You are on page 1of 15

TUGAS MAKALAH

~ Dibuat Oleh Kelompok 5 ~

Eva 200812500454
Hijrianti 200812500399
Nurazizah 200812500387
Indah K.H 200812500388
Zaenal .A 200812500405
Firman Y 200812500438
Suna K Dewi 200812500379

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI


Alamat : Jl. Nangka No.58C Tanjung Barat (TB Simatupang), Jagakarsa, Jakarta Selatan 12530
Telp./Fax.: (021) 7818718 - 78835283 --- eMail : university@unindra.ac.id ---
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1

BAB II : PEMBAHASAN 2
A. Pengertian Tasawuf 2
B. Sejarah Pertumbuhan Tasawuf 3
C. Jalan Pendekatan Diri Kepada Tuhan 6
D. Perkembangan Tasawuf dan Thariqat 8

BAB III : KESIMPULAN 12


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa yang telah memberikan
berkat, anugerah dan karunia yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini. Makalah ini disusun guna melengkapi tugas dalam mata kuliah Pendidikan Agama Jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Indraprasta PGRI, adapun judul Penulisan makalah ini
adalah "Tasawuf ". Walaupun banyak kesulitan yang penulis harus hadapi ketika menyusun pe-
nulisan makalah ini, namun berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, akhir- nya tugas
ini dapat diselesaikan dengan baik.

Jakarta, 11 Februari 2009

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual
dalam Islam. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya
ketimbang aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan
kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana.
Orang yang ahli dalam tasawuf disebut dengan seorang sufi. Seorang sufi menekankan aspek
rohaninya daripada aspek jasmaninya. Seorang sufi selalu berusaha untuk dekat dengan Tuhan-
nya. Dan untuk mencapai itu, terdapat tingkatannya, yaitu tobat , zuhud , sabar , kefakiran
kerendahan hati, takwa , tawakkal , kerelaan , cinta , ma'rifat.
Dan dalam makalah ini akan mencoba membahas tentang pengertian tasawuf, sejarah
pertumbuhan dan perkembangan tasawuf, penyebaran serta perjalanan tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tashawwuf

Sejak dahulu hingga sekarang, pembahasan tentang asal kata tashawwuf belum pernah mencapai
kata sepakat. Para ahli berbeda pendapat tentang kata itu, dijelaskan oleh Syeikh Ahmad
Taqiyuddin Ibnu Taimiyah bahwa perbedaan itu disebabakan karena adanya kata yang
dinisbahkan kepada kata sesuatu. Ada yang dinisbahkan kepada kata safa dan safw yang artinya
bersih dan suci. Maksudnya, kehidupan seorang seorang sufi lebih banyak diarahkan pada
penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Suci, sebab
Tuhan tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci. Adapun tentang definisi Tashawwuf itu
sendiri ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh sejumlah tokoh sufi. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut :

Zakaria Al-Anshori : “Tashawwuf ialah suatu ilmu yang menjelaskan hal ihwal pembersih
jiwa dan penyantun akhlak baik lahir atau batin, guna menjauhi bid’ah dan tidak meringankan
ibadah.

Abul Qasim al-Qashairi ( W. 456H/1072M ) : “Tashawwuf adalah menerapkan ajaran Al-


Qur’an dan Sunnah Nabi secara tepat berusaha menekan hawa nafsu, menjauhi bid’ah dan
tidak meringankan ibadah.

Bisyr bin Haris al-Hafi ( W. 227H/841M ) : “Seorang sufi ialah yang telah bersih hatinya,
semata-mata untuk Allah SWT”.

ABU Husain An-Nuri ( W. 295H/908M ) : “Kaum sufi itu ialah kaum yang hatinya suci dari
kotoran basariyah ( hawa nafsu kemanusiaan ) dan kesalahan pribadi. Ia harus mampu
membebaskkan diri dari syahwat sehingga ia berada pada shaf pertama dan mencapai derajat
yang mulia dalam kebenaran”.

Harun Nasution dalam bukunya falsafat dan Mistisme dalam islam menjelaskan bahwa,
“tasawuf itu merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tashawwuf atau
sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang islam bisa sedekat mungkin dengan
tuhan”.

