You are on page 1of 63

Apr 17, '07 8:46 AM

PERANG PEMIKIRAN ISLAM DI INTERNET


for everyone
Category: Other
PERANG PEMIKIRAN ISLAM DI INTERNET
(GHAZW AL-FIKRI AL-ISLAMI FI AL-INTERNETI)
Studi Komparasi Isi Website JIL (www.islamlib.com) dan Website Hidayatullah
(www.hidayatullah.com)

Oleh:
Suratno
Juni Alfiah Chusjairi

BAB I
PENDAHULUAN

KEBANGKITAN ISLAM PASCA SUHARTO

Pada tanggal 21 Mei 1998, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam percaturan
politik Indonesia dengan mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan. Peristiwa ini,
dilihat dari perspektif para ahli, dianggap telah mengubah dasar dan konstelasi politik
mutakhir di Indonesia. Hal ini ditandai oleh 3 hal penting, yakni: Pertama, runtuhnya
hegemoni Orde Baru dengan pilar utamanya yakni Golkar, yang ditopang oleh birokrasi
dan militer. Kedua, munculnya sistem politik multipartai yang memberi peluang kepada
setiap kelompok politik dengan beragam latar belakang aspirasi dan ideologi untuk ikut
serta meramaikan panggung politik nasional. Ketiga, terjadinya pergeseran relasi antara
Islam dan negara. Pergeseran ini antara lain ditandai dengan: (a) semakin intensif dan
terbukanya gerakan Islam dalam menyuarakan kepentingan mereka melalui wadah partai
politik, (b) terserapnya pemimpin dan aktivis Islam yang mewakili beragam gerakan
Islam ke dalam kehidupan negara.

Implikasi dari perubahan di atas, terutama yang dihasilkan dari poin ketiga, adalah
semakin menggeliatnya beragam ekspresi yang menandai kebangkitan gerakan Islam di
Indonesia, seiring dengan terbukanya kran-kran kebebasan diera reformasi dan di tengah
konstelasi politik yang terus berlangsung. Implikasi yang lain adalah munculnya dua arus
utama yang dianggap saling bersinggungan satu dengan lainnya. Pertama, adalah
kelompok yang menghendaki penyatuan antara Islam dan negara. Kelompok ini secara
makin intens terus berupaya dalam mewujudkan pemberlakuan syariat Islam secara
formal sebagai dasar dan hukum resmi negara. Mereka dikenal sebagai kelompok Islam
literal-konservatif dengan agenda utamanya adalah formalisasi syariat Islam dalam
kehidupan bernegara. Kedua, adalah kelompok yang menghendaki berlakunya Islam
dalam kehidupan publik (termasuk politik-kenegaraan), tetapi tidak dalam format
sebagaimana yang dikehendaki kelompok pertama. Kelompok ini lebih merupakan
antitesa dari literalisme, konservatisme dan formalisme agama serta lebih menghendaki
adanya sekularisasi dalam kehidupan bernegara. Kalaupun syariat Islam akan
diberlakukan dalam kehidupan publik, maka yang dimaksud bukanlah hukum Islam
dalam artian formal tetapi semangat dasar Islam seperti moralitas, keadilan,
demokratisasi, kesejahteraan, kesetaraan gender, pluralisme dan Hak Asasi Manusia
(HAM). Mereka lebih dikenal dengan nama kelompok Islam liberal-progresif.

Kontestasi antara dua kecenderungan gerakan pemikiran Islam di atas tampaknya masih
akan terus berlangsung seiring dengan perkembangan-perkembangan sosial politik di era
reformasi ini. Terbukanya kran-kran kebebasan informasi sebagaimana digariskan dalam
UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002 Pasal 28 F turut membuka dan memperluas
cakupan kontestasi kedua mainstream gerakan pemikiran Islam tersebut. Implikasi dari
kontestasi tersebut adalah terjadinya, apa yang disebut, Bassam Tibi sebagai ”war of
weltanschauungen (worldviews)” atau perang pemikiran (ghazw al-fikr). Perang
pemikiran ini, menurut Bassam Tibi, adalah bagian dari kontestasi propagandis kelompok
Islam literal-konservatif disatu pihak melawan kelompok Islam liberal-progresif dipihak
lain.

MEDIA DAN PERANG PEMIKIRAN ISLAM

Di dalam perang pemikiran Islam, kegiatan saling meng-counter pemikiran lawan-lawan


mereka, menurut Muis Naharong (2005), menunjukkan bahwa kedua kelompok Islam
tersebut memang sangat menekankan pentingnya berperang dalam bidang pemikiran, ide
dan gagasan (ghazw al-fikr). Hal ini juga di dorong oleh tekad dan semangat untuk
mempertahankan dan menyebarluaskan pemikiran, penafsiran, dan paham serta prinsip
keagamaan yang mereka anut. Perang pemikiran Islam akhirnya juga dianggap sebagai
strategi untuk melindungi umat Islam. Bagi kelompok Islam literal-konservatif perang
pemikiran merupakan strategi untuk melindungi umat Islam dari bahaya liberalisme,
sekularisme, dan pluralisme agama. Akan tetapi, sebaliknya, bagi kelompok Islam liberal-
progresif perang pemikiran justru dilakukan untuk melindungi umat Islam dari bahaya
literalisme, konservativisme, formalisme dan radikalisme agama.

Kegiatan saling mengcounter pemikiran dan bahkan menyebarluaskan pemikiran Islam,


yang telah dilakukan oleh kedua kelompok Islam tersebut telah menciptakan ruang, di
mana mereka kemudian saling berlomba dan berupaya memanfaatkan saluran-saluran
media yang ada dari mulai majalah, koran, jurnal sampai kepada website. Muis Naharong
mencatat bahwa kelompok Islam literal-konservatif di Indonesia telah berhasil meluaskan
produksi mereka dalam bidang penerbitan. Misalnya penerbit Gema Insani Press (GIP)
yang menerbitkan buku-buku Islami dan sudah bertahan sejak lama. Selain GIP, sekarang
juga muncul penerbit buku-buku Islami bercorak literal-konservatif. Gerakan tarbiyah
menerbitkan majalah Sabili, Ummi, Saksi, Tarbawi dan lainnya. Hizb Tahrir Indonesia
(HTI) memproduksi majalah Al-wafie dan buletin al-Islam. Kelompok Salafi
menerbitkan majalah seperti as-Sunnah, Salafy, as-Syariah, al-Furqon dan lain-lainya.
Bahkan, kelompok Islam literal-konservatif dari faksi intelektual di ISTAC, IIUM
Malaysia telah dianggap sukses dengan penerbitan jurnal Islamia-nya. Yayasan
Hiadayatulah juga menerbitkan majalah Suara Hidayatullah. Di dunia maya (cyber),
kelompok-kelompok Islam literal-konservatif tersebut masing-masing juga punya website
sendiri-sendiri. Yang cukup sukses diantaranya www.hidayatullah.com.

Sementara itu, kelompok-kelompok Islam liberal-progresif di Indonesia juga tak mau


kalah dengan kelompok Islam literal-konservatif. Mereka juga berlomba-lomba
mempromosikan ide dan gagasan masing-masing melalui saluran-saluran media yang
ada. Misalnya, penerbit-penerbit besar seperti LKiS, Mizan, Paramadina dan banyak lagi
yang lainnya, masih menerbitkan buku-buku yang mempromosikan ide-ide Islam liberal-
progresif. Bahkan, keberadaan mereka sering disebut kalangan Islam literal-konservatif
sebagai agen Islam liberal (agent of liberal Islam). Di masa lalu, kita mengenal jurnal
Ulumul Qur’an terbitan LSAF dan majalah Ummat serta Panji Masyarakat, meski
sekarang sudah tidak terbit lagi. Kita juga mengenal majalah baru seperti Syir’ah terbitan
Yayasan Desantara, majalah perempuan Rahima dan juga Fahmina, jurnal Progresif milik
P3M, Taswhirul Afkar milik Lakpesdam-NU dan sebagainya. Sementara di dunia maya,
meski semua kelompok Islam liberal-progresif juga memiliki website sendiri-sendiri,
icon kelompok ini tetap ditujukan pada website www.islamlib.com milik Jaringan Islam
Liberal (JIL). Hal ini karena weebsite tersebut dianggap telah menyedot perhatian
sebagian umat Muslim dan no-Muslim ditanah air.

Di tengah maraknya perang pemikiran Islam (ghazw al-fikri al-Islami) melalui media
seperti dijelaskan di atas, penelitian ini berupaya memotret dan menganalisis terjadinya
kontestasi perang pemikiran Islam (ghazw al-fikri al-Islami) di media terutama yang
berbasis internet, dengan mengambil obyek kajian yakni www.hidayatullah.com milik
Yayasan Hidayatullah dan www.islamlib.com milik Jaringan Islam Liberal (JIL). Secara
spesifik penelitian ini akan mengkaji sejauh mana isi dari kedua website tersebut, baik
langsung maupun tidak, saling mengcounter pemikiran Islam mereka satu sama lain.
Penelitian ini juga akan mengkaji bagaimana corak dan karakteristik isi dari kedua
website tersebut bila dikaitkan dengan upaya mempertahankan dan menyebarluaskan
pemikiran, prinsip, penafsiran dan paham keIslaman mereka.

MENGAPA MENELITI HIDAYATULLAH.COM DAN ISLAMLIB.COM?

Pemilihan www.hidayatullah.com dan www.islamlib.com sebagai obyek kajian dalam


penelitian ini, dilandasi oleh kenyataan bahwa keduanya memiliki beberapa kelebihan
yang mungkin tidak dimiliki website lain. Kelebihan-kelebihan tersebut yakni: (1)
keduannya merupakan website yang secara kontinyu meng-update isinya, (2) keduanya
telah terbukti menyedot perhatian banyak kaum Muslim dan non-Muslim di Indonesia
terbukti dengan tampilan penghitung otomatis jumlah pengunjung website (automatically
user account) kedua website yang tak terhitung jumlahnya, dan (3) keduanya menjadi
ikon yang merefleksikan dan merepresentasikan pemikiran Islam literal-konservatif dan
Islam liberal-progresif di Indonesia pada saat ini.

Sementara itu pilihan media berbasis internet sebagai obyek kajian didasarkan pada
kenyataan bahwa internet merupakan media yang saat ini semakin booming dan
mushrooming di Indonesia. Hal ini seiring dengan kemajuan perkembangan dunia
telekomunikasi dan informasi global. Imbasnya, website yang dibuat di satu belahan
dunia tertentu bahkan akan dapat dibaca di seluruh belahan dunia lain yang melewati
batas-batas geografis, yang dulu tidak mudah dijangkau manusia. Setiap orang yang
mempunyai akses ke internet diseluruh dunia mempunyai kemungkinan untuk
membacanya. Dengan demikian dunia maya (cyber) seperti internet menjadi ajang yang
sangat efektif dan efisien sebagai media propaganda dan counter dalam kontestasi
pemikiran dan ide antara sesama gerakan Islam.
Akan tetapi sebagai bagian dari dunia maya (cyber), perang pemikiran Islam seperti yang
terjadi antara www.hidayatullah.com dan www.islamlib.com, tentu tidak lantas dapat
dikatakan sepenuhnya bahwa kedua website tersebut memang benar-benar merupakan
representasi utuh dan menyeluruh dari realitas Islam yang berkembang di Indonesia. Hal
dimungkinkan karena memang terlalu banyaknya website yang bertemakan Islam, yang
dibuat oleh gerakan Islam di Indonesia. Selain itu, secara teoritis masih menjadi
perdebatan banyak pihak mengenai apakah media seperti internet mencerminkan realitas
yang sesungguhnya ataukah sebaliknya, justru medialah yang mencoba mengkonstruksi
realitas menurut image mereka sendiri, melalui muatan-muatannya yang tidak hanya
edukatif dan informatif tetapi juga bersifat propagandis.

TUJUAN PENELITIAN

Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini. Pertama, memotret dan
menganalisis terjadinya perang pemikiran Islam di internet dengan obyek kajian
www.hidayatullah.com yang merepresentasikan ide dan gagasan kelompok Islam literal-
konservatif dan www.islamlib.com yang merepresentasikan ide dan gagasan kelompok
Islam liberal-progresif di Indonesia. Kedua, mengetahui ide, gagasan dan wacana yang
ditampilkan dalam kedua website tersebut terutama dikaitkan dengan pemikiran, prinsip,
penafsiran, dan paham ke-Islaman yang menjadi landasan mereka dalam
mempropagandakan ide, gagasan dan wacana Islam yang bercorak literal-konservatif dan
liberal-progresif.

KEGUNAAN PENELITIAN

Studi tentang perang pemikiran KeIslaman melalui media khususnya internet dengan
mengkaji secara kompratif isi website www.islamlib.com dan www.hidayatullah.com
memiliki banyak kegunaan. Pertama, studi ini mampu menampilkan salah satu realitas
tentang masih berlangsungnya tarik-menarik yang berbau konflik atas ide dan gagasan
Islam yang bercorak literal-konservatif dan yang bercorak liberal-progresif dalam ruang
publik di Indonesia. Kedua, studi ini menggambarkan kecenderungan umat Islam dalam
memproduksi wacana (discourse) seperti yang ditelorkan oleh kedua website tersebut
sehingga wacana keIslaman yang berkembang dimasyarakat dipastikan akan dipengaruhi
oleh ide dan gagasan mereka. Ketiga, studi ini berguna untuk memprediksi ke arah mana
sesungguhnya masa depan umat Islam di Indonesia ini akan dibawa, baik dalam
perspektif kaum literal-konservatif maupun liberal-progresif. Informasi ini tentu penting
bagi swing voters, massa Muslim mengambang yang belum jelas posisinya atau masih
berada diluar kedua mainstream gerakan Islam yang berbeda secara signifikan, terutama
untuk memutuskan apakah mereka akan stand for literal-konservatif atau akan stand for
liberal-progresif, atau bahkan tidak stand for untuk keduanya.

ORISINALITAS PENELITIAN

Sejauh ini, belum ditemukan adanya penelitian yang secara langsung mengkaji secara
komparatif (comparative study) isi website www.islamlib.com dan
www.hidayatullah.com. Memang, ada beberapa kajian tentang Jaringan Islam liberal
(JIL) dan Yayasan Hidayatullah sebagai lembaga pengelola kedua website tersebut, tetapi
belum ditemukan upaya membandingkan isi website keduanya (apalagi) dengan
menggunakan perspektif konteks perang pemikiran Islam melalui internet. Oleh karena
itu, penelitian ini masih bisa dianggap orisinil.

Penelitian yang sudah ada, misalnya, penelitian Ahmad Muzakki (2003) tentang
perseteruan dua kutub pemikiran Islam Indonesia kontemporer, antara JIL dan Media
Dakwah. Namun demikian yang dikaji Muzakki adalah JIL dan itu tidak secara spesifik
merujuk kepada website-nya (islamib.com) tetapi menyangkut juga statement dan karya-
karya tokoh JIL diluar websitenya seperti buku, artikel di koran, wawancara di media
massa dan elektronik, dan sumber lainnya. Hal mendasar yang membedakan adalah
penelitian Muzakki berdasar pada analisis perseteruan JIL dan media Dakwah 2002
sampai 2003 sementara penelitian ini akan menganalisis website JIL www.islamlib.com
dalam kontestasinya dengan www.hidayatullah.com pada periode 2005-2006. Ditengah
makin maraknya kontestasi ide dan gagasan Islam literal-konservatif dan liberal-progresif
di Indonesia, penelitian mutakhir (kekinian) terhadap kedua website yang menjadi
representasi ide dan gagasan kedua kelompok tersebut memiliki tentu tempat tersendiri
karena dinamika pemikiran Islam Indonesia yang senantiasa berkembang. Apalagi,
selama kurun waktu tersebut telah terjadi perubahan drastis dalam hal mapping
(pemetaan) dan popularitas (popularity) kedua website tersebut dalam konteks gerakan
Islam literal-konservatif dan liberal-progresif di Indonesia.

METODOLOGI PENELITIAN
Data
Data penelitian ini diperoleh melalui penelusuran terhadap isi dari kedua website yang
menjadi obyek kajian. Peneliti mengambil sample dengan menggunakan metode
purposive sampling dari isi kedua website tersebut pada bulan Agustus 2005—2006,
meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan data sesudah Agustus 2006
sampai dengan laporan penelitian ini disusun. Data dibedakan menjadi dua. Pertama, data
primer yang berisi ide dan gagasan dari kedua website tersebut yang langsung berkaitan
dengan tema-tema pokok yang diusung mereka yakni Islam literal-konservatif dalam
www.hidayatullah.com dan Islam liberal-progresif dalam www.islamlib.com. Data primer
juga akan berisi ide dan gagasan dari kedua webiste tersebut, yang secara langsung
maupun tidak, digunakan untuk meng-counter ide dan gagasan mereka satu sama lain.

Sementara itu, data sekunder akan berisi data umum terkait ide dan gagasan kelompok
Islam literal-konservatif dan liberal-progresif di Indonesia, data terkait eksistensi dan
peran kedua website tersebut, data tentang perang pemikiran Islam di internet, dan
sebagainya.

Prosedur
Ada empat prosedur penelitian yang akan ditempuh yakni heuristik, analisis, interpretasi
dan kritik.
Pertama, tahap heuristik yaitu kegiatan penelusuran dan pengumpulan sumber penelitian
(Winarno Surachmad, 1972:124). Pada tahap ini diharapkan sudah terkumpul dan
terklasifikasi beberapa data mengenai objek kajian baik data primer maupun data
sekunder.
Kedua, tahap analisis menggunakan metode analisis isi (Neuman, 2000: 427). Pada tahap
ini data yang sudah dikumpulkan dan diklasifikasi akan dianalisis berdasar tema-tema
spesifik yang diangkat oleh kedua website sebagai bahan kajian berkaitan dengan ide dan
gagasan dasar pemikiran pengelola kedua website tersebut dan berkaitan dengan upaya
mengcounter pemikiran mereka satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Ketiga, tahap interpretasi dengan menggunakan pola berpikir deduktif-induktif. Dengan
demikian data hasil analisis isi akan dilihat relasinya, baik dengan tataran konseptual-
teoritis (deduktif) maupun dengan tataran praksis-realitas (induktif).
Keempat, tahap kritik dengan menggunakan method of differance (Neuman, 2000: 427).
Pada tahap ini hasil interpretasi akan menjadi referensi sejauh mana kritik bisa diberikan
peneliti terhadap ide dan gagasan kedua website tersebut dalam konteks perang
pemikiran ke-Islaman yang sedang mereka jalankan.

Analisis
Metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi
kualitatif (qualitative content analysis). Selanjutnya, data juga akan dianalisis dengan
menggunakan analytic comparison dengan menggunakan method of difference (Neuman,
2000: 427) dan framing analysis. Dalam menganalisis dengan metode tersebut, peneliti
akan mengkaji perbedaan-perbedaan isi website islamlib.com dan hidayatullah.com. Isi
keduanya yang akan dikaji yakni yang menyangkut tema dan gagasan dasar, serta kasus
penting yang diangkat untuk mempromosikan Islam literal-konservatif dan Islam liberal-
progresif, serta yang berkaitan dengan upaya untuk meng-counter satu sama lain, baik
langsung maupun tidak, serta respon mereka terhadap isu-isu aktual yang sedang
berkembang di Indonesia.

BAB 2
TENTANG ISLAM LIBERAL-PROGRESIF & LITERAL-KONSERVATIF

ISLAM LIBERAL-PROGRESIF

Islam liberal-progresif merupakan sisi lain dari gerakan Islam Indonesia kontemporer,
selain Islam literal-konservatif. Hingga sekarang, gerakan ini telah dengan cepat
melebarkan sayapnya karena kemampuannya untuk bersuara nyaring dengan
menggunakan media dan forum-forum strategis sehingga menjadikan eksistensi, ide dan
gagasan mereka menarik perhatian banyak pihak. Istilah Islam liberal-progresif sendiri
sebenarnya masih menjadi perdebatan. Namun demikian dari banyaknya variasi definisi
dan macam gerakan liberal-progresif Islam, menurut Charles Kurzman, tidak bisa
dilepaskan dari 6 gagasan dasar mereka yakni:

Pertama, melawan teokrasi (against theocracy). Kelompok Islam liberal-progresif


menolak ide penyatuan agama dan negara dan menolak pandangan bahwa syariah Islam
mewajibkan sistim politik tertentu bagi tegaknya politik Islam. Syariat Islam, dipahami
kaum Islam liberal-progresif, bukan sebagai sistem hukum melainkan sebagai sistim
nilai. Kelompok Islam liberal-progresif membagi wilayah kehidupan menjadi dua, yakni
wilayah privat dan publik. Ritual-ritual keagamaan merupakan sesuatu yang terkait
dengan persoalan privat, sedangkan persoalan kenegaraan merupakan wilayah kehidupan
publik. Karena agama berkepentingan dan hanya terkait dengan persoalan privat, maka
kelompok Islam liberal-progresif berkeberatan terhadap pemberlakuan formalisasi syariat
Islam dalam kehidupan bernegara karena beberapa alasan seperti misalnya wahyu Illahi
menyerahkan bentuk pemerintahan pada konstruksi pemikiran manusia, sebagaimana
Nabi SAW tidak membangun prinsip-prinsip tertentu bagi pemerintahan selanjutnya dan
sebagainya.

Kedua, mendukung gagasan dan praktek demokrasi. Demokrasi ini, bagi kelompok Islam
liberal-progresif merupakan jalan yang memungkinkan terwujudnya kemaslahatan publik
dan Islam jelas-jelas memberi dukungan terhadap ide dan gagasan ini. Hal ini, misalnya,
bisa kita lihat dalam khasanah tradisi Islam, di mana melalui penerapan konsepsi syura
(musyawarah) yang memberikan kesempatan seluas-seluasnya bagi masyarakat untuk
berpartisipiasi aktif dalam proses kebijakan kenegaraan.

Ketiga, membela hak-hak kaum perempuan (rights of women) dan kesetaraan gender
(gender equity). Pada beberapa bagian kitab suci, memang terdapat beberapa teks yang
kalau dimaknai secara literal (harfiyyah) mengandung potensi bias gender. Namun
demikian teks-teks seperti ini, menurut kalangan liberal tidak bisa dipisahkan dari
konteks turunnya ayat (al-azbab al-nuzul) dan bias kebudayaan Arab masa lampau yang
patriarchal. Padahal, Islam sesungguhnya telah mengangkat sedemikian tinggi derajat
kaum perempuan bila dilihat dari sudut masa kelahiran Islam sendiri. Bagaimana tidak,
ditengah ketiadaan hak-hak perempuan dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyyah, Islam
memberikan hak waris bagi perempuan dan itu adalah bagian dari spirit pembebasan
Islam. Oleh karena itu kaum liberal mendukung model pendekatan modern terhadap kitab
suci yang tidak hanya menekankan aspek harfiyyah tapi juga sejarah turunnya ayat (al-
azbab al-nuzul) dan juga kontekstualisasi ayat tersebut pada kondisi sekarang, seperti
hermeneutika

Keempat, membela hak-hak non-Muslim (minoritas) dan mendukung pluralisme agama.


Kelompok Islam liberal-progresif menyadari adanya tafsir terhadap simbol-simbol agama
kaitannya dengan kelompok agama lain yang masih sarat dengan kecurigaan dan
kebencian. Padahal pembelaan hak-hak kaum non-Muslim dan minoritas mendapat basis
argumentasi historisnya yang kuat, terutama melalui kesepakatan Piagam Madinah pada
jaman Nabi SAW. Piagam ini oleh kelompok Islam liberal-progresif dipandang sebagai
kesepekatan konsensual yang mengatur hubungan sosial antara komunitas Muslim dan
non-Muslim secara terbuka. Oleh karena itu, kehidupan agama yang pluralistik menurut
kaum liberal harus dikukuhkan dengan prinsip dasar persamaan dan keadilan untuk
semua agama. Pluralisme agama menjadi sebuah keniscayaan dalam membangun
hubungan yang harmonis dan dialogis serta toleran antar umat berbeda agama.

Kelima, menjunjung tinggi kebebasan berpikir (freedom of thought). Bagi kelompok


Islam liberal-progresif, kebebasan berpikir adalah sesuatu yang niscaya dan Islam sendiri
sudah mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi pemikir.
Demikian juga syariah yang mendorong kaum Muslim untuk melakukan refleksi dan
penyelidikan. Bagi kelompok Islam liberal-progresif, tidak mungkin berlaku prinsip-
prinsip demokrasi, kesetaraan gender, penafsiran kontekstual terhadap teks-teks agama
tanpa di dasari adanya kebebasan berpikir.

Keenam, membela gagasan kemajuan (progress). Hal ini berhubungan erat pada
bagaimana kelompok Islam liberal-konservatif melihat modernitas dan perubahan sosial
sebagai proses transformasi sikap yang bersifat positif dan potensial.

Keenam ide dan gagasan diatas adalah garis besar yang dapat ditarik dari ragam
kelompok Islam liberal-progresif yang muncul. Betapapun sesama kelompok Islam-
liberal progresif terkadang satu sama lain memiliki sejumlah perbedaan.

ISLAM LITERAL-KONSERVATIF

Perbedaan-perbedaan antar varian dalam Islam liberal-progresif sebenarnya juga berlaku


dalam konteks kelompok Islam literal-konservatif. Namun demikian, sama seperti
kelompok Islam liberal-progresif, meskipun banyak sekali variannya, menurut Muhsin
Jamil, dengan tegas kelompok Islam literal-konservatif menarik garis perbedaan
keyakinan dengan kelompok-kelompok Islam yang lain, terutama Islam liberal-progresif.
Garis-garis keyakinan tersebut antara lain:

Pertama, doktrin mengenai kitab suci. Kelompok Islam literal-konservatif


mendengungkan rumusan pendek bahwa kitab suci adalah firman suci Tuhan secara
keseluruhan. Konsekuensinya mereka menolak pendekatan-pendekatan modern terhadap
kitab suci, termasuk menolak hermeneutika. Oleh karena itu mereka lebih suka
memahami ajaran kitab suci secara tekstual-literal (harfiyyah).

Kedua, menekankan kebenaran absolut atas sebuah agama sembari menolak agama lain
memiliki kemungkinan menjadi sumber keagamaan. Oleh karena itu kaum literalis
menolak gagasan pluralisme agama, yang memungkinkan adanya pengakuan kebenaran
atas agama lain sembari berpijak secara rigid bahwa agama yang benar satu-satunya
hanyalah Islam.

Kedua ide dan gagasan diatas merupakan bagian-bagian dari keyakinan fundamental
kelompok Islam literal-konservatif dan oleh karena itu berimplikasi kepada banyak hal
sebagai bagian dari tradisionalisme, eksklusivisme dan formalisme mereka dalam
memahami Islam, termasuk menolak ide-ide dan gagasan yang diusung kelompok Islam
liberal-progresif. Karena karakternya yang bersifat fundamental ini, sebagian ahli
menyebut kelompok Islam literal-konservatif ini sebagai fundamentalisme Islam.
Penggunaan istilah inipun sebenarnya masih diperdebatkan. Namun demikian, menurut
Martyn E Marty, terdapat 4 prinsip yang bisa digunakan untuk menandai kaum
fundamentalisma agama, termasuk Islam.

Pertama, fundamentalism adalah oppositionalism. Fundamentalisme Islam adalah bentuk


perlawanan terhadap ancaman yang mereka pandang membahayakan eksistensi agama,
seperti modernitas, sekularisasi, liberalisasi dan tata nilai Barat pada umumnya.

Kedua, menolak hermeneutika. Kaum fundamentalisme Islam menolak sikap kritis


terhadap teks dan interpretasinya. Teks al-Qur’an, dengan demikian, harus dipahami
secara literal (harfiyyah) sebagaimana adanya, karena mereka menganggap nalar manusia
dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat pada teks.

