You are on page 1of 109

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGEMBANGAN SUMBER

DAYA MANUSIA

BAHAN DIKLAT UJIAN PENYESUAIAN PANGKAT V

ETIKA BIROKRASI

DISUSUN OLEH:
RUDOLF HUTAURUK, SE, MBA

JAKARTA

2009

BAHAN DIKLAT UJIAN PENYESUAIAN KENAIKAN PANGKAT V

Modul 1 - 2

MATERI POKOK ETIKA BIROKRASI

OLEH

TIM PUSDIKLAT PEGAWAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEGAWAI JAKARTA 2009

KATA PENGANTAR KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

Berdasarkan Surat Tugas Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Departemen Keuangan Republik Indonesia Nomor ST-91F/PP.2/2008 tanggal 28 Agustus 2008, Sdr. Rudolf Hutauruk, S.E., M.B.A., ditugaskan sebagai penyusun Etika Birokrasi Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat Tingkat V sehingga sesuai dengan perkembangan peraturan perundangundangan yang berlaku. Modul ini adalah merupakan perbaikan dari Modul yang sebelumnya dengan judul yang sama dalam rangka mengakomodasi perkembangan materi Etika Birokrasi. Penunjukan ini sangat beralasan karena yang bersangkutan ditugaskan mengajar dan mengasuh mata pelajaran ini. Pengalaman mengajar yang cukup lama memungkinkan yang bersangkutan memilih materi yang diharapkan memenuhi kebutuhan belajar bagi peserta Diklat Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat Tingkat V. Modul Etika Birokrasi ini pembahasannya disusun dalam 2 (dua) modul yang merupakan kesatuan, yaitu: Modul 1: Etika dan Birokrasi Organisasi Pemerintah; Modul 2: Etika Pegawai Negeri Sipil dalam Pelaksanaan Tugas

Kami menyetujui modul ini digunakan sebagai bahan ajar bagi peserta Diklat Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat Tingkat V, namun mengingat Organisasi Departemen Keuangan sebagai bahan studi senantiasa berkembang, penyempurnaan modul perlu selalu diupayakan agar tetap memenuhi kriteria kemutakhiran dan kualitas. Pada kesempatan ini, kami mengharapkan kepada para pembaca (termasuk peserta Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat Tingkat V) agar bersedia memberikan saran atau kritik demi penyempurnaan modul ini. Setiap saran dan kritik yang membangun akan sangat dihargai. Atas perhatian dan peran semua pihak, kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, Februari 2009 Kepala Pusat ttd. Tony Rooswiyanto NIP 060064640

Tinjauan Umum Mata Pelajaran


Dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan tujuan nasional yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, maka telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kemudian, untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui proses transformasi budaya dan perilaku pemerintahan, maka telah ditetapkan pula Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang mengamanatkan agar aparatur pemerintahan memiliki sikap kepedulian yang tinggi dalam melayani masyarakat. Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 disebut bahwa salah satu prinsip dalam kepemerintahan yang baik adalah menerapkan dan mengembangkan pelayanan prima. Pada dasarnya dalam kepemerintahan yang baik, pemerintah bertugas untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang dalam praktiknya hal ini dilaksanakan melalui aparatur pemerintah, yakni Pegawai Negeri Sipil yang bekerja dalam birokrasi pemerintah. Agar birokrasi pemerintah dapat berjalan sebagaimana diharapkan, maka diperlukan adanya etika birokrasi; yang berfungsi mengatur sikap dan perilaku Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya, dan sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan Pegawai Negeri Sipil terhadap masyarakat (sebagaimana dimaksudkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik). Pegawai Negeri Sipil yang hanya memiliki keahlian dan keterampilan dalam bidang tugasnya tanpa didukung dengan sikap dan perilaku yang baik, cenderung akan memberikan pelayanan yang tidak jujur, tidak ikhlas, dan diskriminatif. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan Pegawai Negeri Sipil dalam birokrasi pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan yang terbaik, adil, dan merata, maka melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil ditegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diharapkan masyarakat adalah Pegawai Negeri Sipil yang memiliki keahlian dan keterampilan dalam bidang tugasnya, serta didukung sikap dan perilaku yang baik sesuai dengan kode etik Pegawai Negeri Sipil.

Pemahaman atas materi Etika Birokrasi mutlak diperlukan oleh peserta diklat (sebagai Pegawai Negeri Sipil yang bekerja dalam birokrasi pemerintah) sebagai sarana yang berperan untuk mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang mampu memberikan pelayanan dalam;

penyelenggaraan negara, pemerintahan, dan pembangunan secara; profesional, jujur, adil, merata, dan tidak diskriminatif. Berdasarkan pemahaman tersebut dan disertai dengan pengamalan kode etik Pegawai Negeri Sipil (sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Jiwa Korps dan Kode Etik PNS), maka diharapkan akan terwujud profil Pegawai Negeri Sipil yang benar-benar diharapkan dan diidam-idamkan oleh masyarakat. Untuk memudahkan dalam mempelajari bahan ajar Etika Birokrasi ini, maka pembahasannya disusun dalam dua modul yang dipelajari secara berurutan, sebagai berikut: a. Modul I: ETIKA DAN BIROKRASI ORGANISASI PEMERINTAH Membahas tentang definisi, prinsip, teori-teori, dan pembagian etika, pengertian tentang moral (yang mencakup kesadaran moral, kaedah dasar moral, keberanian moral, nilai moral), serta tentang etos dan etiket, termasuk persamaan dan perbedaan antara etika dengan etiket. Di dalam modul I ini dijelaskan juga pengertian tentang birokrasi dan organisasi Pemerintah. b. Modul II: ETIKA PNS DALAM PELAKSANAAN TUGAS Membahas tentang etika, nilai-nilai dasar, prinsip-prinsip moral yang perlu dihayati, pelaksanaan etika, dan penegakan kode etik Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam Modul II ini diuraikan juga peranan etika dalam peningkatan kualitas PNS, dan peranan etika dalam meningkatkan kualitas pelayanan PNS kepada publik.

MODUL I
ETIKA DAN BIROKRASI ORGANISASI PEMERINTAH

MATERI POKOK: ETIKA BIROKRASI

UJIAN PENYESUAIAN KENAIKAN PANGKAT V


OLEH

TIM PUSDIKLAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEGAWAI JAKARTA 2009

DAFTAR ISI MODUL I


ETIKA DAN BIROKRASI ORGANISASI PEMERINTAH

KATA PENGANTAR .................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................. 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1.1. Deskripsi Singkat ................................................................... 1.2. Tujuan Pembelajaran Umum ................................................... 1.3. Tujuan Pembelajaran Khusus ................................................. 2. Kb 1: ETIKA, MORAL, ETOS, DAN ETIKET .................................. 2.1. Uraian dan contoh ................................................................... 2.2. Etika ...................................................................................... 2.3. Beberapa pengertian yang berkaitan dengan moral ................. 2.4. Etos......................................................................................... 2.5. Etiket ...................................................................................... 2.6. Rangkuman ............................................................................ 2.7. Latihan 1 ................................................................................. Kb 2: ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH ..................................... 3.1. Uraian dan Contoh .................................................................. 3.2. Pentingnya etika dalam organisasi .......................................... 3.3 Perwujudan etika organisasi ................................................... 3.4 Rangkuman ............................................................................ 3.5 Latihan 2 ................................................................................ Kb 3: ETIKA BIROKRASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN ...................................................................... 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8. 4.9. 5. Uraian dan contoh ................................................................... Pengertian tentang birokrasi .................................................... Ciri-ciri pokok birokrasi ......................................................... Asas-azas umum birokrasi pemerintahan yang baik ................ Asas-azas umum penyelenggaraan negara .............................. Tugas birokrasi ...................................................................... Etika birokrasi memperlancar pelayanan kepada masyarakat .. Rangkuman ............................................................................ Latihan 3 ................................................................................

i ii 1 1 1 1 3 3 3 14 16 17 18 19 20 20 20 22 25 26

3.

4.

27 27 27 27 28 30 31 33 35 36 37

TES FORMATIF .................................................................................. ii

6. 7. 8.

KUNCI TES FORMATIF ...................................................................... UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT ........................................... DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................

39 40 41

iii

MODUL I ETIKA DAN BIROKRASI ORGANISASI PEMERINTAH


1. PENDAHULUAN 1.1. Deskripsi singkat Modul 1 membahas tentang definisi/pengertian etika dan birokrasi organisasi pemerintah, yang mencakup pengertian tentang Etika, Moral, Etos, dan Etiket, serta birokrasi organisasi pemerintah, yang dituangkan dalam tiga kegiatan belajar (Kb) sebagai berikut: (Kb 1) Etika, moral, etos, dan etiket, (Kb 2) Birokrasi organisasi pemerintah, (Kb 3) Etika Birokrasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Pada kegiatan belajar 1 akan disampaikan pengertian tentang etika, prinsip etika, teori-teori etika, dan pembagian etika. Dilanjutkan dengan pengertian-pengertian tentang moral, kesadaran moral, kaedah dasar moral, keberanian moral, nilai moral, serta terakhir tentang etos dan etiket, (termasuk persamaan dan perbedaan antara etika dengan etiket). Dalam kegiatan belajar 2 akan dijelaskan tentang alasan pentingnya etika dalam organisasi, dan cara-cara mewujudkan etika organisasi, pengertian umum tentang birokrasi dan organisasi pemerintahan, sedangkan pada kegiatan belajar 3 akan diuraikan hal-hal, seperti: pengertian umum tentang birokrasi, ciri-ciri pokok birokrasi, azas-azas umum birokrasi pemerintahan yang baik, azas-azas umum penyelenggaraan negara, tugas birokrasi, dan etika birokrasi yang dapat memperlancar pelayanan kepada masyarakat. 1.2. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah mempelajari modul ini, peserta diklat diharapkan mampu memahami pengertian tentang: etika, moral, etos, dan etiket; alasan-alasan pentingnya etika dalam organisasi pemerintah; cara mewujudkan etika birokrasi; birokrasi pemerintahan berikut ciri-cirinya; azas-azas umum penyelenggaraan negaras; serta manfaat etika birokrasi dalam memperlancar pelayanan kepada masyarakat. 1.3. Tujuan Pembelajaran Khusus Setelah mempelajari modul ini peserta diklat dapat: a. Menjelaskan pengertian tentang etika, moral, etos, dan etiket, 1

b. Menguraikan prinsip-prinsip, teori-teori, pembagian etika, dan macammacam etika, c. Menjelaskan pengertian tentang moral, kesadaran moral, kaedah dasar moral, keberanian moral, dan nilai moral, d. Menguraikan pengertian tentang moralitas, dan norma/kaedah dalam hubungannya dengan moral, e. Menjelaskan pengertian tentang etos, etiket, termasuk persamaan dan perbedaan antara etika dengan etiket, serta perbedaan etika dengan moral, f. Menjelaskan tentang alasan pentingya etika birokrasi dalam suatu organisasi, g. Menguraikan syarat-syarat perwujudan etika birokrasi, h. Menjelaskan pemerintahan, i. Menjelaskan azas-azas umum pemerintahan yang baik, dan azas-azas penyelenggaraan Negara, j. Menjelaskan manfaat etika birokrasi dalam memperlancar pelayanan kepada masyarakat. pengertian umum tentang birokrasi dan organisasi

2. Kegiatan Belajar 1

ETIKA, MORAL, ETOS, DAN ETIKET


2.1. Uraian dan contoh Etika memiliki arti secara harfiah sebagai adat-istiadat atau kebiasaan hidup yang dianggap baik oleh kalangan masyarakat tertentu. Jika ditinjau dari sudut bahasa,maka etika itu dapat diartikan sebagai berikut; Ethos (Yunani), atau sama dengan watak kesusilaan atau adat, Mores (Latin), atau sama dengan cara hidup atau adat, Susila (Sansekerta), atau aturan hidup yang lebih baik, Akhlak (Arab), atau budi pekerti, atau kelakuan.

Terkait dengan pengertian etika sebagai ethos, maka etika dapat dikatakan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan adat istiadat atau kebiasaan hidup yang dianggap baik oleh kalangan masyarakat tertentu. Ada juga yang mengartikan etika itu sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya (Bertens:2004). Contoh: seorang bapak (kepala keluarga) membelanjakan gaji bulanannya terlebih dahulu untuk keperluan hobinya (memelihara burung atau lebih jelek lagi main judi) kemudian apabila masih ada sisa baru diserahkan kepada keluarga. Ditinjau dari segi moral, perbuatan tersebut tidak pantas, tidak etis atau immoral karena sebagai kepala keluarga, bapak tersebut mempunyai kewajiban untuk mengutamakan istri dan anak-anak di atas kebutuhannya pribadi. 2.2. Etika a. Definisi etika 1. William Lilie (1957:1-2), dalam Sonny Keraf (2003) Etika adalah ilmu pengetahuan normatif yang bertugas memberikan pertimbangan terhadap perilaku manusia dalam masyarakat tentang baik atau buruk, benar atau salah). The normative science of the conduct of human being living in societies is a science which judge this conduct to be right or wrong, to be good or bad, or in some similar way. 3

2. William Frankena (1973:5-6), dalam Sonny Keraf (2003) Etika sebagai cabang dari filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran kefilsafatan tentang moralitas, masalah moral, dan pertimbangan moral. Ethics is a branch of philosophy; it is a moral philosophy or philosophical thinking about morality, moral problems, and moral judgments. 3. Encyclopaedia Britannica (1972:752), dalam Sonny Keraf (2003) Etika juga disebut filsafat moral, yaitu studi yang sistematis tentang sifat dasar dari konsep-konsep nilai; baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya, dan merupakan prinsip-prinsip umum yang memungkinkan kita menerapkannya pada sesuatu. Ethics (from Greek Ethos, Character) is the systematic study of the nature of value concepts, good, bad, ought, right, wrong, etc., and of the general principles which justify us in applying them to anything; also called moral philosopy (from Latin mores, customs). 4. Ki Hajar Dewantara (1962:459), dalam Darmodihardjo, dkk (1985) Ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. Dari empat definisi tersebut dapat dikatakan bahwa Etika adalah: 1) merupakan ilmu pengetahuan (science), akhiran Ika, berarti ilmu 2) berkaitan dengan perilaku manusia 3) bersifat normative (kaidah/aturan yang berlaku) 4) bagian dari filsafat (philosophy), yaitu pengetahuan dan penyidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya. b. Pengertian lain dari etika 1. Sistem Nilai Etika sebagai sistem nilai berkaitan dengan kebiasaan yang baik, tata cara hidup yang baik (baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dan juga baik bagi masyarakat). Etika sebagai sistem nilai dipahami sebagai nilai yang dipergunakan sebagai pedoman, petunjuk, arah; bagaimana 4

manusia harus bersikap dan berperilaku baik, karena etika tersebut memuat berbagai perintah yang harus dipatuhi serta larangan yang tidak boleh dilanggar. 2. Filsafat moral Sebagai filsafat moral etika mempunyai pengertian yang lebih luas karena filsafat moral (sebagai salah satu cabang ilmu yang membahas dan mengkaji persoalan benar atau salah secara moral) merupakan

penggambaran (refleksi) bagaimana manusia harus bersikap dan bertindak, baik dalam situasi konkrit maupun situasi khusus. c. Prinsip-prinsip etika Adler melalui bukunya The Great Ideas, dalam Salomon, R.C (1984) menetapkan Enam Ide Agung (The Six Great Ideas) yang merupakan landasan prinsipil dari etika, yaitu: 1. Prinsip Keindahan (Beauty) Prinsip ini mendasari bahwa kehidupan manusia sesungguhnya merupakan keindahan, contoh; adanya rasa kasih sayang antara sesama, kedamaian, ketentraman, saling bertenggang rasa, bekerja sama, berpenampilan indah, suasana yang kondusif, berpenampilan menarik, dan lain-lain, yang secara keseluruhan merupakan suatu keindahan dalam kehidupan manusia. 2. Prinsip Persamaan (Equality) Meskipun manusia terdiri dari beberapa bangsa, ras, etnis, sikap, dan pola pikir yang beragam, tidak sama satu sama lain, namun semua perbedaan tersebut bukan merupakan alasan untuk memperlakukan tidak sama

terhadap semua manusia sebagai ciptaan Tuhan yang mempunyai derajat yang sama dalam kehidupan. Etika yang dilandasi persamaan

menghapuskan perilaku diskriminatif. Jadi manusia harus diperlakukan sama, tidak diskriminatif. 3. Prinsip Kebaikan (Goodness) Secara umum kebaikan diartikan sebagai sifat atau karakterisasi dari sesuatu yang menimbulkan pujian. Sebagai contoh, kebaikan yang diterima umum, misalnya: saling menghormati, saling berbuat baik, saling kasih-mengasihi, sayang sesama manusia, dan lain-lain. Prinsip kebaikan bersifat universal.

