You are on page 1of 100

DAFTAR ISI Kata Pengantar dan Ucapan Terima Kasih 1 Mengapa Kriminologi Psikososial?

2 Psikologi dan Subjek Kriminologi 3 Sosiologi dan Subjek Kriminologi 4 Menuju Subjek Psikososial: Kasus Gender 5 Kecemasan, Pembelaan Diri dan Ketakutan atas Kejahatan 6 Feminisme, Ambivalensi dan Pemerkosaan Kencan 7 Kerentanan, Kekerasan dan Pembunuhan Berantai: Kasus Jeffrey Dahmer 8 Memahami Para Pelaku Perlecehan Rasial 9 Membaca Ulang The Jack-Roller sebagai Subjek yang Dipertahankan 10 Penyalahgunaan Domestik, Penolakan dan Intervensi Perilaku Kognitif 11 Keadilan Restoratif, Malu Reintegratif dan Intersubjektivitas 12 Kesimpulan 13 Referensi Indeks PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH Menelusuri masa persiapan dari proyek tertentu selalu agak artifisial karena di balik setiap permulaan selalu ada titik awal lain yang potensial. Tetapi, dalam kasus buku ini, yang memiliki suatu klaim sekuat seperti yang lain adalah undangan (kepada TJ), yang secara hangat diperpanjang oleh Russell Hogg dan Kerry Carrington, untuk mempresentasikan sebuah makalah pada Konferensi Kemana Kriminologi Kritis? yang diadakan di University of Western Sydney pada Februari 2001. Makalah yang

dihasilkan, Bagi sebuah Kriminologi Psikososial (kemudian diterbitkan dalam K. Carrington dan R. Hogg (eds) The Future of Critical Criminology, Willan, 2002) menyediakan pembenaran dan alat pola (template) untuk suatu proyek yang lebih lama serta lebih maju. Pada sekitar waktu yang sama, DG meresmikan program baru bagi para mahasiswa sarjana dan mahasiswa pascasarjana tingkat akhir yang disebut Kontroversi-kontroversi Psikososial dalam Kriminologi. Mata kuliah ini menyediakan baik pembenaran teoritis untuk peralihan psikososial di bidang kriminologi dan, dengan menggunakan berbagai topik kriminologi, menunjukkan bagaimana pendekatan psikososial dapat menawarkan pemahaman yang lebih dalam serta lebih tajam. Sejak itu mata kuliah telah diajarkan oleh seseorang atau lainnya dari kita, dengan penekanan dan topik yang sedikit berbeda, setiap semester. Antusiasme di mana para mahasiswa kami menyambut mata kuliah ini mempertahankan keyakinan kami bahwa sebuah buku semacam ini adalah sebuah tambahan yang diperlukan pada kepustakaan kriminologi yang terus berkembang. Ini, kemudian, merupakan titik awal lain yang penting karena ia memberikan argumentasi utama dari buku beserta strukturnya. Titik awal ganda ini, seperti makalah konferensi dan pengajaran mata kuliah, adalah penting untuk menekankan semenjak ia membantu dalam memahami buku apa ini, yaitu, buku teks berbasis penelitian. Meskipun sedikit buku-buku akademis pada harihari ini yang murni monografi penelitian atau buku teks, sebagian besar cenderung berkonsentrasi baik pada laporan temuan-temuan penelitian untuk kepentingan cendekiawan akademisi ataupun sintesisa lapangan bagi kepentingan para mahasiswa. Tujuan kita telah menguji keduanya. Jadi, apapun topik substantif tertentu, kita menawarkan ikhtisar kritis (meskipun dipotong) dari kepustakaan-kepustakaan yang

relevan serta suatu argumentasi berbasis penelitian mengapa suatu psikoanalitikal dinotifikasikan, transformasi psikososial lapangan adalah sangat penting. Jadi, ini bukan sebuah buku yang memberikan ikhtisar, buku teks fesyen, segala hal psikososial dalam domain kriminologi. Sebaliknya, ini merupakan suatu intervensi berbasis penelitian ke dalam medan pertempuran ide-ide kriminologimenghasilkan kasus untuk jenis tertentu dari putaran psikososial--yang kita harapkan akan terlibat baik para pemula di bidang akademis maupun cendekiawan dalam ukuran yang sama. Banyak penelitian atas mana buku ini didasarkan tidak akan mungkin terjadi tanpa banyak bantuan dari Dewan Penelitian Ekonomi dan Sosial. Penelitian yang didanai ESRC (RES-000-23-0171) Konteks dan Motif dalam Perbuatan Kekerasan dan Pelecehan Termotivasi Ras berkontribusi secara langsung untuk penelitian yang dilaporkan dalam bab 8; data yang dibahas di bab 5 dan 11 dihasilkan dalam program penelitian yang didanai ESRC (L210252018) Perbedaan Gender, Kecemasan dan Ketakutan atas Kejahatan; dan studi doktor yang didanai (DG) ESRC, Deconstructing Male Violence (dibimbing oleh TJ dan dipertahankan pada bulan Januari 2001) menyediakan bahan-bahan penting untuk Bab 10. Jika titik awal adalah sulit karena tidak pernah ada permulaan yang murni, mengakui utang, intelektual dan praktis, adalah tugas yang berpotensi tidak berujung: di balik setiap utang yang diakui adalah suatu yang tidak terbayar (sebagaimana seseorang yang telah mengambil waktu untuk kembali pada teks-teks klasik akan menemukannya). Namun (dan dengan permintaan maaf kepada mereka yang secara tidak sengaja dihilangkan), kami ingin berterima kasih: Steve Farrall, karena memperkenalkan kami pada bidang karir kriminal dan absen selama beberapa tahun, sebagaimana juga umpan

balik pada Bab 5; Shadd Maruna, Amanda Matravers, Mechthild Bereswill, Ankie Neuber, Almut Koesling, Alison Brown, dan Loraine Gelsthorpe yang semuanya berkontribusi pada sebuah sesi di konferensi BSC Leeds pada 2005 yang ditujukan untuk mengkaji Jack Roller; Eugene McLaughlin dan Lynn Chancer untuk menyetujui mencurahkan seluruh isu Theoretical Criminology untuk penerbitan karya-karya ilmiah Leeds; Lynn Chancer (lagi) atas komentar-komentar mendalam dia dalam artikel TJ Subordinasi maskulinitas hegemonik (diterbitkan di TC 6 (1) 2002) yang mendukung beberapa gagasan dalam bab 4; Pusat Pembelajaran Seumur Hidup di Pusat Universitas Roskilde serta Grup Penelitian Internasional untuk Analisis Psiko-Sosial karena menyediakan audiens yang tertarik, bijaksana, serta berwawasam dan tempat nan ramah, selama bertahun-tahun, mereka yang menghadiri Metode ESRC dalam Seminar Dialog IV yang diselenggarakan di University of East London pada Desember 2004 di mana materi kasus yang disajikan dalam Bab 8 adalah dipresentasikan di sana; Phil Cohen, Ben Bowling, Mark Israel dan Pnina Werbner yang juga memberikan komentar-komentar yang berguna pada karya kita mengenai kejahatan bermotif rasial; rekan-rekan Keele yang dahulu maupun sekarang atas rasa ingin tahu teoritis serta penerimaan terhadap banyak gagasan yang terkandung di sini; Abby Stein untuk penerimaan antusiasnya atas presentasi dari TJ mengenai tema-tema buku di John Jay College pada bulan Oktober 2006; Marian Fitzgerald untuk komentar hati-hati dia pada versi sebelumnya dari bab 11; Mike Nellis untuk tanggapan berpengetahuan luas pada beberapa konferensi di mana bagian-bagian dari buku ini telah disajikan; Paul Gray dan Claire Fox, para mahasiswa PhD yang dengannya DG telah bekerja melalui suatu pemahaman teks-teks psikoanalitik selama beberapa tahun, Stephen Frosh, Mike

Rustin, Kerry Carrington, Russell Hogg dan Lynn Froggett atas antusiasme umum, dukungan, serta dorongan terhadap suatu pendekatan psikososial; Bill Dixon, yang keterlibatannya dalam penelitian pada kekerasan rasial telah terus-menerus terbukti suatu pemeriksaan yang tidak ternilai pada imajinasi-imajinasi psikoanalitik kita; dan Wendy Hollway, yang karyanya sendiri, kolaborasi-kolaborasi sebelumnya dengan TJ, serta komentar-komentar bermata elang tentang hampir semua hal yang dituliskan oleh kami, baik secara independen maupun bersama-sama, telah secara konsisten inspirasional dan tajam. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada banyak orang yang kami wawancarai dalam berbagai proyek penelitian di mana data mentah mereka yang kita tarik begitu luas untuk menghasilkan argumentasi psikososial kami. Tanpa kesediaan subjek-subjek penelitian kami untuk membagikan kisah-kisah mereka yang kadang-kadang menyakitkan, seringkali menyentuh, kasus untuk suatu kriminologi psikososial akan jauh kurang menarik daripada yang ditetapkan pada halaman-halaman berikut ini. Akhirnya, kita perlu mengakui bahwa kita sendiri bertanggung jawab untuk setiap kesalahan apapun, baik itu penghakiman, interpretasi ataupun fakta. 1 MENGAPA KRIMINOLOGI PSIKOSOSIAL? Titik awal kita adalah sebuah penekanan, dikembangkan selama bertahun-tahun dari mengajar kriminologi, bahwa pelaku kriminal telah lama berhenti menjadi ketertarikan dari banyak kriminolog, terutama terhadap yang dari persuasi radikal. Hasilnya adalah bahwa subjek (konsepsi dari apa ia menjadi seseorang) diandaikan dalam teori-teori kejahatan yang ada--apakah psikologis, sosiologis, psikososial atau terintegrasi--adalah

sangat tidak memadai, tidak dapat dikenali sebagai manusia yang kompleks serta kontradiktif yang beroperasi dalam keadaan lingkungan sosial yang seringkali sulit dan lintas-tekanan di mana kita mengetahui menjadi kenyataan dari semua kehidupan kita. Di tempat subjek manusia yang morat-marit kompleks dibidik dengan kecemasan serta keraguan, perasaan konflik dan keinginan yang susah diatur, kita ditawarkan karikatur yang terkuras: individu-individu membabat konteks sosial mereka, atau yang bertindak kami diberitahukan--murni atas dasar alasan atau pilihan, hanya tertarik pada maksimalisasi dari utilitas. Atau, kita disajikan dengan individu-individu yang tidak lain adalah produk-produk dari keadaan sosial mereka yang tidak dilanda oleh konflik apapun baik di dalam batin mereka ataupun di dunia luar mereka: konstruksi-konstruksi sosial murni, untuk menggunakan jargon modis. Kita berpikir hal ini penting karena beberapa alasan. Pada tingkat teori, konseptualisasi yang tidak memadai dari subjek adalah faktor penunjang dalam kegagalan yang terusmenerus dari kriminologi guna menjelaskan, secara meyakinkan, sangat banyak tentang penyebab kejahatan. (Terdapat alasan-alasan jelas lainnya, seperti upaya yang agak absurd oleh beberapa pihak untuk menghasilkan sebuah teori umum tentang sesuatu yang sedemikian beragam dan terikat konteks seperti kejahatan, tetapi ini hanya memperkuat poin umum kita.) Kegagalan ini menyajikan kita dengan tujuan utama kita, yaitu, untuk mulai memperbaiki situasi ini. Dengan menggantikan subjek-subjek karikatur dari teori kriminologi yang dengan subjek-subjek nyata dapat dikenali (kompleks secara internal, terletak secara sosial) dan kemudian memeriksa kasus-kasus tertentu dalam beberapa detail, kami berharap dapat memberikan kontribusi untuk memahami penyebab-penyebab atas kejahatan tertentu. Selain itu, kita mempercayai

bahwa suatu subjek psikososial yang diteorikan lebih memadai dapat membantu kita untuk berpikir secara lebih produktif tentang penekanan-penekanan lain di dalam kriminologi: perdebatan mengenai viktimisasi (dalam Bab 5) dan sekitar jenis-jenis tertentu dari hukuman (pada Bab 10 dan 11). Kegagalan untuk mengatakan sesuatu yang meyakinkan tentang penyebab-penyebab dari perkara-perkara kejahatan hal ini juga pada tingkat ketertarikan mahasiswa. Apa yang seringkali membangkitkan minat banyak mahasiswa kriminologi, terutama mereka yang juga mempelajari psikologi, adalah pertanyaan tentang motif: mengapa dia/mereka melakukan itu?, terutama jika kejahatan tersebut sangat tidak biasa, ekstrim atau aneh. Memang, menyebarkan ketertarikan populer dalam kisah-kisah kejahatan sejati memberitahukan kita bahwa ketertarikan dengan kejahatan-kejahatan yang tidak biasa jauh melebihi akademik. Salah satu respons terhadap ketertarikan ini adalah untuk melihatnya sebagai entah bagaimana voyeuristik yang tidak sehat (yang mungkin, tentu saja) dan guna mengarahkan para mahasiswa untuk perhatian riil atas kriminologi, yang cenderung berarti hal-hal yang harus dilakukan dengan kontrol dan kriminalisasi. Hal ini tentu saja bagian dari tugas kita sebagai kriminolog untuk menunjukkan para mahasiswa bahwa kriminologi mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai kontrol dan kriminalisasi serta kejahatan, dan bahwa kejahatan secara rutin melibatkan hal duniawi serta kecil daripada hal yang serius dan luar biasa. Tetapi, itu pasti juga menjadi bagian dari pekerjaan kita untuk mengatasi apa yang disebut dalam bahasa sehari-hari sebagai pertanyaan-pertanyaan kriminalitas: mengapa ia adalah bahwa individu-individu tertentu melakukan kejahatan-kejahatan tertentu, termasuk jenis yang sangat serius dan relatif jarang terjadi--terutama karena ia terus-menerus

menarik. Bukankah bagian dari tugas kita untuk mengubah voyeurisme (kegemaran menonton kegiatan seksual orang lain) menjadi suatu pemahaman yang tepat? Bagian dari keengganan kriminologi untuk menyimpang terlalu jauh dari rutinitas dan kebiasaan harus dilakukan, kita berpikir, dengan suatu pendekatan terhadap teori yang didominasi oleh kaidah, daripada pengecualian apapun untuknya. Jadi, jika sebagian besar perilaku buruk adalah lumrah dan singkatperkelahian remaja, vandalisme, mengutil dan kemabukan, misalnya--maka sebuah teori yang tampaknya menjelaskan banyak dari ini--kaidah--cenderung dipandang sebagai cukup berguna untuk semua tujuan-tujuan praktis (kebergunaan teori menjadi penekanan endemik dari suatu disiplin yang berakar pada pragmatisme eklektik dan dengan keterkaitan yang kuat pada praktik). Dengan demikian, teori-teori perilaku buruk tampaknya tidak merasa perlu juga untuk merangkul aktivitas-aktivitas perilaku buruk yang kurang umum seperti pedofilia remaja, pemerkosaan serial dan kekerasan ekstrem, misalnya. Ini dapat dikesampingkan sebagai pengecualian-pengecualian--yang, dalam praktiknya,

cenderung berarti ditinggalkan sebagian besar pada wacana-wacana patologi (psikopat, sosiopat, gangguan kepribadian antisosial) guna menjelaskannya. Jadi, bagian dari ketertarikan kita dalam beberapa kejahatan yang lebih ekstrem harus dilakukan dengan perasaan kita bahwa teori harus mampu mencakup pengecualian serta kaidah, suatu pendekatan untuk berteori yang berhubungan dengan komitmen kami terhadap studi kasus. Berbicara secara ontologis, ketertarikan kita dalam menjelaskan kejahatan-kejahatan yang luar biasa berasal dari sebuah pandangan bahwa semua kejahatan, termasuk yang paling aneh tampaknya, adalah normal dalam arti bahwa hal itu dapat dipahami dalam

kaitannya dengan proses psikososial yang sama yang mempengaruhi kita semua-banyak pada cara di mana Freud memandang penyakit mental. Kita semua lebih atau kurang neurotik dan kehidupan, diberikan urgensi-urgensi psikososial tertentu, dapat membuat psikotik salah satu dari kita. Hal ini tidak meniadakan kebutuhan untuk memahami, tetapi ia mengharuskan kita melakukannya dengan menggunakan pemahaman atas kehidupan psikis serta dari dunia sosial--dan keterkaitan mereka--yang berlaku bagi semua: pengunjung gereja pasifis sebagaimana juga pembunuh berantai. Ini seharusnya memanusiawikan si kriminal, betapapun mengerikan perbuatan dia, serta menyelamatkan dia dari sikap merendahkan tidak memahami dari mempatologikan wacana-wacana serta praktik-praktik eksklusif ini yang cenderung untuk dimajukan. Yang membawa kita lebih jauh pada pemicu politik, alasan mengapa kegagalan kriminologi untuk menghasilkan subjek-subjek yang dapat diakui secara masuk akal melakukan hal-hal kejahatan tertentu: ia di mana kita tidak mengerti kita dapat lebih mudah mengutuk, sehingga memungkinkan masyarakat setan dan kepanikan moral untuk terus eksis secara menonjol dalam politik kontemporer dari hukum dan ketertiban. Demonisasi saat ini dari pencari suaka dan teroris mungkin membuat sebagian merasa lebih baik, tetapi dalam bergerak menjauh dari pemahaman yang lebih baik atasnya di mana mereka mencari kambing hitam, mengecam diskursus-diskursus yang menjadikan dunia tempat yang lebih menakutkan daripada yang sudah-sudah. Karena pengkambinghitaman tersebut cenderung diarahkan kepada kelompokkelompok yang paling lemah dalam masyarakat wacana-wacana yang memburukkan ini juga membuat dunia menjadi tempat yang kurang adil daripada sebelumnya, menunjukkan bahwa menangani pertanyaan-pertanyaan mengenai kriminalitas serta

motivasi adalah tidak berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kontrol dan kriminalisasi. Akhirnya, kegagalan kita sebagaimana para kriminolog menganggap serius pertanyaanpertanyaan dari subjek individu, sebagai pelaku atau korban, akan memungkinkan psikologidisiplin jangka panjang dengan hubungan yang buruk dalam proyek kriminologi--untuk merebut kembali wilayah tertentu. Minat baru ditunjukkan oleh para psikolog di bidang kriminologi, dibuktikan dengan munculnya buku-buku teks (McGuire, 2004) serta artikel-artikel (Hollin, 2002) yang didedikasikan untuk kriminologi psikologis, dan pertumbuhan program-program universitas dalam psikologi forensik, menunjukkan hal ini sudah terjadi. Meskipun ia tidak lagi adil untuk mengkarakterisasi semua pekerjaan ini sebagai memiliki penekanan berlebihan pada individu yang adalah sesuatu yang tradisional (McGuire, 2004: 1), ia masih terjadi bahwa konsepsi dari pelaku adalah tetap, dalam istilah kita, tidak memadai. Ketika baik para kriminolog maupun psikolog gagal untuk menjelaskan kejahatan tertentu secara memadai, hanya penulis/jurnalis yang tersisa untuk menyumbat kesenjangan tersebut. Mengingat bahwa mereka biasanya tidak terlatih dalam ilmu-ilmu sosial, betapapun menarik dan mendalam karya mereka--dan banyak karya yang baik mengenai kejahatan tertentu, terutama pada pembunuhan, telah berasal dari penulis/jurnalis (misalnya Burn, 1984, 1998; Gilmore, 1994; Mailer, 1979; Masters, 1985, 1993; Morrison, 1998; Sereny, 1995, 1999; Smith, DJ, 1995; Smith, J., 1993)--ini adalah hampir suatu keadaan yang memuaskan (suatu titik kita kembali ke bawah, di bagian Mengapa studi kasus?).

Jadi, ini adalah sebuah buku yang menunjukkan kekurangan dari subjek yang diasumsikan dalam beberapa pendekatan teoritis utama untuk menjelaskan kejahatan di dalam kriminologi, lalu menunjukkan, melalui serangkaian studi kasus, bagaimana pendekatan tertentu yang relevan gagal untuk membuat pemahaman yang memadai atas suatu kejahatan, korban atau hukuman tertentu dan bagaimana penggunaan tepat dari subjek teori psikososial dapat lebih baik menerangi hal-hal tersebut. Prosedur ini membuat dua hal penting: sifat dari subjek psikososial kita serta ketergantungan kita pada studi-studi kasus. Kita perlu, oleh karena itu, untuk mengatakan sesuatu di sini secara singkat dalam pembenaran dari keduanya. Apa yang dimaksud dengan subjek psikososial? Sebagaimana pencarian literatur sepintas menunjukkan, Cukup sering...istilah psikososial digunakan untuk merujuk pada artikel-artikel yang secara relatif konvensional berhubungan dengan penyesuaian sosial atau hubungan-hubungan interpersonal, misalnya (Frosh, 2003: 1547). Dalam kasus spesifik kriminologi, ia cenderung digunakan untuk menggambarkan suatu kombinasi ateoritis tindakantindakan psikologis dan sosial--dipahami sebagai variabel-variabel atau risiko serta faktor-faktor pelindungguna membedakan para pelaku perbuatan buruk dari nonpenjahat, misalnya. Karya Sir Cyril Burt The Young Delinquent, diterbitkan pada tahun 1925 dan seringkali dianggap sebagai karya utama pertama dari kriminologi Inggris modern (Garland, 2002: 37), menjelaskan perilaku buruk kebanyakan sebagai hasil dari faktor-faktor psikososial: biasanya sebanyak sembilan atau sepuluh--beroperasi sekaligus pada seorang individu (ibid: 38). Hampir 60 tahun kemudian, Rutter dan Giller (1983: 219), (1983: 219), setelah suatu kajian komprehensif dari penelitian

empiris tentang kenakalan remaja yang pada awalnya dilakukan untuk Home Office dan DHSS, menyimpulkan bahwa berbagai variabel psiko-sosial terkait dengan perilaku buruk. Variabel-variabel ini (karakteristik keluarga, film-film dan televisi, respons peradilan, pengaruh sekolah, daerah, lingkungan fisik serta perubahan sosial) masing-masing kemudian dibahas secara singkat dalam hal-hal apa yang kemudian dikenal (biasanya tidak banyak, sepertinya) mengenai dampak dari masingmasing serta kekuatan relatif mereka sebagai faktor-faktor penyebab. Ini bukan maksud kita mengenai istilah psikososial. Sebaliknya, pemahaman kita ini adalah sejalan dengan yang berasal dari Stephen Frosh: sebuah merek dari penelitianpenelitian psikososial yang mengadopsi suatu sikap kritis terhadap psikologi secara keseluruhan, namun tetap berakar dalam upaya untuk menteorikan subjek psikologis (Frosh, 2003: 1545). Sebagian besar inisiatif telah muncul, Frosh mencatat, terutama dari disiplin-disiplin yang terletak dalam hubungan yang kritis dengan psikologi akademik arus utama--sosiologi dan psikoanalisis, dengan aplikasi-aplikasi seperti karya sosial dan kajian-kajian budaya (Ibid: 1549). Meskipun inisiatif-inisiatif ini berbeda dengan tepat bagaimana mereka memahami psikososial, mereka berbagi beberapa fitur yang membedakan pendekatan-pendekatan mereka dari upaya-upaya konvensional yang hanya tertarik dalam mengidentifikasi berbagai faktor-faktor psikososial bukan problematis yang dikonseptualisasikan. Yang pertama adalah kebutuhan untuk memahami subjek manusia sebagai, secara bersamaan, produk-produk dari dunia psikis mereka sendiri yang unik dan suatu dunia sosial bersama. Ini bukan suatu gagasan yang mudah untuk dikonsepkan. Pada satu titik Frosh berbicara mengenai psikososial sebagai sebuah entitastidak terputus-putussuatu ruang di