Ketiga, menolak pluralisme agama. Kaum fundamentalisme Islam menganggap


pluralisme agama adalah hasil penafsiran yang keliru terhadap teks kitab suci. Pluralisme
agama juga sering dituduh kaum fundamentalis Islam sebagai penyebab umat beragama
terjebak pada relativisme agama serta berpotensi mengurangi kadar kepercayaan dan
keimanan atas kebenaran agama yang mereka anut.

Keempat, menolak perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalisme Islam


terkadang menganggap bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa
manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Dalam kerangka inilah, mereka
menganggap masyarakat yang harus menyesuaikan perkembangannnya dengan teks kitab
suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikut perkembangan
masyarakat. Karena itulah kaum fundamentalisme Islam bersifat ahistoris dan asosiologis
dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk ideal yang dipandang
mengejwantahkan kitab suci secara sempurna. Bagi kaum ini, zaman kaum salaf
dipandang sebagai bentuk ideal masyarakat Muslim.

BAB 3
JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL):
PROMOTOR LIBERALISME DAN PROGRESIVISME ISLAM

SEJARAH JIL :
Riwayat Perjuangan Meng-counter Radikalisme dan Literalisme Islam

Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan sebuah forum bebas, tempat dimana sekelompok
pemuda Muslim mendiskusikan dan mendiseminasikan (menyebarkan) konsep
liberalisme Islam di Indonesia. Menurut Luthfie Assyaukanie, salah satu penggagas
berdirinya JIL, raison d’etre didirikannya JIL adalah untuk meng-counter maraknya
pengaruh dan aktivitas kelompok Islam radikal dan literal di Indonesia pasca tumbangnya
rezim Suharto pada tahun 1998. Deskripsi resmi tentang JIL, bisa kita lihat dalam website
JIL yakni www.islamlib.com yang menyatakan bahwa JIL adalah sebuah komunitas yang
mengkaji dan mengetengahkan perbincangan mengenai visi keIslaman yang toleran,
terbuka dan mendukung penguatan proses demokratisasi di Indonesia. Sementara itu,
nama "Islam liberal" menggambarkan prinsip-prinsip yang mereka anut, yaitu Islam yang
menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang
menindas. "Liberal" di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Islam liberal
percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan
secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Mereka memilih satu jenis
tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu "liberal". Untuk
mewujudkan Islam Liberal, mereka membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL).

JIL sejak awal memang memilih bentuk jaringan, dan bukannya organisasi
kemasyarakatan (ormas) maupun partai politik. Jaringan dianggap bentuk yang cocok,
karena ia bisa menjadi wadah yang longgar bagi siapapun yang memiliki aspirasi dan
kepedulian terhadap gagasan Islam liberal. Gagasan yang dimaksud telah tertera dalam
Manifesto Islam Liberal yakni: (1) membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, (2)
mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks, (3) mempercayai
kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, (4) memihak pada yang minoritas dan
tertindas, (5) meyakini kebebasan beragama, dan (6) memisahkan otoritas duniawi dan
ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Sejarah munculnya JIL berawal dari kongkow-kongkow dan ngobrol-ngobrol antara Ulil
Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan
Muhammad (ISAI) di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur pada bulan Februari 2001.
Tempat inilah yang kemudian dijadikan markas JIL. Dari kongkow-kongkow dan
ngobrol-ngobrol itu kemudian diperluas melalui sebuah mailing list (milis) yang bernama
islamliberal@yahoogroups.com. Bahkan, mereka kemudian menggelar sebuah diskusi
untuk pertama kalinya pada 21 Februari 2001 di Teater Utan Kayu (TUK) Jakarta dengan
topik “Akar-Akar Liberalisme Islam: Pengalaman Timur Tengah” dengan pembicara
Luthfi Assyaukanie. Diskusi tersebut kemudian dilanjutkan dengan diskusi-diskusi
lainnya, baik dalam bentuk pertemuan face-to-face maupun melalui milis.

Diskusi online (melalui milis) pertama kali diselenggarakan pada bulan Maret 2001
dengan topik “Agenda dan Masa Depan Islam Liberal”. Topik ini dipilih terutama untuk
mengklarifikasi konsep Islam Liberal dan alasan dibalik pendirian JIL. Beberapa orang
yang terlibat dalam diskusi ini antara lain: Ade Armando, AE Priyono, Denny JA, Hamid
Basyaib, Ichan Loulembah, Luthfi Assyaukanie, Nirwan Ahmad Arsuka, Putut
Widjanarko, Rizal Mallarangeng, Robin Bush, Saiful Mujani, Sukidi, Taufik Adnan
Amal, Zainal Abidin Bagir dan Uni Zulfiani Lubis.

Beberapa anak muda yang terlibat dalam proses awal pendirian JIL memiliki latar
belakang yang berbeda-beda. Meski demikian karakter mereka kurang lebih demikian:
Muslim, kebanyakan dari kelas menengah, intelektual muda, meski ada juga yang
merupakan politisi dan penulis terkenal. Dari beberapa anak muda tersebut, figur-figur
yang dianggap mewakili fase awal pendirian JIL dan bisa dikatakan sebagai pendiri JIL
karena keterlibatan aktif mereka antara lain: Ahmad Sahal, Budhy Munawar-Rahman,
Goenawan Muhammad, Hamid Basyaib, Luthfi Assyaukanie, Rizal Mallarangeng, Denny
JA, Ihsan Ali-Fauzi, AE Priyono, Samsurizal Panggabean, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful
Mujani dan Hadimulyo. Figur penting lainnya yang menjadi nara-sumber pendirian JIL
termasuk diantaranya beberapa intelektual Muslim senior seperti Nurcholish Madjid,
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat.

Luthfi Assyaukanie kemudian dipilih menjadi koordinator JIL yang pertama. Ia bertugas
untuk merancang diskusi dan menyelenggarakan diskusi off-line dan on-line melalui
milis. Sejak diskusi pertamanya, orang yang terlibat (partisipan) dan orang yang tertarik
(simpatisan) untuk join dengan JIL semakin banyak. Sebagai sebuah forum terbuka dan
tanpa kekakuan organisasi, JIL memang tidak memiliki sistim keanggotaan. Oleh karena
itu, tidak ada data tentang berapa jumlah anggota JIL yang sebenarnya. Setelah melelwati
masa beberapa waktu, karena mau melanjutkan pendidikan S3-nya di Melbourne
University, Australia, koordinator JIL kemudian diganti dari Luthfi menjadi Ulil Abshar-
Abdalla, yang pada saat itu juga menjadi direktur eksekutif Lakpesdam NU. Selanjutnya,
pada tahun 2005 karena harus melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 dan S3-nya di
Boston, Amerika Serikat (AS) atas beasiswa Fullbright, Ulil mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai koordinator JIL. Jabatan tersebut kemudian digantikan oleh Hamid
Basyaib yang masih dipegangnya sampai sekarang (2007).

Sejak didirikan sampai dengan sekarang (2001-2007), JIL menyelanggarakan banyak


sekali aktivitas yang berkaitan dengan pendidikan publik dan menyuarakan ide-ide liberal
Isam, aspirasi dan penafsiran toleran atas ajaran Islam di Indonesia. Aktivitas dan
program JIL antara lain:
Pertama, sindikasi penulis Islam liberal. Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan
sejumlah penulis yang selama ini dikenal (atau belum dikenal) oleh publik luas sebagai
pembela pluralisme dan inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan
tulisan, wawancara dan artikel yang baik untuk koran-koran di daerah yang biasanya
mengalami kesulitan untuk mendapatkan penulis yang baik. Dengan adanya “otonomi
daerah”, maka peran media lokal makin penting, dan suara-suara keagamaan yang toleran
juga penting untuk disebarkan melalui media daerah ini. Setiap minggu, akan disediakan
artikel dan wawancara untuk koran-koran daerah.

Kedua, talk-show dikantor berita radio 68H Jakarta. Talk-show ini akan mengundang
sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar pluralisme dan inklusivisme”
untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di Tanah Air. Acara ini akan
diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melaui jaringan Radio namlapanha di 40
Radio, antara lain; Radio namlapanha Jakarta, Radio Smart (Menado), Radio DMS
(Maluku), Radio Unisi (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio
Prima FM (Aceh).

Ketiga, penerbitan buku tentang Islam, pluralisme dan inklusivisme agama. JIL berupaya
menghadirkan buku-buku yang bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik
berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang
masih relevan dengan tema-tema tersebut. Beberapa buku terbitan JIL antara lain: Wajah
Islam Liberal di Indonesia (2002), Islam Liberal (2002), Menjadi Muslim Liberal (2005),
Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal (2005) dan sebagainya.

Keempat, penerbitan buku saku (booklet) dan leaflet yang berisi artikel pendek,
wawancara ataupun abstraksi dari buku tentang isu-isu kontroversial dalam agama. Untuk
kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan buku saku setebal 50-100 halaman dengan
bahasa renyah dan mudah dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi
sejumlah isu yang menajdi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan ini dari
perspektif Islam Liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad, penerapan syari’at Islam,
jilbab, penerapan ajaran “memerintahkan yang baik, dan mencegah yang jahat” (amr
ma’ruf, nahy munkar), dll.Booklet pertama yang diterbitkan JIL berjudul ‘Qur’an Untuk
Perempuan’ karangan Nasarudin Umar, seorang guru besar studi Islam dari UIN Jakarta.

Kelima, membuat situs www.islamlib.com. Situs ini menampilkan informasi peristiwa,


kegiatan, wawancara dan tulisan yang relevan dengan ide dan gagasan Islam liberal.

Keenam, iklan layanan masyarakat ditelevisi yang berisi pesan pluralisme, toleransi
keagamaan dan perdamaian antara pemeluk agama yang berbeda-beda di Indonesia.
Untuk menyebarkan visi Islam Liberal, JIL memproduksi sejumlah Iklan Layanan
Masyarakat (Public Service Advertisement) dengan tema-tema seputar pluralisme,
penghargaan atas perbedaan, dan dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang
sudah diproduksi adalah iklan berjudul "Islam Warna-Warni".

Ketujuh, diskusi tentang Islam. Melalui kerjasama dengan pihak luar (universitas, LSM,
kelompok mahasiswa, pesantren, dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan sejumlah
diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan keagamaan secara umum.
Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling yang diadakan melalui kerjasama
dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah universitas, seperti Universitas
Indonesia Jakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lain-lain.

Aktivitas-aktivitas tersebut di atas sebenarnya merupakan implementasi dari misi-misi


yang sudah digariskan JIL. Misi-misi tersebut yakni: Pertama, mengembangkan
penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta
menyeberkannya kepada seluas mungkin khalayak. Kedua, mengusahakan terbukanya
ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Mereka yakin, terbukanya ruang
dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga,
mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.

Dengan segala aktivitasnya tersebut di atas, JIL memang kemudian tidak hanya
memperoleh banyak sekali apresiasi dan dukungan, tetapi juga menuai reaksi kritik dan
bahkan ancaman, terutama dari kelompok Islam literal-konservatif dan radikal. Bentuk
reaksinya pun bermacam-macam: dari ancaman mati, somasi, teguran sampai kritik
dalam bentuk buku.

Ancaman mati datang dari Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) pada 30 November
2002, yang ketika berkumpul di Masjid al-Fajar Bandung mengeluarkan pernyataan
berisi fatwa menuntut aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan dan kegiatan
yang secara sistematis dan massif melakukan penghinaan terhadap Allah, Rasulullah,
umat Islam dan para ulama. Mereka terpicu tulisan provokatif Ulil Abshar-Abdalla selaku
koordinator JIL di koran Kompas pada 18 November 2002 berjudul Menyegarkan
Kembali Pemahaman Islam yang dirujuk sebagai contoh penghinaan Islam dan karenanya
menurut FUUI dapat diancam dengan hukuman mati. Menurut ketua FUUI, Athian Ali,
fatwa tersebut bukan hanya ditujukkan untuk Ulil tetapi untuk membongkar JIL yang saat
itu dia pimpin.
Reaksi yang berupa teguran, misalnya, datang dari tausyiah (rekomendasi) PWNU
(Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur pada 11-13 Oktober 2003. Isi tausyiah
tersebut intinya berupa anjuran kepada PWNU Jawa Timur agar segera menginstruksikan
kepada warga NU agar mewaspadai dan mencegah pemikiran Islam liberal dalam
masyarakat. Apabila pemikiran Islam liberal dimunculkan oleh pengurus NU (disemua
tingkatan), PWNU meminta agar diberikan sanksi yang tegas, baik berupa teguran keras
maupun sanksi organisasi (termasuk dianulir dari kepengurusan).

Reaksi berupa somasi dilancarkan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Melaui melalui
ketua Departemen Data dan Informasi-nya yakni Fauzan al-Anshari, MMI mensomasi
stasiun televisi RCTI dan SCTV yang memproduksi iklan JIL berjudul “Islam Warna-
Warni”.

Sementara itu, kritik terhadap JIL dalam bentuk buku bisa kita lihat dalam buku karya
Hartono Ahmad Jaiz, Adian Husaini, dan Adnin Armas.

Buku Hartono berjudul Bahaya Islam Liberal (2002). Pada akhir buku ini, misalnya,
Hartono menyerukan pengadilan atas Islam Liberal yang ia nilai telah jauh dari
kebenaran. Di antara dosa JIL, menurut Hartono, adalah menolak syariat Islam. Buku
Adian berjudul Islam Liberal: Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (2002).
Dalam buku ini Adian menyorot 3 agenda JIL yakni: (1) pengembangan teologi inklusif-
pluralis yang dinilai menyamakan semua agama dan mendangkalkan aqidah, (2) isu
penolakan syariat Islam yang dipandang sebagai bagian dari penghancuran global dan (3)
upaya penghancuran Islam fundamentalis yang dianggap merupakan bagian dari proyek
Amerika atas usulan zionis Israel. Buku Adnin berjudul Pengaruh Kristen-Orientalis
Terhadap Islam Liberal (2003). Buku ini berisi kumpulan perdebatan Adnin dengan para
aktivis JIL di milis Islam Liberal.

Reaksi terbesar kelihatannya dihadapi JIL pada akhir tahun 2005 lalu. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) melalui hasil Musyawarah Nasional (MUNAS) ke VII yang berakhir
pada Jum’at, 29 Juli 2005 mengeluarkan 11 fatwa yang salah satu diantaranya (poin ke 7)
mengharamkan umat Islam untuk mengikuti tiga paham kontemporer yakni sekularisme,
pluralisme dan liberalisme. Dalam fatwa MUI tersebut, liberalisme atau jelasnya Islam
Liberal dimaksudkan sebagai pemikiran Islam yang menggunakan pikiran manusia secara
bebas, bukan pemikiran yang dilandasi agama. Latar belakang pengharaman itu, seperti
diduga banyak orang, selalu dikaitkan dengan makin bersinarnya eksistensi Jaringan
Islam Liberal (JIL) yang mendapat dukungan dari generasi muda Islam progresif baik
dari NU, Muhammadiyah dan yang lainnya dengan tokohnya yang paling vokal pada saat
itu Ulil Abshar-Abdalla. Padahal, dalam kenyataannya wacana liberalisme Islam tidak
hanya di usung JIL tapi juga organisasi yang lainnya dan bahkan sudah di dahului oleh
Yayasan Paramadina sebagai pelopor Islam liberal di Indonesa, dengan Nurcholish
Madjid sebagai tokoh utamanya.

Sampai dengan saat ini, setelah segala hambatan tersebut di atas dilalui JIL, JIL masih
tetap eksis dan melanjutkan misinya dengan berbagai aktivitasnya seperti tersebut di atas,
termasuk mengelola website-nya, www.islamlib.com.
WWW.ISLAMLIB.COM:
“MENCERAHKAN, MEMBEBASKAN”

Website www.islamlib.com adalah situs resmi JIL. Dengan motto “Mencerahkan,


Membebaskan”, keberadaan situs ini berawal dari dibukanya milis Islam Liberal yakni
(islamliberal@yahoogroups.com) pada bulan februari 2001 yang mendapat respon
positif. Selanjutnya, ada usulan dari beberapa anggota untuk meluaskan milis ini ke
dalam bentuk website sehingga bisa diakses oleh kalangan yang lebih luas. Sementara itu,
milis akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua produk JIL (sindikasi
media, talk show radio, dll.) dimuat dalam website ini. Website ini juga memuat setiap
perkembangan berita, artikel, atau apapun yang berkaitan dengan misi JIL.

Menurut Luthfi Assyaukanie, website www.islamlib.com diup-date seminggu sekali pada


hari selasa. Pada hari itu juga sekaligus diadakan rapat redaksi untuk membicarakan isu-
isu yang akan dimuat dalam website tersebut. Dewan redaksinya antara lain: Hamid
Basyaib, Akhmad Sahal, Luthfi Assyaukanie, Nong Darol Mahmada, Burhanudin,
Novriantoni, M. Guntur Romli, dan Ulil Abshar-Abdalla. Sementara itu Anick HT
bertugas sebagai editor website, Lanny Octavia sebagai penerjemah bahasa Inggris, dan
Arif Widianto sebagai staf TI (Tekonologi Informasi).

Jika anda mengakses website www.islamlib.com, di bagian awal anda akan menemukan
tulisan: Dengan nama Allah, Tuhan pengasih, Tuhan penyayang, Tuhan segala agama. Di
bagian awal juga terdapat logo dan tulisan JIL serta pilihan mengakses website tersebut
dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Selanjutnya, jika anda mengakses website tersebut dalam bahasa Indonesia, tampilan
yang akan anda temui adalah dibagian atas terdapat logo dan tulisan JIL serta mottonya:
mencerahkan membebaskan. Dibagian atas juga terdapat fasilitas “pencarian” (browsing).
Juga terdapat kolom “Depan”, “Tentang JIL”, “Program”, dan “Kontak”. Di bawahnya
terdapat 2 kelompok besar yakni: (1) Rubrik dan (2) Fasilitas. Rubrik berisi: Editorial,
Wawancara, Kolom, Diskusi, Klipping, Tokoh, Buku dan Pernyataan pers. Sementara itu
Fasilitas: Milis, Newsletter, Direktori E-books, Direktori situs, Statistik artikel, dan
Pengiriman artikel.

Penelitian ini akan dibatasi pada 3 rubrik saja dari website www.islamlib.com yakni
editorial, wawancara dan kolom. Pemilihan ketiga rubrik tersebut didasarkan pada
beberapa pertimbangan yakni: (1) rubrik tersebut paling rajin di up-date oleh redaktur
JIL, (2) berdasarkan concern JIL seperti yang tertuang dalam manifesto Islam liberal-nya,
isi ketiga rubrik tersebut paling merefleksikan ide dan gagasan JIL dalam mensupport
manifesto tersebut. Berikut ini akan dijelaskan isi dari ketiga rubrik tersebut sebagai
bahan analisis.

Editorial

Rubrik editorial berisi artikel-artikel yang ditulis dewan rekasi JIL. Isinya merefleksikan
respon formal JIL terhadap isu-isu yang aktual berkaitan dengan dunia Islam di
Indonesia. Rubrik ini diisi secara berganti-ganti oleh anggota dewan redaksi sesuai hasil
rapat mereka tiap hari selasa. Selama kurun waktu Oktober 2005 sampai dengan Januari
2007, isi rubrik editorial adalah sebagai berikut:

Edisi Judul Editorial Penulis


15/01/2007 Progresivitas Kaum Santri Abdul Moqsith Ghazali
08/01/2007 Kolom Agama Anick HT
25/12/2006 Mempertimbangkan Ulang Orientalisme Novriantoni
18/12/2006 Harmoni Islam dan Kristen Abdul Moqsith Ghazali
11/12/2006 Dari Qasim Untuk Aa Gym M. Guntur Romli
04/12/2006 Setelah 20 Tahun Paramadina Luthfi Assyaukanie
27/11/2006 Abu Syuqqah dan Perempuan Umdah el-Baroroh
20/11/2006 Jihad: Bunuh Diri Keren? Novriantoni
17/11/2006 Menjadi Muslim Amerika Ulil Abshar-Abdalla
14/11/2006 Uluran Tangan Watt Ulil Abshar-Abdalla
06/11/2006 Keberanian dan Kebebasan Beragama M. Guntur Romli
25/10/2006 Nabi Perempuan Abdul Moqsith Ghazali
16/10/2006 Perempuan dan Kue Donat Nong Darol Mahmada
10/10/2006 Fenomenologi Ramadhan Novriantoni
01/10/2006 Kultur Takfir Abdul Moqsith Ghazali
27/09/2006 Fundamentalisme dan Neoliberalisme Luthfi Assyaukanie
19/09/2006 Dua Thaha di Sudan M. Guntur Romli
12/09/2006 Sapere Aude, Kaum Santri! Novriantoni
05/09/2006 Masjid dan Peradaban Yang Merosot Ulil Abshar-Abdalla
28/08/2006 Membentengi Islam Abdul Moqsith Ghazali
22/08/2006 Merdeka dan Liberal Ahmad Sahal
14/08/2006 Desa Muslim Anick HT
07/08/2006 Manifesto OKI Novriantoni
31/07/2006 Bush, Israel dan Hezbollah Ulil Abshar-Abdalla
24/07/2006 Ajakan Putri Libanon M. Guntur Romli
17/07/2006 Berharap pada NU Abdul Moqsith Ghazali
10/07/2006 Menciptakan Mukjizat Novriantoni
03/07/2006 Al-Qur’an Sebagai Wahyu dan Data Sejarah Ulil Abshar-Abdalla
26/06/2006 Islam-Phobia, Xeno-Phobia dan Milad Hanna M. Guntur Romli
19/06/2006 Cahaya Harold Bloom Hamid Basyaib
15/06/2006 Premanisme dan NKRI Abdul Moqsith Ghazali
12/06/2006 NKRI Sudah Final Luthfi Assyaukanie
05/06/2006 Gempa dan Teologi Apokaliptik Luthfi Assyaukanie
30/05/2006 Kenapa Kajian Islam Mandeg? Ulil Abshar-Abdalla
22/05/2006 Meneladani Kesantunan Tuhan Abdul Moqsith Ghazali
15/05/2006 Tmir, Salat di Mesir Hamid Basyaib
09/05/2006 Masih Tentang Ahmadiyah Ulil Abshar-Abdalla
01/05/2006 Pelajaran Dari Parlemen Syariat Saiful Mujani
24/04/2006 Dilema Kadima M. Guntur Romli
10/04/2006 Belajar Kembali Bernegara Luthfi Assyaukanie
03/04/2006 Tentang Perda Pelacuran Abdul Moqsith Ghazali
27/03/2006 Revisi SKB dan Intoleransi Beragama Novriantoni
20/03/2006 Poso Abdul Moqsith Ghazali
13/03/2006 Kita Dai Bukan Kadi M Guntur Romli
07/03/2006 Ulama Su’ Abdul Moqsith Ghazali
27/02/2006 Pentingnya Pembaruan Islam Luthfi Assyaukanie
21/02/2006 Kezaliman Berjamaah Novriantoni
13/02/2006 Membakar Surga M. Guntur Romli
06/02/2006 Wahabisasi Islam Indonesia Abdul Moqsith Ghazali
30/01/2006 Dawam dan Citra Muhammadiyah Yang Hilang Luthfi Assyaukanie
23/01/2006 Islam Badil dan Islam Bedil M Guntur Romli
16/01/2006 Ismail atau Ishak? Abdul Moqsith Ghazali
09/01/2006 Tentang Iman Ulil Abshar-Abdalla
02/01/2006 Ujian Buat Din M Guntur Romli
29/12/2005 Natal dan Perdamaian Abdul Moqsith Ghazali
28/12/2005 Salamun ‘Alaika Ya al-Masih! Novriantoni
20/12/2005 Perang (Tidak) Suci Abdul Moqsith Ghazali
12/12/2005 Kesungguhan TPT MUI Hamid Basyaib
05/12/2005 Tim Jihad MUI Hamid Basyaib
28/11/2005 Meliberalkan Sabda Abdul Moqsith Ghazali
22/11/2005 Saya Sudah di Surga, Ustad! M Guntur Romli
16/11/2005 Sinetron Religius Abdul Moqsith Ghazali
08/11/2005 Idul Fitri A Mustofa Bishri
01/11/2005 Islam Madinah Luthfi Assyaukanie
24/10/2005 Hasutan Berjubah Agama Luthfi Assyaukanie
11/10/2005 Pindah Agama Abdul Moqsith Ghazali
03/10/2005 Di Seputar Generik JIL Hamid Basyaib

Wawancara

Rubrik wawancara berisi dialog dengan tokoh dan figur terkenal baik dari dalam maupun
luar negeri tentang respon, komentar, analisis dan solusi mereka terhada problem dan
dinamika umat Islam Indonesia, baik yang sudah, sedang maupun akan terjadi. Pemilihan
tokoh dan figure yang akan diwawancarai, menurut Luthfi Asyaukanie, didasarkan pada
isu-isu actual yang sedang berkembang dimasyarakat dan JIL kemudian mewawancarai
tokoh dan figur yang expert dalam isu-isu tersebut. Selama kurun waktu Oktober 2005
sampai dengan Januari 2007, isi rubrik editorial adalah sebagai berikut:

Edisi Judul Wawancara Tokoh Yang Di Wawancarai


15/01/2007 Refleksi Kebebasan Berekspresi 2006: Budaya Kebebasan Kini
Beranakpinak Ahmad Suaedy (Wahid Institute)
08/01/2007 Butuh Waktu Lama Mengubah Pola Pandang MM. Billah (Komnas HAM)
25/12/2006 Shabiah, Agama Samawi Yang Berasas Tauhid Raeed Hasoun Baakal (The
Sabean Mandean Community)
18/12/2006 Poligami Rapuhkan Unit-Unit Keluarga Neng Dara Affiah (Komnas
Perempuan)
11/12/2006 Tuhan Tak Perlu Hukum Pidana Ifdhal Kasim (ELSAM)
04/12/2006 Kita Perlu De-Saudinisasi Islam Soheib Benceikh (Grand-Mufti, Marseille
Perancis)
27/11/2006 Paramadina Harus Pertahankan Stamina Budhy Munawar-Rachman
(Paramadina)
20/11/2006 Geertz Geser Dikotomi Jadi Trikotomi M. Dawam Rahardjo (LSAF)
14/11/2006 Aspirasi Parokhial Khianati Demokrasi Saiful Mujani (LSI)
06/11/2006 Islam Masa Lampau Itu Membebaskan KH Hussein Muhammad (Fahmina)
25/10/2006 Kita Selalu Butuh Tafsir Yang Sesuai Zaman Achmad Chojim
16/10/2006 Suicide Terrorism Lebih Di Picu Oleh Nasionalisme Ihsan Ali-Fauzi
(Mahasiswa PhD, Ohio University)
10/10/2006 Rahmat Tuhan Tidak Terbatas Jalaludin Rahmat
04/10/2006 Gus Dur Adalah Jendela, Garansi dan Lokomotif Abdul Moqsith Ghazali dan
Rumadi
27/09/2006 Paham Keagamaan Di Tentukan Pengalaman Endi Bayuni (The Jakarta Post)
19/09/2006 Persepsi Tentang Islam Akan Berubah Oleh Empat Hal Nadia Madjid (VoA)
12/09/2006 Gagasan Salaf-Jihadi Sedang Di Terjemahkan Sydney Jones (ICG)
05/09/2006 Seni Tidak Hanya Berfungsi Untuk Tujuan Yang Luhur Endo Suanda
(Etnomusikolog)
28/08/2006 Teks Proklamasi Di Buat Tergesa-Gesa Gunawan Muhammad (Tempo)
22/08/2006 Bush Selalu Ingin Hasil Cepat dan Segera Philip Jusario Vermonte (CSIS)
14/08/2006 Munas Kembalikan NU Ke Khittahnya Syafiq Hasyim (ICIP)
07/08/2006 Kesalehan Ritual Tidak Menunjang Pertumbuhan Ari A Perdana (CSIS)
31/07/2006 Kita Perlu Lobi Tandingan Israel Ahmad Sahal
24/07/2006 Kami Di Paksa Munafik DR.Wahyono Raharjo (BPKBB)
17/07/2006 Pada Akhirnya Akal Yang Menghukumi Agama Ahmad Abdul Mu’thi Hijazi
(Univ. Paris)
10/07/2006 Masyarakat Sudah Cerdas dan Perlu Pilihan Asrori S Karni (Gatra)
03/07/2006 Iklim Kebebasan Kita Harus Di Syukuri Fauzi Isman (Mantan Kelompok
Warsidi)
26/06/2006 Tak Seorangpun Bisa Mengkapling Surga Cok Sawitri (Komponen Rakyat
Bali/KRB)
19/06/2006 MUI Mestinya Di Swastanisasi Ahmad Suaedy (Wahid Institute)
12/06/2006 Toleransi Akan Lestari Kalau Tak Ada Politisasi Slamet Gundono (Dalang)
05/06/2006 Kalau Demokrasi Matang, Radikalisme Akan Berkurang Greg Barton
(Australia)
30/05/2006 Radikalisme Hanya Ekspresi Sekelompok Orang Ahmad Taufik (Garda
Kemerdekaan)
22/05/2005 Agama-Agama Tak Mungkin Di Samakan Metta Darmasaputra (Forum
Samantabadra)
15/05/2006 Menunggang Tradisi, Jepang Raih Modernisasi Wahyu Prasetyawan
09/05/2006 Intoleransi Juga mengalami Demokratisasi Martin van Bruinessen (ISIM)
01/05/2006 Pendidikan Kritis Sangat Penting Bagi Perempuan Nia Dinata (Sineas)
24/04/2006 Demokrasi Penting, Supremasi Hukum Lebih Penting Lakhdar Brahimi
(Diplomat Al-Jazair)
10/04/2006 Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja! Abdurrahman Wahid (NU)
03/04/2006 Segala Sesuatu Ada Karmanya Ni Gusti Ayu Sukma Dewi (Pansus RUU APP
DPR)
27/03/2006 Puritanisme Menghambat Kemajuan Sarlito Wirawan Sartono (UI)
20/03/2006 Otonomi Individu Harus Di Perjuangkan Hamid Basyaib (JIL)
13/03/2006 Negara Tak Perlu Mengatur Kepercayaan M Dawam Raharjo (LSAF)
07/03/2006 Syariat Islam Yes, Isinya Nanti Dulu! Jajang Jahroni (PPIM UIN)
27/02/2006 Kritisisme dan Kebebasan Harus Di Perjuangkan M. Fadjroel Rachman
(BPMSI)
21/02/2006 Reaksi Berlebihan Merepotkan Muslim Eropa Gunawan Muhammad
(Tempo)
13/02/2006 Tuhan Tak Bisa Di Sentuh, Tapi Dapat Di Ajak Dialog Jeffrie Geovanie (The
Indonesian Institute)
06/02/2006 Hak-Hak Dasar Harus Dijamin Rezim Demokratis R William Liddle (Ohio
University)
30/01/2006 Ideologisasi Islam Kini Sedang Bergerilya Luthfi Assyaukanie (Paramadina)
23/01/2006 Agama Adalah Kualitas Personal Kautsar Azhari Noer (UIN)
16/01/2006 Perlu Kearifan Membiarkan dan Memberikan Waktu Rm Eddy Kristianto
(STF Driyarkara)
09/01/2006 Situasi Sosial-Keagamaan 2006 Bisa Lebih Buruk Siti Musdah Mulia (ICRP)
02/01/2006 Kelahiran Yesus Mengandaikan Harapan Ioanes Rakhmat (STT Jakarta)
28/12/2005 Surga Yang Mengejar-Ngejar Saya Butet Kertaredjasa (Aktor)
20/12/2005 Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…. Radhar Panca Dahana (UI)
12/12/2005 Pesantren Harus Pertahankan Jati Dirinya Lili Zakiyah Munir (CEPDES)
05/12/2005 Dakwah Para Teroris Itu Bertuah Syu’bah Aasa (Wartawan)
29/11/2005 Negara Belum Jadi Essential Outsider Yudi Latif (Paramadina)
22/11/2005 Tingkat Kecemasan Hidup Menentukan Peringkat Keberagamaan Martin
Lukito Sinaga (STT Jakarta)
08/11/2005 Kembali Ke Fitrah, Kembali Ke Yang Substansial KH Hussein Muhammad
(Fahmina)
01/11/2005 Tanpa Pencarian, Tak Kan Pernah Ada Wahyu Achmad Chojim
24/10/2005 Aksi Terorisme Melawan Agama Dan Kemanusiaan Zuhairi Misrawi (P3M)
17/10/2005 Kami Membuat Puisi Untuk Melawan Bom Acep Zamzam Noor (Sanggar
Sastra Tasik)
11/10/2005 Dahulukan Akhlak Di Atas Fiqh Jalaludin Rahmat
03/10/2005 Negara Tidak Punya Hak Mengurusi Keimanan Abdul Aziz Sachedina
(Virginia University)

Kolom

Rubrik kolom berisi artikel yang ditulis oleh anggota dewan redaksi JIL maupun tulisan
kiriman dari simpatisan dan atau kontributor JIL. Isinya kebanyakan merupakan respon,
komentar, kritik dan solusi terhadap perkembangan dunia Islam di Indonesia. Beberapa
artikel yang dimuat dalam rubrik ini juga ditampilkan lagi pada kolom Opini koran harian
Jawa Pos yang memang merupakan sindikasi JIL. Selama kurun waktu Oktober 2005
sampai dengan Januari 2007, isi rubrik kolom adalah sebagai berikut:

Edisi Judul Kolom Penulis


25/12/2006 Natal dan Pluralisme Agama Moh. Sofan
18/12/2006 Jalan Sensualitas, Pintu Spiritualitas Muhammad Nugroho
11/12/2006 Negara Madinah dan Sekularisme Hamid Basyaib
04/12/2006 Memaknai Kembali Jihad M Guntur Romli
20/11/2006 Buku Pelajaran Agama dan Kekerasan Luthfi Assyaukanie
14/11/2006 Mengenang Jasa Watt dan Geertz Muhammad Ali
06/11/2006 Lebaran Untuk Semua Martin Lukito Sinaga
01/10/2006 Semangat (Islam) Cordova M Najibur Rohman
27/09/2006 Penoda, Ujian dan Berkah Ramadhan Andree Moller
19/09/2006 Spiritualitas Naquib Mahfoudz Muhammad Nugroho
12/09/2006 Second Muhammadiyah: Refleksi 3 Tahun Perjalanan JIMM Moh. Sofan
05/09/2006 Naquib Mahfoudz dan Dialog Peradaban M Guntur Romli
05/09/2006 Mengenang Kembali Nurcholish Madjid Bawono Kumoro
28/08/2006 Belajar Toleransi dari Kelenteng Muh. Kholid AS
22/08/2006 Ketemu Ma’ruf Amin Hamid Basyaib
19/08/2006 Libanon Pasca Perang M Guntur Romli
14/08/2006 “Agama Baru” dan Kebebasan Beragama Pradana Boy ZTF
07/08/2006 Tekstualisme, Islamisme dan Kekerasan Agama Jajang Jahroni
31/07/2006 Paradoks Islam Hadhari Luthfi Assyaukanie
24/07/2006 Muhammadiyah, Pancasila dan Kepemimpinan Inklusif Fajar Riza Ul-Haq
17/07/2006 Tantangan Pluralisme dan Kebebasan Beragama Muhammad Ali
10/07/2006 Islamisme, PKS dan Representasi Politik Perempuan Burhanuddin
03/07/2006 Menindak Kelompok Anarkhis Fajar Kurnianto
26/06/2006 Hibriditas Filsafat Islam Muhammad Nugroho
19/06/2006 Menuju Negara (Islam) Multikultural Ariyanto
19/06/2006 Gus Dur Al-Qur’an dan Pornografi M Guntur Romli
12/06/2006 Tuhan Pasca Musibah Slamet Thohari
05/06/2006 Iman Untuk Toleransi Sukidi
30/05/2006 The Da Vinci Code dan Kematangan Beragama Novriantoni
22/05/2006 Regulasi Pornografi: Belajar Dari Kasus Pengaturan Rokok Usep Hassan
Sadikin
15/05/2006 Masihkah NU Menjadi Jangkar? Rumadi
09/05/2006 Demokrasi dan Perlindungan Kaum Minoritas Nadirsyah Hossein
01/05/2006 Empat Polemik Budaya Untuk Islam Liberal Nirwan Dewanto
24/04/2006 Dua Identitas Anick HT
10/04/2006 Teks Sebagai Jendela dan Cermin Ioanes Rakhmat
03/04/2006 Pembaruan Islam di Indonesia: Pandangan Kristen Martin Lukito Sinaga
27/03/2006 RUU APP: Ketegangan Modernisme dan Fundamentalisme Abdul Mukti
Ro’uf
20/03/2006 Kemurtadan Yang Niscaya dan Globalisasi Dakwah Ulil Abshar-Abdalla
13/03/2006 Memaknai Kembali Tajdid: Tambahan Untuk Luthfi Assyaukanie M. Najibur
Rohman
08/03/2006 Liberalisme dan Anti-Imperialisme Ahmad Sahal
07/03/2006 Mungkinkan Integrasi HAM Ke dalam Pelajaran Agama Wilson Lalengke
06/03/2006 Ujian Untuk Konstitusi Kita Ulil Abshar-Abdalla
27/02/2006 Stratifikasi Pembaca Teks al-Qur’an A Sihabul Millah
22/02/2006 Surat Terbuka Kepada Ketua MPR Anick HT
21/02/2006 Memaknai Kembali Hubungan Islam-Barat Abdul Mukti Ro’uf
13/02/2006 Karikatur Nabi: Bentrokan Peradaban atau Ketidakberadaban? Andre Moller
06/02/2006 Dilema Agama dan Kebebasan Berekspresi: Kabar Dari Inggris Laksmi
Prasvita
30/01/2006 Wajah Ganda Kaum Islamis: Kasus Hamas dan Ikhwanul Muslimin M
Guntur Romli
23/01/2006 Nabi, Dukun, dan Penyair Ulil Abshar-Abdalla
20/10/2006 Formalisasi Syariat Islam DalamKonteks Kekinian Maksun
16/01/2006 Apologia: Isu Lama Media Baru Hairus Salim HS
09/01/2006 Suara Langit Trisno S Sutanto
02/01/2006 In Memoriam: Masyskur Maskub Penggerak Silent Transformation di NU
Ulil Abshar-Abdalla
02/01/2006 Tradisi dan Pembaruan: Tanggapan Buat Ulil Muhammad Akib
01/01/2006 Al-Qur’an, Natal dan Pluralisme Agama M Guntur Romli
28/12/2005 Sandiwara Mengecam Terorisme? Luthfi Assyaukanie
20/12/2005 Problem Perbauran Muslim di Australia Pradana Boy ZTF
12/12/2005 Agnostisisme Intelektual Ulil Abshar-Abdalla
05/12/2006 Ketika “Media Kebencian” Masuk Pesantren Novriantoni
28/11/2005 Memetik Buah Warta Kebencian Pormadi Simbolon
22/11/2005 Azahari, Fundamentalisme dan Terorisme Wiwit Rizka Fatkhurrahman
16/11/2005 Islam Baghdad Luthfi Assyaukanie
01/11/2005 Mengkaji Ulang Makna Pembakaran Dosa Amir Tajrid
24/10/2005 Puasa dan Rekonstruksi Makna Jihad Zacky Khairul Umam
17/10/2005 Ketika Rumah Tuhan Jadi Kontroversi Tedi Kholiludin
11/10/2005 Puasa dan Transformasi Multikultural Choirul Mahfud
06/10/2005 Kekerasan Atas Nama Fatwa M Guntur Romli
03/10/2005 Melawan Budaya Kekerasan: Memaknai Ulang Pluralisme Trisno S Sutanto

Dari judul-judul yang tertera pada ketiga rubrik di atas, nyatalah bahwa JIL melalui
websitenya, memang merefleksikan kelompok Islam liberal-progresif di Indonesia yang
bisa diidentifikasi pada concern mereka terhadap enam hal utama yakni: (1) melawan
teokrasi, (2) mendukung demokrasi, (3) membela hak perempuan dan kesetaraan gender,
(4) membela non-Muslim (minoritas) dan pluralisme agama, (5) menjunjung tinggi
kebebasan berpikir, dan (6) membela gagasan kemajuan (progresif).

BAB 4
YAYASAN HIDAYATULLAH:
PROMOTOR LITERALISME DAN KONSERVATISME ISLAM

SEJARAH YAYASAN HIDAYATULLAH:


Dari Pesantren Sampai Usaha Bisnis

Hidayatullah bermula dari sebuah pesantren yang didirikan (almarhum) Ustadz Abdullah
Said pada 7 Januari 1976 di Balikpapan, Kalimantan Selatan. Pendiri pesantren, Abdullah
Said (lahir 1946), mengalami masa-masa sulit pada awal pendirian pesantrennya.
Mulanya ia datang ke Balikpapan pada akhir tahun 1969 karena pelarian. Said yang
bernama asli Muhsin Kahar, saat itu dikejar-kejar polisi karena menggalang Pemuda
Muhammadiyah untuk mengobrak-abrik tempat perjudian di Makassar, Sulawei Selatan.
Aksi itu meletus pada 28 Agustus 1969. Puluhan aktivis Islam yang dituduh terlibat
dalam kasus itu kemudian ditahan polisi. Muhsin Kahar-pun disuruh menghilang oleh
para Kiyai. Ia kemudian melarikan diri ke Balikpapan. Setibanya di Balikpapan, Muhsin
Kahar berganti nama menjadi Abdullah Said dan kembali berdakwah. Pada tahun 1971, ia
mengajukan ide mendirikan pondok pesantren dan perkampungan Muslim kepada
Pengurus Muhammadiyah di Balikpapan. Akan tetapi, jawaban yang diterima dari
pengurus Muhammadiyah justru nada pesimisme bahwa hal itu akan sulit untuk
direalisasikan. Namun demikian, cita-cita Said tak lekas kunjung padam. Ia kemudian
merantau ke Pulau Jawa, mencari guru ngaji. Akhrinya ia berhasil mengajak 4 pemuda
lulusan pondok pesantren yakni, Hasyim (lulusan Gontor Ponorogo), Usman Palese
(lulusan Persis Bangil), Hassan Ibrahim (lulusan Krapyak Yogyakarta) dan A Nazir
Hassan (Majlis Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta).

Perintisan pesantren di Balikpapan oleh Said dan kawan-kawannya dimulai dengan


mengadakan pengajian kecil-kecilan dan berpindah-pindah. Ia bahkan sempat meminjam
tempat jemuran padi yang cuma berukuran 3X4 meter persegi. Disanalah dilakukan
semua kegiatan, mulai dari makan, tidur, shalat, sampai belajar. Kemudian ada yang
meminjamkan emperan rumah. Pada saat itu santrinya juga masih sangat sedikit, tak lebih
dari 10 orang. Namun lambat laun, berkat kegigihan Said dan kawan-kawannya anggota
pengajiannya semakin lama-semakin besar. Kegiatan Said dan kawan-kawan sempat
dituding beraliran paham sesat. Puncaknya, pada tahun 1974 ada yang melaporkan
kepolisi bahwa Abdullah Said adalah Muhsin Kahar yang terlibat di dalam aksi
mengobrak-abrik tempat judi lotto di Makassar. Untunglah ia Cuma ditahan selama
seminggu. Tudingan sesat terhadap Said ternyata juha sampai ditelinga Walikota
Balikpapan, Asnawi Arbain. Karena tak mau terkena hasutan, Asnawi langsung menemui
Said dan kawan-kawannya. Ternyata, bukan larangan yang ia keluarkan, Asnawi justru
malah mendukung dan menunjuk daerah di Gunung Tembak, bekas HPH, yang mungkin
bisa dijadikan pesantren untuk Said dan kawan-kawannya.

Pada tahun 1976, Pesantren Hidayatullah diresmikan oleh Menteri Agama pada saat itu,
Prof. Mukti Ali. Dalam jangka 5 bulan, hutan, semak belukar dan rawa berhasil dibenahi
dan jadi pemukiman yang artistik. Saranapun dipenuhi agar menjadi memadai seperti ada
masjid, perpustakaan, asrama, dan ruang belajar. Kini luas arealnya bahkan mencapai
sekitar 100 hektar. Sekarang kawasan itu dihuni sekitar 1600 warga, termasuk para santri
pesantren. Abdullah Said meninggal dunia pada 4 Maret 1998 dalam usia 52 tahun.
Sepeninggalnya, kepemimpinan Hidayatullah dipegang Ustadz Abdurahman Muhammad
hingga sekarang (2007).

Dari sebuah pesantren kecil, Hidayatullah kemudian berkembang menjadi amal usaha
yang menguntungkan dan concern-nya diberbagai bidang mulai bidang sosial, dakwah,
pendidikan dan ekonomi juga menyebar tidak hanya di Kalimantan tetapi juga di
berbagai daerah lainnya di Indonesia. Melalui Musyawarah Nasional (MUNAS) I pada
tanggal 9—13 Juli 2000 di Balikpapan, Kalimantan Selatan, Hidayatullah mengubah
bentuk organisasinya menjadi organisasi kemasyarakatan (ORMAS), dan menyatakan
diri sebagai gerakan perjuangan Islam.

Hidayatullah memandang bahwa kemunduran umat Islam lebih disebabkan karena


pandangan yang parsial dalam memahami keholistikan ajaran Islam. Masing-masing
kelompok mengambil tema dan titik tekan program sesuai dengan pandangannya yang
sangat parsial bahkan tema dan titik program itu seringkali menjadi semacam ideologi
kelompok. Sebagai organisasi massa Islam yang berbasis kader, Hidayatullah
menyatakan diri sebagai gerakan perjuangan Islam (Al-harakah al-Jihadiyah al-
Islamiyah) dengan dakwah dan tarbiyah sebagai program utamanya.

Agenda utama Hidayatullah antara lain pelurusan masalah aqidah, imamah dan jamaah
(tajdid), pencerahan kesadaran (tilawatu ayatillah), pembersihan jiwa (tazkiyatu al-
nufus), pengajaran dan pendidikan (ta’limatu al-kitab wa al-hikmah) menuju lahirnya
kepemimpinan dan umat terbaik.

Untuk merealisasikan agenda diatas, Hidayatullah menyusun visi dan misinya untuk
periode 2005—2010. Visi yang telah disusun untuk periode sekarang adalah menjadi
organisasi tingkat nasional yang unggul dan berpengaruh, didukung jaringan yang loyal
dan berkualitas. Sementara itu, misi yang telah disusun adalah sebagai berikut: (1)
Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM, (2) Mengintensifkan pelayanan ummat
melalui aktivitas pendidikan dan dakwah, (3) Mewujudkan kemandirian ekonomi, dan (4)
Mendorong penegakkan Islam pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat.

Hidayatullah juga memiliki struktur dan mekanisme organisasinya sendiri. Pengurus


organisasi ditingkat pusat terdiri dari dewan syuro dan dewan pimpinan pusat. Dewan
syuro merupakan lembaga tertinggi organisasi, dipimpin oleh ketua dewan syuro yang
juga sekaligus merupakan imam bagi jamaah Hidayatullah dengan sebutan sebagai
pimpinan umum yang sekarang dijabat oleh H. Abdurrahman Muhammad. Ketua umum
dewan pimpinan pusat (DPP) dipilih lewat Musyawarah Nasional (MUNAS) dan
pengurus DPP disahkan oleh pemimpin umum di dalam munas tersebut untuk jangka
waktu 5 tahun. Pemimpin umum periode sekarang adalah DR. H. Abdul Mannan, SE,
MM.

Struktur dibawah dewan pimpinan pusat (DPP) terdiri dari dewan pimpinan wilayah
(DPW/tingkat propinsi), dewan pimpinan daerah (DPD/tingkat kabupaten-kota), dewan
pimpinan cabang (DPC/tingkat kecamatan), pimpinan ranting (PR/tingkat desa-
kelurahan), pimpinan anak ranting (PAR/tingkat RT-RW). Ketua dewan pimpinan
wilayah/daerah/cabang dipilih oleh musyawarah ditingkat masing-masing dan disahkan
oleh struktur di atasnya. Jaringan kerja (networking) Hidayatullah (hingga bulan
Desember 2005) didukung dengan keberadaan 26 DPW dan 194 DPD, 51 DPD terdapat
di pulau Jawa dan 143 DPD ada di luar pulau Jawa. Pada akhir tahun 2006 direncanakan
terdapat tambahan 66 DPD dan 4 DPW. Jumlah DPC, PR dan PAR tidak dicantumkan
karena pertumbuhannya yang terus berubah.

Sekarang Hidayatullah telah memiliki banyak sekali unit kerja. Hidayatullah telah
memiliki lembaga pendidikan mulai TK, Playgroup dan Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) dihampir semua daerah, SMP/MTS dan SMA/MTS dihampir
semua daerah. Sementara untuk perguruan tinggi, Hidayatullah telah memiliki Sekolah
Tinggi Agama Islam Lukman al-Haqim (STAIL) Surabaya, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah
(STIS) Balikpapan, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Depok dan Universitas
Hidayatullah di Depok. Di bidang dakwah, melalui pesantrennya dibeberapa daerah,
Hidayatullah sampai akhir tahun 2005 telah menyebar 150 da’I bergelar sarjana ke
seluruh Indonesia.

Selain itu Hidayatullah membantu anak-anak tak mampu dengan mendirikan sekitar 200
PPAS (Pusat Pendidikan Anak Shaleh) yang ada dihampir setiap DPD. Hidayatullah juga
memiliki Baitul Maal Hidayatullah (BMH) yang juga telah mendapat pengukuhan
sebagai lembaga amil zakat nasional melalui SK Menag RI No. 538/2000. Kini BMH
memiliki 30 kantor perwakilan dan 144 jaringan pos peduli (mitra) dan juga mendirikan
klinik-klinik IMS (Islamic Medical Service) diberbagai lokasi. Ada juga Muslimat
Hidayatullah (Mushida) yang menggarap pemberdayaan wanita, keluarga dan anak. Kini
Mushida telah memiliki 15 Pengurus Wilayah (PW) diseluruh Indonesia.

Untuk mewadahi aspirasi kalangan remaja dan mahasiswa, Hidayatullah mendirika


n Syabab (Pemuda) Hidayatullah. Pada Munas 2005, Pemuda Hidayatullah telah memilih
kepengurusan tingkat pusat dengan ketua umum Drs Asdar Majhari. Hidayatullah juga
telah mendirikan Induk Koperasi Hidayatullah (Inkohida) pada tahun 1999 dan disahkan
Menkop dan PUKM RI No. 013/BH/M.1/1999. Kini Inkohida memiliki 9 Puskophida
ditingkat propinsi dan 142 kophida ditingkat kabupaten-kota. Pada tahun 2004,
menyikapi banyaknya musibah dan bencana alam, Hidayatullah juga membentuk Tim
SAR (Search and Rescue). Tim ini diuji pertama kali pada bencana Tsunami di Aceh
dimana Tim SAR Hidayatullah telah terjun sejak hari kedua dengan membuka posko di
Lanud Iskandar Muda.

Hidayatullah juga mendirikan Grand MBA (Gerekan Membudayakan Mengajar dan


Belajar al-Qur’an) dan Pos MTQ (Majlis Taklim Qur’an). Selain itu DPP Hidayatullah
sendiri hingga sekarang sudah memiliki beberapa amal usaha yakni: Pos Dai (wadah
perkaderan dan koordinasi Dai), Inisiasi (Lembaga kajian peradaban Islam), Inisiasi Press
(penerbit buku), PAI (Peduli Anak Indonesia), IMS, Badan Pengembangan Anggota,
Badan Pengembangan Pondok Pesantren, Badan Wakaf Hidayatullah, dan Pusat Studi
dan Pengembangan Pendidikan Islam.

Sementara beberapa badan usaha, lembaga bisnis milik Hidayatullah, antara lain: PT
Totalindo Rekayasa Telematika dibidang teknologi informasi, PT Lentera Jagad Abadi
dibidang penerbitan pers dan non-pers, CV Jayamadina dibidang percetakan, Koperasi
Sakinah dibidang retail dan swalayan dan sebagainya.

Dibidang media, Hidayatullah memiliki Majalah Suara Hidayatullah (Sahid) dan situs-
situs Hidayatullah. Majalah Sahid berisi tentang problematika dan dinamika dakwah, baik
di Indonesia maupun di dunia. Di dalamnya ada rubrik wawancara dengan tokoh ternama,
kajian al-Qur’an dan Hadis, kisah heroik perjuangan dai diberbagai pelosok tanah air,
hingga masalah keluarga. Tiras rata-rata selama 5 tahun terakhir majalah full-color ini
mencapai 60.000 eksemplar sekali terbit, dengan sebaran dari sabang sampai merauke.
Sementara itu website-website Hidayatullah terdapat dalam beberapa website antara lain
www.hidayatullah.or.id (berisi organisasi, amal-amal usaha terkait, layanan
dakwah/pendidikan/sosial), website-website milik amal usaha mandiri seperti
www.bmh.or.id (baitul mal hidayatullah), website luqman al-hakim, STIM, STAIL dsb.
Selain itu website yang paling terkenal milik Hidayatullah adalah www.hidayatullah.com
yang berisi majalah, berita, diskusi, artikel, wawancara, link-link Islam dan sebagainya.

WWW.HIDAYATULLAH.COM:
“TEGAKKAN ISLAM UNTUK MEMBANGUN PERADABAN ISLAM”

Situs yang lengkap, demikianlah kalimat yang pas untuk menggambarkan content (isi)
dari website www.hidayatullah.com. Dengan motto “Tegakkan Islam Untuk Membangun
Peradaban Islam”, situs ini sekarang telah berkembang menjadi situs berita dunia Islam
yang ramai dikunjungi dan menjadi ajang diskusi baik sesama aktivis Islam maupun
kelompok non-Muslim. Anggota (members) pada akhir tahun 2005 tercatat telah
mencapai 20 ribu orang aktif.

Kelengkapan isi situs akan dapat kita lihat ketika mengaksesnya. Berdasarkan
tampilannya, di bagian atas selain terdapat logo dan nama situ yakni hidyatullah.com,
disebelah kiri atas terdapat direktori untuk mengakses langsung informasi tentang “wakaf
tunai”. Sementara disebelah kanan atas terdapat direktori untuk mengakses langsung
informasi “Gerakan Wakaf Al-Qur’an” yang dikoordinir oleh Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) Hidayatullah.

Selanjutnya, masih pada halaman yang sama, terdapat pula direktori untuk mengakses
langsung informasi tentang hal yang lain yang tertera dalam rubrik: Home, Login, Forum,
Galeri, Webmail, Kolom, Adian Husaini, Syamsi Ali, Dzikrullah, Berita, Nasional,
Internasional, Artikel, Opini, Kajian, Wawancara, Feature, Cermin, Pustaka, dan Teori
Evolusi Menanti Ajal.

Di bagian bawah, secara mencolok terdapat direktori dan up-date terkini untuk
mengakses langsung informasi tentang: Kabar Dari New York; Oleh Syamsi Ali, Catatan
Akhir Pekan (CAP); oleh Adian Husaini, Kolom Khusus Dzikrullah, Opini, Cermin,
Features, dan Wawancara. Sementara itu dibagian paling bawah, tertulis coppy right
Hidayatullah dot com dari 1996-2007 dan design dan webmater rief70.