4. Prinsip Keadilan (Justice) Secara umum keadilan dapat diartikan bahwa setiap orang menerima apa yang seharusnya diterima, sehingga merasa adil karena apa yang diterima sesuai apa yang seharusnya diterima. Keadilan ialah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya. 5. Prinsip Kebebasan (Liberty) Secara umum kebebasan dapat diartikan bahwa setiap orang berhak menentukan pilihannya, apa yang baik untuk dirinya. Setiap orang bebas melakukan atau tidak melakukan sesuai pilihannya, dengan ketentuan jangan melanggar kebebasan orang lain. Tidak ada kebebasan tanpa

tanggung jawab, artinya hak menentukan pilihan dalam hidupnya yang merupakan kebebasan harus dapat dipertanggungjawabkan, jangan sampai merugikan orang lain atau masyarakat. Semakin besar kebebasan yang dimiliki, akan semakin besar tanggung jawabnya. Dengan demikian kebebasan manusia mengandung pengertian, yaitu : Kemampuan untuk menentukan pilihan untuk dirinya sendiri. Kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan, kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Syarat-syarat yang memungkinkan manusia melaksanakan

kebebasannya dalam menentukan pilihannya beserta konsekuensi atas kebebasannya tersebut. 6. Prinsip Kebenaran (Truth) Kebenaran yang mutlak hanya dapat dibuktikan dengan keyakinan. Kebenaran harus dibuktikan kepada masyarakat agar masyarakat merasa yakin akan kebenaran tersebut. Kita telah mengenal istilah kebenaran dalam pemikiran (truth in mind) dan kebenaran dalam kenyataan ( truth in reality). Keenam Ide Agung dari Adler dikenal sebagai prinsip-prinsip etika, yang mendasari hubungan antar manusia dengan lingkungannya, sehingga etika harus menjamin terciptanya keindahan, persamaan, kebaikan, keadilan, kebebasan, dan kebenaran bagi setiap orang. d. Teori-teori etika Teori etika berikut ini akan memberi jawaban bagaimana kita harus bertindak etis ketika kita menghadapi situasi konkrit. Teori etika ini terdiri 6

dari: etika deontologi, etika teleologi dan etika keutamaan, yang mempunyai kaitan langsung dengan etika sebagai refleksi diungkapkan oleh Sonny Keraf (2003). Secara garis besar ketiga teori tersebut adalah sebagai berikut: 1. Etika Deontologi Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban, sedangkan logos berarti pengetahuan. Menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Suatu tindakan yang dianggap baik secara moral menjadi kewajiban kita untuk melakukannya. Sebaliknya suatu tindakan yang buruk secara moral, menjadi kewajiban kita untuk menghindari atau tidak melakukannya. Dengan demikian, etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan apakah akibat dari tindakan tersebut baik atau tidak. Immanuel Kant (1734-1804), dalam Sonny Keraf (2003), berpendapat bahwa tindakan yang baik atau tindakan yang memiliki nilai moral adalah: a) Tindakan yang dijalankan sesuai dengan kewajiban. Segala tindakan yang bertentangan dengan kewajiban merupakan tindakan yang tidak baik. b) Tindakan yang dilakukan berdasarkan kewajiban tersebut harus didasarkan pada kemauan baik, bukan karena paksaan. Hukum moral menurut Kant adalah bersifat universal karena dianggap sebagai perintah tak bersyarat, artinya hukum moral itu berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat, dia mengikat siapa saja dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu hukum moral telah tertanam dalam hati nurani setiap orang. Ada dua prinsip hukum moral yang bersifat universal dan merupakan perintah tidak bersyarat, yaitu : 1) Prinsip universalitas Bertindak atas dasar perintah yang dikehendaki akan menjadi sebuah hukum universal, karena kita mempunyai kewajiban untuk mematuhi apa yang kita anggap benar, dan karena kita yakin bahwa apa yang kita anggap benar, juga dianggap benar oleh orang lain. kritis, sebagaimana

2) Prinsip hormat kepada manusia sebagai tujuan pada dirinya Bertindaklah sedemikian rupa agar kita memperlakukan manusia; apakah diri kita sendiri, ataupun orang lain, berorientasi kepada tujuan pada dirinya sendiri dan tidak pernah hanya sebagai alat. Menurut Kant, manusia mempunyai harkat dan martabat yang luhur dan karena itu tidak boleh diperlakukan secara tidak adil, ditindas atau diperas demi kepentingan lain. Kita juga tidak boleh membiarkan diri kita diperalat, diperlakukan secara sewenang-wenang, bahkan kita tidak boleh memperbudak diri kita demi uang atau kekuasaan karena ini bertentangan dengan prinsip hormat akan pribadi manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Contoh: Kalau kita melakukan KKN, berarti kita memperalat diri kita demi uang. Hal yang demikian bertentangan dengan prinsip hormat akan pribadi manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Menurut etika deontologi, lakukan apa yang menjadi kewajiban

Anda, karena suatu tindakan yang bernilai moral, maka tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan, terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. 2. Etika Teleologi Teleologi berasal dari kata Yunani telos, yang berarti tujuan. Etika teleologi berbeda dengan etika deontologi, karena etika teleologi tidak menilai perilaku atas dasar kewajiban, tetapi atas dasar tujuan atau akibat dari suatu tindakan. Jadi etika teleologi menilai suatu tindakan baik atau buruk berdasarkan tujuan atau akibat yang baik. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk, apabila bertujuan atau berakibat buruk. Lebih lanjut pertanyaan mendasar berkaitan dengan tujuan adalah apabila tujuan itu dinilai baik, baik bagi siapa: diri sendiri, orang lain, atau banyak orang? Untuk menjawab pertanyaan ini, etika teleologi dapat

dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu egoisme etis dan utilitarianisme. a) Egoisme etis menilai bahwa suatu tindakan dianggap baik, apabila bertujuan atau berakibat baik bagi dirinya sendiri. Meskipun suatu tindakan dalam pandangan egoisme etis bersifat egoistis, tindakan ini dipandang baik secara moral untuk alasan bahwa setiap orang boleh memperoleh kebahagiaan atau memaksimumkan kesejahteraannya.

Sebaliknya, suatu tindakan dipandang buruk secara moral, apabila sebagai akibat dari tindakan itu orang menderita atau sengsara. b) Berbeda dengan egoisme etis, utilitarianisme menilai suatu tindakan baik, berdasarkan penilaian apakah perbuatan tersebut akibat yang baik bagi banyak orang. Etika membawa

utilitarianisme

dikembangkan pertama kali oleh Jeremy Bentham (1748 1832). Persoalan yang ada pada zaman tersebut adalah bagaimana

mengevaluasi baik-buruknya berbagai kebijakan secara moral. Misalnya, dalam menilai suatu kebijakan publik, kriteria apa yang dapat dipakai sebagai dasar penilaian. Hal ini penting karena kebijakan publik sangat mungkin dapat diterima oleh suatu kelompok karena dianggap menguntungkan, tetapi ditolak oleh kelompok lain karena dianggap merugikan. Bagi Bentham ada 3 (tiga) kriteria sebagai dasar obyektif yang dipakai untuk menilai suatu kebijakan publik tersebut baik dan buruk secara moral, yakni sebagai berikut; 1) Kriteria pertama adalah manfaat, yaitu apakah kebijakan itu suatu tindakan yang mendatangkan manfaat tertentu. Jika kebijakan publik itu mendatangkan manfaat, maka kebijakan publik itu dianggap baik dan benar secara moral. 2) Kriteria kedua manfaat yang lebih besar atau terbesar, yaitu; suatu kebijakan dianggap baik, apabila memberikan manfaat lebih besar atau terbesar dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan lainnya. Atau jika dari semua kebijakan atau tindakan yang tersedia ternyata sama-sama mendatangkan kerugian, maka tindakan yang baik

adalah tindakan yang mendatangkan kerugian yang terkecil. 3) Kriteria ketiga adalah manfaat lebih besar atau terbesar bagi sebanyak mungkin orang, yaitu: kebijakan publik dinilai baik, jika manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi sebanyak mungkin orang. Semakin banyak orang mendapatkan manfaat, semakin baik kebijakan atau tindakan tersebut. Di antara beberapa kebijakan atau tindakan yang sama-sama memberikan manfaat, pilihlah yang manfaatnya terbesar, dan di antara yang manfaat terbesar, pilihlah yang manfaatnya dinikmati paling banyak orang. 9

Tegasnya, prinsip yang dianut oleh utilitarianisme adalah berbuatlah sedemikian rupa agar tindakan itu mendatangkan manfaat yang lebih besar atau terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Kita tidak perlu mencari norma dan nilai moral yang menjadi kewajiban kita, yang perlu kita lakukan hanyalah mempertimbangkan apa akibat dari tindakan kita agar dapat dilihat apakah hal ini bermanfaat atau merugikan. 3. Etika Keutamaan Berbeda dengan dua teori etika tersebut di atas, etika keutamaan tidak mempersoalkan akibat dari suatu tindakan. Etika keutamaan juga tidak mengacu kepada norma-norma dan nilai-nilai universal untuk menilai moral. Etika keutamaan lebih memfokuskan pada pengembangan watak moral pada diri setiap orang. Nilai moral muncul dari pengalaman hidup, teladan dan contoh hidup yang diperlihatkan oleh tokoh-tokoh besar dalam suatu masyarakat dalam menyikapi persoalan-persoalan hidup. Nilai moral bukan terbentuk atau muncul dalam bentuk adanya

aturan berupa larangan atau perintah, tetapi muncul dalam bentuk teladan moral dari tokoh-tokoh suatu masyarakat tersebut, seperti: kejujuran, ketulusan, kasih sayang, kemurahan hati, rela berkorban, dan lain-lain di mana tokoh-tokoh besar dengan teladan moral tersebut yang perlu kita jadikan contoh untuk ditiru. Menurut teori etika keutamaan, orang bermoral atau pribadi bermoral ditentukan oleh kenyataan seluruh hidupnya, yaitu: bagaimana dia hidup baik sebagai manusia. Jadi, bukan tindakan satu per satu yang menentukan kualitas moralnya. Pribadi bermoral adalah jika dalam semua situasi yang dihadapi dia mempunyai posisi, kecenderungan, bersikap, dan berperilaku terpuji sepanjang hidupnya. Jadi menurut teori etika keutamaan, yang dicari adalah keutamaan, excellence, kepribadian moral yang menonjol, yaitu: pribadi yang berprinsip, yang mempunyai integritas moral yang tinggi, sebagaimana dipelajarinya dari tokoh-tokoh besar dalam hidupnya. Pribadi yang bermoral adalah orang yang adil sepanjang hidupnya, bukan sekedar melakukan tindakan yang adil dan baik, melainkan selalu adil sepanjang hidupnya dan melakukan hal yang baik. Pribadi yang

bermoral adalah orang yang berhasil mengembangkan sikap yang baik dan 10

bermoral melalui kebiasaan hidup yang baik, artinya dia selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral sepanjang hidupnya. Dia bukan sekedar orang yang melakukan tindakan yang baik, tetapi dia sehari-hari memang orang yang baik. Keunggulan etika keutamaan adalah bahwa moralitas dalam suatu masyarakat dibangun melalui sejarah atau cerita. Melalui sejarah atau cerita disampaikan pesan-pesan moral, nilai-nilai, dan berbagai keutamaan moral agar dapat ditiru dan dihayati oleh semua anggota masyarakat. Orang juga belajar moralitas melalui keteladanan nyata dari tokohtokoh, para pemimpin, orang yang dihormati dalam masyarakat. Keutamaan moral tidak diajarkan melalui indoktrinasi, perintah, larangan, tetapi melalui keteladanan dan contoh nyata, khususnya dalam menentukan sikap dalam situasi yang dilematis. Etika keutamaan sangat menghargai kebebasan dan rasionalitas, yaitu setiap orang agar mempergunakan akal budinya untuk menafsirkan moral tersebut, sehingga terbuka bagi setiap orang menerapkan moral yang khas bagi dirinya, dan ini akan membuat kehidupan moral akan menjadi kaya karena berbagai penafsiran. Meskipun demikian, etika keutamaan memiliki kelemahan, yaitu ketika berbagai kelompok masyarakat memunculkan berbagai keutamaan moral yang berbeda-beda sesuai dengan pendapat masing-masing. Khususnya dalam masyarakat modern di mana cerita atau dongeng tidak lagi memperoleh tempat, seperti: pada masyarakat yang belum maju, maka moralitas dapat kehilangan relevansinya. Demikian juga, apabila di dalam masyarakat sulit ditemukan tokoh masyarakat yang baik yang bisa dijadikan teladan moral, maka moralitas akan mudah hilang dari masyarakat tersebut. Dalam masyarakat kita sekarang, kita sangat sulit menemukan keteladanan moral dari tokoh-tokoh tertentu. Yang kita dapatkan adalah keteladanan semu, seperti: bagaimana menjadi kaya melalui cara yang tidak halal, atau berbisnis dengan keuntungan besar tetapi dengan cara curang. Namun demikian, ada yang menarik dari etika keutamaan ini, yaitu: menuntut kita untuk membangun watak, karakter, dan kepribadian moral, berdasarkan keteladanan moral. Secara implisit, apabila kita adalah pelayan publik atau bahkan tokoh dan pemimpin publik, maka sangat 11

diharapkan agar kita memberikan keteladanan moral yang dapat diandalkan. e. Macam-macam pembagian etika Secara umum etika dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Etika Umum dan Etika Khusus. 1. Etika Umum Etika umum berbicara mengenai norma dan nilai moral, kondisikondisi dasar bagi manusia untuk bertindak etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif (yang terpenting diantaranya adalah suara hati), dan semacamnya. Etika umum sebagai ilmu atau filsafat moral dapat dianggap sebagai etika teoritis, kendati istilah ini sesungguhnya tidak tepat karena bagaimanapun juga etika selalu berkaitan dengan perilaku dan kondisi praktis dan aktual dari manusia dalam kehidupannya sehari-hari dan tidak hanya semata-mata bersifat teoritis. 2. Etika Khusus Etika khusus adalah penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam hal ini, norma dan prinsip moral dipandang dalam konteks kekhususan bidang kehidupan manusia. Dengan kata lain, etika sebagai refleksi kritis rasional meneropong dan merefleksikan kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada norma dan nilai moral yang ada di satu pihak dan situasi khusus dari bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang dilakukan oleh setiap orang atau kelompok orang dalam suatu masyarakat. Etika khusus lalu dianggap sebagai etika terapan karena aturan normatif yang bersifat umum diterapkan secara khusus sesuai dengan kekhususan dan kekhasan bidang kehidupan dan kegiatan khusus tertentu. Maka, dapat dikatakan bahwa etika khusus mencakup penerapan etika umum dalam bidang-bidang khusus. Etika khusus terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu etika individual, etika sosial, dan etika lingkungan hidup.

12

a) Etika Individual Etika individual lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus relevan dalam etika individual ini adalah prinsip integritas pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi individual. b) Etika Sosial Etika sosial berbicara mengenai hubungan antara manusia

dengan manusia. Etika sosial mempunyai lingkup yang sangat luas. Ia menyangkut hubungan individual antara orang yang satu dengan yang lain, serta menyangkut sikap dan pola prilaku manusia sebagai

makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya, termasuk dalam bentuk-bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap paham atau ideologi tertentu, serta pola perilaku dalam bidang kegiatan masing-masing. c) Etika Lingkungan Hidup Etika lingkungan hidup merupakan cabang etika khusus yang akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan. Etika lingkungan hidup berbicara mengenai hubungan antara manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas dalam totalitasnya, dan hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya yang berdampak langsung atau tidak langsung pada lingkungan hidup secara keseluruhan. Pembagian etika-etika tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

UMUM

ETIKA INDIVIDUAL ETIKA SOSIAL

ETIKA
KHUSUS

ETIKA LINGKUNGAN
Sumber: Sonny Keraf (Etika Bisnis, 2006:34)

13

2.3. Beberapa pengertian yang berkaitan dengan moral. a. Moral Moral adalah kata yang cukup dekat dengan etika. Moral berasal dari Bahasa Latin mos (jamak: mores), yang berarti; kebiasaan, adat. Secara etimologi kata moral berarti adat kebiasaan. Secara harfiah, istilah moral sama dengan etika yang berarti adat istiadat, kebiasaan yang baik, tata cara hidup yang baik. Moralitas adalah merupakan kesesuaian sikap dan perilaku seseorang dengan norma-norma yang ada, yang terkait dengan baik buruknya suatu perbuatan. Moralitas merupakan salah satu instrumen kemasyarakatan apabila suatu kelompok sosial menghendaki adanya penuntun tindakan (action guide) untuk segala pola hidup dan perilaku yang dikenal sebagai pola sikap dan perilaku yang bermoral. Moralitas dimaksudkan untuk menentukan seberapa jauh seseorang memiliki dorongan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip etika. a. Kesadaran moral Disamping pengertian tentang moral, perlu juga diketahui pengertian tentang apa yang dimaksudkan dengan kesadaran moral. Kesadaran moral bagi seseorang adalah meliputi suatu perasaan wajib, suatu hal yang bersifat rasional, dan suatu kebebasan memilih yang dimiliki orang tersebut, sebagaimana diuraikan di bawah ini: 1. Perasaaan Wajib Manusia wajib berbuat baik karena merupakan tuntutan nurani sehingga kewajiban itu merupakan suatu keharusan (sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. 2. Rasional Bersifat rasional karena kesadaran moral itu berlaku umum dan terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan. 3. Kebebasan Manusia bebas untuk taat terhadap kaedah/norma moral, sehingga akan menentukan nilai bagi manusia itu sendiri. c. Kaedah/Norma Dasar Moral Norma berasal dari bahasa Latin yang berarti penyiku yaitu: alat untuk mengukur sesuatu. Norma dalam bahasa Arab disebut kaedah yang pada 14

hakekatnya merupakan pedoman hidup, penuntun, petunjuk hidup, tentang bagaimana manusia itu harus bertindak baik dalam kehidupannya. Norma/kaedah berisi dua hal yang mendasar, yaitu: kewajiban, yang harus ditaati dan dilaksanakan karena akibatnya baik kalau dilakukan, dan larangan, yang merupakan keharusan seseorang untuk tidak berbuat, atau harus dihindari karena kalau dilakukan, akibatnya tidak baik. Norma/kaedah yang meliputi: sopan santun, norma hukum, dan norma moral, mempunyai fungsi sebagai pedoman, petunjuk hidup sebelum suatu tindakan atau perbuatan dilakukan, dan sesudah perbuatan dilakukan. Norma/kaedah adalah sebagai ukuran, kriteria untuk menilai apakah suatu perbuatan dilaksanakan sesuai, sebagaimana yang diwajibkan. Di sisi lain, moral secara harfiah adalah merupakan adat istiadat, kebiasaan yang baik, dan tatacara hidup yang baik dari masing-masing pribadi seseorang sebagai sifat dari perilaku yang baik. Dalam hubungan ini, dapat disimpulkan bahwa antara norma/kaedah dan moral terdapat suatu keterikatan, yaitu: moral sebagai adat istiadat, kebiasaan dan tatacara hidup yang baik seseorang individu dapat diterapkan oleh orang tersebut dalam bentuk norma/kaedah. d. Keberanian Moral Disamping kesadaran moral dan kaedah/norma moral, sebagaimana diuraikan sebelumnya, ada juga hal lain yang perlu dipahami, yakni: keberanian moral. Keberanian moral adalah merupakan tekad untuk tetap mempertahankan sikap, yang didasarkan pada kebenaran yang diyakini sebagai kewajiban dan tanggung jawab, dan merupakan ciri watak yang kuat dari seseorang. e. Nilai Moral Moral, sebagai suatu sistem mempunyai nilai-nilai tertentu, yang memiliki ciri-ciri yang mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Berkaitan dengan tanggung jawab Manusia yang bertanggung jawab atas perbuatannya memiliki moral yang tinggi. Seseorang bersalah atau tidak ditentukan oleh apakah seseorang itu bertanggung jawab atau tidak. 2. Berkaitan dengan hari nurani Mewujudkan nilai moral merupakan tuntutan hati nurani. 15

3.

