You are on page 1of 8

MENYEMAI KADER PEMIMPIN MENUAI KEMAJUAN BANGSA1 Dr. H. Shobah Surur Syamsi, M.A.

:
" Hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang meninggalkan dibelakang mereka generasi yang lemah, dimana mereka khawatir akan kesejahteraan mereka (masa depan mereka). Oleh karena itu, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar ". Q.S. Al-Nis'/4: 9 Islam mengajarkan kepada kita agar memperhatikan masa depan generasi muda. Kita harus waspada jangan sampai kita meninggalkan generasi yang lemah. Kita terus berupaya menjadikan mereka generasi kuat secara mental, ilmu, ekonomi, dan peran sosial politik. Kita bangun mereka agar mampu bersaing dalam percaturan global sehingga kita menjadi khair ummah (sebaik-baik umat) yang tampil berperan aktif untuk kejayaan umat manusia (Q.S. Ali Imran/3: 104, 110). Dalam sebuah pepatah Arab disebutkan: (Inna f yadi al-syubbn amr al-ummah, wa f iqdmih haytah) (Sesungguhnya pada tangan para pemuda terletak urusan umat ini, dan pada kemajuan mereka terletak hidupnya umat ini). Kita harus waspada jangan sampai generasi muda tergerus oleh dekadensi moral, hura-hura, gaya hidup hedonisme, dan hilangnya semangat berjuang. Kita harus mempersiapkan mereka untuk menyongsong hari esoknya. Merekalah generasi yang akan melanjutkan estafet kehidupan pada masa yang akan datang. Mereka adalah calon-calon pemimpin bangsa. Bila mereka baik, baiklah kehidupan umat dan bangsa di masa yang akan datang, tapi bila mereka buruk, buruk pula masa depan bangsa ini. Pada pundak mereka terletakkan kata kunci baik dan buruk serta hancur dan tidaknya peradaban masa depan. Maka pembinaan kepada mereka harus dilakukan dengan serius, terprogram, dan berkesinambungan. Dalam rangka membangun masa depan generasi, dengan khusyu' Nabi Zakaria berdo'a kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa". (Q.S. Ali Imrn/3: 38). Allah mengabulkan do'a itu dengan memberinya seorang putra bernama Yahya, kader terbaik yang
Makalah disampaikan penulis dalam Seminar Nasional Mahasiswa di 5 (lima) perguruan tinggi pilihan di wilayah Jabodetabek, dengan tema: Membentuk Pemimpin dan Umat Berkarakter Qur'ani, di Kampus Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), yang diselenggarakan oleh Panitia 12th Islamic Book Fair 1434/2013, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DKI Jakarta, pada hari Jumat, 11 Januari 2013. 2 Penulis adalah dosen tetap ilmu-ilmu keislaman di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pengurus Takmir Masjid Agung Al-Azhar Jakarta, dan anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Jakarta.
1

membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh. (Q.S. Ali Imrn/3: 39). Demikian pula Nabi Ibrahim, Nabi Yaqub, dan lainnya, disebutkan di dalam al-Quran berjuang dengan gigih dengan do'a dan usaha menyiapkan generasi yang akan melanjutkan dan meneruskan penerang api kebenaran. Dengan berlinang air mata, mereka berdoa kepada Allah agar dikaruniai generasi masa depan yang mampu menjawab problematika kehidupannya serta mampu berkiprah sesuai dengan jamannya. Kepemimpinan dalam Islam dipandang sebagai instrumen yang sangat penting. Dengan adanya kepemimpinan yang benar, maka urusan manusia dapat dilaksanakan dengan baik. Kekosongan pemimpin akan mendatangkan kekacauan bagi bangsa dan negara. Itulah maka Ibn Taimiyah menyebutkan: sittn sanah min imm jir ashlah min lailah bil sulthn (enam puluh tahun di bawah pemimpin congkak, lebih baik daripada semalam tanpa pemimpin) (Ibn Taimiyyah, al-Siysah al-Syar'iyyah, h. 139). Untuk kepentingan itu maka para ulama sepakat bahwa mengangkat pemimpin bagi kaum muslim adalah wajib syari. Mayoritas ulama klasik menyatakan bahwa al-Islm huwa al-dn wa al-daulah (Islam adalah agama dan negara), sebagai ungkapan betapa Islam memberikan petunjuk lengkap bagi kehidupan manusia secara individu, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Al-Ghazali (w. 1111 M) melukiskan hubungan antara agama dan kekuasaan politik sebagai berikut: Sultan (kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Dalam pandangan Ibn Taimiyyah, kekuasaan tanpa negara yang bersifat memaksa, agama akan berada dalam kondisi bahaya, dan tanpa adanya agama negara pasti menjadi tiranik. Kekuasaan tanpa agama, atau agama tanpa kekuasaan, akan merusak kondisi dan tatanan hidup manusia. Rasulullah diutus untuk tujuan di atas. Jadi wajib adanya imam merupakan kewajiban agama yang tidak ada jalan untuk meninggalkanya. Para pemikir politik klasik seperti Abu al-Hasan al-Mawardi dalam al-Ahkam alSulthaniyah, Ibn Taimiyah dalam al- Siyasah al-Syariyah, Yusuf Qardlawy dalam Fiqh al-Daulah dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam alKhilafah au al-Imamah al- Udhma memliki pendapat demikian.