mana gagasan-gagasan secara konvensional dibedakanindividual dan masyarakat menjadi yang utamaalih-alih pemikiran bersama, sebagai secara erat terhubung atau bahkan mungkin hal yang sama (ibid: 1547). Di tempat lain, Frosh melontarkan ini secara lebih spesifik ketika dia berbicara tentang subjek yang baik suatu pusat lembaga maupun tindakan (suatu pengguna-bahasa, misalnya) serta subjek dari (atau mengalami) paksaan operasi dari tempat lain--apakah ia menjadi mahkota, negara, jenis kelamin, ras dan kelas, atau tidak sadar...itu adalah...sebuah situs, di mana terdapat silang-persimpangan dari garis-garis kekuatan, dan dari mana fitur berharga atas keberadaan, subjektivitas manusia, muncul (ibid: 1549, penekanan dalam orisinal). Hal yang penting adalah bagaimana untuk bertahan pada psikis maupun sosial, tetapi tanpa meruntuhkan satu kepada yang lainnya. Konseptualisasi subjek psikososial ini secara non-reduktif menyiratkan bahwa kompleksitas dari bagian dalam maupun luar dunia dipandang secara serius. Mengambil dunia sosial secara serius berarti berpikir tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan struktur, kekuasaan dan wacana sedemikian rupa bahwa subjek yang dikonstruksi secara sosial dapat diteorikan sebagai lebih dari sekadar suatu tipuan ideologi, yaitu,...[sebagaimana] lebih daripada kondisi-kondisi sosial yang melahirkan mereka (ibid: 1552). Mengambil bagian dalam dunia secara serius melibatkan keterlibatan dengan teori psikoanalitik kontemporer karena hanya di sana, dalam pandangan kami, adalah proses yang tidak disadari sebagaimana yang disadari, serta mengakibatkan konflik serta kontradiksi-kontradiksi di antara pemicu, kecemasan dan keinginan, terpapar pada perhatian kritis apapun yang berkelanjutan. Penting untuk menghubungkan subjek psikoanalitik pada domain sosial dari kekuasaan terstruktur

serta diskursus adalah konsep psikoanalisis dari fantasi karena fantasi adalah bukan hanya sesuatu yang menempati suatu ruang internal sebagai semacam mediasi realitas, namun...ia juga memiliki efek material (ibid: 1554). Di sini penggunaan Frosh atas istilah fantasi menggabungkan tidak hanya keasingan yang liarfantasi-fantasi seksual kita lebih aneh, misalnya--tetapi juga imajinasi serta perenungan sehari-hari masyarakat biasa. Untuk menggambarkannya, pikirkan bagaimana kita kadang-kadang membayangkan bertengkar dengan mereka yang telah membuat kita marah di kepala kita (dalam ruang internal) tanpa benar-benar memverbalisasi kegelisahan kita, serta kemudian bagaimana pertengkaran fantasi ini dapat mempengaruhi bagaimana kita kemudian berhubungan dengan orang yang sama ketika kita selanjutnya berbicara kepada mereka (dalam ruang eksternal), meskipun kita berpikir kita telah melupakan semua itu (Segal, 2000). Apa yang psikoanalisis mengajarkan kita bahwa perasaan masyarakat mengenainya serta investasi dalam pengalaman-pengalaman tertentu serta kegiatan sehari-hari adalah diarahkan oleh berfantasi semacam ini. Dengan kata lain, // sosial adalah [selalu] secara psikis diinvestasikan serta psikologis merupakan secara sosial terbentuk, tidak juga memiliki sebuah esensi terpisah dari yang lain. Sama seperti kita membutuhkan suatu teori tentang bagaimana yang lain memasuki apa yang biasanya dipandang sebagai diri, sehingga kita memerlukan konsep yang akan membahas cara-cara apa yang adalah subjektif juga ditemukan di luar sana. // (Frosh, 2003: 1555) Satu hal terakhir tentang bagaimana gagasan kita mengenai psikososial berbeda dari yang konvensional: jika kita memandang psikososial secara serius dalam cara yang hanya disarankan, hal ini tentu mengurangi kegunaan studi-studi lintas bidang, di mana

faktor-faktor disarikan dari konteks serta orang dianalisis secara statistik untuk menilai dampak korelatif mereka (yang begitu mudah diasumsikan menjadi kausatif). Penurunan ini dalam kegunaan dari studi-studi lintas bidang adalah karena psikososial dalam pemahaman kita adalah selalu sosial (ibid: 1551; penekanan dalam aslinya) dan selalu biografi. Oleh karena itu, faktor-faktor psikososial abstrak dari biografi-biografi tertentu dalam rangka untuk melakukan analisis lintas bidang adalah untuk menelanjangi kembali faktor-faktor dari setiap makna sebenarnya semenjak faktorfaktor sedemikian hanya beroperasi dalam cara yang mereka lakukan dalam konteks kehidupan tertentu; di dalam kehidupan lain dengan kontinjensi-kontinjensi psikososial khas miliknya sendiri, makna-maknanya pasti agak berbeda. Adalah fitur ini dari psikososial yang membuat perhatian kita kepada studi-studi kasus individual tidak hanya suatu preferensi istimewa tetapi, seperti yang kita berdebat dalam bagian berikutnya, secara teoritis juga penting. Mengapa studi kasus? Seperti dengan munculnya baru-baru ini ketertarikan dalam studi-studi psikososial, demikian juga, akan muncul menjadi ketertarikan yang berkembang dalam metodologi studi kasus, sebagaimana bibliografi beranotasi di akhir antologi yang sangat baik Case Study Method disunting oleh Gomm, Hammersley dan Foster menegaskannya. Meskipun terdapat suatu pemahaman di mana semua penelitian dapat disebut karya studi kasus karena selalu terdapat beberapa unit, atau sekelompok unit, dalam kaitannya dengan data yang dikumpulkan dan/atau dianalisis (Gomm et al., 2000: 2), biasanya istilah tersebut memiliki arti lebih terbatas. Berbeda dengan eksperimen atau survei sosial (dua bentuk berpengaruh dari penelitian sosial modern) Hammersley dan

Gomm (2000: 4) mengemukakan beberapa definisi karakteristik dari penelitian studi kasus. Secara umum, banyak informasi yang dikumpulkan tentang hanya sedikit kasus-kasus yang terjadi secara alami, kadang-kadang hanya satu, di mana biasanya dianalisis secara kualitatif. Mengingat minat kita dalam proses-proses kompleks yang terlibat dalam pemikiran mengenai subjek psikososial, sebuah komitmen terhadap studi kasus sebagai metode demonstrasi/penjelasan tampaknya tidak hanya tepat tetapi mungkin tidak bisa dihindari. Meskipun milik mereka sendiri dari metode-metode yang agak berbeda, Rutter dan Giller mendukung ini. Dalam gambaran psikososial mereka dari penyebab-penyebab dan berkorelasi atas perbuatan buruk yang disebutkan sebelumnya, mereka menguraikan karakteristik-karakteristik keluarga yang paling terkait dengan perilaku buruk, yaitu, kriminalitas orangtua, pengawasan serta disiplin yang tidak efektif, perpecahan dan ketidakharmonisan dalam keluarga, hubungan orangtua-anak yang lemah, ukuran keluarga yang besar, serta kelemahan psiko-sosial (Rutter dan Giller, 1983: 219). Mereka melangkah dengan mengatakan: // Lebih sedikit yang diketahui mengenai mekanisme-mekanisme yang tepat di mana variabel-variabel keluarga ini memiliki efek-efek mereka, tetapi studi-studi pengamatan belakangan dari interaksi di rumah menawarkan janji kemajuan dalam pertanyaan ini. Lebih banyak penelitian dari jenis tersebut [yaitu studi-studi kasus] diperlukan.// (ibid) Jika kita memerlukan studi-studi kasus observasional rinci dari interaksi sehari-hari atas keluarga-keluarga riil untuk memahami faktor-faktor keluarga dalam perilaku buruk, mengapa begitu banyak masa kriminologi dan uang telah dihabiskan mereproduksi

daftar faktor-faktor yang tampaknya telah mengubah sedikit dari waktu pertanyaanpertanyaan psikososial dari Burt? Mereka menganut gagasan bahwa terdapat suatu subjek rasional atau normal yang terbaik dapat digenggam melalui agregasi dekontekstual seringkali menjawab pertanyaan ini secara membela diri, menyatakan bahwa tidak ada, selain dari dugaan, dapat diperoleh dari analisis kasus-kasus tunggal. Namun, untuk pendukung dari pendekatan studi kasus, ia adalah bekerja melalui dari keseluruhan dan kompleksitas atas data, yang berlaku dalam konteks-konteks sangat khusus, yang memungkinkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana? dan mengapa? harus secara memadai

menyinggungnya. Tidak pelak lagi, pandangan-pandangan mengenai apa studi kasus dapat berkontribusi bahkan berbeda di antara mereka yang menganjurkan metodemetode studi kasus. Stake (2000: 22), misalnya, pendukung pendekatan studi kasus sebagai sarana memastikan pengetahuan penuh dan menyeluruh dari yang tertentu. Pengetahuan tersebut dapat memberikan dasar untuk apa yang disebut Stake sebagai generalisasi naturalistik, yang berarti dia bahwa, dipersenjatai dengan pengetahuan sedemikian, pembaca berada dalam posisi untuk membuat generalisasi-generalisasi berdasarkan pada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Apakah ini suatu jawaban yang cukup baik? Adakah suatu pengakuan berdasarkan pengalaman dari kemampuan penerapan dari studi kasus tertentu dalam konteks baru dan asing (ibid) apa yang kita temukan berharga dalam kasus-kasus tunggal dan karena itu apa yang kita berharap untuk mencapai dengan contoh-contoh terpilih kita? Meskipun kami tidak menentang terhadap penggunaan mendalam dari pengalaman sebagai suatu dasar untuk generalisasi, kita sadar akan kenyataan bahwa, mengingat gagasan kita mengenai

konflik subjek psikososial dengan pengetahuan dirinya adalah selalu kurang lengkap bahkan yang seringkali termotivasi untuk mempertahankan terhadap pengetahuan diri yang menyakitkan--pengalaman bisa menipu sebagaimana juga menginformasikan. Dengan kata lain, pengalaman adalah tidak pernah transparan (atau alami), tetapi selalu tunduk pada karya interpretatif. Bagi kami, kemudian, gagasan Stake bahwa tujuan dari metode studi kasus adalah untuk memfasilitasi generalisasi naturalistik adalah tidak memadai. Sebuah catatan alternatif dari penggunaan studi-studi kasus dapat ditemukan dalam Lincoln dan Guba (2000). Dari titik awal epistemologis yang sama dengan Stake, Lincoln dan Guba berpendapat generalisasi adalah secara intrinsik reduktif. Namun, mereka akan lebih memilih suatu formulasi baru yang diusulkan oleh Cronbach (1975): hipotesis kerja (halaman 38, penekanan dalam aslinya) terhadap gagasan generalisasi. Apakah perubahan dalam terminologi mengubah banyak atas hal-hal? Lincoln dan Guba melangkah untuk menunjukkan bahwa dasar dari pengalihan melintasi konteks adalah suatu fungsi langsung dari kesamaan di antara dua konteks, apa yang kita sebut kesesuaian (ibid: 40, penekanan dalam aslinya), suatu konsep di mana mereka melangkah untuk mendefinisikan sebagai tingkat kesesuaian di antara pengiriman dan penerimaan konteks (ibid). Bagaimana kesesuaian sedemikian untuk dinilai? Untuk membuat penilaian yang didasari informasi tentang ini kita akan membutuhkan sebuah informasi dasar yang tepat (ibid) mengenai kedua konteks. Dengan ini artinya, menyusul Geertz (1973), suatu deskripsi tebal dari keduanya. Sementara pendekatan semacam ini lebih sistematis daripada suatu ketergantungan pada pengalaman naturalistik semata, ia tetap menganut pada empiris semenjak

kesamaan di antara konteks dikatakan menjadi masalah empiris. Mengingat fokus kami pada interpretasi, adalah sulit untuk melihat bagaimana kesesuaian dapat tiba pada keseluruhannya secara empiris. Lincoln dan Guba juga menindaklanjuti saran Schwartz serta Ogilvy (1979) bahwa, sebagaimana Lincoln dan Guba (2000: 41) mengatakan, metafora bagi dunia adalah berubah dari mesin ke hologram. Hal ini memungkinkan mereka untuk menunjukkan bahwa ia berarti kecil di mana kita memulai atau apa yang kita coba karena informasi lengkap mengenai suatu keseluruhan disimpan di dalam bagian-bagiannya (ibid: 43), gagasan yang tidak berbeda dengan gagasan psikologis dari Gestalt (Hollway dan Jefferson, 2000: 68). Hal ini juga membawa pada pikiran ide psikoanalitik, di mana kita memiliki banyak simpati, bahwa gejala-gejala, asosiasi-asosiasi bebas, selip dari lidah, mimpi, dan lain-lain mengungkapkan lebih lanjut mengenai keseluruhan (orang) daripada yang nampak pada wajah merah kemalu-maluan pertama. Tetapi, dan di sini merupakan titik penting, informasi yang terkandung dalam bagian adalah bukan pengungkapan diri: kita harus mengetahui bagaimana untuk menafsirkan itu (ibid: 43). Dan, sebagaimana interpretasi psikoanalitik dari mimpi-mimpi, dan lain-lain bergantung pada sebuah bangunan teoritis yang rumit, begitu juga setiap bagian membutuhkan bantuan teoritis, suatu skema interpretatif, sebelum ia dapat digunakan untuk menerangi keseluruhan. Sekarang kita berada dalam posisi untuk menawarkan jawaban kita atas pertanyaan: apakah ia kita dapat belajar dari suatu studi kasus tunggal? Inti jawabannya adalah bahwa kasus-kasus tersebut membantu pembangunan teori. Memang, mereka penting untuk itu. Semua teori memerlukan pengujian untuk melihat seberapa baik mereka

menjelaskan kasus-kasus tertentu. Ketika diterapkan pada suatu kasus baru, teori dapat dikonfirmasi, atau hanya sebagian, di mana situasi bagian-bagian yang tidak terjelaskan dari kasus ini bertindak sebagai suatu stimulus untuk pemurnian atau guna mengembangkan teori. Mitchell (2000: 170) membuat poin tersebut dengan sangat kuat: Sebuah studi kasus pada dasarnya heuristik; ia mencerminkan dalam peristiwaperistiwa fitur yang digambarkan dapat ditafsirkan sebagai manifestasi umum tertentu, prinsip teoretis abstrak. Namun, adalah penting untuk membedakan ide ini dari dari kekhasan itu. Sebab, ketika masyarakat bertanya, apa ia kita bisa belajar dari sebuah kasus tunggal?, apa yang mereka seringkali memaksudkan adalah bagaimana khas ia?. Ini berarti bahwa kasus-kasus tidak tipikal tidak dapat mengungkapkan apapun tentang nilai. Respons Mitchell terhadap ini adalah untuk berpendapat bahwa guna menanyakan pertanyaan sedemikian dari suatu studi kasus adalah untuk menjadi bersalah atas dua proses inferensial berbeda yang membingungkan: satu statistik, yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana perwakilan, atau tipikal, merupakan fenomena di bawah studi, serta teoritis yang sangat berbeda, yang bertujuan mengungkapkan koneksi-koneksi logis atau kausal. Apakah ini berarti dalam hal-hal generalisasi adalah bahwa kasus ini digeneralisasikan ke sejauh bahwa kasus baru menegaskan kerangka kerja teoritis menginformasikan analisis, pertanyaan empiris tentang seberapa sering hal ini akan terjadi adalah sekadar bukan sesuatu studi-studi kasus yang dirancang untuk menjawabnya. Beberapa hal mengikuti dari ini. Pertama-tama, kasus tidak tipikal adalah sama bergunanya seperti yang lain menyediakan bahwa dasar teoritis secara memadai cukup berkembang guna memungkinkan analis untuk mengidentifikasi di dalam peristiwa-

peristiwa ini operasi dari prinsip-prinsip umum yang tergabung di dalam teori (ibid: 180). Hal ini berkaitan kembali ke titik lebih awal kita tentang maksud penggunaan kita dari kasus-kasus eksepsional dan adalah, mudah-mudahan, sekarang secara tepat dijustifikasi. Kedua, tujuan teoritis dari studi kasus akan menginformasikan penafsiran, yang berarti, pasti, hilangnya sebagian dari kompleksitas kasus. Secara khusus, ini mengarah pada beberapa penyederhanaan dari konteks kasus itu. Namun, Mitchell (ibid: 182) mengacu pada karya-karya lebih awal dari Gluckman (1964) untuk membuat poin bahwa ini adalah benar-benar dijustifikasi...asalkan dampak dari fiturfitur dari konteks tersebut pada peristiwa-peristiwa yang dipertimbangkan dalam analisis ini dimasukkan secara ketat ke dalam analisis tersebut. Ketiga, dan sebagai lanjutan dari ini, apapun fitur-fitur kontekstual yang ditekan untuk kepentingan dari analisis teoritis (dan singkatnya), sangat penting untuk menyediakan para pembaca dengan catatan yang minimal atas konteks untuk memungkinkan mereka menilai sendiri keabsahan memperlakukan hal-hal lain sebagai yang setara dalam contoh tersebut (ibid). Kita memulai bagian ini dengan ide Stake bahwa tujuan dari suatu studi kasus adalah untuk menyediakan suatu pengetahuan secara penuh dan menyeluruh tentang hal tertentu (2000: 22). Dalam penerangan dari perjalanan kita melalui bagian ini, kita sekarang dapat lebih spesifik mengenai hubungan kita dengan gagasan ini. Pada dasarnya, kita melihat versi-versi partikularistik dari studi-studi kasus, yang bagi kita berarti catatan-catatan rinci, deskriptif (deskripsi-deskripsi tebal) dari peristiwaperistiwa tertentu, sebagai titik awal kita. Jadi, misalnya, kita seringkali menggunakan catatan-catatan jurnalistik dari kejahatan-kejahatan tertentu, yang mungkin memang

laporan yang panjangnya sebuku, sebagai dasar, atau bagian dari dasar, atas studi-studi kasus kita sendiri. Tetapi apa yang kita akan tertarik adalah bagaimana kasus-kasus tertentu sedemikian, masing-masing dengan cara-cara mereka yang berbeda, bermanifestasi, untuk menggunakan lagi frase Mitchell, prinsip teoretis abstrak, umum, dari, dalam kasus kita, subjektivitas psikososial serta bagaimana tanpa prinsip sedemikian kasus-kasus tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami. Dalam menyajikan kasus-kasus kita, kami berharap untuk mematuhi konstriksi-konstriksi yang digariskan dalam paragraf sebelumnya, yaitu untuk mencoba untuk memastikan bahwa setiap pengurangan dalam kompleksitas dan dekontekstualisasi keduanya secara teoritis dibenarkan serta terlihat bagi pembaca. Pada akhir dari usaha kami, apa yang kita harapkan untuk menunjukkan adalah sesuatu dari generalisasi atas konsep kita mengenai subjek psikososial. Sebelum meninggalkan bab ini kita memiliki satu tugas terakhir, yaitu, untuk mengatakan sesuatu tentang bagaimana kriminologi, yang mulai menjadi sangat tertarik pada subjek kriminal, telah menjadi hampir acuh tak acuh terhadap topik tersebut. Lebih tepatnya, untuk menghormati para kriminolog tersebut yang telah menunjukkan ketertarikan teoritis dalam para pelanggar, mengapa kriminologi telah menjadi begitu sedikit terpengaruh oleh perkembangan-perkembangan psikososial baru dari 20 tahun terakhir? Apa yang terjadi dengan subjek kriminal? Sebuah jawaban implisit terhadap pertanyaan ini, seperti yang diterapkan terhadap konteks Inggris, yang dapat ditemukan dalam karya David Garland (2002) historiografi kriminologi dari proyek-proyek pemerintah dan Lombrosian. Apa yang Garland

(ibid: 8) telah di dalam pikiran dalam berbicara tentang proyek pemerintahan merupakan // seri panjang atas pertanyaan-pertanyaan empiris, yang, sejak abad kedelapan belas, telah berusaha untuk meningkatkan pemerintahan yang efisien dan setara dengan keadilan dengan memetakan pola-pola kejahatan serta pemantauan praktik dari polisi dan penjara...[Ini] mengerahkan kekuatan pragmatis dari proyek pemerintahan yang berorientasi kebijakan, berusaha menggunakan ilmu pengetahuan dalam pelayanan pengelolaan serta kontrol.// Idenya dari proyek Lombrosian adalah sangat berbeda. Hal ini // mengacu pada suatu bentuk penyelidikan yang bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan eksplanatori, etiologi, berdasarkan pada premis bahwa para penjahat entah bagaimana bisa secara ilmiah dibedakan dari non-penjahat...[Ini adalah] sesuatu yang ambisius...(dan,...sangat cacat) proyek teoritis berusaha untuk membangun suatu sains logika dan penyebab.// (ibid) Apa yang terjadi dengan proyek Lombrosian yang awalnya berbasis kontinental di Inggris adalah bahwa ia tumpang-tindih dengan, atau ditemukan bergema dalam, spesialisasi kuasi-medis baru yang...kemudian dikenal sebagai obat psikologis atau psikiatri (ibid: 22) difokuskan pada penjelasan-penjelasan bio-psikologis atas kegilaan serta karya pidana dan forensik psikiatri akhir kesembilan belas serta awal abad kedua puluh dari para psikiater serta dokter penjara yang mendiagnosis, mengklasifikasikan dan mengobati para penjahat. Memang, Garland mengemukakan bahwa psikiater Henry Maudsley dan dokter penjara Bruce J. Thomson merupakan Lombrosian sebelum

Lambroso telah menuliskan tentang yang orisinal kriminal dan kelas kriminal sedini sejak awal tahun 1860-an. Namun, dorongan umum dari argumentasinya adalah bahwa pendekatan Inggrismenekankan dengan terapi serta dengan

mengklasifikasikan gangguan mental yang bukan jenis kriminal; secara praktis terhubung ke sistem peradilan pidanamemperhalus ide Lambroso dari kriminal sebagai suatu jenis alami dengan hasil bahwa percampuran dari dua proyek menghasilkan suatu gerakan ilmiah yang jauh lebih eklektik serta jauh lebih praktis daripada antropologi kriminal orisinal telah menjadi sedemikian (ibid: 26). Hasil dari ilmu baru kriminologi (ibid: 26) adalah, karenanya, juga lebih bisa diterima oleh masyarakat Inggris. Pada tahun 1920-an dan 1930-an, studi-studi kejiwaan berbasis klinis (ibid: 35) dilakukan pada pelayanan pengobatan dan pencegahan, merupakan arus utama kriminologi di Inggris. Melambangkan pekerjaan ini adalah bahwa dari W. Norwood East, suatu petugas medis penjara yang terlatih secara psikiatri, yang, menurut Garland, adalah sangat berpengaruh meskipun pengabaiannya selanjutnya (ibid: 34). Meskipun suatu pendukung dari pendekatan psikologis terhadap kejahatan (ibid) serta penulis bersama dari sebuah laporan (dengan Hubert) tentang The Psychological Treatment of Crime (1939) (ibid: 35), dia secara konsisten memperingatkan terhadap bahaya serta absurditas membesar-besarkan klaim-klaimnya (ibid), adalah lebih tertarik pada praktik daripada spekulasi teoretis (ibid), serta berpikir bahwa 80 persen dari para pelaku adalah secara psikologis normal dan karena itu diperlukan hukuman rutin, bukan perawatan psikologis (ibid). Meskipun East sendiri adalah memusuhi psikoanalisis, yang lainnya justru tidak. Maurice Hamblin Smith, misalnya, pengajar