Bersifat mewajibkan Manusia wajib mewujudkan tindakan-tindakan yang mempunyai nilai moral, bersifat mutlak (absolute) dan tidak boleh ditawar-tawar.

f. Perbedaan Moral dengan Etika Moral, adalah suatu sistem nilai (aturan/pranata, tradisi, kepercayaan, dan petunjuk hidup), seperti misalnya: jujur itu adalah baik dan bohong itu adalah jelek/tidak baik. Berbeda dengan etika, yaitu sesuatu hal yang merupakan refleksi kritis, seperti: rasional, alasan logis, keputusan nalar, kebebasan, dan tanggung jawab, yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan, seperti: mengapa jujur itu baik? mengapa harus jujur? apakah kita harus selalu jujur dalam segala situasi? apa akibatnya kalau kita tidak jujur? dan sebagainya. 2.4. Etos a. Pengertian tentang etos Kata yang mirip dengan etika dan sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari adalah etos. Pemakaian kata etos sering kita dengar, seperti: etos kerja, etos profesi, dan sebagainya. Etos adalah suatu kata yang telah diterima dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris ethos berarti ciri-ciri atau sikap dari individu, masyarakat, atau budaya terhadap kegiatan tertentu. Apabila ada istilah etos kerja, maka ini dimaksudkan sebagai ciri-ciri atau sikap seseorang atau sekelompok orang terhadap kerja. Dalam etos kerja terkandung nilai-nilai positif dari pribadi atau kelompok yang melaksanakan kerja, seperti: disiplin, tanggungjawab, dedikasi, integritas, transparansi, dan sebagainya. Lebih jauh etos dipandang sebagai semangat dan sikap batin tetap seseorang atau sekelompok orang terhadap kegiatan tertentu yang di dalamnya termuat nilai-nilai moral tertentu (Magnis Suseno, 1993:120). b. Etos kerja dalam hubungannya dengan etika Etos kerja merupakan sifat dasar seseorang dan sekelompok orang dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Etos kerja bisa kuat atau lemah, positif atau negatif, akan terlihat pada saat seseorang tersebut mengalami hambatan atau tantangan dalam pekerjaannya. Etos kerja seorang individu akan sangat dipengaruhi oleh etos kelompok, yaitu etos orang-orang yang ada disekitarnya. Seorang pegawai yang pada awalnya memiliki etos kerja yang tinggi bisa berubah menjadi, misalnya: malas, tidak bertanggung jawab terhadap 16

pekerjaannya, atau menghindari pekerjaan akibat terpengaruh oleh temanteman kerjanya yang memiliki etos kerja rendah. Etos kerja di sini jelas menunjukkan suasana khas yang meliputi bidang kerja seseorang yang terbentuk oleh sifat dan sikap yang dapat dipahami secara moral. Etika (kebiasaan, watak) sesungguhnya mengacu pada masing-masing pribadi seseorang yang mempunyai kebiasaan, akhlak atau watak tertentu. Makna etika tersebut hampir sama dengan moral yang juga berarti kebiasaan atau adat (Bertens, 2004:5). Sebagai kata sifat, moral mengandung makna berkenaan dengan perilaku baik dan buruk. Dalam hubungan ini, etika merupakan moral yang dapat menciptakan suasana khas pada bidang kerja seseorang yang dibentuk oleh sifat dan sikap yang menumbuhkan naluri moralitas, nilai-nilai kehidupan yang hakiki dan memberi inspirasi kepada manusia untuk secara bersama-sama menemukan dan menerapkan nilai-nilai kesejahteraan dan kedamaian umat manusia. 2.5. Etiket Kata lain yang hampir sama dengan etika, yaitu etiket. Etiket berasal dari bahasa Inggris etiquette yang berarti aturan untuk hubungan formal atau sopan santun. Pemakaian kata etiket, misalnya tampak pada kombinasi etiket pergaulan, etiket makan, dan sebagainya. Etiket tidak sama dengan etika, meskipun ada kaitannya. Kaitan antara etiket dan etika adalah keduanya sama-sama menyangkut tentang perilaku manusia, dan keduanya bersifat normatif (etika mengacu pada norma moral, sedangkan etiket mengacu pada norma kelaziman). Sementara perbedaan antara etika dengan etiket, menurut Bertens (2004: 8-11) adalah sebagai berikut: Etiket menunjukkan cara yang dianggap tepat dan diterima atas suatu tindakan yang harus dilakukan manusia dalam suatu kalangan tertentu, misalnya; dalam budaya tertentu jika menyerahkan sesuatu benda dengan tangan kiri dianggap melanggar etiket. Sebaliknya, etika berkaitan dengan apakah suatu tindakan boleh dilakukan atau tidak. Di sini etika memberi norma moral pada tindakan itu, misalnya; jangan berbohong, jangan mencuri, jangan korupsi merupakan norma-norma moral. Etiket hanya berlaku jika ada orang atau pihak lain yang menyaksikan suatu tindakan, misalnya; ada aturan etiket yang mengatur kita makan (kita 17

dianggap melanggar etiket, apabila kita makan sambil berbunyi atau dengan meletakkan kaki di atas meja, tetapi apabila saya makan sendiri, saya tidak dianggap melanggar etiket walaupun makan dengan cara seperti itu). Sebaliknya, etika berlaku baik ketika orang atau pihak lain yang menyaksikan maupun tidak. Larangan-larangan untuk mencuri, korupsi, atau menyontek, dan sebagainya, berlaku kapan saja apakah tindakan itu disaksikan orang lain atau tidak. Etiket bersifat relatif. Etiket sangat tergantung pada anggapan kalangan atau budaya yang memberlakukan etiket. Misalnya; makan dengan menggunakan tangan atau tersendawa waktu makan. Sebaliknya, etika lebih bersifat universal. Larangan-larangan korupsi, mencuri, menyontek, dan sebagainya berlaku pada semua kalangan dan budaya. Etiket hanya bersifat lahiriah (dalam tindakan), sedangkan etika lebih bersifat kepribadian. Penjelasan mengenai perbedaan antara etika dan etiket di atas menuntut kita agar kita tidak lagi mencampuradukkan atau bahkan menyamakan makna keduanya.

2.6. RANGKUMAN Etika sebagai sistem nilai dan etika sebagai filsafat moral dipandang sebagai pedoman hidup atau petunjuk hidup bagi manusia dan refleksi kritis, bagaimana manusia harus bersikap dan bertindak dalam situasi konkrit. Selain etika sebagai sistem nilai dan etika sebagai filsafat moral, juga dikenal adanya prinsip-prinsip etika, tiga teori etika, yakni: etika deontologi, etika teleologi, dan etika keutamaan, serta pembagian etika, yang terdiri dari: etika umum dan etika khusus. Disamping pengertian tentang etika, ada juga pengertian-pengertian tentang: moral, moralitas, etos, dan etiket. Etika dalam kehidupan dan prakteknya diartikan sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang mendasari perilaku manusia, di sini manusia mengamati dan menilai perilaku moral. Moral secara etimologi diartikan sebagai adat kebiasaan. Secara harfiah, istilah moral sama dengan etika yang berarti adat istiadat, tata cara hidup yang baik. Sedangkan moralitas merupakan kesesuaian sikap dan perilaku seseorang dengan norma-norma yang ada, yang mempunyai kaitan dengan baik atau buruknya suatu perbuatan. 18

Di sisi lain, etos berarti ciri-ciri dari suatu masyarakat atau budaya, apabila ada istilah etos kerja, maka ini dimaksudkan sebagai ciri-ciri dari kerja, khususnya untuk pribadi atau kelompok yang melaksanakan kerja, seperti: disiplin, tanggung jawab, dedikasi, integritas, transparansi, dan sebagainya. Sementara itu, etiket diartikan sebagai suatu hubungan formal atau sopan santun. Dari pengertian ini, etiket mempunyai perbedaan yang mendasar bila dibandingkan dengan etika, yakni: a. etiket menunjukkan suatu tindakan yang harus dilakukan dalam suatu kalangan tertentu, sedangkan etika berkaitan dengan norma moral, apakah suatu tindakan boleh dilakukan atau tidak. b. etiket hanya berlaku ketika ada orang atau pihak lain yang menyaksikan suatu tindakan, sedangkan etika berlaku baik ketika ada orang atau pihak lain yang menyaksikan atau tidak. c. etiket lebih bersifat relatif, tergantung pada anggapan dari suatu kalangan atau budaya yang memberlakukan etiket, sebaliknya, etika lebih bersifat universal karena memberikan pedoman moral untuk semua kalangan atau budaya, dan keempat, Etiket hanya bersifat lahiriah (dalam tindakan), sedangkan etika lebih bersifat kepribadian.

2.7. LATIHAN 1 1. Jelaskan tentang pengertian etika sebagai sistem nilai dan etika sebagai filsafat moral! 2. Sebutkan teori-teori yang ada tentang etika! 3. Jelaskan prinsip-prinsip etika, menurut Adler! 4. Jelaskan perbedaan pengertian-pengertian tentang; etika, moral, etos, dan etiket! 5. Bandingkan perbedaan mendasar antara etika dan etiket. Berikan contoh!

19

3. Kegiatan Belajar 2

ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH


3.1. Uraian dan contoh Etika dapat diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sementara organisasi diartikan sebagai sekelompok orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan (Drs. Sutopo, M.A: 1998). Dengan demikian, etika organisasi dapat juga diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan sekelompok orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan. Menurut Salamoen dan Desi Fernanda (2001), etika organisasi adalah pola sikap dan perilaku yang diharapkan dari setiap individu dan sekelompok anggota organisasi yang secara keseluruhan akan membentuk budaya organisasi yang sejalan dengan tujuan maupun filosofi organisasi yang bersangkutan. Betapapun besar ataupun kecilnya suatu organisasi, pasti mempunyai nilai-nilai dan normanorma yang menjadi pedoman para anggota dalam berperilaku di organisasinya. Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pedoman para anggota organisasi tersebut, terlebih dahulu harus dibuat dengan memperhatikan prinsippinsip etika, prinsip-prinsip organisasi, kejujuran, ketulusan, kesabaran, peraturan perundang-undangan, dan sebagainya dan disetujui bersama agar tertanam dengan emosi yang mendalam dalam setiap jiwa anggota organisasi, sehingga pelaksanaannya akan menjadi efektif dan akhirnya tercipta budaya yang positif dalam berorganisasi. 3.2. Pentingnya etika dalam organisasi Beberapa pendapat yang menjelaskan alasan-alasan tentang pentingnya etika dalam kehidupan organisasi oleh Drs. Tony Rooswiyanto, MSc (2005:27) dan Prof. DR. Sondang Siagian (1996:11), sebagai berikut: a. Tony Rooswiyanto Menurut Rooswiyanto ada tiga alasan mendasar tentang pentingnya etika dalam kehidupan organisasi. Adapun ketiga alasan tentang pentingnya etika dalam kehidupan organisasi adalah sebagai berikut: 1. Etika memungkinkan organisasi memiliki dan menyepakati nilai-nilai moral sebagai acuan dasar bersikap dan berperilaku dari para anggota 20

organisasi tersebut, di mana nilai-nilai moral yang disepakati bersama harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan karena nilai-nilai moral tersebut bertujuan untuk mewujudkan tujuan organisasi; 2. Etika organisasi berisi nilai-nilai yang bersifat universal yang telah disepakati bersama tersebut, dapat menjembatani konflik moral antara para anggota organisasi yang memiliki latar belakang berbeda, di bidang agama, suku, sosial, dan budaya dalam kehidupan organisasi bersangkutan; 3. Etika yang dilaksanakan secara efektif akan meningkatkan citra dan reputasi serta melanggengkan eksistensi organisasi. d. Sondang Siagian Menurut Siagian ada beberapa alasan mendasar mengapa etika diperlukan dalam organisasi, yakni sebagai berikut: 1. Etika di samping menyangkut aplikasi seperangkat nilai-nilai luhur sebagai acuan dasar bersikap dan berperilaku, juga menyangkut berbagai prinsip yang menjadi landasan bagi perwujudan nilai-nilai tersebut dalam berbagai hubungan yang terjadi antar manusia dan lingkungan hidup karena etika berkaitan dengan sikap dan perilaku; 2. Etika memberikan prinsip yang kokoh dalam berperilaku, sehingga dapat menjamin kehidupan sosial yang tertib karena etika berisi nilai-nilai yang luhur yang disepakati bersama untuk dilaksanakan dan dijunjung tinggi sebagai prinsip yang kokoh dalam berperilaku, sehingga kehidupan organisasi semakin bermakna; 3. Etika yang berisi nilai-nilai luhur sebagai landasan moral berperilaku relevan dan sejalan dengan dinamika yang berkembang, sehingga memberikan makna dan memperkaya kehidupan seseorang, dan kelompok organisasi dan masyarakat luas, di mana etika memperlancar interaksi antar manusia. 4. Etika menunjukkan kepada manusia nilai hakiki dari kehidupan sesuai keyakinan agama, pandangan hidup, dan sosial. Etika berkaitan langsung dengan sistem nilai manusia. Etika mendorong tumbuhnya naluri moralitas, nilai-nilai hidup yang hakiki dan memberikan inspirasi kepada manusia untuk secara bersama-sama menemukan dan menerapkan nilainilai tersebut bagi kesejahteraan dan kedamaian umat manusia.

21

3.3. Perwujudan etika organisasi Menurut Franz Magnis Suseno SJ (2002) etika organisasi diharapkan mampu menunjang kualitas, efisiensi, dan kompetensi para anggota organisasi yang bersangkutan. Sehingga apabila etika sudah menjadi pedoman, maka akan memberikan kesenangan, kegembiraan, dan efektivitas kerja bagi semua yang terlibat dalam organisasi itu. Ada empat unsur utama keberhasilan perwujudan etika organisasi tersebut, menurut Suseno SJ, yaitu: Adanya etos kerja yang kuat; Ditunjang oleh moralitas pribadi pegawai bersangkutan; Diarahkan oleh kepemimpinan yang bermutu; Didukung oleh syarat-syarat sistemik,

yang masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut: a. Etos Kerja Etos adalah sikap dasar seseorang dalam melakukan kegiatan tertentu, sedangkan etos kerja adalah sikap dasar seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan pekerjaan. Etos akan kelihatan dalam cara dan semangat orang melakukan kegiatan itu. Etos individu sangat ditentukan oleh etos kelompok. Etos itu kuat atau lemah terlihat apabila menghadapi hambatan dan tantangan. Cara seseorang menghayati kegiatannya sangat dipengaruhi oleh pandangan, harapan, dan kebiasaan kelompoknya b. Moralitas pribadi Moralitas pribadi menyangkut kualitas moral masing-masing individu dalam menghadapi pekerjaan, sebagai berikut; 1) Dedikasi Dedikasi terjadi ketika seseorang benar-benar memberikan segenap tenaganya untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya tanpa memandang jenis pekerjaan. 2) Jujur, tidak korupsi, artinya melaksanakan tugas dengan tidak menyalahgunakan wewenangnya, melaksanakan tugas dengan ikhlas, dan hasil kerjanya dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 3) Taat pada tuntutan khas etika birokrasi, yaitu dalam memutuskan sesuatu tidak akan mengabaikan aturan walaupun akibat pelaksanaan aturan itu berdampak pada teman. 22

4) Bertanggung jawab, artinya menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat pada waktunya, kesalahannya tidak dilemparkan kepada orang lain dan berani secara ikhlas memikul risiko. 5) Minat dan hasrat untuk terus-menerus meningkatkan kompetensi dan kecakapannya. 6) Mengormati hak semua pihak yang bersangkutan, yaitu harus berlaku adil terhadap semua pihak sesuai dengan yang telah ditetapkan. Gunnar Myrdal (1968) menyebut adanya sebelas kemampuan atau keutamaan yang diharapkan dari seorang pegawai yang baik: efisiensi, kerajinan, kerapihan, tepat pada waktunya, kesederhanaan, kejujuran/tidak korup, keputusan diambil secara rasional, bukan emosional atau

berdasarkan nepotisme/kolusi, bersedia untuk berubah, kegesitan, mau bekerja sama, bersedia memandang jauh ke depan. c. Kepemimpinan yang bermutu Kepemimpinan moral tidak bisa diberikan melalui wejangan yang disampaikan oleh atasan dalam perayaan-perayaan tertentu, karena wejangan hanya akan diperhatikan (jika ia sebagai atasan yang mengesankan). Kepemimpinan moral harus ditampilkan oleh atasan dalam tingkah laku dan tindakan-tindakan kepemimpinannya yang bermutu yang menuntut lima hal sebagai berikut; 1. Kompetensi Pemimpin betul-betul menguasai semua urusan bidangnya, memahami secara garis besar maupun detil-detil. Dia ahli mengenai pekerjaan yang dipimpin. Seperlunya dia harus mempelajarinya. 2. Tertib kerja Pemimpin harus bisa memimpin, menuntut, harus mempunyai wibawa, sanggup mengenakan sanksi. Dia memastikan bahwa aturan kerja dilaksanakan. Selalu, tanpa kecuali. Secara konsisten, dia harus tegas. Dia juga harus mempunyai ciri-ciri khas seorang pemimpin yang baik, dan dia harus dapat menularkan semangat pada bawahannya karena seorang pemimpin harus dapat merangsang motivasi mereka.

23

3. Konsistensi Sebagai pemimpin harus melakukan sendiri jabatannya menurut tuntutantuntutan etos kerja yang diharapkan. Sebagai pemimpin harus menuntut sikap-sikap itu dari para bawahannya secara tegas dan konsekuen. 4. Menjadi panutan Pemimpin hanya dapat memimpin apabila dia dapat dijadikan teladan oleh para bawahannya karena pemimpin harus menjadi panutan bawahannya. Yang dituntut dari seorang pemimpin adalah integritas pribadi. Seorang pemimpin yang jujur, adil, bebas dari pamrih, cakap, tegas, komunikatif, dan bertanggung jawab, kehadirannya akan mempengaruhi sikap kerja pegawai-pegawainya ke arah positif. Seorang pemimpin yang menjadi panutan bawahannya akan dapat meningkatkan bawahannya untuk menjadi orang yang baik, bersih, jujur, dan bertanggung jawab. 5. Transparansi Transparansi yaitu keputusan-keputusannya harus jelas bagi semua pihak yang berkepentingan. d. Syarat-syarat sistemik Syarat-syarat sistemik adalah merupakan syarat-syarat mutlak yang bersifat mendukung dan diperlukan dalam rangka mewujudkan suatu etika organisasi. Dalam konteks etika organisasi ada dua syarat sistemik yang dibutuhkan, yaitu: 1. Lingkungan kerja yang mendukung Lingkungan kerja di satu pihak dapat mendukung, tetapi di pihak lain dapat merusak watak moral seseorang. Lingkungan kerja dapat mendukung atau sebaliknya dapat merusak moral seseorang. Etos kerja hanya dapat berkembang dalam lingkungan yang mendukung di mana orang yang memiliki moral yang tinggi didukung dan dihargai. Dalam lingkungan yang positif, seseorang yang memiliki moral yang baik dihargai dan dihormati, sehingga didorong untuk lebih baik lagi. Sebaliknya dalam lingkungan yang tidak mendukung, mendorong orang tidak bersemangat, malas, korup, bahkan orang yang berwatak baik dapat berubah menjadi tidak baik. Bagi orang yang berwatak kuat, juga sulit untuk mempertahankan etos kerjanya dalam lingkungan yang kurang baik karena lama kelamaan dapat terkena erosi moral. Semakin banyak orang 24

yang terkena erosi moral, etos kelompok sudah merosot, sehingga sangat sulit dikembalikan lagi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa lingkungan kerja yang mendukung sangat penting karena dapat mempengaruhi etos kerja seseorang. 2. Kontrol Kontrol rutin dan auditing khusus terhadap pelaksanaan tugas-tugas, termasuk kontrol kepemimpinan sangat penting. Kontrol harus dilakukan dari dalam dan sewaktu-waktu kontrol dari luar perlu dilakukan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa untuk mewujudkan etika organisasi secara sukses dalam kehidupan organisasi yang sedang berupaya untuk mencapai tujuannya, maka perlu adanya etos kerja yang kuat dalam organisasi tersebut, didukung moralitas pribadi pegawai, diarahkan oleh kepemimpinan yang bermutu, didukung lingkungan kerja yang kondusif, serta kontrol yang dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan. 3.4. RANGKUMAN Etika organisasi diartikan sebagai pola sikap dan perilaku yang diharapkan dari setiap individu dan sekelompok anggota organisasi yang secara keseluruhan akan membentuk budaya organisasi yang sejalan dengan tujuan dan filosofi organisasi bersangkutan. Etika sangat penting dalam kehidupan organisasi karena bermakna untuk mewujudkan tujuan organisasi. Etika diharapkan menunjang kualitas, efisiensi, dan kompetensi para pegawai karena apabila etika sudah menjadi pedoman, akan memberikan kesenangan, kegembiraan, dan efektivitas kerja semua pegawai. Menurut Franz Magnis Suseno SJ, ada empat unsur utama keberhasilan perwujudan etika organisasi, yaitu adanya etos kerja yang kuat, moralitas pegawai bersangkutan diarahkan, kepemimpinan yang bermutu, dan syarat-syarat sistemik. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa etika organisasi berperan untuk mewujudkan tujuan organisasi melalui pola sikap dan perilaku dari anggota organisasi, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok organisasi bersangkutan.

