You are on page 1of 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Prevalensi infeksi tuberkulosis di negara berkembang termasuk Indonesia masih tinggi.

Tuberkulosis pada anak cukup penting dengan alasan bahwa tuberkulosis pada bayi dan anak akan lebih mudah berlanjut menjadi TBC paru yang lebih berat dan dapat terjadi TBC ekstra paru. Infeksi tuberkulosis atau sakit tuberkulosis menunjukkan adanya penularan di lingkungannya dan tuberkulosis pada anak yang tidak ditangani akan menjadi sumber infeksi dimasa yang akan datang. Adanya kontak serumah dengan individu yang menularkan merupakan faktor risiko untuk infeksi atau sakit tuberkulosis pada bayi dan anak. Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat. Di Indonesia data tentang hal tersebut masih terbatas. Adanya infeksi tuberkulosis dapat ditelusuri dari adanya kontak serumah dengan penderita TBC dewasa dengan BTA (+). Peningkatan jumlah TB diberbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis yang tidak tepat, (2) pengobatan yang tidak adekuat, (3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi penduduk, (6) mengobati sendiri, (7) meningkatnya kemiskinan dan (8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai Menurut perikiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB di Indonesia adalah 583.000 orang pertahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang pertahun. WHO memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun adala 1086 penyandang TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0%-14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi < 12 bulan didapatkan 16,5 % Mengingat banyaknya masalah serta tingginya angka morbiditas dan mortalitas anak dengan TBC, maka saya menulis referat yang berjudul, Tatalaksana TBC pada anak.

1.2. Batasan Masalah Referat ini membahas mengenai gejala klinis, patogenesis, diagnosis, tatalaksana, serta pencegahan TBC pada anak. 1.3. Tujuan Penulisan R eferat ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang diagnosis dan tatalaksana TBC pada anak. 1.4. Metode Penulisan R eferat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai literatur. 1.5. Manfaat Penulisan Melalui penulisan referat ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan mengenai diagnosis dan penatalaksanaan TBC pada anak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mikobakterium tuberkulosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil turbekel dari seseorang yang terinfeksi.1,2 Tuberkulosis paru merupakan penyakit serius terutama pada bayi dan anak kecil, anak dengan malnutrisi, dan anak dengan gangguan imunologis. Sebagian besar anak menderita tuberkulosis primer pada umur muda dan sebagian besar asimtomatik dan sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pada beberapa pasien penyakit berkembang menjadi tuberkulosis pasca primer.1,2 2.2. Epidemiologi Tuberkulosis (TBC) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberculosis, pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TBC terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TBC di dunia. Tiap tahun ada 8-10 kasus baru dengan tiga juta kematian per tahun. Di negara berkembang, 1,3 juta anak mengidap TBC dengan 450.000 kematian tiap tahun.2,9 Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TBC terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TBC setelah India dan Cina. Berdasarkan data WHO pada tahun 2007 menyatakan jumlah penderita TBC di Indonesia sekitar 528 berada diposisi ketiga setelah India dan Cina. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke 3

posisi ke 5 dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang dengan urutan India, Cina, Afrika, Nigeria, Indonesia. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.2,9

2.3 Etiologi Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang lurus kadang dengan ujung melengkung, gram positif, lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, tidak membentuk spora, dengan ukuran panjang 2-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan . Kuman merupakan aerob wajib (obligat) yang tumbuh pada media sintesis yang mengandung gliserol sebagai sumber karbon dan garam amonium sebagai sumber nitrogen. MTB memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es ) dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi .
2,10

Mikroskopik MTB Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian
2,10

apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis. 4

2.4 Faktor resiko 2,3 Faktor resiko infeksi TB Anak-anak yang terekspose dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif) Risiko timbulnya transmisi kuman dari dewasa ke anak-anak jika orang dewasa tersebut BTA sputum positif juga terdapat infiltrat yang luas pada lobus atas atau kavitas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat,terutama sirkulasi udara yang tidak baik serta kemiskinan Tinggal di daerah endemis Orang-orang pengguna obat-obatan suntik Petugas kesehatan yang merawat pasien beresiko tinggi Faktor resiko penyakit TB 2,3 Bayi dan anak usia <5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang dengan sempurna Sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, Konversi uji tuberkulin dari negatif menjadi positif dalam 1 tahun terakhir Orang dengan malnutrisi, imunokompromais (HIV, keganasan, tranplantasi organ, pengobatan imunosupresif), diabetes melitus, gagal ginjal kronik, silikosis, infeksi berat/pasca infeksi (morbili, varicella, pertusis)

2.5 Cara penularan Penularan pada anak biasanya dari orang dewasa yang mempunyai kontak erat dengan anak. Pada waktu bersin atau batuk, penderita menyebabkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan darah). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Setelah kuman TBC masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TBC tersebut menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran limfe, saluran napas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan oleh parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif, maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi

droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Penularan pada anak bisa juga melalui kulit dan minum susu sapi 2,3,5,11

2.6 Patogenesis Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2,3 Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.2,3,4 Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu.6 Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).3 Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan 6

dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.2,3 Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).3 Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.3,4,5 Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.2 Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.6

Gambar 1. Patogenesis tuberkulosis2 *catatan :


1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (ocult hematogenic spread). Kuman TB membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik 2. Kompleks prier terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis 3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasi 4. Sakit TB pada keadaan ini desebutTB pasca primer

