Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Suratno
Juni Alfiah Chusjairi
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tanggal 21 Mei 1998, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam percaturan
politik Indonesia dengan mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan. Peristiwa ini,
dilihat dari perspektif para ahli, dianggap telah mengubah dasar dan konstelasi politik
mutakhir di Indonesia. Hal ini ditandai oleh 3 hal penting, yakni: Pertama, runtuhnya
hegemoni Orde Baru dengan pilar utamanya yakni Golkar, yang ditopang oleh birokrasi
dan militer. Kedua, munculnya sistem politik multipartai yang memberi peluang kepada
setiap kelompok politik dengan beragam latar belakang aspirasi dan ideologi untuk ikut
serta meramaikan panggung politik nasional. Ketiga, terjadinya pergeseran relasi antara
Islam dan negara. Pergeseran ini antara lain ditandai dengan: (a) semakin intensif dan
terbukanya gerakan Islam dalam menyuarakan kepentingan mereka melalui wadah partai
politik, (b) terserapnya pemimpin dan aktivis Islam yang mewakili beragam gerakan
Islam ke dalam kehidupan negara.
Implikasi dari perubahan di atas, terutama yang dihasilkan dari poin ketiga, adalah
semakin menggeliatnya beragam ekspresi yang menandai kebangkitan gerakan Islam di
Indonesia, seiring dengan terbukanya kran-kran kebebasan diera reformasi dan di tengah
konstelasi politik yang terus berlangsung. Implikasi yang lain adalah munculnya dua arus
utama yang dianggap saling bersinggungan satu dengan lainnya. Pertama, adalah
kelompok yang menghendaki penyatuan antara Islam dan negara. Kelompok ini secara
makin intens terus berupaya dalam mewujudkan pemberlakuan syariat Islam secara
formal sebagai dasar dan hukum resmi negara. Mereka dikenal sebagai kelompok Islam
literal-konservatif dengan agenda utamanya adalah formalisasi syariat Islam dalam
kehidupan bernegara. Kedua, adalah kelompok yang menghendaki berlakunya Islam
dalam kehidupan publik (termasuk politik-kenegaraan), tetapi tidak dalam format
sebagaimana yang dikehendaki kelompok pertama. Kelompok ini lebih merupakan
antitesa dari literalisme, konservatisme dan formalisme agama serta lebih menghendaki
adanya sekularisasi dalam kehidupan bernegara. Kalaupun syariat Islam akan
diberlakukan dalam kehidupan publik, maka yang dimaksud bukanlah hukum Islam
dalam artian formal tetapi semangat dasar Islam seperti moralitas, keadilan,
demokratisasi, kesejahteraan, kesetaraan gender, pluralisme dan Hak Asasi Manusia
(HAM). Mereka lebih dikenal dengan nama kelompok Islam liberal-progresif.
Kontestasi antara dua kecenderungan gerakan pemikiran Islam di atas tampaknya masih
akan terus berlangsung seiring dengan perkembangan-perkembangan sosial politik di era
reformasi ini. Terbukanya kran-kran kebebasan informasi sebagaimana digariskan dalam
UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002 Pasal 28 F turut membuka dan memperluas
cakupan kontestasi kedua mainstream gerakan pemikiran Islam tersebut. Implikasi dari
kontestasi tersebut adalah terjadinya, apa yang disebut, Bassam Tibi sebagai ”war of
weltanschauungen (worldviews)” atau perang pemikiran (ghazw al-fikr). Perang
pemikiran ini, menurut Bassam Tibi, adalah bagian dari kontestasi propagandis kelompok
Islam literal-konservatif disatu pihak melawan kelompok Islam liberal-progresif dipihak
lain.
Di tengah maraknya perang pemikiran Islam (ghazw al-fikri al-Islami) melalui media
seperti dijelaskan di atas, penelitian ini berupaya memotret dan menganalisis terjadinya
kontestasi perang pemikiran Islam (ghazw al-fikri al-Islami) di media terutama yang
berbasis internet, dengan mengambil obyek kajian yakni www.hidayatullah.com milik
Yayasan Hidayatullah dan www.islamlib.com milik Jaringan Islam Liberal (JIL). Secara
spesifik penelitian ini akan mengkaji sejauh mana isi dari kedua website tersebut, baik
langsung maupun tidak, saling mengcounter pemikiran Islam mereka satu sama lain.
Penelitian ini juga akan mengkaji bagaimana corak dan karakteristik isi dari kedua
website tersebut bila dikaitkan dengan upaya mempertahankan dan menyebarluaskan
pemikiran, prinsip, penafsiran dan paham keIslaman mereka.
Sementara itu pilihan media berbasis internet sebagai obyek kajian didasarkan pada
kenyataan bahwa internet merupakan media yang saat ini semakin booming dan
mushrooming di Indonesia. Hal ini seiring dengan kemajuan perkembangan dunia
telekomunikasi dan informasi global. Imbasnya, website yang dibuat di satu belahan
dunia tertentu bahkan akan dapat dibaca di seluruh belahan dunia lain yang melewati
batas-batas geografis, yang dulu tidak mudah dijangkau manusia. Setiap orang yang
mempunyai akses ke internet diseluruh dunia mempunyai kemungkinan untuk
membacanya. Dengan demikian dunia maya (cyber) seperti internet menjadi ajang yang
sangat efektif dan efisien sebagai media propaganda dan counter dalam kontestasi
pemikiran dan ide antara sesama gerakan Islam.
Akan tetapi sebagai bagian dari dunia maya (cyber), perang pemikiran Islam seperti yang
terjadi antara www.hidayatullah.com dan www.islamlib.com, tentu tidak lantas dapat
dikatakan sepenuhnya bahwa kedua website tersebut memang benar-benar merupakan
representasi utuh dan menyeluruh dari realitas Islam yang berkembang di Indonesia. Hal
dimungkinkan karena memang terlalu banyaknya website yang bertemakan Islam, yang
dibuat oleh gerakan Islam di Indonesia. Selain itu, secara teoritis masih menjadi
perdebatan banyak pihak mengenai apakah media seperti internet mencerminkan realitas
yang sesungguhnya ataukah sebaliknya, justru medialah yang mencoba mengkonstruksi
realitas menurut image mereka sendiri, melalui muatan-muatannya yang tidak hanya
edukatif dan informatif tetapi juga bersifat propagandis.
TUJUAN PENELITIAN
Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini. Pertama, memotret dan
menganalisis terjadinya perang pemikiran Islam di internet dengan obyek kajian
www.hidayatullah.com yang merepresentasikan ide dan gagasan kelompok Islam literal-
konservatif dan www.islamlib.com yang merepresentasikan ide dan gagasan kelompok
Islam liberal-progresif di Indonesia. Kedua, mengetahui ide, gagasan dan wacana yang
ditampilkan dalam kedua website tersebut terutama dikaitkan dengan pemikiran, prinsip,
penafsiran, dan paham ke-Islaman yang menjadi landasan mereka dalam
mempropagandakan ide, gagasan dan wacana Islam yang bercorak literal-konservatif dan
liberal-progresif.
KEGUNAAN PENELITIAN
Studi tentang perang pemikiran KeIslaman melalui media khususnya internet dengan
mengkaji secara kompratif isi website www.islamlib.com dan www.hidayatullah.com
memiliki banyak kegunaan. Pertama, studi ini mampu menampilkan salah satu realitas
tentang masih berlangsungnya tarik-menarik yang berbau konflik atas ide dan gagasan
Islam yang bercorak literal-konservatif dan yang bercorak liberal-progresif dalam ruang
publik di Indonesia. Kedua, studi ini menggambarkan kecenderungan umat Islam dalam
memproduksi wacana (discourse) seperti yang ditelorkan oleh kedua website tersebut
sehingga wacana keIslaman yang berkembang dimasyarakat dipastikan akan dipengaruhi
oleh ide dan gagasan mereka. Ketiga, studi ini berguna untuk memprediksi ke arah mana
sesungguhnya masa depan umat Islam di Indonesia ini akan dibawa, baik dalam
perspektif kaum literal-konservatif maupun liberal-progresif. Informasi ini tentu penting
bagi swing voters, massa Muslim mengambang yang belum jelas posisinya atau masih
berada diluar kedua mainstream gerakan Islam yang berbeda secara signifikan, terutama
untuk memutuskan apakah mereka akan stand for literal-konservatif atau akan stand for
liberal-progresif, atau bahkan tidak stand for untuk keduanya.
ORISINALITAS PENELITIAN
Sejauh ini, belum ditemukan adanya penelitian yang secara langsung mengkaji secara
komparatif (comparative study) isi website www.islamlib.com dan
www.hidayatullah.com. Memang, ada beberapa kajian tentang Jaringan Islam liberal
(JIL) dan Yayasan Hidayatullah sebagai lembaga pengelola kedua website tersebut, tetapi
belum ditemukan upaya membandingkan isi website keduanya (apalagi) dengan
menggunakan perspektif konteks perang pemikiran Islam melalui internet. Oleh karena
itu, penelitian ini masih bisa dianggap orisinil.
Penelitian yang sudah ada, misalnya, penelitian Ahmad Muzakki (2003) tentang
perseteruan dua kutub pemikiran Islam Indonesia kontemporer, antara JIL dan Media
Dakwah. Namun demikian yang dikaji Muzakki adalah JIL dan itu tidak secara spesifik
merujuk kepada website-nya (islamib.com) tetapi menyangkut juga statement dan karya-
karya tokoh JIL diluar websitenya seperti buku, artikel di koran, wawancara di media
massa dan elektronik, dan sumber lainnya. Hal mendasar yang membedakan adalah
penelitian Muzakki berdasar pada analisis perseteruan JIL dan media Dakwah 2002
sampai 2003 sementara penelitian ini akan menganalisis website JIL www.islamlib.com
dalam kontestasinya dengan www.hidayatullah.com pada periode 2005-2006. Ditengah
makin maraknya kontestasi ide dan gagasan Islam literal-konservatif dan liberal-progresif
di Indonesia, penelitian mutakhir (kekinian) terhadap kedua website yang menjadi
representasi ide dan gagasan kedua kelompok tersebut memiliki tentu tempat tersendiri
karena dinamika pemikiran Islam Indonesia yang senantiasa berkembang. Apalagi,
selama kurun waktu tersebut telah terjadi perubahan drastis dalam hal mapping
(pemetaan) dan popularitas (popularity) kedua website tersebut dalam konteks gerakan
Islam literal-konservatif dan liberal-progresif di Indonesia.
METODOLOGI PENELITIAN
Data
Data penelitian ini diperoleh melalui penelusuran terhadap isi dari kedua website yang
menjadi obyek kajian. Peneliti mengambil sample dengan menggunakan metode
purposive sampling dari isi kedua website tersebut pada bulan Agustus 2005—2006,
meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan data sesudah Agustus 2006
sampai dengan laporan penelitian ini disusun. Data dibedakan menjadi dua. Pertama, data
primer yang berisi ide dan gagasan dari kedua website tersebut yang langsung berkaitan
dengan tema-tema pokok yang diusung mereka yakni Islam literal-konservatif dalam
www.hidayatullah.com dan Islam liberal-progresif dalam www.islamlib.com. Data primer
juga akan berisi ide dan gagasan dari kedua webiste tersebut, yang secara langsung
maupun tidak, digunakan untuk meng-counter ide dan gagasan mereka satu sama lain.
Sementara itu, data sekunder akan berisi data umum terkait ide dan gagasan kelompok
Islam literal-konservatif dan liberal-progresif di Indonesia, data terkait eksistensi dan
peran kedua website tersebut, data tentang perang pemikiran Islam di internet, dan
sebagainya.
Prosedur
Ada empat prosedur penelitian yang akan ditempuh yakni heuristik, analisis, interpretasi
dan kritik.
Pertama, tahap heuristik yaitu kegiatan penelusuran dan pengumpulan sumber penelitian
(Winarno Surachmad, 1972:124). Pada tahap ini diharapkan sudah terkumpul dan
terklasifikasi beberapa data mengenai objek kajian baik data primer maupun data
sekunder.
Kedua, tahap analisis menggunakan metode analisis isi (Neuman, 2000: 427). Pada tahap
ini data yang sudah dikumpulkan dan diklasifikasi akan dianalisis berdasar tema-tema
spesifik yang diangkat oleh kedua website sebagai bahan kajian berkaitan dengan ide dan
gagasan dasar pemikiran pengelola kedua website tersebut dan berkaitan dengan upaya
mengcounter pemikiran mereka satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Ketiga, tahap interpretasi dengan menggunakan pola berpikir deduktif-induktif. Dengan
demikian data hasil analisis isi akan dilihat relasinya, baik dengan tataran konseptual-
teoritis (deduktif) maupun dengan tataran praksis-realitas (induktif).
Keempat, tahap kritik dengan menggunakan method of differance (Neuman, 2000: 427).
Pada tahap ini hasil interpretasi akan menjadi referensi sejauh mana kritik bisa diberikan
peneliti terhadap ide dan gagasan kedua website tersebut dalam konteks perang
pemikiran ke-Islaman yang sedang mereka jalankan.
Analisis
Metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi
kualitatif (qualitative content analysis). Selanjutnya, data juga akan dianalisis dengan
menggunakan analytic comparison dengan menggunakan method of difference (Neuman,
2000: 427) dan framing analysis. Dalam menganalisis dengan metode tersebut, peneliti
akan mengkaji perbedaan-perbedaan isi website islamlib.com dan hidayatullah.com. Isi
keduanya yang akan dikaji yakni yang menyangkut tema dan gagasan dasar, serta kasus
penting yang diangkat untuk mempromosikan Islam literal-konservatif dan Islam liberal-
progresif, serta yang berkaitan dengan upaya untuk meng-counter satu sama lain, baik
langsung maupun tidak, serta respon mereka terhadap isu-isu aktual yang sedang
berkembang di Indonesia.
BAB 2
TENTANG ISLAM LIBERAL-PROGRESIF & LITERAL-KONSERVATIF
ISLAM LIBERAL-PROGRESIF
Islam liberal-progresif merupakan sisi lain dari gerakan Islam Indonesia kontemporer,
selain Islam literal-konservatif. Hingga sekarang, gerakan ini telah dengan cepat
melebarkan sayapnya karena kemampuannya untuk bersuara nyaring dengan
menggunakan media dan forum-forum strategis sehingga menjadikan eksistensi, ide dan
gagasan mereka menarik perhatian banyak pihak. Istilah Islam liberal-progresif sendiri
sebenarnya masih menjadi perdebatan. Namun demikian dari banyaknya variasi definisi
dan macam gerakan liberal-progresif Islam, menurut Charles Kurzman, tidak bisa
dilepaskan dari 6 gagasan dasar mereka yakni:
Kedua, mendukung gagasan dan praktek demokrasi. Demokrasi ini, bagi kelompok Islam
liberal-progresif merupakan jalan yang memungkinkan terwujudnya kemaslahatan publik
dan Islam jelas-jelas memberi dukungan terhadap ide dan gagasan ini. Hal ini, misalnya,
bisa kita lihat dalam khasanah tradisi Islam, di mana melalui penerapan konsepsi syura
(musyawarah) yang memberikan kesempatan seluas-seluasnya bagi masyarakat untuk
berpartisipiasi aktif dalam proses kebijakan kenegaraan.
Ketiga, membela hak-hak kaum perempuan (rights of women) dan kesetaraan gender
(gender equity). Pada beberapa bagian kitab suci, memang terdapat beberapa teks yang
kalau dimaknai secara literal (harfiyyah) mengandung potensi bias gender. Namun
demikian teks-teks seperti ini, menurut kalangan liberal tidak bisa dipisahkan dari
konteks turunnya ayat (al-azbab al-nuzul) dan bias kebudayaan Arab masa lampau yang
patriarchal. Padahal, Islam sesungguhnya telah mengangkat sedemikian tinggi derajat
kaum perempuan bila dilihat dari sudut masa kelahiran Islam sendiri. Bagaimana tidak,
ditengah ketiadaan hak-hak perempuan dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyyah, Islam
memberikan hak waris bagi perempuan dan itu adalah bagian dari spirit pembebasan
Islam. Oleh karena itu kaum liberal mendukung model pendekatan modern terhadap kitab
suci yang tidak hanya menekankan aspek harfiyyah tapi juga sejarah turunnya ayat (al-
azbab al-nuzul) dan juga kontekstualisasi ayat tersebut pada kondisi sekarang, seperti
hermeneutika
Keenam, membela gagasan kemajuan (progress). Hal ini berhubungan erat pada
bagaimana kelompok Islam liberal-konservatif melihat modernitas dan perubahan sosial
sebagai proses transformasi sikap yang bersifat positif dan potensial.
Keenam ide dan gagasan diatas adalah garis besar yang dapat ditarik dari ragam
kelompok Islam liberal-progresif yang muncul. Betapapun sesama kelompok Islam-
liberal progresif terkadang satu sama lain memiliki sejumlah perbedaan.
ISLAM LITERAL-KONSERVATIF
Kedua, menekankan kebenaran absolut atas sebuah agama sembari menolak agama lain
memiliki kemungkinan menjadi sumber keagamaan. Oleh karena itu kaum literalis
menolak gagasan pluralisme agama, yang memungkinkan adanya pengakuan kebenaran
atas agama lain sembari berpijak secara rigid bahwa agama yang benar satu-satunya
hanyalah Islam.
Kedua ide dan gagasan diatas merupakan bagian-bagian dari keyakinan fundamental
kelompok Islam literal-konservatif dan oleh karena itu berimplikasi kepada banyak hal
sebagai bagian dari tradisionalisme, eksklusivisme dan formalisme mereka dalam
memahami Islam, termasuk menolak ide-ide dan gagasan yang diusung kelompok Islam
liberal-progresif. Karena karakternya yang bersifat fundamental ini, sebagian ahli
menyebut kelompok Islam literal-konservatif ini sebagai fundamentalisme Islam.
Penggunaan istilah inipun sebenarnya masih diperdebatkan. Namun demikian, menurut
Martyn E Marty, terdapat 4 prinsip yang bisa digunakan untuk menandai kaum
fundamentalisma agama, termasuk Islam.
BAB 3
JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL):
PROMOTOR LIBERALISME DAN PROGRESIVISME ISLAM
SEJARAH JIL :
Riwayat Perjuangan Meng-counter Radikalisme dan Literalisme Islam
Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan sebuah forum bebas, tempat dimana sekelompok
pemuda Muslim mendiskusikan dan mendiseminasikan (menyebarkan) konsep
liberalisme Islam di Indonesia. Menurut Luthfie Assyaukanie, salah satu penggagas
berdirinya JIL, raison d’etre didirikannya JIL adalah untuk meng-counter maraknya
pengaruh dan aktivitas kelompok Islam radikal dan literal di Indonesia pasca tumbangnya
rezim Suharto pada tahun 1998. Deskripsi resmi tentang JIL, bisa kita lihat dalam website
JIL yakni www.islamlib.com yang menyatakan bahwa JIL adalah sebuah komunitas yang
mengkaji dan mengetengahkan perbincangan mengenai visi keIslaman yang toleran,
terbuka dan mendukung penguatan proses demokratisasi di Indonesia. Sementara itu,
nama "Islam liberal" menggambarkan prinsip-prinsip yang mereka anut, yaitu Islam yang
menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang
menindas. "Liberal" di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Islam liberal
percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan
secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Mereka memilih satu jenis
tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu "liberal". Untuk
mewujudkan Islam Liberal, mereka membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL).