25

3.5. LATIHAN 2 1. Jelaskan tentang pengertian etika organisasi! 2. Uraikan secara garis besar arti dan pentingnya etika! 3. Jelaskan aspek-aspek teknis dan aspek-aspek non teknis untuk

mewujudkan tujuan organisasi! 4. Sebutkan empat unsur utama keberhasilan perwujudan etika organisasi! 5. Sebutkan unsur-unsur moralitas pribadi yang penting!

26

4. Kegiatan Belajar 3

ETIKA BIROKRASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN


4.1. Uraian dan contoh 4.2. Pengertian birokrasi Secara epistemologis istilah birokrasi berasal dari bahasa Yunani Bureau yang artinya meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah untuk melaksanakan pelayanan umum sesuai dengan permintaan masyarakat. Di dalam masyarakat modern di mana begitu banyak urusan yang terusmenerus dan cenderung tetap, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya. Dalam menjawab/melaksanakan urusan/tugas yang begitu banyak tersebut, anggota-anggota organisasi birokrasi sangat berperan. Dalam beberapa sebutan/istilah birokrasi itu sendiri sering diterjemahkan sebagai pemerintah, yang anggota-anggotanya disebut aparat birokrasi atau birokrat, bahkan Riant Nugroho Dwijowijoto (2004) dalam bukunya Kebijakan Publik menyebutkan bahwa Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil. 4.3. Ciri-ciri pokok birokrasi Konsep awal yang mendasari gagasan modern tentang birokrasi berasal dari tulisan Max Weber, seorang sosiolog Jerman (Kumorotomo:1996), yang mengetengahkan ciri-ciri pokok dari birokrasi sebagai berikut: a. Birokrasi melaksanakan kegiatan-kegiatan reguler dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Dalam mencapai tujuan tersebut dilakukan pembagian tugas dan tugas-tugas tersebut dilaksanakan oleh para ahli sesuai spesialisasinya. b. Pengorganisasian kantor berdasar prinsip hierarki. Dalam prinsip hierarki unit yang besar membawahi dan membina beberapa unit kecil. Setiap unit kecil dipimpin oleh seorang pejabat yang diberi hak, wewenang, dan pertanggungjawaban untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. 27

c.

Pelaksanaan tugas diatur dengan suatu peraturan formal dan aturan tersebut mencakup tentang keseragaman dalam melaksanakan tugas.

d.

Pejabat yang melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat pengabdian yang tinggi.

e.

Pekerjaan dalam organisasi birokratis didasarkan pada kompetensi teknis dan dilindungi dari pemutusan kerja secara sepihak. Menganut suatu jenjang karier berdasar senioritas dan prestasi kerja.

f.

Pengalaman menunjukkan bahwa tipe organisasi administratif yang murni berciri birokratis dilihat dari sudut teknis akan mampu mencapai tingkat efisiensi yang tertinggi.

4.4. Asas-asas umum birokrasi pemerintahan yang baik Asas-asas umum pemerintahan yang baik tidak berlaku secara universal di setiap negara karena adanya perbedaan budaya, kebutuhan masyarakat yang selalu berubah, dan masalah yang dihadapi di setiap negara berlain-lainan. Dalam konteks negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada pemerintahan Soekarno berhasil meletakkan dasar Nasionalisme bagi bangsa Indonesia namun gagal dalam merumuskan program-program pembangunan yang menyentuh rakyat banyak. Pada masa orde baru rakyat mengalami kemakmuran dengan dilaksanakannya pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional, tetapi dalam kenyataannya bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi belum dirasakan merata oleh masyarakat dan stabilitas telah memasung demokrasi/partisipasi rakyat, banyak pelanggaran hak asasi manusia dan menutup akses keterbukaan. Lepas dari hal tersebut di atas sesungguhnya masih dapat ditemukan asasasas umum pemerintahan yang baik, sebagaimana dikemukakan oleh

Kumorotomo dalam bukunya Etika Administrasi Negara(1996), sebagai berikut: a. Prinsip demokrasi Pemerintahan dengan prinsip demokrasi pada dasarnya berasas pada kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat yang menentukan jalannya negara dan pemerintahan. Di dalam sistem pemerintahan yang berasas kedaulatan rakyat, maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan karena kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling tinggi. 28

Dasar dari konsep demokrasi menyangkut penilaian tentang nilai manusia, martabat manusia, dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi mendambakan terciptanya suatu sistem kemasyarakatan yang setiap warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama dan adil. Oleh karena itu dalam pemerintahan dengan prinsip demokrasi, hendaknya setiap aktivitas birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan kepentingan rakyat berjiwa demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan, dan efisien. b. Keadilan sosial dan pemerataan Keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan tercapai apabila tidak terjadi ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan antar kelompok masyarakat kaya dengan miskin dan antar daerah/wilayah geografis antara perkotaan dengan pedesaan. Oleh karena itu aparat birokrasi agar membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan masyarakat miskin dan masyarakat pedesaan dengan kebutuhan masyarakat kaya dan masyarakat perkotaan. c. Mengusahakan kesejahteraan umum Suatu kekuasaan negara legitimate, apabila negara tersebut melalui kegiatan-kegiatannya dapat meningkatkan kesejahteraan umum bagi

rakyatnya. Rakyat akan menerima dengan senang kewajiban-kewajiban dari negara yang dibebankan kepada rakyat, asalkan dengan kewajiban tersebut rakyat menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi pemerintah agar mempunyai komitmen yang tulus untuk memperhatikan kesejahteraan kepada rakyat. d. Mewujudkan negara hukum Mewujudkan negara hukum adalah amanat dari konstitusi. Maksud dari perwujudan negara hukum adalah aparatur pemerintah bersama dengan seluruh rakyat akan mewujudkan suatu pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi aparat pemerintah dalam melaksanakan tugas pemerintahan harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan. e. Dinamika dan efisiensi Dinamika hendaknya diartikan sebagai kemampuan adaptasi organisasi yang baik sehingga organisasi sanggup mengantisipasi perubahan-perubahan 29

yang terjadi dalam masyarakat dan dapat menelorkan kebijakan-kebijakan yang tepat. Dinamika dalam melaksanakan tugas-tugas negara merupakan prasyarat untuk dapat menciptakan birokrasi pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang. Di samping dinamika sebagai ukuran kinerja bagi birokrasi pemerintahan, maka ukuran lain adalah efisiensi. Efisiensi dalam hal ini diartikan adalah tetap mengutamakan kepuasan dan kelancaran layanan terhadap publik, tetapi tetap memperhitungkan pemakaian tenaga kerja, prosedur layanan, dan biaya yang dikeluarkan. 4.5. Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara Berdasarkan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dinyatakan bahwa penyelenggara negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa

mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Penyelenggara negara yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Pejabat-pejabat negara tersebut adalah Presiden dan Wakil Presiden, Menteri dan jabatan setingkat Menteri, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah, Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah, Walikota dan Wakil Walikota, Direksi, Komisaris pada BUMN dan BUMD, Pimpinan Bank Indonesia, Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri, Pejabat Eselon 1 dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan POLRI, Jaksa, Penyidik, Panitera Pengadilan, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota MPR, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPR, Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua dan Hakim pada semua Badan Peradilan, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Karena pimpinan tertinggi dalam jabatan eksekutif adalah Presiden, maka pejabat eksekutif di bawahnya termasuk PNS apapun tugas dan jabatannya juga harus melaksanakan asas-asas yang diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu: 30

a.

Asas Kepastian Hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.

b.

Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian

Penyelenggara Negara. c. Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. d. Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, dan rahasia negara. e. Asas Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara. f. Asas Profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. g. Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 4.6. Tugas Birokrasi Sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian), tugas Pegawai Negeri (Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pegawai Negeri Sipil) sebagai aparat birokrasi adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata, menyelenggarakan tugas negara, menyelenggarakan tugas pemerintahan, dan menyelenggarakan tugas pembangunan. Dalam undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa pegawai negeri harus bebas dari pengaruh golongan dan partai politik. Oleh karena itu pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.

31

Mengacu pada pengertian Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil Dwijowijoto (2004)

32

e.

Pelayanan yang khusus bagi: penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, dan balita,

f.

Pelayanan khusus (ruang perawatan kesehatan VIP, di rumah sakit, gerbong eksekutif) dengan mempertimbangkan harga dan biaya yang dikeluarkan,

g.

Pelayanan yang dilakukan oleh biro jasa pelayanan dengan status yang jelas, misalnya: punya izin usaha dan selalu berkoordinasi kepada lembaga pemerintah yang berkaitan dengan pemberian pelayanan tersebut,

h. i.

Pelayanan berdasar hasil survei indeks kepuasan masyarakat, Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:

pengawasan masyarakat, pengawasan melekat, dan pengawasan fungsional, j. Penyelesaian pengaduan dan sengketa. Dalam penyelesaian pengaduan masyarakat, perlu memperhatikan prioritas penyelesaian pengaduan, sedangkan apabila pengaduan tidak dapat diselesaikan sehingga terjadi sengketa usaha penyelesaiannya melalui jalur hokum, k. Evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik. Setiap unit

penyelenggara pelayanan publik agar melakukan evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara berkelanjutan dan hasilnya disampaikan kepada atasan tertinggi dari unit penyelenggara pelayanan publik. 4.7. Etika Birokrasi memperlancar pelayanan kepada masyarakat Pelayanan publik dapat dikelompokkan dalam Kelompok Pelayanan Aministratif, Kelompok Pelayanan Barang, dan Kelompok Pelayanan Jasa. Adapun contoh-contoh dalam setiap kelompok pelayanan adalah: a. Kelompok Pelayanan Administratif Contohnya: Pelayanan pengurusan akte kelahiran, akte perkawinan, akte kematian, sertifikat tanah, izin mendirikan bangunan, surat izin mengemudi, kenaikan gaji, kenaikan pangkat, pensiun pegawai, pensiun janda/duda, dan sebagainya. b. Kelompok Pelayanan Barang Contohnya: Pelayanan penyediaan kebutuhan sembilan bahan pokok, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan sebagainya. c. Kelompok Pelayanan Jasa Contohnya: Pelayanan pengangkutan penumpang, pengangkutan barang, kesehatan, pendidikan, perbankan, telepon, listrik, dan sebagainya. 33

Begitu banyaknya ruang lingkup pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat pun menantikan pelayanan dari pemerintah yang merupakan haknya sebagai warga negara. Namum sering kita melihat masyarakat dalam pengurusan hal yang sederhana, misalnya: pengurusan surat izin mengemudi, pelayanan kesehatan bagi rakyat yang kurang beruntung, pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk, masih mengalami pelayanan yang kurang baik dengan: alasan yang mengada-ada, biaya yang melebihi dari tarif resmi, waktu penyelesaian yang relatif lama karena pejabatnya tidak ada di tempat, dan sebagainya. Hal tersebut mencederai makna diadakannya birokrasi, melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang baik dan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh aparat birokrasi. Dalam kegiatan belajar 1, etika diartikan sebagai nilai-nilai dan normanorma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan birokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan dan bahkan dalam praktek birokrasi dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jadi Etika Birokrasi dapat diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan aparat pemerintah (Pegawai Negeri Sipil) dalam menjalankan tugasnya. Dengan kata lain, aparat pemerintah dalam menjalankan tugasnya berpedoman pada nilai-nilai dan norma-norma moral. Adapun nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan aparat pemerintah adalah: 1. Nilai-nilai moral, seperti antara lain: kejujuran, keadilan, keikhlasan, kesamaan, kebenaran, kebaikan, keharusan, kewajiban, menolong, ketertiban, kesabaran, ramah-tamah, dan lain-lain. 2. Norma-norma moral, seperti antara lain: profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, efektivitas, tidak korupsi, kolusi, dan nepotisme, menjunjung tinggi supremasi hukum, jangan meminta, jangan mencuri, dan lain-lain. Dalam melakukan tugasnya mengapa norma-norma moral yang menjadi pegangan? Memang benar bahwa norma terdiri dari norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral. Namun norma moral merupakan norma yang tingkatannya paling tinggi, sehingga jika norma moral yang menjadi pegangan dengan sendirinya telah melewati norma sopan-santun dan norma hukum.

34

Contoh: Aparat birokrasi mencuri. Menurut norma moral mencuri itu salah, sehingga norma hukum harus menjelmakannya dalam tindakan. Dengan melaksanakan nilai-nilai dan norma-norma moral (kejujuran, keadilan, keikhlasan, kesamaan, profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan lain-lain) serta asas-asas, prinsip-prinsip, standar, dan biaya pelayanan yang murah, diharapkan pelayanan kepada masyarakat semakin lancar. Dengan uraian tersebut di atas maka menjadi jelas bahwa Etika Birokrasi memperlancar pelayanan kepada masyarakat.

4.8. RANGKUMAN Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah untuk melaksanakan pelayanan umum sesuai dengan permintaan masyarakat. Dalam beberapa sebutan/istilah birokrasi sering diterjemahkan sebagai pemerintah, yang anggotanya disebut aparat birokrasi atau birokrat dan bahkan ada yang menyebut birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Max Weber (Kumorotomo:1996) menyebutkan beberapa ciri pokok dari birokrasi, yaitu: a. Melaksanakan kegiatan-kegiatan reguler dan adanya pembagian tugas dalam mencapai tujuan serta tugas-tugas tersebut dilaksanakan oleh ahlinya; b. c. Pengorganisasian kantor berdasar prinsip hierarkhi; Pelaksanaan tugas diatur dengan peraturan yang formal dan berlaku seragam; d. e. Pelaksanaan tugas dilakukan dengan semangat pengabdian yang tinggi; Pekerjaan didasarkan pada kompetensi dan menganut jenjang karier berdasar senioritas dan prestasi kerja; f. Tipe organisasi administratif yang murni berciri birokratis mampu mencapai tingkat efisiensi yang tertinggi. Asas-asas umum birokrasi pemerintahan yang bersih meliputi prinsip: demokrasi, keadilan sosial dan pemerataan, mengusahakan kesejahteraan umum, mewujudkan negara hukum, dinamika dan efisiensi. Birokrasi mempunyai tugas pokok pemerintah yang dilaksanakan oleh aparatnya, yang disebut Pegawai Negeri. Tugas Pegawai Negeri (Anggota TNI, 35

dan Anggota POLRI yang masing-masing mempunyai tugas yang telah digariskan) adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat, melaksanakan tugas negara, melaksanakan tugas pemerintahan, dan melaksanakan tugas pembangunan. Karena modul ini ditujukan untuk Pegawai Negeri Sipil, maka yang diuraikan adalah mengenai pelayanan kepada masyarakat, yang harus dilaksanakan dengan berpegangan pada: asas-asas, prinsip-prinsip, standar, dan pola pelayanan yang baik. Etika birokrasi memperlancar pelayanan kepada masyarakat. Etika birokrasi diartikan nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan aparat pemerintah (Pegawai Negeri Sipil) dalam melaksanakan tugasnya. Dengan berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma moral (antara lain kejujuran, keadilan, keikhlasan, profesional, transparansi, akuntabel, dan lainlain), maka Pegawai Negeri Sipil dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lancar dan memuaskan.

4.9. LATIHAN 3 1. Sebutkan ciri-ciri pokok dari birokrasi menurut Max Weber! 2. Apa yang dimaksud dengan asas dengan prinsip demokrasi dalam asasasas umum birokrasi pemerintahan yang baik? 3. Sebutkan asas-asas pelayanan publik! 4. Apa yang dimaksud dengan asas profesionalitas dalam asas-asas umum penyelenggaraan negara menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun1999?

36

6. KUNCI JAWABAN TES FORMATIF I. BENAR/SALAH 1. 2. 3. 4. 5. B A A B B

III. ASOSIASI PILIHAN BERGANDA 1. 2. 3. D A B

39

7. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban yang pada bagian akhir dari modul ini. Hitung jumlah jawaban yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui sampai sejauhmana Tingkat Pemahaman (TP) Anda.

TP

Jumlah jawaban Anda yang benar x 100% Jumlah keseluruhan soal

Apabila TP Anda dalam memahami materi yang sudah dipelajari mencapai : 91 % 81 % 71 % 61 % s.d. 100% s.d. s.d. s.d. 90,99 % 80,99 % 70,99 % : : : : Amat Baik Baik Cukup Kurang

Bila TP belum mencapai 81 % ke atas (kategori Baik), maka disarankan mengulang materi.

40

8. DAFTAR PUSTAKA 1. Bertens, K. Etika PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004. 2. Darmodihardjo Darji, Prof., S.H., Nyoman Dekker, DR., S.H., A.G. Pringgodigdo, Prof, Mr., Mardojo., S.H., Sulandra J.W., S.H., Kuntjoro Purbopranoto, Prof., Mr., Santiaji Pancasila kumpulan karangan, penerbit Karunia Esa, 1985, cetakan VIII. 3. Departemen Keuangan, Inspektorat Jenderal, Majalah Auditor, Vol. 4, No. 8, Juni-Agustus Tahun 2003. 4. Dwijowijoto, Riant Nugroho, Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2004. 5. Handayani, Puji, dan Zahar Angga Setiawan, Materi Pokok, Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, Bahan Diklat Ujian Dinas Tk.I, Departemen Keuangan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, Jakarta, 2005. 6. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002. 7. Keraf, A Sonny, DR., Menumbuhkan dan Mengembangkan Etika Birokrasi Makalah yang disampaikan dalam Top Management Seminar, 16 Juli 2003. 8. Kumorotomo, Wahyudi Etika Administrasi Negara PT. Rajawali Pers, Jakarta, 1996. 9. Myrdal, Gunnar An Inquiry with the poverty of nations: Asian Drama New York: Pantheon, 1968. 10. Rooswiyanto, Tony Etika Organisasi Pemerintah Bahan Diklat Prajabatan Golongan I dan II, Departemen Keuangan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, Jakarta, 2005. 11. Siagian, Prof. DR Sondang Etika Bisnis Jakarta: PT Binaman Pressindo, 2006. 12. Soeharyo, Salamoen, Drs., M.P.A., Desi Fernanda, Drs., M.SocSc Etika Organisasi Prajabatan III, LAN, 2001. 13. Soeharyo, Salamoen, Drs., M.P.A dan Sofia Ayu, Drs., M.Ed. Etika Kepemimpinan Aparatur Lembaga Administrasi Negara, 2001. 14. Solomon, R.C., Etika Suatu Pengantar, Jakarta, Penerbit Erlangga, 1984. 15. Suseno S.J., Franz Magnis Etika Dasar Penerbit Kanisius, 1993. 16. Suseno S.J., Franz Magnis Sekitar Etika Birokrasi Makalah pada Seminar Pengembangan Widyaiswara , Jakarta, 20 September 2002. 17. Utomo, Etika dan Hukum Administrasi Publik, Makalah, Bandung, STIA LAN, 2000. 41

18. Zubair, Achmad Kharis, Pengantar Kuliah Etika, Tiara Wacana, 1988. PERATURAN-PERATURAN: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. 3. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. 7. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 222/KMK.03/2002 tentang Kode Etik Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia. 8. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 382/KMK.03/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 222/KMK.03/2002 tentang Kode Etik Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan 9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.01/2007 tentang Pedoman Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Departemen Keuangan, sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.01/2007 dan diikuti dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.01/2007. 10. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 01/PMK.02/2007 tentang Kode Etik Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan Republik Indonesia. 11. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. 12. Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP-04/BC/2002 tentang Kode Etik dan Perilaku Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 13. Keputusan Inspektur Jenderal Departemen Keuangan Republik Indonesia Nomor: KEP-23/IJ/2004 tentang Kode Etik Pegawai Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan.