Perjalanan alamiah Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai organ.2

Gambar 2. Kalender perjalanan penyakit TB primer2 Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.2 Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.2,3

2.7 Diagnosis Konfirmasi pasti pada TB paru adalah dengan mengisolasi Mycobacterium tuberculosis dari sputum, bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau biopsi 9

jaringan. Spesimen untuk kultur yang paling baik pada anak adalah cairan lambung pagi hari yang diambil sebelum anak bangun dari tidur. Akan tetapi semua hal diatas memang sulit untuk dilakukan pada anak, sehingga sebagian besar diagnosis berdasarkan gejala klinis, gambaran radiografi thorax, dan tuberkulin test.2,3,8
Gejala sistemik/umum: .2,3,8

Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik dan nafsu makan menurun

Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah) dan sebab lain telah disingkirkan

Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit Perasaan tidak enak (malaise), lemah. Diare kronik yang tidak ada perbaikan setelah ditangani.

Gejala khusus: .2,3

Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.

Kalau ada cairan dirongga pleura, dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

Petunjuk WHO untuk diagnosis TB pada anak: .2,3,7,10,11

1.

Dicurigai TB (suspected TB) 10

Anak sakit dengan riwayat kontak penderita TB dengan BTA positif. Anak dengan : i. Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan ii. Berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, batuk dan mengi yang tidak membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit pernafasan iii. Pembesaran kelenjar superfisial yang tidak sakit

2.

Mungkin TB (probable TB) Uji tuberculin positif ( 10 mm atau lebih ) Foto rontgen paru sugestif TB

- Pemeriksaan histopatologis biopsi sugestif TB - Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT

3.

Pasti TB (confirmed TB) Ditemukan basil TB pada pemeriksaan langsung atau biakan.

Gambar 3 : Klasifikasi TBC (menurut The American Thoracic Society, 1981) Klasifikasi 0 Klasifikasi I Klasifikasi II Tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak menderita TBC Tidak pernah terinfeksi,ada riwayat kontak,tidak menderita TBC Terinfeksi TBC / test tuberkulin ( + ), tetapi tidak menderita TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif). Klasifikasi III Sedang menderita TBC

Klasifikasi IV Pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif Klasifikasi V Dicurigai TBC

Gambar 4 : SISTEM SKORING DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ANAK Parameter 0 1 2 3

11

Kontak TB

tidak jelas

Laporan keluarga BTA (-) Tidak tahu

Kavitas (+) BTA tidak jelas

BTA (+)

Uji Tuberkulin

negatif

Positif ( 10mm atau 5mm pada keadaan imunosupresi)

Berat badan / keadaan gizi

BB/TB <90% BB/U <80%

Klinis buruk

gizi

BB/TB <70% BB/U <60% Demam sebab jelas Batuk Pembesaran KGB colli, 3 minggu 1 cm Jumlah >1 Tidak nyeri Ada pembengkakan tanpa 2 minggu

axilla, inguinal Pembengkakan tulang/sendi panggul, falang Foto rontgen N tidak jelas lutut,

/ Infiltrat Pembesaran KGB Konsolidasi segmental/lobar Atelektasis

Kalsifikasi+infi ltrat Pembesaran KGB+infiltrat

Catatan: Didiagnosis TB jika jumlah skor 6, (skor maksimal 14) Jika dijumpai skrofuloderma langsung di diagnosis TBC Foto rontgen bukan alat diagosis utama pada TBC anak

2.8 Pemeriksaan penunjang A.Uji Tuberkulin 12

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TBC yang mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikan secara intrakutan pada seseorang yang telah terinfeksi TBC (kompleks primer pada tubuhnya) akan memberikan indurasi dilokasi suntikan yang terjadi karena vasodilatasi lokal,edema, endapan fibrin dan meningkatnya sel radang lain di daerah suntikan. Uji tuberkulin mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak dengan sensitivtas dan spesitifitas lebih dari 90%.1,2,3,7,13 Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, dengan menyuntikkan PPD (Purified Protein Derivate) 5 IU sebanyak 0,1 cc secara intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi. 1,7,13 Gambar 5. Interpretasi hasil mantoux 1. Pembengkakan (Indurasi) : 04mm, uji mantoux negatif.

Arti klinis : tidak ada infeksi M. tuberculosis. 2. Pembengkakan (Indurasi) : 39mm, uji mantoux meragukan.

Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan M. atipik atau setelah vaksinasi BCG. 3. Pembengkakan (Indurasi) : 10mm, uji mantoux (+). Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi M. tuberculosis.

Gambar.6 Definisi positif uji tuberculin pada bayi, anak dan dewasa Indurasi 5 mm Kontak dengan penderita atau suspek penyakit TB Anak-anak dengan tanda klinis dan gambaran radiologi penyakit TB Anak-anak dengan keadaan imunosupresi seperti HIV dan tranplantasi organ Pasien dalam pengobatan immunosupresif seperti kortikosteroid ( 15 mg/24 jam prednison atau sejenisnya selama 1 bulan ) Indurasi 10 mm Bayi dan anak-anak usia 4 tahun Anak-anak dengan kondisi medis lemah yang meningkatkan resiko (penyakit ginjal, gangguan hematologi, diabetes melitus, malnutrisi, pengguna obat suntik) 13

Anak-anak yang kontak erat dengan orang dewasa yang beresiko tinggi TB Lahir atau baru pindah ( 5 tahun ) dari negara dengan angka prevalensi TB tinggi

Indurasi 15 mm Anak-anak usia > 4 tahun atau lebih tanpa ada faktor resiko

Uji tuberculin positif dapat dijumpai pada 3 keadaan sebagai berikut : 1. Infeksi TB alamiah a. Infeksi TB tanpa sakit b. Infeksi TB dan sakit TB c. Pasca terapi TB 2. Imunisasi BCG ( infeksi TB buatan ) 3. Infeksi mikrobakterium atipik / M. leprae.