JIL sejak awal memang memilih bentuk jaringan, dan bukannya organisasi
kemasyarakatan (ormas) maupun partai politik. Jaringan dianggap bentuk yang cocok,
karena ia bisa menjadi wadah yang longgar bagi siapapun yang memiliki aspirasi dan
kepedulian terhadap gagasan Islam liberal. Gagasan yang dimaksud telah tertera dalam
Manifesto Islam Liberal yakni: (1) membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, (2)
mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks, (3) mempercayai
kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, (4) memihak pada yang minoritas dan
tertindas, (5) meyakini kebebasan beragama, dan (6) memisahkan otoritas duniawi dan
ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Sejarah munculnya JIL berawal dari kongkow-kongkow dan ngobrol-ngobrol antara Ulil
Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan
Muhammad (ISAI) di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur pada bulan Februari 2001.
Tempat inilah yang kemudian dijadikan markas JIL. Dari kongkow-kongkow dan
ngobrol-ngobrol itu kemudian diperluas melalui sebuah mailing list (milis) yang bernama
islamliberal@yahoogroups.com. Bahkan, mereka kemudian menggelar sebuah diskusi
untuk pertama kalinya pada 21 Februari 2001 di Teater Utan Kayu (TUK) Jakarta dengan
topik “Akar-Akar Liberalisme Islam: Pengalaman Timur Tengah” dengan pembicara
Luthfi Assyaukanie. Diskusi tersebut kemudian dilanjutkan dengan diskusi-diskusi
lainnya, baik dalam bentuk pertemuan face-to-face maupun melalui milis.
Diskusi online (melalui milis) pertama kali diselenggarakan pada bulan Maret 2001
dengan topik “Agenda dan Masa Depan Islam Liberal”. Topik ini dipilih terutama untuk
mengklarifikasi konsep Islam Liberal dan alasan dibalik pendirian JIL. Beberapa orang
yang terlibat dalam diskusi ini antara lain: Ade Armando, AE Priyono, Denny JA, Hamid
Basyaib, Ichan Loulembah, Luthfi Assyaukanie, Nirwan Ahmad Arsuka, Putut
Widjanarko, Rizal Mallarangeng, Robin Bush, Saiful Mujani, Sukidi, Taufik Adnan
Amal, Zainal Abidin Bagir dan Uni Zulfiani Lubis.
Beberapa anak muda yang terlibat dalam proses awal pendirian JIL memiliki latar
belakang yang berbeda-beda. Meski demikian karakter mereka kurang lebih demikian:
Muslim, kebanyakan dari kelas menengah, intelektual muda, meski ada juga yang
merupakan politisi dan penulis terkenal. Dari beberapa anak muda tersebut, figur-figur
yang dianggap mewakili fase awal pendirian JIL dan bisa dikatakan sebagai pendiri JIL
karena keterlibatan aktif mereka antara lain: Ahmad Sahal, Budhy Munawar-Rahman,
Goenawan Muhammad, Hamid Basyaib, Luthfi Assyaukanie, Rizal Mallarangeng, Denny
JA, Ihsan Ali-Fauzi, AE Priyono, Samsurizal Panggabean, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful
Mujani dan Hadimulyo. Figur penting lainnya yang menjadi nara-sumber pendirian JIL
termasuk diantaranya beberapa intelektual Muslim senior seperti Nurcholish Madjid,
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat.
Luthfi Assyaukanie kemudian dipilih menjadi koordinator JIL yang pertama. Ia bertugas
untuk merancang diskusi dan menyelenggarakan diskusi off-line dan on-line melalui
milis. Sejak diskusi pertamanya, orang yang terlibat (partisipan) dan orang yang tertarik
(simpatisan) untuk join dengan JIL semakin banyak. Sebagai sebuah forum terbuka dan
tanpa kekakuan organisasi, JIL memang tidak memiliki sistim keanggotaan. Oleh karena
itu, tidak ada data tentang berapa jumlah anggota JIL yang sebenarnya. Setelah melelwati
masa beberapa waktu, karena mau melanjutkan pendidikan S3-nya di Melbourne
University, Australia, koordinator JIL kemudian diganti dari Luthfi menjadi Ulil Abshar-
Abdalla, yang pada saat itu juga menjadi direktur eksekutif Lakpesdam NU. Selanjutnya,
pada tahun 2005 karena harus melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 dan S3-nya di
Boston, Amerika Serikat (AS) atas beasiswa Fullbright, Ulil mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai koordinator JIL. Jabatan tersebut kemudian digantikan oleh Hamid
Basyaib yang masih dipegangnya sampai sekarang (2007).
Kedua, talk-show dikantor berita radio 68H Jakarta. Talk-show ini akan mengundang
sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar pluralisme dan inklusivisme”
untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di Tanah Air. Acara ini akan
diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melaui jaringan Radio namlapanha di 40
Radio, antara lain; Radio namlapanha Jakarta, Radio Smart (Menado), Radio DMS
(Maluku), Radio Unisi (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio
Prima FM (Aceh).
Ketiga, penerbitan buku tentang Islam, pluralisme dan inklusivisme agama. JIL berupaya
menghadirkan buku-buku yang bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik
berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang
masih relevan dengan tema-tema tersebut. Beberapa buku terbitan JIL antara lain: Wajah
Islam Liberal di Indonesia (2002), Islam Liberal (2002), Menjadi Muslim Liberal (2005),
Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal (2005) dan sebagainya.
Keempat, penerbitan buku saku (booklet) dan leaflet yang berisi artikel pendek,
wawancara ataupun abstraksi dari buku tentang isu-isu kontroversial dalam agama. Untuk
kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan buku saku setebal 50-100 halaman dengan
bahasa renyah dan mudah dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi
sejumlah isu yang menajdi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan ini dari
perspektif Islam Liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad, penerapan syari’at Islam,
jilbab, penerapan ajaran “memerintahkan yang baik, dan mencegah yang jahat” (amr
ma’ruf, nahy munkar), dll.Booklet pertama yang diterbitkan JIL berjudul ‘Qur’an Untuk
Perempuan’ karangan Nasarudin Umar, seorang guru besar studi Islam dari UIN Jakarta.
Keenam, iklan layanan masyarakat ditelevisi yang berisi pesan pluralisme, toleransi
keagamaan dan perdamaian antara pemeluk agama yang berbeda-beda di Indonesia.
Untuk menyebarkan visi Islam Liberal, JIL memproduksi sejumlah Iklan Layanan
Masyarakat (Public Service Advertisement) dengan tema-tema seputar pluralisme,
penghargaan atas perbedaan, dan dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang
sudah diproduksi adalah iklan berjudul "Islam Warna-Warni".
Ketujuh, diskusi tentang Islam. Melalui kerjasama dengan pihak luar (universitas, LSM,
kelompok mahasiswa, pesantren, dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan sejumlah
diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan keagamaan secara umum.
Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling yang diadakan melalui kerjasama
dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah universitas, seperti Universitas
Indonesia Jakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lain-lain.
Dengan segala aktivitasnya tersebut di atas, JIL memang kemudian tidak hanya
memperoleh banyak sekali apresiasi dan dukungan, tetapi juga menuai reaksi kritik dan
bahkan ancaman, terutama dari kelompok Islam literal-konservatif dan radikal. Bentuk
reaksinya pun bermacam-macam: dari ancaman mati, somasi, teguran sampai kritik
dalam bentuk buku.
Ancaman mati datang dari Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) pada 30 November
2002, yang ketika berkumpul di Masjid al-Fajar Bandung mengeluarkan pernyataan
berisi fatwa menuntut aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan dan kegiatan
yang secara sistematis dan massif melakukan penghinaan terhadap Allah, Rasulullah,
umat Islam dan para ulama. Mereka terpicu tulisan provokatif Ulil Abshar-Abdalla selaku
koordinator JIL di koran Kompas pada 18 November 2002 berjudul Menyegarkan
Kembali Pemahaman Islam yang dirujuk sebagai contoh penghinaan Islam dan karenanya
menurut FUUI dapat diancam dengan hukuman mati. Menurut ketua FUUI, Athian Ali,
fatwa tersebut bukan hanya ditujukkan untuk Ulil tetapi untuk membongkar JIL yang saat
itu dia pimpin.
Reaksi yang berupa teguran, misalnya, datang dari tausyiah (rekomendasi) PWNU
(Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur pada 11-13 Oktober 2003. Isi tausyiah
tersebut intinya berupa anjuran kepada PWNU Jawa Timur agar segera menginstruksikan
kepada warga NU agar mewaspadai dan mencegah pemikiran Islam liberal dalam
masyarakat. Apabila pemikiran Islam liberal dimunculkan oleh pengurus NU (disemua
tingkatan), PWNU meminta agar diberikan sanksi yang tegas, baik berupa teguran keras
maupun sanksi organisasi (termasuk dianulir dari kepengurusan).
Reaksi berupa somasi dilancarkan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Melaui melalui
ketua Departemen Data dan Informasi-nya yakni Fauzan al-Anshari, MMI mensomasi
stasiun televisi RCTI dan SCTV yang memproduksi iklan JIL berjudul “Islam Warna-
Warni”.
Sementara itu, kritik terhadap JIL dalam bentuk buku bisa kita lihat dalam buku karya
Hartono Ahmad Jaiz, Adian Husaini, dan Adnin Armas.
Buku Hartono berjudul Bahaya Islam Liberal (2002). Pada akhir buku ini, misalnya,
Hartono menyerukan pengadilan atas Islam Liberal yang ia nilai telah jauh dari
kebenaran. Di antara dosa JIL, menurut Hartono, adalah menolak syariat Islam. Buku
Adian berjudul Islam Liberal: Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (2002).
Dalam buku ini Adian menyorot 3 agenda JIL yakni: (1) pengembangan teologi inklusif-
pluralis yang dinilai menyamakan semua agama dan mendangkalkan aqidah, (2) isu
penolakan syariat Islam yang dipandang sebagai bagian dari penghancuran global dan (3)
upaya penghancuran Islam fundamentalis yang dianggap merupakan bagian dari proyek
Amerika atas usulan zionis Israel. Buku Adnin berjudul Pengaruh Kristen-Orientalis
Terhadap Islam Liberal (2003). Buku ini berisi kumpulan perdebatan Adnin dengan para
aktivis JIL di milis Islam Liberal.
Reaksi terbesar kelihatannya dihadapi JIL pada akhir tahun 2005 lalu. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) melalui hasil Musyawarah Nasional (MUNAS) ke VII yang berakhir
pada Jum’at, 29 Juli 2005 mengeluarkan 11 fatwa yang salah satu diantaranya (poin ke 7)
mengharamkan umat Islam untuk mengikuti tiga paham kontemporer yakni sekularisme,
pluralisme dan liberalisme. Dalam fatwa MUI tersebut, liberalisme atau jelasnya Islam
Liberal dimaksudkan sebagai pemikiran Islam yang menggunakan pikiran manusia secara
bebas, bukan pemikiran yang dilandasi agama. Latar belakang pengharaman itu, seperti
diduga banyak orang, selalu dikaitkan dengan makin bersinarnya eksistensi Jaringan
Islam Liberal (JIL) yang mendapat dukungan dari generasi muda Islam progresif baik
dari NU, Muhammadiyah dan yang lainnya dengan tokohnya yang paling vokal pada saat
itu Ulil Abshar-Abdalla. Padahal, dalam kenyataannya wacana liberalisme Islam tidak
hanya di usung JIL tapi juga organisasi yang lainnya dan bahkan sudah di dahului oleh
Yayasan Paramadina sebagai pelopor Islam liberal di Indonesa, dengan Nurcholish
Madjid sebagai tokoh utamanya.
Sampai dengan saat ini, setelah segala hambatan tersebut di atas dilalui JIL, JIL masih
tetap eksis dan melanjutkan misinya dengan berbagai aktivitasnya seperti tersebut di atas,
termasuk mengelola website-nya, www.islamlib.com.
WWW.ISLAMLIB.COM:
“MENCERAHKAN, MEMBEBASKAN”
Jika anda mengakses website www.islamlib.com, di bagian awal anda akan menemukan
tulisan: Dengan nama Allah, Tuhan pengasih, Tuhan penyayang, Tuhan segala agama. Di
bagian awal juga terdapat logo dan tulisan JIL serta pilihan mengakses website tersebut
dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Selanjutnya, jika anda mengakses website tersebut dalam bahasa Indonesia, tampilan
yang akan anda temui adalah dibagian atas terdapat logo dan tulisan JIL serta mottonya:
mencerahkan membebaskan. Dibagian atas juga terdapat fasilitas “pencarian” (browsing).
Juga terdapat kolom “Depan”, “Tentang JIL”, “Program”, dan “Kontak”. Di bawahnya
terdapat 2 kelompok besar yakni: (1) Rubrik dan (2) Fasilitas. Rubrik berisi: Editorial,
Wawancara, Kolom, Diskusi, Klipping, Tokoh, Buku dan Pernyataan pers. Sementara itu
Fasilitas: Milis, Newsletter, Direktori E-books, Direktori situs, Statistik artikel, dan
Pengiriman artikel.
Penelitian ini akan dibatasi pada 3 rubrik saja dari website www.islamlib.com yakni
editorial, wawancara dan kolom. Pemilihan ketiga rubrik tersebut didasarkan pada
beberapa pertimbangan yakni: (1) rubrik tersebut paling rajin di up-date oleh redaktur
JIL, (2) berdasarkan concern JIL seperti yang tertuang dalam manifesto Islam liberal-nya,
isi ketiga rubrik tersebut paling merefleksikan ide dan gagasan JIL dalam mensupport
manifesto tersebut. Berikut ini akan dijelaskan isi dari ketiga rubrik tersebut sebagai
bahan analisis.
Editorial
Rubrik editorial berisi artikel-artikel yang ditulis dewan rekasi JIL. Isinya merefleksikan
respon formal JIL terhadap isu-isu yang aktual berkaitan dengan dunia Islam di
Indonesia. Rubrik ini diisi secara berganti-ganti oleh anggota dewan redaksi sesuai hasil
rapat mereka tiap hari selasa. Selama kurun waktu Oktober 2005 sampai dengan Januari
2007, isi rubrik editorial adalah sebagai berikut:
Wawancara
Rubrik wawancara berisi dialog dengan tokoh dan figur terkenal baik dari dalam maupun
luar negeri tentang respon, komentar, analisis dan solusi mereka terhada problem dan
dinamika umat Islam Indonesia, baik yang sudah, sedang maupun akan terjadi. Pemilihan
tokoh dan figure yang akan diwawancarai, menurut Luthfi Asyaukanie, didasarkan pada
isu-isu actual yang sedang berkembang dimasyarakat dan JIL kemudian mewawancarai
tokoh dan figur yang expert dalam isu-isu tersebut. Selama kurun waktu Oktober 2005
sampai dengan Januari 2007, isi rubrik editorial adalah sebagai berikut:
Kolom
Rubrik kolom berisi artikel yang ditulis oleh anggota dewan redaksi JIL maupun tulisan
kiriman dari simpatisan dan atau kontributor JIL. Isinya kebanyakan merupakan respon,
komentar, kritik dan solusi terhadap perkembangan dunia Islam di Indonesia. Beberapa
artikel yang dimuat dalam rubrik ini juga ditampilkan lagi pada kolom Opini koran harian
Jawa Pos yang memang merupakan sindikasi JIL. Selama kurun waktu Oktober 2005
sampai dengan Januari 2007, isi rubrik kolom adalah sebagai berikut:
Dari judul-judul yang tertera pada ketiga rubrik di atas, nyatalah bahwa JIL melalui
websitenya, memang merefleksikan kelompok Islam liberal-progresif di Indonesia yang
bisa diidentifikasi pada concern mereka terhadap enam hal utama yakni: (1) melawan
teokrasi, (2) mendukung demokrasi, (3) membela hak perempuan dan kesetaraan gender,
(4) membela non-Muslim (minoritas) dan pluralisme agama, (5) menjunjung tinggi
kebebasan berpikir, dan (6) membela gagasan kemajuan (progresif).
BAB 4
YAYASAN HIDAYATULLAH:
PROMOTOR LITERALISME DAN KONSERVATISME ISLAM
Hidayatullah bermula dari sebuah pesantren yang didirikan (almarhum) Ustadz Abdullah
Said pada 7 Januari 1976 di Balikpapan, Kalimantan Selatan. Pendiri pesantren, Abdullah
Said (lahir 1946), mengalami masa-masa sulit pada awal pendirian pesantrennya.
Mulanya ia datang ke Balikpapan pada akhir tahun 1969 karena pelarian. Said yang
bernama asli Muhsin Kahar, saat itu dikejar-kejar polisi karena menggalang Pemuda
Muhammadiyah untuk mengobrak-abrik tempat perjudian di Makassar, Sulawei Selatan.
Aksi itu meletus pada 28 Agustus 1969. Puluhan aktivis Islam yang dituduh terlibat
dalam kasus itu kemudian ditahan polisi. Muhsin Kahar-pun disuruh menghilang oleh
para Kiyai. Ia kemudian melarikan diri ke Balikpapan. Setibanya di Balikpapan, Muhsin
Kahar berganti nama menjadi Abdullah Said dan kembali berdakwah. Pada tahun 1971, ia
mengajukan ide mendirikan pondok pesantren dan perkampungan Muslim kepada
Pengurus Muhammadiyah di Balikpapan. Akan tetapi, jawaban yang diterima dari
pengurus Muhammadiyah justru nada pesimisme bahwa hal itu akan sulit untuk
direalisasikan. Namun demikian, cita-cita Said tak lekas kunjung padam. Ia kemudian
merantau ke Pulau Jawa, mencari guru ngaji. Akhrinya ia berhasil mengajak 4 pemuda
lulusan pondok pesantren yakni, Hasyim (lulusan Gontor Ponorogo), Usman Palese
(lulusan Persis Bangil), Hassan Ibrahim (lulusan Krapyak Yogyakarta) dan A Nazir
Hassan (Majlis Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta).
Pada tahun 1976, Pesantren Hidayatullah diresmikan oleh Menteri Agama pada saat itu,
Prof. Mukti Ali. Dalam jangka 5 bulan, hutan, semak belukar dan rawa berhasil dibenahi
dan jadi pemukiman yang artistik. Saranapun dipenuhi agar menjadi memadai seperti ada
masjid, perpustakaan, asrama, dan ruang belajar. Kini luas arealnya bahkan mencapai
sekitar 100 hektar. Sekarang kawasan itu dihuni sekitar 1600 warga, termasuk para santri
pesantren. Abdullah Said meninggal dunia pada 4 Maret 1998 dalam usia 52 tahun.
Sepeninggalnya, kepemimpinan Hidayatullah dipegang Ustadz Abdurahman Muhammad
hingga sekarang (2007).