42

MODUL II ETIKA PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PELAKSANAAN TUGAS

MATERI POKOK: ETIKA BIROKRASI

UJIAN PENYESUAIAN KENAIKAN PANGKAT V


OLEH

TIM PUSDIKLAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEGAWAI JAKARTA 2009

DAFTAR ISI MODUL II


ETIKA PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PELAKSANAAN TUGAS
1. PENDAHULUAN ......................................................................... 1.1. Deskripsi singkat ............................................................... 1.2. Tujuan Pembelajaran Umum ............................................ 1.3 Tujuan Pembelajaran Khusus ........................................... Kb 1: PEMBINAAN JIWA KORPS PEGAWAI NEGERI SIPIL 2.1. Uraian dan contoh ............................................................ 2.2. Beberapa pengertian ......................................................... 2.3. Tujuan pembinaan jiwa korps Pegawai Negeri Sipil ......... 2.4. Ruang lingkup pembinaan jiwa korps Pegawai Negeri Sipil 2.5 Rangkuman ...................................................................... 2.6 Latihan 1 .......................................................................... Kb 2: ETIKA PEGAWAI NEGERI SIPIL .................................. 3.1. Uraian dan contoh ............................................................ 3.2. Dasar hukum dan untuk siapakah etika PNS itu? .............. 3.3. Nilai-nilai dasar bagi Pegawai Negeri Sipil ....................... 3.4. Prinsip-prinsip moral yang dimiliki dan dihayati PNS ....... 3.5. Pelaksanaan etika PNS ..................................................... 3.6. Penegakan kode etik PNS ................................................. 3.7. Kode etik instansi dan kode etik profesi ............................ 3.8. Kode etik di lingkungan Departemen Keuangan ............... 3.9. Rangkuman ...................................................................... 3.10. Latihan 2 .......................................................................... Kb 3: ETIKA PNS DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN ............................................................................... 4.1 Uraian dan contoh ............................................................ 4.2 Kedudukan dan tugas PNS dalam birokrasi ...................... 4.3 Etika PNS dalsm memberikan pelayanan .......................... 4.4. Etika meningkatkan kualitas PNS .................................... 4.5. Etika PNS meningkatkan kualitas pelayanan .................... 4.6 Rangkuman ...................................................................... 4.7 Latihan 3 .......................................................................... TES FORMATIF ......................................................................... KUNCI TES FORMATIF ............................................................. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................... i 1 2 2 2 4 4 4 6 7 8 9 10 10 10 11 12 14 16 18 18 29 30

2.

3.

4.

31 31 31 33 38 44 45 46 47 52 54 55

5. 6. 7. 8.

MODUL II ETIKA PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PELAKSANAAN TUGAS


1. PENDAHULUAN 1.1. Deskripsi Singkat Kelancaran tugas umum pemerintahan dan pembangunan sangat dipengaruhi oleh semangat pengabdian aparatur pemerintah, dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam birokrasi pemerintah. Dalam kepemerintahan yang baik, pemerintah bertugas mewujudkan pelayanaan prima melalui kinerja, sikap, dan perilaku yang etis dari PNS yang bersangkutan. Sikap dan perilaku yang etis dari PNS dalam memberikan pelayanan, merupakan faktor yang harus melekat pada diri PNS agar dapat mewujudkan pelayanan prima. PNS yang hanya memiliki keahlian dan ketrampilan dalam bidang tugasnya, namun tidak didukung sikap dan perilaku yang baik yang sesuai dengan etika PNS, cenderung menghasilkan pelayanan yang tidak jujur, tidak ikhlas, tidak hormat, serta diskriminatif, yang akhirnya akan merugikan masyarakat. Untuk mewujudkan PNS yang diharapkan masyarakat, yaitu: PNS yang kuat, kompak, dan bersatu padu, memiliki kepekaan, tanggap, memiliki kesetiakawanan yang tinggi, netral, berdisiplin, profesional, bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas serta penuh kesetiaan kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintah, maka oleh Pemerintah telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. Apabila PNS melaksanakan dan mengamalkan kode etik PNS dengan penuh tanggung jawab, maka diharapkan akan meningkatkan kualitas PNS yang mampu memberikan pelayanan yang terbaik, adil, dan merata, serta tidak diskriminatif kepada masyarakat. Karena pada hakekatnya kode etik bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia, maka PNS wajib melaksanakan etika PNS secara baik dan benar, karena pelanggaran kode etik di samping dikenakan sanksi moral, dapat dikenakan tindakan administratif atas rekomendasi Majelis Kehormatan Kode Etik. 1

PNS di samping wajib melaksanakan kode etik, juga wajib menjunjung tinggi nilai-nilai dasar bagi PNS karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa sikap dan perilaku yang baik sesuai etika sangat berperan untuk mewujudkan pelayanan prima atau dengan kata lain etika PNS berperan untuk meningkatkan kualitas pelayanan PNS kepada masyarakat. Modul ini disusun untuk peserta UPKP V yang terdiri dari tiga kegiatan belajar (Kb), yaitu: Kb 1: Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, Kb 2: Etika Pegawai Negeri Sipil, Kb 3: Etika Pegawai Negeri Sipil Meningkatkan Kualitas Pelayanan. Pada akhir kegiatan belajar diberikan latihan bagi peserta diklat untuk mengetahui sejauhmana peserta diklat dapat memahami dan menyerap bahan ajar. Sebagai tolok ukur bagi peserta diklat untuk mengetahui sejauhmana peserta telah menguasai materi ini, maka pada akhir modul akan diberikan test formatif berikut jawabannya. Dengan mempelajari bahan ajar ini diharapkan peserta diklat dapat memahami materi diklat sehingga dapat menerapkan kode etik PNS dengan baik dan benar, yang akhirnya akan mewujudkan sikap, perilaku yang baik sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam etika PNS, baik dalam pelaksanaan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari. 1.2. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah mengikuti proses pembelajaran, peserta diklat diharapkan mampu memahami tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS, melaksanakan kode etik PNS di dalam pelaksanaan tugas untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik dan penerapan kode etik PNS dalam kehidupan sehari-hari. 1.3. Tujuan Pembelajaran Khusus Setelah mengikuti proses pembelajaran, peserta diklat dapat: 1.Menjelaskan pengertian pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS, 2.Menguraikan tentang tujuan ditetapkannya pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS, 3.Menjelaskan nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi PNS, 2

4.Menjelaskan prinsip-prinsip moral yang perlu dimiliki dan dihayati PNS, 5.Menjelaskan tentang penegakan kode etik dan menguraikan sanksi pelanggaran kode etik, 6.Menjelaskan kedudukan dan tugas PNS dalam birokrasi pemerintah, 7.Menjelaskan sikap dan perilaku PNS dalam memberikan pelayanan, 8.Menjelaskan tentang etika mewujudkan PNS, yang bersikap disiplin dalam meningkatkan pelayanan, 9.Menjelaskan peran etika dalam meningkatkan kualitas PNS, 10. Menguraikan peran etika PNS dalam meningkatkan kualitas pelayanan PNS kepada masyarakat.

2. Kegiatan Belajar 1

PEMBINAAN JIWA KORPS DAN KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL


1.1. Uraian dan contoh Dalam rangka mewujudkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mampu melaksanakan tugasnya, yaitu: memberikan pelayanan yang terbaik, adil dan merata, serta tidak diskriminatif, setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintah, maka telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Agar PNS memiliki kesadaran yang tinggi dalam melaksanakan dan menerapkan kode etik PNS, diperlukan pemahaman-pemahaman yang baik dan benar atas manfaat pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS, sehingga dapat diwujudkan PNS yang memiliki kesadaran yang tinggi dalam melaksanakan dan menerapkan kode etik PNS, baik dalam pelaksanaan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari. Muatan tentang hal-hal tersebut di atas sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004, sehingga PNS dapat memahami hal tersebut dengan mempelajari materi modul ini. Adapun pemahaman tentang pengertian jiwa korps, tujuan, ruang lingkup pembinaan jiwa korps, kode etik dan pelanggaran yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 akan dijelaskan pada uraian sebagai berikut: 1.2. Beberapa pengertian a. Jiwa korps PNS Jiwa Korps PNS adalah rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaan, kerja sama, tanggung jawab, dedikasi, disiplin, kreativitas, kebanggaan dan rasa memiliki organisasi PNS dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memahami pengertian tentang jiwa korps tersebut, maka diharapkan PNS akan memiliki: jiwa atau rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaan, kerja sama, tanggung jawab, dedikasi, disiplin, kreativitas, kebanggaan dan rasa memiliki organisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

a. Pembinaan jiwa korps PNS Pembinaan jiwa korps PNS dimaksudkan untuk meningkatkan perjuangan, pengabdian, kesetiaan dan ketaatan PNS kepada negara kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Setiap PNS yang memiliki jiwa korps, perlu memahami bahwa pembinaan jiwa korps PNS dimaksudkan untuk meningkatkan perjuangan, pengabdian, kesetiaan dan ketaatan PNS kepada negara kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembinaan jiwa korps perlu dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga akan mewujudkan PNS yang diharapkan masyarakat, yaitu: mampu memberikan pelayanan yang terbaik, adil, dan merata. c. Kode etik PNS Kode etik PNS adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan PNS di dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup sehari-hari. Pemahaman yang benar tentang pengertian kode etik PNS, diharapkan akan mewujudkan PNS yang bersikap dan berperilaku baik (sebagai wujud dari pengamalan kode etik PNS). Kode etik PNS adalah merupakan pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan PNS, baik dalam pelaksanaan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari. d. Majelis kehormatan kode etik PNS Majelis kehormatan kode etik PNS yang selanjutnya disingkat Majelis kode etik adalah lembaga non struktural pada instansi pemerintah yang bertugas melakukan penegakan pelaksanaan serta menyelesaikan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PNS. Setiap PNS perlu memahami tentang Majelis kehormatan kode etik PNS yang dibentuk untuk tujuan penegakan kode etik, sehingga diharapkan PNS tidak akan melakukan pelanggaran yang berakibat dapat dikenakan sanksi atas pelanggaran kode etik termaksud.

a. Pelanggaran kode etik PNS

Pelanggaran adalah segala bentuk ucapan, tulisan atau perbuatan PNS yang bertentangan dengan butir-butir jiwa korps dan kode etik. Jadi apabila PNS mengeluarkan ucapan yang bertentangan dengan butir-butir jiwa korps dan kode etik PNS dapat dikategorikan sebagai melakukan pelanggaran kode etik. b. Pegawai negeri sipil (PNS) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999) menyatakan bahwa PNS adalah Calon PNS dan PNS. Selanjutnya, pengertian PNS dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 adalah sama dengan Calon PNS dan PNS yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999). c. Pejabat yang berwenang Pejabat yang berwenang adalah Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat yang berwenang menghukum atau pejabat lain yang ditunjuk dari masing-masing instansi Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan. 1.3. Tujuan pembinaan jiwa korps PNS Pembinaan jiwa korps PNS bertujuan untuk: a. Membina karakter/watak, memelihara rasa persatuan dan kesatuan secara kekeluargaan guna mewujudkan kerja sama dan semangat pengabdian kepada masyarakat serta meningkatkan kemampuan dan keteladanan PNS, b. Mendorong etos kerja PNS untuk mewujudkan PNS yang bermutu tinggi dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat, c. Menumbuhkan dan meningkatkan semangat, kesadaran, dan wawasan kebangsaan PNS sehingga dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. PNS yang baik adalah PNS yang memahami tujuan dari pembinaan jiwa korps sebagaimana tersebut di atas, sehingga PNS tersebut dengan kesadaran yang tinggi berpartisipasi dalam pembinaan jiwa korps yang dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan.

1.4. Ruang lingkup pembinaan jiwa korps PNS Ruang lingkup pembinaan jiwa korps PNS mencakup: a. Peningkatan etos kerja dalam rangka mendukung produktivitas kerja dan profesionalitas PNS, b. Partisipasi dalam penyusunan kebijakan Pemerintah yang terkait dengan PNS, c. Peningkatan kerja sama antara PNS untuk memelihara dan memupuk kesetiakawanan dalam rangka meningkatkan jiwa korps PNS, d. Perlindungan terhadap hak-hak sipil atau kepentingan PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. PNS perlu memahami ruang lingkup pembinaan jiwa korps yang mencakup peningkatan etos kerja, partisipasi dalam penyusunan kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan PNS, peningkatan kerja sama antara PNS, dan perlindungan terhadap hak-hak sipil atau kepentingan PNS dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahamanpemahaman yang benar tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004, diperlukan peserta diklat sebagai PNS agar menyadari kedudukan dan tugasnya dalam birokrasi pemerintah, yaitu: memberikan pelayanan yang terbaik, adil dan merata, tidak diskriminatif, melalui sikap dan perilaku yang baik sebagai pengamalan kode etik PNS, sebagaimana diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahamanpemahaman yang baik dan benar, yang berkaitan dengan pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS sangat diperlukan agar PNS memiliki rasa bangga sebagai anggota organisasi PNS, menyadari tugas dan kewajibannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dalam

birokrasi pemerintah, sehingga PNS dapat memberikan pelayanan yang terbaik, adil dan merata, tidak diskriminatif, melalui kinerja, sikap, dan perilaku yang baik dari PNS.

Pemahaman yang baik dan benar tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS akan mendorong PNS menyadari bahwa untuk mewujudkan PNS yang diharapkan masyarakat, diperlukan pembinaan jiwa korps secara terus-menerus dan berkesinambungan, di mana pembinaan jiwa korps akan berhasil dengan baik, apabila diikuti pelaksanaan dan penerapan kode etik dengan penuh tanggung jawab. 1.5. Rangkuman Pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004. Pengertian tentang jiwa korps PNS adalah pemahaman tentang rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaan, kerja sama, tanggung jawab, dedikasi, disiplin, kreativitas, kebanggaan dan rasa memiliki organisasi PNS dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan pembinaan jiwa korps PNS dimaksudkan untuk meningkatkan perjuangan, pengabdian, kesetiaan dan ketaatan PNS kepada negara kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kode Etik PNS diartikan sebagai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan PNS di dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup sehari-hari, sedangkan yang dimaksud dengan Majelis Kehormatan Kode Etik (Majelis Kode Etik) adalah lembaga non struktural pada instansi pemerintah yang bertugas melakukan penegakan pelaksanaan serta menyelesaikan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PNS. Yang dimaksud dengan pengertian pelanggaran kode etik adalah segala bentuk ucapan, tulisan atau perbuatan PNS yang bertentangan dengan butir-butir jiwa korps dan kode etik, sedangkan pengertian Pegawai Negeri Sipil adalah Calon PNS dan PNS, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999). Adapun pengertian dari pejabat yang berwenang adalah Pejabat Pembina Kepegawaian atau Pejabat yang berwenang menghukum atau Pejabat lain yang ditunjuk. Selanjutnya pembinaan jiwa korps PNS bertujuan untuk: a. Membina karakter/watak, memelihara rasa persatuan dan kesatuan secara kekeluargaan guna mewujudkan kerja sama dan semangat pengabdian kepada masyarakat serta meningkatkan kemampuan dan keteladanan PNS, b. Mendorong etos kerja PNS untuk mewujudkan PNS yang bermutu tinggi dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat, 8

c.

Menumbuhkan dan meningkatkan semangat, kesadaran, dan wawasan kebangsaan PNS sehingga dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun ruang lingkup pembinaan jiwa korps PNS adalah

1.

Peningkatan

etos

kerja dalam

rangka mendukung produktivitas

kerja dan

profesionalitas PNS, 2. 3. Partisipasi dalam penyusunan kebijakan Pemerintah yang terkait dengan PNS, Peningkatan kerja sama antara PNS untuk memelihara dan memupuk kesetiakawanan dalam rangka meningkatkan jiwa korps PNS, 4. Perlindungan terhadap hak-hak sipil atau kepentingan PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

1.6. LATIHAN 1 1. Jelaskan tentang pengertian jiwa korps Pegawai Negeri Sipil! 2. Jelaskan tentang pembinaan jiwa korps Pegawai Negeri Sipil! 3. Sebutkan tujuan pembinaan jiwa korps Pegawai Negeri Sipil! 4. Sebutkan ruang lingkup pembinaan jiwa korps Pegawai Negeri Sipil! 5. Jelaskan pengertian tentang kode etik Pegawai Negeri Sipil!

3. Kegiatan Belajar 2

ETIKA PEGAWAI NEGERI SIPIL


3.1. Uraian dan contoh Etika Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang selanjutnya disebut sebagai Kode Etik PNS tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tersebut, antara lain dinyatakan bahwa PNS wajib menjunjung tinggi nilai-nilai dasar, melaksanakan dan menerapkan etika PNS dalam bernegara, berorganisasi, bermasyarakat, terhadap diri sendiri, dan terhadap sesama PNS, untuk mewujudkan PNS yang dapat memberikan pelayanan yang terbaik, adil dan merata, melalui sikap dan perilaku yang baik sebagai pengamalan kode etik PNS. Menurut DR. Sonny Keraf (2003) untuk meningkatkan kualitas PNS, maka PNS perlu memiliki dan menghayati prinsip-prinsip moral dalam memberikan pelayanan. Etika PNS mewujudkan PNS yang bersikap disiplin, menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat dinyatakan bahwa etika PNS merupakan hal yang mendasar yang harus melekat pada diri PNS, baik dalam pelaksanaan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari. 3.2. Dasar hukum penetapan dan untuk siapakah kode etik PNS itu? a. Dasar Hukum penetapan kode etik PNS 1. Pasal 5 ayat (2), pasal 27 ayat (1), dan pasal 28 UUD 1945, 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,

10

5. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

b. Kode etik PNS berlaku bagi PNS di seluruh wilayah Indonesia Etika PNS yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004, yang selanjutnya dikenal sebagai Kode Etik PNS , wajib dilaksanakan PNS secara utuh dan bertanggung jawab. Etika PNS yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 berlaku bagi PNS di seluruh wilayah Indonesia tanpa membedakan di mana PNS yang bersangkutan bertugas. 3.3. Nilai-nilai dasar bagi PNS PNS di samping wajib melaksanakan dan menerapkan kode etik PNS, juga wajib menjunjung tinggi nilai-nilai dasar bagi PNS Sipil yang diatur dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004. Adapun nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi oleh PNS tersebut, meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; Kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; Semangat nasionalisme; Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan; Ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; Penghormatan terhadap hak asasi manusia Tidak diskriminatif; Profesionalisme, netralitas, dan bermoral tinggi; Semangat jiwa korps. Penjelasan pasal 6 dari Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 menegaskan bahwa nilai-nilai dasar bagi PNS merupakan pedoman tingkah laku dan perbuatan PNS, yang berlaku bagi seluruh PNS tanpa membedakan di mana PNS yang bersangkutan bekerja.