Inggris pertama yang terotorisasi atas kriminologi, serta...individu pertama yang menggunakan istilah Kriminolog (ibid: 33). Dia menulis sebuah buku berjudul The Psychology of the Criminal (1922) serta merupakan...salah satu dari para pekerja kriminologi pertama di Inggris yang memiliki minat dalam psikoanalisis...untuk menilai kepribadian dari para pelanggar [dan]...guna mengobati konflik-konflik mental yang, katanya, berada di balik tindak pidana (ibid). Namun, walaupun beberapa perkembangan penting institusional yang berasal dari minat psikoanalisis iniklinik Tavistock (1921) dan (1923) Maudsley, pusat-pusat bimbingan anak yang baru (Ibid: 34), Institute for the Scientific Treatment of Delinquency (ISTD) (1932) dan Klinik Psikopatik miliknya sendiri [1933] (kemudian menjadi, pada tahun 1937, Klinik Portman), The British Journal of Delinquency (1950) (sejak tahun 1960, The British Journal of Criminology)psikoanalisis tetap sebuah anak sungai yang penting (ibid: 37), daripada sebuah arus utama. Suatu jenis kriminologi yang sangat berbeda dibuka oleh publikasi, pada tahun 1913, dari Charles Goring (1913) The English Convict. Disponsori oleh Kantor Dalam Negeri dan Komisi Penjara serta didasarkan pada sampel yang besar dan pengukuran statistik, serta suatu asumsi awal bahwa kejahatan itu adalah normal (yakni umum untuk semua, perbedaan di antara para manusia menjadi salah satu dari derajat bukan suatu perbedaan jenis), ia diakui untuk menolak klaim lama Lombrosian bahwa para penjahat menunjukkan tipe fisik tertentu, hanya untuk menemukan suatu cara yang cukup baru dari membedakan para penjahat dari non-penjahat (ibid: 35). Setelah penemuan suatu hubunganyang signifikan antara kriminalitas dan dua karakteristik yang dapat diwariskan, yaitu kecerdasan rendah dan fisik yang lemah, tetapi tidak ada

hubungan erat antara keluarga serta kondisi-kondisi lingkungan lainnya serta kejahatan, Goring melangkah untuk menggambarkan serangkaian kesimpulankesimpulan praktis, eugenik (pengembangan kualitas suatu ras dengan pengendalian karakteristik-karakteristik yang diturunkan: para penjahat adalah tidak pas serta propagasi mereka harus diatur secara ketat. Seperti Garland menyarankan (ibid: 36), ini secara efektif membawa kembali Lambroso dalam beberapa bentuk baru, yang direvisi' (ibid: 36). Meskipun kesimpulan-kesimpulan eugenika dari Goring tampaknya melemahkan kemungkinan reformasi, serta ditolak oleh para Komisioner Penjara, analisis statistik dari data massal sebagai sebuah bentuk penelitian kriminologi secara bertahap mengambilalih studi psikiatri berbasis secara klinis sebagai bentuk yang diinginkan dari penelitian yang disponsori pemerintah, terutama setelah Perang Dunia II. Di antara keduanya adalah aliran ketiga yang terbaik diwakili oleh penelitian eklektik, multi-faktorial, sosial-psikologis dari Cyril Burt (ibid: 37), khususnya studinya dari tahun 1925 dari The Young Delinquent, yang kemudian dipandang oleh para kriminolog belakangan seperti Mannheim dan Radzinowicz...sebagai karya besar pertama dari kriminologi Inggris modern (ibid). Penelitian ini // didasarkan pada pemeriksaan klinis yang rinci dari 400 anak-anak sekolah (kelompok nakal atau kuasi-nakal serta sebuah kelompok kontrol), menggunakan deretan teknikteknik yang mencakup pengukuran biometrik, pengujian mental, pengujian

temperamen, serta pertanyaan-pertanyaan psikoanalitik dan sosial, bersama-sama dengan metode-metode terkini dari statistik analisis faktor dan korelasi. Temuantemuannya adalah secara ekspansif eklektik, mengidentifikasi 170 faktor-faktor

penyebab yang dalam beberapa cara terkait dengan kenakalan, dan menunjukkan, dengan cara kasus narasi sejarah, bagaimana setiap faktor biasanya bisa beroperasi. Dari analisisnya, Burt menyimpulkan bahwa faktor-faktor tertentu, seperti cacat disiplin, hubungan keluarga yang rusak, dan khususnya jenis-jenis temperamen tertentu, adalah sangat berhubungan dengan kenakalan, sedangkan pengaruh faktorfaktor lainnya, seperti kemiskinan atau kecerdasan yang rendah...telah secara serius berlebihan di masa lalu. // (ibid: 3738) Periode awal dari kriminologi Inggrisdi antara tahun 1890-an serta Perang Dunia Kedua (ibid: 38)--apakah klinis, statistik atau eklektik merupakan periode dominasi psikologi tentang mengembangkan bidang pengetahuan. Fokusnya adalah pada pelaku individu dan pengobatan mereka serta karya perintis sosiologi dari Durkheim di Perancis, seperti dari Chicago School of Sociology yang baru, adalah hampir tidak ada (ibid). Sebaliknya, dimensi sosial dari kejahatan dipahami sebagai salah satu faktor di antara banyak lainnya yang beroperasi pada individu (ibid). Garland melihat penerimaan atas sesuatu yang ditawarkan ini atas sosiologi sebagai sebuah contoh yang baik tentang bagaimana proyek kriminologi mengubah unsur-unsur di mana ia meminjam dari disiplin-disiplin lain (ibid); lebih murah hati, dari perspektif kita, ia mungkin dilihat sebagai upaya awal, meskipun tidak memadai, berusaha untuk bertahan pada baik dimensi psikologis maupun dimensi sosiologis: menjadi, dalam istilah kita, psikososial. Jadilah bahwa sebagaimana ia mungkin, menjadi titik penting untuk memahami bagaimana minat awal ini dalam subjek kriminal semua menghilang di

bagian akhir dari abad kedua puluh dapat ditelusuri ke dalam dominasi pada tahap ini dari proyek pemerintah. Sebagaimana Garland membuat jelas: // Proyek pemerintah mendominasi hampir pada titik monopoli, dan ilmu Lambroso atas kejahatan itu diambil hanya sejauh ia bisa ditampilkan untuk secara langsung relevan dengan tata kelola kejahatan dan para penjahat. // (ibid) Dominasi ini dari proyek pemerintah adalah bayangan pada semua perkembanganperkembangan berikutnya dalam disiplin baru secara tepat hingga tantangan-tantangan radikal dari tahun 1960-an dan 1970-an, dipelopori oleh pembentukan Konferensi Deviansi Nasional (NDC) pada tahun 1968 dan publikasi pada tahun 1973 dari Taylor, Walton dan Young, The New Criminology. Ini adalah secara luas benar dari pembangunan kelembagaan yang terjadi di antara tahun 1930 dan 1950-an, selama masa pengajaran kriminologi di universitas-universitas diperluas: ISTD dan jurnal khususnya dibentuk, serta buku teks kriminologi Inggris yang pertama (Jones, 1956) muncul. Hal ini bahkan lebih terbukti dengan munculnya di akhir tahun 1950-an dari dukungan serta pendanaan pemerintah (ibid: 39). Garland melihat perkembangan ini-yang terpenting, pembentukan Kantor Unit Penelitian Dalam Negeri yang didanai pemerintah pada tahun 1957 dan Institut Kriminologi Cambridge pada tahun 1959 sebagai suatu momen kunci dalam penciptaan disiplin kriminologi, yang layak serta independen di Inggris (ibid: 40). Hal ini karena komitmen pemerintah sedemikian untuk mendukung penelitian kriminologi, baik sebagai sebuah aktivitas internet dan sebagai spesialisasi berbasis universitas...menandai titik konvergensi di antara kriminologi sebagai suatu bantuan administrasi dan kriminologi sebagai sebuah

kegiatan ilmiah--konsolidasi dari proyek-proyek pemerintah dan Lombrosian (ibid). Dari sudut pandang kita, pentingnya konvergensi ini ada dua: pertama, ia mengungkapkan kematian dari setiap minat yang serius dalam pertanyaan-pertanyaan etiologi dan, kedua, ia memastikan bahwa ketika tantangan dari sosiologi akhirnya muncul, pada tahun 1960-an, tujuannya adalah guna menggulingkan proyek pemerintah yang dominansecara khusus ia fokus yang sempit, positivistik, dipimpin kebijakan, koreksionalis--dalam terang dari perkembangan-perkembangan baru yang dipimpin Amerika Serikat dalam sosiologi serta kebangkitan kepentingan pada suatu Marxisme revisionis. Ia tidak tertarik dalam pembenahan proyek Lombrosian. Mari kita ambil kedua poin ini dalam gilirannya. Garland mencatat perbedaan yang muncul dalam Kelompok Ilmiah untuk Diskusi Kenakalan (yang pertama kali didirikan pada tahun 1953 di bawah naungan ISTD) di antara para anggota yang lebih tua, berpikiran klinis dan beberapa yang lebih muda yang menjadi tidak puas dengan penekanan klinis serta psikoanalisis dari tokoh-tokoh terkemuka (jika kontroversial) seperti Glover dan perpecahan untuk mendirikan British Society of Criminology yang lebih berorientasi akademis (ibid: 39-40). ISTD sendiri, dengan komitmennya terhadap psikoanalisis dan permusuhan terbuka terhadap banyak kebijakan hukuman resmi...tetap pada dasarnya sebuah badan luar (ibid: 34), yang tertinggal dari yang berlangsung ketika ia muncul pada pendirian Institute of Criminology berbasis universitas yang didanai untuk pertama kalinya. White Paper tahun 1959 yang mendorong pembentukan Lembaga Kriminologi Cambridge adalah cukup eksplisit dalam penolakannya atas penelitian etiologi--karena masalah-masalah yang terlibat adalah terlalu kompleks, jawaban-jawaban tidak akan mudah untuk

muncul serta kemajuan adalah terikat untuk menjadi lambatserta dukungannya atas penelitian ke dalam penggunaan berbagai bentuk perlakuan serta pengukuran hasil-hasil mereka, karena ini berkaitan dengan hal-hal yang dapat dianalisis dengan lebih tepat (Home Office 1959: 5) (dikutip dalam Garland, 2002: 43). Tidak mengherankan mungkin, penekanan ini sesuai dari Leon Radzinowicz, direktur pertama dari Institut. Dia berpendapat pada tahun 1961 bahwa usaha untuk menjelaskan penyebab-penyebab dari kejahatan harus dikesampingkan guna mendukung studi-studi yang lebih sederhana, deskriptif yang mengindikasikan jenis faktor-faktor serta keadaan-keadaan di mana gangguan dikaitkan (dikutip dalam Garland, 2002: 43). Preferensi ini untuk studi-studi deskriptif sederhana memang dilahirkan di dalam praktik. Sebagaimana Garland mengatakan, prediksi penelitian yang mengklaim begitu banyak perhatian pada akhir tahun 1950-an...membuat sedikit penggunaan dari informasi klinis tentang pelaku, dan benar-benar didiskreditkan sampai batas tertentu keseluruhan proyek dari penelitian etiologi (ibid: 40). Sehingga proyek etiologi dilemahkan, dari dalam: sebagaimana para anggota ISTD yang lebih muda, sebagian dipengaruhi oleh ajaran-ajaran yang lebih sosiologis dari Herman Mannheim di London School of Economics, berpaling dari karya klinis dan psikoanalisis; dan dari tanpa: sebagaimana sponsor pemerintah menempatkan dukungannya (serta pendanaan) di balik suatu kebijakan pragmatis, koreksionalisme yang didorong oleh kebijakan. Mengapa tidak ada subjek kriminologi kritis? Oposisi terhadap kriminologi administratif ini, seperti ia belakangan akan disebut, adalah langsung: dari psikoanalis di ISTD, di satu sisi, dan kelompok kriminolog sosiologis yang terbentuk sekitar Mannheim di LSE (ibid: 43), di sisi lain. Tetapi, ia

bukan sampai sosiologi sebagai suatu disiplin universitas telah secara kuat berakar (secara besar-besaran, suatu fenomena pasca-Perang Dunia II) bahwa suatu generasi para kriminolog akan muncul, diradikalkan oleh banyak arus kritis dari tahun 1960-an, dapat memuncak suatu tantangan yang berhasil terhadap dominasi kriminologi administratif, tradisional. Bukan berarti bahwa kriminologi baru ini pernah menggantikan yang lama. Memang, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan kerangka kerja teoritis yang digunakan sebagian besar sangat berbeda. Jadi, untuk sementara setidaknya, terdapat dua kriminolog--lama dan baru; administratif serta kritis-berdampingan bersisian. Mereka yang tertarik pada detail dari kriminologi pada tahun 1960-an dan 1970-an seharusnya berkonsultasi dengan Cohen (1981), yang mengambil kisah di mana Garland berhenti. Bagi tujuan-tujuan kita, ini pada gilirannya bagi sosiologi telah mempunyai banyak untaian: pentingnya label serta reaksi sosial, politik dari kejahatan dan kontrol kejahatan; serta studi-studi etnografi dari penyimpangan serta perilaku buruk yang dirancang untuk menghargai--memahami dari dalam-subjektif, kehidupan dunia mereka. Studi-studi belakangan ini, dipengaruhi oleh interaksionisme simbolik serta psikologi sosial dari George Herbert Mead ([1934] 1967), di mana kepentingan psikososial yang segar dan benar pada pertanyaanpertanyaan dari etiologi mungkin telah berkembang. Tetapi langkah itu merupakan cara lain sebagaimana interaksionisme simbolik diserang dari suatu pembaruan Marxisme. Hasilnya adalah pergeseran tertentu atas perhatian: dari penekanan mikro ke makro, dari studi-studi berbasis empiris etnografis kepada analisis-analisis yang secara teoritis didorong oleh politik di mana pertanyaan-pertanyaan dari struktur dan sejarah, bukan biografi-biografi individual, tampak besar, atas sosiologi dari penyimpangan terhadap

hubungan-hubungan di antara kejahatan, hukum dan negara. Tantangan dari feminisme, dengan penekanannya untuk menetapkan bahwa pribadi adalah politis, mungkin menjadi kesempatan lain untuk menyadarkan kepentingan dalam subjektivitas, tetapi upaya-upaya utamanya diarahkan ke tempat lain: menuju menetapkan pentingnya diskursif atau struktural dari gender daripada signifikansi subjektifnya. Jika musuh utama bagi para ahli teori baru yang menyimpang terinspirasi secara sosiologis dari akhir tahun 1960-an dan 1970-an merupakan proyek pemerintah dari kriminologi administratif serta fokus berbasis pelakunya, ini berjalan jauh dalam menjelaskan kurangnya minat teoritis mereka dalam memahami subjek-subjek kriminal. Tetapi, ini bukanlah keseluruhan cerita. Hal ini juga relevan bahwa munculnya suatu psikologi kritis dan pembaruan ketertarikan yang terinspirasi feminis dalam psikoanalisis muncul belakangan daripada kebangkitan sosiologi kritis serta jauh lebih sedikit jangkauannya. Dengan kata lain, sedangkan Cohen bisa berbicara tentang berbagai macam koneksi [kritis] sosiologis pada akhir dari tahun 1970-an bagi para mahasiswa dari kejahatan dan penyimpangan: Pendidikan, Media massa, Studistudi kebudayaan, Kedokteran dan psikiatri, Hukum, Kebijakan sosial dan kesejahteraan (Cohen, 1981: 238-239)--yang sama tidak dapat dikatakan tentang koneksi-koneksi psikologis kritis. Jadi, satu alasan untuk tidak mengambil subjek pidana secara serius pada tahun 1960-an dan 1970-an adalah tidak adanya alat-alat teoritis yang memadai (baru, kritis) dari dalam psikologi guna melakukan hal tersebut. Munculnya Thatcherisme pada tahun 1980-an serta pergolakan-pergolakan berikutnya dalam pendanaan serta administrasi pendidikan yang lebih tinggi secara umum dan ilmu-ilmu sosial pada khususnya, serta perkembangan-perkembangan lebih umum

seperti runtuhnya Komunisme serta krisis tidak terelakkan dari Marxisme yang menyertainya, ia menyebabkan rekonfigurasi-rekonfigurasi lebih lanjut dari lanskap intelektual. Dalam istilah luas, para kriminolog kritis menemukan diri mereka didorong, ditarik dan dibujuk ke arah kebijakan penelitian yang lebih relevan, dengan sementara kebijakan penelitian yang relevan harus mengambil setidaknya beberapa pengetahuan dari agenda radikal. Dengan kata lain, tahun 1980-an dan seterusnya telah menyaksikan beberapa konvergensi di antara kriminologi administrasi dan kritis. Runtuhnya NDC dan resusitasi dari suatu badan tunggal, British Society of Criminology, dengan Konferensi Tahunan yang banyak diikuti bertindak sebagai sebuah organisasi payung untuk semua jenis kriminologi, adalah beberapa indikasi dari usaha pendekatan ini. Ilustrasi dari konvergensi baru ini, dan sangat relevan bagi tujuan kita, adalah munculnya (singkat namun berpengaruh) dari realisme baru atau realisme kiri. Dikembangkan dari kriminologi kritis, dengan salah satu penulis dari The New Criminology, Jock Young, seorang pendukung terkemuka, titik awal teoritisnya adalah gagasan bahwa krisis kriminologi merupakan kegagalannya untuk mengambil etiologi secara serius. Berasal dari seseorang dengan mandat radikal sempurna, dan mengingat bahwa pertanyaan-pertanyaan etiologi telah berhenti untuk menarik bahkan kaum tradisionalis, ini adalah suatu klaim mengejutkan. Menurut Young, ini penting karena selama tahun 1970-an kejahatan terus meningkat meskipun pendapatan naik, suatu fakta yang berlawanan dengan semua asumsi-asumsi kriminologi tentang hubungan di antara kekurangan/kelemahan serta kejahatan. Selain itu, terdapat pesimisme luas tentang perlakuan: tidak ada, rupanya, bekerja serta rehabilitasi telah berhenti menjadi tujuan Layanan Penjara Yang Mulia. Paling mengkhawatirkan, juga bukan

kriminologi kritis (sekarang disebut sebagai idealisme kiri berbeda dengan inkarnasi realis-nya yang baru) tidak juga apa yang Young menyebut kriminologi administratif baru (mungkin untuk membedakannya dari versi lama dengan kepentingan bagian di dalam etiologi, serta dicontohkan oleh pencegahan kejahatan situasional) memiliki kepentingan apapun di dalam etiologi. Solusi Young terhadap krisis ini adalah untuk berdebat bagi pengembangan dari suatu: // teori realis atas kejahatan yang secara memadai meliputi ruang lingkup dari tindak pidana. Artinya, harus berurusan dengan tingkat makro maupun mikro, dengan penyebab-penyebab tindak pidana dan reaksi sosial, serta dengan hubungan segitiga di antara pelaku, korban dan negara. // ([1986] 2003: 323324) Secara membingungkan, Young kemudian melanjutkan berbicara tentang lapangan kejahatan dengan masyarakat menjadi elemen tambahan (Young, 1997: 485-486). Namun, yang lebih menarik bagi kita, tindak pidana, yang dengan jelas memerlukan sebagian perhatian terhadap subjek pidana, menghilang dari pandangan di dalam penelitian realis baru yang telah dilakukan. Pada dasarnya, penelitian-penelitian ini terdiri dari penelitian-penelitian korban lokal, dimodelkan pada British Crime Survey tetapi dengan perubahan-perubahan tertentu dirancang, misalnya, untuk meningkatkan hasil bagi kejahatan-kejahatan seksual. Dengan kata lain, korban secara cukup mendalam, jika secara konvensional, penelitian sementara negara dan pelaku tetap tidak teruji (kecuali ketika mereka terwujud dalam jawaban-jawaban dari para korban). Di sini, kemudian, mengambil kejahatan secara serius, titik mulai politik dari proyek, tereduksi menjadi suatu elemen standar dari proyek pemerintah, yaitu mengambil para

korban secara serius, dan banyak suara pertanyaan etiologis tetap, seperti sebelumnya, belum terselesaikan. Hal ini menyatakan penekanan yang dikombinasikan dengan kegagalan praktis untuk melakukan sesuatu tentang hal itu menggemakan sebuah kegagalan serupa dalam teks sebelumnya yang ditulis bersama oleh Young, yaitu The New Criminology. Dalam bab terakhir dari buku tersebut, Young dan para kolaboratornya menjelaskan kebutuhan, untuk suatu teori penyimpangan sosial secara sepenuhnya (Taylor, Walton dan Young, 1973: 269), untuk menangani aksi dan reaksi, serta untuk melakukannya dengan tiga tingkatan, tindakan aktual (tingkat dari dinamika sosial), asal-usul langsung (level psikologi sosial) serta asal yang lebih luas (tingkat ekonomi politik). Namun, 30 tahun, kriminologi realis tidak memberikan bantuan nyata bagi pemikiran tentang hubungan-hubungan di antara tingkat dan tidak ada dari substansi yang mungkin dianggap sebagai psikologis sosial. Mungkin, dalam terang singkat ini, sejarah skematis dari kriminologi, adalah mungkin untuk melihat mengapa. 2 PSIKOLOGI DAN SUBJEK KRIMINOLOGI Dalam Bab 1 kita memperkenalkan kasus untuk suatu pendekatan psikososial bagi studi kejahatan dan kontrolnya serta mengeksplorasi bagaimana ia merupakan kriminologi yang menjadi sangat tidak berkepentingan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai etiologi. Penting bagi analisis kita adalah pandangan Garland bahwa ilmu dari penyebab yang menjadi proyek Lombrosian adalah sangat cacat (Garland, 2002: 8). Dalam mengelompokkan bersama-sama pertanyaan-pertanyaan psikoanalitis dengan pendekatan medis dan psikiatris Garland secara efektif menggemakan sentimensentimen dari Radzinowicz dan Rajatokoh-tokoh kunci dalam proyek pemerintah

yang membubarkan kriminologi psikoanalitik sebagai suatu sistem rumit yang diciptakan oleh para mahasiswa tidak kritis dari Freud: // Murid-murid [Freud]...yang berkelana ke dalam kriminologi mengakui sebuah utang untuk Lambroso namun menolak klasifikasi-klasifikasi serta penjelasannya. Mereka menggunakan konsep-konsep psiko-analisis, terutama untuk menafsirkan kenakalan persisten. Frase-frase sedemikian seperti frustrasi, ketidakmampuan, konflik mental, sikap anti-sosial atau a-sosial, dilewatkan ke dalam arus dari diagnosis serta pengobatan...Dengan cara dari reaksi terdapat pertumbuhan kecurigaan bahwa keseluruhan pendekatan ini menawarkan alasan-alasan rumit bagi para pelanggar, menyiratkan bahwa mereka tidak bisa membantu diri mereka sendiri. // (Radzinowicz dan King, 1977: 63) Dalam bab ini kita ingin mengevaluasi klaim ini dengan melihat karya-karya dari M. Hamblin Smith, Edward Glover dan John Bowlby. Kita mengakui bahwa meskipun masing-masing dari para penulis ini adalah reduksionis dalam pendekatan-pendekatan mereka--Smith dan Glover yang sangat doktriner dalam penggunaan mereka atas konsep-konsep Freud--komitmen para psikoanalis abad kedua puluh dibuat untuk memahami dimensi-dimensi bawah sadar dari perilaku kriminal perlu dikembalikan. Kita melangkah untuk mempertimbangkan pendekatan psikologis lain terhadap kriminologi yang, untuk derajat yang berbeda, telah lebih berhati--atau kritis dalam keterlibatan mereka dengan ide-ide psikoanalitik. Kita menjelaskan bahwa berpaling dari psikoanalisis telah menjadi merugikan atas pemahaman benar psikososial dari subjektivitas para pelanggar, dengan sedikit perhatian teoritis sekarang diberikan pada dinamika intersubjektif di antara para pelaku dan keluarga mereka, korban-korban

mereka, serta mereka yang memperlakukannya, bahkan kurang terhadap motivasimotivasi bawah sadar. Meskipun bukan merupakan sebuah survei lengkap, bab ini memberikan gambaran singkat dari pendekatan-pendekatan psikologis utama terhadap kejahatan yang memiliki dampak signifikan di dalam kriminologi, yaitu, psikoanalitik (Hamblin Smith, Glover, Bowlby), berbasis kepribadian (Eysenck, Gottfredson dan Hirschi), bersifat berkembang (Farrington) serta forensik (Toch). Selain itu, banyak dari para ahli teori ini (Hamblin Smith, Eysenck, Farrington) memaksudkan untuk menghantarkan suatu teori umum dari kejahatan. Teori kontrol dan penerusnya, perspektif jalan kehidupan, terletak di suatu tempat di antara psikologi serta sosiologi, merupakan jembatan kita ke bab tentang pendekatan-pendekatan sosiologis yang berikut ini. Awal pendekatan psikoanalitik: Smith, Glover dan Bowlby Pertama kali diterbitkan pada tahun 1922 dan diterbitkan ulang pada tahun 1933, karya dari M. Hamblin Smith The Psychology of the Criminal merupakan suatu teks yang didedikasikan bagi psikoanalisis, didefinisikan kemudian sebagai suatu

perkembangan baru dari psikologi (Smith, [1922] 1933: v). Selama 34 tahun sebagai petugas medis di Penjara Birmingham, Smith menjadi diyakinkan bahwa satu-satunya harapan guna memecahkan masalah perilaku buruk terletak dengan penyelidikan yang sabar, intensif atas pelaku individu. (ibid: vii). Sementara dia mengakui berhutang kepada karya-karya dari Dr William Healy dari Chicago (yang, seperti akan kita lihat dalam Bab 9, memiliki alasan untuk menilai infidel Stanley jack-roller dari Clifford Shaw), Smith tidak membuat maaf untuk menjadi seorang pengikut Freud yang tidak bertobat (ibid). Dia menganggap masuk ke dalam pikiran dari pelaku...[dan]

