bumi yang rendah.

22

G. Hiposentrum Hiposentrum adalah pusat gempa bumi, yaitu tempat terjadinya perubahan lapisan batuan atau dislokasi di dalam bumi sehingga menimbulkan gempa bumi (Mulyo, 2004 : 175). Jenis-jenis gempa bumi berdasarkan hiposentrumnya terdiri atas gempa bumi dangkal yang pusatnya kurang dari 70 km, gempa bumi sedang pusatnya 70-300 km, sedangkan gempa bumi dalam pusatnya 300-700 km. Semakin dangkal pusat gempa maka akan semakin kuat gempa yang ditimbulkannya. Kebanyakan gempa yang terjadi memiliki kedalaman rata-rata 25 km dan memiliki efek merusak yang tinggi. Getaran yang terjadi akibat hiposentrum merambat ke permukaan bumi dengan dua macam gelombang yaitu, gelombang longitudinal dan gelombang transversal. Gelombang longitudinal merupakan gempa yang memiliki kecepatan rambat 7,5 14 km/detik. Sedangkan gelombang transversal dengan kecepatan rambat 3,5 7 km/detik. H. Episentrum Selain hiposentrum, terdapat juga istilah episentrum. Menurut Mulyo (2004 : 175) episentrum adalah : Tempat di permukaan bumi yang letaknya terdekat terhadap hiposentrum. Letak episentrum tegak lurus terhadap hiposentrum, dan sekitar daerah ini pada umumnya merupakan wilayah yang paling besar merasakan getaran gempa bumi. Terdapat juga istilah homoseiste yang berarti garis-garis khayal yang menghubungkan tempat-tempat di permukaan bumi yang merasakan getaran yang sama pada saat yang sama. Selanjutnya, ada juga istilah after shock yaitu gempa bumi yang dipicu oleh gempa bumi yang sebelumnya terjadi di daerah sekitarnya.

23

I. Kualitas Bangunan Bangunan berdasarkan bahan dasarnya diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu bangunan permanen, bangunan semi permanen, dan bangunan non permanen ( Peraturan Walikota Surabaya Nomor 62, 2006 : 3). Bangunan permanen merupakan bangunan yang memiliki komponen fondasi dari batu kali atau plat beton, memakai slof, kolom, balok, dan besi atau beton, memakai dinding pasangan atau batu merah, memakai rangka atap dari kayu jati atau kamper, memakai atap dari genting beton, karang pilang, genting kodok bekas brangkal atau sirap. Memakai lantai tegel, teraso, keramik, porselin, marmer atau granit. Menggunakan konstruksi menurut peraturan teknik bangunan. Bangunan semi permanen merupakan bangunan yang memiliki komponen fondasi dari batu merah atau batu kali. Memakai dinding setengah bagian dan atasnya terdiri atas triplek, papan, atau bahan lain sejenisnya. Memakai tiang dari kayu. Memakai rangka atap dari kayu meranti. Memakai atap dari genting biasa, seng, atau eternit gelombang. Memakai lantai tegel atau plesteran semen. Menggunakan konstruksi menurut peraturan teknik bangunan. Bangunan non permanen merupakan bangunan yang mengandung komponen fondasi dari umpak beton, batu merah, batu kali. Memakai dinding dari triplek, papan, gedek, atau sesek. Memakai tiang bambu atau kayu meranti. Memakai rangka atap dari bambu atau kayu meranti. Memakai atap dari genting biasa, seng, atau eternit gelombang. Menggunakan konstruksi yang tidak memenuhi syarat peraturan teknik bangunan.

24

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2007, bangunan dengan konstruksi di perkotaan yang memiliki kerentanan tinggi terhadap gempa bumi yaitu bangunan permanen dengan kepadatan bangunan tinggi dan sedang. Konstruksi bangunan beton bertulang dengan kepadatan bangunan tinggi. Bangunan di perkotaan yang memiliki kerentanan sedang terhadap gempa bumi yaitu bangunan semi permanen dengan kepadatan bangunan tinggi juga memiliki kerentanan sedang. Bangunan di perkotaan yang memiliki kerentanan rendah terhadap gempa yaitu bangunan semi permanen dengan kepadatan bangunan rendah dan bangunan tradisional dengan kepadatan bangunan rendah. Bangunan di pedesaan yang memiliki kerentanan tinggi terhadap gempa yaitu bangunan beton tidak bertulang ,bertulang dan bangunan permanen. Bangunan di pedesaan yang memiliki kerentanan sedang terhadap gempa bumi yaitu bangunan semi permanen. Bangunan di pedesaan yang memiliki kerentanan rendah terhadap gempa yaitu bangunan tradisional J. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk adalah banyaknya penduduk per satuan unit wilayah (Mantra, 1985 : 73). Penduduk merupakan fenomena geografi yang memiliki kaitan dengan fenomena geografi lain. Penduduk di suatu daerah memiliki perubahan yang cukup signifikan pada setiap tahunnya disebabkan berbagai faktor, antara lain migrasi dan kelahiran. Semakin padat penduduk di suatu daerah maka akan semakin rentan daerah tersebut terhadap gempa bumi.