11

Nilai-nilai dasar ini wajib dijunjung tinggi karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, negara, dan pemerintah. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa nilai-nilai dasar bagi PNS yang diatur dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 dan wajib dijunjung tinggi PNS adalah sebagai berikut: 1. Merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil di seluruh wilayah Indonesia, 2. Nilai-nilai dasar tersebut berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil tanpa membedakan di mana Pegawai Negeri Sipil bersangkutan bekerja, 3. Nilai-nilai dasar ini wajib dijunjung tinggi karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, bangsa, negara, dan pemerintah. 3.4. Prinsip-prinsip moral yang harus dimiliki dan dihayati PNS Sejalan dengan ide tentang kepemerintahan yang baik, maka PNS bertugas untuk memberikan pelayanan yang terbaik, pelayanan yang amanah sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Dan untuk mewujudkan PNS yang mampu memberikan pelayanan yang prima ada beberapa prinsip-prinsip moral yang perlu dimiliki dan dihayati PNS tersebut. Menurut DR. Sonny Keraf dalam makalahnya Prinsip-prinsip Moral Birokrasi Pemerintah (2003) ada beberapa prinsip moral yang perlu dimiliki dan dihayati secara nyata, yaitu: profesionalisme, integritas moral yang tinggi, tanggung jawab terhadap kepentingan publik, berpihak kepada kebenaran dan kejujuran, bertindak secara adil, jangan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan, dan jangan lakukan pada orang lain, apa yang Anda sendiri tidak mau dilakukan pada Anda. Adapun penjelasan dari prinsip-prinsip moral tersebut adalah sebagai berikut: a. Profesionalisme Prinsip ini menuntut setiap PNS untuk bertindak secara profesional, dalam pengertian bertindak sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki, sesuai dengan aturan hukum dan ketentuan yang berlaku, dan mempunyai komitmen moral yang tinggi untuk membela kepentingan publik.

12

Profesionalisme juga menuntut PNS harus juga konsekuen dan konsisten dalam menjalankan profesinya. PNS harus konsekuen dan konsisten menjalaninya dengan segala konsekuensinya, agar tidak membuat semangat pelayanan publik menurun dan tidak membenarkan kecenderungan untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta penyalahgunaan kedudukan dan kekuasaannya.

b. Integritas moral yang tinggi Prinsip ini menuntut setiap PNS untuk bertindak sesuai dengan prinsip, tuntutan dan menjaga nama baiknya sebagai seorang PNS. Dia harus melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya demi melayani kepentingan publik, jangan menyelewengkan kekuasaan dan kewenangannya dengan merugikan kepentingan publik. c. Tanggung jawab terhadap kepentingan publik Prinsip ini menegaskan bahwa sejalan dengan paradigma kepemerintahan yang baik, kepentingan publik bagi seorang PNS adalah segala-galanya. Kepentingan publik adalah nilai tertinggi yang tidak boleh digantikan dan dikalahkan dengan hal lainnya. Seorang PNS memilih profesi tersebut bukan untuk menjadi kaya dan mencari jabatan, tetapi memilih pekerjaan tersebut karena didorong oleh keinginan luhur untuk melayani kepentingan publik. PNS harus konsekuen dan konsisten dengan pilihannya, karena menjadi PNS adalah panggilan tugas untuk mengabdi kepentingan publik, bangsa dan negara, bukan untuk memperkaya diri dengan merampas uang rakyat. d. Berpihak kepada kebenaran dan kejujuran Prinsip ini menuntut setiap PNS selalu mempunyai sikap jujur dan tegas, yaitu: yang salah dinyatakan sebagai hal yang salah, yang benar dinyatakan sebagai hal yang benar. Karena itu setiap orang selalu dilayani sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Bagi PNS di lingkungan Departemen Keuangan, kebenaran dan kejujuran ini merupakan prinsip paling pokok. e. Bertindak secara adil

13

Prinsip ini memperlakukan semua orang siapa saja secara sama tanpa membeda-bedakan, tanpa diskriminasi atas dasar ras, suku, jenis kelamin, agama, keluarga, dan seterusnya. Sebagai PNS harus netral dan hanya membela yang benar, yaitu; harus sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang ada, tidak boleh ada yang diistimewakan dan diberi perlakuan khusus. Bertindak adil berarti pelanggaran harus diganjar dengan hukuman yang setimpal tanpa pandang bulu. f. Jangan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan Prinsip ini penting karena birokrasi kita telah dikenal sebagai bisa diatur dalam pengertian segala cara bisa digunakan, demi mencapai tujuan yang menyimpang dan merugikan kepentingan publik. PNS harus membantu orang untuk menggunakan cara yang benar demi mencapai tujuan yang baik, agar kepentingan semua pihak dijamin. g. Jangan lakukan pada orang lain, apa yang Anda sendiri tidak mau dilakukan pada Anda Prinsip ini juga penting karena PNS harus memberikan pelayanan yang terbaik sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang ada. Jangan mempersulit orang lain karena Anda sendiri tidak ingin dipersulit. Jangan memeras dan meminta uang suap atau sogok dari siapa pun untuk pelayanan publik yang Anda berikan, karena Anda sendiri tidak ingin diperlakukan demikian, apa lagi ini menyangkut pelayanan publik yang harus dilakukan tanpa pamrih. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa PNS dalam birokrasi pemerintah sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat, perlu memiliki dan menghayati tujuh prinsip moral tersebut secara nyata agar dapat memberikan pelayanan yang sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat karena PNS diangkat dan diberi penghasilan oleh rakyat untuk melayani rakyat atau masyarakat. 3.5. Pelaksanaan etika PNS Dalam pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan tugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari, PNS wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta terhadap diri sendiri dan sesama PNS. 14

Adapun butir-butir Etika PNS tersebut adalah sebagai berikut: a. Etika PNS dalam bernegara 1. 2. 3. 4. Melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara, Menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan tugas, 5. Akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, 6. Tanggap, terbuka, jujur, dan akurat, serta tepat waktu dalam melaksanakan setiap kebijakan dan program Pemerintah, 7. Menggunakan atau memanfaatkan semua sumber daya Negara secara efisien dan efektif, 8. Tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak benar.

b. Etika PNS dalam berorganisasi 1. 2. 3. 4. 5. Melaksanakan tugas dan wewenang sesuai ketentuan yang berlaku, Menjaga informasi yang bersifat rahasia, Melaksanakan setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, Membangun etos kerja untuk meningkatkan kinerja organisasi, Menjalin kerja sama secara kooperatif dengan unit kerja lain yang terkait dalam rangka pencapaian tujuan, 6. 7. 8. Memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas, Patuh dan taat terhadap standar operasional dan tata kerja, Mengembangkan pemikiran secara kreatif dan inovatif dalam rangka peningkatan kinerja organisasi, 9. Berorientasi pada upaya peningkatan kualitas kerja.

c. Etika PNS dalam bermasyarakat 1. 2. Mewujudkan pola hidup sederhana, Memberikan pelayanan dengan empati, hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur pemaksaan,

15

3.

Memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak diskriminatif,

4. 5.

Tanggap terhadap keadaan lingkungan masyarakat, Berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan tugas.

d. Etika PNS terhadap diri-sendiri 1. 2. 3. 4. Jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar, Bertindak dengan penuh kesungguhan dan ketulusan, Menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan, Berinisiatif untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan sikap, 5. 6. 7. 8. Memiliki daya juang yang tinggi, Memelihara kesehatan jasmani dan rohani, Menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga, Berpenampilan sederhana, rapih, dan sopan.

e. Etika PNS terhadap sesama PNS 1. Saling menghormati sesama warga Negara yang memeluk agama/kepercayaan yang berlainan, 2. 3. Memelihara rasa persatuan dan kesatuan sesama Pegawai Negeri Sipil, Saling menghormati antara teman sejawat baik secara vertikal maupun horizontal dalam suatu unit kerja, instansi, maupun antar instansi, 4. 5. 6. 7. Menghargai perbedaan pendapat, Menjunjung tinggi harkat dan martabat Pegawai Negeri Sipil, Menjaga dan menjalin kerja sama yang kooperatif sesama Pegawai Negeri Sipil, Berhimpun dalam satu wadah Korps Pegawai Republik Indonesia yang menjamin terwujudnya Pegawai Negeri Sipil dalam memperjuangkan hak-haknya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa PNS wajib melaksanakan butir-butir etika PNS dalam bernegara, berorganisasi, bermasyarakat, terhadap diri sendiri, terhadap sesama PNS, sehingga PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dapat melaksanakan tugasnya, sebagaimana diharapkan dan menjadi panutan masyarakat dalam pergaulan hidup sehari-hari. 16

3.6. Penegakan kode etik PNS a. Pelanggaran kode etik PNS Segala bentuk ucapan, tulisan atau perbuatan PNS yang bertentangan dengan butir-butir pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS. b. Sanksi pelanggaran kode etik PNS yang melakukan pelanggaran kode etik, selain dikenakan sanksi moral dapat dikenakan tindakan administratif, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas rekomendasi Majelis Kode Etik.

Sanksi pelanggaran kode etik PNS dapat berupa: 1. 2. Sanksi moral, Tindakan administratif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sanksi moral dibuat secara tertulis berupa: a) b) Pernyataan secara tertutup, atau Pernyataan secara terbuka Adapun sanksi pelanggaran kode etik yang berupa tindakan administratif adalah hukuman disiplin yang diatur dalam Peraturan Disiplin PNS, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. c. Pembentukan Majelis Kode Etik 1. Untuk menegakkan kode etik maka pada setiap instansi dibentuk Majelis Kode Etik, 2. Pembentukan Majelis Kode Etik ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian pada setiap instansi yang bersangkutan, 3. Jabatan dan pangkat Anggota Majelis Kode Etik tidak boleh lebih rendah dari jabatan dan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa karena disangka melanggar kode etik, 4. Majelis Kode Etik mengambil keputusan setelah memeriksa Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran kode etik dan setelah Pegawai Negeri Sipil bersangkutan diberi kesempatan membela diri, 17

5.

Keputusan Majelis Kode Etik diambil secara musyawarah mufakat dan apabila tidak tercapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak,

6.

Keputusan Majelis Kode Etik bersifat final.

18

3.7. Kode etik instansi dan kode etik profesi Pada pasal 13 dan pasal 14 dari Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 diatur tentang Kode Etik Instansi dan Kode Etik Profesi sebagai berikut: 1. Pejabat Pembina Kepegawaian masing-masing instansi menerapkan Kode Etik Instansi; 2. Organisasi profesi di lingkungan Pegawai Negeri Sipil menetapkan kode etiknya masing-masing; 3. Kode Etik Instansi ditetapkan berdasarkan karakteristik masing-masing instansi dan organisasi profesi 3.8. Kode etik di lingkungan Departemen Keuangan a. Kode etik profesi Secara umum dapat diartikan sebagai sekumpulan asas moral bagi suatu profesi tertentu, misalnya: kode etik kedokteran, kode etik notaris, kode etik PNS, kode etik pengacara, dan lain-lain. Kode etik adalah nilai-nilai moral, norma-norma sebagai acuan dasar berpikir, bersikap dan berperilaku bagi suatu profesi tertentu. b. Tujuan utama kode etik Menurut Tony Rooswiyanti (2005:23) ada dua tujuan utama dari kode etik, yaitu: 1. Kode etik bertujuan melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan kelalaian, kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja oleh anggota dari organisasi profesi bersangkutan, 2. Kode etik melindungi keluhuran profesi dari perilaku-perilaku menyimpang oleh anggota profesi bersangkutan. Agar kode etik berfungsi sebagaimana diharapkan, maka ada dua syarat mutlak yang harus dipenuhi, yaitu: a) Kode etik dibuat oleh profesinya sendiri agar kode etik tersebut dijiwai oleh citacita dan nilai-nilai yang hidup dalam profesi bersangkutan. Agar kode etik dapat berfungsi sebagaimana diharapkan, maka materi kode etik harus berasal dari

19

organisasi profesi tersebut, atau dengan kata lain kode etik harus merupakan hasil pemikiran dan pengaturan anggota profesi tersebut. b) Pelaksanaan kode etik harus diawasi terus-menerus, setiap kasus pelanggaran akan dievaluasi dan diambil tindakan oleh suatu dewan atau komisi khusus untuk itu. Dalam kode etik antara lain berisi ketentuan agar setiap anggota profesi saling mengawasi dan melaporkan apabila ada teman seprofesi melanggar kode etik. c. Kode etik di lingkungan Departemen Keuangan Penyusunan kode etik di lingkungan Departemen Keuangan berpedoman pada ketentuan dan peraturan-peraturan sebagai berikut: 1. UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999, 2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, 3. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, 4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, 5. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps Pegawai Negeri Sipil, 6. 7. Keputusan Presiden Nomor 20/P/2005, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.01/2007 tentang Pedoman Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Keuangan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.01/2007, 8. 9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.01/2007 tentang Majelis Kode Etik, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan, 10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 293/KMK.01/2007 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Para Pejabat di lingkungan Departemen Keuangan untuk memberikan Sanksi Moral Atas Pelanggaran Kode Etik PNS di lingkungan Departemen Keuangan, dan 20

11. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KM.01/2003 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Peningkatan Efisiensi dan Disiplin Kerja Aparatur Negara di lingkungan Departemen Keuangan. Dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.01/2007 tentang Pedoman Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Keuangan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

71/PMK.01/2007, maka setiap unit kerja setingkat eselon I di lingkungan Departemen Keuangan diminta untuk menyusun kode etik masing-masing unitnya, yang disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan di masing-masing unit eselon I tersebut (dengan tetap berpedoman pada peraturan dan ketentuan yang telah ada). Bagi unit-unit kerja yang telah memiliki peraturan kode etik sebelum diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.01/2007 jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.01/2007 tersebut, diminta agar menyesuaikan kembali, sesuai perkembangan yang ada. Untuk keperluan pembelajaran, maka pada modul ini dikutip secara garis besar tiga kode etik unit kerja setingkat eselon I di lingkungan Departemen Keuangan, yakni: Kode Etik Direktorat Jenderal Pajak, Kode Etik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Kode Etik Direktorat Jenderal Anggaran, sebagai berikut: a) Kode Etik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah suatu unit Eselon I di lingkungan Departemen Keuangan yang berfungsi memberikan pelayanan di bidang perpajakan. Pada saat ini, pajak merupakan sumber penerimaan dalam negeri terbesar dan menjadi tumpuan APBN. Dalam posisinya yang seperti itu sangat wajar jika perhatian masyarakat terhadap kinerja perpajakan sangat besar. Oleh karena itu, penting bagi DJP untuk selalu menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanannya. Dalam konteks kinerja Direktorat Jenderal Pajak salah satunya tampak pada pencapaian target penerimaan pajak sesuai dengan apa yang telah direncanakan (bahkan melebihi target yang sebelumnya ditetapkan). Sementara itu pelayanan dapat terlihat dari apakah proses pencapaian target, dari mulai perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian dan pengendalian 21

atas pelaksanaan pengumpulan dan pemungutan pajak telah berjalan dengan berkualitas. Sebagaimana diketahui, kualitas pelayanan (kecuali dipengaruhi oleh faktor kompetensi) juga dipengaruhi oleh faktor perilaku individu-individu dalam organisasi yang bersangkutan. Dalam hal ini, etika seperti telah diuraikan sebelumnya dapat menjadi acuan tentang apa yang dapat (etis) atau tidak dapat (tidak etis) dilakukan oleh setiap individu dalam organisasi. Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, maka disusunlah kode etik pegawai DJP sebagai suatu standar perilaku pegawai. Kode etik tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PM.3/2007 tentang Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan. Di dalamnya terurai hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban, larangan, dan sanksi terhadap pelanggaran kode etik. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2007 ditetapkan bahwa ketentuan kode etik pada PMK No 1/PMK.3/2007 tersebut diberlakukan untuk semua kantorkantor di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak baik di tingkat pusat maupun vertikal. Di dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang mengikat Pegawai, termasuk Calon Pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak mengatur antara lain hal-hal sebagai berikut: Tujuan: Tujuan disusunnya kode etik adalah: a. Meningkatkan disiplin pegawai, b. Menjamin terpeliharanya tata tertib, c. Menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan iklim kerja yang kondusif, d. Menciptakan dan memelihara kondisi kerja serta perilaku yang profesional, e. Meningkatkan citra dan kinerja pegawai.

22

Kewajiban: Kewajiban setiap pegawai DJP terkait dengan kode etik ini adalah: a. Menghormati agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat orang lain, b. Bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel, c. Mengamankan data dan atau informasi yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak, d. Memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak, sesama pegawai, atau pihak lain dalam pelaksanaan tugas dengan sebaik-baiknya, e. Mentaati perintah kedinasan, f. Bertanggung jawab dalam penggunaan barang inventaris milik Direktorat Jenderal Pajak, g. Mentaati ketentuan jam kerja dan tata tertib kantor, h. Menjadi panutan yang baik bagi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan, i. Bersikap, berpenampilan, dan bertutur kata secara sopan. Larangan: Ada beberapa larangan bagi setiap pegawai DJP yang dituangkan dalam peraturan kode etik pegawai DJP, yakni sebagai berikut: a. Bersikap diskriminatif dalam melaksanakan tugas, b. Menjadi anggota atau simpatisan aktif partai politik, c. Menyalahgunakan kewenangan jabatan baik langsung maupun tidak langsung, d. Menyalahgunakan fasilitas kantor, e. Menerima segala pemberian dalam bentuk apapun, baik langsung maupun tidak langsung, dari wajib pajak, sesama pegawai, atau pihak lain, yang menyebabkan pegawai yang menerima, patut diduga memiliki kewajiban yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaannya, f. Menyalahgunakan data dan atau informasi perpajakan,

23

g. Melakukan perbuatan yang patut diduga dapat mengakibatkan gangguan, kerusakan dan atau perubahan data pada sistem informasi milik Direktorat Jenderal Pajak, h. Melakukan perbuatan tidak terpuji yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan dapat merusak citra serta martabat Direktorat Jendeal Pajak. Pelanggaran dan sanksi atas pelanggaran kode etik: Segala bentuk ucapan, tulisan, atau perbuatan pegawai yang melanggar ketentuan kode etik dikenakan sanksi moral dan atau hukuman disiplin. b) Kode etik pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Selain pajak, penerimaan negara yang berasal dari bea dan cukai juga merupakan sumber penerimaan yang sangat potensial. Dari sisi ini, dapat dipahami pula jika kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mendapat sorotan yang tajam dari masyarakat. Oleh karena itu sangat wajar jika dalam kode etik pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PM.4/2008 dinyatakan tentang betapa pentingnya

meningkatkan etos kerja dalam rangka mendukung produktivitas kerja dan profesionalisme pegawai. Profesionalitas pegawai tidak hanya didukung oleh kompetensi, namun satu hal tidak dapat dikesampingkan adalah sejauh mana pegawai mau mentaati dan melaksanakan kode etik yang telah disepakati bersama, baik dalam kehidupan organisasi maupun dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam mendukung upayaupaya tersebut kode etik pegawai memuat norma dasar pribadi dan standar perilaku organisasi. Untuk mengawasi pelaksanaan kode etik tersebut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membentuk Komisi Kode Etik dan Unit Investigasi Khusus di dalam menjaga citra organisasi. Di dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa kode etik pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan pegawai, termasuk calon pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta dalam pergaulan hidup sehari-hari.