Dari sebuah pesantren kecil, Hidayatullah kemudian berkembang menjadi amal usaha
yang menguntungkan dan concern-nya diberbagai bidang mulai bidang sosial, dakwah,
pendidikan dan ekonomi juga menyebar tidak hanya di Kalimantan tetapi juga di
berbagai daerah lainnya di Indonesia. Melalui Musyawarah Nasional (MUNAS) I pada
tanggal 9—13 Juli 2000 di Balikpapan, Kalimantan Selatan, Hidayatullah mengubah
bentuk organisasinya menjadi organisasi kemasyarakatan (ORMAS), dan menyatakan
diri sebagai gerakan perjuangan Islam.
Agenda utama Hidayatullah antara lain pelurusan masalah aqidah, imamah dan jamaah
(tajdid), pencerahan kesadaran (tilawatu ayatillah), pembersihan jiwa (tazkiyatu al-
nufus), pengajaran dan pendidikan (ta’limatu al-kitab wa al-hikmah) menuju lahirnya
kepemimpinan dan umat terbaik.
Untuk merealisasikan agenda diatas, Hidayatullah menyusun visi dan misinya untuk
periode 2005—2010. Visi yang telah disusun untuk periode sekarang adalah menjadi
organisasi tingkat nasional yang unggul dan berpengaruh, didukung jaringan yang loyal
dan berkualitas. Sementara itu, misi yang telah disusun adalah sebagai berikut: (1)
Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM, (2) Mengintensifkan pelayanan ummat
melalui aktivitas pendidikan dan dakwah, (3) Mewujudkan kemandirian ekonomi, dan (4)
Mendorong penegakkan Islam pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat.
Struktur dibawah dewan pimpinan pusat (DPP) terdiri dari dewan pimpinan wilayah
(DPW/tingkat propinsi), dewan pimpinan daerah (DPD/tingkat kabupaten-kota), dewan
pimpinan cabang (DPC/tingkat kecamatan), pimpinan ranting (PR/tingkat desa-
kelurahan), pimpinan anak ranting (PAR/tingkat RT-RW). Ketua dewan pimpinan
wilayah/daerah/cabang dipilih oleh musyawarah ditingkat masing-masing dan disahkan
oleh struktur di atasnya. Jaringan kerja (networking) Hidayatullah (hingga bulan
Desember 2005) didukung dengan keberadaan 26 DPW dan 194 DPD, 51 DPD terdapat
di pulau Jawa dan 143 DPD ada di luar pulau Jawa. Pada akhir tahun 2006 direncanakan
terdapat tambahan 66 DPD dan 4 DPW. Jumlah DPC, PR dan PAR tidak dicantumkan
karena pertumbuhannya yang terus berubah.
Sekarang Hidayatullah telah memiliki banyak sekali unit kerja. Hidayatullah telah
memiliki lembaga pendidikan mulai TK, Playgroup dan Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) dihampir semua daerah, SMP/MTS dan SMA/MTS dihampir
semua daerah. Sementara untuk perguruan tinggi, Hidayatullah telah memiliki Sekolah
Tinggi Agama Islam Lukman al-Haqim (STAIL) Surabaya, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah
(STIS) Balikpapan, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Depok dan Universitas
Hidayatullah di Depok. Di bidang dakwah, melalui pesantrennya dibeberapa daerah,
Hidayatullah sampai akhir tahun 2005 telah menyebar 150 da’I bergelar sarjana ke
seluruh Indonesia.
Selain itu Hidayatullah membantu anak-anak tak mampu dengan mendirikan sekitar 200
PPAS (Pusat Pendidikan Anak Shaleh) yang ada dihampir setiap DPD. Hidayatullah juga
memiliki Baitul Maal Hidayatullah (BMH) yang juga telah mendapat pengukuhan
sebagai lembaga amil zakat nasional melalui SK Menag RI No. 538/2000. Kini BMH
memiliki 30 kantor perwakilan dan 144 jaringan pos peduli (mitra) dan juga mendirikan
klinik-klinik IMS (Islamic Medical Service) diberbagai lokasi. Ada juga Muslimat
Hidayatullah (Mushida) yang menggarap pemberdayaan wanita, keluarga dan anak. Kini
Mushida telah memiliki 15 Pengurus Wilayah (PW) diseluruh Indonesia.
Sementara beberapa badan usaha, lembaga bisnis milik Hidayatullah, antara lain: PT
Totalindo Rekayasa Telematika dibidang teknologi informasi, PT Lentera Jagad Abadi
dibidang penerbitan pers dan non-pers, CV Jayamadina dibidang percetakan, Koperasi
Sakinah dibidang retail dan swalayan dan sebagainya.
Dibidang media, Hidayatullah memiliki Majalah Suara Hidayatullah (Sahid) dan situs-
situs Hidayatullah. Majalah Sahid berisi tentang problematika dan dinamika dakwah, baik
di Indonesia maupun di dunia. Di dalamnya ada rubrik wawancara dengan tokoh ternama,
kajian al-Qur’an dan Hadis, kisah heroik perjuangan dai diberbagai pelosok tanah air,
hingga masalah keluarga. Tiras rata-rata selama 5 tahun terakhir majalah full-color ini
mencapai 60.000 eksemplar sekali terbit, dengan sebaran dari sabang sampai merauke.
Sementara itu website-website Hidayatullah terdapat dalam beberapa website antara lain
www.hidayatullah.or.id (berisi organisasi, amal-amal usaha terkait, layanan
dakwah/pendidikan/sosial), website-website milik amal usaha mandiri seperti
www.bmh.or.id (baitul mal hidayatullah), website luqman al-hakim, STIM, STAIL dsb.
Selain itu website yang paling terkenal milik Hidayatullah adalah www.hidayatullah.com
yang berisi majalah, berita, diskusi, artikel, wawancara, link-link Islam dan sebagainya.
WWW.HIDAYATULLAH.COM:
“TEGAKKAN ISLAM UNTUK MEMBANGUN PERADABAN ISLAM”
Situs yang lengkap, demikianlah kalimat yang pas untuk menggambarkan content (isi)
dari website www.hidayatullah.com. Dengan motto “Tegakkan Islam Untuk Membangun
Peradaban Islam”, situs ini sekarang telah berkembang menjadi situs berita dunia Islam
yang ramai dikunjungi dan menjadi ajang diskusi baik sesama aktivis Islam maupun
kelompok non-Muslim. Anggota (members) pada akhir tahun 2005 tercatat telah
mencapai 20 ribu orang aktif.
Kelengkapan isi situs akan dapat kita lihat ketika mengaksesnya. Berdasarkan
tampilannya, di bagian atas selain terdapat logo dan nama situ yakni hidyatullah.com,
disebelah kiri atas terdapat direktori untuk mengakses langsung informasi tentang “wakaf
tunai”. Sementara disebelah kanan atas terdapat direktori untuk mengakses langsung
informasi “Gerakan Wakaf Al-Qur’an” yang dikoordinir oleh Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) Hidayatullah.
Selanjutnya, masih pada halaman yang sama, terdapat pula direktori untuk mengakses
langsung informasi tentang hal yang lain yang tertera dalam rubrik: Home, Login, Forum,
Galeri, Webmail, Kolom, Adian Husaini, Syamsi Ali, Dzikrullah, Berita, Nasional,
Internasional, Artikel, Opini, Kajian, Wawancara, Feature, Cermin, Pustaka, dan Teori
Evolusi Menanti Ajal.
Di bagian bawah, secara mencolok terdapat direktori dan up-date terkini untuk
mengakses langsung informasi tentang: Kabar Dari New York; Oleh Syamsi Ali, Catatan
Akhir Pekan (CAP); oleh Adian Husaini, Kolom Khusus Dzikrullah, Opini, Cermin,
Features, dan Wawancara. Sementara itu dibagian paling bawah, tertulis coppy right
Hidayatullah dot com dari 1996-2007 dan design dan webmater rief70.
Penelitian ini akan dibatasi pada 2 rubrik saja dari situs www.hidayatullah.com yakni
kolom opini dan CAP Adian Husaini. Pemilihan kedua rubrik tersebut didasarkan pada
beberapa pertimbangan yakni: (1) kedua rubrik tersebut memiliki sisi ilmiah sebagai
bahan kajian mengenai sebuah pemikiran, (2) berdasarkan concern Hidayatullah seperti
yang tertuang dalam visi dan misi-nya, isi kedua rubrik tersebut paling merefleksikan ide
dan gagasan Hidayatullah dalam mensupport visi dan misi tersebut. Berikut ini akan
dijelaskan isi dari kedua rubrik tersebut sebagai bahan analisis.
Kolom Opini
15 November 2005 ‘Jinayat’ Jil Terhadap Fiqih dan Fuqaha:Para penulis dari paham
Islam Liberal sering menulis ‘ngaco’ di berbagai kesempatan bahkan berani memfitnah
para fuqaha untuk melakukan pembodohan terhadap umat. Thoriq
22 Februari 2006 Semoga Aku Seorang Muslim Sejati:”Andai aku seorang muslim
leiberal, maka aku akan melepas keyakinan-keislamanku dari segala bentuk otoritas
tafsir”, ujar Haidar Baqir. Tulisan ini adalah jawaban dari tulisan Haidar itu Khalif
Muammar
27 Februari 2006 Yang Tersisa Dari Kasus Ahmadiyah:Fenomena pelarangan Ahmadiyah
ternyata masih menyisahkan masalah hingga kini. Meski MUI sudah mengeluarkan
fatwa, ada saja yang mengatakan langkah itu melanggar HAM. Asiandi dan Supriyadi
8 Maret 2006 Pornografi dan Pornoaksi, Adakah Dalam Islam?:Kalangan feminisme dan
aktifis perempuan “bersenandung-ria” dibalik definisi soal pornografi. Dalam Islam,
pornografi jauh lebih jelas dan tegas. Hizbullah Mahmud
11 Maret 2006 Jihadnya Muslimah (bagian 2)Dengan jilbab justru para Muslimah merasa
terbebas dari tekanan untuk kompetisi kecantikan, bebas dari objek seks di jalanan.
“Sayapun bisa jadi lebih nampak sederhana,” kata Jennifer Al Shahida
16 Maret 2006 Beda Seni di Mata Barat dan Islam:Para seniman, artis, penyanyi, getol
menolak RUU APP. Katanya dengan RUU ini seni dan kreatifitas tak berkembang. Islam
tak melarang seni, kecuali memang ia ketakutan tak bisa lagi ’bertelanjangria’ Thoriq
17 Maret 2006 Soal Pornografi, Kenapa Tak “Melirik” Islam?: Kalau saja, para artis,
seniman dan kalangan yang selalu berdalih bahwa definis pornografi dan pornoaksi ’tak
jelas’ sedikit saja mau melirik ’konsep Islam’ mungkin masalah tak serumit ini. Hera
Anggarawaty
29 Maret 2006 Soal Pornografi: Kritik untuk Para “Gus”: Beberapa saat yang lalu,
budayawan KH Mustofabisri atau kerap dipanggil Gus Mus dan Gus Dur menolak RUU
APP. Tulisan ini kritik terhadap ungkapan para Gus. Nasrulloh Afandi
3 Mei 2006 Pornografi dan Pencemaran Bhineka Tunggal Ika?:Penolak RUU-APP baru-
baru ini membuka karnaval di bundaran HI, Jakarta. Alih-alih menolak RUU APP,
mereka melakukan (apa yang ia sebut pawai budaya), tapi dengan sorak sorai pamer
payudara. Berbudayakah? Nasrulloh Afandi
16 Mei 2006 Syari’at Porno? Para penolak syariat Islam kini sudah mengalami kemajuan
luar biasa. Setiap gerakan apapun, kini, selalu dikaitkan untuk mewaspadai syari’at. Yang
terbaru adalah masalah RUU APP. Muchib Aman Aly
8 September 2006 Apa Salahnya Pluralisme Agama?:Meski fatwa MUI sudah berlalu,
perdebatan soal pluralisme masih berlangsung. Semua orang seolah-olah mulai bicara.
Sebenarnya, apa beda pluralisme dengan relativisme? Syamsuddin Arif, Ph.D
28 September 2006 Ibnu Arabi dan Pluralisme: Beberapa kalangan mengutip dan
mencatut nama Ibnu Arabi. Sayangnya kemudian mereka memanipulasi pendapatnya,
untuk digunakan merusak aqidah Islam Dr Syamsuddin Arif
16 Oktober 2006 Menyoal Batas Aurat Wanita Muslimah: soal Jilbab banyak ulama,
termasuk imam mazhab. Umumnya tak ada perbedaan. Tulisan ini adalah catatan kecil
untuk guru saya Dr. Quraish Shihab atas kekeliruannya (bag.kedua) Aep Saepulloh
Darusmanwiati
6 November 2006 Menyoal Batas Aurat Wanita Muslimah: Para Ulama sudah gamblang
menjelaskan batas-batas aurat. Tulisan ini merupakan catatan kecil untuk Guru saya Dr.
Quraish Shihab atas kekeliruannya. (bag terakhir) Aep Saepulloh Darusmanwiati
Kolom ini berisi Catatan Akhir Pekan (CAP) yang ditulis Adian Husaini dan bahkan juga
disiarkan oleh Radio Dakta. Berikut ini adalah isi dari kolom CAP tersebut:
8 april 2006 Seminar Tentang Islam Liberal di Malaysia:Banyak tokoh Islam Malaysia
terbengong-bengong karena para penyebar paham liberal di……..adalah orang-orang
yang mempunyai latar belakang studi Islam.
16 April 2006 “Sikap Kaum Hindu Terhadap Islam”:Sebuah majalah Hindu Bali
mencurigai Islam lewat RUU APP. Sebelum Bali menolak RUU itu ’para provokator’
sudah datang ke pulai itu.
21 April 2006 ”Somasi untuk Menter Agama”:Menag Maftuh Basyuni, disomasi oleh
Dawam Rahardjo dan kelompoknya karena dianggap ’mendzalimi’ Ahmadiyah dan Lia
Eden.
3 Juli 2006 “Islam Moderat”:Sebagian umat terjebab perangkap Amerika dan kawan-
kawannya dengam memberi sebutan “Islam moderat”, Islam Radikal”, ”Islam Militan”
atau Islam Fundamentalis.
18 Juli 2006 Nasib Islam Liberal Pasca Muktamar Muhammadiyah:Islam liberal terpental
dari Muhammadiyah dalam Muktamar ke-45 di Malang. Apa sikap Din Syamsuddin
pasca Muktamar?
Dari isi yang terdapat dalam kolom opini dan CAP Adian Husaini di atas, nyatalah bahwa
situs hidayatullah.com bisa dianggap merefleksikan kelompok Islam literal-konservatif di
Indonesia. Indikasinya dapat kita lihat dari tema-tema yang diusung yang tidak keluar
jauh dari ide-ide Islam literal-konservatif yakni; (1) Menolak hermeneutika, dan (2)
menolak pluralisme agama. Juga tema-tema yang diusung tidak keluar jauh dari ide-ide
fundamentalisme yakni: (1) oppositionalism terhadap sekularisme, liberalisme,
modernitas dan tata nilai barat pada umumnya (2) menolak hermeneutika, (3) menolak
pluralisme agama, (4) menolak perkembangan historis dan sosiologis. Padahal, hal-hal
tersebut justru sangat diapresiasi dalam situs islamlib.com.
BAB 5
ISLAMLIB.COM VS HIDAYATULLAH.COM :
(SEBUAH PERANG PEMIKIRAN)
Dalam bab ini akan dijelaskan hasil analisis melalui “pembacaan kritis” terhadap isi
kedua website yang menjadi obyek kajian penelitian yakni islamlib.com dan
hidayatullah.com. “Pembacaan” dilakukan untuk mengkaji konteks perang pemikiran
berdasarkan isi kedua website tersebut, dan menggunakan content analysis method,
method of difference dan framing analysis method terkait eksistensi kedua website
tersebut sebagai media pemikiran Islam dengan segala kepentingan yang melatar
belakanginya.
HASIL ANALISIS
Pertama, meski memiliki pengertian yang sama tentang apa itu perang pemikiran (ghazw
al-fikr), namun islamlib.com dan hidayatullah.com memberi penekanan yang berbeda
dalam memaknai fenomena perang pemikiran. Keduanya memiliki pengertian yang sama
bahwa ghazw al-fikr memang istilah yang popular dikalangan umat Islam (pergerakan)
yang dimasudkan sebagai respon terhadap masuknya ide-ide Barat dan non-Muslim
kedunia Muslim.
Kedua, secara umum bisa dikatakan bahwa kedua website tersebut merepresentasikan
corak pemikiran Islam yang berbeda satu sama lain. Corak yang berlawanan dari isi
kedua website tersebut adalah; corak pemikiran kritis dan progresif dari
www.islamlib.com. Intinya islamlib.com mencoba menyajikan “suara-suara lain” dari
dalam lingkungan Islam yang boleh jadi tidak sesuai dengan pendapat resmi yang selama
ini dianut umat Islam. Jadi isi islamlib.com merefleksikan pemikiran dari sebagian umat
Islam yang tak kerasan dengan penafsiran Islam yang sudah “resmi”, lalu mencoba
mencari kemungkinan lain dalam mendefinisikan Islam. Hal ini sebenarnya tidak bisa
dipisahkan dari semangat ijtihad (pembaruan), progresif (kemajuan) dan modernisme
beragama yang mereka pegang. Menurut Luthfi Assyaukanie ijtihad tersebut mutlak
diperlukan, karena Islam Liberal menyadari bahwa Islam bukanlah agama yang hadir
dengan sebuah konsep lengkap sekali jadi. Agama ini berevolusi, berinteraksi dengan
masyarakat dan sesekali mengoreksi sendiri ketentuan lamanya yang sudah tak cocok
dengan dinamika masyarakat dimana agama itu tumbuh dan berkembang. Al-Qur’an
yang dibuat selama rentang masa lebih dari 23 tahun, merupakan rekaman yang baik dari
dinamika ajaran Islam itu sendiri.
Ketiga, isi dari kedua website tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung,
merupakan upaya meng-counter satu sama lain. Yang dimaksud dengan counter langsung
adalah counter yang secara jelas menyebut subyek penulis (baik penulis yang ada di
www.islamlib.com dan yang ada di www.hidayatullah.com) maupun dengan menyebut
“nama” website-nya. Sementara, yang dimaksud tidak secara jelas menyebut subyek
penulis dan nama website, tapi hanya counter pada segi ide, gagasan dan wacana.
Berdasarkan hal itu, maka islamlib.com lebih banyak meng-counter secara tidak
langsung, tanpa menyebut penulis dan atau situsnya yang ada di hidayatullah.com.
Dengan demikian, dalam kegiatan counter-mengounter ide ini mereka bersifat pasif.
Sebaliknya, hidayatullah.com cukup banyak meng-counter secara langsung, dengan
menyebut penulis dan atau situsnya yang ada di islamlib.com. Dengan demikian, dalam
kegiatan counter-mengounter ide ini mereka bersifat aktif. Islamlib.com yang bersifat tak
langsung dan pasif, sementara hidayatullah.com bersifat langsung dan aktif, dalam
kegiatan mereka meng-counter satu sama lain, tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari
pemaknaan mereka terhadap konsep ghazw al-fikri .
Keempat, secara umum, kalau kita lihat perbedaan ketiga hal di atas, maka hal itu
terefleksikan dengan jelas dalam respon kedua website tersebut terhadap isu-isu aktual
yang sedang berkembang di Indonesia khusunya yang menyangkut umat Islam. Respon
yang berbeda misalnya pada isu fatwa MUI, kasus Ahmadiyah, RUU APP dan poligami
AA Gym. Meski demikian, pada isu-isu tertentu terdapat persamaan respon yang muncul
dari keduanya (atau ada titik temu), contohnya respon terhadap penyerangan tentara
Israel ke Libanon dan Palestina.