Dari berbagai definisi yang berbeda-beda tersebut kiranya dapat ditarik suatu kesimpilan tentang
pengertian Tashawwuf itu sebagai berikut : “Tashawwuf ialah suatu ilmu pengetahuan yang
membahas dan mempelajari tentang jalan atau cara yang ditempuh dalam mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Jalan atau cara yang dimaksud dengan melalui pembersihan rohani,
peningkatan amal saleh, berakhlak mulia dan tekun melakukan ibadah menurut contoh
Rasulullah SAW disertai dengan melakukan zuhud, berkhalwat dan kontemplasi.

B. Sejarah Pertumbuhan Tashawwuf

Sebenarnya kehidupan shufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad saw. Dimana dalam
kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, disamping menghabiskan
waktunya untukk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah swt. Bahkan seperti
diketahui, bahwa sebelum beliau diangkat sebagai Rasul Allah, beliau seringkali melakukan
kegiatan shufi dengan melakukan uzlah di Gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai
beliau menerima wahyu pertama saat diangkat sebagai Rasul Allah. Setelah Beliau resmi
diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan
suasana kerakyatan, meskipun beliau berada dalam lingkaran keadaan hidup yang serba dapat
terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhan-
Nya. Pada waktu malam sedikit sekali tidur, waktunya dihabiskan untuk bertawajjuh kepada
Allah dengan memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu
biasa dengan alas tikar dari daun kurma, tidak pernah memakai pakaian yang terdiri dari wool,
meskipun mampu membelinya. Pendek kata beliau lebih cinta hidup dalam suasana sederhana
( meskipun pangkatnya Nabi ) Daripada hidup bermewah-mewah.

Kehidupan Nabi semacam itu langsung ditiru oleh shahabatnya, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan terus
turun temurun sampai sekarang. Bahkan para shahabat beliau banyak yang melakukan
kehidupan shufi dengan hidup sederhana dan selalu bertaqarrub dengan Allah. Kehidupan
mereka sangat sederhana bahkan serba kekurangan, tetapi dalam dirinya tumbuh memancar sinar
kesemangatan beribadah. Hal seperti itu tampak dalam kehidupan para shahabat beliau, semisal
Abu Hurairah, Abu Darda’, Salman Al Farisy, Abu Bakar, Umar Bin Khathab, Ali bin Abi
Thalib, Abdullah bin Umar dan sebagainya. Dapat dicontohkan disini, seperti kehidupan Abu
Hurairah ra. Yang dalam sejarah disebutkan bahwa beliau tidak mempunyai rumah, hanya tidur
di emperan Masjidil Haram Makkah, pakaiannya hanya satu melekat di badan, makannya tidak
pernah merasa kenyang, bahkan sering tidak makan. Sampai pada suatu hari beliau duduk-duduk
di pinggir jalan sedang ia sangat lapar. Tatkala Abu Bakar ra. Lewat disitu ia bertanya ayat apa
yang harus dibacanya dari Al-Qur’an untuk menekan laparnya. Abu bakar tidak menjawab dan
berjalan terus. Kemudian lewat pula Umar Bin Khathab. Abu Hurairah meminta pula padanya,
ditunjukkan Ayat Al-Qur’an yang dapat menahan laparnya.. Umar tidak berbuat apa-apa dan
meneruskan perjalanannya. Kemudian lewatlah disitu pula Rasulullah saw, Nabi tersenyum
melihat Abu Hurairah, Nabi tersenyum karena mengetahui apa yang terkandung dalam dirinya
dan yang tersirat di mukanya, Nabi mengajak Abu Hurairah mengikuti. Tatkala sampai di rumah,
Nabi mengeluarkan sebuah bejana susu dan disuruh minum pada Abu Hurairah, sehingga tidak
dapat menghabiskannya.