mekanisme mental segera yang menghasilkan perilaku buruknya menjadi penting bagi setiap usaha untuk memahami kejahatan, tetapi terutama terjadi ketika pemahaman seperti itu membantu menyusun metode pengobatan yang benar (ibid: 25). Smith mengambil dari Freud gagasan bahwa jika konflik yang dipicu secara emosional ditangani melalui represi mereka dapat menimbulkan ketidaksadaran kompleks dari keragaman yang tidak terbatas, beberapa yang akan menjadi penyebab dari perilaku buruk (ibid: 97-100). Sayangnya, klaim ini merupakan yang salah satu Smith menegaskan lebih daripada ia didemonstrasikan. Pada beberapa kesempatan ketika Smith mengutip bukti guna mendukung klaimnya, adalah melalui ringkasan kasuskasus yang semuanya terlalu singkat, yang dipilih hampir secara eksklusif karena dari kerumitan represi seksual dari para pasien yang bersangkutan. Penindasan dari keinginan seksual di dalam seorang pria yang terpisah dari isterinya, Smith mengemukakan, menjelaskan serangan tidak senonohnya kepada para gadis kecil; sementara kegelisahan dalam kaitannya dengan hasrat seksual yang normal telah memicu suatu kompleks kondusif terhadap penculikan kepada manusia lain, serta puteri dari seorang perempuan pezina telah berusaha bunuh diri karena trauma menemukan perselingkuhan ibunya (ibid: 100). Dalam singkatnya, pendekatan Smith terhadap kejahatan tidak hanya secara eksklusif intra-psikis, tetapi ia juga tidak cukup empiris, dengan diagnosis yang tampaknya terlalu tegas mendahului setiap interogasi kritis dari bahan kasus yang dia disajikan. Yang lebih sosiologis cenderung, tetapi tidak lebih sedikit pendekatan Freud dapat ditemukan dalam karya Edward Glover, mungkin tokoh psikoanalitik paling senior untuk mengejar karir sebagai seorang kriminolog. Dalam bukunya The Roots of Crime,

suatu koleksi makalah yang diterbitkan antara tahun 1922 dan 1959, Glover (1960) membuat kasus untuk penelitian tim di bidang kriminologi. Dengan ini dia memaksudkan bahwa para sosiolog dan psikiater seharusnya melakukan penelitian kriminologi bersama dengan para praktisi psikoanalisis, mengurangi kecenderungan menuju abstraksi statistik yang disukai oleh Departemen Dalam Negeri Inggris: // Cara yang paling efektif untuk mencapai pemahaman tentang perilaku buruk adalah bagi pengamat klinis untuk merendam dirinya sendiri di dalam materinya, serta guna memungkinkan imajinasi ilmiahnya untuk bermain pada impresi-impresi yang diterimanya, karena bagi imajinasi yang terkontrol, ketika semua dikatakan dan dilakukan, instrumen penelitian yang paling potensial...Ini adalah sia-sia untuk berharap menemukan penyebab dari perilaku buruk oleh survei singkat atas 100 orang, atau dalam hal ini 1000 kasus. Di sisi lain, analisis gembira dari sebuah fragmentasi impian terisolasi dalam suatu kasus individu bisa mengungkapkan kepada kita lebih lanjut tentang sifat alami atas perilaku buruk daripada sebuah survei nasional...// (Glover, 1954: 187, penekanan dalam aslinya) Glover adalah sebagaimana reduksionisme biologis dari psikiatri medis kritis sebagaimana dia dari kebiasaan, adalah umum di antara para sosiolog, meminjam klise psikologis untuk menjelaskan perilaku buruk. Dia tidak menyukai hukuman kesejahteraan profesional menggunakan istilah-istilah merendahkan guna

menggambarkan manifestasi dari perilaku anti-sosial tersebut (sebagaimana ofensif diingat lagi sekarang), dan berpendapat bahwa sebagaimana pengurangan sedemikian seringkali mengungkapkan banyak tentang kemarahan moral dari para pengamat sebagaimana ia melakukannya pada mereka yang dianggap patologis (1960: 125).

Analisisnya mengenai prostitusi, meskipun kecenderungannya untuk patologi berlebih, adalah sama sensitif terhadap keterkaitan di antara reaksi-reaksi sosial terhadap masalah serta alasan-alasan mengapa beberapa orang secara teratur membeli dan menjual seks. Tanpa ingin menyangkal latar belakang ekonomi yang miskin dari banyak pelacur, Glover tidak setuju dengan mereka yang menjelaskan perdagangan adalah secara murni dalam hal keuangan. Moralisme keras, Glover menghipotesiskan, merupakan bagian dari etiologi atas beberapa bentuk prostitusi, dengan pelacur dan klien-klien mereka terhubung secara antar-subjektif oleh timbal-balik mereka dan penghinaan tidak sadar dari seksualitas normal dan/atau lawan jenis (ibid: 256). Memang, saran Glover bahwa sikap tidak sadar dari merendahkan memiliki akar dalam reaksi-reaksi rasa bersalah terhadap seksualitas awal adalah tidak kurang Freud ortodoks daripada karya sebelumnya dari Smith. Namun, Glover juga menyampaikan suatu analisis refleksif yang lebih tepat, menunjuk pada kebutuhan untuk pemahaman yang lebih besar dari sikap-sikap tanpa harapan dari banyak orang yang membeli dan menjual seks, gangguan emosi yang menyuramkan sebagian kehidupan dari keluarga pelacur, dan godaan atas keinginan yang ditabukan, dilambangkan oleh seks terlarang serta uang kotor yang terlibat di dalam penjualannya (ibid: 253-260). Mengekspresikan ide-ide psikoanalitiknya secara lebih sosiologis daripada Smith, Glover berpendapat bahwa sikap-sikap menghukum terhadap penyimpanganpenyimpangan seksual serta para pelaku secara lebih umum seringkali lebih banyak tentang kebutuhan para penghukum itu atas kejahatan (ibid: ix)--keinginan publik untuk membalas dendam--daripada keadilan atau rehabilitasi, suatu ide sentral terhadap banyak pemikiran belakangan tentang pengendalian kejahatan kontemporer (Evans,

2003; Garland, 2000; Maruna, Matravers dan King, 2004). Memang, pandangan Glover bahwa yang disebut orang normal memiliki kedekatan lebih dengan psikopat daripada dia bersedia mengakui kepada dirinya sendiri, jauh lebih sedikit mengakui secara terbuka (Glover, 1960: 295) adalah bertentangan dengan gagasan bahwa para penjahat bisa entah bagaimana secara ilmiah dibedakan dari non-penjahat di mana Garland mengatribusikan pada pendekatan-pendekatan yang berkepentingan dalam ilmu dari penyebab. Penderitaan rasa sakit, untuk misalnya, apakah melalui bentuk-bentuk sanksi negara atas hukuman atau suatu pelaku kekerasan serangan soliter terhadap pihak yang lain, bisa diartikan sebagai gejala setara untuk psikosis, yang melibatkan suatu proses memerankan di mana memisahkan individu yang menderita hukuman dari mengalami gejala-gejala mental psikotik, ide yang kita manfaatkan di dalam Bab 10. Bagi kita meskipun, jika bukan untuk Glover, adalah perlu untuk melampaui gambaran paralel di antara kebudayaan dan mental--analisis sosiologis dari Glover atas hukuman, pada akhirnya misalnya, membuktikan sedikit lebih daripada penjumlahan atas begitu banyak konflik-konflik intra-psikis yang belum terselesaikan, serta klaimklaimnya mengenai etiologi dari kekerasan serta prostitusi pada akhirnya terlalu mengandalkan pada efek konflik-konflik Oedipal yang tidak terselesaikan. Karya John Bowlby, sebaliknya, adalah lebih dekat dengan jenis pendekatan psikososial yang kita anjurkan, paling tidak karena ia lebih erat terlibat dengan material berlimpah kasus. Bowlby membuka lebih banyak ruang untuk berpikir tentang intersubjektif daripada Glover dan Smith, pembacaannya tentang Freud menjadi lebih revisionis, meminjam, seperti yang terjadi, dari ide-ide Melanie Klein. Dalam

pandangan Bowlby, Freud telah gagal untuk menggabungkan penemuan terapeutiknya yang paling radikal ke dalam teorinya. // Formulasi-formulasi awal dari teori psikoanalitik sangat dipengaruhi oleh fisiologi dari hari...dibentuk dalam hal-hal dari organisme individu, energi serta dorongannya, dengan hanya referensi marjinal terhadap hubungan-hubungan tersebut. Namun, sebaliknya, fitur utama dari teknik inovatif untuk mengobati pasien-pasien di mana Freud memperkenalkan adalah untuk memusatkan perhatian pada hubungan pasien dengan terapis mereka. Sejak awal, oleh karena itu, terdapat jurang di antara fenomena di mana terapis dihadapkan, serta teori yang telah maju untuk laporan bagi mereka.// (Bowlby, 1990, dikutip dalam Holmes, 1993: 127) Dalam publikasinya yang paling kriminologis, Forty-Four Juvenile Thieves, Bowlby (1946) mengembangkan tesisnya bahwa terdapat suatu hubungan di antara pemisahan berkepanjangan dari sosok ibu selama bayi dan jenis gangguan-gangguan yang menyebabkan anak-anak menjadi nakal pada masa remaja. Bowlby menyusun serta mengontraskan sejarah-sejarah kasus klinis dari 44 anak-anak yang melakukan pencurian dengan dari 44 anak-anak lain yang juga dirujuk ke layanan psikiatri. Di antara contoh dari para pencuri ini Bowlby menemukan over-representasi dari tiga disposisi psikologis. Di antara 44 pencuri terdapat 9 anak yang mengalami depresi, 13 hyperthymics--yang cenderung terhadap over-aktivitas konstan--dan 14 karakterkarakter tanpa afeksi--yang menunjukkan sedikit afeksi normal, malu atau rasa tanggung jawab (ibid: 6). Kasus sejarah kompleks Bowlby mengonstruksinya menggambarkan anak-anak dengan pengalaman-pengalaman kekerasan dan

penelantaran yang parah; anak-anak yang tidak diinginkan, anak-anak yang orang

tuanya peminum berat, sering bertengkar, dan dilecehkan satu sama lain; anak-anak yang orang tuanya telah meninggal atau sakit parah, serta anak-anak yang telah menghabiskan waktu yang lama di institusi perawatan dan rumah sakit. Selama enam minggu Bowlby dan timnya menghabiskan mempelajari masing-masing kasus, mereka menemukan bahwa banyak dari anak-anak ini juga mempunyai masalah-masalah psikosomatis; dicap karena dilahirkan di luar nikah; yang secara parah diganggu; dan telah mengalami pelecehan seksual; telah tertular penyakit menular seksual; sedang berjuang dengan rasa bersalah yang terinspirasi agama; atau telah dihukum secara brutal, biasanya oleh para ayah mereka. Mungkin secara tidak mengejutkan, banyak dari para pencuri ini juga merupakan pembohong yang gigih, para pembolos, kerapkali secara tidak sengaja berkemih di tempat tidur serta merupakan para pelarian. Bowlby mencatat, bagaimanapun, bahwa karakter-karakter tanpa belas kasihan-nya umumnya merupakan kelompok pencuri yang paling residivis dan persisten, serta dengan demikian dia memberikan perhatian khusus kepada karakteristik dari subkelompok ini. Ternyata sebagaimana karakter-karakter tanpa belas kasih biasanya hanya mempunyai sedikit persahabatan nyata dan perasaan akut memendam kesepian serta penderitaan, meskipun tingkat permukaan mereka adalah tidak berbeda terhadap tim peneliti. Salah satu alasan untuk ini adalah bahwa sebagian besar anak-anak yang tanpa belas kasih menderita pemisahan berkepanjangan dari orang tua mereka, atau jika tidak hilangnya emosional lengkap dari ibu dan/atau pengasuh utama lainnya selama usia dini anak-anak tersebut. Itulah mengapa pencurian mereka--menurut Bowlby-ditandai dengan suatu unsur gairah yang kuat dan terhubung ke:

// ...Kegagalan dari perkembangan super-ego [secara kejam, hati nurani]...menyusul suatu kegagalan dalam pembangunan untuk objek-cinta [mencintai yang lain]. Yang terakhir ini ditelusuri kembali pada kurangnya kesempatan untuk pengembangan dan penghambatan yang dihasilkan dari amarah serta angan-angan di satu sisi dan motifmotif perlindungan diri emosional di sisi lain.// (Bowlby, 1946: 55) Seperti yang akan kita jelaskan dalam bab-bab kita mengenai Stanley si jack-roller dan pembunuh berantai Jeffrey Dahmer, perbedaan Bowlby membuat antara pemisahanpemisahan fisik dari dan kehilangan emosional dari orang tua dapat membantu kita memahami mengapa beberapa individu menjadi begitu berperasaan dalam keinginan mereka untuk merugikan orang lain dan begitu acuh tak acuh berkaitan dengan penderitaan yang mereka sebabkan. Hal ini juga membantu menjelaskan mengapa mayoritas dari anak-anak yang kehilangan kontak dengan satu orang tua tidak berkembang menjadi karakter-karakter tanpa belas kasih, sebagaimana pernyataan dari Herschel Prins: // Orang tua dapat hadir secara fisik, tetapi tidak dalam roh. Seorang anak tidak harus menjadi dipisahkan secara fisik sehingga ia menjadi tercerabut. Sebagai contoh, ada banyak ayah...yang mungkin secara fisik hadir, tetapi tidak eksis secara

emosional...Kebalikan dari situasi semacam ini dapat menjadi benar: orang tua mungkin meninggal, tetapi spiritnya terus hidup dengan berhasil.// (Prins, 1973: 68) Singkatnya, pandangan kita adalah bahwa karya Bowlby merupakan langkah signifikan dalam arah yang benar-benar merupakan kriminologi psikososial, penelitiannya

mengidentifikasi beberapa dari koneksi-koneksi yang paling penting di antara psikis dan sosial: pentingnya keterikatan anak kepada bentuk-bentuk kaitan dengan orang dewasa; karakter intersubjektif dan urgen dari keterikatan-keterikatan; serta hubungan di antara keterikatan serta simbolik, seringkali merupakan kualitas defensif dari banyak kenakalan remaja. Betapapun, aspek-aspek psikososial dari analisis Bowlby bisa saja didorong lebih jauh. Meskipun perhatiannya pada konsekuensi-konsekuensi dari keterikutan kemiskinan, Bowlby cenderung mengambilalih pertanyaan mengenai apakah atau tidak anak miskin secara emosional mungkin menemukan kemungkinan-kemungkinan baru untuk mengembangkan cara-cara berelasi yang kurang merusak. Apakah anak-anak yang secara emosional tercerabut terkutuk selamanya oleh masa lalu mereka, atau dapatkah mereka belajar untuk berpikir dan merasa berbeda tentang diri mereka sendiri? Bagaimana anak-anak dari ayah dan ibu yang tidak hadir secara fisik membayangkan ibu serta ayah mereka? Dan apa jenis psikis melakukan pengganti bagi anak-anak dengan orang tua yang secara emosional tidak tersedia untuk mencarinya? Dengan siapa atau apa akan anak dengan perkembangan super ego buruk mengidentifikasinya? Sayangnya, ini bukan pertanyaan-pertanyaan dari generasi-generasi berikutnya dari para kriminolog yang mempertanyakan tesis Bowlby tersebut. Mereka yang menyadarinya cenderung untuk mengabaikannya, sebagian karena popularitasnya (dan penyederhanaan berlebih) di dalam periode pasca-perang meminjamkan dirinya sendiri daripada terlalu nyaman pada suatu wacana politik yang menyalahkan para ibu yang bekerja untuk masalah perilaku nakal kaum muda (Riley, 1983). Lainnya, seperti Hans

Eysenck, kepada siapa kita sekarang berpaling, tetap sangat mencurigai semua pekerjaan psikoanalitik. Psikolog kriminologi: Eysenck, Toch dan Farrington Sementara secara tekun empiris, tesis Hans Eysenck merupakan salah satu dari sejumlah pendekatan biososial di mana Lilly, Cullen dan Ball (2002: 205) mencirikan sebagai secara implisit konservatif. Namun, sebagaimana ia adalah mungkin untuk menentukan teori psikologi mengenai kejahatan yang paling lengkap (Hollin, 2002, penekanan dalam dokumen asli) ia adalah tidak boleh diabaikan. Selain itu, karena ia merupakan suatu penjelasan berdasarkan pada suatu interaksi faktor-faktor biologis, sosial dan individu (ibid), kita harus mempertimbangkannya. Bagi Eysenck, psikoanalisis merupakan gejala dari sifat permisif yang datang untuk mendemarkasi tahun 1960-an. Dalam Crime and Personality, misalnya, dia berpendapat bahwa pelanggaran hukum yang lebih besar di AS relatif terhadap Inggris dapat dijelaskan dalam hal-hal // penekanan yang lebih besar pada pengondisian sosial di Inggris daripada di Amerika Serikat, di mana terdapat suatukecenderungan bagi para orangtua Amerika untuk mengambil beberapa ajaran psikoanalitik dan Freud mengenai kebijakan laissez-faire secara terlalu harfiah. // (Eysenck, 1964: 135) Eysenck meyakini bahwa terdapat suatu komponen genetik yang kuat terhadap kepribadian, dan mengadopsi suatu perilaku kokoh model dari subjektivitas manusia. Menolak gagasan Freud mengenai suatu ego dinamis, id dan super-ego dalam ketegangan, Eysenck (ibid: 120) menteorikan hati nurani sebagai kombinasi dan

puncak dari proses panjang atas pengondisian...Kegagalan pada bagian itu dari seseorang untuk menjadi dikondisikan kemungkinan menjadi penyebab menonjol dalam mendapat kesukaran dengan hukum serta adat-istiadat sosial yang lebih umum. Untuk menjelaskan hubungan antara kegagalan atas pengondisian dan kejahatan Eysenck (1964, [1987] 2003) mengembangkan model dua dimensi dan kemudian, model tiga dimensi dari kepribadian, diukur dari segi ekstraversion, neurotisisme, dan selanjutnya psikotisme. Ide dasar menghubungkan faktor-faktor biologis, sosial dan individu adalah bahwa perbedaan-perbedaan genetik dalam cara bahwa fungsi sistem saraf kortikal dan sistem saraf otonom (biologi) mendukung perbedaan-perbedaan individu dalam tipe kepribadian dan tipe-tipe kepribadian yang berbeda merespons secara berbeda terhadap kondisi lingkungan (atau sosial). Ekstravert, misalnya, menderita dari kortikal di bawah stimulasi dan dengan demikian terlibat dalam tindakan yang impulsif, berisiko dan mencari sensasi untuk meningkatkan stimulasi kortikal. Hal ini membuat mereka sulit terhadap kondisi. Introvert, di sisi lain, menjadi secara kortikal terstimulasi berlebihan, berusaha untuk menghindari stimulasi berlebihan dengan menjadi tenang, pendiam dan menghindari kegembiraan. Akibatnya, mereka lebih mudah untuk dikondisikan. Demikian pula dengan neurotisisme, perilaku mudah tersinggung serta kecemasan terkait dengan neurotis memiliki dasar genetik dan konsekuensikonsekuensi sosial. Dalam hal ini, kecemasan adalah rintangan yang mengganggu pengkondisian efisien. Dimensi psikotisisme dan dasar genetiknya adalah kurang jelas diartikulasikan oleh Eysenck (Hollin, 2002: 154). Pencetak skor P yang tinggi, dia mengemukakan, itu sekadar lebih mungkin terlibat dalam kejahatan karena ciri-ciri

kepribadian umum digolongkan di bawah psikotisisme muncul dengan jelas terkait terhadap perilaku anti-sosial dan non-konformis (Eysenck, [1987] 2003: 92). Teori kepribadian Eysenck adalah dengan demikian suatu teori psikososial tentang kejahatan, tetapi yang reduktif: pada akhirnya, biologi menentukan baik kepribadian maupun kemampuan kondisional. Selain itu, apakah ia menggerakkan kriminologi melampaui ortodoksi-ortodoksi psikoanalitik ia mencoba untuk mengatasinya adalah bisa dipertanyakan. Meta-review Eysenck dari studi-studi psikologis yang mirip dengan miliknya sendiri menemukan dukungan yang cukup untuk gagasan bahwa kepribadian dan anti-sosial serta perilaku kriminal adalah secara masuk akal cukup berkorelasi dengan erat (ibid: 105). Tetapi sedikit bekerja di dalam paradigma-paradigma yang lebih psikoanalitik akan telah menantang penilaian ini, seperti Freud sendiri tidak akan memiliki masalah dengan klaim Eysenck bahwa kecemasan dapat bertindak sebagai penggerak, neurotisisme mengubah iritasi-iritasi kecil menjadi obsesi-obsesi. Dengan lebih problematis, dasar empiris dari tesis Eysenck adalah untuk membuktikan sedikit lebih kuat daripada yang dikutip oleh rekan-rekan psikoanalitiknya. Sebagaimana Eysenck sendiri mengakui, terlalu sedikit penelitian yang telah dilakukan menjadi sangat definitif [sebagaimana] terhadap kesimpulan-kesimpulan seseorang mengenai bagaimana jenis-jenis berbeda dari aktivitas kriminal berhubungan dengan kepribadian (ibid: 103). Eysenck agak terlalu mudah menyamakan berbagai bentuk berbeda dari perilaku kejahatan dan anti-sosial bersama-sama, menggambarkan analogi-analogi dengan studi-studi dari para pelanggar lalu lintas serta para ibu yang tidak menikah dalam beberapa karyanya, dan jarang, jika pernah, memperhatikan makna atas tindak pidana tertentu yang dilakukan oleh individu-individu tertentu.