24

Kode etik pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengatur antara lain hal-hal sebagai berikut: Maksud: Pembentukan kode etik di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dimaksudkan untuk meningkatkan etos kerja dalam rangka mendukung produktivitas kerja dan profesionalitas pegawai. Tujuan: Tujuan disusunnya kode etik tersbut adalah: a. Meningkatkan disiplin pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; b. Menjamin terpeliharanya tata tertib yang berlaku di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; c. Menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan iklim kerja yang kondusif di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan atua dengan instansi terkait; d. Menciptakan dan memelihara kondisi kerja antar pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta menciptakan perilaku yang profesional bagi pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan e. Meningkatkan citra dan kinerja PNS, khususnya PNS di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kewajiban: Setiap pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib: a. Menghormati agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat yang dianut oleh diri sendiri dan orang lain, b. Menaati dan mematuhi tata tertib disiplin kerja berupa ketentuan jam kerja serta memanfaatkan jam kerja untuk kepentingan kedinasan dan atau organisasi, c. Menaati dan mematuhi segala aturan, baik langsung maupun tidak langsung, mengenai tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum, d. Menaati perintah kedinasan,

25

e. Menciptakan dan memelihara suasana dan hubungan kerja yang baik, harmonis, dan sinergis antar pegawai, baik dalam satu unit kerja maupun diluar unit kerja, f. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing, g. Mempergunakan dan memelihara barang inventaris milik negara secara baik dan bertanggung jawab, h. Memberikan contoh dan menjadi panutan yang baik bagi pegawai lainnya dan masyarakat, i. Bersikap, berpenampilan, dan bertutur kata secara sopan dan santun.

Larangan: Setiap pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dilarang : a. Bersikap diskriminatif dalam melaksanakan tugas memberikan pelayanan kepada pegawai dan masyarakat, b. Menjadi anggota dan/atau pengurus dan/atau simpatisan partai politik, c. Menyalahgunakan wewenang yang dimiliki untuk kepentingan di luar kedinasan, d. Menerima pemberian, hadiah, dan atau imbalan dalam bentuk apapun dari pihak manapun secara langsung maupun tidak langsung yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai yang bersangkutan, e. Membocorkan informasi yang bersifat rahasia serta menyalahgunakan data dan atau informasi kepabeanan dan cukai, f. Melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan terjadinya ganggungan, kerusakan, dan atau perubahan data pada sistem informasi milik organisasi, g. Melakukan perbuatan yang tidak terpuji yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan dapat merusak citra serta martabat organisasi. Pelanggaran dan sanksi atas pelanggaran kode etik:

26

Segala bentuk ucapan, tulisan, sikap, perilaku, dan atau tindakan pegawai yang melanggar kode etik dikenakan sanksi moral dan atau sanksi hukuman disiplin berdasarkan PP No. 30 Tahun 1980. Komisi Kode Etik Dalam rangka penegakan kode etik dibentuk Komisi Kode Etik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. c) Kode Etik Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Direktorat Jenderal Anggaran merupakan unit Eselon I di lingkungan Departemen Keuangan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penganggaran sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan perannya yang sangat strategis tersebut, dibutuhkan pegawai yang tidak saja berintegritas dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip pelaksanaan tugas pemerintahan yang baik (good governance) tetapi juga pegawai yang menjunjung tinggi norma-norma dan nilai-nilai etika yang bermoral. Kode Etik di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PM.2/2007 tentang Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Anggaran. Di dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa kode etik pegawai Direktorat Jenderal Anggaran merupakan pedoman tertulis yang mencakup norma-norma perilaku yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh pegawai, termasuk calon pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kode etik pegawai Direktorat Jenderal Anggaran mengatur antara lain halhal sebagai berikut: Tujuan: Tujuan disusunnya kode etik adalah untuk menjaga citra dan kredibilitas Direktorat Jenderal Anggaran melalui penciptaan tata kerja yang jujur dan transparan sehingga dapat mendorong peningkatan kinerja serta keharmonisan

27

hubungan antar pribadi baik di dalam maupun di luar lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran.

28

Kewajiban: a. Mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku khususnya yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Anggaran, b. c. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat dan bertanggung jawab, Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada Sfakeholders DJA menurut bidang tugas masingmasing, d. Mengamankan keuangan negara dengan prinsip efisiensi dan efektifitas dalam melaksanakan penganggaran, e. f. g. Mentaati ketentuan jam kerja, Berpakaian rapi dan sopan, Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap sesama pegawai dan atasan, h. Menindaklanjuti setiap pengaduan dan/atau dugaan pelanggaran Kode Etik, i. j. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik, Menjaga nama baik Korps Pegawai dan institusi Direktorat Jenderal Anggaran. Larangan: a. b. c. d. Melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme, Melakukan tindakan yang dapat berakibat merugikan Stakeholders DJA, Menjadisimpatisan atau anggota atau pengurus partai politik, Melakukan kegiatan penelaahan Rencana Kerja Anggaran

Kementerian/Lembaga (RKA-l(/L) dan Standar Biaya Khusus dengan Kementerian/Lembaga terkait di luar lingkungan kantor Direktorat Jenderal Anggaran, e. Melakukan kegiatan yang mengakibatkan pertentangan kepentingan (conflict of interest), f. Melakukan penyimpangan prosedur dan/atau menerima hadiah atau imbalan dalam bentuk apapun dari pihak manapun yang diketahul atau 29

patut diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan pegawai/pejabat yang bersangkutan, g. Memanfaatkan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara tidak sesuai dengan peruntukannya, h. Membuat, mengkonsumsi, memperdagangkan dan atau mendistribusikan segala bentuk narkotika dan atau minuman keras dan atau obat-obatan psikotropika dan atau barang terlarang lainnya secara ilegal, i. j. Melakukan perbuatan asusila dan berjudi, Memanfaatkan rahasia negara dan/atau rahasia jabatan untuk kepentingan pribadi, k atau pihak lain. Sanksi: Pelanggaran terhadap kode etik dikenakan sanksi moral dan atau hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Majelis Kode Etik: Dalam rangka pengawasan pelaksanaan kode etik dibentuk Majelis Kode Etik, yang keanggotaannya terdiri dari: a. 1 (satu) orang Ketua merangkap Anggota; b. 1 (satu) orang Sekretaris merangkap Anggota, dan c. Sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Anggota.

30

3.9. Rangkuman Etika Pegawai Negeri Sipil yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004, yang selanjutnya dikenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri Sipil menyatakan bahwa etika PNS wajib dilaksanakan PNS di seluruh Indonesia tanpa membedakan tempat di mana PNS bertugas. Menurut DR. Sonny Keraf, ada beberapa prinsip moral yang perlu dimiliki dan dihayati nyata oleh setiap pejabat publik dan birokrasi pemerintah, yang dalam hal ini termasuk PNS. Prinsip-prinsip moral yang perlu dimiliki dan dihayati PNS dalam melaksanakan tugasnya terdiri dari tujuh prinsip moral, yaitu: prinsip profesionalisme, integritas moral yang tinggi, tanggung jawab terhadap kepentingan publik, berpihak kepada kebenaran dan kejujuran, bertindak secara adil, jangan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan, dan jangan lakukan pada orang lain, apa yang Anda sendiri tidak mau dilakukan pada Anda. PNS di samping berkewajiban menjunjung tinggi nilai-nilai dasar bagi PNS juga berkewajiban melaksanakan dan menerapkan kode etik PNS, baik dalam pelaksanaan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari. Agar PNS melaksanakan dan menerapkan kode etik secara bertanggung jawab, maka bagi PNS yang terbukti melanggar kode etik PNS selain dikenakan sanksi moral dapat juga dikenakan tindakan administratif atas rekomendasi Majelis Kode Etik yang dibentuk Pejabat Pembina Kepegawaian instansi di mana PNS tersebut bertugas. Untuk mewujudkan PNS Departemen Keuangan yang bersih dan berwibawa secara khusus di lingkungan Departemen Keuangan, maka Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.01/2007, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.01/2007 dan diikuti dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PKM.01/2007. Dan sebagai tindak lanjut dari peraturan Menteri Keuangan tersebut unit-unit Eselon I di lingkungan Departemen Keuangan telah menyusun Kode Etik sesuai dengan karakteristiknya masing-masing, seperti: Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Direktorat Jenderal Anggaran, yang secara garis besar diuraikan dalam Modul ini. 31

3.9. LATIHAN 2 1. Jelaskan tentang kedudukan dan tugas Pegawai Negeri Sipil dalam birokrasi pemerintah! 2. Sebutkan prinsip-prinsip moral yang perlu dimiliki dan dihayati oleh Pegawai Negeri Sipil dalam birokrasi pemerintah! 3. Sebutkan nilai-nilai dasar bagi Pegawai Negeri Sipil yang wajib dijunjung tinggi Pegawai Negeri Sipil! 4. Pegawai Negeri Sipil. 5. Jelaskan secara garis besar tentang kode etik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Keuangan yang ditetapkan berdasarkan karakteristik masing-masing instansi dan organisasi profesi bersangkutan! Uraikan secara garis besar tentang pelanggaran kode etik

32

4. Kegiatan belajar 3

ETIKA PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN


4.1. Uraian dan contoh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, menegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara bertugas memberikan pelayanan secara profesional, adil dan merata, tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan negara, pemerintahan, dan pembangunan. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tersebut di atas ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 antara lain ditegaskan bahwa untuk meningkatkan kualitas PNS agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan, maka PNS diwajibkan melaksanakan dan menerapkan kode etik PNS dengan penuh tanggung jawab, sehingga dapat diwujudkan PNS yang mampu memberikan pelayanan yang terbaik, adil dan merata, tidak diskriminatif. Etika PNS yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 adalah memberikan pelayanan dengan empati, hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur paksaan, memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, adil, serta tidak diskriminatif. Selanjutnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, telah ditetapkan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:

63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Publik, di mana PNS sebagai pemberi pelayanan wajib bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, ikhlas, tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan.

4.2. Kedudukan dan tugas PNS dalam birokrasi pemerintah Kedudukan dan tugas PNS antara lain tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 33

tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, dan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Adapun kedudukan dan tugas PNS yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas adalah sebagai berikut: a. UU Nomor 8 Tahun 1974 jo UU Nomor 43 Tahun 1999 Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 ditegaskan bahwa: Pegawai Negeri terdiri dari: 1. Pegawai Negeri Sipil (PNS); PNS Pusat; PNS Daerah;

2. Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan 3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 diatur tentang kedudukan dan tugas PNS, yaitu: a) Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan negara, pemerintahan, dan pembangunan, b) Pegawai Negeri Sipil harus netral dari pengaruh golongan atau partai politik agar tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, c) Untuk menjamin netralitas, Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik Jadi kedudukan dan tugas Pegawai Negeri Sipil yang diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 adalah: 1) Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara; 2) Pegawai Negeri Sipil bertugas untuk memberikan pelayanan secara profesional, adil, dan merata; 3) Pegawai Negeri Sipil harus netral dari pengaruh golongan atau partai politik agar tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan.

34

b. PP Nomor 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 ditegaskan bahwa kedudukan PNS adalah sebagai berikut: 1. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara, 2. Pegawai Negeri Sipil bertugas memberikan pelayanan yang terbaik, adil, dan merata. d. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik Adapun kedudukan dan tugas PNS dalam Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/ M.PAN/7/2003 adalah sebagai berikut: 1. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara, aparatur pemerintah, dan abdi masyarakat bertugas memberikan pelayanan prima atau berkualitas, 2. Pegawai Negeri Sipil sebagai pemberi pelayanan publik wajib bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, ikhlas, dan tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan. Memperhatikan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa kedudukan Pegawai Negeri Sipil dalam birokrasi pemerintah adalah sebagai aparatur pemerintah, sebagai abdi masyarakat yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyakarat.

4.3. Etika PNS dalam memberikan pelayanan Untuk dapat mewujudkan pelayanan prima, PNS harus bersikap dan berperilaku baik sesuai dengan etika dalam memberikan pelayanan agar dapat mewujudkan pelayanan sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Sikap dan perilaku PNS yang diharapkan antara lain tercermin dalam peraturan perundang-undangan tersebut di bawah ini, yaitu: a. Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mengamanatkan agar penyelenggara negara yaitu aparatur negara melaksanakan tugas dan fungsinya melayani masyarakat secara profesional, produktif, transparan, dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Karena PNS 35

sebagai unsur aparatur negara, maka diharapkan PNS mengacu kepada amanat Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1999 tersebut. b. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Pemerintahan, yang

mengamanatkan agar aparatur pemerintah memiliki rasa kepedulian yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga mewujudkan pelayanan yang amanah. c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dinyatakan bahwa PNS sebagai unsur aparatur negara bertugas untuk memberikan pelayanan secara profesional, adil dan merata, tidak diskriminatif. Jadi sikap dan perilaku yang diharapkan adalah positif agar dapat memberikan pelayanan yang adil, merata, tidak diskriminatif kepada masyarakat. d. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, di mana etika PNS dalam memberikan pelayanan adalah memberikan pelayanan dengan empati, hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur paksaan serta memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil, serta tidak diskriminatif. e. Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/ M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik

menegaskan aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat bertugas memberikan pelayanan yang berkualitas (prima) yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat, di mana pelayanan dimaksud berorientasi kepada kebutuhan dan kepuasan masyarakat. PNS dalam memberikan pelayanan wajib bersikap disiplin, sopan santun, ramah, ikhlas, dan tidak diskriminatif. Selanjutnya untuk mewujudkan pelayanan prima, maka dalam Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tersebut diatur: Asas Pelayanan Publik dan Prinsip Pelayanan Publik yang harus dilaksanakan aparatur pemerintah.

36

Adapun Asas dan Prinsip Pelayanan Publik sebagai berikut: 1. Asas Pelayanan Publik a. Transparansi Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. b. Akuntabilitas Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. c. Kondisional Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas. d. Partisipatif Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan pubik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. e. Kesamaan Hak Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi. f. Keseimbangan Hak dan Kewajiban Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak. 2. Prinsip Pelayanan Publik a. Kesederhanaan Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan. b. Kejelasan 1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik; 2) Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/ sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; 3) Rincian biaya pelayanan publik dan tatacara pembayaran. 37

c. Kepastian waktu Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. d. Akurasi Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah. e. Keamanan Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.

f. Tanggung jawab Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik. g. Kelengkapan sarana dan prasarana Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika). h. Kemudahan Akses Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, informatika. i. Kedisiplinan, Kesopanan, dan Keramahan Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas. j. Kenyamanan Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah, dan lainlain. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa berdasarkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1999, Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001, 38 dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004, dan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:

63/KEP/M.PAN/7/2003, maka sikap dan perilaku positif Pegawai Negeri Sipil yang diharapkan dalam melayani masyarakat adalah sebagai berikut: 1) 2) Memberikan pelayanan secara adil dan merata, Memberikan pelayanan produktif, transparan, bersih, dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, 3) 4) Memiliki rasa kepedulian yang tinggi dalam memberikan pelayanan, Memberikan pelayanan dengan empati, hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur paksaan, 5) Memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil, serta tidak diskriminatif, 6) Memberikan pelayanan sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat, yang berorientasi pada kepuasan dan kebutuhan masyarakat di mana pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas, tidak diskriminatif. Pegawai Negeri Sipil perlu memahami dan melaksanakan dengan baik dan benar asas dan prinsip pelayanan publik untuk meningkatkan kualitas pelayanan karena ukuran keberhasilan penyelenggaraan pelayanan ditentukan oleh tingkat kepuasan penerima pelayanan. Kepuasan penerima pelayanan dicapai apabila penerima pelayanan memperoleh pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan. Oleh karena itu setiap penyelenggara pelayanan secara berkala melakukan survei indeks kepuasan masyarakat. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa sikap dan perilaku positif dari Pegawai Negeri Sipil yang diharapkan sebagai pemberi pelayanan yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan tersebut sangat berperan untuk mewujudkan pelayanan prima. Sikap dan perilaku positif sangat penting untuk meningkatkan pelayanan Pegawai Negeri Sipil kepada masyarakat, atau dengan kata lain sikap dan perilaku positif dari pemberi pelayanan sangat diperlukan untuk

39

mewujudkan pelayanan yang berkualitas, yang selanjutnya dikenal sebagai pelayanan prima. 4.4. Etika meningkatkan kualitas PNS

a. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa Etika kehidupan berbangsa yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 menjadi acuan dasar berpikir, bersikap, dan berperilaku untuk meningkatkan kualitas manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Etika kehidupan berbangsa yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal dan nilai-nilai luhur budaya yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku bagi negara, pemerintah, dan seluruh rakyat Indonesia, termasuk PNS dalam kehidupan berbangsa. Adapun maksud dan tujuan ditetapkan etika kehidupan berbangsa adalah untuk membantu peyadaran tentang arti dan pentingnya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa. b. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 ditegaskan bahwa pembinaan jiwa korps PNS dalam pengamalan kode etik PNS dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas PNS, sehingga PNS mampu memberikan pelayanan yang terbaik, adil, dan merata, karena kelancaran tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional sangat dipengaruhi oleh semangat pengabdian dari PNS dalam birokrasi yang bertugas memberikan pelayanan. Untuk mewujudkan PNS yang berdayaguna dan berhasilguna dalam

melaksanakan tugasnya, dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila, UUD 1945, Pemerintah, dan Negara, maka perlu ditingkatkan kualitas PNS sebagaimana diharapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004, yaitu: a. Pegawai Negeri Sipil yang patuh dan setia kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintah, 40

b. c.

Pegawai Negeri Sipil yang kuat, kompak, dan bersatu padu, Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kepekaan, tanggap dalam melaksanakan tugasnya,

d. e. f. g.

Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kesetiakawanan yang tinggi, Pegawai Negeri Sipil yang berdisiplin serta sadar akan tanggung jawabnya, Pegawai Negeri Sipil yang netral, mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, Pegawai Negeri Sipil yang profesional dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya. Untuk mewujudkan PNS yang berkualitas sebagaimana tersebut dalam huruf a

sampai dengan g, maka setiap PNS wajib melaksanakan butir-butir etika PNS yang tertuang dalam etika bernegara, berorganisasi, bermasyarakat, terhadap diri sendiri, dan terhadap sesama PNS secara utuh dan bertanggung jawab. Apabila setiap PNS mengamalkan butir-butir etika PNS yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 yang secara keseluruhan terdiri dari 37 butir, diharapkan dapat meningkatkan kualitas PNS dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa pada hakekatnya etika bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia, baik dalam pelaksanaan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana termaksud dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 yang mengatur tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 yang mengatur tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. c. Etika mewujudkan PNS yang bersikap disiplin Secara umum disiplin adalah sikap mental yang patuh, taat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedisiplinan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pencapaian tujuan organisasi karena untuk membangun disiplin diperlukan adanya suatu kesadaran dalam diri masing-masing individu karena disiplin merupakan sikap mental seseorang terhadap nilai-nilai luhur yang diyakini sebagai acuan dasar bersikap dan berperilaku. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, antara lain ditegaskan bahwa pembinaan jiwa korps dan 41

pengamalan kode etik PNS mewujudkan PNS yang bersikap disiplin karena PNS yang bersikap disiplin akan berperilaku rajin, taat, tertib, bertanggung jawab, patuh, dan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun peraturan perundang-undangan yang wajib ditaati, antara lain sebagai berikut: 1) PP No 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS PNS yang beretika akan bersikap disiplin dan senantiasa mematuhi peraturan disiplin yang terdiri dari 26 kewajiban PNS yang harus ditaati dan dilaksanakan PNS dan 18 butir berupa larangan yang tidak boleh dilanggar oleh PNS. Adapun kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan Pegawai Negeri Sipil dan larangan yang tidak dapat dilanggar Pegawai Negeri Sipil adalah sebagai berikut: a) Kewajiban PNS yang harus ditaati dan dilaksanakan terdiri dari 26 butir:
i.

Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah,

ii.

Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain,

iii.

Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat negara, Pemerintah dan Pegawai Negeri Sipil,

iv.

Mengangkat dan mentaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

v. vi.

Menyimpan rahasia negara dan atau rahasia jabatan sebaik-baiknya. Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan pemerintah baik yang langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum,

vii.

Melaksanakan

tugas

kedinasan

sebaik-baiknya

dan

dengan

penuh

pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab,


viii. ix.

Bekerja dengan jujur, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara, Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil, 42

x.

Segera melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil,

xi. xii. xiii.

Mentaati ketentuan jam kerja, Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik, Menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaikbaiknya,

xiv.

Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing,

xv. xvi. xvii.

Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap bawahannya, Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya, Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya,

xviii. xix.

Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja, Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya,

xx. xxi.

Mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan, Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil, dan terhadap atasan,

xxii.

Hormat-menghormati antara sesama Warga Negara yang memeluk agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berlainan,

xxiii. xxiv.

Menjadi teladan sebagai Warga Negara yang baik dalam masyarakat, Mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku,

xxv. xxvi.

Mentaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang, Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap laporan yang diterima mengenai pelanggaran disiplin.

b) Larangan bagi PNS terdiri dari 18 butir, yakni: i. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Pegawai Negeri Sipil, ii. Menyalahgunakan wewenang, 43

iii.

Tanpa izin pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing,

iv. Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara, v. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan atau meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik negara secara tidak sah, vi. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara, vii. Melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerja, viii. Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja, dari siapapun yang patut diketahui atau patut diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, ix. Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan, x. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya, xi. Melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayaninya, xii. Menghalangi berjalannya tugas kedinasan, xiii. Membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain xiv. Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah, xv. Memiliki saham dalam suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu

44

sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan, xvi. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya, xvii. Melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan, atau komisaris perusahaan swasta, bagi yang berpangkat Pembina golongan IV/a ke atas atau yang memangku jabatan eselon I, xviii. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain. 2) PP Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah dan Janji PNS Setiap calon PNS, pada saat pengangkatannya menjadi PNS mengucapkan sumpah/janji yang merupakan pedoman bagi setiap PNS dalam bertindak sebagai penunjang fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Sumpah/janji tersebut berbunyi sebagai berikut: Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: Bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah; Bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab; Bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri Sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan; Bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan; Bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara.

45

Pada saat PNS mengucapkan sumpah/janji tersebut, secara etika sumpah/janji tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan. Berdasarkan hal-hal tersebut dapat dinyatakan bahwa etika mewujudkan PNS yang bersikap disiplin, rajin, taat, dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya, dan lain-lain, karena PNS yang bersikap disiplin akan bersikap dan berperilaku baik dalam pelaksanaan tugasnya, dan selalu berusaha tidak melakukan pelanggaran, atau dengan kata lain PNS yang bersikap disiplin akan selalu berusaha tidak dikenakan hukuman disiplin karena selalu bersikap dan berperilaku baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa PNS yang bersikap disiplin akan selalu berusaha meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang merupakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai PNS.

4.5. Etika PNS meningkatkan kualias pelayanan Dalam butir 4.3 telah diuraikan bahwa pada hakekatnya pengamalan kode etik dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas PNS agar PNS yang berkualitas tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, yaitu selalu meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Apabila setiap PNS mengamalkan butir-butir etika PNS yang tertuang dalam kode etik PNS yang meliputi: etika bernegara, berorganisasi, bermasyarakat, terhadap diri sendiri, dan terhadap sesama PNS dengan baik dan benar, maka pengamalan etika PNS tersebut akan meningkatkan kualitas PNS sebagaimana telah diuraikan pada butir 4.3. Selanjutnya peningkatan kualitas PNS akan menghasilkan pelayanan yang berkualitas karena PNS yang berkualitas adalah PNS yang memiliki keahlian dan ketrampilan dalam bidang tugasnya, bersikap dan berperilaku baik, patuh dan setia kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintah, dan selalu akan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat yang merupakan tanggung jawabnya. Etika PNS dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004, yaitu:

46

a.

Memberikan pelayanan dengan empati, hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur paksaan,

b.

Memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil, serta tidak diskriminatif. Sebagaimana telah diuraikan pada butir 4.2 bahwa etika PNS meningkatkan kualitas

PNS, maka dapat dinyatakan bahwa: Apabila setiap PNS mengamalkan butir-butir etika PNS dalam kode etik PNS yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 dan mengacu pada pokokpokok Etika Kehidupan Berbangsa yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001, maka akan dapat diwujudkan PNS yang berkualitas, Pelayanan yang dilaksanakan oleh PNS yang berkualitas diharapkan akan menghasilkan pelayanan yang berkualitas. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa etika meningkatkan kualitas PNS, yang akhirnya akan meningkatkan kualitas pelayanan PNS kepada masyarakat. Selanjutnya untuk meningkatkan pelayanan, di samping bersikap dan berperilaku baik, PNS perlu memahami dengan baik dan benar asas dan prinsip pelayanan publik yang diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP.M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

4.6. Rangkuman Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional, diperlukan PNS yang berkualitas sehingga dapat melaksanakan tugasnya secara berdayaguna dan berhasilguna. Dasar pertimbangan ditetapkan Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 adalah untuk mewujudkan PNS yang kuat, kompak dan bersatu padu, memiliki kepekaan, tanggap dan memiliki kesetiakwanan yang tinggi, berdisiplin, netral, profesional, dan bertanggung jawab melaksanakan tugasnya, serta penuh kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintah. Etika PNS juga berfungsi untuk mewujudkan PNS yang bersikap disiplin, yang sangat berperan dalam mewujudkan PNS yang berkualitas agar dapat melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan yang terbaik, adil, dan merata sebagaimana termaksud dalam 47

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004. Etika PNS yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 adalah memberikan pelayanan dengan empati, hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur paksaan, memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil, serta tidak diskriminatif. Dengan melaksanakan butir-butir etika PNS dalam memberikan pelayanan, diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan. Untuk mewujudkan PNS yang bersih dan berwibawa di lingkungan Departemen Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.01/2007 tentang Pedoman Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Keuangan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.01/2007, yang kemudian diikuti dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PKM.01/2007 tentang Majelis Kode Etik, maka semua unit kerja tingkat eselon I di lingkungan Departemen Keuangan telah menyusun kode etik unit kerjanya masing-masing sesuai dengan karakteristik pekerjaannya, dengan tetap berpedoman pada peraturan perundangundangan yang berlaku.

4.7. Latihan 3 1. Jelaskan tentang kedudukan dan tugas Pegawai Negeri Sipil dalam birokrasi pemerintah! 2. Uraikan secara garis besar bahwa ditetapkannya kode etik Pegawai Negeri Sipil dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas Pegawai Negeri Sipil! 3. Jelaskan tentang sikap dan perilaku Pegawai Negeri Sipil dalam memberikan pelayanan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pedayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003! 4. Jelaskan bahwa etika Pegawai Negeri Sipil mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang bersikap disiplin! 5. Uraikan secara garis besar bahwa etika Pegawai Negeri Sipil meningkatkan kualitas pelayanan!

48

5. TES FORMATIF

I. BENAR/SALAH Lingkarilah B apabila pernyataan di bawah ini Benar dan A apabila pernyataan Salah.

1.

B - A

Etika Pegawai Negeri Sipil bertujuan untuk mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang mampu memberikan pelayanan yang terbaik, adil, dan merata.

2.

B - A

Kode etik Pegawai Negeri Sipil hanya berlaku untuk Pegawai Negeri Sipil Pusat.

3. 4.

B - A B - A

Untuk menegakkan kode etik di bentuk Majelis Kode Etik. Kode etik Pegawai Negeri Sipil tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004

5.

B - A

Pembinaan jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas Pegawai Negeri Sipil.

6.

B - A

Profesionalisme dalam bidang tugas merupakan faktor yang paling utama untuk meningkatkan pelayanan.

7.

B - A

Etika Pegawai Negeri Sipil tidak mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang bersikap disiplin.

8.

B - A

Etika

Pegawai

Negeri

Sipil

kurang

berperan

untuk

meningkatkan kualitas pelayanan. 9. B - A Berorientasi pada upaya peningkatan kualitas kerja tertuang dalam etika Pegawai Negeri Sipil dalam bernegara. 10. B - A Mendorong etos kerja Pegawai Negeri Sipil untuk

mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang bermutu tinggi, merupakan ruang lingkup pembinaan jiwa korps Pegawai Negeri Sipil.

49

II. PILIHAN BERGANDA Pilih satu jawaban yang paling benar. 1. Kode etik Pegawai Negeri Sipil adalah pedoman, sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil: a. Dalam melaksanakan tugasnya b. Dalam pergaulan hidup sehari-hari c. Dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari d. Dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat

2. Pelanggaran kode etik Pegawai Negeri Sipil dapat dikenakan: a. Sanksi moral b. Tindakan administratif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku c. Sanksi moral dan tindakan administratif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku d. Sanksi pidana dan perdata

3. Butir-butir yang terkandung dalam etika Pegawai Negeri Sipil dalam berorganisasi antara lain tersebut di bawah ini: a. b. c. d. Memiliki kompentensi dalam pelaksanaan tugas Akuntabel dalam melaksanakan tugas Menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Memiliki daya juang yang tinggi

4. Kode etik Pegawai Negeri Sipil memberikan pelayanan: a. b. Nepotisme c. Memberikan pelayanan dengan empati, hormat dan santun, adil, tidak diskriminatif d. Memberikan pelayanan yang produktif dan transparan 50 Memberikan pelayanan secara profesional dan ikhlas Memberikan pelayanan yang bebas Korupsi, Kolusi, dan

5. Etika pemerintahan yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor VI /MPR/2001 mengamanatkan agar Pegawai Negeri Sipil dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat: a. Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme b. Transparan c. Profesional d. Memiliki kepedulian yang tinggi

III. ASOSIASI PILIHAN GANDA PILIHLAH: A, bila pernyataan 1), 2), dan 3) benar B, bila pernyataan 1) dan 3) benar C, bila pernyataan 2) dan 4) benar D, bila semua pernyataan benar 1. Pengertian dari jiwa korps Pegawai Negeri Sipil yang tertuang dalan Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 adalah: 1) Rasa kesatuan dan persatuan 2) Rasa kebersamaan, kerja sama, tanggung jawab 3) Rasa dedikasi, disiplin, kreativitas 4) Rasa kebanggaan dan rasa memiliki organsasi Pegawai Negeri Sipil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

2. Nilai-nilai dasar Pegawai Negeri Sipil yang wajib dijunjung tinggi Pegawai Negeri Sipil yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 antara lain tersebut di bawah ini: 1) Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa 2) Bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas 3) Profesionalisme, netralitas, dan bermoral tinggi 4) Ketaatan Pegawai Negeri Sipil kepada Negara dan Pemerintah

51

3. Tujuan pembinaan jiwa korps Pegawai Negeri Sipil yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 antara lain tersebut di bawah ini: 1) Membina karakter, watak, membina rasa persatuan dan kesatuan secara kekeluargaan 2) Membina peningkatan kerja sama antara Pegawai Negeri Sipil 3) Mendorong etos kerja Pegawai Negeri Sipil untuk mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang bermutu tinggi 4) Meningkatkan produktivitas kerja

4. Asas Pelayanan Publik yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 yang bertujuan meningkatkan pelayanan antara lain tersebut di bawah ini : 1) Produktif 2) Transparansi 3) Tanggap 4) Akuntabilitas

5. Etika Pegawai Negeri Sipil wajib dilaksanakan dan diterapkan Pegawai Negeri Sipil meliputi. 1) Etika bernegara 2) Etika berorganisasi 3) Etika bermasyarakat 4) Etika terhadap diri sendiri dan etika terhadap sesama Pegawai Negeri Sipil

6. Menurut DR. Sonny Keraf, prinsip-prinsip normal yang perlu dimiliki dan dihayati Pegawai Negeri Sipil antara lain tersebut di bawah ini: 1) Profesionalisme 2) Bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 3) Intregritas moral yang tinggi 52

4) Produktif dan disiplin

7. Kualitas pelayanan Pegawai Negeri Sipil kepada masyarakat yang tertuang dalan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 adalah: 1) Profesional 2) Adil dan merata 3) Tidak diskriminatif 4) Transparan

8. Etika Pegawai Negeri Sipil dalam bernegara antara lain tersebut di bawah ini: 1) Mengangkat harkat dan martabat bangsa 2) Memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas 3) Akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa 4) Membangan etos kerja

9. Sikap dan perilaku yang positif diperlukan dalam memberikan pelayanan sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003, yaitu: 1) Memberikan pelayanan yang sesuai kebutuhan masyarakat 2) Memberikan pelayanan yang sesuai harapan masyarakat 3) Memberikan pelayanan yang berorentasi pada kebutuhan masyarakat 4) Memberikan pelayanan yang berorentasi pada kepuasan masyarakat

10. Pembinaan jiwa korps dan kode etik Pegawai Negeri Sipil menunjukkan: 1) Pegawai Negeri Sipil yang kuat, kompak, dan bersatu padu 2) Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kepekaan, tanggap 3) Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kesetiakawanan yang tinggi 4) Pegawai Negeri Sipil yang berdisiplin serta sadar akan tanggung jawabnya

53

6. KUNCI JAWABAN TES FORMATIF

I. BENAR/SALAH

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

B A B B B A A A A

10. A

II. PILIHAN BERGANDA 1. 2. 3. 4. 5. C C A C D

III. ASOSIASI PILIHAN BERGANDA 1. 2. D B 6. 7. B A 54

3. 4. 5.

B C D

8. 9. 10.

B D D

55

7. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT Cocokkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban yang pada bagian akhir dari modul ini. Hitung jumlah jawaban yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui sampai sejauhmana Tingkat Pemahaman (TP) Anda.

TP

J umlah jawaban Anda yang benar x 100% J umlah keseluruhan soal

Apabila TP Anda dalam memahami materi yang sudah dipelajari mencapai :

91 % 81 % 71 % 61 %

s.d. 100% s.d. s.d. s.d. 90,99 % 80,99 % 70,99 %

: : : :

Amat Baik Baik Cukup Kurang

Bila TP belum mencapai 81 % ke atas (kategori Baik), maka disarankan mengulang materi.

56

8. DAFTAR PUSTAKA 1. Darmodihardjo Darji, Prof., S.H., Nyoman Dekker, DR., S.H., A.G. Pringgodigdo, Prof . Mr. Mardojo., S.H., Sulandra J.W., S.H., Kuntjoro Purbopranoto, Prof., Mr., Santiaji Pancasila, kumpulan karangan, penerbit Karunia Esa, 1985, cetakan VIII. 2. Hardijanto, Peningkatan Kualitas PNS dalam Kepemerintahan yang Baik, dalam jurnal terbitan Program Magister STIA LAN, 1 Maret 2003. 3. Kansil, C.S.T., Prof., Drs., S.H., Pancasila dan UUD 1945 Bagian I, P.T. Pradya Paramita, Jakarta, 2002. 4. Kansil, C.S.T., Prof., Drs., S.H., Pancasila dan UUD 1945 Bagian II, P.T. Pradya Paramita, Jakarta, 2002. 5. Keraf, A. Sonny, DR., Menumbuhkan dan Mengembangkan Etika Birokrasi, Makalah yang disampaikan dalam Top Management Seminar, 16 Juli 2003. 6. Keraf, A. Sonny, DR., Prinsip-prinsip moral birokrasi pemerintah, Makalah yang disampaikan dalam Top Management Seminar, 16 Juli 2003. 7. Suseno S.J., Franz Magnis, Etika Dasar, Penerbit Kanisius, 1993. 8. Suseno S.J., Franz Magnis Sekitar Etika Birokrasi Makalah pada Seminar Pengembangan Widyaiswara , Jakarta, 20 September 2002. 9. Pendidikan Pancasila, Tim Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Yogyakarta, Mei 2002. 10. Rooswiyanto, Tony, Etika Organisasi Pemerintah, Bahan Diklat Prajabatan Golongan I dan II, Departemen Keuangan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, Jakarta, 2005. 11. Soeharyo, Salamoen, Drs., M.P.A dan Sofia Ayu, Drs., M.Ed., Etika Kepemimpinan Aparatur, Lembaga Administrasi Negara, 2001. 12. Soeharyo, Salamoen, Drs., M.P.A., Desi Fernanda, Drs., M.Soc., SC., Etika Organisasi, Prajabatan III, LAN, 2001. 13. Solomon, R.C., Etika Suatu Pengantar, Jakarta, Penerbit Erlangga, 1984. 14. Supriyadi, Gering, Drs., M.M., Etika Organisasi, Prajabatan III, LAN, 1998. 15. Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990 16. Tjiptoherjanto, Prijono, Tantangan dalam Mengembangkan dan Meningkatkan Akuntabilitas Publik Bagi Birokrasi Pemerintahan, dalam jurnal Good Governance terbitan Program Magister STIA-LAN, 1 April 2002. 17. Triguno, Dipl.Ec., Drs., LLM., Budaya Kerja dan Disiplin, Pusat Pendidikan dan Pelatihan BAPPENAS. 18. Winarty, Army, Pemberdayaan Sumber Daya Aparatur dalam Rangka Peningkatan Kinerja Organisasi Publik, dalam jurnal ilmiah Good Governance, terbitan Program Magister STIA-LAN, 1 Maret 2003. 57

PERATURAN-PERATURAN: 1. UUD 1945 yang telah diamandemen keempat. 2. Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 3. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004. 4. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. 5. Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. 6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan. 7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Peraturan Pokok-pokok Kepegawaian. 8. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji PNS. 9. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS. 10. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. 11. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. 12. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps Pegawai Negeri Sipil. 13. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. 14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.01/2007 tentang Pedoman Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Keuangan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.01/2007. 15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.01/2007 tentang Majelis Kode Etik, 16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PM.2/2007 tentang Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Anggaran. 17. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PM.3/2007 tentang Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak. 18. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 06/PM.3/2007 tentang Pemberlakuan Kode Etik Direktorat Jenderal Pajak untuk seluruh pegawai di unit kerja Direktorat Jenderal Pajak. 19. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 04/PM.4/2008 tentang Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

58

20. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 220/PMK.01/2007 tentang Kode Etik Pegawai Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. 21. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan. 22. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 293/KMK.01/2007 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Para Pejabat di lingkungan Departemen Keuangan untuk memberikan Sanksi Moral Atas Pelanggaran Kode Etik PNS di lingkungan Departemen Keuangan. 23. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KM.01/2003 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Peningkatan Efisiensi dan Disiplin Kerja Aparatur Negara di lingkungan Departemen Keuangan.

59

You might also like