Satu contoh lagi adalah yang terjadi pada shahabat Nabi yang bernama Abu Darda’. Suatu hari
Salman Al-Farisi mengunjungi rumah Abu Darda’, yang telah dipersaudarakan Nabi dengan dia.
Maka didapatinya bermurung, tak gembira seperti biasanya. Tatkala ditanya, istrinya
menceritakan, bahwa Abu Darda’ sejak ingin meninggalkan segala kesenangan dunia ini, ia
ingin meninggalkan makan dan minum, karena dianggapnya dapat mengganggu ibadah dan
taqwanya kepada Allah.. Mendengar cerita itu, Salman Al-Farisi murka, lalu sambil menyajikan
makanan ke Abu Darda’ berkata dengan geramnya : “Aku perintahkan kepadamu supaya kamu
makan. Sekarang juga!”. Abu Darda’ lalu makan. Tatkala waktu tidur Salman memberi perintah
lagi : “Aku perintahkan kepadamu supaya engkau pergi beristirahat dengan istrimu!”. Dan
tatkala sampai waktu sembahyang ia membangunkan saudaranya itu sambil berkata : “Hai, Abu
Darda’, bangunlah engkau sekarang dari tidurmu dan sembahyanglah engkau mengagungkan
Tuhan”. Kemudian kepada Abu Darda’ dijelaskan oleh Salman dengan katanya : “Kuperingatkan
kepadamu, bahwa beribadat kepada Tuhanmu merupakan suatu kewajiban, merawat dirimupun
merupakan suatu kewajiban, melayani keluargamupun merupakan suatu kewajiban pula
untukmu. Penuhilah segala kewajiban itu menurut haknya masing-masing”. Tatkala keesokan
harinya, kelakuan Abu Darda’ dilaporkan kepada Rasulullah saw, Nabi bersabda : “Benar
sungguh apa yang dikatakan Salman”.
Begitulah kehidupan shufi yang terjadi pada diri Rasulullah saw, dan para shahabatnya dan
diikuti pula oleh para Thabi’in, Tabi’it Tabi’in sampai turun temurun pada generasi selanjutnya
hingga sekarang ini. Sedang diantara shahabat Nabi saw yang mempraktekkan ibadah dalam
bentuk Thariqat ini adalah Hudzaifah Al Yamani.

Dan perkembangannya shufi ini kemudian dilanjutkan oleh para generasi dari kalangan
Thabi’in, diantaranya adalah Imam Hasan Al Basyri, seorang ulama besar Thabi’in murid
Hudzaifah Al Yamani. Beliau inilah yang mendirikan pengajian Tashawwuf di Bashrah. Diantara
murid-muridnya adalah Malik bin Dinar, Tsabit Al Bannay, Ayyub As Sakhtiyany dan
Muhammad bin Wasik.

Setelah berdirinya madrasah Tashawwuf itu, disususl pula dengan berdirinya madrasah di tempat
lain, seperti di Irak yang dipimpin oleh sa’id bin Musayyab dan di Khurasan yang dipimpin
olehIbrahim bin Adham. Dengan berdirinya madrasah-madrasah ini, menambah jelaslah
kedudukan dan kepentingan tashawwuf dalam masyarakat islam yang sangat memerlukannnya.
Sejak itulah pelajaran ilmu Tashawwuf telah mendapatkan kedududukan yang tetap dan tidak
akan terlepas dari masyarakat Islam sepanjang masa. Dan pada Abad-abad berikunya ilmu
Tashawwuf semakin berkembang sejalan dengan perkenbangan agama islam di beberapa daerah.
Bahkan menurut sejarah, pengembangan agama islam ke Afrika, ke segenap pelosok Asia yang
luas ini, Asia kecil, Asia Timur, Asia Tengah, sampai ke negara-negara yang berada di tepi lautan
Hindia, semuanya dibawa oleh propaganda-propaganda islam dari kaum Tashawwuf. Sifat dan
cara hidup mereka yang sangat sederhana, kata-kata mereka yang mudah difahami , kelakuan
yang sangat tekun beribadah, semuanya itu lebih menarik dari ribuan kata-kata yang hanya teori
adanya.

Merekalah sebenarnya propaganda islam yang sebenar-benarnya. Pengikut-pengikut mereka


merupakan sukarelawan yang ikhlas yang beribu-ribu jumlahnya, bahkan berpuluh-puluh ribu
yang telah menyerahkan segala apa yang ada padanya, hartanya, jiwanya sekalipun untuk
membawa agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW lewat orang-orang sufi itu. Karena
gerakan mereka mendekati gerakan nabi-nabi atau wali-wali, maka orang-orang yang di
hadapinya, baik Khalifah-khalifah, Raja-raja, pembesar-pembesar raja dan orang-orang awam
takut dan hormat kepada shufi itu.