Penelitian ini akan dibatasi pada 2 rubrik saja dari situs www.hidayatullah.com yakni
kolom opini dan CAP Adian Husaini. Pemilihan kedua rubrik tersebut didasarkan pada
beberapa pertimbangan yakni: (1) kedua rubrik tersebut memiliki sisi ilmiah sebagai
bahan kajian mengenai sebuah pemikiran, (2) berdasarkan concern Hidayatullah seperti
yang tertuang dalam visi dan misi-nya, isi kedua rubrik tersebut paling merefleksikan ide
dan gagasan Hidayatullah dalam mensupport visi dan misi tersebut. Berikut ini akan
dijelaskan isi dari kedua rubrik tersebut sebagai bahan analisis.
Kolom Opini

Kolom ini berisi artikel-artikel dari kontributor www.hidayatullah.com yang sesuai


dengan visi dan misi hidayatullah.com. Kolom ini, meski tidak secara rutin, biasanya di
up-date setiap seminggu sekali oleh redaktur situs tersebut. Berikut ini adalah isi kolom
opini tersebut:

Edisi Judul Opini Penulis


12 Agustus 2005 Legitimasi Fatwa Terakhir MUI:Kekeliruan liberal berpangkal logika
hitam putih. Kalau Anda meyakini kebenaran Islam, anda dianggap tidak toleran, anda
tidak boleh manganggap sesat orang. Dr. Syamsuddin Arif

30 Agustus 2005 Memahami Liberalisme:Tiga hal mencakup paham liberalisme. Pertama


kebebasan berfikir, pandangan skeptic dan agnostic. Terakhir manifestasi nifaq. Tidak
mau disebut kafir jika sudah tidak committed pada agamanya. Syamsuddin Arif, Ph.D

15 November 2005 ‘Jinayat’ Jil Terhadap Fiqih dan Fuqaha:Para penulis dari paham
Islam Liberal sering menulis ‘ngaco’ di berbagai kesempatan bahkan berani memfitnah
para fuqaha untuk melakukan pembodohan terhadap umat. Thoriq

1 Desember 2005 Pluralisme Agama dan Gerakan Freemason:Istilah pluralisme agama


tak hanya terjadi belakangan ini saja, istilah itu sudah pernah dikampanyekan gerakan
freemanson dan theosofi dengan doktrin “Semper, ubique et ab omnibus” (bagian
pertama dua tulisan) Adnin Armas, MA

5 Desember 2005 Pluralisme Agama dan Gerakan Freemason:Selain tokoh gerakan


freemason Olcott dan Blavatsky, tokoh yang ikut tertarik gagasan “pluralisme agama”
adalah Rene Guenon dan Frithjoc Schuon (bag. Terakhir dari dua tulisan) Adnin Armas,
MA

15 Februari 2006 Kekerasan Penjara Terdakwah Teroris:Tahun 1998, kasus penculikan


dan penyiksaan aktivis Kristen Pius Lustrilanang bisa memukau wartawan dan
menggetarkan iklim keamanan. Bagaimana dengan penyiksaan tersangka “teroris”?
Fauzan Al-Anshar
i
16 Febuari 2006 Serangan Pemikiran dalam Pendidikan: Perang pemikiran atau
Ghazwu’l-fikri biasanya dipahami berasal dari dunia Barat secara umum yang
mempunyai hubungan atau kepentingan di dunia Islam, khususnya pada pendidikan.
Indra Yogiswara

22 Februari 2006 Semoga Aku Seorang Muslim Sejati:”Andai aku seorang muslim
leiberal, maka aku akan melepas keyakinan-keislamanku dari segala bentuk otoritas
tafsir”, ujar Haidar Baqir. Tulisan ini adalah jawaban dari tulisan Haidar itu Khalif
Muammar
27 Februari 2006 Yang Tersisa Dari Kasus Ahmadiyah:Fenomena pelarangan Ahmadiyah
ternyata masih menyisahkan masalah hingga kini. Meski MUI sudah mengeluarkan
fatwa, ada saja yang mengatakan langkah itu melanggar HAM. Asiandi dan Supriyadi

8 Maret 2006 Pornografi dan Pornoaksi, Adakah Dalam Islam?:Kalangan feminisme dan
aktifis perempuan “bersenandung-ria” dibalik definisi soal pornografi. Dalam Islam,
pornografi jauh lebih jelas dan tegas. Hizbullah Mahmud

11 Maret 2006 Jihadnya Muslimah (bagian 2)Dengan jilbab justru para Muslimah merasa
terbebas dari tekanan untuk kompetisi kecantikan, bebas dari objek seks di jalanan.
“Sayapun bisa jadi lebih nampak sederhana,” kata Jennifer Al Shahida

16 Maret 2006 Beda Seni di Mata Barat dan Islam:Para seniman, artis, penyanyi, getol
menolak RUU APP. Katanya dengan RUU ini seni dan kreatifitas tak berkembang. Islam
tak melarang seni, kecuali memang ia ketakutan tak bisa lagi ’bertelanjangria’ Thoriq

17 Maret 2006 Soal Pornografi, Kenapa Tak “Melirik” Islam?: Kalau saja, para artis,
seniman dan kalangan yang selalu berdalih bahwa definis pornografi dan pornoaksi ’tak
jelas’ sedikit saja mau melirik ’konsep Islam’ mungkin masalah tak serumit ini. Hera
Anggarawaty

27 Maret 2006 Bahaya Tafsir Pluralis:Kaum pluralis sering menggunakan pembenar


surah Al Baqarah ayat 62 sebagai ayat rujukan ”Pluralisme Agama”. Dibawah ini Surat
Al-Baqarah ayat 62 ditinjau dari segi bahasa. Khoiruddin

29 Maret 2006 Soal Pornografi: Kritik untuk Para “Gus”: Beberapa saat yang lalu,
budayawan KH Mustofabisri atau kerap dipanggil Gus Mus dan Gus Dur menolak RUU
APP. Tulisan ini kritik terhadap ungkapan para Gus. Nasrulloh Afandi

22 April 2006 Gerakan Feminisme Kembali ke ‘Sunnatullah’?:Feminisme Barat


menggambarkan perubahan besar gerakan feminisme. Ujungnya kesadaran bahwa
perbedaan pria dan wanita memang bersifat biologis. Dimanakah posisi feminisme
Indonesia? (Artikel ini untuk mnyambut Hari Kartini 21 April 2006) Santi Soekanto

3 Mei 2006 Pornografi dan Pencemaran Bhineka Tunggal Ika?:Penolak RUU-APP baru-
baru ini membuka karnaval di bundaran HI, Jakarta. Alih-alih menolak RUU APP,
mereka melakukan (apa yang ia sebut pawai budaya), tapi dengan sorak sorai pamer
payudara. Berbudayakah? Nasrulloh Afandi

16 Mei 2006 Syari’at Porno? Para penolak syariat Islam kini sudah mengalami kemajuan
luar biasa. Setiap gerakan apapun, kini, selalu dikaitkan untuk mewaspadai syari’at. Yang
terbaru adalah masalah RUU APP. Muchib Aman Aly

6 Juli 2006 Akal-akalan Dalam Ijtihad:Penganut paham Sekularisme Pluralisme dan


Liberalisme (Sipilis) sering seenaknya menyalahgunakan istilah ijtihad hanya untuk akal-
akalan. Pantaskah kita disebut ‘mujtahid’? Hizbullah Mahmud
26 Juli 2006 Zionisme dan Sekularisme Berbaju Agama:Gerakan Zionisme bukanlah
murni gerakan keagamaan Yahudi. Zionisme merupakan gerakan nasionalisme, bermotif
duniawi yang menginginkan bangsa Yahudi memiliki tanah air sendiri dengan merampas.
Tia Anwar Bachtiar

31 Agustus 2006 Menimbang Kembali Sekularisasi:Sekularisasi bukanlah prasyarat


mutlak transformasi masyarakat dari tradisional menjadi modern. Dengan kata lain,
masyarakat tak harus menjadi sekular untuk menjadi modern atau maju. Syamsuddin
Arif, Ph.D

8 September 2006 Apa Salahnya Pluralisme Agama?:Meski fatwa MUI sudah berlalu,
perdebatan soal pluralisme masih berlangsung. Semua orang seolah-olah mulai bicara.
Sebenarnya, apa beda pluralisme dengan relativisme? Syamsuddin Arif, Ph.D

14 September 2006 Tantangan Liberalisme Pendidikan di Indonesia:Ada perkembangan


di mana, ilmu-ilmu agama dianggap ilmu kelas tiga yang hanya layak dipalajari orang-
orang bodoh. Sementar ilmu-ilmu eksakta dianggap sebagai ilmu yang benar. Tia Anwar
Bachtiar

28 September 2006 Ibnu Arabi dan Pluralisme: Beberapa kalangan mengutip dan
mencatut nama Ibnu Arabi. Sayangnya kemudian mereka memanipulasi pendapatnya,
untuk digunakan merusak aqidah Islam Dr Syamsuddin Arif

2 Oktober 2006 Benarkah Semua Pendapat Boleh Diikuti:Kalangan pro-sipilis


(sekularisme, pluralisme & liberalisme) membolehkan orang melakukan tafsir sesuai
kecenderungannya. Termasuk mengambil pendapat kalangan non Muslim? Benarkah
dibolehkan? Thoriq Lee

16 Oktober 2006 Menyoal Batas Aurat Wanita Muslimah: soal Jilbab banyak ulama,
termasuk imam mazhab. Umumnya tak ada perbedaan. Tulisan ini adalah catatan kecil
untuk guru saya Dr. Quraish Shihab atas kekeliruannya (bag.kedua) Aep Saepulloh
Darusmanwiati

6 November 2006 Menyoal Batas Aurat Wanita Muslimah: Para Ulama sudah gamblang
menjelaskan batas-batas aurat. Tulisan ini merupakan catatan kecil untuk Guru saya Dr.
Quraish Shihab atas kekeliruannya. (bag terakhir) Aep Saepulloh Darusmanwiati

CAP Adian Husaini

Kolom ini berisi Catatan Akhir Pekan (CAP) yang ditulis Adian Husaini dan bahkan juga
disiarkan oleh Radio Dakta. Berikut ini adalah isi dari kolom CAP tersebut:

Edisi Judul Kolom


1 Agustus 2005 Membela Ahmadiyah Berdasarkan HAM:Pembela Ahmadiyah
berlindung dalam HAM untuk membolehkan aliran sesat. Jika ada aliran yang
‘menghina’ agama lain, bolehkah dibiarkan atas nama HAM?

17 Oktober 2005 “Bedah Pluralisme di Bandung”:Paham Pluralisme Agama merupakan


proyek yang sangat mudah menyedot dana dari lembaga-lembaga asing yang
bergelimang uang.

21 November 2005 No APEC, No War, No Bush!”:Jika tak bisa mengendalikan


liberalisasi dan globalisasi, Indonesia akan tetap menjadi Negara yang terus tergantung
pada Negara lain.

28 November 2005 ‘Radikalisme dan Terorisme’:Depag berencana mengkaji dan


melarang buku tentang jihad. Di masa Belanda, istilah ‘radikal’ bermakna positif.
Sekarang dinisbatkan pada yang anti-AS.

19 Februari 2006 Menteri Agama dan Ahmadiyah:Pernyataan Menag tentang Ahmadiyah


mendapat kecaman kaum sekular-liberal. Jika konsisten kaum liberal seyogyanya
menghormati keimanan Menag.

14 Maret 2006 “Pornografi dan Liberalisme”:Wartawan senior Indonesia menuduh RUU


APP ‘berbau Arab’. Nabi dan Imam Syafii juga orang Arab tapi mengapa kita mau
mengikutinya?

27 Maret 2006 Paham Syirik Modern Serbu Pondok Pesantren:Mengejutkan!International


Center for Islam dan Pluralism (ICIP) yang dikenal pengasong berat liberalisme bisa
bekerjasama BKSPPI yang menolak ide liberal.

8 april 2006 Seminar Tentang Islam Liberal di Malaysia:Banyak tokoh Islam Malaysia
terbengong-bengong karena para penyebar paham liberal di……..adalah orang-orang
yang mempunyai latar belakang studi Islam.

16 April 2006 “Sikap Kaum Hindu Terhadap Islam”:Sebuah majalah Hindu Bali
mencurigai Islam lewat RUU APP. Sebelum Bali menolak RUU itu ’para provokator’
sudah datang ke pulai itu.

21 April 2006 ”Somasi untuk Menter Agama”:Menag Maftuh Basyuni, disomasi oleh
Dawam Rahardjo dan kelompoknya karena dianggap ’mendzalimi’ Ahmadiyah dan Lia
Eden.

2 Mei 2006 ”Dawam Rahardjo, Geonawan Mohammad, dan Israel”:Goenawan mendapat


penghargaan Dan David Prize dari Israel. Adakah hubungannya dengan Liberalisasi Islam
di Indonesia?

21 Mei 2006 “Mengkritik Quraish Shihab”:Cendekiawan NU Mesir mengkritik buku Dr


Quraish Shihab tentang jilbab yang dinailnya…..pada ulama yang kurang otoritatif dalam
fikih.
31 Mei 2006 “PDS dan Syariah – Fobia”:Sikap ‘Islamophobia’ ditunjukkan kalangan
Kristen saat protes anggota Parta Damai Sejahtera tentang sejumlah Perda yang
bernuansa syariat Islam

19 Juni 2006 “Mempersoalkan Perda Syariat”:Beberapa wakil DPR berlatar belakang


Islam, justru ikut-ikutan partai Kristen mempersoalkan perda-perda bernuansa Islam.

3 Juli 2006 “Islam Moderat”:Sebagian umat terjebab perangkap Amerika dan kawan-
kawannya dengam memberi sebutan “Islam moderat”, Islam Radikal”, ”Islam Militan”
atau Islam Fundamentalis.

18 Juli 2006 Nasib Islam Liberal Pasca Muktamar Muhammadiyah:Islam liberal terpental
dari Muhammadiyah dalam Muktamar ke-45 di Malang. Apa sikap Din Syamsuddin
pasca Muktamar?

25 Juli 2006 Ahmadiyah dan Masalah Kebenaran:Ada cendekiawan dan ulama


melakukan pengkaburan antara iman dan kufur, dan antara mukmin dan ”kafir”. Ia juga
mengkaburkan haq dan bathil.

3 September 2006 ”Hindu Pun Tolak Pluralisme Agama”:Panganut Agama Hindu


ternyata juga menolak paham ”Pluralisme Agama”. Paham ini katanya sebagai
’Universalisme Radikal’.

9 September 2006 ”Mengenal Yahudi Liberal”:Paham liberal telah menggeser agama


Yahudi membolehkan perkawinan homeseks. Ini pula yang pernah diusulkan kalangan
mahasiswa IAIN Semarang.

18 September 2006 ”Tuhan Kita: Allah!”:Kaum pluralis mengatakan, semua agama


menuju Tuhan yang satu. Padahal kelompok Kristen berbeda penggunaan nama Tuhan
mereka.

23 September 2006 Mendiskusikan Jilbab di Pusat Studi Al-Qur’an:Dr. Quraish Shihab


tetap berpendapat jilbab adalah masalah khilafiah, pendapat dan pandangan ulama salaf.

11 November 2006 Menyambut kedatangan Presiden Bush:Penyambutan Bush yang


berlebihan menunjukkan betapa hegemoni peradaban barat begitu besar kepada kita.

20 November 2006 Hasil Penelitian Depag tentang Faham Liberal


Keagamaan:Menyedihkan hasil penelitian Depag terbaru tentang pluralisme agama.
......katanya ”produk budaya”.

27 November 2006 Hasil penelitian Depag tentang Faham Liberal Keagamaan


(2):Peneliti Depag mengatakan, di Surabaya tokoh-tokoh keagamaan banyak mendukung
pemikiran Islam Liberal.

Dari isi yang terdapat dalam kolom opini dan CAP Adian Husaini di atas, nyatalah bahwa
situs hidayatullah.com bisa dianggap merefleksikan kelompok Islam literal-konservatif di
Indonesia. Indikasinya dapat kita lihat dari tema-tema yang diusung yang tidak keluar
jauh dari ide-ide Islam literal-konservatif yakni; (1) Menolak hermeneutika, dan (2)
menolak pluralisme agama. Juga tema-tema yang diusung tidak keluar jauh dari ide-ide
fundamentalisme yakni: (1) oppositionalism terhadap sekularisme, liberalisme,
modernitas dan tata nilai barat pada umumnya (2) menolak hermeneutika, (3) menolak
pluralisme agama, (4) menolak perkembangan historis dan sosiologis. Padahal, hal-hal
tersebut justru sangat diapresiasi dalam situs islamlib.com.

BAB 5
ISLAMLIB.COM VS HIDAYATULLAH.COM :
(SEBUAH PERANG PEMIKIRAN)

Dalam bab ini akan dijelaskan hasil analisis melalui “pembacaan kritis” terhadap isi
kedua website yang menjadi obyek kajian penelitian yakni islamlib.com dan
hidayatullah.com. “Pembacaan” dilakukan untuk mengkaji konteks perang pemikiran
berdasarkan isi kedua website tersebut, dan menggunakan content analysis method,
method of difference dan framing analysis method terkait eksistensi kedua website
tersebut sebagai media pemikiran Islam dengan segala kepentingan yang melatar
belakanginya.

HASIL ANALISIS

Pembacaan terhadap isi kedua website tersebut di atas menghasilkan 4 kesimpulan


umum:

Pertama, meski memiliki pengertian yang sama tentang apa itu perang pemikiran (ghazw
al-fikr), namun islamlib.com dan hidayatullah.com memberi penekanan yang berbeda
dalam memaknai fenomena perang pemikiran. Keduanya memiliki pengertian yang sama
bahwa ghazw al-fikr memang istilah yang popular dikalangan umat Islam (pergerakan)
yang dimasudkan sebagai respon terhadap masuknya ide-ide Barat dan non-Muslim
kedunia Muslim.

Namun demikian, dalam memaknai fenomena ghazw al-fikri, islamlib.com cenderung


memberi penekanan pada konteks respon gerakan Islam literal-konservatif (terhadap
barat) yang dianggapnya terlalu berlebihan sehingga merugikan dunia Islam sendiri.
Menurut islamlib.com, tidak semua ide yang berasal dari dunia Barat dan non-Islam itu
bertentangan dengan Islam dan karenanya terhadap ide-ide seperti itu kaum Muslim
harus menerimanya. Apalagi, faktanya, umat Islam sekarang sedang dalam kondisi
terpuruk. Islamlib.com secara tegas menyatakan bahwa ada banyak hal yang bisa
dipelajari dari dunia Barat dan non-Islam terutama terkait dengan kemajuan-kemajuan
yang telah mereka peroleh. Islamlib.com percaya bahwa Islam tidak melarang kaum
Muslim untuk mendapatkan “hikmah” dari manapun ia berasal, termasuk dari dunia Barat
dan non-Muslim.

Sementara itu, berbeda dengan islamlib.com, hidayatullah.com justru dalam memaknai


ghazw al-fikr cenderung memberi penekanan pada masuknya ide-ide luar (barat)
bertentangan dengan Islam, yang diliputi oleh semangat kolonialisme dan imperalisme
dan oleh karena itu, menurut mereka, harus dilawan. Menurut hidayatullah.com, sejarah
kelam hubungan Islam dan Kristen-Barat seperti terekam dalam Perang Salib dan
momentum renaissance di dunia Barat yang diikuti dengan kolonisasi atas sebagian dunia
Islam, membuat dunia Barat baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, berusaha
menancapkan kekuasaan mereka atas dunia Islam. Salah satunya, adalah mentransfer ide-
ide barat sebanyak mungkin ke dalam dunia Islam. Oleh karena itu, menurut
hidayatullah.com, hal ini harus dicegah agar umat Islam tidak semakin terpuruk dan
bahkan bisa memperoleh kejayaannya kembali (yang telah dicuri dan direbut) oleh dunia
Barat. Hidayatullah.com percaya bahwa bila Allah SWT saja sudah memerintahkan
manusia untuk lebih teliti dan hati-hati terhadap berita yang dibawa golongan fasiq,
sudah tentu manusia diharuskan lebih ekstra teliti dan hati-hati didalam mengambil berita
atau ilmu dari golongan yang tidak mengakui Allah SWT sebagai Tuhan mereka dan
Muhammad SAW sebagai nabi-nya.

Kedua, secara umum bisa dikatakan bahwa kedua website tersebut merepresentasikan
corak pemikiran Islam yang berbeda satu sama lain. Corak yang berlawanan dari isi
kedua website tersebut adalah; corak pemikiran kritis dan progresif dari
www.islamlib.com. Intinya islamlib.com mencoba menyajikan “suara-suara lain” dari
dalam lingkungan Islam yang boleh jadi tidak sesuai dengan pendapat resmi yang selama
ini dianut umat Islam. Jadi isi islamlib.com merefleksikan pemikiran dari sebagian umat
Islam yang tak kerasan dengan penafsiran Islam yang sudah “resmi”, lalu mencoba
mencari kemungkinan lain dalam mendefinisikan Islam. Hal ini sebenarnya tidak bisa
dipisahkan dari semangat ijtihad (pembaruan), progresif (kemajuan) dan modernisme
beragama yang mereka pegang. Menurut Luthfi Assyaukanie ijtihad tersebut mutlak
diperlukan, karena Islam Liberal menyadari bahwa Islam bukanlah agama yang hadir
dengan sebuah konsep lengkap sekali jadi. Agama ini berevolusi, berinteraksi dengan
masyarakat dan sesekali mengoreksi sendiri ketentuan lamanya yang sudah tak cocok
dengan dinamika masyarakat dimana agama itu tumbuh dan berkembang. Al-Qur’an
yang dibuat selama rentang masa lebih dari 23 tahun, merupakan rekaman yang baik dari
dinamika ajaran Islam itu sendiri.

Sebaliknya, isi hidayatullah.com justru ber-corak literal-konservatif dan normative.


Intinya, hidayatullah.com mencoba menyajikan “suara resmi” dengan mengacu strategi
garis-lurus terutama untuk menjaga “kemurnian” ajaran Islam. Hal ini sebenarnya tidak
bisa dipisahkan dari semangat taqlid dan tradisionalisme beragama yang mereka pegang.

Ketiga, isi dari kedua website tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung,
merupakan upaya meng-counter satu sama lain. Yang dimaksud dengan counter langsung
adalah counter yang secara jelas menyebut subyek penulis (baik penulis yang ada di
www.islamlib.com dan yang ada di www.hidayatullah.com) maupun dengan menyebut
“nama” website-nya. Sementara, yang dimaksud tidak secara jelas menyebut subyek
penulis dan nama website, tapi hanya counter pada segi ide, gagasan dan wacana.

Berdasarkan hal itu, maka islamlib.com lebih banyak meng-counter secara tidak
langsung, tanpa menyebut penulis dan atau situsnya yang ada di hidayatullah.com.
Dengan demikian, dalam kegiatan counter-mengounter ide ini mereka bersifat pasif.
Sebaliknya, hidayatullah.com cukup banyak meng-counter secara langsung, dengan
menyebut penulis dan atau situsnya yang ada di islamlib.com. Dengan demikian, dalam
kegiatan counter-mengounter ide ini mereka bersifat aktif. Islamlib.com yang bersifat tak
langsung dan pasif, sementara hidayatullah.com bersifat langsung dan aktif, dalam
kegiatan mereka meng-counter satu sama lain, tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari
pemaknaan mereka terhadap konsep ghazw al-fikri .

Keempat, secara umum, kalau kita lihat perbedaan ketiga hal di atas, maka hal itu
terefleksikan dengan jelas dalam respon kedua website tersebut terhadap isu-isu aktual
yang sedang berkembang di Indonesia khusunya yang menyangkut umat Islam. Respon
yang berbeda misalnya pada isu fatwa MUI, kasus Ahmadiyah, RUU APP dan poligami
AA Gym. Meski demikian, pada isu-isu tertentu terdapat persamaan respon yang muncul
dari keduanya (atau ada titik temu), contohnya respon terhadap penyerangan tentara
Israel ke Libanon dan Palestina.

MEMAKNAI GHAZW AL-FIKRI

Seperti saya sebutkan di atas, meski memiliki pengertian yang sama bahwa istilah ghazw
al-fikri popular dikalangan umat Islam (pergerakan) yang dimaksudkan sebagai respon
umat Islam terhadap ide-ide yang berasal dari dunia Barat dan non-Muslim, tetapi
islamlib.com dan hidayatullah.com memberi penekanan yang berbeda dalam memaknai
pengertian tersebut, seperti telah saya jelaskan diatas. Penekanan yang berbeda itu dapat
kita lihat dalam artikel di bawah ini:

Judul Situs Penulis/tokoh Edisi


Perang Pemikiran Islamlib.com Luthfi Assyaukanie 31/05/2004
Serangan Pemikiran Dalam Pendidikan Hidayatullah.com Indra Yogiswara 16/02/2006

Perang Pemikiran (Luthfi Assyaukanie, islamlib)

Dalam artikel ini, Luthfi ingin menegaskan bahwa istilah perang pemikiran (ghazw al-
fikri) lebih popular dikalangan Islam literal-konservatif dibanding kalangan Islam yang
lain. Hal itu, menurut Luthfi, dikarenakan kalangan tersebut meyakini bahwa pemikiran-
pemikiran dari Barat cenderung bersifat menyerang dan memberikan dampak buruk bagi
kaum Muslim. Pemikiran Barat mereka anggap dapat meracuni dan menjauhkan kaum
Muslim dari agama Islam. Salah satu tokohnya, Muhammad Qutb bahkan menganggap
perang pemikiran ini lebih berbahaya dari pada perang fisik. Kalangan tersebut juga
meyakini adanya teori pengaruh, yakni bila orang-orang Islam banyak membaca karya-
karya orang Barat dan kaum orientalis, maka ia telah terpengaruh dan terperangkap
dalam jarring zionisme dan Salibis. Begini petikan artikel Luthfi tersebut:

Istilah "ghazwul fikri" sangat populer di kalangan kelompok pergerakan Islam. Istilah ini
berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti "perang pemikiran." Tak jelas siapa
yang pertama kali menggunakannya. Karya-karya Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Said
Hawwa, dan para ideolog Ikhwanul Muslimin kerap menggunakan istilah ini dengan
semangat "perang salib."Saya kira, "ghazwul fikri," "teori pengaruh," atau apapun
namanya, haruslah dipandang dengan kritis. Karena setiap pemikiran, apapun dan dari
manapun sumbernya, adalah sebuah bentuk "peperangan" dan pasti punya pengaruh
terhadap seseorang yang menggelutinya.Tidak ada dalam sejarah, kaum Muslim yang
mengkaji dan menggeluti pemikiran Barat, menjadi perusak di muka bumi ini. Malah
sebaliknya, mereka menjadi para pembaru yang namanya tercatat harum dalam sejarah
pemikiran Islam modern. Sebutlah Rif'at Tahtawi, Muhammad Abduh, Al-Kawakibi,
Taha Hussein, Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Syed Hussein Nasr, Hassan Hanafi,
dan Nurcholish Madjid. Mereka semua dianggap para pembaru yang punya kontribusi
besar bagi pemikiran Islam.Tapi sebaliknya, bagi orang-orang yang membaca karya-
karya para pendukung "ghazwul fikri" dan teori pengaruh, telah jelas-jelas pernah
melakukan perusakan dan kekerasan di muka bumi ini. Contohnya saja Usamah bin
Laden dan ke-19 teroris yang meledakkan gedung WTC pada 9 September 2001. Orang-
orang ini akrab dengan buku-buku Sayyid Qutb. Dalam sebuah wawancaranya jauh
sebelum peristiwa 9/11, Usamah mengakui bahwa Fi Dhilal al-Qur'an karya Sayyid Qutb
adalah buku yang paling berpengaruh dalam dirinya.Ghazwul fikri yang paling penting
bagi kaum Muslim sekarang adalah melawan pemikiran-pemikiran simplistis dan bodoh,
yang kerap mengajak umat Islam terus-menerus mencurigai, membenci, dan mencaci
"musuh" mereka, padahal musuh sesungguhnya adalah diri mereka sendiri. Sudah
saatnya kaum Muslim berpikir positif, terbuka, kritis, dan berani mengambil posisinya
sendiri tanpa dikuasai oleh pemikiran-pemikiran otoriter yang mengatasnamakan agama.
Ghazwul fikri yang paling penting bagi kaum Muslim adalah melawan pemikiran-
pemikiran rasis, tak toleran, dan selalu membenci kelompok lain. Sebagian pemikiran-
pemikiran itu adalah warisan dari masa silam, dan sebagian lainnya adalah ciptaan
mereka sendiri karena mengidap sizofrenia anti-Barat dan orientalisme.