Seperti saya sebutkan di atas, meski memiliki pengertian yang sama bahwa istilah ghazw
al-fikri popular dikalangan umat Islam (pergerakan) yang dimaksudkan sebagai respon
umat Islam terhadap ide-ide yang berasal dari dunia Barat dan non-Muslim, tetapi
islamlib.com dan hidayatullah.com memberi penekanan yang berbeda dalam memaknai
pengertian tersebut, seperti telah saya jelaskan diatas. Penekanan yang berbeda itu dapat
kita lihat dalam artikel di bawah ini:
Dalam artikel ini, Luthfi ingin menegaskan bahwa istilah perang pemikiran (ghazw al-
fikri) lebih popular dikalangan Islam literal-konservatif dibanding kalangan Islam yang
lain. Hal itu, menurut Luthfi, dikarenakan kalangan tersebut meyakini bahwa pemikiran-
pemikiran dari Barat cenderung bersifat menyerang dan memberikan dampak buruk bagi
kaum Muslim. Pemikiran Barat mereka anggap dapat meracuni dan menjauhkan kaum
Muslim dari agama Islam. Salah satu tokohnya, Muhammad Qutb bahkan menganggap
perang pemikiran ini lebih berbahaya dari pada perang fisik. Kalangan tersebut juga
meyakini adanya teori pengaruh, yakni bila orang-orang Islam banyak membaca karya-
karya orang Barat dan kaum orientalis, maka ia telah terpengaruh dan terperangkap
dalam jarring zionisme dan Salibis. Begini petikan artikel Luthfi tersebut:
Istilah "ghazwul fikri" sangat populer di kalangan kelompok pergerakan Islam. Istilah ini
berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti "perang pemikiran." Tak jelas siapa
yang pertama kali menggunakannya. Karya-karya Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Said
Hawwa, dan para ideolog Ikhwanul Muslimin kerap menggunakan istilah ini dengan
semangat "perang salib."Saya kira, "ghazwul fikri," "teori pengaruh," atau apapun
namanya, haruslah dipandang dengan kritis. Karena setiap pemikiran, apapun dan dari
manapun sumbernya, adalah sebuah bentuk "peperangan" dan pasti punya pengaruh
terhadap seseorang yang menggelutinya.Tidak ada dalam sejarah, kaum Muslim yang
mengkaji dan menggeluti pemikiran Barat, menjadi perusak di muka bumi ini. Malah
sebaliknya, mereka menjadi para pembaru yang namanya tercatat harum dalam sejarah
pemikiran Islam modern. Sebutlah Rif'at Tahtawi, Muhammad Abduh, Al-Kawakibi,
Taha Hussein, Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Syed Hussein Nasr, Hassan Hanafi,
dan Nurcholish Madjid. Mereka semua dianggap para pembaru yang punya kontribusi
besar bagi pemikiran Islam.Tapi sebaliknya, bagi orang-orang yang membaca karya-
karya para pendukung "ghazwul fikri" dan teori pengaruh, telah jelas-jelas pernah
melakukan perusakan dan kekerasan di muka bumi ini. Contohnya saja Usamah bin
Laden dan ke-19 teroris yang meledakkan gedung WTC pada 9 September 2001. Orang-
orang ini akrab dengan buku-buku Sayyid Qutb. Dalam sebuah wawancaranya jauh
sebelum peristiwa 9/11, Usamah mengakui bahwa Fi Dhilal al-Qur'an karya Sayyid Qutb
adalah buku yang paling berpengaruh dalam dirinya.Ghazwul fikri yang paling penting
bagi kaum Muslim sekarang adalah melawan pemikiran-pemikiran simplistis dan bodoh,
yang kerap mengajak umat Islam terus-menerus mencurigai, membenci, dan mencaci
"musuh" mereka, padahal musuh sesungguhnya adalah diri mereka sendiri. Sudah
saatnya kaum Muslim berpikir positif, terbuka, kritis, dan berani mengambil posisinya
sendiri tanpa dikuasai oleh pemikiran-pemikiran otoriter yang mengatasnamakan agama.
Ghazwul fikri yang paling penting bagi kaum Muslim adalah melawan pemikiran-
pemikiran rasis, tak toleran, dan selalu membenci kelompok lain. Sebagian pemikiran-
pemikiran itu adalah warisan dari masa silam, dan sebagian lainnya adalah ciptaan
mereka sendiri karena mengidap sizofrenia anti-Barat dan orientalisme.
Berbeda dengan Luthfi, dalam artikel ini Indra justru ingin menegaskan bahaya yang
dihasilkan serangan ide-ide barat (melalui pendidikan) terhadap pemikiran kaum Muslim.
Ghazw al-fikrii maksud sebenarnya adalah serangan yang ditujukan kepada pemikiran
Islam oleh lawan pemikiran itu sendiri. Menurut Indra, Serangan ini biasanya dipahami
berasal dari dunia Barat secara umum yang memiliki kepentingan di dunia Islam. Dalam
hal ini Barat berada dalam posisi kuat karena dominasi dalam segala bidang dan dunia
Islam berada dalam posisi lemah karena pengaruh dominasi asing tersebut. Akibat dari
serangan pemikiran ini terjadi di dunia Islam (Indonesia), menurut Indra, apa yang ia
sebut “Pembaratan Pemikiran”. Contohnya seperti dalam petikan artikel Indra berikut ini:
Pembaratan PemikiranSalah satu contohnya adalah, Prof. Dr. Harun Nasution yang
sempat menjabat rektor IAIN Syarif Hidayatullah (1973-1984), berangkat ke Montreal,
Kanada dan menuntut ilmu di McGill University yang saat itu dan sampai sekarang
mempunyai program yang dinamakan The McGill-IAIN Relationship. Dan struktur
organisasi nya pun diisi oleh beberapa tokoh pendidikan dari IAIN seperti Azyumardi
Azra dari UIN Jakarta , Amin Abdullah dari IAIN Yogyakarta. Buku yang mungkin
menarik untuk dibaca berkenaan dengan dampak dari program kerjasama antara IAIN
dan McGill University adalah buku yang berjudul, "The Modernization of Islam in
Indonesia, An Impact Study on the Cooperation between the IAIN and MC Gill
University.Setelah menuntut ilmu disana, beliau pulang dengan membawa segudang
pemikiran baru dan mengeluarkan buku berjudul "Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya", yang ketika itu menuai banyak kritik yang cukup tajam dari kalangan
cendekiawan muslim lainnya karena buku itu penuh dengan pemikiran Barat terhadap
Islam yang mempunyai banyak kelemahan dan dapat membuka pintu ke arah
sekularisme, plurarisme dan liberalisme, dimana faham-faham tersebut telah difatwakan
haram oleh MUI pada tanggal 29 Juli 2005. Salah satu tokoh yang gigih mengkritik isi
buku tersebut adalah Prof. HM Rasjidi yang ternyata adalah satu almamater dengan Prof.
Dr. Harun Nasution dan sama-sama pernah menuntut ilmu dari McGill University. Hanya
yang menjadikannya beda adalah, Prof. HM Rasjidi seakan menggunakan kaidah, know
your enemy so you know how to defeat them, sebaliknya dengan Prof. Dr. Harun
Nasution yang justru seakan berkompromi dengan mereka. Di dalam lingkungan
pendidikan yang kelihatannya Islami pun belum tentu seratus persen terbebas dari
serangan pemikiran ini. Serangan pemikiran bekerja dengan cara yang lihai, terselubung
dan mematikan (swift, silent & deadly). Penanaman ideologi yang menyimpang sekarang
sangat mudah dilakukan bahkan di belakang titel profesor dan doktor. Maka tidak heran
ketika seorang profesor dan cendekiawan muslim saat ini bisa meneriakan slogan "say no
to syariat Islam”. Tentunya tidak semua orang bisa mendeteksi gejala serangan pemikiran
ini. Oleh karena itu penanaman ilmu tentang Islam di usia sedini mungkin sangatlah
diperlukan dan juga materi pembelajarannya tidak hanya berhenti misalkan hanya sampai
tahap Al-Qur'an itu wahyu Allah dan Hadits adalah sunnah Rasulullah oleh karena itu
wajib diimani, tapi juga mengerti mengapa Al-Qur'an dan Al-Hadits bisa tetap asli dan
layak untuk diimani sehingga hal-hal yang menyangkut kedua dasar aqidah Islam yang
sudah pasti tidak perlu diutak-atik lagi dengan alasan modernisasi Islam.
Isi website Islamlib bisa dibilang merefleksikan “suara lain” dalam pemikiran Islam. Ia
disebut “suara lain” karena acapkali merupakan pemikiran yang baru, dan berbeda
dengan yang selama ini dianut mayoritas umat Islam. Itulah hasil dari apa yang mereka
namakan Ijtihad Islam Liberal. Ssuara lain” bisa dilihat, contohnya, dari 3 artikel berikut
ini:
Isi artikel Moqsith di atas jelas bertentangan dengan pemahaman umum umat Islam
bahwa Nabi berjenis kelamin laki-laki, dan Moqsith juga mengakui pemahaman umum
tersebut. Ibn Qasim al-Ghuzzi (w. 918) dalam kitab Fath al-Qarib menyatakan bahwa
nabi adalah seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Allah. Dengan pengertian ini jelas
tak ada nabi perempuan. Dengan demikian isi artikel Moqsith di atas bisa dikategorikan
mewakili suara lain dalam pemikiran Islam karena berbeda dengan “suara resmi” yang
selama ini banyak dipahami umat Islam.
Kalau anda ingat dengan kasus terror yang diterima Abdurahman Wahid (Gus Dur) oleh
sekelompok umat Islam yang mengatasnamakan Islam di Purwakarta pada 23 Mei 2006
lalu, itu adalah karena mereka menuduh Gus Dur telah menghina Islam setelah tersiar
kabar bahwa Gus Dur mengatakan al-Qur’an sebagai kitab suci porno. Nah berita itu
sebetulnya lahir dari acara wawancara “Kongkow bareng Gus Dur” di kantor berita radio
(KBR) 68 H Jakarta, yang transkripsi hasil wawancaranya dipublikasi website
islamlib.com dengan judul di atas (Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!)
Isi wawancara di atas kemudian memang menimbulkan polemik yang cukup panjang.
Sebagian yang kontra menyatakan bahwa Gus Dur telah menghina Islam dengan
mengatakan Qur’an sebagai kitab suci porno. Sementara, sebagian yang pro, menyatakan
bahwa yang menyatakan kita harus melihat ucapan Gus Dur tersebut dalam konteks dan
situasinya. Mengambil ucapan Gus Dur secara sepotong-sepotong apalagi dengan
mengabaikan konteks dan situasinya tentu akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda
dan keliru dari yang dimaksud Gus Dur. Yang lebih memperparah polemik ini adalah
terjadinya “pengusiran” terhadap Gus Dur di Purwakarta pada 23 Mei 2006 oleh
sekelompok orang yang mengatas namakan umat Islam Purwakarta, sehingga semakin
memperuncing konflik antara pihak yang kontra dan yang pro. Selain itu, tindakan
redaktur islamlib.com yang kemudian mengedit ulang hasil transkripsi wawancara sering
dijadikan legitimasi pihak yang kontra Gus Dur, sekaligus kontra JIL sebagai pengelola
islamlib.com, untuk memberikan penegasan bahwa JIL memang tidak konsisten.
Menurut redaktur islamlib.com, M. Guntur Romli, yang memang mewawancari Gus Dur,
tindakan mengedit ulang dimaksudkan untuk menyamakannya dengan versi sebelumnya
yang sebenarnya sudah dimuat di koran Jawa Pos. Tindakan itu juga dilakukan untuk
menghindari polemik lebih lanjut dan agar tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang
kontra Gus Dur dan JIL dengan cara mengutip penggalan dan secara sepotong-sepotong
menggunakan bagian dari wawancara tersebut untuk kepentingan mereka. Apalagi, pihak
redaktur islamlib.com juga merasa bahwa mereka memiliki hak untuk mengedit ulang,
merevisi dan bahkan mengadakan perubahan atas isi website milik mereka tersebut.
Pindah agama biasa disebut konversi. Ada dua model konversi: internal dan eksternal.
Konversi internal adalah peristiwa yang hampir lazim terjadi dalam semua agama. Ia
terjadi saat seseorang pindah dari mdzhab dan perspektif tertentu ke madzhab dan
perspektif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama. Seseorang yang semula
“fundamentalis” berubah menjadi “moderat” atau sebaliknya, pada dasarnya telah
melakukan konversi, tetapi dalam batas-batas agama yang sama.Dengan makin
membludaknya pilihan-pilihan pendekatan dalam memahami agama (Islam, misalnya)
maka peristiwa konversi internal hampir merupakan kejadian yang lazim terjadi setiap
saat. Seorang sosiolog agama dari Boston University, Peter Berger, bahkan menyebut
salah satu cirri modernitas adalah munculnya gejala “heretical imperative”, gejala
kemurtadan yang niscaya. Murtad disini dimaknai menyimpang dari pandangan yang
dominan dalam sebuah agama. Lebih jauh menurut Ulil, murtad internal jauh lebih sering
terjadi ketimbang murtad eksternal. Yang terakhir ini biasanya terjadi dalam situasi yang
sangat khusus. Ulil juga menyampaikan pendapatnya bahwa, agama yang paling
bersemangat melakukan murtad eksternal saat ini adalah Kristen, terutama Kristen
evangelis dengan beragam denominasi. Rangking kedua diduduki Islam, terutama Islam
Wahabi yang didanai milyaran petro-dollar Arab Saudi. Rangking berikutnya adalah
Budha.
Dari judulnya saja orang langsung bisa menangkap pesan bahwa si penulis, Ulil Abshar-
Abdalla, ingin menyampaikan “suara lain” dalam ruang pemikiran Islam seperti yang
dipahami awam. Tindakan murtad dalam Islam termasuk dipahami awam sebagai sebuah
tindakan dosa besar. Bagaimana mungkin Ulil kemudian menuliskannya dalam kalimat
“kemurtadan yang niscaya” meskipun ia kemudian membaginya menjadi murtad internal
dan murtad eksternal.
Berbeda dengan isi islamlib.com yang mencerminkan “suara lain” dalam ruang
pemikiran Islam, isi hidayatulloh.com justru merefleksikan “suara resmi” pemikiran
Islam yang selama ini dipahami umum. “Suara resmi” dari hidayatulloh.com, misalnya,
bisa dilihat dari 2 artikel berikut ini:
“Andai aku seorang muslim liberal, maka aku akan melepaskan keyakinan keIslamanku
dari segala bentuk otoritas tafsir”, ujar Haidar Bagir. Tulisan Khalif Muammar ini
sebenarnya ditujukan sebagai jawaban dari tulisan Haidar itu. Dalam tulisan ini, Khalif
mengajukan sepuluh hal berkaitan dengan tesisnya tentang semoga aku Muslim sejati.
Kesepuluh hal tersebut yakni:
Pertama, sebagai seorang Muslim sejati, aku akan meyakini bahwa aku berada dalam
kebenaran. Bagiku Islam dan iman adalah hidayah dan nikmat yang telah Allah kurniakan
kepadaku, karena keyakinanku tidak mungkin bersifat tentative. Kedua, Aku setuju
dengan pandangan para sarjana Muslim seperti M Iqbal, al-Attas dan al-Faruqi bahwa
masalah utama umat Islam adalah krisis ilmu. Bahwa jalan untuk mengembalikan
kegemilangan tamadun Islam adalah melalui pemerkasaan budaya ilmu, pencerahan dan
pemberdayaan ummat.Ketiga, dalam menghadapi kemajuan (modernity) yang pada hari
ini disinonimkan dengan Barat, aku tidak akan bersikap terlalu terbuka (silau) dan tidak
juga tertutup (konservatif). Keempat, aku akan menjadikan tradisi sebagai landasan untuk
aku berpijak. Kelima, aku mempelajari filsafat Barat untuk tujuan perbandingan.
Keenam, sebagai seorang Muslim sejati aku akan melaksanakan Islam sebagai salah satu
cara hidup yang lengkap, oleh karenannya aku akan menentang sekulerisme dan
sekularisasi dunia Islam. Ketujuh, bagiku metode hermeneutika hanya pantas diterapkan
pada Bible. Ini karena baik dari segi sejarah maupun kandungan hermeneutika, al-Qur’an
dan Bible jauh berbeda. Kedelapan, sebagai seorang Muslim sejati, aku tunduk
sepenuhnya dengan perintah dan aturan yang diberikan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kesembilan, karena aku memiliki worldvierw Islam, aku tidak akan hanyut dengan tren
pemikiran Barat yang kabur dan selalu berubah. Terakhir, aku akan senantiasa berdoa
agar aku senantiasa berada dalam hidayah dan inayah-Nya.
Melalui artikel ini, Adian Husaini ingin mengkritisi kaum pluralis yang mengatakan
bahwa semua agama menuju Tuhan yang satu. Padahal, menurutnya, kelompok-
kelompok Kristen berbeda penggunaan nama Tuhan mereka. Ringkasan artikel Adian
adalah seperti berikut ini:
Menurut Adian, ungkapan semua agama menuju Tuhan yang satu adalah tindakan kaum
pluralis dalam “mengelirukan” kaum Muslim. Kaum pluralis mengatakan soal nama
“Yang Satu” itu tidaklah penting. Yang Satu itu bisa dinamai Allah, God, Lord, Yahweh,
The Real, The Eternal One dan sebagainya. Ada yang menulis: “Dengan nama Allah,
Tuhan Yang Maha pengasih, Tuhan Yang Maha Penyayang, Tuhan segala agama”. (yang
dimaksud Adian adalah tulisan pembuka di website Jil, www.islamlib.com, red). Selain
JIL, Adian juga menunjukkan bukti, ada cendekiawan terkenal yang mengartikan
syahadat dengan : “Tidak ada Tuhan (dengan t kecil), kecuali Tuhan (dengan T besar)”.
(Ini adalah ungkapan Nurcholish Madjid, red. JIL dan Nurcholish memang selalu dikritisi
Adian dalam konteks mereka sebagai kaum pluralis.Padahal, lebih lanjut menurut Adian
dalam artikel ini dengan mengutip Prolegomena to the Metaphysic of Islam karya Naquib
al-Attas, konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas dan tidak sama dengan
konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi
filsafat Yunani, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern, ataupun
dalam tradisi mistik Barat dan Timur. Tuhan dalam Islam, dikenal dengan Allah. Lafads
Allah dibaca dengan bacaan tertentu. Kata Allah tidak boleh dibaca sembarangan, tetapi
harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW, sebagaimana bacaan-bacaan ayat
dalam al-Qur’an. Dengan adanya ilmu al-qiraat yang berdasarkan pada sanad- yang
sampai pada Rasulullah SAW- maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam
penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan,
bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah.Dengan demikian menurut Adian, nama
Tuhan yakni Allah bersifat final dan otentik, karena menemukan sandaran yang kuat, dari
sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah SAW. Umat Islam tidak melakukan
spekulasi filosofis untuk menyebut nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan
langsung oleh Allah SWT- melalui al-Qur’an, dan diajarkan langsung cara melafalkannya
oleh Nabi SAW.