Karena para penyebar agama Islam itu pada umumnya terdiri dari kalangan Ulama’ shufi, maka
dengan sendirinya melalui ajaran yang di bawanya itu dipengaruhi pula oleh Tashawwuf.
Dengan demikan, para propagandis tersebut juga secara langsung mengembangkan pula ajaran
thariqat di berbagai daerah yang menjadi sasaran Da’wahnya. Pada akhirnya ajaran Tashawwuf
tersebut tumbuh dan berkembang dengan cepat sejalan dengan perkembangan Islam dan
Thariqat.

C. Jalan Pendekatan Diri Kepada Tuhan

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan
akhirnya bersatu dengan Tuhan demikan panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus
menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai pada
puncak tujuan Tashawwuf. Jalan itu disebut Thariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata
Tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, di bagi kaum sufi
ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat-tempat calon seorang sufi
menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke
stasion berikutnya. Sebagaimana telah disebut di atas penyucian diri diusahakan melalui ibadat,
terutama puasa, shalat, membaca Al-Qur’an dan dzikir. Maka, seirang calon sufi banyak
melaksanakan Ibadat. Tujuan semua ibadat dalam islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah
penyucian diri calon sufi secara berangsur.

Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang
adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam Tashawwuf adalah tobat.
Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya. Kalau ia
telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh
dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah tobat nasuha, yaitu tobat
yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat
dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk
memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan
diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat,
puasa, shalat, membaca al-qur’an dan zikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya
lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk
mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadah. Pakaiannya sederhana.
Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan
kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, itu diperolehnya dalam berpuasa,
melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan berdzikir.

Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tidak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari
pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan
shalat, membaca al-qur’qn dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion
wara’. Di stasion ini ia dijauhkan tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literature
tashawwuf di sebut bahwa al-muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat.
Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.

Dari stasion wara’, ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran.
Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak
meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.

Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam
menjalankan perintah-perintah tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan tuhan yang
penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan
Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak
menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita. Selanjutnya ia pindah ke stasion
tawakal. Ia menyerahkan diri senulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan
hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia
selamanya merasa tentram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang
yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati. Dari stasiion
tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari
Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk syurga dan dijauhkan dari
neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika
malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di
sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan
hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan. Karena stasion-stasion tersebut di atas baru
merrupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan Tashawwuf, ia senarnya
belunlah menjadi sufi, tapi barulah menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai
ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tashawwuf.
D. Perkembangan Tashawwuf dan Thariqat

Semenjak drintis dengan berdiri madrasah shufi di bashra samapi pada abad-abad berikutnya,
tashawwuf terus menerus dikebangan oleh para tokohnya. Dan diantara para tokoh tersebut kini
membentuk suatu aloran-aliran tersendiri, seperti Qadiriah wan Naqsabandiyah, Asy
Syadziliyah, Ar Rifai’iyah, Maulawiyah, Badawiyah dan lain sebagainya. Kini seluruhnya sudah
mencapai jumlah sebanyak 41 aliran yang di pakai sebagai Thariqat Mu’tabarah.

Dari 41 aliran thariqat diatas, yang paling e\terkenal dan paling banyak pengikutnya dalam
masyarakat adalah :

Thariqat Qadiriyah yang didirkan oleh Syekh Abdul Qadir Al Jailani, lahir pada tahun 470 H.
Wafat pada tahun 561 H. (1164 M.). Pengikutnya yang terbanyak adalah di India, Afganistan,
Baghdad dan Indonesia.

Thariqat Rifa’iyah yang diciptakan dan dibangsakan kepada Syekh Ahmad bin Abdul Hasan Ar
Rifa’I, wafat pada tahun 570 H, (1175 M.). Pengikutnya yang terbanyak di daerah Maroko dan
Al Jazair.

Thariqat Sah rawadiyah yang dibangsakan kepada Syekh Abil Hasan Ali bin Al Sahrawadiyah
yang wafat pada tahun 630 H. (1240 M.). Pengikutnya yang terbanyak dari Afrika.

Thariqat Syadziliyah yang dibangsakan kepada pendirinya, yaitu Syejh Abil Hasan Ali bin
Abdullah bin Abdul Jabbar Asy Syadzily, meninggal pada tahun 655 H. (1256 M.). Pengikutnya
yang terbanyak di daerah Afrika..