25

Faktor kepadatan penduduk merupakan parameter yang terdapat dalam kerentanan sosial kependudukan. Kepadatan penduduk dibagi menjadi empat bagian yaitu, kepadatan penduduk kasar, kepadatan penduduk fisiologis, kepadatan penduduk agraris, dan kepadatan penduduk ekonomi. Penduduk wanita merupakan penduduk yang mendapatkan perhatian khusus dalam kajian kerentanan bencana. Penduduk wanita dianggap memiliki kemampuan yang rendah dalam memitigasi dirinya sendiri, sehingga dalam kajian kerentanan gempa bumi memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Demikian juga terjadi pada penduduk lanjut usia dan penduduk balita yang memiliki tingkat kerentanan tinggi karena dianggap belum bisa memitigasi dirinya dengan baik. K. Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk di suatu daerah dipengaruhi oleh besarnya kelahiran, kematian, dan migrasi penduduk (Mantra, 1985 : 75). Pertumbuhan penduduk merupakan faktor yang dipengaruhi oleh migrasi, kelahiran, dan kematian. Faktor migrasi biasanya sering terjadi di kota besar karena faktor penarik yang dimiliki, sedangkan desa terkena dampak dari perpindahan penduduknya. Pertumbuhan penduduk merupakan faktor yang termasuk ke dalam kerentanan sosial. Pertumbuhan penduduk juga berkaitan dengan kuantitas, distribusi, implikasi terhadap ruang dan lingkungan hidup, kualitas, dan kebijaksanaan. Kuantitas penduduk terkait dengan jumlah penduduk yang berada di suatu wilayah. Jumlah penduduk biasanya menunjukkan pertumbuhan yang cukup

26

signifikan pada kurun waktu beberapa tahun. Pertumbuhan penduduk yang paling mencolok sering terjadi di kota-kota besar dikarenakan daya tarik kota besar yang bisa memenuhi harapan dari pendatang. Distribusi penduduk juga merupakan hal yang sangat berkaitan dengan pertumbuhan penduduk. Distribusi penduduk erat kaitannya dengan persebaran penduduk di berbagai daerah. Penduduk biasanya cenderung mencari daerah yang secara sosial maupun fisik mampu untuk menunjang kehidupan mereka. Dalam aspek sosial, penduduk cenderung mengelompok di daerah yang menjadi pusat aktivitas dikarenakan semakin dekat dengan pusat aktivitas, maka semakin mudah penduduk untuk menjangkau segala kebutuhan hidupnya contohnya kepadatan penduduk di Jakarta yang sangat padat karena peran yang dimiliki oleh Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi, pusat pendidikan, dan pusat pariwisata. Sebagian besar penduduk Jakarta adalah pendatang. Para pendatang awalnya bertujuan untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya. Jakarta dianggap sebagai tempat yang menyediakan berbagai macam lapangan kerja baik sektor formal maupun informal. Pendatang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah cenderung memasuki sektor informal seperti berdagang dalam skala kecil, sedangkan penduduk yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung akan memasuki sektor formal seperti karyawan perusahaan, karyawan bank, maupun pegawai negeri sipil. Berdasarkan kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa distribusi penduduk memang sering terpusat di kota besar. Jika dibandingkan dengan daerah di luar Jawa memang akan sangat jauh laju pertumbuhan penduduknya. Di luar