Uji tuberculin negatif pada 3 kemungkinan keadaan berikut : Tidak ada infeksi TB Dalam masa inkubasi infeksi TB Anergi

B. Radiologis 9,13 Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lainnya. Interpretasi foto biasanya sulit, harus htihati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. radiologis yang sugestif TB adalah: Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat Konsolidasi segmental/lobar Milier Kalsifikasi dengan infiltrat Atelektasis Kavitas Efusi pleura Tuberkuloma 14 Secara umum, gambaran

C. Serologi 9,13 Pada anak sulit mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan TB, maka di cari pemeriksaan yang mudah pelaksanaanya yaitu pemeriksaan serologi (imunitas humoral). Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5

D. Mikrobiologi 13 Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR. Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.2,5

E. Patologi Anatomik 1,2 Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.2

15

BAB III TATALAKSANA TBC PADA ANAK

Tatalaksana TB pada anak merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu, penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila ditemukan sumber infeksi juga harus mendapatkan pengobatan. Upaya perbaikan kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan pengobatan. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orangtua pasien mengenai pentingnya menelan obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat yang diminum . 2,12

3.1 Medikamentosa a. Pengobatan TB 2,12 Terdapat 2 fase : fase intensif dengan tiga macam obat (2 bulan pertama) yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid fase lanjutan dengan dua macam obat (4 bulan lebih) yaitu rifampisin dan isoniazid.

Berdasarkan American Academy of Pediatric telah mendukung regimen 6 bulan INH dan RIF yang ditambah selama 2 bulan PZA sebagai terapi baku tuberkulosis intratorak pada anak. 3 Pemberian panduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. Berbeda dengan orang dewasa, OAT anak diberikan setiap hari, bukan 2 atu 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi pada anak-anak. Dosis obat juga haus disesuaikan berat badan anak. Prisip dasar pengobatan TBC harus dapat menembus berbagai jaringan termasuk selaput otak2,3,11 b. Obat yang digunakan 2,3 Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol dan streptomisin.

16

Obat TB lain (second line) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin, gatifloxacin, ciprofoloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.

I.Obat Tuberkulosis Primer (First line) Isoniazid (INH) INH adalah obat antituberkulosis yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman. INH cukup murah dan sangat efektif untuk mencegah multiplikasi basil tuberkulosis. Dalam sediaan oral, kadar obat dalam plasma, sputum dan cairan seresrospinal dapat dicapai dalam 1-2 jam dan bertahan minimal 6 8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. INH diberikan secara oral, dosis harian yang biasa diberikan(5 15 mg/kgbb/hari), maksimal 300 mg/hari, diberikan satu kali pemberian. Isoniazid tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100mg/5ml.2,3,15,16 Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaanya. Terdapat dua kelompok pasien berdasarkan kemampuannya melakukan asetilasi, yaitu asetilator cepat dan asetilator lambat. Asetilasi cepat lebih sering terjadi pada orang Afrika-Amerika dan Asia daripada orang kulit putih. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa. Isoniazid terdapat pada ASI yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mencapai janin atau bayi tidak membahayakan. 2,15,16 Efek toksik: Hepatotoksisitas

Hal ini, jarang terjadi pada anak-anak. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. 3-10% pasien akan mengalami peningkatan kadar transminase darah yang cukup tinggi, tetapi hepatotoksisitas yang bermakna secara klinis jarang terjadi dan biasanya terjadi pada remaja atau anak dengan 17

TB berat. Sebaiknya kita memantau kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tapi hal tersebut tidak rutin dilakukan. Hepatotoksisitas akan meningkat apabila isoniazid diberikan bersama dengan rifampisin dan pirazinamid. Penggunaan isoniazid bersama dengan fenobarbital atau fenitoin juga dapat meningkatkan resiko terjadinya hepatotoksisitas. Dan pemberian isoniazid tidak disarankan bila kadar trasminase naik lebih dari lima kali harga normal atau tiga kali disertai ikterik dan atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual, muntah dan nyeri perut.,2,15,16 Neuritis perifer

Terjadi karena inhibisi kompetitif pada piridoksin. Manifestasi klinis neuritis prifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan isoniazid, tetapi manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan pemberian piridoksin tambahan. Akan tetapi, remaja dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan daging yang kurang, malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI, memerlukan piridoksin tambahan. Piridoksin diberikan 25-50 mg satu kali sehari atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg INH. 2,15,16 Efek samping lain yang jarang terjadi adalah reaksi alergi, pellagra, anemia hemolitik pada pasien defisiensi enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) dan reaksi mirip lupus disertai ruam dan artritis. 2,15,16 Rifampisin Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ektrasel, dapat memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Obat ini diserap dengan baik melalui sistem gatrointestinal pada saat lambung kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak tercapai 2 jam. Ekskresi yang utama lewat traktus biliaris.. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10 20 mg/kgbb/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis pemberian satu kali perhari. Rifampisin tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg, sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak dengan berbagai kisaran BB dan obat ini tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat timbul malabsorpsi. Jika diberikan dengan INH, dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis INH 10 mg/kgBB/hari. Distribusi rifampisin kedalam CSS lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang meradang daripada keadaan normal. 2,14,17 18