Thariqat Ahmadiyah yang diciptakan oleh Syekh Ahmad Badawy, meniggal pada tahun 675 H..
(1276 M.). pengikutnyayang terbanyak di daerah Maroko.

Thariqat Maulawiyah yang dibangsakan kepada pendirinya yaitu Syekh Maulana Jalaluddin Ar
Rumi, meniggal pada tahun 672 H (1273 M.). pengikutnya yang terbanyak di daerah Turkistan
da Turki.

Thariqat Naqsabandiyah yang dibasngsakan kepada pendirinya, yaitu Syekh Muhammad bin
Muhammad Bahuddin Bukhari wafat pada tahun 791 H (1273 M.). pengikutnya yang
terbanyakdi Malaysia.

Thariqat Hadiyah yag dibangsakan kepada pendirinya, yaitu Syekh Abdullah Ba’alawy Al
Hadad Al Hamdany, meniggal pada tahun 1095 H (1695 M.). pengikunya yang terbanyak di
Jazirah Arab, Malaysia dan sekitarnya.

Dari Beberapa thariqat tersebut di atas yang paling banyak pengaruhnya di Indonesia, terutama
di daerah Sumatra, Jawa dan Madura adalah Thariqat Qairiyah dan Naqsabandiyah.

Thariqat Qadiriyah adalah thariqat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qdi aL Jailany.. Beliau lahir
di sebuah kota kecil, Jailan, Thabaristan pada tahun 471 H (1077 M.). dan wafat pada bulan
Rabi’uts Tsani 651 H (1164 M.). di kota Baghdad. Thariqat ini dalam perjalanan berjalan seiring
dengan thariqat yang diciptakan oleh Syekh Muhammad Bukhari, yaitu sejak bulan Januari 1978
berpusat di Tebuireng Jawa Timur Indonesia.

Selain itu, di Pulau Jawa khususnya terdapat juga beberapa thariqat yang tidak seberapa besar
pengaruhnya dan pengikutnya. Diantaranya adalah Thariqat Syathariyah yang didirikan oleh
Syekh Abdullah Syathar dari India, wafat padatahun 1485 M. Pertama kali didirikan di Banten
oleh Syekh Abdul Muhyi dari Karang. Thariqat ini juga berkembang di Jawa Timur berpusat di
Nganjuk (Madium) dibawah pimpinan Kyao Husnun, dan di Tijaniyah, Thariqat Shiddiqiyyah
yang berpusat di Ploso JombangJawa Timur yang didirikan oleh K.H. Mukhtar padatahun 1958,
Thariqat Wahidiyah yang berpusat di Kedunglo Kediri Jawa Timur yang didirikan oleh K.H.
Abdul Majid Ma’ruf.

Thariqat Qadiriyah wan Naqsabandiyah adalah sebagai thariqat yang mu’tabarah, sedangkan
thariqat lainnya dioanggap tidak mu’tabarah, yang thariqat Shiddiqiyah, Qahidiyah,
Syadziliyyah dan Syathariyyah. Demikian pandangan para Kyai NU. Khususnya yang ada di
Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dalam organisai Nahdlotul Ulama’ sendiri sejak tahun 1957 tepatnya pada tanggal 10 Oktober
1957 oleh para Kyai didirikan suatu daban federasiii bernama Puncak Pimpinan jam’iyah
Thariqat Mu’tabarah sebagai tindak lanjut dari Mu’tamar NU XIV sejak tanggal 15 s/d 21 Juli
1939 di Magelang. Dalam Mu’tamar Nu XXVI tanggal 5-11 Juni 1979 M. bertepatan dengan
tanggal 10-16 Rajab 1399 H. di semarang Jawa Tengah, nama badan diganti menjadi Jam’iyah
Thariqat Mu;tabarah Nahdliyin. Penambahan kata “Nahdliyin” ini dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa badan federasi ini harus tetap berafiliasi kepada NU. Sejak berdirinya,
pimpinan tertinggi badan feerasi ini adlaha para Kyai ternama dari pesantren – pesantren besar,
antara lain Kyia Baidlowy, K.H. Ma’shum (ayah K.H. Ali Ma’shum, Ro’is Am PBNU 1980) dan
K.H Avdul Hafidh (ketiganya adalah pemimpinan Pesantren Lasem Rembang Jawa Tengah),
K.H. Mushli dari pesantren Futuhiyah Mranggen Demak Jawa Tengah, K.H. Adlan Aly dari
Pesantren walisongo Cukir Jombang Jawa Timur (beliau adalah keturunan seorang ulama’ besar
K.H. Abdul Jabbar, Pendiri pondok Pesantren Maskumambang Dukun Gresik) dan K.H.
Muhammad Arwani Amin dari Pesantren Tahfidhul Qur’an yandbu’ul Ulum Kudus jawa
Tengah. Mereka ini adlah pemimpinan Thariqat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah dipegang oleh
K.H. DR. Idham Kholid, Pengasuh Pesantren Cipete Jakarta.. Beliau adlah mantan ketua Umum
PBNU. Ketua DPR/MPR, Ketua DPA dan pernah beberapa kali menduduki jabatan penting di
pemerintah dari menteri sampai perdana mentari dalam kabinet Ali Roem Idham di masa orde
lama.