Serangan Pemikiran Dalam Pendidikan (Indra Yogiswara, hidayatullah)

Berbeda dengan Luthfi, dalam artikel ini Indra justru ingin menegaskan bahaya yang
dihasilkan serangan ide-ide barat (melalui pendidikan) terhadap pemikiran kaum Muslim.
Ghazw al-fikrii maksud sebenarnya adalah serangan yang ditujukan kepada pemikiran
Islam oleh lawan pemikiran itu sendiri. Menurut Indra, Serangan ini biasanya dipahami
berasal dari dunia Barat secara umum yang memiliki kepentingan di dunia Islam. Dalam
hal ini Barat berada dalam posisi kuat karena dominasi dalam segala bidang dan dunia
Islam berada dalam posisi lemah karena pengaruh dominasi asing tersebut. Akibat dari
serangan pemikiran ini terjadi di dunia Islam (Indonesia), menurut Indra, apa yang ia
sebut “Pembaratan Pemikiran”. Contohnya seperti dalam petikan artikel Indra berikut ini:

Pembaratan PemikiranSalah satu contohnya adalah, Prof. Dr. Harun Nasution yang
sempat menjabat rektor IAIN Syarif Hidayatullah (1973-1984), berangkat ke Montreal,
Kanada dan menuntut ilmu di McGill University yang saat itu dan sampai sekarang
mempunyai program yang dinamakan The McGill-IAIN Relationship. Dan struktur
organisasi nya pun diisi oleh beberapa tokoh pendidikan dari IAIN seperti Azyumardi
Azra dari UIN Jakarta , Amin Abdullah dari IAIN Yogyakarta. Buku yang mungkin
menarik untuk dibaca berkenaan dengan dampak dari program kerjasama antara IAIN
dan McGill University adalah buku yang berjudul, "The Modernization of Islam in
Indonesia, An Impact Study on the Cooperation between the IAIN and MC Gill
University.Setelah menuntut ilmu disana, beliau pulang dengan membawa segudang
pemikiran baru dan mengeluarkan buku berjudul "Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya", yang ketika itu menuai banyak kritik yang cukup tajam dari kalangan
cendekiawan muslim lainnya karena buku itu penuh dengan pemikiran Barat terhadap
Islam yang mempunyai banyak kelemahan dan dapat membuka pintu ke arah
sekularisme, plurarisme dan liberalisme, dimana faham-faham tersebut telah difatwakan
haram oleh MUI pada tanggal 29 Juli 2005. Salah satu tokoh yang gigih mengkritik isi
buku tersebut adalah Prof. HM Rasjidi yang ternyata adalah satu almamater dengan Prof.
Dr. Harun Nasution dan sama-sama pernah menuntut ilmu dari McGill University. Hanya
yang menjadikannya beda adalah, Prof. HM Rasjidi seakan menggunakan kaidah, know
your enemy so you know how to defeat them, sebaliknya dengan Prof. Dr. Harun
Nasution yang justru seakan berkompromi dengan mereka. Di dalam lingkungan
pendidikan yang kelihatannya Islami pun belum tentu seratus persen terbebas dari
serangan pemikiran ini. Serangan pemikiran bekerja dengan cara yang lihai, terselubung
dan mematikan (swift, silent & deadly). Penanaman ideologi yang menyimpang sekarang
sangat mudah dilakukan bahkan di belakang titel profesor dan doktor. Maka tidak heran
ketika seorang profesor dan cendekiawan muslim saat ini bisa meneriakan slogan "say no
to syariat Islam”. Tentunya tidak semua orang bisa mendeteksi gejala serangan pemikiran
ini. Oleh karena itu penanaman ilmu tentang Islam di usia sedini mungkin sangatlah
diperlukan dan juga materi pembelajarannya tidak hanya berhenti misalkan hanya sampai
tahap Al-Qur'an itu wahyu Allah dan Hadits adalah sunnah Rasulullah oleh karena itu
wajib diimani, tapi juga mengerti mengapa Al-Qur'an dan Al-Hadits bisa tetap asli dan
layak untuk diimani sehingga hal-hal yang menyangkut kedua dasar aqidah Islam yang
sudah pasti tidak perlu diutak-atik lagi dengan alasan modernisasi Islam.

“SUARA LAIN” ISLAMLIB VS “SUARA RESMI” HIDAYATULLAH:


(Mempertimbangkan Corak Isi Website)

Isi website Islamlib bisa dibilang merefleksikan “suara lain” dalam pemikiran Islam. Ia
disebut “suara lain” karena acapkali merupakan pemikiran yang baru, dan berbeda
dengan yang selama ini dianut mayoritas umat Islam. Itulah hasil dari apa yang mereka
namakan Ijtihad Islam Liberal. Ssuara lain” bisa dilihat, contohnya, dari 3 artikel berikut
ini:

Judul Rubrik Penulis/tokoh Edisi


Nabi Perempuan Editorial A Moqsith Ghazali 25/10/2006
Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja Wawancara Abdurrahman Wahid
10/04/2006
Kemurtadan Yang Niscaya & Globalisasi Dakwah Kolom Ulil Abshar-Abdalla
20/03/2006

Nabi Perempuan (A Moqsith Ghazali, islamlib)


Dalam tulisannya Moqsith menyatakan bahwa semua agama memiliki nabi atau rasul
sebagai seseorang yang telah ditunjuk oleh Tuhan untuk menyampaikan wahyu kepada
seluruh umat manusia. Sejumlah buku menurut Moqsith menyebut bahwa jumlah Nabi
yang diutus Tuhan ke bumi tak kurang dari 124 ribu nabi. Padahal nama-nama nabi yang
tercantum dalam kitab-kitab suci baik Taurat, Zabur, Injil maupun al-Qur’an tak lebih
dari 200 orang. Dengan demikian masih banyak nabi-nabi lain yang tak diketahui (Q.S
al-Nisa’ (4) : 164), yang mungkin menggunakan identitas dan nama lain seperti Tuan,
Pangeran, Pendeta, Kiai dsb dan Para nabi itu tak menumpuk di satu kawasan melainkan
tersebar dipelbagai negara dan bangsa (Q.S al-Nahl (16) : 36). Dengan logika ini,
menurut Moqsith kita bisa menyatakan bahwa dahulu mungkin saja pernah lahir seorang
Nabi di kepulauan Indonesia. Bahkan, bukan hanya satu.Kebanyakan mufassir Islam
sepakat bahwa nabi hanya terdiri dari laki-laki. Padahal, menurut Moqsith, setelah
mengecek sejumlah kitab tafsir yang lain, nabi tak hanya dimonopoli kaum laki-laki. Ada
juga nabi perempuan. Misal Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidayah al-Nihayah (Juz II, hlm.
59) mengutip satu pendapat bahwa tak tertutup pintu bagi hadirnya nabi perempuan.
Dikemukakan bahwa Maryam (Bunda Maria) adalah seorang nabi. Perempuan lain yang
diangkat nabi, menurut kitab ini adalah, Sarah (Ibu Nabi Ishaq, istri Nabi Ibrahim), dan
ibu Nabi Musa. Menurut Moqsith, ulama yang berpendapat demikian misalnya bersandar
pada al-Qur’an al-Qashash (28) :7 yakni wa awhayna ila ummi musa an ardhi’ihi fa idza
khifti ‘alaihi, fa alqihi fi al-yamm (telah Kami wahyukan kepada ibu Musa; susukanlah
dia, dan apabila kamu khawatir kepadanya maka lemparkanlah ia ke dalam sungai).
Moqsith menyertai ulama tersebut, bahwa wahyu bukan hanay turun pada laki-laki,
melainkan juga perempuan. Padahal wahyu hanya terjadi pada diri seorang nabi
karenanya perempuan yang mendapatkan wahyu adalah juga seorang nabi. Dengan
demikian, menurut Moqsith, al-Qur’an telah menunjukkan bahwa Tuhan tak melakukan
diskriminasi jenis kelamin dalam perkara pewahyuan sekaligus penabian.

Isi artikel Moqsith di atas jelas bertentangan dengan pemahaman umum umat Islam
bahwa Nabi berjenis kelamin laki-laki, dan Moqsith juga mengakui pemahaman umum
tersebut. Ibn Qasim al-Ghuzzi (w. 918) dalam kitab Fath al-Qarib menyatakan bahwa
nabi adalah seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Allah. Dengan pengertian ini jelas
tak ada nabi perempuan. Dengan demikian isi artikel Moqsith di atas bisa dikategorikan
mewakili suara lain dalam pemikiran Islam karena berbeda dengan “suara resmi” yang
selama ini banyak dipahami umat Islam.

Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja (Gus Dur, islamlib.com)

Kalau anda ingat dengan kasus terror yang diterima Abdurahman Wahid (Gus Dur) oleh
sekelompok umat Islam yang mengatasnamakan Islam di Purwakarta pada 23 Mei 2006
lalu, itu adalah karena mereka menuduh Gus Dur telah menghina Islam setelah tersiar
kabar bahwa Gus Dur mengatakan al-Qur’an sebagai kitab suci porno. Nah berita itu
sebetulnya lahir dari acara wawancara “Kongkow bareng Gus Dur” di kantor berita radio
(KBR) 68 H Jakarta, yang transkripsi hasil wawancaranya dipublikasi website
islamlib.com dengan judul di atas (Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!)

Berikut ini adalah petikan wawancara itu:


JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah akrab
dalam masyarakat kita?Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia,
dari dulu hingga sekarang. Untuk mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah
pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu. Dulu pada zaman
ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap cabul. Perempuan mesti pakai
kain sarung panjang yang menutupi hingga matakaki. Sekarang standar moralitas
memang sudah berubah. Memakai rok pendek bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau
kita mau menerapkan suatu ukuran atau standar untuk semua, itu sudah merupakan
pemaksaan. Sikap ini harus ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk
pihak yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang tentu saja perutnya
terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian orang, tari perut itu
cabul. Tapi di Mesir, itu adalah tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan
kecabulan.JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab
Rawdlatul Mu`aththar (The Perfumed Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan kitab
bahasa Arab yang isinya tatacara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu,
kitab itu cabul, dong? ha-ha-ha. Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua
kitab-kitab itu dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau
dengerin lagu-lagu Ummi Kultsum-penyanyi legendaris Mesir-bisa sambil teriak-teriak
“Allah. Allah.” Padahal isi lagunya kadang ngajak orang minum arak, ha-ha-ha.. Sangat
saya sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi cap sana-sini; kitab ini cabul
dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh dibaca.Saya mau cerita. Dulu saya pernah
ribut di Dewan Pustaka dan Bahasa di Kuala Lumpur Malaysia. Waktu itu saya diundang
Prof. Husein Al-Attas untuk membicarakan tema Sastra Islam dan Pornografi. Nah, saya
ributnya dengan Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu rektor di Universitas Islam
Internasional Malaysia. Menurut dia, yang disebut karya sastra Islam itu harus sesuai
dengan syariat dan etika Islam. Karya-karya yang menurutnya cabul bukanlah karya
sastra Islam. Saya tidak setuju dengan pendapat itu. Kemudian saya mengulas novel
sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, berjudul Zuqaq Midaq (Lorong Midaq), yang
mengisahkah pola kehidupan di gang-gang sempit di Mesir. Tokoh sentralnya adalah
seorang pelacur. Dan pelacur yang beragama Islam itu bisa dibaca pergulatan batinnya
dari novel itu. Apakah buku itu tidak bisa disebut sebuah karya Islam hanya karena ia
menceritakan kehidupan seorang pelacur? Ia jelas produk seorang sastrawan brilian yang
beragama Islam. Aneh kalau novel itu tidak diakui sebagai sastra Islam.JIL: Gus, ada
yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam,
karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno?Sebaliknya, menurut saya
kitab suci yang porno di dunia adalah al-Qur’an, he he JIL: Maksudnya?Loh jelas, sekali.
Di al-Qur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam
Injil kalau ada ayat seperti itu. Namanya juga menyusui, ya mengeluarkan tetek
(payudara) kan? Porno ini dong. Banyak contoh lain, he..he..he.. Porno itu letaknya ada
dalam persepsi seseorang. Kalo orang kepalanya ngeres, dia akan curiga bahwa al-Qur’an
itu kitab suci porno, karena ada ayat-ayat tentang menyusui (al-Baqarah: 233). Bagi yang
ngeres, menyusui berarti mengeluarkan dan me-tetek, dan ada juga roman-romanan
antara Zulaikha dan Yusuf (QS Yusuf: 24)

Isi wawancara di atas kemudian memang menimbulkan polemik yang cukup panjang.
Sebagian yang kontra menyatakan bahwa Gus Dur telah menghina Islam dengan
mengatakan Qur’an sebagai kitab suci porno. Sementara, sebagian yang pro, menyatakan
bahwa yang menyatakan kita harus melihat ucapan Gus Dur tersebut dalam konteks dan
situasinya. Mengambil ucapan Gus Dur secara sepotong-sepotong apalagi dengan
mengabaikan konteks dan situasinya tentu akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda
dan keliru dari yang dimaksud Gus Dur. Yang lebih memperparah polemik ini adalah
terjadinya “pengusiran” terhadap Gus Dur di Purwakarta pada 23 Mei 2006 oleh
sekelompok orang yang mengatas namakan umat Islam Purwakarta, sehingga semakin
memperuncing konflik antara pihak yang kontra dan yang pro. Selain itu, tindakan
redaktur islamlib.com yang kemudian mengedit ulang hasil transkripsi wawancara sering
dijadikan legitimasi pihak yang kontra Gus Dur, sekaligus kontra JIL sebagai pengelola
islamlib.com, untuk memberikan penegasan bahwa JIL memang tidak konsisten.

Menurut redaktur islamlib.com, M. Guntur Romli, yang memang mewawancari Gus Dur,
tindakan mengedit ulang dimaksudkan untuk menyamakannya dengan versi sebelumnya
yang sebenarnya sudah dimuat di koran Jawa Pos. Tindakan itu juga dilakukan untuk
menghindari polemik lebih lanjut dan agar tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang
kontra Gus Dur dan JIL dengan cara mengutip penggalan dan secara sepotong-sepotong
menggunakan bagian dari wawancara tersebut untuk kepentingan mereka. Apalagi, pihak
redaktur islamlib.com juga merasa bahwa mereka memiliki hak untuk mengedit ulang,
merevisi dan bahkan mengadakan perubahan atas isi website milik mereka tersebut.

Kemurtadan Yang Niscaya & Globalisasi Dakwah (Ulil Abshar-Abdalla, islamlib)

Pindah agama biasa disebut konversi. Ada dua model konversi: internal dan eksternal.
Konversi internal adalah peristiwa yang hampir lazim terjadi dalam semua agama. Ia
terjadi saat seseorang pindah dari mdzhab dan perspektif tertentu ke madzhab dan
perspektif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama. Seseorang yang semula
“fundamentalis” berubah menjadi “moderat” atau sebaliknya, pada dasarnya telah
melakukan konversi, tetapi dalam batas-batas agama yang sama.Dengan makin
membludaknya pilihan-pilihan pendekatan dalam memahami agama (Islam, misalnya)
maka peristiwa konversi internal hampir merupakan kejadian yang lazim terjadi setiap
saat. Seorang sosiolog agama dari Boston University, Peter Berger, bahkan menyebut
salah satu cirri modernitas adalah munculnya gejala “heretical imperative”, gejala
kemurtadan yang niscaya. Murtad disini dimaknai menyimpang dari pandangan yang
dominan dalam sebuah agama. Lebih jauh menurut Ulil, murtad internal jauh lebih sering
terjadi ketimbang murtad eksternal. Yang terakhir ini biasanya terjadi dalam situasi yang
sangat khusus. Ulil juga menyampaikan pendapatnya bahwa, agama yang paling
bersemangat melakukan murtad eksternal saat ini adalah Kristen, terutama Kristen
evangelis dengan beragam denominasi. Rangking kedua diduduki Islam, terutama Islam
Wahabi yang didanai milyaran petro-dollar Arab Saudi. Rangking berikutnya adalah
Budha.

Dari judulnya saja orang langsung bisa menangkap pesan bahwa si penulis, Ulil Abshar-
Abdalla, ingin menyampaikan “suara lain” dalam ruang pemikiran Islam seperti yang
dipahami awam. Tindakan murtad dalam Islam termasuk dipahami awam sebagai sebuah
tindakan dosa besar. Bagaimana mungkin Ulil kemudian menuliskannya dalam kalimat
“kemurtadan yang niscaya” meskipun ia kemudian membaginya menjadi murtad internal
dan murtad eksternal.

Berbeda dengan isi islamlib.com yang mencerminkan “suara lain” dalam ruang
pemikiran Islam, isi hidayatulloh.com justru merefleksikan “suara resmi” pemikiran
Islam yang selama ini dipahami umum. “Suara resmi” dari hidayatulloh.com, misalnya,
bisa dilihat dari 2 artikel berikut ini:

Judul Rubrik Penulis/tokoh Edisi


Semoga Aku Muslim Sejati Opini Khalif Muammar 22/02/2006
Tuhan Kita: Allah! CAP Adian Husaini 18/09/2006

Semoga Aku Muslim Sejati (Khalif Muammar, hidayatullah)

“Andai aku seorang muslim liberal, maka aku akan melepaskan keyakinan keIslamanku
dari segala bentuk otoritas tafsir”, ujar Haidar Bagir. Tulisan Khalif Muammar ini
sebenarnya ditujukan sebagai jawaban dari tulisan Haidar itu. Dalam tulisan ini, Khalif
mengajukan sepuluh hal berkaitan dengan tesisnya tentang semoga aku Muslim sejati.
Kesepuluh hal tersebut yakni:

Pertama, sebagai seorang Muslim sejati, aku akan meyakini bahwa aku berada dalam
kebenaran. Bagiku Islam dan iman adalah hidayah dan nikmat yang telah Allah kurniakan
kepadaku, karena keyakinanku tidak mungkin bersifat tentative. Kedua, Aku setuju
dengan pandangan para sarjana Muslim seperti M Iqbal, al-Attas dan al-Faruqi bahwa
masalah utama umat Islam adalah krisis ilmu. Bahwa jalan untuk mengembalikan
kegemilangan tamadun Islam adalah melalui pemerkasaan budaya ilmu, pencerahan dan
pemberdayaan ummat.Ketiga, dalam menghadapi kemajuan (modernity) yang pada hari
ini disinonimkan dengan Barat, aku tidak akan bersikap terlalu terbuka (silau) dan tidak
juga tertutup (konservatif). Keempat, aku akan menjadikan tradisi sebagai landasan untuk
aku berpijak. Kelima, aku mempelajari filsafat Barat untuk tujuan perbandingan.
Keenam, sebagai seorang Muslim sejati aku akan melaksanakan Islam sebagai salah satu
cara hidup yang lengkap, oleh karenannya aku akan menentang sekulerisme dan
sekularisasi dunia Islam. Ketujuh, bagiku metode hermeneutika hanya pantas diterapkan
pada Bible. Ini karena baik dari segi sejarah maupun kandungan hermeneutika, al-Qur’an
dan Bible jauh berbeda. Kedelapan, sebagai seorang Muslim sejati, aku tunduk
sepenuhnya dengan perintah dan aturan yang diberikan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kesembilan, karena aku memiliki worldvierw Islam, aku tidak akan hanyut dengan tren
pemikiran Barat yang kabur dan selalu berubah. Terakhir, aku akan senantiasa berdoa
agar aku senantiasa berada dalam hidayah dan inayah-Nya.

Tuhan Kita: Allah! (Adian Husaini, hidayatullah)

Melalui artikel ini, Adian Husaini ingin mengkritisi kaum pluralis yang mengatakan
bahwa semua agama menuju Tuhan yang satu. Padahal, menurutnya, kelompok-
kelompok Kristen berbeda penggunaan nama Tuhan mereka. Ringkasan artikel Adian
adalah seperti berikut ini:

Menurut Adian, ungkapan semua agama menuju Tuhan yang satu adalah tindakan kaum
pluralis dalam “mengelirukan” kaum Muslim. Kaum pluralis mengatakan soal nama
“Yang Satu” itu tidaklah penting. Yang Satu itu bisa dinamai Allah, God, Lord, Yahweh,
The Real, The Eternal One dan sebagainya. Ada yang menulis: “Dengan nama Allah,
Tuhan Yang Maha pengasih, Tuhan Yang Maha Penyayang, Tuhan segala agama”. (yang
dimaksud Adian adalah tulisan pembuka di website Jil, www.islamlib.com, red). Selain
JIL, Adian juga menunjukkan bukti, ada cendekiawan terkenal yang mengartikan
syahadat dengan : “Tidak ada Tuhan (dengan t kecil), kecuali Tuhan (dengan T besar)”.
(Ini adalah ungkapan Nurcholish Madjid, red. JIL dan Nurcholish memang selalu dikritisi
Adian dalam konteks mereka sebagai kaum pluralis.Padahal, lebih lanjut menurut Adian
dalam artikel ini dengan mengutip Prolegomena to the Metaphysic of Islam karya Naquib
al-Attas, konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas dan tidak sama dengan
konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi
filsafat Yunani, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern, ataupun
dalam tradisi mistik Barat dan Timur. Tuhan dalam Islam, dikenal dengan Allah. Lafads
Allah dibaca dengan bacaan tertentu. Kata Allah tidak boleh dibaca sembarangan, tetapi
harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW, sebagaimana bacaan-bacaan ayat
dalam al-Qur’an. Dengan adanya ilmu al-qiraat yang berdasarkan pada sanad- yang
sampai pada Rasulullah SAW- maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam
penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan,
bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah.Dengan demikian menurut Adian, nama
Tuhan yakni Allah bersifat final dan otentik, karena menemukan sandaran yang kuat, dari
sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah SAW. Umat Islam tidak melakukan
spekulasi filosofis untuk menyebut nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan
langsung oleh Allah SWT- melalui al-Qur’an, dan diajarkan langsung cara melafalkannya
oleh Nabi SAW.
Kalimat: Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha pengasih, Tuhan Yang Maha Penyayang,
Tuhan segala agama”, yang dimaksud Adian di atas adalah tulisan pembuka di website
JIL, www.islamlib.com. Sementara, kalimat: Tidak ada tuhan (dengan t kecil), kecuali
Tuhan (dengan T besar)”, ini adalah ungkapan Nurcholish Madjid. JIL dan Nurcholish
memang selalu dikritisi Adian dalam posisi mereka sebagai kaum pluralis, termasuk
dalam pemahamannya tentang relasi antara Islam dan agama lainnya.

COUNTER PASIF-TAK LANGSUNG ISLAMLIB VS AKTIF-LANGSUNG


HIDAYATULLAH:

Isi dari kedua website tersebut, baik secara langsung maupun tidak, berupaya meng-
counter pemikiran mereka satu sama lain. Yang dimaksud dengan counter langsung
adalah counter yang secara jelas menyebut subyek penulis (baik penulis yang ada di
www.islamlib.com dan yang ada di www.hidayatullah.com) maupun dengan menyebut
“nama” website-nya. Sementara, yang dimaksud tidak secara jelas menyebut subyek
penulis dan nama website, tapi hanya counter pada segi ide dan gagasan umumnya saja.

Kalau kita memperhatikan isi website islamlib.com, jarang sekali ditemukan artikel yang
menyebut nama hidayatullah.com dan atau counter langsung terhadap artikel yang
muncul di hidayatullah.com. Memang counter islamlib.com terhadap hidayatullah.com
bisa dikatakan bersifat tak langsung dan pasif. Mungkin yang bisa menghubungkan
counter islamlib.com terhadap hidayatullah.com ada dua yakni: (1) penyebutan nama
‘Adian Husaini” yang bisa dikatakan sebagai “icon” Hidayatullah terkait eksistensi CAP
disitus tersebut, dan (2) counter terhadap isu-isu literalisme, konservatisme dan
radikalisme Islam yang justru diangkat Hidayatullah.com.

Kalau terkait counter terhadap isu-isu literalisme, konservatisme dan radikalisme Islam
dalam situs islamlib.com bisa kita lihat dalam keseluruhan isi islamlib.com, maka terkait
dengan penyebutan nama “Adian Husaini”, misalnya, bisa dilihat dalam 3 artikel di
bawah ini yakni:

Judul Rubrik Penulis/tokoh Edisi


Rahmat Tuhan Tidak terbatas Wawancara Jalaludin Rakhmat 10/10/2006
The Da Vinci Code & Kematangan Beragama Kolom Novriantoni 30/05/2006
Genealogi Gerakan Islam di Indonesia Diskusi Umdah el-Baroroh 17/01/2006

Rahmat Tuhan Tidak Terbatas (Jalaludin Rahmat, islamlib)

Dalam transkripsi wawancara dengan JIL ini, hanya diketemukan sekelumit ucapan
Jalaludin Rakhmat (JR) dalam menyingggung Adian Husaini. Begini ucapan Jalal:

JIL : Adakah perbenturan antara konsep pluralisme dengan teologi masing-masing agama
yang sudah dimapankan seperti konsep tauhid dalam Islam?JR: Bagi saya, seorang
Muslim yang pluralis pasti akan menganut prinsip tauhid. Seorang Kristiani yang
pluralis, pasti akan percaya bahwa Yesus adalah juru selamat semua umat manusia. Jadi
pluralisme itu adalah sebuah orientasi keberagamaan. Kelompok pluralis itu akan ada
dikalangan Islam, ada juga di kelompok Kristiani dan agama lain. Kalangan eksklusivis
juga ada di berbagai agama dan masing-masing bisa merujuk pada kitab suci masing-
masing. Jadi pluralisme adalah sebuah paham dan paham itu berakibat pada perilaku
sosial kita. Tapi pluralisme bukan juga menganggap semua agama sama saja karena
dalam al-Qur’an juga sudah dikatakan wa likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhaja
(bagi tiap-tiap agama telah kami tetapkan aturan hidup dan syariat masing-masing). Di
tegaskan juga walau sya’allah laja’alnakum ummatan wahidah (kalau Allah
menghendaki, Dia akan jadikan seluruh agama itu satu saja). Artinya, Allah bisa
menjadikan seluruh agama sama saja. Tapi al-Qur’an menjelaskan lebih lanjut walakin
liyabluwakum (Dia ingin menguji kalian) bima atakum (dengan agama yang datang
kepada kalian). Karena itu, kita dianjurkan untuk fastabiqul khairat (berlomba-lombalah
dalam berbuat kebajikan), karena ilayya marji’ukum jami’an (hanya kepada-Ku seluruh
agama akan berpulang). Ayat ini perlu dikomentari. Menurut saya, hampir tak pernah
terdapat kata jami’an setelah kata marji’ukum kecuali didalam ayat ini saja. Ilayya
marji’ukum fa unabbiukum bima kuntum ta’malun; inna ilayna iyabhamum, tsumma inna
‘alayna hisabahum (kepada-Ku juga kalian akan berpulang dan disitulah Aku akan
memberitahu apa yang engkau lakukan. Semuanya akan berpulang pada Allah dan Dia
yang akan membuat perhitungan). Nah, kemarin saya dikritik Pak Adian Husaini, calon
doctor dari ISTAC Malaysia itu. Katanya, pandangan bahwa hanya kepada Allah
seluruhnya akan menuju itu adalah keliru. Saya tidak tanggapi statemennya itu secara
serius dan menganggapnya dagelan saja.

Dari petikan wawancara di atas, nyatalah bahwa Jalal mencoba meng-counter Adian,
meski dengan bahasa yang singkat. Jalal, seperti juga kaum pluralis, menganggap semua
agama akan menuju kepada Allah yang sama sesuai bunyi ayat di atas. Sementara, Adian
Husaini menolak pandangan tersebut.