Efek toksik: 2,14,17 Perubahan warna, ludah, keringat, sputum, air mata, menjadi warna oranye kemerahan Gangguan GIT (muntah dan mual) Hepatotoksisitas (ikterik/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar trasminase serum yang asimtomatik. Dan jika rifampisin diberikan bersama INH terjadi peningkatan resiko hepatotoksisitas yang dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian INH mejadi maksimal 10mg/hari. Trombositopenia terjadi karena pemberian obat secara intermittent dan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif Dapat interaksi dengan beberapa obat lain, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol, kortikosteroid, dan sodium warfarin. Pirazinamid Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, LCS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Obat ini juga resisten terhadap kuman Mycobacterioum bovis. Obat ini juga dapat mencapai cairan serebrospinal. Efek dari pirazinamid sudah dapat dilihat pada awal bulan ke 2 menjalani terapi. Pemberian secara oral sesuai dosis 15 30 mg/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari dan dalam tersedia dalam bentuk tablet 500 mg yang bisa diberikan bersamaan dengan makan. Kadar serum puncak 45g/ml dalam waktu 2 jam dan toksisitas hati kecil. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat banyak. 2,3,11 Efek toksik: 2,3,11 Athralgia, artritis Gout akibat hiperurisemia Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemakaian dosis Iritasi saluran cerna, anoreksia

19

Etambutol Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Peran utama dari obat ini adalah untuk mencegah resistensi obat lain. Dengan dosis 15 20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1,25 gram/hari. Kadar serum puncak 5g dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis 1 atau 2 kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP. Sifat etambutol adalah bakteriostatik dan bakterisidal. 2,3,11 Efek toksik : 2,3,11 Neuritis optika berupa kebutaan terhadap warna merah-hijau (red-green color blindness). Efek ini cukup sering dijumpai pada orang dewasa. Insidensi dari toksisitas optalmologika cukup rendah. Oleh karena pemeriksaan lapang pandang dan warna pada anak-anak cukup sulit dilakukan maka etambutol tidak direkomendasikan untuk terapi rutin pada anak-anak. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan resisten obat jika obat lain tidak tersedia Streptomisin Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraselular pada keadaan basa atau netral, jadi efektif membunuh kuman intraseluler. Obat ini penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis 15 40 mg/kgBB/hari, maksimal dosis 1 gram/hari dan kadar puncak 4050g/ml dalam waktu 1-2 jam. Obat ini dapat melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melawati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, diekskresi melalui ginjal. 2,3,11 Efek toksisitas : 2,3,11 Kelainan pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa tinismus dan pusing Dapat menembus plasenta sehingga hati-hati menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin

20

Gambar 7. Obat TBC Lini I Nama Obat Dosis harian (mg/kgBB/hari) Isoniazid
Rifampisin**

Dosis maksimal (mg/hari) 300 600

Efek Samping

5-15* 10-20

Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid Etambutol

15-30 15-20

2000 1250

Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang, buta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin

15-40

1000

Ototoksis, nefrotoksik

Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.

**

Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.

Gambar 8. Dosis Obat Antituberkulosis (OAT)

Obat

Dosis (mg/kgbb/hari)

harian Dosis

2x/minggu Dosis

3x/minggu

(mg/kgbb/hari) 15-40 (maks. 900 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 50-70 (maks. 4 g) 50 (maks. 2,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

(mg/kgbb/hari) 15-40 (maks. 900 mg) 15-20 (maks. 600 mg) 15-30 (maks. 3 g) 15-25 (maks. 2,5 g) 25-40 maks. 1,5 g)

INH Rifampisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin

5-15 (maks 300 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-40 (maks. 2 g) 15-25 (maks. 2,5 g) 15-40 (maks. 1 g)

21

Gambar 9. Regimen Pengobatan TBC anak


2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan

Isoniazid Rifampisin Pirazinamid

Etambutol Streptomisin Prednison

3.2 Fixed Dose Combination (FDC) 2,3 FDC adalah sediaan obat kombinasi dalam dosis yang telah ditentukan. Untuk menjaga kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. 1,2,3 Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB : 1,2,3 Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien Mempermudah pengelolaan obat (proses pengadaan, peyimpanan, dan distibusi obat) Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (mooterapi) sehingga mengurangi resistensi Mengurangi kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan.

Gambar 10. Dosis kombinasi FDC TBC pada anak Berat badan (kg) 2 bulan RHZ (75/50/150 mg) 59 10 19 20 32 1 tablet 2 tablet 4 tablet 4 bulan RH (5/50 mg) 1 tablet 2 tablet 4 tablet

22

Catatan:

Bila BB 33 kg dosis sesuai tabel yang sebelumnya. Bila BB < 5 kg sebaikna dirujuk ke RS. Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah).