Singkatnya, Eysenck tidak hanya tidak tertarik pada makna tidak disadari dari perilaku kriminal; minatnya dalam tipe-tipe kepribadian juga membuatnya sebagian besar tidak menyadari berbagai motif sadar yang mendukung masalah lain-lain dari kejahatan. Dalam kontras, keragaman motif-motif yang berkontribusi terhadap masalah kejahatan adalah titik awal bagi Hans Toch, salah satu yang sezaman dengan Eysenck (Toch, 1961: 171). Dalam Violent Men, Toch (1972) menyarankan bahwa para psikolog seharusnya mencoba untuk memahami para pelanggar sebagai individu-individu dan kemudian menyortir mereka ke dalam kelompok-kelompok serta menghubungkan mereka ke seluruh umat manusia, sementara memisahkan mereka dari tindakantindakan kekerasan mereka (Gibbens, 1971: 11). Pada akhirnya, Toch berusaha untuk melakukan ini melalui pembangunan tipologi-tipologi, tetapi analisisnya, tidak seperti Eysenck itu, hadir pada contoh pertama, untuk bagaimana rasanya menjadi rentan terhadap kekerasan (Toch, 1972: 27). Toch berpikir bahwa perasaan seperti itu akan lebih baik ditangkap oleh mantan-pelanggar daripada para akademisi, dan karenanya melatih para mantan tahanan untuk bertindak seperti para penelitinya. Dalam bahan wawancara mendalam ini para mantan tahanan menjadi pewawancara yang dihasilkan mengungkapkan keragaman keadaan di mana masyarakat menjadi terlibat dalam kekerasan dan seluk-beluk dari makna yang melanggengkan kekerasan dalam sebagian kehidupan para pria. Memanfaatkan laporan kedua belah pihak mengenai konflikkonflik kekerasan, Toch menggambarkan bagaimana kesimpulan-kesimpulan palsu tentang niat lain dan/atau tentang apa pengamat mungkin berpikir bisa berkontribusi terhadap perasaan kumulatif dari provokasi di kalangan pelaku: perasaan seseorang terhadap ancaman dan pelanggaran yang bermain kepada pihak lain, mengintensifkan

hasrat menentang mereka guna menyelamatkan muka, mendapatkan kembali rasa hormat, atau menempatkan orang yang mereka anggap sebagai pengganggu kembali ke tempat mereka. Sebagaimana ego mereka menjadi rapuh (ibid: 231) kedua protagonis mungkin menanggapi dalam jenis satu sama lain: salah satu dari mereka mungkin menjadi tidak bersedia mengakui tuntutan pihak lain, sementara yang lain mungkin datang untuk memerhatikan memaksakan kehendak mereka sebagai suatu keharusan moral. Selanjutnya: // insiden kekerasan adalah secara kumulatif diciptakan oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. Seperti setiap urutan berlangsung, ia mengambil pada konotasi-konotasi rawan kekerasan serta reaksi-reaksi untuk menyesuaikannya. Konotasi-konotasi rawan kekerasan rawan tidak hanya bersemi dari insiden-insiden itu sendiri, namun pra-eksis dalam bentuk asumsi-asumsi tidak sadar. Asumsi-asumsi yang baik pribadi maupun sosial: pribadi, karena mereka mewujudkan kerangka-kerangka referensi stabil; sosial karena mereka mengambil bentuk-bentuk karakteristik di dalam pikiran orang-orang dengan kekerasan. // (ibid: 172) Untuk batas tertentu, karya dari Toch mengantisipasi dorongan analisis yang adalah lebih pada perasaan daripada logika dari Jack Katz (1988) mengenai godaan-godaan kemarahan yang benar. Memang, dalam perhatiannya pada dimensi-dimensi intersubjektif atas kekerasan, serta dalam pengakuannya tentang yang berpotensi tidak sadar, seringkali fantastis, dinamika yang mendukung kekerasan tersebut, Toch mensubstitusikan kerja dari Katz, yang, seperti kami jelaskan dalam Bab 3, adalah ambigu pada relevansi dari yang tidak sadar serta konstitusinya. Toch melangkah lebih

jauh daripada Katz dalam hal ini, menjelaskan mengapa beberapa pria biasa mengidentifikasi dengan opsi kekerasan: beberapa pelaku menafsirkan keberhasilan pemanfaatan mereka atas paksaan sebagai bukti bahwa kekerasan berfungsi, meskipun mereka harus bersaing dengan perasaan bersalah selama bertahun-tahun, menjadi takut dan kurangnya usaha yang dilakukan yang melangkah dengan menimbulkan rasa sakit kepada orang lain--perasaan yang bertanggung jawab terhadap ledakan keluar dalam konflik-konflik dan konfrontasi berikutnya (Toch, 1972: 180); sedangkan di mana kekerasan gagal bersandar padanya berulang kali dalam upaya siasia untuk menebus diri mereka sendiri. Namun sementara dia menunjukkan bahwa perasaan tidak memadai bisa mendahului maupun mengikuti kekerasan, Toch menghindar dari teori hubungan antara perasaan-perasaan ini serta asumsi-asumsi tidak disadari dengan begitu jelas dipertaruhkan dalam perilaku agresif di mana para peserta penelitiannya menggambarkan. Kata pengantar untuk edisi bahasa Inggris dari bukunya menyoroti mengapa kekurangan ini harus dianggap sebagai suatu kesempatan yang lepas: // Orang tua yang konvensional cenderung menghidupkan kembali masalah-masalah mereka sendiri dalam perkembangan anak-anak mereka dan secara cukup sadar menumbuhkan sikap-sikap di mana mereka secara tidak sadar menyetujui, setidaknya dalam bentuk yang berlebihan dengan apa yang ditampilkan oleh kenakalan anak-anak mereka. // (Gibbens, 1971: 20) Bagi kami, kegagalan Toch untuk mengikuti pada warisan dari asumsi-asumsi tidak sadar hanya menggarisbawahi poin bahwa penjelasan kriminologi adalah miskin ketika

ia kekurangan catatan psikososial yang memadai dari subjek manusia serta perkembangannya. Terhadap latar belakang situasi ini, adalah sulit untuk tidak setuju dengan David Farrington di mana kriminologi perlu mengambil perspektif yang lebih berkembang, bahkan jika ini adalah tidak memadai apa yang merek milik Farrington sendiri dari kriminologi psikologis menghantarkannya. Banyak pemikiran dari Farrington menggambarkan pada analisisnya tentang Penelitian Cambridge mengenai Kenakalan, sebuah studi longitudinal dari 400 anak laki-laki kelas pekerja kulit putih yang terlahir di Camberwell di London selama tahun 1950-an. Studi ini tidak kekurangan ambisi: ia menarik pada beragam unsur-unsur dari teori yang ada; ia mencoba untuk mengintegrasikan: perkembangan dan situasional atas teori-teori (Farrington, 2002: 680); tetapi ia mengusulkan sebuah model proses, dinamis untuk menghubungkan unsur-unsur dari teori, dan ia dimaksudkan untuk menjelaskan faktor-faktor risiko yang diungkapkan oleh Studi Cambridge secara independen terkait dengan kenakalan, yaitu, keimpulsifan, kecerdasan rendah, pengasuhan yang buruk, sebuah keluarga kriminal dan kekurangan sosial-ekonomi (ibid). Sekali lagi, kita memiliki sebuah upaya pada suatu teori umum yang melibatkan unsur-unsur psikologis maupun sosial. Namun, empat tahap proses yang menghubungkan elemen-elemen, apa yang Farrington menyebutnya memberi energi, mengarahkan, menghambat dan pengambilan keputusan (ibid), mengandaikan suatu subjek yang merupakan campuran eklektik dari teori-teori yang secara radikal adalah berbeda model upaya-upaya untuk

mengintegrasikan, sehingga mereproduksi, tidak melampaui, masalah-masalah mereka. Misalnya, pada tahap memberikan energi, subjek yang dianggap paling mungkin

untuk menyinggung adalah yang, dalam jangka panjang, menginginkan barang-barang material, status di antara kawan-kawan karib, dan kegembiraan (ibid) dan, dalam jangka pendek, adalah mudah bosan, frustrasi, marah serta meminum alkohol. Ini, pada dasarnya, adalah subjek sosial dari teori ketegangan, menderita suatu disjungsi di antara tujuan-tujuan masyarakat (barang-barang material, status, dll) dan sarana-sarana institusional untuk mencapai mereka (karenanya kebosanan, frustrasi, dll) tentangnya kita akan berbicara lebih banyak di Bab 3. Untuk saat ini, kita hanya perlu untuk menunjuk kepada keterangan berbasis kelas dari Farrington (Keinginan untuk kegembiraan mungkin lebih besar di antara anak-anak dari keluarga miskin, mungkin karena kesenangan adalah lebih tinggi dihargai oleh orang-orang kelas bawah (ibid)) guna mengamankan poin tersebut. Pada tahap mengarahkan, motivasi-motivasi ini menghasilkan kecenderungankecenderungan antisosial jika metode yang secara sosial tidak disetujui dari memuaskan mereka adalah secara terbiasa dipilih (ibid: 681). Sekali lagi, anak yang secara sosial terhalangi dengan lebih sedikit kesempatan untuk mencapai tujuan oleh hukum ataupun metode-metode yang disetujui secara sosial (ibid) merupakan subjek yang dianggap demikian. Pada tahap menghambat, kecenderungan-kecenderungan antisosial dapat dihambat oleh keyakinan yang diinternalisasi serta sikap yang telah dibangun dalam suatu proses belajar sosial sebagai hasil dari imbalan sejarah serta hukuman (ibid). Di sini, subjek yang diasumsikan merupakan subjek individu dari teori kontrol (lihat di bawah), seseorang dengan kontrol diri yang kuat atau lemah tergantung pada seberapa baik dia telah menginternalisasi [secara sosial disetujui] keyakinan dan sikap. Meskipun subjek yang diberikan merupakan dunia batin di sini,

ia adalah yang sangat tipis--dan satu yang dihasilkan oleh sebagian besar pandangan perilaku atas pembelajaran yang tidak berbeda dengan pengertian Eysenck atas pengondisian. Pada tahap pengambilan keputusan...apakah seseorang dengan tingkat tertentu dari kecenderungan antisosial melakukan suatu perbuatan antisosial dalam situasi tertentu tergantung pada kesempatan, biaya dan manfaat yang dirasakan, serta pada probabilitas subjektif dari hasil yang berbeda (ibid). Pada tahap ini, subjek yang diasumsikan menjadi kesatuan rasional dari teori pilihan rasional, menimbang yang tidak tetap serta bertindak berdasarkannya. Pengecualian-pengecualian terhadap aturan merupakan masyarakat yang lebih impulsif yang agak kurang rasional dalam

perhitungan-perhitungan mereka (ibid). Pada akhirnya, konsekuensi dari ceroboh dapat menghasilkan perubahan-perubahan dalam salah satu dari empat tahap berikut: pelabelan, misalnya, mungkin membuat opsi-opsi yang disetujui secara sosial menjadi lebih sulit dan karenanya meningkatkan kecenderungan antisosial. Kita juga akan membicarakan di dalam Bab 3 kekurangan dari subjek teori pelabelan. Jika subjek yang dipandang kadang-kadang sosial, terkadang psikologis serta secara luas rasional (bila bukan impulsif) dia (dan meskipun referensi terhadap anak-anak, subjek yang diasumsikan adalah laki-laki karena Studi Cambridge hanya termasuk anak laki-laki) adalah tanpa henti dicabut: // Anak-anak dari keluarga-keluarga yang kekurangan yang mungkin mengganggu karena mereka kurang mampu mencapai tujuan-tujuan secara legal dan karena mereka menilai beberapa tujuan (misalnya, kegembiraan) khususnya sangat tinggi. Anak-anak dengan kecerdasan yang rendah lebih mungkin melanggar karena mereka cenderung gagal di sekolah dan karenanya tidak dapat mencapai tujuan-tujuan mereka secara

legal. Anak-anak yang impulsif, dan mereka dengan kemampuan buruk untuk memanipulasi konsep-konsep abstrak, lebih mungkin melanggar karena mereka tidak memberikan cukup pertimbangan untuk kemungkinan konsekuensi-konsekuensi yang melanggar. Anak-anak yang terekspos perilaku pengasuhan membesarkan anak dari orangtua yang buruk, ketidakharmonisan, atau pemisahan terdapat kemungkinan untuk melanggar karena mereka tidak membangun kontrol internal yang kuat atas perilaku sosial yang tidak disetujui, sedangkan anak-anak dari keluarga-keluarga kriminal serta mereka dengan teman-teman dengan perilaku buruk cenderung untuk membangun sikap anti-kemapanan dan keyakinan bahwa melanggar adalah dapat dibenarkan. Seluruh proses adalah mengabadikan diri, dalam kemiskinan, kecerdasan rendah, dan kegagalan sekolah lebih awal menyebabkan pembolosan dan kurangnya kualifikasi pendidikan, yang pada gilirannya mengarah pada pekerjaan berstatus rendah dan periode pengangguran, yang keduanya membuat sulit untuk mencapai tujuan-tujuan secara sah. // (ibid: 681682) Jadi, meskipun dinamika tersirat dalam model prosesual dan kemungkinan hal-hal berubah secara berbeda, subjek ini yang merupakan campuran dari faktor-faktor risiko adalah juga sangat pasif, menentukan: diberikan muatan tinggi atas faktor-faktor risiko yang relevan, kecenderungan-kecenderungan antisosial yang muncul dini serta cenderung bertahan, hanya manifestasi-manifestasi tertentu berubah melalui jalan kehidupan. Akibatnya, meskipun dukungan umumnya tentang tesis deprivasi ibu (ibid: 675), Farrington memberitahukan kita sedikit tentang bagaimana proses perkembangan benar-benar bekerja. Hal ini karena, seperti dia sendiri mengakui,

mekanisme-mekanisme kausal menghubungkan faktor-faktor risiko serta pelanggaran adalah kurang mapan (ibid: 659). Hasil akhirnya adalah sebuah teori yang menekankan di dalam perubahan individu dari waktu ke waktu-- misalnya, kemajuan dari hiperaktivitas pada usia dua tahun sampai pada kekejaman terhadap hewan pada usia enam tahun, mengutil di usia sepuluh tahun, pencurian pada umur lima belas tahun, perampokan di usia dua puluh tahun, dan akhirnya penyerangan pasangan, perlecehan dan penelantaran anak, penyalahgunaan alkohol, dan pekerjaan serta masalah kesehatan mental di kemudian hari dalam hidupnya (ibid: 658)--tetapi menjelaskan tindakan-tindakan yang berbeda ini di dalam istilah suatu sindrom tunggal perilaku antisosial yang muncul di masa kecil dan cenderung bertahan di masa dewasa...anak antisosial cenderung menjadi remaja antisosial dan kemudian orang dewasa antisosial, sebagaimana orang dewasa antisosial kemudian cenderung menghasilkan anak antisosial lain (ibid). Ini mengelompokkan bersama-sama dari berbagai kejahatan berbeda sebagai bukti dari suatu sindrom antisosial adalah kelemahan kita yang telah digariskan dalam hubungannya dengan karya dari Eysenck itu. Dalam keadilan, Farrington

mendefinisikan sindrom secara lebih luas daripada Eysenck, termasuk istilah-istilah psikologis seperti impulsif; masalah-masalah perhatian; kecerdasan rendah bersama pengukuran-pengukuran yang lebih sensitif secara sosial seperti pencapaian sekolah; pengawasan orangtua yang buruk; konflik orangtua; orangtua anti-sosial; ibu muda; ukuran keluarga besar; pendapatan keluarga rendah; berasal dari keluarga yang berantakan, dan, tanda diri biologis, mekanisme-mekanisme genetika (ibid: 671-680). Tetapi untuk semua upaya guna menghubungkan dimensi genetika,

sosial dan psikologis teori Farrington gagal untuk menjelaskan bagaimana korelasi ini dengan secara bervariasi berkontribusi pada kecenderungan kriminal Studi Cambridge menurut dugaan mengungkapkannya. Mungkin yang paling aneh untuk seorang Profesor Kriminologi Psikologis, apa yang benar-benar psikologis, apalagi bersifat perkembangan, mengenai pendekatan Farrington tetap belum jelas bahkan bagi mereka yang paling berkomitmen terhadap karier penelitian longitudinal (Laub dan Sampson, 2001: 44-45). Teori-teori Kontrol: Hirschi dan Gottfredson Ini adalah teori kontrol yang paling problematis determinisme intrinsik di dalam formulasi dari Farrington. Sampson dan Laub (2003: 333) menunjukkan bahwa gagasan tentang sindrom antisosial, apakah ia demikian atau tidak itu adalah dimaksudkan sebagai beberapa bentuk singkatan kriminologi, cenderung untuk memperlakukan kelompok-kelompok pelanggar yang berbeda daripada perkiraan atau perangkat heuristik dalam pikiran para pembuat kebijakan. Ia merupakan semacam reifikasi, mereka menunjuk, bahwa karya Hirschi (1969) teks klasik, Causes of Delinquency, berusaha untuk mengatasinya. Seperti Eysenck dan Radzinowicz dan King, Hirschi sangat curiga terhadap psikoanalisis. Meskipun judul bukunya, minat Hirschi adalah kurang dari apa yang menyebabkan orang-orang untuk melakukan kejahatan dan lebih dalam ikatan sosial yang memupuk kesesuaian dan kepatuhan. Terdapat empat unsur-unsur dari ikatan sosial dalam rumusan asli dari Hirschi itu: keterikutan, keterlibatan, komitmen serta keyakinan. Keterikutan adalah kekuatan pendorong di belakang tiga unsur lainnya:

// Rantai sebab-akibat dengan demikian dari keterikatan terhadap orangtua, melalui kepedulian untuk persetujuan dari orang-orang di dalam otoritas, dengan keyakinan bahwa aturan masyarakat yang mengikat pada perilaku seseorang.// (Hirschi, 1969: 200) Namun apa yang dimaksud keterikutan ini--apa yang mereka berdiri untuknya, yang dilambangkan, atau merasa seperti di dalam pikiran anak-anak--bukan sesuatu yang terutama menarik baginya. Hirschi menolak dasar penelitian dari mana formulasiformulasi Bowlby tersebut berasal sebagaimana tidak memadai (ibid: 87), dan berpendapat untuk suatu konsep konseptual tipis dari keterikutan, didefinisikan sebagai persepsi anak bahwa orangtua mereka mengetahui di mana mereka berada dan apa yang mereka lakukan. Guna mendukung teorinya, Hirschi menemukan bahwa para orangtua dari non-perilaku buruk lebih mungkin untuk mengetahui apa yang anak-anak mereka sampai ketika mereka keluar atas pandangan dari orangtua dari mereka yang nakal (Downes dan Rock, 1998: 241). Tetapi data dari Hirschi sebenarnya mengemukakan bahwa tindakan ini hanyalah suatu pendekatan untuk sebuah fenomena yang lebih mendasar: identifikasi afeksional dari anak dengan para orangtua mereka. // Mungkin satu item terbaik dalam menyajikan data adalah: Apakah Anda ingin menjadi jenis orang seperti ibu (ayah)?...Sebagaimana identifikasi afeksional dengan orangtua meningkatkan kemungkinan penurunan kenakalan.// (Hirschi, 1969: 92). Mengingat komitmennya untuk penelitian yang didorong secara empiris itu adalah luar biasa bahwa Hirschi tidak mengembangkan analisisnya tentang item tunggal terbaik ini lebih jauh. Seperti yang kita mengerti, masalah identifikasi mengacu pada proses-

proses mental tersebut yang melibatkan bayangan bagian-bagian dari diri kita untuk menjadi sama dengan, atau yang kompatibel dengan, kualitas-kualitas yang kita persepsikan di dalam orang lain: Dalam mengidentifikasi sesuatu yang lain masuk ke dalam subjek, dan bentuk-bentuk dia dalam persamaannya (Hinshelwood, 1994: 70). Proses ini, yang pasti melibatkan baik dinamika yang disadari maupun di bawah sadar, membantu menjelaskan bagaimana anak-anak, meskipun klaim-klaim mereka sendiri untuk menjadi berbeda dari ibu dan ayah mereka, seringkali mengadopsi sikap-sikap bahwa orangtua mereka memegang, bahkan ketika orangtua mereka telah mengetukngetukkan itu kepada mereka bahwa mereka seharusnya tidak membuat kesalahankesalahan yang sama yang sudah mereka lakukan. Hal ini juga melalui proses identifikasi bahwa masyarakat membentuk ikatan baru: ikatan yang mungkin, dalam keadaan tertentu, mengkompensasi ketidaktersediaan emosional dari pengasuh utama; ikatan yang bisa memungkinkan perasaan kerentanan dan marah di mana penelitian dari Bowlby mengemukakan kehilangan emosional bisa memicu untuk diatasi. Hirschi bergerak bahkan semakin jauh dari dimensi-dimensi subjektif dari motivasi kriminal di dalam karyanya yang selanjutnya. Karya dari Gottfredson dan Hirschi (1990) A General Theory of Crime, mengambil ide, yang juga terwujud dalam karya Farrington, bahwa sesuatu seperti suatu kecenderungan kriminal yang stabil eksis. Dalam A General Theory, kecenderungan ini dikonseptualisasikan sebagai kontrol rendah, yang didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk mengejar berbagai perilaku berisiko, tidak peka dan impulsif--mengemudi secara ngebut, perjudian, membolos dan merokokdi mana kejahatan hanyalah salah satu manifestasinya (Gottfredson dan Hirschi, 1990: 90). Namun pengabaian mereka atas dimensi subjektif

menciptakan suatu masalah konseptual untuk Gottfredson dan Hirschi, yang akhirnya jatuh kembali pada membesarkan anak secara tidak efektif didefinisikan di sepanjang empat baris untuk penjelasan mereka atas kontrol diri rendah: // Pertama, para orangtua mungkin tidak peduli untuk anak...; kedua, para orangtua... mungkin tidak memiliki waktu atau energi untuk memonitor perilaku anak; ketiga, orangtua...mungkin tidak melihat sesuatu yang salah dengan perilaku anak; akhirnya, bahkan jika segala sesuatu yang lain berada di tempatnya, orangtua mungkin tidak memiliki kecenderungan atau cara-cara untuk menghukum anak.// (ibid: 98) Guna membuat penjelasan ini berfungsi, perspektif anak itu sendiri harus menghilang dari pandangan. Di dalam A General Theory anak baik ditindaklanjuti atau tidak ditindaklanjuti oleh orangtuanya, tergantung pada level mereka atas kepedulian dan energi, integritas moral dan/atau keinginan untuk menghukum. Ini tidak peduli bagaimana anak merespons kepada orangtuanya karena ia tidak memiliki perantaraan. Dan itu tidak penting jika ada keterikutan apapun, biarlah identifikasi afeksional saja. Hal ini tidak begitu banyak di mana ikatan sosial telah menggantikan kebutuhan untuk teori yang memadai tentang subjek; daripada kompleksitas baik dimensi sosial maupun psikis yang telah terlalu terabaikan. Perspektif jalan hidup dan masalah penghentian: Sampson dan Laub Bagi Sampson dan Laub tesis invarian usia kejahatan (gagasan bahwa kecenderungan kriminal tetap merupakan suatu properti yang stabil dari masyarakat di sepanjang hidup mereka) adalah sama sekali tidak didukung oleh bukti empiris. Studi pertama mereka, Crime in the Making, menunjukkan secara meyakinkan bahwa gagasan kecenderungan

kriminal yang stabil merupakan suatu penyederhanaan yang berlebihan dari sebagian besar karir para pelaku kriminal (Sampson dan Laub, 1993). Menganalisis kelompok data yang awalnya dikumpulkan oleh Gluecks untuk studi mereka Unravelling Juvenile Delinquency, Sampson dan Laub menjelajahi karir kriminal dari 500 laki-laki, semua lahir pada tahun 1930-an, serta diidentifikasi sebagai para pelanggar selama masa kanak-kanak mereka (Glueck dan Glueck, 1950). Gluecks mewawancarai peserta penelitian mereka di usia 14, 25 dan 32 tahun. Setelah menganalisa ulang kumpulan data dari Gluecks, Sampson dan Laub mampu untuk menunjukkan bahwa terdapat kesinambungan maupun perubahan dalam banyak dari kehidupan penjahat.