Thariqat Qadiriyah ini disebarkan dan dikembangkan pula di pulau Sumatra oleh Syekh
Abdullah Arif. Beliau adalah pendatang di negeri kita bersama para mubaligh lainnya
diantaranya adalah shabatnya yang bernama Syekh Ismail Zaffi. Barangkali kedua ulama’shufi
ini pernah berkenal yaitu Syekh Abdul Qadir Al Jailany (lahir 471 H), wafat tahun 561 H (1164
M). Mengingat beliau hidup sezaman dengan Waliyuhllah ini. Hal ini dibuktikan bahwa pada
tahun 1177 M, kedua beliau ini sudah giat menyebarkan dan mengembangkan Thariqat
Qadiriyah ini.
Penyebaran Thariqar Qadiriyah ini selanjutnya diteruskan oleh murid beliau, yaiutu Syekh
Burhanuddin yang juga merupakan penyebar agama islam di darah Aceh. Demikian pula di
tempat lain di pulau Smutra, banyak bermunculan penyebar Thariqat, diantaranya adlah Syekh
Abdush Shamad Al Falimbany, Syekh Syamsuddin As Sumatrany, Syekh Daud bin Abdullah Al
Fathany, Syekh Abdur Rauf bin Ali Al Fansury dang lain sebagainya.

Di kawasan lain kepulauan Nusantara ini, muncul pula penyebar-penyebar thariqat. Diantaranya
adlah Sykh Yusuf tajul Khalwati, Syekh Muhammad Nafis Al Banjary, Syekh Ahmad Khahib As
Sambasy, Syekh Abdus Shamad Pulai condong Al Kalantany dan sebagainya. Penyebaran
thariqat di belahan dunia lainnya tidak pernah berhenti sampai pada abad XIX dan XX ini. Ini
bisa dilihat dari para penyebar dan pembaharu di berbagai negara Islam yang telah berusaha
untuk mengadakan pembaharuan thariqat, seperti yang dilakukan oleh DR. mohammad Iqbal di
India, Abdul Halim mahmd Mesir, Syekh Ahmad Khathib Hasyim Asy’ary dan Prof. DR. Abdul
Malik karim Amrullah (HAMKA) dari Indonesia.

Demikian penjelasan mengenai sejarah singkat pertumbuhan tashawwuf dan perkembangan dan
juga para penyebarnya sejak zaman rasulullah, Zaman sahabat, Tabi’in, Tabi’in, para tokohshufi
bidang Aqidah, tokoh shufi thariqat, sampai pada para penyebarnya di seluruh dunia hingga di
daerah kepulauan Nusantara ini.
BAB III
KESIMPULAN

Dari sedikit pembahasan yang telah kami sajikan sebelumnya, berkaitan dengan
penyebaran serta perjalanan tasawuf , dapatlah kami memberi kesimpulan bahwa
Tasawuf, bukanlah sesuatu yang dengannya manusia dapat melakukan sebuah pelarian,
bukanlah sesuatu yang dengannya manusia dapat berpangku tangan terhadap hidup.
Melainkan, tasawuf adalah suatu metode penyucian jiwa dan pembening hati, yang
menjadi bekal utama manusia dalam menggeluti ranah kehidupannya yang, pada
dasarnya tidak pernah terlepas dari berbagia macam persoalan. Tasawuf membimbing
manusia dalam pengembangan kinerja ukhrawi dan sekaligus juga duniawi.

You might also like