Kalimat: Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha pengasih, Tuhan Yang Maha Penyayang,
Tuhan segala agama”, yang dimaksud Adian di atas adalah tulisan pembuka di website
JIL, www.islamlib.com. Sementara, kalimat: Tidak ada tuhan (dengan t kecil), kecuali
Tuhan (dengan T besar)”, ini adalah ungkapan Nurcholish Madjid. JIL dan Nurcholish
memang selalu dikritisi Adian dalam posisi mereka sebagai kaum pluralis, termasuk
dalam pemahamannya tentang relasi antara Islam dan agama lainnya.
Isi dari kedua website tersebut, baik secara langsung maupun tidak, berupaya meng-
counter pemikiran mereka satu sama lain. Yang dimaksud dengan counter langsung
adalah counter yang secara jelas menyebut subyek penulis (baik penulis yang ada di
www.islamlib.com dan yang ada di www.hidayatullah.com) maupun dengan menyebut
“nama” website-nya. Sementara, yang dimaksud tidak secara jelas menyebut subyek
penulis dan nama website, tapi hanya counter pada segi ide dan gagasan umumnya saja.
Kalau kita memperhatikan isi website islamlib.com, jarang sekali ditemukan artikel yang
menyebut nama hidayatullah.com dan atau counter langsung terhadap artikel yang
muncul di hidayatullah.com. Memang counter islamlib.com terhadap hidayatullah.com
bisa dikatakan bersifat tak langsung dan pasif. Mungkin yang bisa menghubungkan
counter islamlib.com terhadap hidayatullah.com ada dua yakni: (1) penyebutan nama
‘Adian Husaini” yang bisa dikatakan sebagai “icon” Hidayatullah terkait eksistensi CAP
disitus tersebut, dan (2) counter terhadap isu-isu literalisme, konservatisme dan
radikalisme Islam yang justru diangkat Hidayatullah.com.
Kalau terkait counter terhadap isu-isu literalisme, konservatisme dan radikalisme Islam
dalam situs islamlib.com bisa kita lihat dalam keseluruhan isi islamlib.com, maka terkait
dengan penyebutan nama “Adian Husaini”, misalnya, bisa dilihat dalam 3 artikel di
bawah ini yakni:
Dalam transkripsi wawancara dengan JIL ini, hanya diketemukan sekelumit ucapan
Jalaludin Rakhmat (JR) dalam menyingggung Adian Husaini. Begini ucapan Jalal:
JIL : Adakah perbenturan antara konsep pluralisme dengan teologi masing-masing agama
yang sudah dimapankan seperti konsep tauhid dalam Islam?JR: Bagi saya, seorang
Muslim yang pluralis pasti akan menganut prinsip tauhid. Seorang Kristiani yang
pluralis, pasti akan percaya bahwa Yesus adalah juru selamat semua umat manusia. Jadi
pluralisme itu adalah sebuah orientasi keberagamaan. Kelompok pluralis itu akan ada
dikalangan Islam, ada juga di kelompok Kristiani dan agama lain. Kalangan eksklusivis
juga ada di berbagai agama dan masing-masing bisa merujuk pada kitab suci masing-
masing. Jadi pluralisme adalah sebuah paham dan paham itu berakibat pada perilaku
sosial kita. Tapi pluralisme bukan juga menganggap semua agama sama saja karena
dalam al-Qur’an juga sudah dikatakan wa likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhaja
(bagi tiap-tiap agama telah kami tetapkan aturan hidup dan syariat masing-masing). Di
tegaskan juga walau sya’allah laja’alnakum ummatan wahidah (kalau Allah
menghendaki, Dia akan jadikan seluruh agama itu satu saja). Artinya, Allah bisa
menjadikan seluruh agama sama saja. Tapi al-Qur’an menjelaskan lebih lanjut walakin
liyabluwakum (Dia ingin menguji kalian) bima atakum (dengan agama yang datang
kepada kalian). Karena itu, kita dianjurkan untuk fastabiqul khairat (berlomba-lombalah
dalam berbuat kebajikan), karena ilayya marji’ukum jami’an (hanya kepada-Ku seluruh
agama akan berpulang). Ayat ini perlu dikomentari. Menurut saya, hampir tak pernah
terdapat kata jami’an setelah kata marji’ukum kecuali didalam ayat ini saja. Ilayya
marji’ukum fa unabbiukum bima kuntum ta’malun; inna ilayna iyabhamum, tsumma inna
‘alayna hisabahum (kepada-Ku juga kalian akan berpulang dan disitulah Aku akan
memberitahu apa yang engkau lakukan. Semuanya akan berpulang pada Allah dan Dia
yang akan membuat perhitungan). Nah, kemarin saya dikritik Pak Adian Husaini, calon
doctor dari ISTAC Malaysia itu. Katanya, pandangan bahwa hanya kepada Allah
seluruhnya akan menuju itu adalah keliru. Saya tidak tanggapi statemennya itu secara
serius dan menganggapnya dagelan saja.
Dari petikan wawancara di atas, nyatalah bahwa Jalal mencoba meng-counter Adian,
meski dengan bahasa yang singkat. Jalal, seperti juga kaum pluralis, menganggap semua
agama akan menuju kepada Allah yang sama sesuai bunyi ayat di atas. Sementara, Adian
Husaini menolak pandangan tersebut.
Melalui artikel ini, Novriantoni, selain mendeskripsikan kontroversi seputar novel dan
film The Da Vinci Code, ia juga menjelaskan respon umat Kristen dan umat Islam
fundamentalis terhadap hal itu dikaitkan dengan kematangan beragama mereka. Nah,
dalam menjelaskan respon umat Islam fundamentalis itulah, Novriantoni menyenggol
Adian Husaini dan pendapatnya. Begini petikan artikelnya:
Respon Islam FundamentalisGampang diduga baik novel Dan Brown yang terjual
sebanyak 60,5 juta eksemplar (sampai Mei 2006), dan diterjemahkan dalam 44 bahasa
itu, maupun filmnya, akan mendapat sambutan hangat diberbagai belahan dunia. Di
Indonesia, penerbit Serambi yang memegang hak terjemah dan penjualan novel tersebut,
juga ketiban berkah. Tak ada keberatan dari umat Kristiani Indonesia atas Serambi. Tidak
ada pula sweeping maupun tuduhan penodaan agama. Kini, filmnya hadir mengusik rasa
penasaran kita, dan sambutannya sungguh luar biasa. Tiket-tiket bioskop di Jakarta ludes
terjual. Penonton membludak, yang tidak dapat tiket memendam rasa
penasaran.Gampang pula disangka, kalangan fundamentalis Islam Indonesia akan
menyambut Da Vinci Code dengan suka cita. Sudah lama mereka membangun
pendekatan kritis atas segala agama, kecuali agama yang dianutnya, terutama demi
menelanjangi agama Kristen. Untuk itu, standar ganda mereka terapkan. Karya-karya
popular semacam Da Vinci Code perlulah dijadikan rujukan untuk menghantam dasar-
dasar teologi kekristenan.Respon Adian Husaini, tokoh fundamentalis Islam Indonesia
paling terdidik saat ini, relevan dikemukakan. Adian menemukan amunisi gratis untuk
melakukan serangannya atas kekristenan dan umat Kristen Indonesia. “The Da Vinci
Code adalah sebuah novel yang memporak-porandakan sebuah susunan gambar yang
bernama Kristen itu,” tulis Adian di Republika, Kamis 28 April 2005.Sikap Adian
terhadap pendekatan kritis atas agama lain, bertolak belakang dengan pendekatan sejenis
atas Islam; sebuah sikap yang jauh dari semangat ilmiah dalam studi agama-agama. Saya
berpikir, sikap Adian dan kawan-kawannya yang hampir paranoid menunjukkan aib dan
keburukan agama lain, kadang menimbulkan kesan tidak adanya kebenaran intrinsic
dalam Islam, kecuali bila mampu menunjukkan kepalsuan agama lain. Mungkin
semangat itulah yang masih melingkupi orientasi studi perbandingan agama di perguruan
tinggi kita, dan khutbah-khutbah dalam masjid dan majlis taklim di negeri ini.
Dalam artikel ini, Umdah mencoba mendeskripsikan jalannya bedah buku karya DR.
Yudi Latif yang berjudul Inteligensia Muslim dan Kuasa, yang diselenggarakan di JIL.
Intinya, isi buku tersebut menceritakan tentang genealogi intelegensia Muslim Indonesia
abad 20. Dan Yudi memetakannya menjadi 6 generasi dan persis pada generasi keenam
inilah, yang merupakan generasi terakhir, menurut Umdah, nama Adian Husaini disebut-
sebut sebagai representasi sayap kanan fundamentalis. Petikan bunyi artikel tersebut
seperti ini:
dari seluruh generasi yang telah dipaparkan, yang menarik perhatian peserta diskusi
malam itu adalah generasi terakhir (generasi keenam). Mereka adalah para aktivis yang
selama ini aktif menyuarakan liberalisme Islam, seperti Ulil Abshar-Abdalla, Hamid
Basyaib, Syaiful Mujani dan sebagainya. Mereka bukan saja mewakili generasi keenam,
tetapi gerakan liberalisme yang mereka usung juga dinilai paling mewarnai generasi
inteligensia Muslim pada saat ini. Sementara di sayap kanan fundamentalisnya terdapat
nama, seperti Anis Matta dan Adian Husaini.
Berbeda dengan isi situs islamlib.com yang meng-counter secara tak langsung dan pasif
pada hidayatullah.com, maka sebaliknya, di dalam situs hidayatullah.com kita bisa
menemukan banyak sekali counter secara langsung terhadap isi situs islamlib.com.
Memang counter hidayatullah.com terhadap islamlib.com bisa dikatakan bersifat
langsung dan aktif seperti telah dijelaskan di awal bab ini. Beberapa counter langsung
dan aktif tersebut bisa kita lihat dalam artikel berikut ini:
Melalui artikel ini, Qosim ingin menyanggah tulisan A. Moqsith Ghazali di situs
islamlib.com pada 25/10/2006 berjudul Nabi Perempuan. Ringkasan tulisan Qosim
adalah sebagai berikut:
Dalam situs JIL (www.islamlib.com, 25/10/2006, Moqsith Ghazali menulis tentang nabi
perempuan. Setelah panjang lebar menerangkan konsep nabi dan rasul, Moqsith
menyimpulkan bahwa setelah ia mengecek kesejumlah kitab, ternyata status kenabian tak
hanya dimonopoli kaum laki-laki. Ada juga nabi perempuan. Misalnya Ibnu Katsir dalam
al-bidayah wa al-nihayah (Juz II, hlmn. 59) mengutip satu pendapat bahwa tak tertutup
pintu bagi hadirnya nabi perempuan. Dikemukakan bahwa Maryam adalah salah seorang
nabi. Perempuan lain yang diangkat menjadi Nabi menurut pendapat ini adalah Sarah
(Ibu Nabi Ishaq, istri nabi Ibrahim) dan ibu Nabi Musa. Ulama yang berpendapat
demikian, misalnya, bersandar pada ayat al-Qur’an wa awhayna ila ummi musa an
ardhi’ihi khifti ‘alaihi, fa alqihi fi al-yamm. Dengan demikian, Moqsith mengambil
pendapat yang menyatakan bahwa ada “nabi perempuan”. Moqsith sangat tidak
komprehensif ketika membahas makna “wahyu” dalam Islam, maka wajar jika
konklusinya. Tulisannya yang singkat dan sangat sederhana itupun terkesan tendensius
dan dipaksakan. Sepertinya dia sedang geram pada sementara pendapat yang ada dalam
masalah ini.Apa yang disimpulkan Moqsith adalah keliru. Anggapan ulama yang
menganggap ibu Musa dan sarah sebagai nabi harus dilihat lagi secara kritis. Karena
tidak ada penjelasan rinci yang menyatakan keduanya dianggap sebagai nabi. Sampai hari
ini, tidak afa pendapat atau buku yang menjelaskan bahwa ibu Musa dan Sarah
menyampaikan risalah, atau memberi peringatan (al-indzar).Dr. Al-Musayyar
menjelaskan syarat-syarat seorang nabi atau rasul yakni: (1) manusia, (2) laki-laki, (3)
merdeka (bukan budak), (4) terhindar dari aib (cacat): maksum dari perbuatan dosa dan
salah, dan (5) Allah mewahyukan satu syariat kepadanya. Sebagian orang menurut beliau,
berusaha untuk menyematkan kenabian (al-nubuwwah) itu kepada perempuan seperti ibu
Musa dan Maryam berdasar firmal Allah wa awhayna….. (QS. al-Qashash (28): 7) dan fa
arsalna ilayha ruhana fatamatstsala laha baysaran sawiyyan (QS. Maryam (19): 17. Dalil
itu menurut beliau tertolak karena wahyu kepa aibu Musa adalah wahyu berupa ilham,
bukan wahyu kenabian. Dan tidak lazim bahwa wahyu itu sebagai kenabian.
Jinayat JIL Terhadap Siroh dan Usul Fiqh (Hizbullah Mahmud, hidayatullah)
Melalui artikel ini, Hizbullah ingin mengkritik artikel A. Moqsith Ghazali dalam kolom
editorial situs islamlib.com yang berjudul Membentengi Islam (28/08/2006). Dalam
artikelnya, Moqsith menjelaskan bahwa jika kita menjadikan Islam sebagai sebuah
benteng maka itu justru akan mengkerdilkan Islam sendiri.
Dalam tulisan yang sama, Moqsith juga mengatakan bila Nabi SAW sendiri merupakan
pribadi yang tak segan untuk belajar dari orang lain, termasuk belajar dari Waraqah bin
Naufal, sepupu Khadijah yang bergama Kristen. Selanjutnya, Moqsith menulis bahwa
Bayt al-hikmah, lembaga keilmuan yang didirikan oleh Khalifah VII Bani Abassiyah, al-
Makmun Ibn Harun al-Rasyid (813-833 M) pernah dipimpin sarjana Kristen, Hunayn Ibn
Ishaq. Kritikan Hizbullah, secara ringkas, adalah sebagai berikut:
Aktifis JIL, Moqsith Ghazali, menulis bila Nabi SAW sebagai orang yang tak segan
untuk belajar dari orang lain, termasuk kalangan Kristen. Benarkah demikian?Para
pekerja Jaringan Islam Liberal nampaknya tidak segan-segan menggunakan berbagai
macam cara agar opini tersebut bisa diterima pembaca. Budaya ngaco, dan asal comot
seakan tidak dipedulikan lagi sehingga hasil yang dicapai jauh untuk bisa dikatakan
Ilmiah. Ada 3 poin yang perlu dikritisiPertama, Moqsith mengatakan bahwa Nabi SAW
adalah orang yang tak segan belajar dari orang lain. Alkisah Nabi pernah bertanya kepada
Waraqah Bin naufal, sepupu Khadijah (istri Nabi), yang beragama Kristen tentang
kejadian aneh yang dialaminya ketika ia bersemedi (tahannuts) di Gua Hira. Padahal
semestinya yang bertanya kepada Waraqah bukanlah Nabi, melainkan Khadijah setelah
itu Waraqah meminta baginda Rasul untuk menceritakan kejadian yang
dialaminya.Kedua, Moqsith mengatakan bahwa Bayt al-Hikmah, lembaga keilmuan yang
didirikan oleh Khalifah VII Bani Abbasiyyah, al-Makmun Ibn Harun al-Rasyid (813-
833M) pernah dipimpin sarjana Kristen, Hunayn Ibn Ishaq.Data sejarah ini perlu dikritisi,
Hunayn memang pernah diperbantukan pada masa tersebut namun tidak dijumpai
satupun buku turats yang mengatakan bahwa Bayt al-Hikmah pernah dipimpin olehnya.
Jadi perlu dipertanyakan lagi darimana sang penulis mendapatkan dana ini?Ketiga,
Moqsith menuduh ilmu ushul fiqh yang pertama kali dibukukan Imam Syafii banyak
mengambil dari logika Aristoteles. Padahal ushul fiqh dan logika Aristoteles, walaupun
sekilas tampak sama, namun kedua ilmu ini sangat bertolak belakang sebab logika
keilmuan yang digunakan Aristoteles menggunakan sistim analogi dan akal sedangkan
ilmu ushul fiqh berdasarkan hasil istimbath dari al-Qur;an dan Sunnah. Duz, keduanya
berbeda jauh.
Melalui artikel ini, Thoriq, ingin mengkritisi tulisan di wesbite JIL, islamlib.com
(08/03/2005) berjudul Argumen Metodologis CLD KHI dan tulisan berjudul Salat
Bilingual Haruskan Menjadi Kontroversi? (16/05/2005). Ringkasan kritik Thoriq adalah
sebagai berikut:
Para penulis dari paham Islam Liberal sering menulis ‘ngaco’ diberbagai kesempatan
bahkan berani memfitnah para fuqaha untuk melakukan pembodohan terhadap
umat.Sebagai contoh, lihat tulisan berjudul Argumentasi Metodologis CLD KHI
(islamlib.com, 08/03/2005). Dalam tulisan itu, sipenulis menilai bahwa ushul fiqh tidak
relevan lagi, sehingga sipenulis membuat-buat beberapa kaidah sendiri yang menurut
penilaian dia bisa memberi kemashlahatan, keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan.
Kaidah ushul fiqh alternatif yang pertama dipromossikan sipenulis adalah al-ibrah bi al-
maqasid la bi alfadz (yang dijadikan pijakan adalah tujuan bukan lafadz). Dari sini kita
tahu bahwa sipenulis memang tidak mengerti apa itu ushul fiqh. Jadi ada tiga unsure
dalam ushul fiqh, ma’rifah dala’il fiqhi (pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh), kaifiyah al-
istifadah (metodologi penggunaan dalil), danhal mustafid (kriteria mujtahid). Kaidah
kedua yang diusulkan penulis adalah jawaz naskh nushus bi al-mashlahah (boleh
menaskh nash-nash dengan maslahat). Dari sini penulis terlihat ingin potong kompas.
Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa boleh menaskh nash-nash al-Qur’an dan Sunnah
dengan Mashlahat? Sementara kaidah ketiga yang diusulkan adalah yajuzu tanqih al-
nushus bi al ‘aql al-mujtama (boleh mengamandemen nash-nash dengan pemikiran
masyarakat). Sebetulnya kaidah ini intinya sama saja, yakni sipenulis ingin mengajak kita
agar meninggalkan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah.Sebagai contoh lain, lihat tulisan
berjudul Shalat bilingual Haruskah menjadi kontroversi (islamlib.com, 16/05/2005). Pada
paragraph kedelapan penulis menyatakan: “Jika kita membaca sejarah, kita akan melihat
perdebatan sengit antara Imam Abu Hanifah yang berasal dari Parsi dan Imam Syafii
yang berasal dari Arab keturunan Qurays. Imam Syafii adalah orang yang sangat kuat
pandangannya bahwa membaca al-fatihah dalam shalat dengan bahasa Arab hukumnya
wajib. Orang yang tidak melakukannya, shalatnya tidak sah. Sementara Abu Hanifah
memperbolehkan membaca al-fatihah dalam bahasa Parsi atau non-Arab lainnya, bagi
mereka yang tidak menguasai bahasa Arab.Dari penggalan artikel diatas ada beberapa hal
yang perlu dicermati. Pertama, penulis menilai ada perdebatan sengit antara Asbu
Hanifah dan Imam Syafii, kedua penulis juga menilai Abu Hanifah berasal dari Parsi.