II.Obat Tuberkulosis Sekunder (second line) Asam Para-amino Salisilat (PAS) Dahulu merupakan OAT garis pertama bersama dengan isoniazid dan streptomisin, kemudian kedudukannya digantikan oleh etambutol. PAS memperlihatkan efek bakteriostatik terhadap M tuberculosis dengan menghambat secara kompetitif pembentukan asam folat dari asam para-amino benzoat. Dosis terapi yang biasa digunakan 150 mg/kg per oral, maksimal 10-12 g/hari. Biasanya dosis yang digunakan dosis tinggi karena PAS cepat di ekskresikan. Penggunaan PAS sering disertai efek samping yang mencakup keluhan saluran cerna, reaksi hipersensitifitas (10% penderita), hipotiroid, trombositopenia, dan malabsorpsi. 11,13,14

Ethionamide Setelah penemuan isoniazid beberapa turunan pyridine lainnya telah diuji dan ditemukan ethionamide dan prothionamide memperlihatkan aktifitas antimikobakteri. Mekanisme kerjanya sama seperti isoniazid, yaitu menghambat sintesis asam mikolat. In-viro kedua turunan pyridine ini bersifat bakterisid, tetapi resistensi mudah terjadi.

Dosis harian adalah 15-20 mg/kg, dosis maksimal 1 gr. Efek samping utama adalah gangguan saluran cerna (diberikan dosis harian terbagi 2-3 kali), hepatotoksisitas (4,3%), ethionamide memperlihatkan kekerapan efek samping yang sedikit lebih rendah dari efek samping prothioamide. Pemeriksaan enzim hati (SGOT/SGPT) harus dimonitor setiap bulannya, dan obat harus dihentikan jika terjadi peningkatan enzim lima kali lipat walaupun tanpa ada gejala. Efek samping yang lain adalah neuritis, kejang, pusing, dan ginekomastia, artalgia. Karena menembus kedalam CSS amat baik dan mungkin terutama berguna pada kasus meningitis tuberkulosis. 11,13,14

Aminoglikosida, Capreomycin, Kanamycin Kelompok obat suntik ini mempunyai mekanisme kerja mengikat ribosom di subunit 30S, yang selanjutnya berakibat pengambatan sistesis protein. Obat ini harus dapat melintasi dinding sel supaya tempat kerjanya di ribosom. Pada pH rendah yaitu di dalam kavitas dan 23

abses, penetrasi obat melewati dinding sel mikobakteri terhalang, dan ini dapat menerangkan kekurangan manjuran aminoglikosida sebagai antituberkulosis. Lebih lanjut aminoglikosida tak dapat melintasi dinding sel, sebab itu tak berkhasiat terhadap mikobakteri intrasel. Aminoglikosida berkhasiat bakterisid hanya terhadap mikobakteri yang sedang membelah dan sedikit sekali efeknya terhadap basil yang tak sedang membelah. Amikacin umumnya aktif terhadap mikobakteri yang sudah resistan terhadap streptomycin, tetapi antara amikacin dengan kanamycin selalu ada resistensi silang. 11,13,14 Di lain pihak mikobakteri yang sudah resisten dengan amikacin selalu resisten pula dengan streptomycin. Capreomycin adalah obat mahal, tetapi aktif terhadap strain mikobakteri yang sudah resisten terhadap streptomycin. Strain yang sudah resisten dengan capreomycin masih dapat diatasi dengan amikacin, tetapi sebaliknya tidak. Capreomycin dan kanamycin adalah obat antituberkulosis injeksi yang tersedia dalam 1 vial dengan dosis harian adalah 15-30mg/kg (IM) atau 1 g sebagai dosis maksimal. Kanamycin

mempunyai efek samping pada nervus VIII yang menyebabkan gangguan pendengaran sama halnya dengan capreomycin. Audiogram dapat dilakukan setiap bulannya pada saat pasien menggunakan terapi capreomycin. Obat ini juga mempunyai efek toksis terhadap ginjal yang menyebabkan kerusakan tubulus ginjal dengan ganggan elektrolit serta terjadi peningkatan kreatinin. Pasien yang lebih tua umumnya lebih rentan dengan efek samping dari capreomycin maka dosis maksimal dibatasi sampai 750 mg. 11,13,14

Beta-laktam Co-amoxiclav dan ampicillin/sulbactam in-vitro mempunyai aktifitas terhadap M tuberculosis. Penghambat beta-laktamase adalah esensial untuk menghambat hidrolisis oleh beta-laktamase yang dihasilkan oleh mikobakteri, sehingga memungkinkan penetrasi aminopenicillin meliwati dinding sel. Akan tetapi aktifitas bakterisid hanya terhadap mikobakteri pada fase eksponensial dan tidak pada fase stasioner, sehingga diperkirakan obat ini hanya bermanfaat untuk mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lainnya yang diberikan bersama. 11,13,14

Cycloserine Cycloserine memperlihatkan efek mikobakteriostatiknya melalui penghambatan sintesis dinding sel. Penelitian klinis yang dilakukan pada tahun 1950-an memperlihatkan kemanjuran yang lebih rendah dibanding dengan PAS, disertai dengan efek samping neuropsikiatrik yang terlihat pada 50% penderita yang menerima dosis 1 gram perhari. 24