The Da Vinci Code & Kematangan Beragama (Novriantoni, islamlib)

Melalui artikel ini, Novriantoni, selain mendeskripsikan kontroversi seputar novel dan
film The Da Vinci Code, ia juga menjelaskan respon umat Kristen dan umat Islam
fundamentalis terhadap hal itu dikaitkan dengan kematangan beragama mereka. Nah,
dalam menjelaskan respon umat Islam fundamentalis itulah, Novriantoni menyenggol
Adian Husaini dan pendapatnya. Begini petikan artikelnya:
Respon Islam FundamentalisGampang diduga baik novel Dan Brown yang terjual
sebanyak 60,5 juta eksemplar (sampai Mei 2006), dan diterjemahkan dalam 44 bahasa
itu, maupun filmnya, akan mendapat sambutan hangat diberbagai belahan dunia. Di
Indonesia, penerbit Serambi yang memegang hak terjemah dan penjualan novel tersebut,
juga ketiban berkah. Tak ada keberatan dari umat Kristiani Indonesia atas Serambi. Tidak
ada pula sweeping maupun tuduhan penodaan agama. Kini, filmnya hadir mengusik rasa
penasaran kita, dan sambutannya sungguh luar biasa. Tiket-tiket bioskop di Jakarta ludes
terjual. Penonton membludak, yang tidak dapat tiket memendam rasa
penasaran.Gampang pula disangka, kalangan fundamentalis Islam Indonesia akan
menyambut Da Vinci Code dengan suka cita. Sudah lama mereka membangun
pendekatan kritis atas segala agama, kecuali agama yang dianutnya, terutama demi
menelanjangi agama Kristen. Untuk itu, standar ganda mereka terapkan. Karya-karya
popular semacam Da Vinci Code perlulah dijadikan rujukan untuk menghantam dasar-
dasar teologi kekristenan.Respon Adian Husaini, tokoh fundamentalis Islam Indonesia
paling terdidik saat ini, relevan dikemukakan. Adian menemukan amunisi gratis untuk
melakukan serangannya atas kekristenan dan umat Kristen Indonesia. “The Da Vinci
Code adalah sebuah novel yang memporak-porandakan sebuah susunan gambar yang
bernama Kristen itu,” tulis Adian di Republika, Kamis 28 April 2005.Sikap Adian
terhadap pendekatan kritis atas agama lain, bertolak belakang dengan pendekatan sejenis
atas Islam; sebuah sikap yang jauh dari semangat ilmiah dalam studi agama-agama. Saya
berpikir, sikap Adian dan kawan-kawannya yang hampir paranoid menunjukkan aib dan
keburukan agama lain, kadang menimbulkan kesan tidak adanya kebenaran intrinsic
dalam Islam, kecuali bila mampu menunjukkan kepalsuan agama lain. Mungkin
semangat itulah yang masih melingkupi orientasi studi perbandingan agama di perguruan
tinggi kita, dan khutbah-khutbah dalam masjid dan majlis taklim di negeri ini.

Genealogi Gerakan Islam di Indonesia (Umdah El-Baroroh, islamlib)

Dalam artikel ini, Umdah mencoba mendeskripsikan jalannya bedah buku karya DR.
Yudi Latif yang berjudul Inteligensia Muslim dan Kuasa, yang diselenggarakan di JIL.
Intinya, isi buku tersebut menceritakan tentang genealogi intelegensia Muslim Indonesia
abad 20. Dan Yudi memetakannya menjadi 6 generasi dan persis pada generasi keenam
inilah, yang merupakan generasi terakhir, menurut Umdah, nama Adian Husaini disebut-
sebut sebagai representasi sayap kanan fundamentalis. Petikan bunyi artikel tersebut
seperti ini:

dari seluruh generasi yang telah dipaparkan, yang menarik perhatian peserta diskusi
malam itu adalah generasi terakhir (generasi keenam). Mereka adalah para aktivis yang
selama ini aktif menyuarakan liberalisme Islam, seperti Ulil Abshar-Abdalla, Hamid
Basyaib, Syaiful Mujani dan sebagainya. Mereka bukan saja mewakili generasi keenam,
tetapi gerakan liberalisme yang mereka usung juga dinilai paling mewarnai generasi
inteligensia Muslim pada saat ini. Sementara di sayap kanan fundamentalisnya terdapat
nama, seperti Anis Matta dan Adian Husaini.

Berbeda dengan isi situs islamlib.com yang meng-counter secara tak langsung dan pasif
pada hidayatullah.com, maka sebaliknya, di dalam situs hidayatullah.com kita bisa
menemukan banyak sekali counter secara langsung terhadap isi situs islamlib.com.
Memang counter hidayatullah.com terhadap islamlib.com bisa dikatakan bersifat
langsung dan aktif seperti telah dijelaskan di awal bab ini. Beberapa counter langsung
dan aktif tersebut bisa kita lihat dalam artikel berikut ini:

Judul Rubrik Penulis/tokoh Edisi


Nabi Perempuan: Adakah? Opini Qosim Nursheha Dzulhadi 01/11/2006
Jinayat JIL Terhadap Siroh dan Usul Fiqh Opini Hizbullah Mahmud 15/09/2006
Jinayat JIL Terhadap Fiqh dan Fuqaha Opini Thoriq 15/11/2006
Mengkritisi Kembali Makna Tuhan Opini Hizbullah Mahmud 21/10/2005
Natal, Syafaat dan Sinkretisme Teologis Opini Qosim Nursheha Dzulhadi 08/01/2006
Syariat Porno? Opini Muchib Aman Aly 16/05/2006
Akal-Akalan Dalam Ijtihad Opini Hizbullah Mahmud 06/07/2006
Benarkah Semua Pendapat Boleh Di Ikuti Opini Thoriq 02/10/2006

Nabi Perempuan: Adakah? (Qosim Nursheha Dzulhadi, hidayatullah)

Melalui artikel ini, Qosim ingin menyanggah tulisan A. Moqsith Ghazali di situs
islamlib.com pada 25/10/2006 berjudul Nabi Perempuan. Ringkasan tulisan Qosim
adalah sebagai berikut:

Dalam situs JIL (www.islamlib.com, 25/10/2006, Moqsith Ghazali menulis tentang nabi
perempuan. Setelah panjang lebar menerangkan konsep nabi dan rasul, Moqsith
menyimpulkan bahwa setelah ia mengecek kesejumlah kitab, ternyata status kenabian tak
hanya dimonopoli kaum laki-laki. Ada juga nabi perempuan. Misalnya Ibnu Katsir dalam
al-bidayah wa al-nihayah (Juz II, hlmn. 59) mengutip satu pendapat bahwa tak tertutup
pintu bagi hadirnya nabi perempuan. Dikemukakan bahwa Maryam adalah salah seorang
nabi. Perempuan lain yang diangkat menjadi Nabi menurut pendapat ini adalah Sarah
(Ibu Nabi Ishaq, istri nabi Ibrahim) dan ibu Nabi Musa. Ulama yang berpendapat
demikian, misalnya, bersandar pada ayat al-Qur’an wa awhayna ila ummi musa an
ardhi’ihi khifti ‘alaihi, fa alqihi fi al-yamm. Dengan demikian, Moqsith mengambil
pendapat yang menyatakan bahwa ada “nabi perempuan”. Moqsith sangat tidak
komprehensif ketika membahas makna “wahyu” dalam Islam, maka wajar jika
konklusinya. Tulisannya yang singkat dan sangat sederhana itupun terkesan tendensius
dan dipaksakan. Sepertinya dia sedang geram pada sementara pendapat yang ada dalam
masalah ini.Apa yang disimpulkan Moqsith adalah keliru. Anggapan ulama yang
menganggap ibu Musa dan sarah sebagai nabi harus dilihat lagi secara kritis. Karena
tidak ada penjelasan rinci yang menyatakan keduanya dianggap sebagai nabi. Sampai hari
ini, tidak afa pendapat atau buku yang menjelaskan bahwa ibu Musa dan Sarah
menyampaikan risalah, atau memberi peringatan (al-indzar).Dr. Al-Musayyar
menjelaskan syarat-syarat seorang nabi atau rasul yakni: (1) manusia, (2) laki-laki, (3)
merdeka (bukan budak), (4) terhindar dari aib (cacat): maksum dari perbuatan dosa dan
salah, dan (5) Allah mewahyukan satu syariat kepadanya. Sebagian orang menurut beliau,
berusaha untuk menyematkan kenabian (al-nubuwwah) itu kepada perempuan seperti ibu
Musa dan Maryam berdasar firmal Allah wa awhayna….. (QS. al-Qashash (28): 7) dan fa
arsalna ilayha ruhana fatamatstsala laha baysaran sawiyyan (QS. Maryam (19): 17. Dalil
itu menurut beliau tertolak karena wahyu kepa aibu Musa adalah wahyu berupa ilham,
bukan wahyu kenabian. Dan tidak lazim bahwa wahyu itu sebagai kenabian.

Jinayat JIL Terhadap Siroh dan Usul Fiqh (Hizbullah Mahmud, hidayatullah)

Melalui artikel ini, Hizbullah ingin mengkritik artikel A. Moqsith Ghazali dalam kolom
editorial situs islamlib.com yang berjudul Membentengi Islam (28/08/2006). Dalam
artikelnya, Moqsith menjelaskan bahwa jika kita menjadikan Islam sebagai sebuah
benteng maka itu justru akan mengkerdilkan Islam sendiri.

Dalam tulisan yang sama, Moqsith juga mengatakan bila Nabi SAW sendiri merupakan
pribadi yang tak segan untuk belajar dari orang lain, termasuk belajar dari Waraqah bin
Naufal, sepupu Khadijah yang bergama Kristen. Selanjutnya, Moqsith menulis bahwa
Bayt al-hikmah, lembaga keilmuan yang didirikan oleh Khalifah VII Bani Abassiyah, al-
Makmun Ibn Harun al-Rasyid (813-833 M) pernah dipimpin sarjana Kristen, Hunayn Ibn
Ishaq. Kritikan Hizbullah, secara ringkas, adalah sebagai berikut:

Aktifis JIL, Moqsith Ghazali, menulis bila Nabi SAW sebagai orang yang tak segan
untuk belajar dari orang lain, termasuk kalangan Kristen. Benarkah demikian?Para
pekerja Jaringan Islam Liberal nampaknya tidak segan-segan menggunakan berbagai
macam cara agar opini tersebut bisa diterima pembaca. Budaya ngaco, dan asal comot
seakan tidak dipedulikan lagi sehingga hasil yang dicapai jauh untuk bisa dikatakan
Ilmiah. Ada 3 poin yang perlu dikritisiPertama, Moqsith mengatakan bahwa Nabi SAW
adalah orang yang tak segan belajar dari orang lain. Alkisah Nabi pernah bertanya kepada
Waraqah Bin naufal, sepupu Khadijah (istri Nabi), yang beragama Kristen tentang
kejadian aneh yang dialaminya ketika ia bersemedi (tahannuts) di Gua Hira. Padahal
semestinya yang bertanya kepada Waraqah bukanlah Nabi, melainkan Khadijah setelah
itu Waraqah meminta baginda Rasul untuk menceritakan kejadian yang
dialaminya.Kedua, Moqsith mengatakan bahwa Bayt al-Hikmah, lembaga keilmuan yang
didirikan oleh Khalifah VII Bani Abbasiyyah, al-Makmun Ibn Harun al-Rasyid (813-
833M) pernah dipimpin sarjana Kristen, Hunayn Ibn Ishaq.Data sejarah ini perlu dikritisi,
Hunayn memang pernah diperbantukan pada masa tersebut namun tidak dijumpai
satupun buku turats yang mengatakan bahwa Bayt al-Hikmah pernah dipimpin olehnya.
Jadi perlu dipertanyakan lagi darimana sang penulis mendapatkan dana ini?Ketiga,
Moqsith menuduh ilmu ushul fiqh yang pertama kali dibukukan Imam Syafii banyak
mengambil dari logika Aristoteles. Padahal ushul fiqh dan logika Aristoteles, walaupun
sekilas tampak sama, namun kedua ilmu ini sangat bertolak belakang sebab logika
keilmuan yang digunakan Aristoteles menggunakan sistim analogi dan akal sedangkan
ilmu ushul fiqh berdasarkan hasil istimbath dari al-Qur;an dan Sunnah. Duz, keduanya
berbeda jauh.

Jinayat JIL Terhadap Fiqh dan Fuqaha (Thoriq, hidayatullah)

Melalui artikel ini, Thoriq, ingin mengkritisi tulisan di wesbite JIL, islamlib.com
(08/03/2005) berjudul Argumen Metodologis CLD KHI dan tulisan berjudul Salat
Bilingual Haruskan Menjadi Kontroversi? (16/05/2005). Ringkasan kritik Thoriq adalah
sebagai berikut:

Para penulis dari paham Islam Liberal sering menulis ‘ngaco’ diberbagai kesempatan
bahkan berani memfitnah para fuqaha untuk melakukan pembodohan terhadap
umat.Sebagai contoh, lihat tulisan berjudul Argumentasi Metodologis CLD KHI
(islamlib.com, 08/03/2005). Dalam tulisan itu, sipenulis menilai bahwa ushul fiqh tidak
relevan lagi, sehingga sipenulis membuat-buat beberapa kaidah sendiri yang menurut
penilaian dia bisa memberi kemashlahatan, keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan.
Kaidah ushul fiqh alternatif yang pertama dipromossikan sipenulis adalah al-ibrah bi al-
maqasid la bi alfadz (yang dijadikan pijakan adalah tujuan bukan lafadz). Dari sini kita
tahu bahwa sipenulis memang tidak mengerti apa itu ushul fiqh. Jadi ada tiga unsure
dalam ushul fiqh, ma’rifah dala’il fiqhi (pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh), kaifiyah al-
istifadah (metodologi penggunaan dalil), danhal mustafid (kriteria mujtahid). Kaidah
kedua yang diusulkan penulis adalah jawaz naskh nushus bi al-mashlahah (boleh
menaskh nash-nash dengan maslahat). Dari sini penulis terlihat ingin potong kompas.
Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa boleh menaskh nash-nash al-Qur’an dan Sunnah
dengan Mashlahat? Sementara kaidah ketiga yang diusulkan adalah yajuzu tanqih al-
nushus bi al ‘aql al-mujtama (boleh mengamandemen nash-nash dengan pemikiran
masyarakat). Sebetulnya kaidah ini intinya sama saja, yakni sipenulis ingin mengajak kita
agar meninggalkan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah.Sebagai contoh lain, lihat tulisan
berjudul Shalat bilingual Haruskah menjadi kontroversi (islamlib.com, 16/05/2005). Pada
paragraph kedelapan penulis menyatakan: “Jika kita membaca sejarah, kita akan melihat
perdebatan sengit antara Imam Abu Hanifah yang berasal dari Parsi dan Imam Syafii
yang berasal dari Arab keturunan Qurays. Imam Syafii adalah orang yang sangat kuat
pandangannya bahwa membaca al-fatihah dalam shalat dengan bahasa Arab hukumnya
wajib. Orang yang tidak melakukannya, shalatnya tidak sah. Sementara Abu Hanifah
memperbolehkan membaca al-fatihah dalam bahasa Parsi atau non-Arab lainnya, bagi
mereka yang tidak menguasai bahasa Arab.Dari penggalan artikel diatas ada beberapa hal
yang perlu dicermati. Pertama, penulis menilai ada perdebatan sengit antara Asbu
Hanifah dan Imam Syafii, kedua penulis juga menilai Abu Hanifah berasal dari Parsi.
Para pembaca yang budiman, perdebatan itu tidak pernah terjadi sepanjang sejarah,
peristiwa itu hanyalah khurafat dari sipenulis. Kebanyakan umat Islampun tahu bahwa
Abu hanifah wafat 150 H, sedangkan Imam Syafii lahir pada tahun 150 H juga di Gaza
Palestina bertepatan dengan tahun wafatnya Abu Hanifah. Bagaimana bisa terjadi
perdebatan sengit antara keduanya? Khurafat penulis juga mengatakan Abu hanifah
berasal dari Parsi, entah merujuk dari mana sipenulis tersebut? Yang jelas dalam buku-
buku sejarah madzhab kita dapati keterangan bahwa Imam Abu Hanifah lahir di Kuffah.

Mengkritisi Kembali Makna Tuhan (Hizbullah Mahmud, hidayatullah)

Tulisan Hizbullah ini sebenarnya mendiskusikan makna Tuhan. Akan tetapi starting
point-nya tulisan dalam opening words- situs JIL, islamlib.com dimana Hizbullah
mengkritik opening words tersebut. Di situ terdapat terjemahan Bismilahirrohmanirrohim
menjadi Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan segala Agama.
Petikan kritik Hizbullah adalah sebagai berikut:

Saya cukup tercengang tatkala membuka website islamlib.com, ketika akan memasuki
website tersebut menemukan terjemahan Bismilahirrohmanirrohim diterjemahkan
menjadi Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih
, Tuhan Penyayang, Tuhan segala Agama. Hanya saja 3 kata terakhirnya tidak termasuk
dalam terjemahan kata basmalah di atas (Tuhan segala agama). Secara sekilas kita dapat
menyimpulkan bahwa makna Allah disamakan dengan makna tuhan. Yang membedakan
antara tuhan-tuhan lain dengan Allah hanyalah huruf T besar diawalnya. Bila T nya huruf
besar maka itu maknanya sama dengan Allah dan bila t nya kecil maka itu maknanya
tuhan-tuhan selain Allah. Dalam penulisan mungkin bisa dilihat perbedaannya tapi dalam
pengucapan nyaris tidak ada.Pencetus makna Allah juga dimaknai Tuhan adalah
almarhum Prof. DR. Nurcholish Madjid. Pada waktu itu beliau menterjemahkan kalimat
lailahaillallah dengan tidak ada tuhan selain Tuhan atau dalam bahasa Inggrisnya there is
not any god but the God.Terjemahan ini selain tidak benar, juga membuat kekacauan,
membuat kebingungan, mendangkalkan aqidah dan menghancurkan tauhid. Terjemahan
tersebut seperti yang dilakukan oleh kaum orientalis dan ahli injil.…….Berdasarkan
pengertian tersebut maka kelemahan Prof. Dr. Nurcholish Madjid dari segi bahasa
diantaranya, menterjemahkan Allah diartikan Tuhan, menyamakan arti ilah dengan Allah,
memandang alim dan lam pada kata Allah ma’rifah dari isim nakiroh ilah, terjemah hanya
memperhatikan etimologinya, standar terjemah menggunakan bahasa Inggris.Sebagai
akibat dari terjemah yang hanya memperhatikan dari segi etimologinya dan adanya
kesalahan Allah diartikan sama dengan ilah yang berarti tuhan, maka dari segi makna
nilai tauhid menjadi kabur dan hancur.

Natal, Syafaat & Sinkretisme Teologis (Qosim Nursheha Dzulhadi, hidayatullah)

Melalui artikel ini, Qosim ingin mengkritik tulisan Ulil Abshar-Abdalla yang dimuat
dalam situs JIL islamlib.com menyangkut perayaan Natal berjudul Pendapat Islam
Liberal Tentang Perayaan Natal (27/12/2004) dan tulisan Guntur Romli, aktivis JIL yang
dimuat dalam situs islamemansipatoris.com dengan judul Natal dan Pesan Dialog Agama
(27/12/2004). Petikan kritik Qosim adalah sebagai berikut:

Guntur menjelaskan: “saya akan memulai memahami ajaran Kristen dengan pemahaman
yang saya miliki. Ada tiga poin ajaran Kristiani, tetapi bisa dipahami melalui ajaran
Islam. Yaitu, mengenai kehadiran Tuhan, penyaliban Yesus, dan ajaran cinta kasih”.
Sementara Ulil dengan artikelnya ingin menciptakan model ta’aruf Qur’ani. Hanya saja
ia juga terjebak oleh spirit yang digulirkannya itu. Diantaranya , ia menganjurkan kawin
campur antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslimah, natal dan bid’ah.
Akibatnya, Guntur dan Ulil terjebak dalam “Sinkretisme Teologis”.Point penting dari
tulisan Guntur dan Ulil yang ingin saya tanggapi adalah: (1) kehadiran Tuhan, (2)
penyaliban yesus, (3) al-Qur’an bukan kitab pembatal, dan (4) bid’ah natal.Pertama,
menyangkut kehadiran Tuhan, penulis kira adalah hal yang keliru kalau Islam tidak
dianggap detail dalam menggambarkan kehadiran Tuhan. Paham yang menyatakan
bahwa Kristen lebih mementingkan kehadiran Tuhan seperti yang diungkapkan Fritjcof
Schuon dalam filsafat perennial sangat kurang tepat.Kedua, penyaliban Yesus. Adalah hal
yang sangat fatal ketika menyatakan bahwa kematian Yesus ditiang salib merupakan hal
yang sama dengan jihad dalam Islam. Penulis kira itu adalah al-qiyas m’aa al-fariq
baathil. Sama halnya dengan pernyataan said Aqil Siraj ketika menyatakan bahwa makna
nuzul dalam islam sama dengan makna nuzul dalam Kristen. Aqil yang mengatakan:
nuzul dalam Islam dalam bentuk al-Qur’an sedangkan nuzul dalam Kristen dalam bentuk
Yesus. Tentu saja hal ini tidak bisa diterima bahkan salah total. Mengapa tidak melakukan
qiyas antara al-Qur’an dengan Injil, dan itu lebih rasional. Penulis kira Injil juga nuzul
dari Allah. Atau apakah ada umat Kristen yang menyatakan bahwa Injil tidak nuzul dari
Allah?Ketiga, al-Qur’an bukan kitab pembatal. Ulil sempat menyinggung hal ini.
Benarkah demikian? Dalam sebuah agama, klaim kebenaran meruapakan hal yang tak
bisa dihindarkan. Hanya saja salah sau tindakan yang salah adalah klaim buta. Itu yang
tidak bisa diterima. Pernyataan Ulil bahwa Qur’an bukan kitab pembatal harus dikritisi
kembali. Yesus hadir (diutus) kedunia bukan membawa atau menciptakan hukum baru. Ia
hanya melengkapi (menggenapi) hukum taurat yang dibawa Musa (Matius 5: 17-18).
Maka Injil pada intinya tidak bisa dianggap sebagai penghapus taurat, meskipun
datangnya belakangan. Ia hanya disebut sebagai mushadiq (pembenar). Lain halnya
dengan Qur’an, meski turun bukan sebagai kitab pembatal, namun ia merupakan
penghapus beberapa hukum taurat, tapi ia turun sebagai pembenar (mushadiq) sekaligus
ebagai muhaimin ‘alaih (batu ujian). Hal-hal inilah yang sering luput dari pengamatan
kaum liberal seperti Guntur dan Ulil.Keempat, bid’ah natal. Bid’ah terbagi dua yakni
bid’ah dalam kebiasaan (adat) dan bid’ah dalam agama. Bid’ah dalam bentuk pertama
diperbolehkan, sedang bid’ah dalam agama itu haram.

Syariat Porno (Muchib Aman Aly, hidayatullah)

Artikel Muchib ini sebenarnya ingin mengkritisi para penolak syariat Islam terkait isu
RUU APP. Muchib memulai artikelnya dengan wawancara “kontroversial Gus Dur”
dengan JIL yang sering dianggap menjadi biang munculnya opini tentang statemen Gus
Dur bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci porno. Begini isinya:

Harian Duta edisi ahad 16 April memuat wawancara Abdurahman Wahid dengan aktifis
JIL yangd ipublikasikan dalam situs resminya (islamlib.com), dengan memberi
judul”jangan Bikin aturan berdasarkan Islam saja”. Begini wawancaranya:………………
…….Manusia SekulerKetika rame-ramenya pembicaraan tentang goyang ngebor inul,
dalam sebuah buku berjudul mengebor kemunafikan Ulil Abshar-Abdalla menulis: agama
tidak bisa seenak udelnya sendiri masuk kedalam bidang-bidang itu (kesenian dan
kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyarakat….agama
hendaknya tahu batas-batasnya.Pernyataan itu mewakili pendapat umum kaum sekuler
dan liberal. Begitulah pandangan kaum sekuler yang tidak mau terikat dengan aturan
agama. Maksiat bukanlah suatu masalah umum yang perlu dipersoalkan. Asal
kemaksiatan membawa mashlahat dan disepakati oleh umum.

Akal-Akalan Dalam Berijtihad (Hizbullah Mahmud, hidayatullah)

Artikel Hizbullah ini ingin menyatakan bahwa penganut paham sekularisme, liberalisme
dan pluralisme sering seenaknya menyalahgunakan istilah ijtihad hanya untuk akal-
akalan. Dan artikel ini, tak lupa Hizbullah juga menyenggol JIL terkait ijtihad mereka.
Begini bunyinya:

…….menariknya kalangan JIL memaksudkan ijtihad dengan maksud berbeda. Karena


menurut JIL ijtihad hanya dikesankan untuk mengadakan kegiatan berpikir tentang ajaran
islam. Tegasnya, disaat dalil al-Qur’an dan Sunnah ada dan cukup tegas, mereka masih
tetap melakukan ijtihad. Jadi istilah ijtihad dirusak dan dipakai secara tersamar.Sebagai
contoh, Moqsith Ghazali, dalam makalahnya yang berjudul Ijtihad Upaya menembus
Kawasan Yang Tak Terpikirkan membuat kaidah yang bisa dikatakan lucu ia mengutip: in
khalafa al-‘aql wa al-naql quddima al’aqlu bithariqi al-takhshish wa al-bayan (ketika
terjadi ketegangan antara pendapat akal dan bunyi harfiah teks ajaran, maka yang
dimenangkan adalah pertimbangan akal dengan jalan takhshish (spesifikasi ajaran) dan
bayan (penjelasan rasional).Kaidah ini sangat bertentangan dengan pengertian dasar
ijtihad yang telah dibuat ulama berabad-abad lamanya. Jelas sekali, ijtihad berlaku jika
tidak ada nash yang jelas dari al-Qur’an dan Sunnah dan itupun harus mengambil
istimbath (kesimpulan) dari dalil-dalil yang ada. Jadi sangat ngawur jika ijtihad
digunakan untuk menafikan hukum-hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah. Nampaknya
sang penulis belum memahami arti ijtihad, namun anehnya sudah berlagak sebagai ulama
besar abad ini yang kemudian membuat kaidah ijtihad.

Benarkah Semua Pendapat Boleh Di Ikuti (Thoriq, hidayatullah)

Artikel Thoriq ini ingin mengkritik kalangan pro sekularisme, liberalisme dan pluralisme
yang dianggapnya membolehkan orang melakukan tafsir sesuai kecenderungannya. Ia
mengacu pada tulisan seorang penganut Islam liberal berjudul Metodologi Berfatawa
dalam Islam dan artikel A. Moqsith Ghazali di islamlib.com berjudul Membentengi
Islam. Ringkasan artikel ini adalah sebagai berikut:

Seorang penganut Islam Liberal telah mempublikasikan sebuah tulisan yang berjudul
metodologi Berfatwa dalam Islam, katanya: setiap umat memiliki hak untuk mengikuti
tafsir a la sunni, a la mu’tazilah, a la syiah, ala Gus Dur, ala Cak Nur, ala Kiai Langiotan,
ala Jaringan islam Liberal (JIL), ala ahmadiyah dan lainlain, wahai, serahkanlah kepada
umat untuk memilih mana-mana tafsir yang terbaik untuk dirinya (islamlib.com,
23/09/2005).Tampak jelas dalam penggalan diatas, sipenulis memiliki pemahaman bahwa
setiap orang boleh mengikuti tafsir siapa saja yang sesuai dengan kecenderungannya,
tanpa ada rambu-rambu yang jelas, semuanya diserahkan kepada publik untuk
memilih.Dengan sikap seperti itu, sikandidat doctor ini juga secara langsung beranggapan
bahwa setiap pendapat layak diperhitungkan, tanpa melihat substansi atau kapasitas
pencetusnya, tidak heran jika di kesempatan lain sipenulis berpendapat bahwa disana ada
kelompok yang propluralisme dan yang kontra pluralisme, sekaligus dalil kedua pihak
(Media Indonesia, 06/08/2004) tanpa melihat siapa yang pro-kontra, para fuqaha atau
bukan, sipenulis langsung memasukannya kedalam wilayah khilaf yang layak
diperhitungkan.Bahkan dalam tulisan terakhir, sipenulis metodologi berfatwa
menyarankan agar umat Islam mau mengadopsi pendapat non Muslim (lihat
membentengi Islam, islamlib.com, 28/08/2006).Jika sikap “tidak jelas” ini terus-menerus
dikembangkan, maka bisa-bisa perkawinan sesama jenis juga dihalalkan, karena toh
bukankah ada beberapa mahasiswa syariah dari IAIN yang membolehkan? Walhasil,
nalar seperti ini amatlah berbahaya.