Para pembaca yang budiman, perdebatan itu tidak pernah terjadi sepanjang sejarah,
peristiwa itu hanyalah khurafat dari sipenulis. Kebanyakan umat Islampun tahu bahwa
Abu hanifah wafat 150 H, sedangkan Imam Syafii lahir pada tahun 150 H juga di Gaza
Palestina bertepatan dengan tahun wafatnya Abu Hanifah. Bagaimana bisa terjadi
perdebatan sengit antara keduanya? Khurafat penulis juga mengatakan Abu hanifah
berasal dari Parsi, entah merujuk dari mana sipenulis tersebut? Yang jelas dalam buku-
buku sejarah madzhab kita dapati keterangan bahwa Imam Abu Hanifah lahir di Kuffah.
Tulisan Hizbullah ini sebenarnya mendiskusikan makna Tuhan. Akan tetapi starting
point-nya tulisan dalam opening words- situs JIL, islamlib.com dimana Hizbullah
mengkritik opening words tersebut. Di situ terdapat terjemahan Bismilahirrohmanirrohim
menjadi Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan segala Agama.
Petikan kritik Hizbullah adalah sebagai berikut:
Saya cukup tercengang tatkala membuka website islamlib.com, ketika akan memasuki
website tersebut menemukan terjemahan Bismilahirrohmanirrohim diterjemahkan
menjadi Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih
, Tuhan Penyayang, Tuhan segala Agama. Hanya saja 3 kata terakhirnya tidak termasuk
dalam terjemahan kata basmalah di atas (Tuhan segala agama). Secara sekilas kita dapat
menyimpulkan bahwa makna Allah disamakan dengan makna tuhan. Yang membedakan
antara tuhan-tuhan lain dengan Allah hanyalah huruf T besar diawalnya. Bila T nya huruf
besar maka itu maknanya sama dengan Allah dan bila t nya kecil maka itu maknanya
tuhan-tuhan selain Allah. Dalam penulisan mungkin bisa dilihat perbedaannya tapi dalam
pengucapan nyaris tidak ada.Pencetus makna Allah juga dimaknai Tuhan adalah
almarhum Prof. DR. Nurcholish Madjid. Pada waktu itu beliau menterjemahkan kalimat
lailahaillallah dengan tidak ada tuhan selain Tuhan atau dalam bahasa Inggrisnya there is
not any god but the God.Terjemahan ini selain tidak benar, juga membuat kekacauan,
membuat kebingungan, mendangkalkan aqidah dan menghancurkan tauhid. Terjemahan
tersebut seperti yang dilakukan oleh kaum orientalis dan ahli injil.…….Berdasarkan
pengertian tersebut maka kelemahan Prof. Dr. Nurcholish Madjid dari segi bahasa
diantaranya, menterjemahkan Allah diartikan Tuhan, menyamakan arti ilah dengan Allah,
memandang alim dan lam pada kata Allah ma’rifah dari isim nakiroh ilah, terjemah hanya
memperhatikan etimologinya, standar terjemah menggunakan bahasa Inggris.Sebagai
akibat dari terjemah yang hanya memperhatikan dari segi etimologinya dan adanya
kesalahan Allah diartikan sama dengan ilah yang berarti tuhan, maka dari segi makna
nilai tauhid menjadi kabur dan hancur.
Melalui artikel ini, Qosim ingin mengkritik tulisan Ulil Abshar-Abdalla yang dimuat
dalam situs JIL islamlib.com menyangkut perayaan Natal berjudul Pendapat Islam
Liberal Tentang Perayaan Natal (27/12/2004) dan tulisan Guntur Romli, aktivis JIL yang
dimuat dalam situs islamemansipatoris.com dengan judul Natal dan Pesan Dialog Agama
(27/12/2004). Petikan kritik Qosim adalah sebagai berikut:
Guntur menjelaskan: “saya akan memulai memahami ajaran Kristen dengan pemahaman
yang saya miliki. Ada tiga poin ajaran Kristiani, tetapi bisa dipahami melalui ajaran
Islam. Yaitu, mengenai kehadiran Tuhan, penyaliban Yesus, dan ajaran cinta kasih”.
Sementara Ulil dengan artikelnya ingin menciptakan model ta’aruf Qur’ani. Hanya saja
ia juga terjebak oleh spirit yang digulirkannya itu. Diantaranya , ia menganjurkan kawin
campur antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslimah, natal dan bid’ah.
Akibatnya, Guntur dan Ulil terjebak dalam “Sinkretisme Teologis”.Point penting dari
tulisan Guntur dan Ulil yang ingin saya tanggapi adalah: (1) kehadiran Tuhan, (2)
penyaliban yesus, (3) al-Qur’an bukan kitab pembatal, dan (4) bid’ah natal.Pertama,
menyangkut kehadiran Tuhan, penulis kira adalah hal yang keliru kalau Islam tidak
dianggap detail dalam menggambarkan kehadiran Tuhan. Paham yang menyatakan
bahwa Kristen lebih mementingkan kehadiran Tuhan seperti yang diungkapkan Fritjcof
Schuon dalam filsafat perennial sangat kurang tepat.Kedua, penyaliban Yesus. Adalah hal
yang sangat fatal ketika menyatakan bahwa kematian Yesus ditiang salib merupakan hal
yang sama dengan jihad dalam Islam. Penulis kira itu adalah al-qiyas m’aa al-fariq
baathil. Sama halnya dengan pernyataan said Aqil Siraj ketika menyatakan bahwa makna
nuzul dalam islam sama dengan makna nuzul dalam Kristen. Aqil yang mengatakan:
nuzul dalam Islam dalam bentuk al-Qur’an sedangkan nuzul dalam Kristen dalam bentuk
Yesus. Tentu saja hal ini tidak bisa diterima bahkan salah total. Mengapa tidak melakukan
qiyas antara al-Qur’an dengan Injil, dan itu lebih rasional. Penulis kira Injil juga nuzul
dari Allah. Atau apakah ada umat Kristen yang menyatakan bahwa Injil tidak nuzul dari
Allah?Ketiga, al-Qur’an bukan kitab pembatal. Ulil sempat menyinggung hal ini.
Benarkah demikian? Dalam sebuah agama, klaim kebenaran meruapakan hal yang tak
bisa dihindarkan. Hanya saja salah sau tindakan yang salah adalah klaim buta. Itu yang
tidak bisa diterima. Pernyataan Ulil bahwa Qur’an bukan kitab pembatal harus dikritisi
kembali. Yesus hadir (diutus) kedunia bukan membawa atau menciptakan hukum baru. Ia
hanya melengkapi (menggenapi) hukum taurat yang dibawa Musa (Matius 5: 17-18).
Maka Injil pada intinya tidak bisa dianggap sebagai penghapus taurat, meskipun
datangnya belakangan. Ia hanya disebut sebagai mushadiq (pembenar). Lain halnya
dengan Qur’an, meski turun bukan sebagai kitab pembatal, namun ia merupakan
penghapus beberapa hukum taurat, tapi ia turun sebagai pembenar (mushadiq) sekaligus
ebagai muhaimin ‘alaih (batu ujian). Hal-hal inilah yang sering luput dari pengamatan
kaum liberal seperti Guntur dan Ulil.Keempat, bid’ah natal. Bid’ah terbagi dua yakni
bid’ah dalam kebiasaan (adat) dan bid’ah dalam agama. Bid’ah dalam bentuk pertama
diperbolehkan, sedang bid’ah dalam agama itu haram.
Artikel Muchib ini sebenarnya ingin mengkritisi para penolak syariat Islam terkait isu
RUU APP. Muchib memulai artikelnya dengan wawancara “kontroversial Gus Dur”
dengan JIL yang sering dianggap menjadi biang munculnya opini tentang statemen Gus
Dur bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci porno. Begini isinya:
Harian Duta edisi ahad 16 April memuat wawancara Abdurahman Wahid dengan aktifis
JIL yangd ipublikasikan dalam situs resminya (islamlib.com), dengan memberi
judul”jangan Bikin aturan berdasarkan Islam saja”. Begini wawancaranya:………………
…….Manusia SekulerKetika rame-ramenya pembicaraan tentang goyang ngebor inul,
dalam sebuah buku berjudul mengebor kemunafikan Ulil Abshar-Abdalla menulis: agama
tidak bisa seenak udelnya sendiri masuk kedalam bidang-bidang itu (kesenian dan
kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyarakat….agama
hendaknya tahu batas-batasnya.Pernyataan itu mewakili pendapat umum kaum sekuler
dan liberal. Begitulah pandangan kaum sekuler yang tidak mau terikat dengan aturan
agama. Maksiat bukanlah suatu masalah umum yang perlu dipersoalkan. Asal
kemaksiatan membawa mashlahat dan disepakati oleh umum.
Artikel Hizbullah ini ingin menyatakan bahwa penganut paham sekularisme, liberalisme
dan pluralisme sering seenaknya menyalahgunakan istilah ijtihad hanya untuk akal-
akalan. Dan artikel ini, tak lupa Hizbullah juga menyenggol JIL terkait ijtihad mereka.
Begini bunyinya:
Artikel Thoriq ini ingin mengkritik kalangan pro sekularisme, liberalisme dan pluralisme
yang dianggapnya membolehkan orang melakukan tafsir sesuai kecenderungannya. Ia
mengacu pada tulisan seorang penganut Islam liberal berjudul Metodologi Berfatawa
dalam Islam dan artikel A. Moqsith Ghazali di islamlib.com berjudul Membentengi
Islam. Ringkasan artikel ini adalah sebagai berikut:
Seorang penganut Islam Liberal telah mempublikasikan sebuah tulisan yang berjudul
metodologi Berfatwa dalam Islam, katanya: setiap umat memiliki hak untuk mengikuti
tafsir a la sunni, a la mu’tazilah, a la syiah, ala Gus Dur, ala Cak Nur, ala Kiai Langiotan,
ala Jaringan islam Liberal (JIL), ala ahmadiyah dan lainlain, wahai, serahkanlah kepada
umat untuk memilih mana-mana tafsir yang terbaik untuk dirinya (islamlib.com,
23/09/2005).Tampak jelas dalam penggalan diatas, sipenulis memiliki pemahaman bahwa
setiap orang boleh mengikuti tafsir siapa saja yang sesuai dengan kecenderungannya,
tanpa ada rambu-rambu yang jelas, semuanya diserahkan kepada publik untuk
memilih.Dengan sikap seperti itu, sikandidat doctor ini juga secara langsung beranggapan
bahwa setiap pendapat layak diperhitungkan, tanpa melihat substansi atau kapasitas
pencetusnya, tidak heran jika di kesempatan lain sipenulis berpendapat bahwa disana ada
kelompok yang propluralisme dan yang kontra pluralisme, sekaligus dalil kedua pihak
(Media Indonesia, 06/08/2004) tanpa melihat siapa yang pro-kontra, para fuqaha atau
bukan, sipenulis langsung memasukannya kedalam wilayah khilaf yang layak
diperhitungkan.Bahkan dalam tulisan terakhir, sipenulis metodologi berfatwa
menyarankan agar umat Islam mau mengadopsi pendapat non Muslim (lihat
membentengi Islam, islamlib.com, 28/08/2006).Jika sikap “tidak jelas” ini terus-menerus
dikembangkan, maka bisa-bisa perkawinan sesama jenis juga dihalalkan, karena toh
bukankah ada beberapa mahasiswa syariah dari IAIN yang membolehkan? Walhasil,
nalar seperti ini amatlah berbahaya.
Fokus selanjutnya pada bab ini adalah pada respon kedua website (islamlib.com dan
hidayatullah.com) terhadap isu-isu aktual di Indonesia selama kurun waktu 1 tahun
terakhir ini (2005—2006). Setelah membaca isi kedua website tersebut, terdapat 5 isu
besar yang mereka respon selama kurun waktu tersebut, yakni: (1) Fatwa MUI tentang
pelarangan sekularisme, liberalisme dan pluralisme, (2) Kasus penyerbuan dan
pengusiran Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), (3) Fenomena yang melingkupi
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP), (4) Kasus
Poligami da’I kondang Aa Gym, dan (5) Penyerbuan tentara Israel ke Libanon dan
Palestina.
Secara umum, kesimpulan yang bisa dipaparkan terhadap respon kedua website tersebut
pada 5 isu besar di atas adalah sebagai berikut:
FATWA MUI
Musyawarah Nasional (MUNAS) VII Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berakhir
Jum’at, 29/07/2005 menghasilkan 11 fatwa. Dari 11 fatwa tersebut ada beberapa yang
kemudian memunculkan pro-kontra dimasyarakat. Dua diantaranya adalah fatwa Jamaah
Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai aliran sesat dan pelarangan penyebaran paham
pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Dijelaskan MUI bahwa pluralisme yang
dimaksud adalah penyamaan semua agama, liberalisme yang dimaksud adalah pemikiran
Islam yang menggunakan pikiran manusia secara bebas, bukan pemikiran yang dilandasi
agama, sementara sekularisme berarti memisahkan urusan dunia dan akhirat dan negara
tidak boleh campur tangan terhadap urusan agama. Fatwa yang disebut terakhir ini jelas-
jelas secara langsung menyenggol JIL. Apalagi banyak yang beranggapan bahwa Latar
belakang pengharaman itu agaknya adalah timbulnya aliran Jaringan Islam Liberal (JIL)
yang dikembangkan oleh generasi muda, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah, dengan tokohnya yang paling vokal (pada saat itu) Ulil Abshar-
Abdalla.
Sebagai pihak yang terkena langsung dampak fatwa itu, JIL seperti kita lihat dalam isi
websitenya (islamlib.com) secara tegas menolak fatwa tersebut. Sementara,
hidayatullah.com jelas-jelas mendukungnya. Penolakan islamlib.com dan dukungan
hidayatullah.com bisa kita lihat dalam artikel berikut ini:
Artikel Umdah ini sebenarnya adalah laporan hasil diskusi bulanan JIL pada 28/02/2006
dengan menghadirkan pembicara DR. Syafii Anwar (Direktur ICIP) dan DR.Saiful
Mujani (Direktur LSI). Dalam artikel ini, Umdah mengutip beberapa ungkapan Syafii
yang menyatakan fatwa MUI, terutama pelarangan pluralisme, sekularisme dan
liberalisme, mempengaruhi arus radikalisme Islam di Indonesia. Petikan artikel Umdah
tersebut adalah sebagai berikut:
“Meningkatnya radicalisme agama akhir-akhir ini sebagian didukung oleh fatwa MUI”
demikian pernyataan Direktur ICIP Syafii Anwar pada diskusi bulana JIL 28/02 lalu.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa fatwa MUI tentang haramnya liberalisme, sekularisme
dan pluralisme sering dijadikan justifikasi oleh kelompok-kelompok tertentu dengan
mengatasnamakan agama. Meningkatnya arus radikalisme agama di Indonesia akhir-
akhir ini bisa ditengarai dengan memuncaknya aksi kekerasan yang menimpa Jama’ah
Ahmadiyah Indonesia, perusakan gereja-gereja dan maraknya konflik antaragama
dibeberapa daerah. “Fatwa MUI tersebut ikut andil sebagai penyebab kasus-kasus itu”.
Tegas Syafii. Berdasarkan penelitian Syafii di beberapa pesantren Jawa Barat, para santri
dan kyai disana yang menolak sekularisme, liberalisme dan pluralisme mengaku
terpengaruh fatwa MUI yang mengharamkan isme-isme itu.Menariknya, catatan doctor
dari Melbeourne University ini, mereka yang menolak pluralisme itu tidak mengetahui
makna pluralisme yang sebenarnya. Mereka hanya tahu definisi itu dari MUI. Dalam
fatwa MUI, pluralisme didefinisikan sebagai paham yang mengajarkan bahwa semua
agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relativ. “Disini MUI
telah melakukan penafsiran tunggal atas pluralisme” tandas Syafii
Melalui artikel ini, Syamsuddin ingin mengkritik-balik kaum liberal yang mengkritik
fatwa MUI dengan alasan bahwa fatwa MUI yang mengharamkan liberalisme, pluralisme
dan sekularisme, serta menegaskan kembali kesesatan Jamaah Ahmadiyah dikatakan
tidak mendorong terjadinya dialog antaragama dan saling pengertian antar pemeluk
agama dan juga antar golongan dalam satu agama. Bahkan, Syamsuddin mengkritik-balik
kaum liberal yang beranggapan bahwa fatwa MUI itu akan memberi inspirasi kepada
sebagian orang untuk melakukan tindakan kekerasan. Untuk hal itu, Syamsuddin
memberi 3 catatan penting. Ketiga hal tersebut, secara ringkas adalah sebagai berikut:
Pertama, soal definisi liberalisme, pluralisme dan sekularisme yang dimaksud. Konon,
MUI terlalu menyederhanakan tanpa melakukan kajian terlebih dahulu. Tuduhan ini jelas
bermaksud meruntuhkan validitas fatwa tersebut, meremehkan MUI, menganggap
seolah-olah para ulama itu bodoh dan tidak mengerti apa yang mereka katakana. Padahal
tidak demikian. Sesungguhnya, sepak terjang (lisanul hal) kaum liberal telah cukup
menjelaskan maksud liberalisme dan pluralisme agama yang mereka usung. Berbagai
kegiatan maupun tulisan yang mereka publikasikan dimedia massa, hampir seluruhnya
mengasong pemikiran-pemikiran liar.Kedua, soal kekuatan dan pengaruh fatwa tersebut.
Kaum liberal menolak fatwa MUI itu dengan alasan fatwa tersebut hanyalah pendapat
hukum, bukan hukum itu sendiri, meskipun sah namun tidak mengikat, dan oleh karena
itu boleh diikuti dan boleh tidak. Apakah benar demikian? Jawabannya tentu saja tidak.
Namun ironisnya begini: kalau fatwa tersebut de jure tidak mengikat, mengapa mereka
harus khawatir? Bukankah kekhawatiran itu justru menunjukkan bahwa fatwa tersebut de
facto diakui keabsahannya dan kemengikatannya? Harus dibedakan antara fatwa yang
dikeluarkan oleh seorang alim dan fatwa yang dilahirkan oleh sekumpulan ulama. Yang
disebut pertama adalah produk ijtihad fardi, sementara yang kedua adalah ijtihad jama’I
yang otoritasnya jauh lebih kuat dan mengikat, karena menyerupai ijma’. Ketiga, soal
pernyataan seorang corong liberal bahwa MUI bukanlah wakil resmi dan satu-satunya
kebenaran dalam Islam. Ungkapan ini menyimpan dua kekeliruan sekaligus. Kekeliruan
pertama, sebagaimana diketahui, MUI merupakan wadah musyawarah para ulama,
zu’ama dan cendikiawan Muslim dari berbegai unsure organisasi. “Di MUI kan ada 300
lebih ulama” kata KH Ma’ruf Amin. Jadi cukup representatif dan legitimate. Selain itu,
didirikan 30 tahun lalu (26 Juli 1975 M) MUI sadar betul akan amanah yang dipikulnya,
bahwa apa yang dilahirkannya kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah
SWT, dan karena itu tidak boleh membuat keputusan hukum seenaknya (tahakkum).