Gejalanya mencakup serangan kejang, psikosis, berbicara tak jelas, mengantuk, dan koma. Kejang dan neuropati perifer juga dapat terjadi jika diberikan bersamaan isoniazid. Untuk hal ini perlu diberikan 150 mg pyridoxin untuk mencegah atau meringankan kejadian efek samping neurotoksis. Dalam dosis rendah efek samping kurang kerap; dosis harian yang digunakan adalah 15-20 mg/kg, dosis maksimal 1 gram/hari, dan kadarnya dalam darah dianjurkan tak lebih dari 30 ng/ml. Cycloserin tersedia dalam 250 mg-kapsul. 11,13,14

Fluokinolon Fluorokinolon menghambat trpoisomerase II (DNA gyrase), dan tropoisomerase IV tetapi enzim ini tak ada pada mikobakteri. Sifat penting fluorokinolon adalah kemampuannya untuk masuk ke dalam makrofag dan memperlihatkan efek mikobakterisidnya di dalam sel itu. Yang diakui berkhasiat sebagai OAT adalah fluorokinolon generasi kedua, yaitu ciprofloxacin, ofloxacin, dan levofloxacin. Akan tetapi jumlah kajian klinik yang meneliti peran fluorokinolon pada pengobatan multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB) masih terbatas. Pada kajian-kajian itu oxofloxacin diberikan dalan dosis 400 mg sekali hari dan ciprofloxacin dalam dosis 500-750 dua kali sehari. Akan tetapi belakangan ini oxofloxacin dan ciprofloxacin dirubah dosisnya masing-masing menjadi 800 mg dan 1000 mg yang diberikan satu kali sehari. Di dalam satu uji banding dinyatakan bahwa levofloxacin lebih unggul khasiatnya daripada ofloxacin yang dicakupkan kedalam pengobatan penderita multiple-drug- resistant tuberculosis (MDR-TB). 11,13,14,18 Efek samping yang berkaitan dengan penggunaan fluorokinolon mencakup gangguan saluran cerna, efek neurologik, artopathy dan fotosensitifitas. Percobaan in-vitro dengan fluorokinolon baru yakni gatifloxacin dan moxifloxacin, memperlihatkan aktifitas antimikobakteri yang lebih baik dari levofloxacin. Kedua kinolon baru itu memperlihatkan kadar hambat minimal (MIC) yang lebih rendah dari kinolon lama. Moxifloxacin dalam dosis harian yang direkomendasikan 400 mg terlihat paling aktif terhadap M tuberculosis. Pada penderita dengan tuberculosis aktif, diperlihatkan moxifloxacin mempunyai aktifitas bakterisidal awal yang setara dengan rifampicin. 11,13,14

Penggunaan OAT Sekunder

Penggunaan OAT sekunder ditujukan untuk pengobatan tuberkulosis yang disangka resisten dengan OAT primer. Resistensi primer terjadi bila individu terinfeksi dengan M.tuberculosis yang resisten dengan obat tertentu. Resistensi sekunder terjadi bila organisme 25

resisten obat muncul sebagai populasi dominan selama pengobatan yang terjadi akibat ketaatan yang buruk pada pengobatan oleh penderita atau regimen pengobatan yang diresepkan dokter tidak adekuat. Adanya resistensi mikobakteri terhadap OAT seharusnya ditegakkan melalui drug-susceptibility testing (DST), namun fasilitas laboratorium tak selalu tersedia. Secara klinis seorang penderita TB disangka mengandung mikrobakteri yang resisten bila terjadi kegagalan pengobatan atau kekambuhan. 2,3,11,12 kekambuhan adalah keadaan dimana seorang penderita, selama pengobatan, tetap negatif hasil pemeriksaan sputumnya, kemudian setelah pengobatan selesai hasil pemeriksaan sputum kembali positif atau pemeriksaan radiologik kembali memburuk dan sesuai dengan gambaran tuberkulosis aktif. Kekambuhan penyakit secara retrospektif dikaitkan dengan hasil pemeriksaan sputum yang masih tetap positif setelah pengobatan fase awal/induksi dan adanya cavitas di awal pengobatan. 11,12 Gagal bila pemeriksaan sputum tetap memperlihatkan hasil positif selama pengobatan berlangsung. Penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif pada bulan keempat dapat dinyatakan sebagai gagal pengobatan. Sebab utama dari kegagalan pengobatan adalah penggunaan obat yang tak memadai yang mencakup ketakpatuhan minum obat. Penyebab lain adalah penggunaan OAT bermutu rendah, dan regimen pengobatan yang tak memadai, atau penderita yang terinfeksi dengan mikobakteri yang sudah resisten terhadap OAT primer. 11,12 Dalam keadaan tidak dapat dilakukan DST, pengobatan empirik dapat dimulai dengan menganggap penderita mengidap MDR-TB, yang berarti penderita itu mengandung mikobakteri yang sudah resisten dengan paling sedikit dua obat utama yaitu isoniazid dan rifampicin. 11,13,14,15 Pengobatan dengan OAT sekunder memerlukan waktu yang lebih lama, mengandung risiko efek samping yang lebih berat, sehingga ancaman ketidakpatuhan mengikuti pengobatan adalah tinggi. Pengobatan dengan OAT sekunder menghasilkan konversi sputum setelah 4-7 bulan, dan dilanjutkan selama minimal 18 bulan, jauh lebih lama dari pengobatan yang berintikan isoniazid dan rifampicin pada penderita yang masih sensitive terhadap OAT primer. Obat diberikan setiap hari, tidak ada regimen intermiten dengan OAT sekunder. 11,13,14,15 Bila fasilitas memungkinkan, selama masih berpotensi mernularkan, penderita sebaiknya dirawat dan diisolasi di rumah sakit atau di sanatorium sambil memantapkan kepatuhan penderita melalui edukasi yang intensif. Karena tingginya ancaman kegagalan pengobatan dan tingginya biaya pengobatan MDR-TB, jalan yang terbaik adalah menekan sekecil 26

mungkin terjadinya kasus MDRTB melalui peningkatan kemanfaatan pengobatan penyakit tubekulosis melalui program DOTS. 11,13,14,15