BANYAK BEDA, SEDIKIT SAMA: RESPON ISLAMLIB.COM DAN


HIDAYATULLAH.COM TERHADAP ISU-ISU AKTUAL

Fokus selanjutnya pada bab ini adalah pada respon kedua website (islamlib.com dan
hidayatullah.com) terhadap isu-isu aktual di Indonesia selama kurun waktu 1 tahun
terakhir ini (2005—2006). Setelah membaca isi kedua website tersebut, terdapat 5 isu
besar yang mereka respon selama kurun waktu tersebut, yakni: (1) Fatwa MUI tentang
pelarangan sekularisme, liberalisme dan pluralisme, (2) Kasus penyerbuan dan
pengusiran Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), (3) Fenomena yang melingkupi
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP), (4) Kasus
Poligami da’I kondang Aa Gym, dan (5) Penyerbuan tentara Israel ke Libanon dan
Palestina.

Secara umum, kesimpulan yang bisa dipaparkan terhadap respon kedua website tersebut
pada 5 isu besar di atas adalah sebagai berikut:

Isu-isu Respon islamlib.com Respon hidayatullah.com


Fatwa MUI Tidak mendukung Mendukung
Kasus Ahmadiyah Tidak mendukung Mendukung
RUU-APP Tidak mendukung Mendukung
Poligami Aa Gym Tidak mendukung Mendukung
Kebrutalan Israel Tidak mendukung Tidak mendukung

FATWA MUI

Musyawarah Nasional (MUNAS) VII Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berakhir
Jum’at, 29/07/2005 menghasilkan 11 fatwa. Dari 11 fatwa tersebut ada beberapa yang
kemudian memunculkan pro-kontra dimasyarakat. Dua diantaranya adalah fatwa Jamaah
Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai aliran sesat dan pelarangan penyebaran paham
pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Dijelaskan MUI bahwa pluralisme yang
dimaksud adalah penyamaan semua agama, liberalisme yang dimaksud adalah pemikiran
Islam yang menggunakan pikiran manusia secara bebas, bukan pemikiran yang dilandasi
agama, sementara sekularisme berarti memisahkan urusan dunia dan akhirat dan negara
tidak boleh campur tangan terhadap urusan agama. Fatwa yang disebut terakhir ini jelas-
jelas secara langsung menyenggol JIL. Apalagi banyak yang beranggapan bahwa Latar
belakang pengharaman itu agaknya adalah timbulnya aliran Jaringan Islam Liberal (JIL)
yang dikembangkan oleh generasi muda, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah, dengan tokohnya yang paling vokal (pada saat itu) Ulil Abshar-
Abdalla.

Sebagai pihak yang terkena langsung dampak fatwa itu, JIL seperti kita lihat dalam isi
websitenya (islamlib.com) secara tegas menolak fatwa tersebut. Sementara,
hidayatullah.com jelas-jelas mendukungnya. Penolakan islamlib.com dan dukungan
hidayatullah.com bisa kita lihat dalam artikel berikut ini:

Judul Situs Penulis/tokoh Edisi


Fatwa MUI Pengaruhi Arus Radikalisme di Indonesia Islamlib.com Umdah el-Baroroh
20/03/2006
Legitimasi Terakhir Fatwa MUI Hidayatullah Syamsuddin Arif 12/08/2006

Fatwa MUI Pengaruhi Arus Radikalisme di Indonesia (Umdah el-Baroroh, islamlib)

Artikel Umdah ini sebenarnya adalah laporan hasil diskusi bulanan JIL pada 28/02/2006
dengan menghadirkan pembicara DR. Syafii Anwar (Direktur ICIP) dan DR.Saiful
Mujani (Direktur LSI). Dalam artikel ini, Umdah mengutip beberapa ungkapan Syafii
yang menyatakan fatwa MUI, terutama pelarangan pluralisme, sekularisme dan
liberalisme, mempengaruhi arus radikalisme Islam di Indonesia. Petikan artikel Umdah
tersebut adalah sebagai berikut:

“Meningkatnya radicalisme agama akhir-akhir ini sebagian didukung oleh fatwa MUI”
demikian pernyataan Direktur ICIP Syafii Anwar pada diskusi bulana JIL 28/02 lalu.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa fatwa MUI tentang haramnya liberalisme, sekularisme
dan pluralisme sering dijadikan justifikasi oleh kelompok-kelompok tertentu dengan
mengatasnamakan agama. Meningkatnya arus radikalisme agama di Indonesia akhir-
akhir ini bisa ditengarai dengan memuncaknya aksi kekerasan yang menimpa Jama’ah
Ahmadiyah Indonesia, perusakan gereja-gereja dan maraknya konflik antaragama
dibeberapa daerah. “Fatwa MUI tersebut ikut andil sebagai penyebab kasus-kasus itu”.
Tegas Syafii. Berdasarkan penelitian Syafii di beberapa pesantren Jawa Barat, para santri
dan kyai disana yang menolak sekularisme, liberalisme dan pluralisme mengaku
terpengaruh fatwa MUI yang mengharamkan isme-isme itu.Menariknya, catatan doctor
dari Melbeourne University ini, mereka yang menolak pluralisme itu tidak mengetahui
makna pluralisme yang sebenarnya. Mereka hanya tahu definisi itu dari MUI. Dalam
fatwa MUI, pluralisme didefinisikan sebagai paham yang mengajarkan bahwa semua
agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relativ. “Disini MUI
telah melakukan penafsiran tunggal atas pluralisme” tandas Syafii

Legitimasi Terakhir Fatwa MUI (Syamsuddin Arif, hidayatullah)

Melalui artikel ini, Syamsuddin ingin mengkritik-balik kaum liberal yang mengkritik
fatwa MUI dengan alasan bahwa fatwa MUI yang mengharamkan liberalisme, pluralisme
dan sekularisme, serta menegaskan kembali kesesatan Jamaah Ahmadiyah dikatakan
tidak mendorong terjadinya dialog antaragama dan saling pengertian antar pemeluk
agama dan juga antar golongan dalam satu agama. Bahkan, Syamsuddin mengkritik-balik
kaum liberal yang beranggapan bahwa fatwa MUI itu akan memberi inspirasi kepada
sebagian orang untuk melakukan tindakan kekerasan. Untuk hal itu, Syamsuddin
memberi 3 catatan penting. Ketiga hal tersebut, secara ringkas adalah sebagai berikut:

Pertama, soal definisi liberalisme, pluralisme dan sekularisme yang dimaksud. Konon,
MUI terlalu menyederhanakan tanpa melakukan kajian terlebih dahulu. Tuduhan ini jelas
bermaksud meruntuhkan validitas fatwa tersebut, meremehkan MUI, menganggap
seolah-olah para ulama itu bodoh dan tidak mengerti apa yang mereka katakana. Padahal
tidak demikian. Sesungguhnya, sepak terjang (lisanul hal) kaum liberal telah cukup
menjelaskan maksud liberalisme dan pluralisme agama yang mereka usung. Berbagai
kegiatan maupun tulisan yang mereka publikasikan dimedia massa, hampir seluruhnya
mengasong pemikiran-pemikiran liar.Kedua, soal kekuatan dan pengaruh fatwa tersebut.
Kaum liberal menolak fatwa MUI itu dengan alasan fatwa tersebut hanyalah pendapat
hukum, bukan hukum itu sendiri, meskipun sah namun tidak mengikat, dan oleh karena
itu boleh diikuti dan boleh tidak. Apakah benar demikian? Jawabannya tentu saja tidak.
Namun ironisnya begini: kalau fatwa tersebut de jure tidak mengikat, mengapa mereka
harus khawatir? Bukankah kekhawatiran itu justru menunjukkan bahwa fatwa tersebut de
facto diakui keabsahannya dan kemengikatannya? Harus dibedakan antara fatwa yang
dikeluarkan oleh seorang alim dan fatwa yang dilahirkan oleh sekumpulan ulama. Yang
disebut pertama adalah produk ijtihad fardi, sementara yang kedua adalah ijtihad jama’I
yang otoritasnya jauh lebih kuat dan mengikat, karena menyerupai ijma’. Ketiga, soal
pernyataan seorang corong liberal bahwa MUI bukanlah wakil resmi dan satu-satunya
kebenaran dalam Islam. Ungkapan ini menyimpan dua kekeliruan sekaligus. Kekeliruan
pertama, sebagaimana diketahui, MUI merupakan wadah musyawarah para ulama,
zu’ama dan cendikiawan Muslim dari berbegai unsure organisasi. “Di MUI kan ada 300
lebih ulama” kata KH Ma’ruf Amin. Jadi cukup representatif dan legitimate. Selain itu,
didirikan 30 tahun lalu (26 Juli 1975 M) MUI sadar betul akan amanah yang dipikulnya,
bahwa apa yang dilahirkannya kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah
SWT, dan karena itu tidak boleh membuat keputusan hukum seenaknya (tahakkum).
Seperti pernah ditegaskan Prof. KH. Ibrahim Hoosen, bagi MUI, mengutamakan akal
daripada wahyu berarti mengingkari wahyu. Kekeliruan lainnya adalah merelativisir
kebenaran dan membenarkan relativisme, menganggap isi fatwa tersebut benar menurut
MUI saja, tidak absolut benar.

KASUS AHMADIYAH

Kasus Ahmadiyah merupakan isu yang cukup ramai dibicarakan juga beberapa waktu
yang lalu. Kita tahu bahwa, Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dibeberapa daerah
seperti di Parung Bogor, di Lombok NTB, di Indramayu Jawa Barat dan sebagainya
mengalami ancaman fisik, tempat ibadah mereka dirusak dan hak-hak mereka untuk
menjalankan keyakinan mereka berada dalam kondisi serius. Selain itu kasus Ahmadiyah
juga terkait dengan fatwa MUI hasil munas ke VII (29/07/2005) yang menyatakannya
sebagai organisasi sesat dan terlarang. Puncaknya, beberapa anggota Jamaah Islamiyah di
Lombok mengajukan suaka politik ke Pemerintah Australia karena merasa tidak
mendapatkan perlindungan dari pemerintah Indonesia.

Atas dasar fenomena di atas, beragam komentar pun muncul, baik yang pro maupun yang
kontra. Melihat kedua isi website, bisa dikatakan bahwa isi islamlib.com kebanyakan
mendukung eksistensi JAI di Indonesia dengan alasan kebebasan beragama. Sementara,
isi hidayatullah.com kebanyan menolak eksistensi mereka dengan alasan fatwa MUI yang
menyatakan mereka sebagai aliran terlarang dan sesat serta dianggap menyimpang dari
ajaran Islam. Dukungan dan penolakan terhadap eksistensi JAI tersebut bisa kita lihat
dalam artikel dibawah ini:

Judul Situs Penulis/tokoh Edisi


Ujian Untuk Konsistensi Kita Islamlib.com Ulil Abshar-Abdalla 06/03/2006
Ahmadiyah dan Masalah Kebenaran Hidayatullah.com Adian Husaini 25/07/2006
Membela Ahmadiyah Berdasarkan HAM Hidayatullah.com Adian Husaini 01/08/2005

Ujian Untuk Konsistensi Kita (Ulil Absar-Abdalla, islamlib)

Melalui artikel ini, Ulil mencoba menegaskan bahwa kasus Ahmadiyah bisa menjadi
ujian bagi konstitusi kita. Ulil menyatakan:

…Salah satu pasal penting konstitusi itu adalah perlindungan bagi semua kelompok
untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Pasal tentang jaminan kebebasan
beragama, istilah dalam tradisi Islam adalah salah satu qath’iyat atau dasar pokok yang
pasti dan tidak boleh diganggu gugat. Tanpa pasal seperti ini, runtuhlah seluruh alasan
untuk membangun sebuah negara bernama Indonesia.Kini, konstitusi kita sedang dalam
ujian, terutama pasal yang menyangkut kebebasan beragama. Ujian itu datang dari kasus
Ahmadiyah. ………….Aparat keamanan tampaknya kurang berhasil memberikan
perlindungan kepada mereka (anggota Jamaah Ahmadiyah).

Selain itu, Ulil juga mengkritik pemerintah yang dianggapnya kurang memiliki komitmen
mendalam dalam menangani masalah kebebasan keyakinan. Lanjut Ulil, nada pernyataan
yang diberikan pemerintah selama ini cenderung defensif dan apologetik. Setiap ada
kasus penyerangan atas JAI, pihak keamanan dan pejabat selalu menyatakan, mereka
telah berusaha maksimal, tapi tak kuasa menangkal massa yang anarkhi. Dalam sejumlah
kasus, pihak setempat bahwa secara tak langsung ikut dalam proses persekusi atas JAI,
misalnya ikut menandatangani surat kesepakatan yang diusulkan oleh kelompok (Islam)
tertentu untuk menegaskan kesesatan JAI.

Yang lebih serius lagi, menurut Ulil, adalah pernyataan sejumlah pejabat negara yang
mengaskan masalah Ahmadiyah akan selesai sendiri jika kelompok ini kembali kejalan
yang benar atau mendirikan agama sendiri secara terpisah. Pernyataan ini dianggap amat
serius dan berdampak luas dalam kehidupan sosial keagamaan dimasa mendatang.
Ringkasan kritik Ulil terhadap pernyataan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, negara turut campur dalam menentukan corak keyakinan warganya, sesuatu
yang jelas berlawanan dengan semangat konstitusi yang menjamin kebebasan agama dan
keyakinan.Kedua, seolah-olah masalah Ahmadiyah akan selesai sendiri jika kelompok ini
mendeklarasaikan diri sebagai agama baru, asumsi yang perlu diuji kebenarannya.
Pertanyaan berikut, jika Ahmadiyah menjadi agama sendiri, terpisah dari Islam, apakah
kelompok ini lantas bisa hidup aman dan bebas mendirikan masjid? ………..Ada
kemungkinan jamaah Ahmadiyah akan dilarang memakai symbol-simbol Islam .

(1) Ahmadiyah dan Masalah Kebenaran (Adian Husaini, hidayatullah)


(2) Membela Ahmadiyah Berdasarkan HAM (Adian Husaini, Hidayatullah)

Melalui artikel pertama (Ahmadiyah dan Masalah kebenaran), Adian ingin mengkritik
beberapa cendikiawan dan ulama yang menyatakan bahwa manusia tidak berhak
menghakimi keyakinan orang lain, dan memaksakan keyakinannya terhadap orang lain
itu. Mereka mengutip ayat al-Qur’an: “ barangsiapa yang mau silahkan beriman dan siapa
yang tidak mau silahkan kafir”. Jadi biarkanlah orang mengikuti pendapat apa saja, dan
menyebarkan pendapatnya, apa saja jenisnya. Termasuk paham Ahmadiyah yang
mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi SAW.

Sebagai contoh, ungkapan Masdar F Mas’udi, salah satu ketua PBNU yang dikutip harian
Kompas (20/07/2005) menyatakan: “ NU merasa tidak berhak memfatwakan sesat
terhadap para pengikut Ahmadiyah”.

Menurut Adian, ulama seharusnya tidak membuat masalah menjadi kabur dengan
menyatakan hal diatas. Apalagi tugas ulama adalah menunjukkan mana yang salah dan
mana yang benar. Jadi sebagai ulama maka tugas pentingnya adalah menunjuk mana
yang haq dan mana yang bathil, mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar. Sebab amar
ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban penting kaum Muslim. Adian dalam artikel
pertamanya memberi contoh sebagai berikut:

Sebagai contoh, Imam al-Ghazali sama sekali tidak ragu-ragu ketika menyebutkan
tentang kekeliruan sejumlah pemikiran para filosof, seperti pemikiran tentang keabadian
alam. Dalam kitabnya, al-munqidh min al-dhlalal dengan tegas al-Ghazali menyebut
bahwa golongan Dahriyyin, yang tidak mengakui adanya Tuhan dan mengakui bahwa
alam ini ada dengan sendirinya, tidak dicipta oleh suatu pencipta adalah termasuk kafir
Zindiq. Begitu juga golongan thabii yang tidak mengakui adanya sorga, neraka, ganjaran
bagi tindakan ketaatan, dan siksaan bagi pelaku maksiat, dinyatakan al-Ghazali sebagai
golongan kafir zindiq.

Sementara, melalui artikel kedua (Membela Ahmadiyah berdasarkan HAM), Adian ingin
mengkritik para pembela Ahmadiyah yang berlindung dalam HAM untuk membolehkan
aliran sesat. Petikan kritikan Adian adalah sebagai berikut:

Rabu (27/7/2005) lalu, Komnas HAM mengumumkan temuan awalnya bahwa dalam
kasus penyerbuan kampus Mubarak milik Ahmadiyah telah terjadi indikasi pelanggaran
HAM. Seperti kita ketahui para pembela Ahmadiyah bersandarkan dirinya pada konsepsi
HAM bahwa setiap orang bebas memeluk agama apa saja dan menyebarkannya. Masalah
HAM sudah lama menjadi perdebatan panjang dikalangan Muslim. Seyogyanya kaum
Muslim Indonesia juga mempunyai kesepakatan tentang hal ini. Apakah semua pasal
dalam piagam Unuiversal tentang HAM itu dapat diterima umat Islam. Bagi yang
mengimani piagam ini, maka dia akan meletakannya di atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Benar salah diukur dengan kitab suci HAM ini.Dengan kata lain mereka menjadikan teks
HAM lebih tinggi kedudukannya dari teks kitab suci umat Islam.

RUU-APP

Beberapa waktu yang lalu Pro-kontra terhadap substansi Rancangan Undang-Undang


Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang merupakan usulan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) banyak sekali bermunculan. Mereka yang mendukung menyebutkan,
pornografi sudah terasa dampaknya sehingga harus segera diatur. Sementara, mereka
yang keberatan terhadap RUU APP menyatakan setuju bahwa pornografi tidak bisa
dibiarkan, harus diatur. Persoalannya adalah pada bagaimana cara mengaturnya dan itu
yang menyebabkan kelompok yang keberatan menolak substansi RUU APP tersebut.

Dalam konteks isi kedua website dalam penelitian ini, sudah jelas bahwa isi islamlib.com
menyatakan keberatan terhadap RUU APP sementara isi hidayatullah.com menyatakan
mendukung sepenuhnya RUU APP. Keberatan dan dukungan itu bisa kita lihat dibawah
ini:

Judul Situs Penulis/tokoh Edisi


RUU APP: Ketegangan Modernisme dan Fundamentalisme Islamlib.com Abdul Mukti
Rouf 27/03/2006
Pornografi dan Liberalisme Hidayatullah.com Adian Husaini 14/03/2006

RUU APP: Ketegangan Modernisme & Fundamentalisme (Abdul Mukti Rouf, islamlib)

Melalui artikel ini, Abdul Mukti ingin menjelaskan perang opini tentang RUU APP yang
semakin meruncing beberapa waktu yang lalu dan membentuk polarisasi yang tidak pas.
Kelompok pro-RUU APP dituduh sebagai kelompok anti multikulturalisme yang hendak
memaksakan standar moralitasnya terhadap kelompok lain. Sementara yang menolak
RUU APP disangka sebagai kelompok yang abai terhadap moralitas bangsanya sendiri.
Pandangan lebih lanjut dari artikel Abdul Mukti adalah sebagai berikut:

Soalnya kemudian adalah, siapa yang berhak mengatur moralitas warga masyarakat?
Dengan RUU APP, tugas nahi mungkar dibebankan kepada negara. Pertanyaan penting
dan kritis untuk itu adalah, apakah negara berhak mengatur moralitas yang batasannya
absurd itu? Bagi fundamentalisme, ditangani negara atau tidak, kemungkaran diatas bumi
atas dasar prinsip hukumiyat Allah wajib dihaopuskan. Disinilah kaum fundamentalisme,
atas nama menegakkan otoritas Tuhan sering terjebak pada penghakiman yang
menafikkan hak-hak orang lain dan karenanya sering dituduh anti demokrasi.

Pornografi dan Liberalisme (Adian Husaini, hidayatullah)

Melalui artikel ini, Adian ingin mengkritik kelompok Islam liberal yang menolak RUU
APP dengan dalih melanggar wilayah privat. Menurut Adian, logika kaum liberal yang
mendikotomikan antara wilayah privat dan wilayah publik itu sebenarnya logika primitif,
yang dinegara-negara Barat sendiri sudah kadaluwarsa. Sejak lama manusia sudah
paham, bahwa kebebasan individu selalu akan berbenturan dengan kebebasan publik.
Petikan tulisan Adian adalah sebagai berikut:

…..Paham kebebasan atau liberalisme dalam berbagai bidang memang sedang gencar-
gencarnya dicekokkan kepada masyarakat Indonesia. Kaum Muslim Indonesia kini dapat
melihat, begaimana detsruktif dan jahatnya paham ini. Ketika Lia Eden ditangkap, kaum
liberal berteriak memprotes. Ketika Ahmadiyah dinyatakan sebagai paham sesat oleh
MUI, maka merekapun berteriak membela Ahmadiyah. Ketika goyang ngebor Inul
dikecam, mereka pun memaki-maki para ulama sebagai sok-moralis, sok penjaga moral
dan sebagainya. Ketika film buruan cium gue (BCG) dikritik dan dikecam, mereka juga
membela film itu atas nama kreativitas seni. Sekali lagi, menurut mereka, kebebasan
harus dipertahankan. Sekarang, dalam kasus RUU APP, sikap dan posisi kaum liberal pun
tampak jelas, dibarisan mana mereka berdiri: dibarisan al-haq atau al-bathil.

POLIGAMI AA GYM

Bagai petir di siang bolong, banyak orang menjadi terkaget-kaget ketika mereka tiba-tiba
melihat dan mendengar dai kondang Aa Gym kawin lagi alias poligami. Pasalnya,
statemen-statemen Aa Gym dalam setiap pengajian sebelumnya tidak mengindikasikan
keinginannya untuk ber-poligami. Kontan saja jamaahnya terkaget-kaget, terutama para
ibu-ibu yang memang mengidolakan Aa Gym sebagai lelaki shalih. Apalagi Aa menikah
lagi dengan Alfarini Eridani (Rini), seorang janda dan mantan model yang tentu saja
cantik.

Poligami Aa Gym ternyata tak hanya mengundang gejolak sosial, tapi juga membuat
bombardir kiriman SMS ke ponsel Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden
SBY bahkan kemudian secara khusus memanggil Menneg Pemberdayaan Perempuan,
DR Meutia Hatta dan Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi, dan Dirjen Binmas Islam, DR.
Nazzarudin Umar, untuk meminta revisi agar cakupan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
10 tahun 1983 (yang sudah direvisi menjadi PP Nomor 45 tahun 1990 tentang poligami)
diperluas tidak hanya berlaku bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) tetapi juga pada pejabat
negara dan pejabat pemerintah.

Dari situlah kemudian fenomena poligami Aa Gym menimbulkan efek sosial yang
semakin meluas berupa pandangan pro-kontra mengenai poligami di masyarakat.
Fenomena itu juga tak luput dari perhatian website islamlib.com dan hidayatullah.com.
Kalau kita baca beberapa artikel, maka isi website islamlib.com cenderung menolak
poligami sementara sebaliknya, isi hidayatullah.com cenderung mendukung poligami.

Penolakan dan dukungan itu bisa dilihat dalam artikel berikut ini:

Judul Situs Penulis/tokoh Edisi


Dari Qassim Untuk Aa Gym Islamlib.com M Guntur Romli 11/12/2006
Potret (Keliru) Poligami Hidayatullah.com Sirikit Syah 13/12/2006

Dari Qassim Untuk Aa Gym (M. Guntur Romli, islamlib)

Melalui artikel ini, Guntur ingin menunjukkan alasan-alasan berkaitan dengan


penolakannya terhadap poligami Aa Gym. Begini petikan artikel Guntur tersebut:

Sebagai suami, Rasulullah adalah manusia biasa. Rumah tangganya juga tak lepas dari
rundungan persaingan dan kecemburuan. Demikianlah Bintus Syathi’—nama pena
Aisyah Abdurrahman—mengisahkan sisi manusiawi rumah tangga Rasulullah dalam
bukunya, Nisâ’un Nabî (Istri-Istri Nabi). Aisyah putri Abu Bakar cukup dikenal
pecemburu. Ia kadang tidak puas dengan posisinya sebagai istri terkasih. Saban
Rasulullah membawa istri baru, rasa cemburu selalu saja datang dan menyiksa Aisyah.
Padahal ia telah berkali-kali dipoligami. Alkisah, rombongan Rasulullah baru kembali
dari Khaibar. Mereka mengalahkan suku Yahudi Bani Nadhir. Sebelumnya tersiar kabar
bahwa Rasulullah telah menikahi Shafiyah, putri jelita penguasa Bani Nadhir. Aisyah
menyambut Rasulullah dengan penuh cemburu. Ia mengamati madunya yang singgah di
rumah Haritsah bin Nu’man; rumah yang selalu menjadi titipan bila Rasulullah
mempersunting istri baru. Rasulullah tertawa dengan sikap Asyah. Tapi beliau tak lupa
merayu, “apa yang kau amati, cantik?” Aisyah menjawab ketus: “Aku melihat seorang
perempuan Yahudi!” Rasulullah menyanggah, “Jangan berkata begitu. Ia sudah masuk
Islam, dan akan menjadi muslimah yang baik.” Aisyah tak peduli. Ia bergegas
pergi.Shafiyah lalu menjadi bulan-bulanan istri-istri Nabi lainnya yang juga cemburu. Ia
sering diejek “perempuan Yahudi”. Suatu hari, Shafiyah ikut serta dalam safari
Rasulullah bersama istrinya yang lain: Zainab putri Jahsy. Di tengah perjalanan, unta
Shafiyah cidera. Rasulullah membujuk Zainab agar berbagi punggung unta dengan
Shafiyah. Zainab menolak sambil berkata, “aku harus berbagi dengan perempuan Yahudi
itu?” Rasulullah murka. Konon, beliau tidak mendatangi Zainab dua-tiga bulan. Di zaman
Rasulullah, istrinya yang tak pernah cemburu dan rela berbagi dengan yang lain adalah
Saudah. Ia berbadan gemuk, memang tidak cantik, dan hampir saja ditalak. Untuk itu, ia
sering merelakan giliran malamnya buat Aisyah. Kecemburuan dan persaingan memang
sangat nyata dalam keluarga yang berpoligami. Agama tak akan sanggup menafikannya.
Keluarga akan tumbuh kurang sehat, penuh kecurigaan, dan tak jarang menimbulkan
pertengkaran. Demi melihat kenyataan itu, Qasim Amien, pemikir feminis terkenal dari
Mesir, sudah mengingatkan bahaya budaya poligami bagi masyarakat. Bagi Qasim—
seperti yang ia tulis dalam buku Tahrîrul Mar’ah—poligami adalah pelecehan bagi
perempuan. Alasannya bukan dalil agama, tapi kodrat manusia. Bagi Qasim, “tak ada
isteri yang rela bila ada perempuan lain ikut menyintai suaminya. Sama tak relanya
seorang suami bila ada laki-laki lain yang ikut menyintai istrinya. Cinta adalah kodrat,
baik bagi laki-laki maupun perempuan.”