Sebagaimana baik teori Farrington maupun A General Theory memprediksi, permasalahan remaja dengan minuman dan obat-obatan, kehidupan keluarga dan kejahatan cenderung untuk berlanjut ke kehidupan dewasa bahkan di antara Gluecks yang berhenti: Mereka yang memasuki masa dewasa dengan riwayat masalah dini dan kerentanan menunjukkan 70 persen tingkat yang lebih tinggi dari pelanggaran dibandingkan remaja dengan risiko rendah (Laub dan Sampson, 2006: 262). Tetapi bahkan mereka dengan riwayat masalah awal menyaksikan perubahan dalam lintasan kriminal mereka di masa dewasa--pekerjaan yang stabil, dinas militer dan perkawinan, khususnya, sinyal titik balik menjauh dari kejahatan serta periode stabilitas. Sampson dan Laub (1993) menjelaskan kompleksitas ini dalam hal-hal apa yang mereka disebut suatu teori tingkat usia dari pengawasan informal. Secara singkat, hipotesis pusat mereka adalah bahwa ikatan sosial yang menghubungkan masyarakat satu sama lain serta lembaga-lembaga sosial berubah seiring waktu, dan dapat menjadi lebih kuat ketika masyarakat menjadi menginvestasikan dalam pekerjaan mereka atau

keluarga mereka. Menanggapi salah satu dari klaim kritik mereka bahwa mereka tetap terlalu terikat pada sebuah analisis berbasis variabel (Ibid: 8), Laub dan Sampson (2006) mengejar wawancara riwayat hidup dengan 52 peserta dari sampel asli seiring mereka mencapai usia 70 tahun. Dengan kuat, data baru riwayat hidup ini mengungkapkan para responden Gluecks menjadi populasi yang jauh lebih bermasalah daripada analisis sebelumnya telah mengakui. Karir kriminal mereka seringkali jauh lebih berantakan dan rumit, dan narasi lebih dari sepertiga dari peserta diisi dengan lebih terasa kesedihan, rasa sakit dan kehancuran pribadi daripada yang sampai sekarang diakui (ibid: 196-197). Analisis dari Laub dan Sampson mengenai kumpulan data baru ini meskipun demikian mengonfirmasikan banyak dari hipotesis asli mereka. Hal ini juga, bagaimanapun, mengungkapkan bahwa utilitas tertentu dari gagasan tentang keterikutan dalam menjelaskan mengapa beberapa orang mampu

menghentikan kejahatan sementara orang-orang yang sezaman dengan mereka, cocok dalam hal masalah-masalah masa anak-anak dan karakteristik demografi sosial, bertahan: // Pelaku yang persisten tampak tanpa struktur-struktur terikat pada setiap tahap dari jalan kehidupan, terutama yang melibatkan hubungan yang dapat memberikan kontrol sosial informal dan dukungan sosial. Para lelaki yang berhenti dari kejahatan lebih dituntun pada hidup lebih teratur, sedangkan kehidupan dari pelaku yang persisten ditandai dengan seringkali bergolak, hampir sama seperti pada masa remajanya. Tentunya bagian dari kekacauan ini mencerminkan suatu ketidakmampuan untuk menempa keterikatan erat atau membuat koneksi apapun kepada siapapun atau apapun.//

(ibid: 194) Sayangnya, Laub dan Sampson belum memberikan suatu teorisasi penuh dari signifikansi atas ketidakmampuan untuk menempa keterikutan erat ini dan cenderung bertentangan dengan diri mereka sendiri pada derajat di mana perubahan psikologis terlibat dalam penghentian yang mereka perhatikan. Sementara banyak mereka yang berhenti telah memperoleh suatu tingkat kematangan Laub dan Sampson merasakan pentingnya ini terutama dalam hal tanggung jawab keluarga dan pekerjaan serta perubahan bersamaan dari kegiatan rutin di mana tanggung jawab sedemikian dibutuhkan (ibid: 147). Demikian juga, Laub dan Sampson memerhatikan bagaimana mereka yang berhenti menempa komitmen-komitmen baru, membuat awal baru, dan menemukan arah baru serta makna dalam hidup (ibid), tetapi menjelaskan penemuan makna baru ini hampir secara eksklusif dalam hal rasional menimbang dari peluang, atau jika tidak pilihan yang ditempatkan: Sebelum mereka mengetahui itu, mereka telah menginvestasikan begitu banyak dalam pernikahan atau pekerjaan yang mereka tidak ingin mengambil risiko kehilangan investasi mereka (ibid). Kita tidak ingin meremehkan pentingnya investasi-investasi tersebut maupun menyangkal bahwa masyarakat secara rutin dan rasional mengestimasi mereka. Tetapi kita juga akan menunjukkan bahwa untuk sebagian besar perhitungan menentang logika rasional, investasi-investasi sedemikian menjadi secara tidak terhindarkan emosional. Beberapa mereka yang berhenti dari Laub dan Sampson mengakui sebanyak, menyoroti ambivalensi yang signifikan dari status-status baru mereka sebagai laki-laki keluarga terstimulasi di dalamnya (ibid). Salah satu alasan Laub dan Sampson tidak membuat lebih dari ini adalah bahwa mereka mengharapkan para peserta mereka untuk

dapat menjelaskan mengapa mereka datang ke titik balik, suatu asumsi yang dapat dipertanyakan memberikan pengungkapan bahwa pilihan-pilihan yang tidak sadar sangat sering dipertaruhkan (ibid: 225). Sebagaimana Laub dan Sampson kemudian mengakui: Kita setuju bahwa para pelanggar dapat dan memang berhenti tanpa suatu keputusan sadar untuk membuat baik...dan para pelaku dapat dan memang berhenti tanpa suatu transformasi kognitif (ibid: 279). Apa yang tidak dapat dijelaskan secara sadar kemudian dikaitkan dengan yang tidak sadar tanpa teorisasi lebih lanjut dari hubungan di antara keduanya: // Dalam narasi kehidupan sejarah kita, sehingga melihat satu bukti kuat untuk baik kehendak/perantara manusia dan komitmen secara pengaturan asal (H. Becker, 1960), seringkali dalam kehidupan orang yang sama itu. Dengan kata lain, tidak ada menghindari ketegangan yang di sekitar tindakan sadar dan tindakan tidak sadar yang dihasilkan oleh pengaturan asal. // (ibid: 281) Kesimpulan Kami mengambil pengakuan ini atas pentingnya tindakan sadar maupun tidak sadar sebagai bukti bahwa adalah diperlukan untuk mengasumsikan suatu subjek manusia yang berkonflik--tidak selalu rasional dalam semua pilihan mereka dan tidak berarti stabil dalam kecenderungan mereka untuk bertindak dalam cara kriminal atau nonkriminal. Bagi kita, kesimpulan dari Laub dan Sampson menggarisbawahi perlunya suatu catatan yang memadai dari subjek kriminal yang berkonflik ini. Kekurangan Laub dan Sampson mengidentifikasi pada lebih pendekatan psikologis konvensional mengungkapkan bahwa kriminologi seharusnya tidak lagi untuk menghindari masalah

ini. Ketika jenis-jenis pelaku yang diperlakukan dalam wacana kebijakan efek-efek pada kehidupan masyarakat secara riil, tidak adil dan kontra-produktif, serta efek-efek positif signifikan yang lainnya dapat memiliki mereka pada risiko atas keterlibatan pidana adalah diabaikan. Sebagaimana Bowlby menunjukkan, ini adalah tidak kurang sebenarnya dari pendekatan-pendekatan sebelumnya pengikut Freud terhadap kejahatan. Tetapi apapun kekurangan dari kriminologi psikoanalitik awal, kepekaannya terhadap isu dari konflik mental adalah tidak salah tempat. Sebaliknya, apa yang dibutuhkan adalah upaya yang lebih menyeluruh terhadap psikoanalisis bebas dari wacana psikopatologi; komitmen yang lebih besar terhadap analisis empiris, pemikiran kembali yang lebih radikal dari hubungan antara dinamika sadar dan bawah sadar, termasuk proses intra dan inter-subjektif serta formasi identitas serta identifikasi; dan suatu pemahaman yang lebih kompleks dari relasi subjek terhadap dunia sosial. Terakhir ini, tentu saja, adalah provinsi dari tradisi sosiologis di dalam kriminologi, di mana sekarang kita berpaling. 3 SOSIOLOGI DAN SUBJEK KRIMINOLOGI Dalam arti luas kita bisa membagi pendekatan sosiologis untuk memahami kejahatan menjadi empat: ekologi, berbasis strain, pelabelan dan fenomenologis. Pendekatanpendekatan ekologi, merangkul berbagai ide-ide dari disorganisasi sosial, asosiasi diferensial dan transmisi budaya, berasal di dalam Chicago School yang mendominasi sosiologi Amerika dalam bagian pertama dari abad kedua puluh. Semenjak bab kita ditujukan untuk suatu pembacaan ulang karya dari Shaw, The Jack-Roller (1930), tidak diragukan lagi yang paling terkenal dari studi-studi kasus Chicago School, memulai

dengan suatu pandangan kritis pada praduga-praduga Chicago School tentang subjek tersebut, kita tidak akan membahas masalah tersebut di sini. Teori-teori berbasis strain dimulai dengan karya dari Merton tentang anomie. Mentransformasi catatan Durkheim tentang anomi sebagai tanpa norma, Gagasan Merton (1938) tentang anomie sebagai suatu strain berbasis struktural di antara sarana-sarana dan tujuan telah terbukti salah satu konsep yang paling bertahan yang mendasari penjelasanpenjelasan mengenai kejahatan dan penyimpangan, dari teori subkultur terhadap Marxisme. Di sini kita secara kritis mengevaluasi pendekatan awal Merton serta adaptasinya dalam upaya Lea dan Young (1984) yang lebih baru untuk menjelaskan kerusuhan serta kekerasan kolektif menggunakan konsep deprivasi relatif. Tantangan terbesar bagi teori-teori berbasis struktural telah datang dari teori pelabelan. Para pemikir kunci di balik paradigma interaksionis simbolis, di mana teori pelabelan terletak, adalah George Herbert Mead ([1934] 1967). Oleh karena itu, kami menggunakan ide-idenya tentang subjektivitas untuk mengevaluasi subjek dari teori pelabelan sebelum menunjukkan kelanjutan relevansinya menggunakan suatu artikel klasik, Menjadi seorang pengguna ganja, yang ditulis oleh eksponen teori pelabelan yang paling banyak dikutip, yaitu, Howard Becker (1953). Akhirnya, kita beralih ke tantangan fenomenologis terhadap teori-teori berbasis struktural. Salah satu pemikir kunci di sini adalah Alfred Schuetz, yang esai pendeknya tentang Orang asing (Schuetz, 1944) kita gunakan untuk menunjukkan bagaimana ia, juga, yang berbasis di dalam suatu pandangan Meadian dari subjek. Kita kemudian berakhir dengan karya menarik dari Jack Katz untuk menunjukkan bagaimana salah satu yang paling inovatif, teks-teks kriminologi yang diilhami fenomenologis dari bagian akhir dari abad kedua

puluh, Seductions of Crime (1988), yang merupakan suatu tantangan eksplisit dan tantangan khusus terhadap pendekatan Mertonian, masih gagal menghasilkan suatu subjek fenomenologis psikososial yang memadai. Meskipun dengan jelas bukan suatu survei lengkap dari pendekatan-pendekatan sosiologis, kami yakin bahwa dengan mencakup beberapa pemikir sosiologis yang paling berpengaruh dari kriminologi, jaring kami secara efektif mencakup area yang jauh lebih luas. Pertanyaan kita, yang kita masukkan ke masing-masing dari pendekatan yang kita pertimbangkan, adalah: bagaimana memadai konsepsinya atas subjek? Merton, anomie dan deprivasi relatif Artikel Merton dari tahun 1938, berjudul struktur sosial dan anomie, adalah begitu diperhitungkan sebagai single yang paling sering dikutip dan makalah yang dicetak ulang dalam sejarah sosiologi Amerika (Katz, 1988: 313). Teorinya membawa masalah dengan gagasan bahwa kejahatan terjadi karena suatu kegagalan untuk mengontrol dorongan keangkuhan biologis manusia, sebuah tesis di mana dia mengaitkan dengan ide Freud bahwa peradaban memerlukan suatu penolakan terhadap kepuasan insting (Merton, 1958: 131). Merton adalah tidak, betapapun, bermusuhan terhadap pemikiran psikoanalitik, dan dikutip dari seperti Karen Horney (1937) serta Erich Fromm (1941), yang belakangan dari mereka mengusulkan perlunya analisis psiko-budaya dari kelompok-kelompok yang secara diferensial diposisikan dalam kaitannya terhadap proses-proses ekonomi serta pergolakan politik. Sementara fokus dari Merton adalah lebih secara eksklusif sosiologis daripada Fromm dan Horney, dia tidak pernah menyangkal relevansi proses-proses psikologis sosial dalam

menentukan insiden spesifik dari respons budaya terhadap strain sosial (1958: 160)

dan berharap lain-lainnya akan mengeksplorasi proses-proses ini secara empiris. Terlepas dari karya Robert Agnew (1992), yang membayangkan dari regangan dalam hal kehilangan atau kerugian yang diantisipasi dari stimulus yang dinilai secara positif (yaitu yang tercinta, karir, kepemilikan-kepemilikan pribadi yang sangat dihargai) sedikit dari mereka yang menarik inspirasi dari karya Merton mengambil tantangan ini. Di AS dan Inggris reinkarnasi-reinkarnasi berikutnya dari teori anomie (misalnya Cloward dan Ohlin, 1960; Lea dan Young, 1984) menghadiri respons budaya berbasis kelompok terhadap deprivasi relatif untuk mengabaikan suatu fokus psikososial yang lebih menyeluruh. Apa yang ditekankan Merton, berbeda dengan Freudianisme ortodoks dan banyak psikologi kriminologi berikutnya, adalah kejahatan yang bisa diharapkan dan karenanya respons normal terhadap tekanan-tekanan sosial di mana masyarakat harus tinggal dalam industrialisasi cepat dari masyarakat demokratis Barat. Oleh karena itu adalah salah untuk menganggap bahwa semua penyimpangan merupakan gejala dari kelainan psikologis (1958: 131-132). Apakah atau tidak masyarakat berpaling kepada kejahatan, Merton berpendapat, tergantung pada posisi sosial mereka dalam kaitannya dengan aspirasi budaya yang secara luas dipegang serta sarana-sarana kelembagaan untuk mencapai mereka. Di mana populasi dari negara-negara dengan industri kurang maju diikuti secara lebih erat dengan praktik-praktik kelembagaan yang ditentukan serta ritual-ritual tanpa pertanyaan, warga Amerika abad kedua puluh, Merton berpikir, tidak hanya aspirasi-aspirasi mereka memuncak dengan Mimpi Amerika, tetapi juga menjadi sibuk dengan sukses moneter dalam konteks bentuk-bentuk baru dari konsumerisme. Secara berbeda diposisikan dalam hal akses mereka terhadap sarana-

sarana untuk mencapai keberhasilan moneter, tanggapan warga Amerika cenderung untuk mengambil salah satu dari lima bentuk, beberapa yang secara bervariasi memberikan diri mereka terhadap kejahatan serta perilaku buruk. 1. Kesesuaian. Konformis, yang merupakan mayoritas taat hukum, orang-orang yang bercita-cita untuk kesuksesan tujuan berupa uang dan mengejar mereka menggunakan cara-cara yang sah, seperti sebagai belajar dan bekerja. 2. Inovasi. Menyadari mereka dibatasi dalam kapasitas mereka untuk mencapai tujuan-tujuan keberhasilan mereka melalui sarana-sarana yang sah, suatu minoritas cenderung untuk berinovasi, beralih ke perilaku kriminal atau praktikpraktik bisnis yang tidak sah untuk mendapatkan hal-hal yang mereka inginkan. 3. Ritualisme. Ritualis meninggalkan keinginan mereka untuk mendapatkan di dalam dunia dan alih-alih dengan bersemangat mematuhi aturan-aturan birokrasi. Masyarakat kelas menengah ke bawah, Merton berpikir, adalah khususnya rentan terhadap adaptasi-adaptasi ritualistik, dan bertanggung jawab untuk membawa suatu beban berat kecemasan dan/atau kesalahan, terlahir dari disiplin kuat orangtua mereka serta mandat moral (Merton, 1958: 151152). 4. Retreatisme. Retreatispsikotik, psikoneurotik, autistik kronis, paria, orang buangan, gelandangan, pemabuk kronis serta pencandu narkoba--orang-orang yang menyerah pada baik tujuan maupun sarana-sarana (Merton, 1938: 677). Menderita dua kali lipat konflik mental dalam sehubungan dengan kewajiban moral guna mengadopsi tujuan-tujuan kelembagaan serta tekanan untuk

bersandar menggunakan sarana-sarana yang tidak sah, Yang kalah, kepasifan dan pengunduran diri merupakan hasilnya (ibid: 677-678). 5. Pemberontakan. Pemberontak juga menolak baik tujuan-tujuan keberhasilan dan cara-cara yang sah. Namun, para pemberontak--seringkali anggota kelas yang sedang naik namun menjadi marah--merancang tujuan-tujuan mereka sendiri di mana mereka mengejar melalui cara-cara alternatif. Bagi Merton, kekuatan teorinya adalah bahwa hal itu dapat menjelaskan mengapa kriminalitas terkonsentrasi secara tidak proporsional tetapi tidak secara eksklusif di antara kelas-kelas bawah--yang paling secara struktural tegang--tetapi, mengingat karakter yang berpotensi tidak terpuaskan dari keinginan untuk keberhasilan moneter, yang lebih baik juga bisa menemukan diri mereka sendiri rentan terhadap perasaan anomi (kondisi berada di luar hukum). Namun, dia mengakui bahwa teorinya hanya berlaku untuk kelompok-kelompok sosial yang luas di mana akan banyak terdapat pengecualian. Salah satu alasan untuk ini, seperti yang dicatatnya dalam draf pertama yang diterbitkan dari tesis anominya, adalah bahwa bahkan para pelanggar paling inovatif pun berjuang untuk membebaskan diri mereka sendiri dari norma-norma interiorisasi: // Penolakan yang nyata dari norma-norma institusional ditambah dengan beberapa retensi laten dari hubungan emosional mereka. Perasaan bersalah, rasa dosa, kepedihan hati yang jelas merupakan manifestasi-manifestasi dari ketegangan tidak henti-hentinya ini; kepatuhan simbolik pada nilai-nilai yang ditolak secara nominal atau rasionalisasi merupakan suatu variasi yang lebih halus dari pembebasan tensional. // (Merton, 1938: 675)

Di mana individu-individu tertentu memberi jalan terhadap keinginan budaya mereka tidak bisa karena itu dijelaskan dalam hak ketegangan struktural saja. Sebagaimana Merton sendiri mengatakan: Kemiskinan dan berikut keterbatasan atas kesempatan, adalah tidak cukup untuk menimbulkan tingkat perilaku kriminal yang menyolok tinggi. Apa yang penting adalah apakah atau tidak asimilasi dari penekanan budaya pada akumulasi moneter sebagai suatu simbol keberhasilan telah terjadi (ibid: 681). Apa yang menentukan apakah atau tidak seseorang adalah bertanggung jawab untuk mengasimilasi penekanan budaya ini pada akumulasi moneter? Merton berpikir hasilnya akan ditentukan oleh kepribadian tertentu, dan demikian, latar belakang budaya tertentu, yang terlibat. Sosialisasi yang tidak memadai akan mengakibatkan dalam respons inovasi...sebuah asimilasi ekstrem dari tuntutan kelembagaan akan menyebabkan ritualisme (ibid: 678, penekanan dalam aslinya). Jadi, sementara Merton menekankan pentingnya latar belakang budaya, dia sangat jelas bahwa kepribadian, sosialisasi, dan asimilasi dari tujuan-tujuan sukses membuat suatu perbedaan. Dan, saat dia menjelaskan pada akhir tahun 1958 pada pengerjaan ulang tentang tesisnya, perbedaan ini adalah sesuatu yang penting, seringkali secara kompleks terkait dengan dinamika intersubjektif antara anak dan orangtua mereka: // Proyeksi dari ambisi-ambisi orangtua kepada anak juga secara terpusat relevan...Sebagaimana telah dikenal, banyak orangtua dihadapkan dengan kegagalan atau sukses terbatas pribadi mungkin menunda lebih lanjut...upaya-upaya untuk mencapai tujuan [dan] mencoba untuk mencapai itu atas nama orang lain melalui anakanak mereka...itu adalah tepatnya para orangtua tersebut paling kurang mampu untuk

menyediakan akses bebas pada kesempatan bagi anak-anak mereka...yang memberikan tekanan besar kepada anak-anak mereka untuk mencapai prestasi tinggi.// (Merton 1958: 159, penekanan dalam aslinya) Perhatian Merton dengan proyeksi telah, untuk yang terbaik dari pengetahuan kita, melewati semua orang yang telah berusaha untuk mengembangkan teori anomi. Sebagai satu contoh, ambil karya dari Lea dan Young (1984: 218) penjelasan tentang deprivasi relatif, yang mereka definisikan, dalam gema Merton, sebagai ekses dari harapan-harapan atas kesempatan. Apa yang mengikuti adalah informasi dan umumnya catatan sosio-historis yang masuk akal dari perbedaan antara tahun 1930-an dan 1980-an untuk menunjukkan mengapa deprivasi relatif dari kelas pekerja pada tahun 1930-an tidak menyebabkan peningkatan tingkat kejahatan dan kerusuhan, tidak seperti tahun 1980-an. Penjelasan yang luas adalah bahwa dalam tahun 1930-an kelas pekerja adalah secara politik terintegrasi, yang berarti bahwa meskipun tingkat pengangguran yang tinggi dan deprivasi relatif diasosiasikan dengan ketimpangan berbasis kelas mereka memiliki sarana-sarana institusionalserikat pekerja, Partai Buruh, Gerakan Pekerja Pengangguran Nasional, dllmelalui perjuangan untuk perbaikan dalam posisi mereka bisa disalurkan. Dengan cepat maju ke tahun 1980-an dan, melangkah secara argumentasi, deprivasi relatif telah bertumbuhsuatu hasil ironis dari pertumbuhan Negara Kesejahteraan...media massa dan pendidikan massa sekunder (ibid: 222) dalam meningkatkan harapan-harapan--seperti telah secara politik termarjinalitaskan. Perubahan sifat dari pekerjaan, dan imigrasi pasca-perang, telah bertindak untuk memecah komunitas-komunitas kelas pekerja dan organisasi-organisasi kemasyarakatan serta politik mereka, dan pengangguran pemuda memastikan bahwa

orang-orang muda diisolasi dari apapun yang tersisa dari lembaga-lembaga politik kelas pekerja. Ini memberikan keterpinggiran politik dari kaum muda, termasuk anak-anak imigran, terutama akut: Adalah kombinasi stabil ini yang mendasari kejahatan jalanan naik dan kekerasan kolektif yang kita lihat kembali ke kota-kota kita (ibid: 220). Meskipun ini membuktikan sebuah tesis yang kontroversial pada saat itu, terutama karena ia gagal untuk mempertanyakan realitas dari statistik kejahatan hitam dalam membuat kasusnya, perhatian kita adalah kegagalannya untuk mengatasi faktor-faktor tingkat individu yang mungkin membantu menjelaskan berbagai tingkat keterlibatan dari yang relatif miskin, para pemuda yang terpinggirkan secara politik dalam kejahatan dan kerusuhan. Dalam hal khusus ini, ia merupakan, bagi kita, mundur dari, bukan maju pada, gagasan dasar dari Merton. Mead, teori pelabelan dan Menjadi seorang pengguna ganja Selama tahun 1970-an, teori pelabelan muncul sebagai suatu penangkal yang sangat berpengaruh untuk pemahaman positivis dari penyebab kejahatan. Menurut teori pelabelan, penyebab kriminalitas tidak harus dicari dalam perilaku individu-individu tetapi dalam proses-proses interaksi di antara agen-agen kontrol sosial (baik formal dan informal) serta aktor-aktor individu. Ketika makna dari tindakan-tindakan khusus ini ditafsirkan oleh agen-agen kontrol sebagai baik tidak dapat diterima maupun melanggar hukum dan diberi label seperti itu, penyimpangan atau kejahatan adalah hasilnya. Dengan kata-kata yang terkenal dari Becker, Apakah sesuatu tindakan adalah menyimpang...tergantung pada bagaimana orang lain bereaksi terhadap itu (1963: 11). Pemahaman interaksionis ini tentang penyimpangan kadang-kadang dibaca seolah-olah

adalah tidak perlu untuk mengurus makna tindakan karena ini hanya dapat ditemukan dalam sifat reaksi (variabel) terhadapnya: bagaimana hal itu terjadi untuk diberi label. Konsekuensi logis dari ini untuk sebagian tampaknya bahwa suatu pemahaman tentang subjek tindakan itu adalah tidak diperlukan. Lemert (1964), misalnya, melihat tindakan awal (yang disebut penyimpangan primer) karena terlalu biasa untuk menjamin perhatian; hanya saat pelabelan dan respons dari aktor terhadap itu (apa yang disebut penyimpangan sekunder) seharusnya menarik bagi para kriminolog. Ini adalah sesuatu dari kesalahpahaman. Menyoroti momen dari reaksi atau pelabelan seharusnya tidak menghalangi mengikuti terhadap tindakan. Apa suatu pendekatan interaksionis bersikeras atasnya adalah bahwa tindakan-tindakan, setiap tindakan, tidak dapat dipahami dalam isolasi: bahwa arti dari perilaku selalu pada akhirnya harus dipahami dalam hal subjek-subjek berinteraksi--maka inti, keadaan paradigmatis, interaksionisme simbolik--bahkan ketika tindakan berlangsung dalam isolasi jelas. Tentu saja G.H. Mead, oleh kutipan umum dari pemikir interaksionisme simbolik paling berpengaruh, menghabiskan sebagian besar hidup intelektualnya bergulat dengan masalah bagaimana subjektivitas manusia muncul dari interaksi sosial. Tugas kita, kemudian, adalah untuk menggambarkan usahanya mengenai hal ini dan menilai kecukupan psikososial mereka. Versi singkat dari subjek diwariskan oleh interaksionisme simbolik adalah terkandung di dalam ide dari cermin diri, sebuah frase biasanya dihubungkan dengan sosiolog Charles Cooley (1922: 184), meskipun Miller (1973: xix) menegaskan kehormatan secara langsung adalah milik ekonom Adam Smith: Cooley...dengan jelas dipengaruhi oleh cermin teori dari Adam Smith tentang diri. Apa yang Smith memaksudkan dengan

ini adalah bahwa di dunia ekonomi, penjual harus melihat dirinya sendiri dari sudut pandang pembeli, dan sebaliknya: masing-masing harus mengambil sikap dari yang lainnya (ibid). Hal ini tidak sulit untuk melihat bagaimana gagasan ini cocok dengan teori pelabelan dari ide sentral bahwa kita melihat diri sendiri melalui mata orang lain: bagaimana orang lain melabeli kita, sedemikian kita. Namun, meskipun Mead dipengaruhi oleh Cooley, dia juga kritis terhadapnya (Miller, 1973: xx; Morris, [1934] 1967: xiii-xiv). Ironisnya, mengingat bahwa Cooley adalah seorang sosiolog, kritik mendasar dari Mead bahwa Cooley adalah tidak cukup sosial karena dia mengikuti konvensi mempradugakan suatu diri individu. Penekanan Mead adalah pertanyaan tentang bagaimana untuk memahami hubungan antara pikiran, diri dan masyarakat, untuk mengutip judul bukunya yang paling signifikan, dengan cara yang tidak mengandaikan dirisuatu masalah dengan baik dualisme Cartesian (diri dan masyarakat) maupun idealisme Hegelian (diri kognitif menghasilkan masyarakat) tidak juga mengabaikan pentingnya, mengingat sentralitasnya pada psikologi. Hal ini persis masalah kita: bagaimana untuk memikirkan hubungan di antara jiwa (diri) dan sosial (masyarakat) dengan cara yang mengakui kehadiran simultan bersama dalam tindakan apapun, tetapi secara tidak reduktif. Untuk menghindari mengandaikan suatu pikiran individu atau diri sendiri, Mead menekankan pada sebuah titik awal sosial: Kita harus menganggap pikiran...sebagai yang timbul dan berkembang di dalam proses sosial, di dalam matriks empiris dari interaksi-interaksi sosial (Mead [1934] 1967: 133). Titik awal sosial ini tidak diragukan lagi membantu menjelaskan popularitas Mead dengan para sosiolog. Namun, dia tidak mengurangi pikiran terhadap sosial: sebagai seorang psikolog dia bersikeras