Seperti pernah ditegaskan Prof. KH. Ibrahim Hoosen, bagi MUI, mengutamakan akal
daripada wahyu berarti mengingkari wahyu. Kekeliruan lainnya adalah merelativisir
kebenaran dan membenarkan relativisme, menganggap isi fatwa tersebut benar menurut
MUI saja, tidak absolut benar.
KASUS AHMADIYAH
Kasus Ahmadiyah merupakan isu yang cukup ramai dibicarakan juga beberapa waktu
yang lalu. Kita tahu bahwa, Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dibeberapa daerah
seperti di Parung Bogor, di Lombok NTB, di Indramayu Jawa Barat dan sebagainya
mengalami ancaman fisik, tempat ibadah mereka dirusak dan hak-hak mereka untuk
menjalankan keyakinan mereka berada dalam kondisi serius. Selain itu kasus Ahmadiyah
juga terkait dengan fatwa MUI hasil munas ke VII (29/07/2005) yang menyatakannya
sebagai organisasi sesat dan terlarang. Puncaknya, beberapa anggota Jamaah Islamiyah di
Lombok mengajukan suaka politik ke Pemerintah Australia karena merasa tidak
mendapatkan perlindungan dari pemerintah Indonesia.
Atas dasar fenomena di atas, beragam komentar pun muncul, baik yang pro maupun yang
kontra. Melihat kedua isi website, bisa dikatakan bahwa isi islamlib.com kebanyakan
mendukung eksistensi JAI di Indonesia dengan alasan kebebasan beragama. Sementara,
isi hidayatullah.com kebanyan menolak eksistensi mereka dengan alasan fatwa MUI yang
menyatakan mereka sebagai aliran terlarang dan sesat serta dianggap menyimpang dari
ajaran Islam. Dukungan dan penolakan terhadap eksistensi JAI tersebut bisa kita lihat
dalam artikel dibawah ini:
Melalui artikel ini, Ulil mencoba menegaskan bahwa kasus Ahmadiyah bisa menjadi
ujian bagi konstitusi kita. Ulil menyatakan:
…Salah satu pasal penting konstitusi itu adalah perlindungan bagi semua kelompok
untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Pasal tentang jaminan kebebasan
beragama, istilah dalam tradisi Islam adalah salah satu qath’iyat atau dasar pokok yang
pasti dan tidak boleh diganggu gugat. Tanpa pasal seperti ini, runtuhlah seluruh alasan
untuk membangun sebuah negara bernama Indonesia.Kini, konstitusi kita sedang dalam
ujian, terutama pasal yang menyangkut kebebasan beragama. Ujian itu datang dari kasus
Ahmadiyah. ………….Aparat keamanan tampaknya kurang berhasil memberikan
perlindungan kepada mereka (anggota Jamaah Ahmadiyah).
Selain itu, Ulil juga mengkritik pemerintah yang dianggapnya kurang memiliki komitmen
mendalam dalam menangani masalah kebebasan keyakinan. Lanjut Ulil, nada pernyataan
yang diberikan pemerintah selama ini cenderung defensif dan apologetik. Setiap ada
kasus penyerangan atas JAI, pihak keamanan dan pejabat selalu menyatakan, mereka
telah berusaha maksimal, tapi tak kuasa menangkal massa yang anarkhi. Dalam sejumlah
kasus, pihak setempat bahwa secara tak langsung ikut dalam proses persekusi atas JAI,
misalnya ikut menandatangani surat kesepakatan yang diusulkan oleh kelompok (Islam)
tertentu untuk menegaskan kesesatan JAI.
Yang lebih serius lagi, menurut Ulil, adalah pernyataan sejumlah pejabat negara yang
mengaskan masalah Ahmadiyah akan selesai sendiri jika kelompok ini kembali kejalan
yang benar atau mendirikan agama sendiri secara terpisah. Pernyataan ini dianggap amat
serius dan berdampak luas dalam kehidupan sosial keagamaan dimasa mendatang.
Ringkasan kritik Ulil terhadap pernyataan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, negara turut campur dalam menentukan corak keyakinan warganya, sesuatu
yang jelas berlawanan dengan semangat konstitusi yang menjamin kebebasan agama dan
keyakinan.Kedua, seolah-olah masalah Ahmadiyah akan selesai sendiri jika kelompok ini
mendeklarasaikan diri sebagai agama baru, asumsi yang perlu diuji kebenarannya.
Pertanyaan berikut, jika Ahmadiyah menjadi agama sendiri, terpisah dari Islam, apakah
kelompok ini lantas bisa hidup aman dan bebas mendirikan masjid? ………..Ada
kemungkinan jamaah Ahmadiyah akan dilarang memakai symbol-simbol Islam .
Melalui artikel pertama (Ahmadiyah dan Masalah kebenaran), Adian ingin mengkritik
beberapa cendikiawan dan ulama yang menyatakan bahwa manusia tidak berhak
menghakimi keyakinan orang lain, dan memaksakan keyakinannya terhadap orang lain
itu. Mereka mengutip ayat al-Qur’an: “ barangsiapa yang mau silahkan beriman dan siapa
yang tidak mau silahkan kafir”. Jadi biarkanlah orang mengikuti pendapat apa saja, dan
menyebarkan pendapatnya, apa saja jenisnya. Termasuk paham Ahmadiyah yang
mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi SAW.
Sebagai contoh, ungkapan Masdar F Mas’udi, salah satu ketua PBNU yang dikutip harian
Kompas (20/07/2005) menyatakan: “ NU merasa tidak berhak memfatwakan sesat
terhadap para pengikut Ahmadiyah”.
Menurut Adian, ulama seharusnya tidak membuat masalah menjadi kabur dengan
menyatakan hal diatas. Apalagi tugas ulama adalah menunjukkan mana yang salah dan
mana yang benar. Jadi sebagai ulama maka tugas pentingnya adalah menunjuk mana
yang haq dan mana yang bathil, mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar. Sebab amar
ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban penting kaum Muslim. Adian dalam artikel
pertamanya memberi contoh sebagai berikut:
Sebagai contoh, Imam al-Ghazali sama sekali tidak ragu-ragu ketika menyebutkan
tentang kekeliruan sejumlah pemikiran para filosof, seperti pemikiran tentang keabadian
alam. Dalam kitabnya, al-munqidh min al-dhlalal dengan tegas al-Ghazali menyebut
bahwa golongan Dahriyyin, yang tidak mengakui adanya Tuhan dan mengakui bahwa
alam ini ada dengan sendirinya, tidak dicipta oleh suatu pencipta adalah termasuk kafir
Zindiq. Begitu juga golongan thabii yang tidak mengakui adanya sorga, neraka, ganjaran
bagi tindakan ketaatan, dan siksaan bagi pelaku maksiat, dinyatakan al-Ghazali sebagai
golongan kafir zindiq.
Sementara, melalui artikel kedua (Membela Ahmadiyah berdasarkan HAM), Adian ingin
mengkritik para pembela Ahmadiyah yang berlindung dalam HAM untuk membolehkan
aliran sesat. Petikan kritikan Adian adalah sebagai berikut:
Rabu (27/7/2005) lalu, Komnas HAM mengumumkan temuan awalnya bahwa dalam
kasus penyerbuan kampus Mubarak milik Ahmadiyah telah terjadi indikasi pelanggaran
HAM. Seperti kita ketahui para pembela Ahmadiyah bersandarkan dirinya pada konsepsi
HAM bahwa setiap orang bebas memeluk agama apa saja dan menyebarkannya. Masalah
HAM sudah lama menjadi perdebatan panjang dikalangan Muslim. Seyogyanya kaum
Muslim Indonesia juga mempunyai kesepakatan tentang hal ini. Apakah semua pasal
dalam piagam Unuiversal tentang HAM itu dapat diterima umat Islam. Bagi yang
mengimani piagam ini, maka dia akan meletakannya di atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Benar salah diukur dengan kitab suci HAM ini.Dengan kata lain mereka menjadikan teks
HAM lebih tinggi kedudukannya dari teks kitab suci umat Islam.
RUU-APP
Dalam konteks isi kedua website dalam penelitian ini, sudah jelas bahwa isi islamlib.com
menyatakan keberatan terhadap RUU APP sementara isi hidayatullah.com menyatakan
mendukung sepenuhnya RUU APP. Keberatan dan dukungan itu bisa kita lihat dibawah
ini:
RUU APP: Ketegangan Modernisme & Fundamentalisme (Abdul Mukti Rouf, islamlib)
Melalui artikel ini, Abdul Mukti ingin menjelaskan perang opini tentang RUU APP yang
semakin meruncing beberapa waktu yang lalu dan membentuk polarisasi yang tidak pas.
Kelompok pro-RUU APP dituduh sebagai kelompok anti multikulturalisme yang hendak
memaksakan standar moralitasnya terhadap kelompok lain. Sementara yang menolak
RUU APP disangka sebagai kelompok yang abai terhadap moralitas bangsanya sendiri.
Pandangan lebih lanjut dari artikel Abdul Mukti adalah sebagai berikut:
Soalnya kemudian adalah, siapa yang berhak mengatur moralitas warga masyarakat?
Dengan RUU APP, tugas nahi mungkar dibebankan kepada negara. Pertanyaan penting
dan kritis untuk itu adalah, apakah negara berhak mengatur moralitas yang batasannya
absurd itu? Bagi fundamentalisme, ditangani negara atau tidak, kemungkaran diatas bumi
atas dasar prinsip hukumiyat Allah wajib dihaopuskan. Disinilah kaum fundamentalisme,
atas nama menegakkan otoritas Tuhan sering terjebak pada penghakiman yang
menafikkan hak-hak orang lain dan karenanya sering dituduh anti demokrasi.
Melalui artikel ini, Adian ingin mengkritik kelompok Islam liberal yang menolak RUU
APP dengan dalih melanggar wilayah privat. Menurut Adian, logika kaum liberal yang
mendikotomikan antara wilayah privat dan wilayah publik itu sebenarnya logika primitif,
yang dinegara-negara Barat sendiri sudah kadaluwarsa. Sejak lama manusia sudah
paham, bahwa kebebasan individu selalu akan berbenturan dengan kebebasan publik.
Petikan tulisan Adian adalah sebagai berikut:
…..Paham kebebasan atau liberalisme dalam berbagai bidang memang sedang gencar-
gencarnya dicekokkan kepada masyarakat Indonesia. Kaum Muslim Indonesia kini dapat
melihat, begaimana detsruktif dan jahatnya paham ini. Ketika Lia Eden ditangkap, kaum
liberal berteriak memprotes. Ketika Ahmadiyah dinyatakan sebagai paham sesat oleh
MUI, maka merekapun berteriak membela Ahmadiyah. Ketika goyang ngebor Inul
dikecam, mereka pun memaki-maki para ulama sebagai sok-moralis, sok penjaga moral
dan sebagainya. Ketika film buruan cium gue (BCG) dikritik dan dikecam, mereka juga
membela film itu atas nama kreativitas seni. Sekali lagi, menurut mereka, kebebasan
harus dipertahankan. Sekarang, dalam kasus RUU APP, sikap dan posisi kaum liberal pun
tampak jelas, dibarisan mana mereka berdiri: dibarisan al-haq atau al-bathil.
POLIGAMI AA GYM
Bagai petir di siang bolong, banyak orang menjadi terkaget-kaget ketika mereka tiba-tiba
melihat dan mendengar dai kondang Aa Gym kawin lagi alias poligami. Pasalnya,
statemen-statemen Aa Gym dalam setiap pengajian sebelumnya tidak mengindikasikan
keinginannya untuk ber-poligami. Kontan saja jamaahnya terkaget-kaget, terutama para
ibu-ibu yang memang mengidolakan Aa Gym sebagai lelaki shalih. Apalagi Aa menikah
lagi dengan Alfarini Eridani (Rini), seorang janda dan mantan model yang tentu saja
cantik.
Poligami Aa Gym ternyata tak hanya mengundang gejolak sosial, tapi juga membuat
bombardir kiriman SMS ke ponsel Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden
SBY bahkan kemudian secara khusus memanggil Menneg Pemberdayaan Perempuan,
DR Meutia Hatta dan Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi, dan Dirjen Binmas Islam, DR.
Nazzarudin Umar, untuk meminta revisi agar cakupan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
10 tahun 1983 (yang sudah direvisi menjadi PP Nomor 45 tahun 1990 tentang poligami)
diperluas tidak hanya berlaku bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) tetapi juga pada pejabat
negara dan pejabat pemerintah.
Dari situlah kemudian fenomena poligami Aa Gym menimbulkan efek sosial yang
semakin meluas berupa pandangan pro-kontra mengenai poligami di masyarakat.
Fenomena itu juga tak luput dari perhatian website islamlib.com dan hidayatullah.com.
Kalau kita baca beberapa artikel, maka isi website islamlib.com cenderung menolak
poligami sementara sebaliknya, isi hidayatullah.com cenderung mendukung poligami.
Penolakan dan dukungan itu bisa dilihat dalam artikel berikut ini:
Sebagai suami, Rasulullah adalah manusia biasa. Rumah tangganya juga tak lepas dari
rundungan persaingan dan kecemburuan. Demikianlah Bintus Syathi’—nama pena
Aisyah Abdurrahman—mengisahkan sisi manusiawi rumah tangga Rasulullah dalam
bukunya, Nisâ’un Nabî (Istri-Istri Nabi). Aisyah putri Abu Bakar cukup dikenal
pecemburu. Ia kadang tidak puas dengan posisinya sebagai istri terkasih. Saban
Rasulullah membawa istri baru, rasa cemburu selalu saja datang dan menyiksa Aisyah.
Padahal ia telah berkali-kali dipoligami. Alkisah, rombongan Rasulullah baru kembali
dari Khaibar. Mereka mengalahkan suku Yahudi Bani Nadhir. Sebelumnya tersiar kabar
bahwa Rasulullah telah menikahi Shafiyah, putri jelita penguasa Bani Nadhir. Aisyah
menyambut Rasulullah dengan penuh cemburu. Ia mengamati madunya yang singgah di
rumah Haritsah bin Nu’man; rumah yang selalu menjadi titipan bila Rasulullah
mempersunting istri baru. Rasulullah tertawa dengan sikap Asyah. Tapi beliau tak lupa
merayu, “apa yang kau amati, cantik?” Aisyah menjawab ketus: “Aku melihat seorang
perempuan Yahudi!” Rasulullah menyanggah, “Jangan berkata begitu. Ia sudah masuk
Islam, dan akan menjadi muslimah yang baik.” Aisyah tak peduli. Ia bergegas
pergi.Shafiyah lalu menjadi bulan-bulanan istri-istri Nabi lainnya yang juga cemburu. Ia
sering diejek “perempuan Yahudi”. Suatu hari, Shafiyah ikut serta dalam safari
Rasulullah bersama istrinya yang lain: Zainab putri Jahsy. Di tengah perjalanan, unta
Shafiyah cidera. Rasulullah membujuk Zainab agar berbagi punggung unta dengan
Shafiyah. Zainab menolak sambil berkata, “aku harus berbagi dengan perempuan Yahudi
itu?” Rasulullah murka. Konon, beliau tidak mendatangi Zainab dua-tiga bulan. Di zaman
Rasulullah, istrinya yang tak pernah cemburu dan rela berbagi dengan yang lain adalah
Saudah. Ia berbadan gemuk, memang tidak cantik, dan hampir saja ditalak. Untuk itu, ia
sering merelakan giliran malamnya buat Aisyah. Kecemburuan dan persaingan memang
sangat nyata dalam keluarga yang berpoligami. Agama tak akan sanggup menafikannya.
Keluarga akan tumbuh kurang sehat, penuh kecurigaan, dan tak jarang menimbulkan
pertengkaran. Demi melihat kenyataan itu, Qasim Amien, pemikir feminis terkenal dari
Mesir, sudah mengingatkan bahaya budaya poligami bagi masyarakat. Bagi Qasim—
seperti yang ia tulis dalam buku Tahrîrul Mar’ah—poligami adalah pelecehan bagi
perempuan. Alasannya bukan dalil agama, tapi kodrat manusia. Bagi Qasim, “tak ada
isteri yang rela bila ada perempuan lain ikut menyintai suaminya. Sama tak relanya
seorang suami bila ada laki-laki lain yang ikut menyintai istrinya. Cinta adalah kodrat,
baik bagi laki-laki maupun perempuan.”
Seperti yang dikatakan Aa Gym, poligami sudah sangat dikelirukan maknanya. Yang
melakukan misleading atas makna poligami itu termasuk di antaranya pemerintah, para
pemimpin negara, tokoh masyarakat, aktivis perempuan, dan media massa. Poligami
telah dipotret sebagai kejahatan dan kekerasan pada perempuan dan anak-anak.Alih-alih
mendengarkan penjelasan Aa Gym dan Teh Ninih, istrinya, masyarakat lebih suka
mendengarkan sumber-sumber yang tidak layak bicara. Bagaimana kita percaya
pandangan Farhat Abbas tentang poligami? Dia sendiri suami yang gemar
mempermainkan perempuan dan membohongi istrinya.Juga, mengapa mendengarkan
Sandy Harun yang tak setuju poligami atau berbagi suami? Look who’s talking. Dia
adalah "the other woman", yang kemudian dinikahi. Dalam status sebagai istri Djodi, dia
berhubungan dan punya anak dengan Tommy Soeharto. Dalam kata lain, Sandy adalah
pelaku poliandri, sebuah tindakan melanggar hukum. Orang seperti itu akan kita dengar
pendapatnya?Kekecewaan masyarakat yang luar biasa kepada Aa Gym sebetulnya dipicu
oleh pemujaan berlebihan pada sosok kiai muda itu. Ibu-ibu membanjiri pengajiannya
dan rela antre berbulan-bulan hanya untuk bisa mengunjungi pesantrennya di Bandung.
Aa dipandang sebagai dewa. Ketika Aa melakukan hal yang manusiawi (bersifat
manusia), masyarakat terkejut dan patah hati. Kebanyakan orang kecewa karena Aa
sering mendengung-dengungkan konsep keluarga sakinah. "Sakinah apaan, bohong
besar," kata sementara orang. Apakah keluarga sakinah tak dapat tercapai dengan
tindakan Aa menikah lagi? Apakah keluarga sakinah tidak mungkin dialami keluarga
poligami? Saya melihat keluarga poligami Aa Gym lebih sakinah daripada banyak
keluarga nonpoligami.Pembelokan (bila bukan pemelintiran) makna poligami -dari
sebuah solusi menjadi tindak kejahatan- itu hanya skala kecil upaya pemerintah untuk
menutupi amburadulnya pengelolaan negara belakangan ini. Ketua DPR
menyalahgunakan voucher pendidikan, anggota DPR terlibat skandal seks yang videonya
merebak ke seluruh msayarakat, lumpur Sidoarjo tak tertangani, angka kemiskinan
meningkat, rakyat tak punya bahan bakar untuk memasak, BUMN yang terus merugi atau
kalau untung dijual.Kekeliruan masyarakat terjadi ketika mereka selalu membenarkan
persepsinya sendiri. Di antaranya, dengan kalimat "Mana ada perempuan mau dimadu."