Potret (Keliru) Poligami (Sirikit Syah, hidayatullah)

Melalui artikel, ini Sirikit ingin menunjukkan alasan-alasannya berkaitan dengan


dukungannya terhadap poligami Aa Gym. Begini petikan artikel Sirikit:

Seperti yang dikatakan Aa Gym, poligami sudah sangat dikelirukan maknanya. Yang
melakukan misleading atas makna poligami itu termasuk di antaranya pemerintah, para
pemimpin negara, tokoh masyarakat, aktivis perempuan, dan media massa. Poligami
telah dipotret sebagai kejahatan dan kekerasan pada perempuan dan anak-anak.Alih-alih
mendengarkan penjelasan Aa Gym dan Teh Ninih, istrinya, masyarakat lebih suka
mendengarkan sumber-sumber yang tidak layak bicara. Bagaimana kita percaya
pandangan Farhat Abbas tentang poligami? Dia sendiri suami yang gemar
mempermainkan perempuan dan membohongi istrinya.Juga, mengapa mendengarkan
Sandy Harun yang tak setuju poligami atau berbagi suami? Look who’s talking. Dia
adalah "the other woman", yang kemudian dinikahi. Dalam status sebagai istri Djodi, dia
berhubungan dan punya anak dengan Tommy Soeharto. Dalam kata lain, Sandy adalah
pelaku poliandri, sebuah tindakan melanggar hukum. Orang seperti itu akan kita dengar
pendapatnya?Kekecewaan masyarakat yang luar biasa kepada Aa Gym sebetulnya dipicu
oleh pemujaan berlebihan pada sosok kiai muda itu. Ibu-ibu membanjiri pengajiannya
dan rela antre berbulan-bulan hanya untuk bisa mengunjungi pesantrennya di Bandung.
Aa dipandang sebagai dewa. Ketika Aa melakukan hal yang manusiawi (bersifat
manusia), masyarakat terkejut dan patah hati. Kebanyakan orang kecewa karena Aa
sering mendengung-dengungkan konsep keluarga sakinah. "Sakinah apaan, bohong
besar," kata sementara orang. Apakah keluarga sakinah tak dapat tercapai dengan
tindakan Aa menikah lagi? Apakah keluarga sakinah tidak mungkin dialami keluarga
poligami? Saya melihat keluarga poligami Aa Gym lebih sakinah daripada banyak
keluarga nonpoligami.Pembelokan (bila bukan pemelintiran) makna poligami -dari
sebuah solusi menjadi tindak kejahatan- itu hanya skala kecil upaya pemerintah untuk
menutupi amburadulnya pengelolaan negara belakangan ini. Ketua DPR
menyalahgunakan voucher pendidikan, anggota DPR terlibat skandal seks yang videonya
merebak ke seluruh msayarakat, lumpur Sidoarjo tak tertangani, angka kemiskinan
meningkat, rakyat tak punya bahan bakar untuk memasak, BUMN yang terus merugi atau
kalau untung dijual.Kekeliruan masyarakat terjadi ketika mereka selalu membenarkan
persepsinya sendiri. Di antaranya, dengan kalimat "Mana ada perempuan mau dimadu."
Kenyataannya, banyak peremuan bersedia dimadu. Lalu, "Ya, tapi mereka pasti tertekan
dan menderita." Lagi-lagi, sebuah upaya pembenaran antipoligami.Perempuan lain boleh
pura-pura atau acting. Namun, kita tak dapat menuduh Teh Ninih hipokret, bukan? Dia
dengan wajah bersinar menyatakan ikhlas dan rida suaminya menikah lagi. Bahkan,
mimik, gesture, dan body language Ninih dan Aa selama jumpa pers menunjukkan bahwa
mereka masih saling (bahkan lebih) mencintai. Saya percaya mereka telah mendapatkan
hikmah. Masyarakat tak mau menerima kenyataan itu. Mereka menolak fakta kebenaran.
Bukan Aa dan Ninih yang hipokret, melainkan kita sendiri.Poligami bukan anjuran,
apalagi kewajiban. Seperti kata Aa, "Jangan menggampangkan." Aa tentu saja sah
berpoligami karena dia bukan PNS, dia mampu, dan memiliki ilmu serta potensi untuk
berbuat adil. Banyak laki-laki tak bertanggung jawab bersembunyi di balik UU
Perkawinan yang melarang poligami dan meneruskan tindakan bejatnya mempermainkan
perempuan tanpa status perkawinan sah.Poligami yang baik dilakukan dengan cara
kesepatakan suami istri, kompromi, atau persuasi. Setiawan Djodi berhasil mempersuasi
istrinya untuk menerima kehadiran Sandy Harun. Ray Sahetapy gagal karena Dewi Yull
memilih bercerai.Sebagai perempuan muslim, kita boleh stay on atau quit dalam
perkawinan poligami. Alasan quit jelas: enggan berbagi. Alasan stay on: mencintai suami
dan tak ingin kehilangan atau tak berdaya secara ekonomi dan sosial. Kesalahan
perjuangan para aktivis perempuan adalah lebih menghormati PSK dan perempuan
simpanan yang independen daripada mereka yang mau jadi istri kedua. Para istri pertama
yang ikhlas, yang seharusnya mendapat apresiasi dari kita, malah didudukkan sebagai
korban yang perlu dikasihani.

KEBRUTALAN ISRAEL

Dari semua respon terhadap isu-isu aktual, pada respon isu kebrutalan Israel terutama
dalam perang dengan Libanon dan palestina inilah terdapat titik temu antara isi
islamlib.com dan hidayatullah.com. Intinya, mereka sama-sama tidak mendukung
penyerbuan tentara Israel ke Libanon dan Palestina, meski dengan alasan yang berbeda-
beda.

Sama-sama tidak mendukung, tetapi dengan alasan yang berbeda-beda dapat kita lihat
dalam artikel berikut ini:

Judul Situs Penulis/tokoh Edisi


Bush, Israel dan Hezbollah Islamlib.com Ulil Abshar-Abdalla 31/07/2006
Menyikapi Kebrutalan Zionis Israel Hidayatullah.com Adian Husaini 05/08/2006

Kita Perlu Lobi Tandingan Israel (Ulil Abshar-Abdalla)

Ini adalah artikel Ulil terkait kebrutalan Israel dalam perang Libanon dan palestina di
Timur Tengah. Meskipun inti artikel ini, sebenarnya Ulil ingin menyoroti ketidak adilan
Amerika dalam konflik Israel-Libanon dan Konflik Israel-Palestina karena terlalu ”pilih
kasih” terhadap Israel, tapi ia sekaligus juga mengecam tindakan Israel dalam konflik
tersebut. Begini petikan artikelnya:

Saya sesak napas mendengar argumen Presiden Bush bahwa Israel punya hak untuk
mempertahankan diri dari serangan Hezbollah. Ada beberapa catatan kritis untuk
pernyataan Presiden Bush ini. Pertama, statemen itu seolah-olah mengandaikan bahwa
Israel adalah negeri lemah yang terancam oleh negeri-negeri kuat di sekitarnya. Kita
semua tahu, kekuatan militer Israel, plus dengan arsenal nuklir yang dimilikinya sekarang
(dan tak pernah dipersoalkan oleh Amerika atau negeri-negeri Barat yang lain), tidak
mungkin dikalahkan oleh seluruh negara Arab saat ini. Seluruh perang Arab-Israel selama
ini selalu dimenangkan oleh Israel. Seluruh diplomasi tentang konflik Palestina-Israel,
entah dalam forum PBB atau forum-forum lain, selalu menguntungkan Israel. Pihak
pecundang selalu adalah bangsa Palestina dan Arab. And with all this in mind, how could
the President say that Israel has a right to defend itself as if Israel is at the losing end in
the race?Kedua, kalau Israel sebagai "super power" di Timur Tengah mempunyai hak
untuk membela diri, bagaimana dengan bangsa Palestina yang lemah? Statemen Presiden
Bush itu seolah-olah hendak mengatakan bahwa kita harus memahami tindakan "brutal"
Israel, sebab negara ini sedang dalam posisi diserang. Jika logika ini dipakai, maka
mestinya logika serupa harus dipakai untuk memahami tindakan bangsa Palestina yang
selama ini secara tidak adil disebut sebagai "terorisme". Kalau negeri Anda dicuri dan
diduduki bangsa lain, dan anda tidak punya kekuatan untuk melawan, apakah Anda harus
diam? Jika Israel yang mempunyai kekuatan militer luar biasa boleh melakukan serangan
brutal ke sebuah negaara (baca: Lebanon) hanya karena dua tentaranya diculik oleh
kekuatan kecil seperti Hezbollah, kenapa bangsa Palestina yang tanahnya dirampas oleh
Israel tidak mempunyai hak serupa? Apakah keadilan hanya milik Israel? Bukankah
metode yang disebut "terorisme" yang dipakai oleh bangsa Palestina dalam dua intifadah
juga pernah dipakai oleh orang-orang Yahudi menjelang berdirinya negara Israel di
1948?………………

Menyikapi Kebrutalan Zionis Israel (Adian Husaini, hidayatullah)

Melalui artikel ini, Adian ingin menegaskan bagaimana brutalnya Israel dan menyatakan
bagaimana kaum Muslim seharusnya menyikapi kebrutalan tersebut. Begini petikan
artikelnya:

Hari-hari ini, kaum Muslim seluruh dunia menyaksikan kebrutalan yang membabi buta
kaum Zionis terhadap kaum Muslim di Palestina dan Lebanon. Setiap hari, jet-jet tempur
beserta tank-tank Israel membunuhi warga Muslim. Dunia mengutuk serangan Israel itu.
Tetapi, semuanya tidak berdaya, tidak mampu mencegah kebrutalan Israel. Padahal, dari
segi hukum internasional, aksi sepihak Israel yang menyerbu Lebanon jelas-jelas tidak
dibenarkan. Tetapi, kaum Zionis Israel tidak mempedulikan hal itu. Mereka merasa lebih
kuat, dan menganggap remeh protes dunia Islam terhadap kebrutalan mereka. Pada akhir
Juli 2006, Israel bahkan menyerang tempat pengungsian penduduk sipil di Desa Qana,
sehingga membunuh lebih dari 60 warga Lebanon –37 diantaranya adalah anak-anak.
Seketika itu kemudian dunia mengecam Israel. Tetapi, tetap saja, hal itu tidak mampu
menghentikan kebiadaban kaum Zionis Israel. Umat Islam dan dunia Islam, sejauh ini,
hanya mampu melakukan protes, menangis, mengeluarkan resolusi dan kutukan demi
kutukan. Tetapi, tidak ada yang digubris oleh Israel. Sepertinya, Israel sudah hafal
langgamkaum Muslim. Jika dibantai atau dipecundani, kaum Muslim akan marah dan
melakukan aksi demontrasi. Setelah itu, lama-lama lupa pada masalahnya, lalu diam.
Megapa umat Islam begitu mudah untuk diperdaya dan dipecundangi ? Tidak adakah
kemuliaan bagi kaum Muslimin? Padahal, dalam Al-Quran, Allah SWT menjamin :
“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, karena kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS
Ali Imran: 139).

BAB 6
MASA DEPAN ISLAMLIB VS HIDAYATULLAH
(Sebuah Refleksi Penutup)
Idealnya, diruang publik media seharusnya bisa menjadi katalisator dalam menyelesaikan
segala pertikaian antar dan intra umat beragama. Faktanya, media justru bukanlah saluran
yang bebas dari kepentingan tertentu. Ia adalah subyek yang mengkonstruksi realitas,
lengkap dengan pandangannya subyektifnya, biasnya dan pemihakannya. Disamping itu,
dalam pandangan kritis, media dapat dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideology
antar kelompok. Hanya kelompok berideologi dominanlah yang akan tampil dalam
pemberitaan dan menguasai media. Disini distorsi, mis-representasi, mis-komunikasi, dan
mis-interpretasi dalam pemberitaan dalam pemberitaan menjadi tak terhindarkan,
termasuk pemberitaan yang mencitrakan Islam sesuai dengan “cita rasa” masing-masing
media.

Fenomena perang pemikiran yang melibatkan islamlib.com versus hidayatullah.com,


adalah salah satu bukti, betapa tarik menarik kepentingan dengan memanfaatkan ruang
publik sebagai “pasar bebas ide, gagasan, dan wacana” diantara sesama kelompok
pemikiran masih terjadi. Tarik menarik kepentingan diantara islamlib.com versus
hidayatullah kalau kita amati lebih dalam, memang tampak jelas didalamnya adanya latar
belakang dan tujuan yang berbeda.

Kami, peneliti, memberi penekanan pada latar belakang islamlib.com ketika melihat
kejumudan, keterbelakangan, taqlid buta dan kemiskinan dikalangan umat Islam. Dengan
latar belakang seperti itu, maka ke-6 ciri-ciri liberal Islam kemudian mereka
propagandakan sebagai satu alternatif yang harus dikembangkan internal umat Islam,
bahkan dengan berdialog dan bekerja sama dengan pihak Barat dan non-Muslim agar
umat Islam bisa segera keluar dari situasi dan kondisi buruk yang sedang menimpa
mereka saat ini. Di sini jargon-jargon rasionalisme, liberalisme, pluralisme, modernisme,
ijtihad tanpa henti, progresivisme menjadi semangat mereka mencapai tujuan tersebut.

Sementara itu, penekanan pada latar belakang hidayatullah.com terletak pada bagaimana
mereka menyadari betul bahwa kejumudan, keterbelakangan, dan kemiskinan yang
menimpa dunia Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme dan
kolonialisme Barat atas dunia Islam. Sedemikian rupa sehingga bahkan dunia pemikiran
Islam, mereka anggap, juga telah kerasukan mind-set Barat. Oleh karenanya, apa yang
ingin diperjuangkan hidayatullah adalah mewujudkan kembali kejayaan Islam seperti di
masa lampau yang telah direbut dan dicuri dunia Barat. Caranya tentu saja, selain dengan
melawan transformasi dan intervensi pihak Barat ke dunia Islam, baik berupa fisik
maupun non-fisik, serta menjaga kemurnian aqidah Islam agar tidak terkotori oleh ide-ide
Barat. Oleh karena itu jargon-jargon seperti tegakkan (syariat) Islam di bumi Indonesia,
anti sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) sebagai virus Barat yang ingin
menjangkiti dunia Islam, jihad fi sabilillah, menjaga kesucian dan kemurnian Islam dan
sebagainya menjadi semangat mereka dalam mencapai tujuannya.

Latar belakang tersebut sebenarnya berakar pada masalah yang sama yakni; kemunduran,
kejumudan, keterbelakangan, kebodohan , kemiskinan dan sebagainya yang menimpa
kalangan umat Islam sekarang. Akan tetapi, didalam semangat yang berbeda terkait
ideology dan strategi perjuangan mereka, tujuan dan kepentingan merekapun, bahkan,
menjadi bertentangan satu sama lain. Dan hal ini mereka refleksikan dalam konteks
perang pemikiran di ruang publik, melalui media internet mereka, islamlib.com dan
hidayatullah.com.

Sebenarnya, sebuah perangpun tidak harus selalu bermakna negatif, termasuk perang
pemikiran. Ia sangat mungkin menjadi hal positif bagi perkembangan pemikiran Islam di
Indonesia. Dalam banyak teori sosial tentang konflik, konflik apapun termasuk
pemikiran, justru sebenarnya bisa menyehatkan masyarakat. Perang pemikiran seperti
terlihat dalam isi website islamlib.com dan hidayatullah.com justru bisa menjadi
semacam cermin yang menyadarkan masyarakat untuk berpikir, tentang pilihan-pilihan
terkait kecenderungan pemikiran Islam yang akan mereka pilih, apakah model islamlib,
model hidayatullah atau bahkan model yang lain diluar keduanya. Perang pemikiran ini
dengan demikian bisa menjadi semacam proses rasionalisasi ruang publik bagi umat
Islam itu sendiri.

Perang pemikiran bisa menjadikan kedua kelompok dibelakangnya (JIL dan Yayasan
Hidayatullah) saling tahu isi dari ide dan gagasan masing-masing yang ada diwebsite
“lawan” mereka. Demikian juga masyarakat yang mengikuti fenomena “perang
pemikiran” tersebut, jika mereka terbuka, akan semakin tercerahkan dan semakin
mengerti pemikiran Islam versi kedua website tersebut sehingga bisa saling
membandingkan dan bila mampu, mensintesakan keduanya. Kami percaya dengan bunyi
pepatah Arab yang mengatakan bahwa orang-orang cenderung menentang terkadang
disebabkan karena ketidaktahuan mereka (al-nas a’da ma jahilu). Dan juga kami rasa
benar adanya bahwa masyarakat bisa mengambil hikmah dari mana saja, dari hal yang
mereka setujui maupun yang mereka tolak (khudz al-hikmah wa law min ayyin syai’in
kharajat).

Lantas, terkait keberadaan islamlib dan hidayatullah kitapun bertanya; bagaimana realitas
yang sesungguhnya dari respon umat Islam Indonesia? Apakah benar sesuai yang
digambarkan dalam kedua website tersebut, yang justru saling bertentangan ? mana yang
lebih sesuai? Dan bagaimana masa depan mereka?
Dalam banyak teori komunikasi massa, kita temukan bahwa media memang secara tak
terelakkan menjadi faktor yang sangat penting bagi pembentukan image, citra maupun
stigma. Dari medialah masyarakat memperoleh informasi mengenai realitas yang tengah
berlangsung di tempat tertentu. Sementara, realitas yang dihadirkan media ke hadapan
kita belum tentu realitas yang sesungguhnya, tetapi realitas yang sudah dibentuk,
dibingkai, dan dipoles sedemikian rupa oleh media tersebut. Melalui analisis framing kita
tahu betapa secara diam-diam media mendikte otak kita mengenai “realitas” tanpa kita
sadari. Konsep framing (pembingkaian) sering digunakan oleh media untuk
menggambarkan sebuah peristiwa dengan menonjolkan aspek tertentu dan sekaligus
menempatkan informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapat alokasi
dan perhatian yang lebih besar ketimbang isu yang lain. Dalam praktiknya, framing
dijalankan media dengan menyeleksi isu tertentu sambil mengabaikan isu yang lain;
menonjolkan aspek tertentu dari isu tersebut sambil menyembunyikan dan bahkan
membuang aspek yang lain. Ini dilakukan mulai dari proses perencanaan, pengumpulan
data lapangan, verifikasi dan seleksi data, penyajian dalam bentuk berita, hingga
penempatannya di sebuah rubrik tertentu.
Berkaca dari isi website islamlib.com dan hidayatullah.com, jelas terlihat bahwa mereka
memang merefleksikan kecenderungan yang berbeda dari pemikiran Islam di Indonesia.
Sayangnya, bisa dikatakan bahwa keduanya berada dalam titik ekstrem pemikiran Islam
yang sebenarnya hanya menggambarkan pilihan-pilihan alternatif saja dari mainstream
pemikiran umat Islam yang ada. Pada titik ini, islamlib.com berada pada titik ekstrem
liberal-progresivisme, sementara hidayatullah.com pada titik ekstrem literal-
konservatisme. Dengan demikian, kita tidak serta merta mengambil kesimpulan bahwa,
secara umum, realitas sosial umat Islam, hanya terpecah menjadi dua. Lebih dari itu
kelompok “poros tengah” dan kelompok “poros luar” sebagai swing voter yang mungkin
tidak stand for pemikiran mereka, justru jauh lebih banyak, terutama kelompok “poros
tengah” yang tidak ekstrim kanan-maupun-kiri.

Sayangnya, kelompok ini memang tidak secara tegas mengetengahkan pemikiran Islam
mereka diruang publik. Yang ada mereka justru cenderung concern dengan kerja-kerja
praksis yang berorientasi pragmatis, bahkan terkadang politis dan ekonomis. Kelompok
ini, kami maksudkan, adalah NU dan Muhammadiyah. Kecenderungan elit mereka
terhadap pragmatisme beragama (baik yang bersifat politis maupun ekonomis), misalnya
memanfaatkan jabatan di organisasi Islam itu untuk memperkaya diri ataupun batu
loncatan pada jabatan politik tertentu, pada gilirannya akan semakin memperkuat tarik-
menarik Islam ekstrim-kiri-kanan seperti islamlib.com dan hidayatullah.com. Di masa
depan, dengan demikian, meskipun tentu dalam bentuk yang berbeda, ekstrim liberal-
progresivisme dan literal-konservatisme akan semakin membesar, jika kelompok
mainstream Islam seperti NU dan Muhammadiyah masih mengeluarkan wajah politis dan
ekonomisnya.

END NOTES
Dosen Departemen Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina, Jakarta.
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina, Jakarta.
Pembahasan mengenai kekuatan Islam pada masa sebelum dan sesudah Orde Baru lihat
Aminuddin, 1999, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan
Sesudah Runtuhnya Rezim Suharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lihat Muhsin Jamil, 2005, Membongkar Mitos Menegakkan Nalar: Pergulatan Islam
liberal versus Islam literal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 9-10
Pasal 28 F tersebut berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Penjelasan lebih lanjut baca Bassam Tibi, 2001, Islam Between Culture and Politics, New
York: Palgrave.
Muis Naharong, 2005, Fundamentalisme Islam, dalam Jurnal Universitas Paramadina,
Vol. 4, No. 1, Juli 2005, hal 40-41.
Lihat Akhmad Muzakki, 2003, Perseteruan Dua Kutub Pemikiran Islam Indonesia
kontemporer: JIL dan Media Dakwah, dalam Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1
September 2003
Charles Kruzman, 2001, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam tentang Isu-Isu Global,
Jakarta: Paramadina.
Muhsin Jamil, 2005, op.cit, hal. 95--96
Martyn E Marty, tanpa tahun, What is Fundamentalism? Theological Perspective, dalam
Kung & Moltman (eds), Fundamentalism, 3-13
Luthfi Assyaukanie (ed), 2002, Wajah Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Jaringan Islam
Liberal.
www.islamlib.com
Asrori S Karni, 2003, Senandung Liberasi Berirama Ancaman Mati, dalam Majalah
Gatra, Edisi 6 Desember 2003.
Luthfi Assyaukanie adalah alumni Fakultas Syariah, Jordan University di Amman,
Yordania dan kemudian melanjutkan studi master-nya di International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC)- IIUM, Malaysia. Selanjutnya setelah selama beberapa
waktu menjadi pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, Luthfi melanjutkan studi
doctoral-nya di Melbourne Institue for Asian Language and Society (MIALS), the
University of Melbourne, Australia.
Transkripsi hasil diskusi on-line ini telah dimuat dalam Luthfi Assyaukanie, op.cit, hal.
199-231.
Untuk info lengkap tentang sejarah awal pendirian JIL lihat Nicolaus Teguh Budi
Harjanto, 2003, Islam and Liberalism in Contemporary Indonesia: The Political Ideas of
Jaringan Islam Liberal (The Liberal Islam Network), thesis MA yang tidak
dipublikasikan, Ohio, Faculty of the College of Arts and Science, Ohio University.
Info lebih lengkap bisa dilihat di www.islamlib.com

Lihat di www.islamlib.com

Asrori S Karni, 2003, op.cit, hal. 109


M Dawam Rahardjo, 2005, Kala MUI Mengharamkan Pluralisme, dalam TempoInteraktif
, Senin 1 Agustus 2005.
Kholis Bahtiar Bakir, 2004, Perintis Pondok Yatim, dalam Majalah Gatra Edisi Khusus
Hajatan Demokrasi Muslim Indonesia, Edisi 27 November 2004, hal. 108
Disarikan dari Sekilas Tentang Hidayatullah, lihat di www.hidayatullah.com
Luthfi Assyaukanie, 2004, Perang Pemikiran, dalam www.islamlib.com
Indra Yogiswara, 2006, Serangan Pemikiran Dalam Pendidikan, dalam
www.hidayatullah.com
Abdul Moqsith Ghazali, 2006, Nabi Perempuan, dalam www.islamlib.com
Abdurrahman Wahid, 2006, Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!, dalam
www.islamlib.com
Ulil Abshar-Abdalla, 2006, Kemurtadan Yang Niscaya dan Globalisasi Dakwah, dalam
www.islamlib.com
Khalif Muammar, 2006, Semoga Aku Muslim Sejati, dalam www.hidayatullah.com
Adian Husaini, 2006, Tuhan Kita: Allah, dalam www.hidayatullah.com
Jalaludin Rahmat, 2006, Rahmat Tuhan Tidak Terbatas, dalam www.islamlib.com
Novriantoni, 2006, The Da Vinci Code dan Kematangan Beragama, dalam
www.islamlib.com
Umdah el-Baroroh, 2006, Genealogi Gerakan Islam di Indonesia, dalam
www.islamlib.com
Qosim Nursheha Dzulhadi, 2005, Nabi Perempuan: Adakah?, dalam
www.hidayatullah.com
Hizbullah Mahmud, 2006, Jinayah JIL Terhadap Siroh dan Usul Fiqh, dalam
www.hidayatullah.com
Thoriq, 2006, Jinayah JIL Terhadap Fiqh dan Fuqoha, dalam www.hidayatullah.com
Hizbullah Mahmud, 2005, Mengkritisi Kembali Makna Tuhan, dalam
www.hidayatullah.com
Qosim Nursheha Dzulhadi, 2006, Natal, Syafaat dan Sinkretisme Teologis, dalam
www.hidayatullah.com
Muchib Aman Aly, 2006, Syariat Porno, dalam www.hidayatullah.com
Hizbullah Mahmud, 2006, Akal-Akalan Dalam Berijtihad, dalam www.hidayatullah.com
Thoriq, 2006, Benarkah Semua Pendapat Boleh Di Ikuti?, dalam www.hidayatullah.com
Dawam Rahardjo, 2005, Kala MUI Mengharamkan Pluralisme, dalam Tempo Interaktif,
edisi senin 1 Agustus 2005.
Umdah el-Baroroh, 2006, Fatwa MUI Pengaruhi Arus Radikalisme di Indonesia, dalam
www.islamlib.com
Syamsuddin Arif, 2006, Legitimasi Terakhir Fatwa MUI, dalam www.hidayatullah.com
Ulil Abshar-Abdalla, 2006, Ujian Untuk Konstitusi Kita, dalam harian Kompas, edisi 6
Maret 2006.
Ulil Abshar-Abdalla, 2006, Ujian Untuk Konstitusi Kita, dalam www.islamlib.com
Adian Husaini, 2006, Ahmadiyah dan Masalah Kebenaran, dalam www.hidayatullah.com
Adian Husaini, 2006, Membela Ahmadiyah Berdasarkan HAM, dalam
www.hidayatullah.com
Ninuk Mardiana Pambudy, 2006, RUU APP Mengapa Menimbulkan Penolakan?, dalam
harian Kompas edisi 25 Februari 2006.
Abdul Mukti Rouf, 2006, RUU APP: Ketegangan Modernisme dan Fundamentalisme,
dalam www.islamlib.com
Adian Husaini, 2006, Pornografi dan Liberalisme, dalam www.hidayatullah.com
Nofie Iman, 2006, Aa Gym, Poligami dan Islam, dalam www.nofieiman.com, edisi 7
Desember 2006
M. Guntur Romli, 2006, Dari QasimUntuk Aa Gym, dalam www.islamlib.com
Sirikit Syah, 2006, Potret (Keliru) Poligami, dalam www.hidayatullah.com
Ulil Abshar-Abdalla, 2006, Kita Perlu Lobi Tandingan Israel, dalam www.islamlib.com
Adian Husaini, 2006, Menyikapi Kebrutalan Zionis Israel, dalam www.hidayatullah.com
Prev: ANA UFAKKIR, FA ANA MAUJUD
Next: FUNDAMENTALISME ISLAM DAN GLOBAL CITIZENSHIP

You might also like