Gambar 11. Obat TBC Lini II


Nama obat Dosis harian (mg/kgBB/hari) Ethionamide atau Prothionamide 15-20 Dosis maksimal (mg per hari) 1000 Muntah, gangguan gastrointestinal *,sakit sendi Floroquinolones** Ofloxacin Levofloxacin Moxifloxacin Gatifloxacin Ciprofloxacin Aminoglycosides Kanamycin Amikacin Capreomycin Cycloserin terizidone 15-30 15-22,5 15-30 10-20 1000 1000 1000 1000 Gangguan psikis, gangguan neurologis Para-aminosalicylic acid 150 12000 Muntah, gangguan gastrointestinal Ototoksisitas, toksisitas hati 15-20 7,5-10 7,5-10 7,5-10 20-30 800 1500 Efek samping

* dapat ditanggulangi dengan dosis terbagi ** meskipun belum disetujui untuk terapi anak tetapi kalau sangat diperlukan dapat diberikan dengan mengabaikan efek samping Pengobatan OAT pada TBC dengan keadaan khusus 2,3,11,13

TBC milier, diberikan 4-5 macam OAT (INH, RIF,PZA, STM) atau ETM selama 2 bulan, dilanjutkan dengan INH dan RIF sampai 9-12 bulan kemudian ditambahkan prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu yang selanjutnya diturunkan secara perlahan-lahan hingga 2-6 minggu

TBC ekstrapulmonal a . TBC kelenjar, dapat sembuh tanpa diobati namun bisa berkembang jadi nekrosis. Terapi yang diberikan 2HRZ + 6HR + perbaikan gizi 27

b. Pleuritis TB, terapi sama dengan terapi TB paru bila berespon maka suhu akan turun dalam 2 minggu terapi, cairan pleura akan diserap dalam 6 minggu. Bila demam berlangsung hingga 2 bulan, diberikan steroid selama 2-6 minggu dengan dosis penuh, kemudian tappering off selama 2-6 minggu c. TBC tulang/sendi, diberikan 2 RHZE +12 RH dan terapi suportif d. TBC SSP (meningitis TB), diberikan 2 HRZE + 10 HR dan Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu dosis penuh dan 4 minggu tappering off e. TBC kulit (skrofuloderma), diberikan 2HRZ + 6RH dan higiene yang baik f. TBC abdomen, terapinya 4-5 macam OAT selama 2 bulan pertama + 12 RH dan kortikosteroid 1-2 mg/kgBB selama 1-2 minggu pertama g. TBC mata, diberikan 2 RHZ + 4 RH dan kortikosteroid topikal h. TBC hati, terapinya 2 RE + 12HR i. TBC ginjal, terapi 4 macam OAT pada 2 bulan pertama + 2 macam obat selama 12 bulan.Kalau dilakukan pembedahan setelah pemberian OAT 4-6minggu j. TBC jantung, diberikan 4-5 OAT untuk 2 bulan pertama dilanjutkan 2 OAT hingga 12 bulan k. TBC perinatal, terapinya 9-12 RH + 2 EZ l. TBC-HIV, dengan terapi 2 RHZ + RH selama 9-12 bulan

3.3 Evaluasi hasil pengobatan Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Pentingnya evaluasi pengobatan adalah karena diagnosis TB pada anak yang sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. 1,2,3,8,10 Apabila respons pengobatan baik yaitu gejala klinisnya hilang dan terjadi penambahan berat badan maka pengobatan dilanjutkan. Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik yaitu gejala masih ada, tidak terjadi penambahan berat badan, maka obat OAT tetap diberikan dengan tambahan merujuk kesarana lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resisten terhadap OAT. Apabila setelah pengobatan 6-12 bulan terdapat perbaikan klinis seperti berat badan meningkat, nafsu makan membaik, dan gejala-gejala lainnya menghilang, maka pengobatan dapat dihentikan.

28

Evalusi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secra rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura, atau bronkopneumonia. Anak dengan TB milier perlu diulang foto toraksnya setelah 1 bulan evaluasi pengobatan sementara pada efusi pleura TB setelah 2 minggu