tentang pentingnya yang tidak tergantikan dari dunia batin, bahkan jika, baginya, hal ini dikandung dalam istilah biologis bukan psikologis: Sementara pikiran dan diri merupakan pada dasarnya produk-produk sosial...mekanisme fisiologis yang mendasari pengalaman adalah jauh dari tidak relevan--memang sangat diperlukan--untuk asal-usul serta keberadaan mereka (ibid: 1-2). Sebagai suatu cara lebih lanjut melarikan diri dari asumsi-asumsi mentalistik, titik awal lainnya dari Mead adalah perilaku: Tindakan... dan bukan saluran, adalah datum mendasar dalam baik psikologi sosial maupun individu (ibid: 8). Ini tidak berarti, seperti yang dilakukan untuk behavioris John B. Watson, kurangnya ketertarikan di dalam dunia batin (karena dianggap berada di luar penyelidikan ilmiah); melainkan, sebuah pendekatan terhadap semua pengalaman dalam hal perilaku (Morris, [1934] 1967: xvii): // bahkan ketika kita sampai pada diskusi tentang pengalaman batin, kita dapat mendekatinya dari sudut pandangan pengamat perilaku, asalkan kita jangan terlalu sempit memahami sudut pandang ini...sesuatu dari perilaku ini muncul dalam apa yang kita mungkin mengistilahkan sikap, awal dari tindakan-tindakan.// (Mead, [1934] 1967: 5) Gagasan dasar Darwin yang dikembangkan Mead adalah bahwa organisme beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan alam mereka. Dialihkan ke bidang sosial, Mead menganggap proses sosial sebagai sesuatu yang didorong oleh saling menyesuaikan organisme: perilaku dari organisme A bertindak sebagai stimulus ke organisme B yang merespons, pada gilirannya, menjadi stimulus lebih lanjut ke A, dan seterusnya. Namun, daripada menerima gagasan bahwa tindakan-tindakan seperti itu merupakan ekspresi-ekspresi dari emosi (batin), seperti Darwin melakukannya (dengan

demikian menggemakan sikap psikologis konvensional yang membelah kesadaran dan kegiatan), Mead mengambil gagasan Wundt bahwa tindakan seperti itu merupakan bentuk-bentuk primitif dari komunikasigerakan-gerakan--yang, sekali

melambangkan, kemudian akan membentuk dasar dari bahasa manusia. Dengan cara ini, bahasa menjadi sebuah bagian dari perilaku sosial (ibid: 13) dan kesadaran tetap tidak terpisahkan dari tindakan sosial: // Ketika...[suatu] isyarat berarti [yang]...ide di balik itu dan ia membangkitkan gagasan di dalam lain individu, maka kita memiliki suatu simbol yang signifikan... Di mana isyarat mencapai bahwa situasi telah menjadi apa yang kita sebut bahasa. Ia sekarang merupakan suatu simbol yang signifikan dan ini menandakan suatu makna tertentu. // (ibid: 4546) Setelah isyarat telah menjadi simbol-simbol signifikan, komunikasi menjadi jauh lebih efektif. Berpikir menjadi dimungkinkan, karena ini sekadar merupakan internalisasi atau percakapan implisit dari individu dengan dirinya sendiri dengan caracara isyarat sedemikian (ibid: 47) dan suatu pikiran sadar dapat berkembang, yang merupakan kemampuan untuk mengambil sikap dari yang lain terhadap diri seseorang, atau terhadap perilaku seseorang itu sendiri (ibid: 48). Makna keluar dari percakapanpercakapan berbasis isyarat: Respons dari satu organisme kepada isyarat dari pihak lain dalam tindakan sosial tertentu merupakan makna dari isyarat tersebut (ibid: 78). Ini bukan hanya suatu pandangan menyeluruh dari sosial dan perilaku atas bahasa, ia juga, beberapa dekade sebelum munculnya teori wacana, secara radikal bersifat membentuk.

Jika makna didasari di dalam situasi tertentu, bagaimana cara ia menghindari dari kekhasan dan menjadi secara universal dipahami (di dalam masyarakat tertentu)? Jawaban Mead adalah bahwa melalui pengalaman kita belajar untuk merespons dalam cara yang sama untuk berbagai rangsangan yang berbeda: jika tidak ada palu untuk tangan, kita menggunakan batu bata, batu atau apapun yang memiliki bobot yang diperlukan untuk memberikan momentum terhadap pukulan (ibid: 83). Hasil belajar ini dari apa yang Mead menyebut pengakuanSuatu respons yang dapat menjawab salah satu dari stimulus kelompok tertentu (ibid)--dan ini kemudian menjadi dasar dari kebiasaan. Pengakuan kebiasaan kemudian memberikan dasar untuk apa Mead, secara jeli, menyebutnya sebagai semesta wacana: // Semesta diskursus ini didasari oleh sekelompok individu yang membawa dan berpartisipasi dalam suatu proses sosial umum dari pengalaman serta perilaku, di mana isyarat-isyarat ini atau simbol-simbol memiliki arti yang sama atau umum bagi semua anggota kelompok tersebut.// (ibid: 8990) Namun, untuk semua perhatiannya guna menguraikan apa yang terjadi secara internal, mengingat kondisi pengetahuan yang ada ini berjumlah sedikit lebih daripada spekulasi-spekulasi tentang kompleksitas yang diperlukan dari sistem saraf pusat. Di sisi lain, Mead melakukan upaya untuk mengartikulasikan perbedaan antara suatu sosial saya dan sebuah aku yang bersifat individu, perbedaan yang keduanya penting dan sukar dipahami. Pada satu titik, Mead mengatakan bahwa Aku adalah dalam arti di mana kita mengidentifikasi diri kita sendiri (ibid: 174-175)--tetapi dia tidak mengatakan apapun lebih lanjut tentang bagaimana dia memahami gagasan mengenai

identifikasi. Paling sering dia kembali kepada ide dari ketidakpastian: respons dari Aku adalah sesuatu yang lebih atau kurang tidak pasti (ibid: 176). Ini karena, dia berpendapat, seseorang tidak pernah cukup mengetahui bagaimana seseorang dapat merespons dalam situasi tertentu; di situlah letak kebebasan dan sesuatu yang baru: // [Aku] adalah jawaban di mana individu membuat terhadap sikap di mana yang lain mengambil ke arahnya ketika dia mengasumsikan sebuah sikap terhadap mereka... Responsnya akan mengandung sebuah unsur baru. Aku memberikan rasa kebebasan, dari inisiatif.// (ibid: 177) Tanpa baik saya maupun aku tidak akan ada tanggung jawab yang sadar, dan akan tidak ada apapun yang baru dalam pengalaman (ibid: 178). Benar, namun tidak satupun dari ini membantu kita memahami mengapa satu individu mungkin akan menjawab dalam satu cara dan individu lain secara agak berbeda. Satu-satunya petunjuk lain Mead menawarkan kepada kita adalah spekulatif, dan bergantung pada suatu pandangan patologis dari perilaku impulsif dan kekerasan. Pemahaman semacam ini muncul ketika Mead, berusaha untuk mengatakan sedikit lebih tentang pembedaan saya/Aku, menyamakan saya pada suatu dimensi kepribadian konvensional atau kebiasaan serta terhadap gagasan Freud tentang suatu sensor (ibid: 210), apa yang disebut Freud superego. Aku kemudian menjadi tidak konvensional atau impulsif atau dimensi tidak terkendali (id Freudian?). Di dalam konsepsi ini, orang bereaksi dengan kekerasan, misalnya, adalah dilihat oleh Mead sebagai seseorang yang elemen aku telah menjadi dominan atas elemen saya. Dalam satu-satunya tempat kita dapat menemukan di mana dia berspekulasi tentang asal-usul dari perilaku sedemikian tidak

terkendali, dia menyarankan (diduga) suatu jawaban yang murni sosial, yaitu, bahwa di mana kesempatan-kesempatan untuk mengambil sikap dari yang lain dibatasi maka reaksi-reaksi tidak terkendali dapat diharapkan. Tujuan sosialideal sosial manusia (ibid: 310)--adalah sebuah masyarakat manusia yang universal di mana aku dan saya telah menyatu: di mana arti dari tindakan-tindakan atau isyarat individu seseorang...akan menjadi sama untuk individu lainnya apapun yang menanggapi mereka (ibid). Di dalam Mead ini tanpa disadari mengekspos idealis di dalam behavioris tersebut. Gagasan dari Mead atas suatu dunia batin adalah tidak hanya biologis daripada psikologis, itu adalah sebagian besar diasumsikan dan bukan didemonstrasikan. Hal ini juga pada dasarnya suatu diri kognitif. Selain itu, gagasan tentang Akudari bagaimana individualitas muncul dari sosial sayabaik tidak terduga (maka tidak dapat dipahami) oleh definisi, atau adalah liar, individu impulsif yang menunggu sosialisasi yang tepat. Tanpa suatu catatan yang lebih berkelanjutan dari dunia batin dan individualitas, termasuk pandangan yang tepat pada kehidupan emosional, ini tetap, pada dasarnya, suatu catatan sosial atas diri. Sebagaimana Mead sendiri (secara kemarahan diri sendiri) mengatakan, bahkan fungsi-fungsi biologisnya adalah terutama sosial (ibid: 133). Cermin diri adalah memang suatu diri sosial, meskipun seseorang marah dari waktu ke waktu oleh letusan-letusan yang tidak dapat terduga (dan patologis) dari aku. Ini dapat membantu menjelaskan popularitas Mead di kalangan kriminolog, tetapi bagi kami, dengan jelas, ia tidak akan dilakukan. Meskipun Mead berjuang dengan tidak berhasil untuk menyelesaikan hubungan antara aku dan saya, dia setidaknya mengakui pentingnya itu. Namun, seiring dengan

adaptasi kemudian dari ide-ide Merton, para sosiolog mengadopsi ide-ide Mead berfokus secara murni pada sosial saya. Misalnya dari karya Becker Menjadi seorang pengguna ganja. Sadar atas hutangnya kepada MeadPendekatan ini berasal dari diskusi George Herbert Mead mengenai objek-objek di dalam Mind, Self, and Society (Becker, 1953: 235-2)Becker memulai dengan menyatakan apa yang ini tersirat untuk memahami penggunaan ganja: motivasi atau disposisi untuk terlibat dalam aktivitas [dari menghisap ganja] dibangun dalam perjalanan belajar untuk terlibat di dalamnya dan tidak mendahului proses pembelajaran (Becker, 1953: 235, penekanan kami). Dia kemudian melanjutkan untuk menggambarkan proses melalui mana seseorang belajar bagaimana untuk merokok ganja dengan tepat, untuk menafsirkan efek-efek dengan benar dan dengan demikian untuk menikmati sensasi-sensasi. Kemudian, dan hanya kemudian, keinginan merokok ganja menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan: // seorang individu akan dapat menggunakan ganja hanya untuk kesenangan ketika dia melangkah melalui suatu proses belajar untuk menganggapnya sebagai sebuah objek yang dapat digunakan dengan cara ini. Tidak ada seorang pun yang menjadi pengguna tanpa (1) belajar untuk mengisap obat-obatan terlarang dengan cara yang akan menghasilkan efek-efek nyata, (2) belajar untuk mengenali efek-efek serta menghubungkan mereka dengan penggunaan narkoba (belajar, dengan kata lain, untuk menjadi mabuk), serta (3) belajar untuk menikmati sensasi yang dirasakannya. Dalam perjalanan proses ini dia mengembangkan suatu disposisi atau motivasi untuk menggunakan ganja yang tidak dan tidak bisa hadir ketika dia mulai menggunakannya, karena ia melibatkan serta tergantung pada konsepsi-konsepsi dari obat-obatan yang

hanya dapat bertumbuh dari jenis pengalaman aktual rinci di atas. Setelah menyelesaikan proses ini dia bersedia dan mampu menggunakan ganja untuk kesenangan. // (ibid: 241242) Dalam keinginannya untuk melarikan diri dari individualisme atas laporan motivasional berbasis sifat--hanya mereka dengan ciri-ciri tertentu akan cenderung/termotivasi untuk mengisap candu--Becker mengakhiri secara didaktik menyatakan suatu jalur sosial murni yang tidak bervariasi untuk memahaminya. Dalam istilah Mead, pengguna ganja yang telah belajar untuk menikmati ganja telah mempelajari wacana aku. Tetapi apa yang telah terjadi kepada aku? Sementara beberapa telah mengambil masalah dengan fenomenologi Becker untuk mengabaikan farmakologi (dan karenanya dasar biologis) dari penggunaan narkoba, dengan satu responden secara mengesankan menunjukkan bahwa bahwa orang itu Becker seharusnya mengubah agennya! (Pearson dan Twohig, [1976] 2006: 103), perhatian kita adalah dengan tidak adanya aku. Untuk apa yang jelas bahkan tanpa riset sistematis adalah bahwa masyarakat memiliki reaksi-reaksi yang sangat berbeda--dari kesenangan ringan sampai paranoia parahbagi pengisap ganja. Sementara baik pengalaman pengisap (sebagaimana Becker akan berpendapat) dan kekuatan dari obat-obatan (sebagaimana Pearson dan Twohig mengemukakannya) memiliki sesuatu untuk dilakukan dengan ini, ia juga tampaknya cukup jelas bahwa perbedaan-perbedaan terkait orang juga memiliki sesuatu untuk dilakukan dengannya juga. Mengingat hubungan di antara kecemasan dan paranoia, seseorang dapat berhipotesis, misalnya, bahwa yang sangat cemas adalah orang-orang yang lebih

mungkin untuk mengembangkan reaksi-reaksi paranoid. Tetapi, ini adalah dengan jelas bukan sebuah pertanyaan yang menarik bagi Becker. Schuetz, fenomenologi dan Seduksi Kejahatan Gambaran pemikiran fenomenologi dari Downes dan Rock (1998: 210) menunjukkan bahwa ia keluar dari massa besar perdebatan tentang karakter dan kepastian pengetahuan dan bahwa, dalam akibatnya, ia tidak selalu jelas apa yang menyatukan mereka yang menyebut diri mereka sendiri kaum fenomenologis (ibid: 211). Namun, Downes dan Rock melangkah untuk menawarkan suatu definisi yang sangat singkat dari proyek tersebut, dan satu, apalagi, yang secara jelas mengumumkan relevansinya terhadap proyek kami saat ini: Proyek fenomenologis ini adalah hampir seluruhnya mengambil dengan membahas pembuatan serta penerapan langkah-langkah untuk masuk serta mereproduksi pengalaman subjektif dari orang lain (ibid: 215). Meskipun Downes dan Rock tidak berkeinginan untuk mengemukakan figur ayah tunggal untuk fenomenologi, mereka cenderung, seperti orang lainnya (misalnya Taylor, Walton dan Young, 1973: 193-196) untuk menggunakan Schuetz ketika meletakkan prinsip-prinsip dari fenomenologis. Kita akan melakukan hal yang sama, menggunakan, singkatnya, sebuah esai pendeknya (Schuetz, 1944) untuk menunjukkan bagaimana subjek yang diasumsikannya juga adalah Meadian. Pada dasarnya, ini adalah suatu esai introspektif mengeksplorasi mengapa ia adalah bahwa orang-orang asing telah dengan sulit mengintegrasikan ke dalam kelompok-kelompok sosial yang mapan. Argumentasi ini dimulai dengan menunjukkan bagaimana pola budaya dari kehidupan kelompok

(ibid: 499) didasari dari pengetahuan akal sehat bersama yang heterogen, cukup parsial, tidak konsisten serta bertentangan belum dapat cukup dilayani sebagai suatu panduan

untuk tindakan. Dengan demikian, ia mengambil bagi para anggota kelompok dalam penampilan kelompok dari koherensi, kejelasan, dan konsistensi yang memadai untuk memberikan orang kesempatan yang masuk akal atas pemahaman serta menjadi dimengerti (ibid: 501, penekanan dalam aslinya). Resep pengetahuan yang diambilbegitu saja ini (ibid) menjadi kebiasaan melalui proses-proses sosialisasi biasa serta memiliki fungsi (ibid) untuk membuat hidup kurang merepotkan (ibid), menggantikan kebenaran yang sulit untuk didapatkan...[dengan] aksioma-aksioma nyaman, serta mempertanyakan dengan eksplanatori diri (ibid). Orang asing, sebaliknya, membagikan tidak satupun dari kebiasaan akal sehat ini dan karena itu dia menjadi pada dasarnya orang yang telah menempatkan dalam pertanyaan hampir segala sesuatu yang tampaknya tidak perlu dipertanyakan bagi para anggota kelompok yang didekati (ibid: 502). Dia membawa miliknya sendiri, yang berbeda, pengetahuan resep bagi kelompok baru--dan menemukan ia tidak lagi berguna sebagai suatu petunjuk untuk aksi. Diekspresikan dalam istilah Meadian, orang asing dan anggota kelompok tidak berbagi semesta diskursus yang sama karena bahasa adalah lebih dari sekadar kata-kata di dalam kamus dan suatu tata bahasa yang disepakati: // Setiap kata dan setiap kalimat...dikelilingi oleh pinggiran-pinggiran yang menghubungkan mereka dengan masa lalu dan...unsur-unsur semesta wacana masa depan di mana mereka berhubungan serta mengelilingi mereka...dengan lingkaran nilainilai emosional dan implikasi-implikasi irasional di mana mereka sendiri tetap tidak terlukiskan.// (ibid: 504)

Jadi, kita memiliki suatu subjek yang disosialisasikan ke dalam kompleksitas emosional dan irasional dari semesta wacana (eksternal) tertentu (atau tidak, seperti dalam kasus orang asing), tetapi tidak ada dunia di dalam, rupanya. Semesta wacana merupakan sekadar fenomena yang menyesuaikan perhatian apapun (walaupun sebagian besar introspektif); fenomena mengonversi semua inkonsistensi dan kontradiksi-kontradiksi dari pengetahuan resep ke dalam rutinitas yang bisa diterapkan untuk hidup, belajar memahami yang tidak terlukiskan, direduksi menjadi sebuah boneka yang tidak perlu diragukan lagi, seseorang yang sekadar menerima skema standar siap pakai dari pola budaya yang diwariskan kepadanya (ibid: 501) dan tanpa berpikir memungkinkan ini untuk menjadi dirutinkan, panduan kebiasaan untuk bertindak. Secara ironis, kegagalan ini untuk mengenali suatu dunia batin yang aktif dan kompleks, berakhir secara reduktif menghomogenisasi dunia eksternal juga, sehingga semuanya terlalu otomatis, dan dengan demikian kurang kompleks: // anggota dalam kelompoknya terlihat dalam satu pandangan tunggal melalui situasisituasi sosial yang normal terjadi kepadanya dan...dia menangkap dengan segera resep siap pakai sesuai dengan solusinya. Dalam situasi-situasi tersebut aktingnya menunjukkan semua tanda-tanda kebiasaan, otomatisme, dan setengah kesadaran.// (ibid: 505) Proyek fenomenologis dari Katz di dalam kriminologi adalah untuk mengembalikan faktor-faktor latar depanapa yang sebenarnya terjadi di dalam tindakan kejahatan, apa realitas hidup yang--seperti terhadap kecenderungan disiplin ia fokus pada latar belakang penyebab-penyebab. Oleh karena itu upayanya untuk menggulingkan apa yang dia sebut materialisme sentimental dari fokus Mertonian pada faktor-faktor

structural (Katz, 1988: 313) untuk mengembangkan suatu teori empiris sistematis dari kejahatan--yang menjelaskan pada masing-masing tingkat proses-proses kausal dari melakukan suatu kejahatan dan bahwa catatan pada tingkat agregat untuk berulang mendokumentasikan korelasi-korelasi dengan faktor-faktor latar belakang biografis dan ekologi (ibid: 312). Sejauh ini, begitu menjanjikan (dan kurang berbasis secara introspektif daripada Schuetz). Katz terus menyarankan bahwa ini akan melibatkan suatu keterlibatan dengan emosi-emosi moral (ibid)--seperti malu dan penghinaan serta bagaimana ini berimplikasi dalam berbagai bentuk kejahatan yang berbeda. Semenjak ini tampaknya akan melibatkan isu-isu biografi, fokus ini juga tampaknya akan memberi harapan baik. Mungkin fitur yang paling tidak biasa dari pendekatan Katz untuk membahas kejahatan dalam hal sensualitas dan kesenangan (karenanya godaan) daripada menjadi korban: kriminal sebagai korban kemiskinan, kekurangan, orang tua yang tidak mencintai, dan lain-lain. // Sebagaimana seorang muda mantan punk menjelaskan kepada saya [Katz], setelah bertahun-tahun kecemasan remaja tentang keburukan kulitnya dan kebodohan dari setiap kata-katanya, dia menemukan sebuah ketenangan yang indah di dalam membuat mereka cemas tentang persepsi-persepsi dan pemahaman-nya. // (ibid: 313, penekanan dalam aslinya) Namun, terhadap ini adalah pentingnya penghinaan: // Menjalankan seluruh pengalaman-pengalaman dari kriminalitas ini adalah suatu proses menyandingkan dalam satu cara atau lain terhadap penghinaan. Dalam melakukan pembantaian yang berhak, penyerang dengan bersemangat mengambil

penghinaan serta mengubahnya menjadi kemarahan; melalui meletakkan klaim terhadap sebuah status moral dari signifikansi transenden, dia mencoba untuk membakar penghinaan. Si kasar, dengan memicu nestapa dari tujuan, mencoba untuk menyingkirkan penghinaan...pengacau dan pengutil muda berinovasi permainan dengan risiko-risiko penghinaan, berjalan di sepanjang tepi malu karena gaung menariknya... para pemuda berancang-ancang terhadap pembatasan-pembatasan yang semakin memalukan dari masa kanak-kanak oleh perbedaan-perbedaan mitologi dengan kelompok-kelompok lain dari para pria muda yang mungkin menjadi gambar cermin mereka. // (ibid: 312313) Di sini, korban sebagaimana penjahat muncul kembali, tetapi sebagai sebuah penghinaan segera yang tidak dapat dibendung, bukan kriminal sebagaimana korban yang sudah lama eksis, faktor-faktor yang melatarbelakangi seperti kemiskinan dan kelas sosial (meskipun Katz tidak memunculkan pertanyaan tentang hubungan di antara dua jenis korban tersebut: Apakah kejahatan hanya merupakan puncak yang paling terlihat dari sebuah gunung rasa malu menderita di bagian dasar tatanan sosial? Apakah kerentanan terhadap penghinaan memutar dalam distribusinya melalui struktur sosial? (ibid: 313))? Terdapat memang etnografi-etnografi dari kehidupan kelas pekerja yang merupakan sugestif dari peran penting atas rasa malu (Sennett dan Cobb, 1973; Skeggs, 1997) namun Katz menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan ini tetap terbuka sampai kita memiliki data yang lebih baik tentang kejahatan kerah putih. Jadilah bahwa sebagaimana ia mungkin, pengertian-pengertian dari rasa malu dan penghinaan dengan segera membuka psikis dimensi, seperti di mana kita berdebat dalam Bab 11. Meskipun