Kenyataannya, banyak peremuan bersedia dimadu. Lalu, "Ya, tapi mereka pasti tertekan
dan menderita." Lagi-lagi, sebuah upaya pembenaran antipoligami.Perempuan lain boleh
pura-pura atau acting. Namun, kita tak dapat menuduh Teh Ninih hipokret, bukan? Dia
dengan wajah bersinar menyatakan ikhlas dan rida suaminya menikah lagi. Bahkan,
mimik, gesture, dan body language Ninih dan Aa selama jumpa pers menunjukkan bahwa
mereka masih saling (bahkan lebih) mencintai. Saya percaya mereka telah mendapatkan
hikmah. Masyarakat tak mau menerima kenyataan itu. Mereka menolak fakta kebenaran.
Bukan Aa dan Ninih yang hipokret, melainkan kita sendiri.Poligami bukan anjuran,
apalagi kewajiban. Seperti kata Aa, "Jangan menggampangkan." Aa tentu saja sah
berpoligami karena dia bukan PNS, dia mampu, dan memiliki ilmu serta potensi untuk
berbuat adil. Banyak laki-laki tak bertanggung jawab bersembunyi di balik UU
Perkawinan yang melarang poligami dan meneruskan tindakan bejatnya mempermainkan
perempuan tanpa status perkawinan sah.Poligami yang baik dilakukan dengan cara
kesepatakan suami istri, kompromi, atau persuasi. Setiawan Djodi berhasil mempersuasi
istrinya untuk menerima kehadiran Sandy Harun. Ray Sahetapy gagal karena Dewi Yull
memilih bercerai.Sebagai perempuan muslim, kita boleh stay on atau quit dalam
perkawinan poligami. Alasan quit jelas: enggan berbagi. Alasan stay on: mencintai suami
dan tak ingin kehilangan atau tak berdaya secara ekonomi dan sosial. Kesalahan
perjuangan para aktivis perempuan adalah lebih menghormati PSK dan perempuan
simpanan yang independen daripada mereka yang mau jadi istri kedua. Para istri pertama
yang ikhlas, yang seharusnya mendapat apresiasi dari kita, malah didudukkan sebagai
korban yang perlu dikasihani.
KEBRUTALAN ISRAEL
Dari semua respon terhadap isu-isu aktual, pada respon isu kebrutalan Israel terutama
dalam perang dengan Libanon dan palestina inilah terdapat titik temu antara isi
islamlib.com dan hidayatullah.com. Intinya, mereka sama-sama tidak mendukung
penyerbuan tentara Israel ke Libanon dan Palestina, meski dengan alasan yang berbeda-
beda.
Sama-sama tidak mendukung, tetapi dengan alasan yang berbeda-beda dapat kita lihat
dalam artikel berikut ini:
Ini adalah artikel Ulil terkait kebrutalan Israel dalam perang Libanon dan palestina di
Timur Tengah. Meskipun inti artikel ini, sebenarnya Ulil ingin menyoroti ketidak adilan
Amerika dalam konflik Israel-Libanon dan Konflik Israel-Palestina karena terlalu ”pilih
kasih” terhadap Israel, tapi ia sekaligus juga mengecam tindakan Israel dalam konflik
tersebut. Begini petikan artikelnya:
Saya sesak napas mendengar argumen Presiden Bush bahwa Israel punya hak untuk
mempertahankan diri dari serangan Hezbollah. Ada beberapa catatan kritis untuk
pernyataan Presiden Bush ini. Pertama, statemen itu seolah-olah mengandaikan bahwa
Israel adalah negeri lemah yang terancam oleh negeri-negeri kuat di sekitarnya. Kita
semua tahu, kekuatan militer Israel, plus dengan arsenal nuklir yang dimilikinya sekarang
(dan tak pernah dipersoalkan oleh Amerika atau negeri-negeri Barat yang lain), tidak
mungkin dikalahkan oleh seluruh negara Arab saat ini. Seluruh perang Arab-Israel selama
ini selalu dimenangkan oleh Israel. Seluruh diplomasi tentang konflik Palestina-Israel,
entah dalam forum PBB atau forum-forum lain, selalu menguntungkan Israel. Pihak
pecundang selalu adalah bangsa Palestina dan Arab. And with all this in mind, how could
the President say that Israel has a right to defend itself as if Israel is at the losing end in
the race?Kedua, kalau Israel sebagai "super power" di Timur Tengah mempunyai hak
untuk membela diri, bagaimana dengan bangsa Palestina yang lemah? Statemen Presiden
Bush itu seolah-olah hendak mengatakan bahwa kita harus memahami tindakan "brutal"
Israel, sebab negara ini sedang dalam posisi diserang. Jika logika ini dipakai, maka
mestinya logika serupa harus dipakai untuk memahami tindakan bangsa Palestina yang
selama ini secara tidak adil disebut sebagai "terorisme". Kalau negeri Anda dicuri dan
diduduki bangsa lain, dan anda tidak punya kekuatan untuk melawan, apakah Anda harus
diam? Jika Israel yang mempunyai kekuatan militer luar biasa boleh melakukan serangan
brutal ke sebuah negaara (baca: Lebanon) hanya karena dua tentaranya diculik oleh
kekuatan kecil seperti Hezbollah, kenapa bangsa Palestina yang tanahnya dirampas oleh
Israel tidak mempunyai hak serupa? Apakah keadilan hanya milik Israel? Bukankah
metode yang disebut "terorisme" yang dipakai oleh bangsa Palestina dalam dua intifadah
juga pernah dipakai oleh orang-orang Yahudi menjelang berdirinya negara Israel di
1948?………………
Melalui artikel ini, Adian ingin menegaskan bagaimana brutalnya Israel dan menyatakan
bagaimana kaum Muslim seharusnya menyikapi kebrutalan tersebut. Begini petikan
artikelnya:
Hari-hari ini, kaum Muslim seluruh dunia menyaksikan kebrutalan yang membabi buta
kaum Zionis terhadap kaum Muslim di Palestina dan Lebanon. Setiap hari, jet-jet tempur
beserta tank-tank Israel membunuhi warga Muslim. Dunia mengutuk serangan Israel itu.
Tetapi, semuanya tidak berdaya, tidak mampu mencegah kebrutalan Israel. Padahal, dari
segi hukum internasional, aksi sepihak Israel yang menyerbu Lebanon jelas-jelas tidak
dibenarkan. Tetapi, kaum Zionis Israel tidak mempedulikan hal itu. Mereka merasa lebih
kuat, dan menganggap remeh protes dunia Islam terhadap kebrutalan mereka. Pada akhir
Juli 2006, Israel bahkan menyerang tempat pengungsian penduduk sipil di Desa Qana,
sehingga membunuh lebih dari 60 warga Lebanon –37 diantaranya adalah anak-anak.
Seketika itu kemudian dunia mengecam Israel. Tetapi, tetap saja, hal itu tidak mampu
menghentikan kebiadaban kaum Zionis Israel. Umat Islam dan dunia Islam, sejauh ini,
hanya mampu melakukan protes, menangis, mengeluarkan resolusi dan kutukan demi
kutukan. Tetapi, tidak ada yang digubris oleh Israel. Sepertinya, Israel sudah hafal
langgamkaum Muslim. Jika dibantai atau dipecundani, kaum Muslim akan marah dan
melakukan aksi demontrasi. Setelah itu, lama-lama lupa pada masalahnya, lalu diam.
Megapa umat Islam begitu mudah untuk diperdaya dan dipecundangi ? Tidak adakah
kemuliaan bagi kaum Muslimin? Padahal, dalam Al-Quran, Allah SWT menjamin :
“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, karena kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS
Ali Imran: 139).
BAB 6
MASA DEPAN ISLAMLIB VS HIDAYATULLAH
(Sebuah Refleksi Penutup)
Idealnya, diruang publik media seharusnya bisa menjadi katalisator dalam menyelesaikan
segala pertikaian antar dan intra umat beragama. Faktanya, media justru bukanlah saluran
yang bebas dari kepentingan tertentu. Ia adalah subyek yang mengkonstruksi realitas,
lengkap dengan pandangannya subyektifnya, biasnya dan pemihakannya. Disamping itu,
dalam pandangan kritis, media dapat dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideology
antar kelompok. Hanya kelompok berideologi dominanlah yang akan tampil dalam
pemberitaan dan menguasai media. Disini distorsi, mis-representasi, mis-komunikasi, dan
mis-interpretasi dalam pemberitaan dalam pemberitaan menjadi tak terhindarkan,
termasuk pemberitaan yang mencitrakan Islam sesuai dengan “cita rasa” masing-masing
media.
Kami, peneliti, memberi penekanan pada latar belakang islamlib.com ketika melihat
kejumudan, keterbelakangan, taqlid buta dan kemiskinan dikalangan umat Islam. Dengan
latar belakang seperti itu, maka ke-6 ciri-ciri liberal Islam kemudian mereka
propagandakan sebagai satu alternatif yang harus dikembangkan internal umat Islam,
bahkan dengan berdialog dan bekerja sama dengan pihak Barat dan non-Muslim agar
umat Islam bisa segera keluar dari situasi dan kondisi buruk yang sedang menimpa
mereka saat ini. Di sini jargon-jargon rasionalisme, liberalisme, pluralisme, modernisme,
ijtihad tanpa henti, progresivisme menjadi semangat mereka mencapai tujuan tersebut.
Sementara itu, penekanan pada latar belakang hidayatullah.com terletak pada bagaimana
mereka menyadari betul bahwa kejumudan, keterbelakangan, dan kemiskinan yang
menimpa dunia Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme dan
kolonialisme Barat atas dunia Islam. Sedemikian rupa sehingga bahkan dunia pemikiran
Islam, mereka anggap, juga telah kerasukan mind-set Barat. Oleh karenanya, apa yang
ingin diperjuangkan hidayatullah adalah mewujudkan kembali kejayaan Islam seperti di
masa lampau yang telah direbut dan dicuri dunia Barat. Caranya tentu saja, selain dengan
melawan transformasi dan intervensi pihak Barat ke dunia Islam, baik berupa fisik
maupun non-fisik, serta menjaga kemurnian aqidah Islam agar tidak terkotori oleh ide-ide
Barat. Oleh karena itu jargon-jargon seperti tegakkan (syariat) Islam di bumi Indonesia,
anti sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) sebagai virus Barat yang ingin
menjangkiti dunia Islam, jihad fi sabilillah, menjaga kesucian dan kemurnian Islam dan
sebagainya menjadi semangat mereka dalam mencapai tujuannya.
Latar belakang tersebut sebenarnya berakar pada masalah yang sama yakni; kemunduran,
kejumudan, keterbelakangan, kebodohan , kemiskinan dan sebagainya yang menimpa
kalangan umat Islam sekarang. Akan tetapi, didalam semangat yang berbeda terkait
ideology dan strategi perjuangan mereka, tujuan dan kepentingan merekapun, bahkan,
menjadi bertentangan satu sama lain. Dan hal ini mereka refleksikan dalam konteks
perang pemikiran di ruang publik, melalui media internet mereka, islamlib.com dan
hidayatullah.com.
Sebenarnya, sebuah perangpun tidak harus selalu bermakna negatif, termasuk perang
pemikiran. Ia sangat mungkin menjadi hal positif bagi perkembangan pemikiran Islam di
Indonesia. Dalam banyak teori sosial tentang konflik, konflik apapun termasuk
pemikiran, justru sebenarnya bisa menyehatkan masyarakat. Perang pemikiran seperti
terlihat dalam isi website islamlib.com dan hidayatullah.com justru bisa menjadi
semacam cermin yang menyadarkan masyarakat untuk berpikir, tentang pilihan-pilihan
terkait kecenderungan pemikiran Islam yang akan mereka pilih, apakah model islamlib,
model hidayatullah atau bahkan model yang lain diluar keduanya. Perang pemikiran ini
dengan demikian bisa menjadi semacam proses rasionalisasi ruang publik bagi umat
Islam itu sendiri.
Perang pemikiran bisa menjadikan kedua kelompok dibelakangnya (JIL dan Yayasan
Hidayatullah) saling tahu isi dari ide dan gagasan masing-masing yang ada diwebsite
“lawan” mereka. Demikian juga masyarakat yang mengikuti fenomena “perang
pemikiran” tersebut, jika mereka terbuka, akan semakin tercerahkan dan semakin
mengerti pemikiran Islam versi kedua website tersebut sehingga bisa saling
membandingkan dan bila mampu, mensintesakan keduanya. Kami percaya dengan bunyi
pepatah Arab yang mengatakan bahwa orang-orang cenderung menentang terkadang
disebabkan karena ketidaktahuan mereka (al-nas a’da ma jahilu). Dan juga kami rasa
benar adanya bahwa masyarakat bisa mengambil hikmah dari mana saja, dari hal yang
mereka setujui maupun yang mereka tolak (khudz al-hikmah wa law min ayyin syai’in
kharajat).
Lantas, terkait keberadaan islamlib dan hidayatullah kitapun bertanya; bagaimana realitas
yang sesungguhnya dari respon umat Islam Indonesia? Apakah benar sesuai yang
digambarkan dalam kedua website tersebut, yang justru saling bertentangan ? mana yang
lebih sesuai? Dan bagaimana masa depan mereka?
Dalam banyak teori komunikasi massa, kita temukan bahwa media memang secara tak
terelakkan menjadi faktor yang sangat penting bagi pembentukan image, citra maupun
stigma. Dari medialah masyarakat memperoleh informasi mengenai realitas yang tengah
berlangsung di tempat tertentu. Sementara, realitas yang dihadirkan media ke hadapan
kita belum tentu realitas yang sesungguhnya, tetapi realitas yang sudah dibentuk,
dibingkai, dan dipoles sedemikian rupa oleh media tersebut. Melalui analisis framing kita
tahu betapa secara diam-diam media mendikte otak kita mengenai “realitas” tanpa kita
sadari. Konsep framing (pembingkaian) sering digunakan oleh media untuk
menggambarkan sebuah peristiwa dengan menonjolkan aspek tertentu dan sekaligus
menempatkan informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapat alokasi
dan perhatian yang lebih besar ketimbang isu yang lain. Dalam praktiknya, framing
dijalankan media dengan menyeleksi isu tertentu sambil mengabaikan isu yang lain;
menonjolkan aspek tertentu dari isu tersebut sambil menyembunyikan dan bahkan
membuang aspek yang lain. Ini dilakukan mulai dari proses perencanaan, pengumpulan
data lapangan, verifikasi dan seleksi data, penyajian dalam bentuk berita, hingga
penempatannya di sebuah rubrik tertentu.
Berkaca dari isi website islamlib.com dan hidayatullah.com, jelas terlihat bahwa mereka
memang merefleksikan kecenderungan yang berbeda dari pemikiran Islam di Indonesia.
Sayangnya, bisa dikatakan bahwa keduanya berada dalam titik ekstrem pemikiran Islam
yang sebenarnya hanya menggambarkan pilihan-pilihan alternatif saja dari mainstream
pemikiran umat Islam yang ada. Pada titik ini, islamlib.com berada pada titik ekstrem
liberal-progresivisme, sementara hidayatullah.com pada titik ekstrem literal-
konservatisme. Dengan demikian, kita tidak serta merta mengambil kesimpulan bahwa,
secara umum, realitas sosial umat Islam, hanya terpecah menjadi dua. Lebih dari itu
kelompok “poros tengah” dan kelompok “poros luar” sebagai swing voter yang mungkin
tidak stand for pemikiran mereka, justru jauh lebih banyak, terutama kelompok “poros
tengah” yang tidak ekstrim kanan-maupun-kiri.
Sayangnya, kelompok ini memang tidak secara tegas mengetengahkan pemikiran Islam
mereka diruang publik. Yang ada mereka justru cenderung concern dengan kerja-kerja
praksis yang berorientasi pragmatis, bahkan terkadang politis dan ekonomis. Kelompok
ini, kami maksudkan, adalah NU dan Muhammadiyah. Kecenderungan elit mereka
terhadap pragmatisme beragama (baik yang bersifat politis maupun ekonomis), misalnya
memanfaatkan jabatan di organisasi Islam itu untuk memperkaya diri ataupun batu
loncatan pada jabatan politik tertentu, pada gilirannya akan semakin memperkuat tarik-
menarik Islam ekstrim-kiri-kanan seperti islamlib.com dan hidayatullah.com. Di masa
depan, dengan demikian, meskipun tentu dalam bentuk yang berbeda, ekstrim liberal-
progresivisme dan literal-konservatisme akan semakin membesar, jika kelompok
mainstream Islam seperti NU dan Muhammadiyah masih mengeluarkan wajah politis dan
ekonomisnya.
END NOTES
Dosen Departemen Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina, Jakarta.
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina, Jakarta.
Pembahasan mengenai kekuatan Islam pada masa sebelum dan sesudah Orde Baru lihat
Aminuddin, 1999, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan
Sesudah Runtuhnya Rezim Suharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lihat Muhsin Jamil, 2005, Membongkar Mitos Menegakkan Nalar: Pergulatan Islam
liberal versus Islam literal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 9-10
Pasal 28 F tersebut berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Penjelasan lebih lanjut baca Bassam Tibi, 2001, Islam Between Culture and Politics, New
York: Palgrave.
Muis Naharong, 2005, Fundamentalisme Islam, dalam Jurnal Universitas Paramadina,
Vol. 4, No. 1, Juli 2005, hal 40-41.
Lihat Akhmad Muzakki, 2003, Perseteruan Dua Kutub Pemikiran Islam Indonesia
kontemporer: JIL dan Media Dakwah, dalam Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1
September 2003
Charles Kruzman, 2001, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam tentang Isu-Isu Global,
Jakarta: Paramadina.
Muhsin Jamil, 2005, op.cit, hal. 95--96
Martyn E Marty, tanpa tahun, What is Fundamentalism? Theological Perspective, dalam
Kung & Moltman (eds), Fundamentalism, 3-13
Luthfi Assyaukanie (ed), 2002, Wajah Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Jaringan Islam
Liberal.
www.islamlib.com
Asrori S Karni, 2003, Senandung Liberasi Berirama Ancaman Mati, dalam Majalah
Gatra, Edisi 6 Desember 2003.
Luthfi Assyaukanie adalah alumni Fakultas Syariah, Jordan University di Amman,
Yordania dan kemudian melanjutkan studi master-nya di International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC)- IIUM, Malaysia. Selanjutnya setelah selama beberapa
waktu menjadi pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, Luthfi melanjutkan studi
doctoral-nya di Melbourne Institue for Asian Language and Society (MIALS), the
University of Melbourne, Australia.
Transkripsi hasil diskusi on-line ini telah dimuat dalam Luthfi Assyaukanie, op.cit, hal.
199-231.
Untuk info lengkap tentang sejarah awal pendirian JIL lihat Nicolaus Teguh Budi
Harjanto, 2003, Islam and Liberalism in Contemporary Indonesia: The Political Ideas of
Jaringan Islam Liberal (The Liberal Islam Network), thesis MA yang tidak
dipublikasikan, Ohio, Faculty of the College of Arts and Science, Ohio University.
Info lebih lengkap bisa dilihat di www.islamlib.com
Lihat di www.islamlib.com