3.4 Evaluasi efek samping hasil pengobatan Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, obat-obat tuberculosis dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian INH dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas. Efek samping ini jarang terjadi pada pemberian dosis INH yang tidak melebihi 10 mg/kg BB/hari dan dosis hari dan dosis rifampisin yang tidak lebih dari 15 mg/Kg BB/hari. 2,8,10 Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT/SGPT hingga 5 kali tanpa gejala, atau 3 kali batas atas normal (40 U/L), peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/kg BB/hari dan dosis rifampisin yang tidak lebih dari 15 mg/DL, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai oleh anoreksia, nausea, muntah, dan ikterus. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa pemantauan melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan pada anak dengan penyakit yang berat, seperti TB milier, meningitis TB, keadaan gizi buruk, serta pasien yang memerlukan dosis INH dan rifampisin lebih besar dari dosis yang dianjurkan. 2,8,10 Pada keadaan ini, hepatotoksisitas biasanya terjadi pada 2 bulan pertama pengobatan. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan yang cukup sering (misalnya setiap 2 minggu) selama 2 bulan pertama, dan selanjutnya dapat lebih jarang. Sedangkan pada anak dengan penyakit yang tidak berat dan dosis obat yang diberikan tidak melebihi anjuran, pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara rutin. Pada keadaan ini, hanya diperlukan penapisan (screening) fungsi hati sebelum pemberian terapi serta pemantauan terhadap gejala hepatotoksisitas. 2,8,10 Penatalaksanaan hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yagn tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan lebih dari 3 kali nilai normal memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Namun, mengingat pentingnya rifampisin dalam panduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. 29

Akhirnya, disimpulkan bahwa paduan pengobatan dengan INH dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat. 2,8,10 Apabila peningkatan enzim tranaminase lebih dari 5 kali, semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim trasaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah kembali normal. Terapi berikutnya dilakukan dengan cara memberikan INH dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-dose) dan pirazinamid digunakan dalam panduan pengobatan. 2,8,10

3.5 Putus obat Tejadi bila berhenti menjalani pengobatan selama 2 minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.2

3.6 Multi Drug Resistance (MDR) TB Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan. Manajemen TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.9 Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja.2 30

3.7 Nonmedikamentosa

I. Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.2 Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai berikut : 2,12 Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO). Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB. II. Sumber penularan dan case finding Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.2 Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.3,5

31

III. Aspek edukasi dan sosial ekonomi Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.3,5

3.8 Pencegahan I. Imunisasi BCG Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Gurin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.2,3,5,19 Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan optimal.5,1 II. Kemoprofilaksis16 Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, 32

sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.2,3 Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping obat.3,5

3.9 Komplikasi Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.11,13 4. Prognosis Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple 33

terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan. 11,13,14 Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.12,14

34

BAB IV KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari pulmonary TB. Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan ,anoreksia dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu, diare persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah). Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin, interferon, radiologi, tes serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan patologi anatomi. Untuk memudahkan diagnosis dapat digunakan sistem skoring TB Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.

35

BAB V DAFTAR PUSTAKA

1. Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 : 85264. 2. Nastiti R, Darmawan B S, dkk. Tuberkulosis. Bab 4. Buku ajar respirologi anak, edisi pertama. IDAI 2010. 162-252 3. Nelson LJ, Schneider E, Wells CD, and Moore M.Nelson Textbook of Pediatrics. Chapter XVII Infection : Section III Bacterial Infection: Tuberculosis. 18th edition. Philadelphia: W.B.Saunders Company, 2007 4. NN. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 27 Juli 2009. Available from http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf 5. 4.Chandra P, Evelyn P. Tuberculosis. 22 Juli 2009. Available from

http:// www.en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis 6. Rahajoe, Nastiti N., dkk, Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. UKK Pulmonologi PP IDAI, Juni, 2005. 7. Tierney Jr., Lawrence M, Current Medical Diagnosis and Treatment. Chapter 9 Lung : Pulmonary Infections: Pulmonary Tuberculosis, Mc Graw Hill, 2008. 8. Anne A G, Peter J, dkk. Tuberculosis.Chapter 39. Infectious diseases of children. Eleventh edition. Krugmans. 2004 9. World Health Organization. Implementing the WHO Stop TB Strategy-A handbook for national TB control programmes. Chapter Children. Geneva, WHO. 2008 10. Staff pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Buku kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Tuberkulosis Pada Anak. Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 2005 11. Perkumpulan Pemberantasan Tuberukulosis Indonesia. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Vol 3. 2 September 2006 12. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 9981005, 1045-9 13 George, Sobenna A, and others. Pediatrics Infection Journal. The role of chest Radiograph and Tuberculin skin test. Published on 5
th

4- Tuberculosis in

May 2011. Available at :

http://medscape.com/viewarticle/741154. Accesed on 19th May 2011 36

14 American Thoracic Society. Diagnosis and treatment of disease caused by

nontuberculous mycobacteria. Am Rev Respir Dis 1990;142:940. 15. Hsu KHK. Thirty years after isoniazid: its impact on tuberculosis in children and adolescents. JAMA 1984;251:1283--1285. 16. Nolan CM, Goldberg SV, Buskin SE. Hepatotoxicity associated with isoniazid preventive therapy. JAMA 1999;281:1014--1018. 17. Steele MA, Burk RF, DesPrez RM. Toxic hepatitis with isoniazid and rifampin. Chest 1991;99:465471 18. Shafran SD, Singer J, Zarowny DP, Phillips P, Salit I, Walmsley SL, et al. A comparison of two regimens for the treatment of Mycobacterium avium complex bacteremia in AIDS: rifabutin, ethambutol, and clarithromycin versus rifampin, ethambutol, clofazamine, and ciprofloxacin. N Engl J Med 1996;335:377383 19. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society. Control and prevention of tuberculosis in the United Kingdom: Code of Practice 2000. Thorax 2000;55:887-901

37

You might also like