27

Pulau Jawa sebenarnya memiliki sumber daya alam yang melimpah dan lapangan pekerjaan yang sangat banyak, namun seringkali pengolahan sumder daya alam yang ada tidak dipegang oleh orang yang kompeten sehingga berakibat pada produktivitas yang rendah. Faktor yang memengaruhi rendahnya pertumbuhan penduduk oleh para pendatang dari Pulau Jawa antara lain faktor jarak, faktor keluarga, dan faktor biaya hidup. Faktor jarak memengaruhi rendahnya perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Jawa. Jarak yang ditempuh relatif jauh dan tentunya akan membutuhkan biaya yang besar. Faktor keluarga juga ikut berpengaruh karena diantara anggota keluarga memiliki ikatan batin yang kuat, sehingga seringkali seseorang berat hati untuk meninggalkan keluarganya di rumah, apalagi jika kondisi keluarganya sedang tidak memungkinkan untuk ditinggal. Hal ini juga sering dialami oleh para tranmigran. Bahkan mungkin merupakan hal terberat yang harus dipertimbangkan karena untuk faktor lain para transmigran telah diakomodasi oleh pemerintah. Kualitas penduduk juga sangat terkait dengan pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk yang semakin bertambah harus diikuti oleh peningkatan kualitas yang dimiliki oleh penduduk tersebut. Semakin berkualitas penduduk di suatu daerah, maka kemungkinan besar daerah tersebut akan menjadi daerah yang mampu berkembang dengan pesat. Pesatnya perkembangan itu dipengaruhi oleh teriisinya berbagai sektor kehidupan dengan orang-orang yang memiliki kompetensi dan mampu bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalamannya.

28

Hal ini lah yang sering terjadi di luar Pulau Jawa. Sektor kehidupan masyarakat seringkali diisi oleh orang-orang yang secara kualifikasi tidak mampu untuk memenuhinya, sehingga daerah di luar Pulau Jawa lambat

perkembangannya jika dibandingkan dengan di Pulau Jawa sedangkan di Pulau Jawa terjadi ketimpangan antara sektor yang akan diisi dengan jumlah pelamar yang sesuai dengan kebutuhan sektor tersebut. Para pelamar pekerjaan sangat banyak, sedangkan formasi pekerjaan sangat sedikit, sehingga penduduk di Pulau Jawa harus bersaing ketat untuk memasuki pekerjaan. Semakin banyak jumlah penduduk di suatu daerah, maka biasanya akan berdampak pada kondisi lingkungan. Hal itu merupakan tantangan penduduk setempat untuk mampu menata lingkungan tempat tinggalnya dengan baik. Pengelolaan yang baik juga akan berdampak pada kenyamanan hidup yang diperoleh penduduk setempat, namun yang sering terjadi di masyarakat adalah kerusakan lingkungan akibat pengelolaan lingkungan yang kurang baik oleh penduduk. Banyak penduduk yang mengabaikan kelestarian lingkungan. Penduduk hanya mementingkan egonya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya bencana lingkungan sering melanda penduduk. Oleh karena itu, dengan pertumbuhan penduduk maka seharusnya lingkungan pun semakin tertata dengan baik oleh adanya penambahan jumlah sumber daya manusia. L. Struktur Sesar Sesar adalah patahan yang disertai dengan pergeseran kedudukan bongkah-bongkah yang terputus hubungannya itu (Tisnasomantri, 1998 : 87). Ada tiga macam sesar berdasarkan gerakan yang terjadi, yaitu sesar vertikal, sesar

29

mendatar, dan sesar miring. Sesar vertikal merupakan sesar yang pergeserannya berarah vertikal. Sesar mendatar merupakan sesar yang pergerakannya berarah mendatar, sedangkan sesar miring adalah sesar yang pergeseran vertikal sama dengan pergeseran mendatar. Menurut Mulyo (2004 : 192), secara umum struktur sesar dikelompokkan menjadi tiga jenis sesar, yaitu sesar normal, sesar mendatar, dan sesar naik. Sesar normal merupakan sesar yang hanging wall nya relatif turun terhadap footwall. Sesar normal memiliki karakteristik antara lain kemiringan bidang sesar besar, jejak sesar yang terlihat pada peta hampir lurus, goresan garis pada sesar bersifat umum, mempunyai gawir, dan berbentuk seperti anak tangga. Sesar mendatar merupakan sesar yang antara hanging wall dan foot wall nya bergerak ke samping dan sejajar. Karakteristik dari sesar mendatar antara lain bidang sesar memiliki kemiringan yang curam sampai dengan tegak, terdapat jalur erosi kuat, diikuti struktur patahan dan lipatan, dan membentuk beberapa depresi yang berkaitan dengan penyimpangan secara merencong. Sesar naik merupakan sesar yang hanging wall nya bergerak naik terhadap foot wall dan memiliki sudut kemiringan kurang dari 45. Karakteristik yang dimiliki oleh sesar naik antara lain terdapat di pegunungan lipatan, terdapat di daerah yang memiliki endapan sedimen tebal, gerakan gesernya lebih cepat daripada proses pengikisan, mempunyai bidang sesar yang licin, memiliki gejala struktur seretan, dan jalur sesarnya dapat berupa melonit atau bidang licin dengan gores garis.

You might also like