secara eksplisit menganatomikan rasa malu dalam sebuah buku yang lebih baru (Katz, 1999: 142174), Katz Katz melekat dengan fenomenologinya. Ini bukan untuk mengatakan bahwa dia tidak menyadari dari dimensi psikis. Hal ini tampaknya akan menjadi implisit dalam pengakuannya (yang menegaskan) bahwa orang yang berbeda merespons secara berbeda terhadap situasi yang sama. Misalnya, dalam membahas pembantaian yang layak dan transformasi dari penghinaan menjadi kemarahan, Katz mengatakan: Sebuah alternatif umum adalah untuk mengubah tantangan terhadap diri sendiri dan menanggung penghinaan (Katz, 1988: 22). Dia juga siap untuk menerima sumber psikologis terhadap agresi memicu pembantaian yang layak, tetapi masih menekankan pada keutamaan dari waktu: Apapun sumber-sumber psikologis yang lebih dalam dari agresinya, dia tidak membunuh sampai dan kecuali dia dapat menciptakan kekerasan guna menyampaikan makna situasional dari membela hakhaknya (ibid: 31). Dalam banyak hal, pendekatan fenomenologis dari Katz terhadap pembunuhan dan sejenisnya pembantaian yang layak, melakukan perampokan bersenjata, tidak masuk akal yang sedekat apapun di dalam bidang kriminologi terhadap karya kita sendiri: dia tidak takut untuk menggunakan laporan-laporan jurnalistik sebagai sebuah titik awal, dia berkomitmen terhadap kasus-kasus; dan dia waspada terhadap rincian-rincian terkecil. Analisisnya keduanya brilian dan menarik. Tetapi, kita merasa bahwa, secara teoritis, adalah penting untuk menjawab pertanyaan mengapa hanya sebagian yang mengalami penghinaan menjadi cukup marah untuk membunuh. Ambil pembunuh ganda terkenal AS, Gary Gilmore, misalnya. Apa ia tentang latar belakang psikososial Gary Gilmore yang membalikkan dia menjadi seseorang yang mampu untuk menjadi berdarah dingin, pembunuh yang tidak masuk

akal, bahkan jika faktor-faktor situasional khusus tertentu adalah diperlukan bagi pembunuhan yang sebenarnya untuk berlangsung? Dengan kata-kata lain, kita ingin mengetahui lebih banyak tentang rasa takut bahwa para pembunuh seperti Gilmore berusaha untuk mewakili (ibid: 276) dan rasa malu paranoik mereka dalam konformitas (ibid), faktor-faktor yang hanya dapat dipahami secara biografis. Hal ini membukakan dari dunia dalam para pelanggar, tetapi tanpa kehilangan baik fokus situasional yang menerangi dari Katz atau cara ini mungkin dibentuk oleh faktor-faktor latar belakang, kami berpendapat akan, memperkuat, bukan melemahkan, analisisnya. Pada saat dia datang secara dekat untuk melakukannya sebagaimana kutipan berikut menunjukkannya. Ia muncul di akhir babnya tentang Cara-cara si Kasar. Hal ini tidak digunakan secara biografi tetapi untuk menjelaskan mengapa ia adalah bahwa si kasar merupakan sosok seorang laki-laki. Ini memiliki kesamaan, anehnya, terhadap titik awal kita dalam bab sebelumnya, yaitu terhadap karya dari Maurice Hamblin Smith. Meskipun tidak secara persis merupakan suatu pembacaan Freud, ia mungkin terlihat sebagai Lacanian. Dalam hal apapun, ia tidak dapat dipahami kecuali sebagai sebuah pembacaan dari beberapa dimensi-dimensi tidak sadar dari perilaku kasar. Mengulangi titik akhir kami dari bab terakhir, ia menyediakan sebuah titik simetris untuk mengakhiri ini: // Berposisi seperti sebuah lingga, si kasar mengancam untuk mendominasi semua pengalaman, merangsang suatu fokus kesadaran dengan begitu kuat untuk melenyapkan secara pengalaman atau melampaui kesadaran apapun mengenai batas-batas antara situasi di sini dan situasi di sana. Dan dalam apresiasi ini, lingga memiliki kekuatan transenden secara sosial lebih jauh untuk melenyapkan segala kesadaran dari batas-

batas antara, situasi-situasi fenomenal yang secara ontologis independen dari orangorang yang berbeda. Daya tarik di sini adalah dengan potensi, paradoks khas maskulin dari lingga: dengan mengancam untuk menembus yang lain, si kasar, anggota masyarakat mengerikan ini, dapat menyerap seluruh dunia ke dalam dirinya sendiri. // (ibid: 112113) 4 MENUJU SUBJEK PSIKOSOSIAL: KASUS GENDER Dalam membangun kontur-kontur teoritis dari sebuah subjek psikososial secara tepat, kami telah memilih untuk berfokus pada isu gender karena relevansi kontemporernya terhadap kriminologi. Munculnya suatu kehadiran feminis di dalam kriminologi pertama-tama menempatkan masalah pada agenda disiplin itu, pada awalnya melalui perhatian dengan nasib kaum perempuan, pertama sebagai para korban dan kemudian sebagai pelaku (Gelsthorpe, 1997; Heidensohn, 1997). Dari awal tahun 1990-an dan seterusnya fakta bahwa para pelanggar yang terutama minat yang dihasilkan oleh kaum pria dalam isu-isu berkaitan dengan maskulinitas dan kejahatan. Di sini, lebih daripada di mana saja mungkin, suatu kesempatan untuk mengeksplorasi mengapa mereka melakukan itu tampak untuk menghadirkan dirinya sendiri. Sayangnya, jaket kuat sosiologis di mana gender dipelajari di dalam kriminologi memastikan bahwa subjek maskulin yang diasumsikan oleh teori tersebut masih tidak memadai sebagai subjeksubjek yang diasumsikan oleh teori-teori yang dibahas di dalam bab terakhir (Jefferson, 2002). Yang sama bisa dikatakan dari subjek yang diasumsikan oleh tokoh utama lain yang membahas masalah subjektivitas yang telah secara besar-besaran berpengaruh di dalam ilmu-ilmu sosial (termasuk kriminologi), yaitu Michel Foucault. Ini, kemudian,

adalah titik awal kita: sebuah demonstrasi atas kekurangan-kekurangan, dari perspektif psikososial kita, dari dua yang berpengaruh tetapi murni catatan subjektivitas sosialdi mana tindakan terstruktur dari Messerschmidt (1997) berperan atas maskulinitas dan catatan diskursif dari Foucault mengenai subjek tersebut. Setelah itu kita menggunakan karya Wendy Hollway sebagai sebuah jembatan untuk menghubungkan karya Foucault dengan balutan ide-ide psikoanalitik dan karenanya untuk mengkonstruksi dari sebuah subjek psikososial yang tepat. Jim Messerschmidt: struktur, praktik dan akuntabilitas Karya dari Messerschmidt tentang maskulinitas (1993, 1994, 1997), merupakan suatu upaya rumit guna menggabungkan gagasan dari Connell ini (1987) mengenai maskulinitas hegemonik (secara luas, bentuk dominan dari maskulinitas dalam suatu masyarakat tertentu pada momen historis tertentu) dengan struktur-struktur sosial lainnya yang penting (yaitu kelas dan ras). Hasilnya menyaksikan aktor, subjek atau agen sebagai pelipatganda (dan secara bersamaan) dibatasi oleh struktur-struktur dari kelas, ras dan gender. Merekonsiliasikan ini dengan karya dari Giddens (1984) teori strukturasi, Messerschmidt mengemukakan bahwa struktur-struktur sosial hanya dapat direproduksi melalui tindakan-tindakan dari subjek manusia. Dengan kata lain, strukturstruktur sosial adalah tidak lain dari pola kendala-kendala yang diproduksi dari waktu ke waktu oleh aktor manusia, sehingga menghasilkan tindakan terstruktur. Tindakan terstruktur dari umat manusia berlangsung dalam konteks-konteks tertentu di mana performa kita dipegang terhadap catatan oleh pihak lain, yaitu dalam setiap situasi sosial tertentu, kita mencapai/melakukan gender (dan ras serta kelas) melalui interaksi sosial yang bertanggung jawab. Terhadap sejauh yang kita melakukan secara

tepat (yaitu akuntabel), kita membantu pemeliharaan atas struktur-struktur sosial yang ada. Sebaliknya, performa gender yang secara budaya tidak patut--laki-laki memakai rok atau mencium pria lain di depan umum, dan lain-lain--dapat mengancam tatanan gender yang dominan. Messerschmidt mengungkapkan koneksi dari maskulinitas dengan kejahatan dalam cara berikut: // Para pemuda secara situasional mencapai bentuk-bentuk publik dari maskulinitas dalam menanggapi keadaan mereka yang terstruktur secara sosial...variasi dari kejahatan remaja berfungsi sebagai suatu sumber daya yang cocok untuk melakukan maskulinitas ketika sumber daya yang lain tidak tersedia. // (Messerschmidt, 1994: 82) Dengan kata lain, orang-orang muda tersebut yang tidak mampu bersaing dengan sukses dalam bidang pencapaian maskulinitas yang sah, seperti olahraga dan pekerjaan profesional, misalnya, mungkin beralih ke bentuk-bentuk kejahatan tertentu (yang melibatkan kekerasan agresif, misalnya) di mana mereka mampu bersaing dengan sukses dalam mengerjakan maskulinitas. Dalam hal subjektivitas gender,

Messerschmidt menyediakan kita dengan suatu subjek agentik yang juga secara sosial dibatasi. Tetapi, masalahnya adalah bahwa subjek ini masih rasional dan kesatuan: Semua individu yang terlibat dalam perilaku dengan tujuan serta memantau tindakan mereka secara refleksif...kita memahami tindakan-tindakan kita serta kita memodifikasi mereka sesuai dengan (antara lain) penafsiran kita atas respons dari orang-orang lain (Messerschmidt, 1993: 77). Psikologi sosial dari Mead ([1934] 1967) serta ide dari cermin diri datang kembali ke dalam pikiran di sini. Seperti kita lihat di dalam Bab 3, konsep ini berjuang untuk menjelaskan mereka yang gagal untuk mengakui diri mereka

di dalam cermin yang lain. Jadi, juga, dengan catatan dari Messerschmidt di mana ia masih belum jelas bagaimana, kapan atau mengapa masyarakat mungkin memilih untuk bertindak tidak dengan pertanggungjawaban. Meskipun saran, menggemakan Connell, bahwa cita-cita budaya dari maskulinitas hegemoni tidak perlu bersesuaian dengan kepribadian-kepribadian yang sebenarnya dari kebanyakan pria

(Messerschmidt. 1993: 83), dalam teori tindakan terstruktur aksen adalah secara kuat pada reproduksi struktural, bukan perubahan struktur-struktur melalui tindakantindakan yang tidak akuntabel. Michel Foucault: diskursus, makna dan posisi subjek Gerakan dari struktur ke wacana, di mana Foucault merupakan tokoh sentral, adalah momen signifikan di dalam ilmu-ilmu sosial. // Dengan diskursus, Foucault memaksudkan sekelompok pernyataan-pernyataan yang menyediakan sebuah bahasa untuk berbicara tentangnyasebuah cara mewakili pengetahuan tentangnyasebuah topik tertentu pada suatu momen bersejarah tertentu...Diskursus adalah mengenai memproduksi pengetahuan melalui bahasa. Tetapi...karena semua praktik-praktik sosial memerlukan makna, dan bentuk makna serta mempengaruhi apa yang kita lakukanperilaku kita--semua praktik memiliki aspek diskursif (Hall, 1992: 291)...Diskursus, Foucault berpendapat, mengonstruksi topik. // (Hall, 2001: 72, penekanan dalam aslinya) Atau, sebagaimana Michele Barrett (1991: 130) dengan singkat mengatakan, diskursus adalah produksi dari hal-hal dengan kata-kata. Apakah ini berarti bahwa kita hanya dapat mengetahui sesuatu apapun tentang dunia--struktur dari Messerschmidt

mengenai kelas, ras dan gender, misalnya--melalui wacana-wacana yang secara historis tersedia bagi kita. Ini tidak berarti bahwa tidak ada apapun yang eksis melampaui diskursus, melainkan bahwa tidak ada memiliki makna apapun di luar diskursus (Foucault, 1972, penekanan kami). Pandangan historis secara radikal dari pengetahuan membuat kebenaran dari apapun--kegilaan, kriminalitas, seksualitas, gender, dan lain-lain secara historis spesifik. Dan, karena pengetahuan adalah selalu diterapkan untuk mengatur perilaku sosial, ia selalu terlibat dalam hubungan-hubungan kekuasaan: Tidak ada relasi kekuasaan tanpa konstitusi korelatif dari sebuah bidang pengetahuan, tidak juga pengetahuan apapun yang tidak mengandaikan dan merupakan pada saat yang sama, hubungan-hubungan kekuasaan (Foucault, 1977: 27). Jadi kebenaran (atau rezim kebenaran) dalam setiap periode sejarah tertentu, merupakan produk dari kekuasaan yang berlaku/hubungan-hubungan pengetahuan. Dengan cara yang sama, subjek-subjek adalah selalu terjebak di dalam semua ini: mereka dibentuk oleh formasiformasi diskursif tertentu, rezim kebenaran, hubungan-hubungan

kekuasaan/pengetahuan, dan sebagainya. Dengan kata lain, diskursus-diskursusdari kegilaan, kejahatan, maskulinitas, dan lain-lainmembangun berbagai posisi subjek dari mana, sebagaimana Hall (2001: 80) mengatakan ia sendirian saja mereka membuat masuk akal: kita--harus menemukan...diri kita dalam posisi dari mana diskursus membuat paling masuk akal, dan dengan demikian menjadi subjek-subjeknya dengan menundukkan diri kita pada kekuatan, makna dan regulasinya (ibid). Mengapa posisi-posisi subjek tertentu membuat masuk akal bagi beberapa orang tetapi tidak untuk orang lain? Mengapa, misalnya, hanya sebagian pria mengidentifikasikan

dengan pria keras atau Casanova? Apa yang membuat maskulinitas hegemonik lebih penting untuk beberapa orang daripada yang lain? Mengapa hanya sebagian kaum muda, secara sosial orang-orang yang kurang beruntung memandang kejahatan untuk menjadi sumber daya dalam mencapai maskulinitas? Dalam kedua kasus itudari Messerschmidt dan Foucault--kita mendapatkan pemahaman yang kuat dari dimensi sosial atas subjektivitas gender: yang terlebih dahulu, melalui pencapaian situasional dari maskulinitas melalui praktik-praktik akuntabel yang mereproduksi struktur-struktur sosial dari (kelas dan ras dan) gender; di dalam yang belakangan, melalui formasiformasi diskursif menyediakan posisi-posisi subjek berbasis gender. Namun dalam tidak juga kasus kita mendapatkan pemahaman apapun mengapa individu-individu mungkin mengambil (atau mengidentifikasi dengan) posisi-posisi subjek tertentu atau menyelesaikan maskulinitas di dalam akuntabel daripada cara-cara tidak akuntabel. Di sini, kemudian, adalah di mana gagasan dari jiwa adalah sangat diperlukan; yang membawa kita kepada pekerjaan dari Wendy Hollway. Wendy Hollway dan pentingnya investasi Artikel Hollway dari tahun 2001 mewakili sebuah upaya untuk bekerja secara khusus dengan gagasan Foucaultian tentang diskursus di dalam area tertentuseksualitas--dan untuk mengatasi masalah identifikasi (atau apa yang dia sebut investasi). Secara umum, catatan dari Hollway dimulai oleh mengidentifikasi tiga wacana kontemporer tentang seksualitas: dorongan seksual laki-laki, mempunyai/memegang dan permisif. Gagasan sentral dalam diskursus dorongan seksual laki-laki adalah bahwa seksualitas laki-laki adalah secara langsung diproduksi oleh dorongan biologis, fungsi yang adalah untuk memastikan reproduksi dari spesies (Hollway, 2001: 273).

Diskursus mempunyai/memegang subordinasi seksualitas untuk berkomitmen, setia serta cinta atas hubungan, kemitraan, pernikahan atau kehidupan keluarga, yang dipandang sebagai hanya lokasi reproduksi yang tepat. Dalam diskursus permisif, seksualitas adalah terpisah dari baik reproduksi maupun hubungan dan dianggap hanya sebagai aktivitas yang menyenangkan untuk dikejar bagi kepentingan diri sendiri. Di dalam ketiga diskursus, ia seharusnya ditambahkan, heteroseksualitas diasumsikan. Hollway juga membahas isu posisi-posisi subjek gender yang dibedakan di dalam masing-masing diskursus ini (atau, bagaimana hubungan kekuasaan/pengetahuan menghasilkan posisi yang berbeda, dan tidak sama, bagi laki-laki serta wanita untuk menduduki). Jadi, hanya laki-laki, menurut definisi, dapat menempati posisi subjek dalam diskursus dorongan seksual laki-laki; bagi perempuan, posisi tersedia hanya adalah untuk menjadi objek di mana mempercepat desakan alami dari kaum pria (ibid: 274). Dalam diskursus mempunyai/memegang, posisi subjek adalah, dalam teori, secara setara juga tersedia bagi kaum pria dan wanita: keduanya dicegah untuk terlibat dalam seksualitas mereka hanya di dalam batas-batas perkawinan, hubungan, dan lainlain. Namun, kegagalan manusia untuk memenuhi pada ideal dengan tidak setia secara seksual yang ditoleransi lebih sebagai diskursus dorongan seksual laki-laki menyediakan alasan-alasan siap pakai bagi seks bebas laki-laki. Diskursus permisif juga sama egaliter dalam teori, menawarkan baik laki-laki maupun perempuan kesempatan untuk menikmati seks sebagai kegiatan yang menyenangkan. Namun, karena ia didasarkan pada gagasan bahwa seksualitas adalah seluruhnya alami dan karena itu tidak boleh ditekan (ibid: 275), ia condong pada versi seksualitas yang tidak berbeda seperti di dalam diskursus dorongan seksual laki-laki. Hal ini membuat lebih

mudah bagi kaum pria untuk mengadopsi. Dalam kata lain, terdapat hubungan kekuasaan/pengetahuan, seperti versi maskulin dari seksualitas tertanam dalam diskursus dorongan seksual laki-laki, terus beroperasi sebagai rem pada transformasi dari hubungan gender. Diskursus-diskursus baru yang tampaknya lebih egaliter tidak pernah muncul dalam suatu vakum sejarah tetapi berdesak-desakan dan bercampur dengan yang lebih lama, diskursus-diskursus yang lebih tradisional: praktik-praktik, sebagaimana Hollway mengingatkan, bukanlah produk-produk murni dari diskursus tunggal (ibid: 276). Dengan krusial bagi tujuan-tujuan kita di sini, Hollway tidak mengabaikan pentingnya suatu dimensi biografiPraktik-praktik dan makna yang memiliki sejarah, berkembang melalui kehidupan masyarakat yang ditekankan (ibid: 277). Dimensi birografis ini mendasari suatu pengembangan kritis dari Foucault: gagasan bahwa praktik-praktik dan makna diinvestasikan, secara psikososial. // Dengan mengklaim bahwa masyarakat memiliki investasi (dalam hal ini spesifik gender) dalam mengambil posisi-posisi tertentu pada diskursus, dan sebagai akibatnya dalam hubungan satu sama lain, saya maksudkan bahwa akan ada beberapa kepuasan atau ganjaran atau hadiah...bagi orang tersebut. // (ibid: 278) Yang penting, Hollway mengamati bahwa kepuasan...adalah belum tentu sadar atau rasional. Tetapi terdapat sebuah alasan (ibid). Menggunakan contoh-contoh kasus, Hollway menunjukkan bagaimana investasi masyarakat dalam wacana-wacana sosial merupakan hasil kompleks dari proses-proses berikut:

mempertahankan suatu perasaan menjadi kuat atau menghindari perasaan kerentanan atau ketidakberdayaan; penindasan dari signifikansi-signifikansi/posisi-posisi subjek yang mengancam untuk membuat subjek merasa kehilangan kekuasaan; secara membela diri memproyeksikan perasaan-perasaan yang ditekan ini kepada lainnya. Misalnya ketakutan laki-laki atas komitmen--mengambil sebuah posisi subjek dalam diskursus mempunyai/memegang--adalah produk dari ketidakberdayaan yang semakin dekat dengan seseorang dapat memerlukannya. Ide dari komitmen, dan kedekatan serta keamanan ia menjanjikan, kemudian menolak tanggung jawab atau ditekan, serta diproyeksikan kepada seorang mitra perempuan, dan keinginan ditekan ini demi keintiman adalah keinginan untuk lainnya. Dalam banyak karya psikoanalitik keinginan ini untuk lainnya adalah

dikonseptualisasikan sebagai berasal dari suatu keinginan Oedipal yang ditekan untuk ibu dari anak (atau pengganti), sebuah gagasan kita menguraikan dalam bagian berikutnya. Untuk saat ini, sebuah ilustrasi dapat membantu kita memahami gagasan ini. Menggunakan suatu ekstrak dari buku hariannya sendiri untuk menggambarkan dinamika intersubjektif yang bermain di dalam hubungan dari pasangan yang dia pelajari, Hollway mengacu pada bagaimana Jim // mempunyai pada saya dua kali, tentang hal-hal kecil, dengan cara di mana saya merasa menjadi antagonis. Ketika saya menunjuk itu kami mencoba untuk melakukan beberapa pekerjaan di atasnya. Kosong. Lalu dia datang dengan kata jeruk seolah-olah ia bukan dari mana-mana. Ketika dia memikirkan mengenai hal itu sedikit dia mengatakan hal tersebut ada kaitannya dengan hubungan dengan perempuan. Jika

seorang wanita mengupas jeruk untuknya, itu menunjukkan bahwa mereka peduli tentang dia. Lalu dia berkata bahwa ibunya biasa melakukannya untuk dia, bahkan ketika dia bisa melakukannya sendiri. // (Hollway, 1989: 58) Memasukkan dimensi psikis memungkinkan suatu psikososial menyeluruh, bukan hanya diskursif, subjektivitas yang akan diajukan: // Apa yang membuat analisis ini berbeda dari yang melihat suatu sirkulasi mekanik atas wacana melalui praktik-praktik adalah bahwa terdapat suatu investasi yang, karena alasan-alasan sejarah dari individu atas posisi dalam diskursus-diskursus serta produksi konsekuen dari subjektivitas, adalah relatif independen dari posisi-posisi kontemporer yang tersedia. Menurut catatan saya ini merupakan suatu investasi dalam menjalankan kekuasaan atas nama subjektivitas yang melindungi diri dari kerentanan keinginan untuk lainnya.// (Hollway, 2001: 282283) Dengan contoh-contohnya mengenai bagaimana keinginan untuk cinta tanpa syarat menginformasikan apa yang pasangan-pasangan heteroseksual berjuang untuk mengatakan kepada satu sama lain, terutama dalam kaitannya dengan keputusan apakah atau tidak untuk menggunakan kontrasepsi dan/atau mencoba untuk memiliki seorang bayi, Hollway (1989: 47-66) berhasil menunjukkan baik alasan-alasan ketidaksadaran untuk subjek-subjek investasinya di dalam posisi subjek gender yang kuat, daripada suatu yang rentan, dan keunikan, berasal dari biografi atas investasi-investasi tertentu ini. Sebagaimana akan kita lihat dalam bab-bab belakangan, gagasan dari suatu subjek yang rentan ini, berinvestasi dalam memberdayakan posisi-posisi diskursif sementara

memproyeksikan kerentanan kepada orang lain dan menyerang mereka di sana, memberikan suatu bagian kritis dari jawaban untuk pertanyaan kriminologi: mengapa mereka melakukannya? Namun, terdapat satu masalah di mana karya Hollway tetap belum terselesaikan bagi kita, yaitu, apakah terdapat sesuatu yang spesifik terhadap biografi-biografi dari anak laki-laki dan perempuan yang mempengaruhi respons mereka kepada orang tua mereka. Apakah terdapat proses-proses perkembangan yang spesifik seks yang menjelaskan bagaimana gender terlibat dalam pola investasiinvestasi yang dilakukan oleh anak laki-laki dan anak perempuan serta para laki-laki dan perempuan? Untuk menjawab pertanyaan ini memerlukan suatu jalan agak panjang yang memutar melalui psikoanalisis. Psikoanalisis serta asal-usul investasi kita di dalam identitas gender kita Freud, Oedipal kompleks dan perbedaan seksual Bagi Freud, peradaban didirikan pada represi atas insting libido. Bayi adalah kelompok dari naluri libido (atau seksual) dan agresif, bersifat melalui beberapa bentuk (polimorfik) jahat untuk organisme yang mencari kesenangan. Karena para bayi pasti secara tidak terhindarkan datang dengan melawan realitas yang keras seringkali menentang pencarian kesenangan libidinal mereka--payudara tidak selalu tersedia untuk diisap, ibu jari dapat dikeluarkan dari mulut, dan lain-lain--ini menetapkan sebuah konflik di antara bagian dalam dari dunia naluri dengan dunia eksternal dari sensorik.

You might also like