Mewariskan Generasi Kuat Nasehat Rasulullah SAW yang diberikan kepada Saad bin Abi Waqqash
2

patut kita jadikan teladan dalam upaya membangun generasi kader bangsa yang kuat. Saad adalah salah seorang dari shahabat Rasulullah yang kaya raya. Pada suatu hari, Saad ditimpa sakit. Saat itu terpikir sebelum meninggal untuk memberikan seluruh harta bendanya untuk kepentingan umum. Sebelum melaksankn niatnya, dia berkonsultasi kepada Rasulullah SAW. Rasulullah melarangnya, maka Saad ingin memberikan separuh hartanya, namun beliau tetap melarangnya. Lalu Saad hendak memberikan sepertiga hartanya, maka Rasulullah SAW bersabda:

.
Sepertiga? Dan sepertiga itupun sudah banyak !. Sesungguhnya jika engkau tinggalkan pewaris-pewaris engkau itu dalam keadaan mampu, akan lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan melarat yang menengadahkan tangan meminta-minta kepada sesame manusia. H.R. Bukhari dan Muslim. Dalam nasehatnya, Rasulullah SAW mewanti-wanti agar jangan sampai kita tinggalkan anak-anak dalam keadaan lemah, terlantar, dan melarat. Jangan sampai anak-anak yatim itu nantinya meminta-minta karena jatuh miskin. Jangan karena ingin berbuat baik untuk kepentingan umum, ahli waris terlantar. Buya Hamka, dalam Tafsirnya tentang surat Al-Nisa/4: 9 di atas, menjelaskan agar kita terus berupaya semasa hidup supaya jangan sampai anak dan cucu kita kelak hidup terlantar. Biarlah ada harta peninggalan kita yang akan mereka jadikan bekal penyambung hidup. Orang kaya secara kayanya, orang miskin secara miskinnya. Ayat di atas, kata Buya, juga menjadi peringatan bagi seluruh masyarakat muslimin, baik bagi wali pengasuh anak maupun kekuasaan negara yang akan menjadi pengawas keamanan umum, agar memperhatikan nasib mereka jangan sampai terlantar. (Hamka: Tafsir AlAzhar, 1983: 274-275). Mereka diperingatkan jangan sampai menelantarkan masa depan mereka, dengan cara merampas hak-hak mereka, baik secara materi, maupun mental mereka. Peringatan Allah sangat keras: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak-anak yatim dengan aniaya, sesungguhnya mereka itu menelan api ke dalam perut mereka. Q.S. Al-Nisa/4: 10. Mereka harus b e r u p a y a m e m e l i h a r a a n a k y a t i m d e n g a n b a i k , m e n j a g a h a r t a b e n d a yang dititipkan kepadanya, serta membina akhlak anak yatim dengan memberikan keteladanan perbuatan dan perkataan yang baik serta membiasakan berakhlak mulia.

Pemimpin Ideal Generasi yang kuat akan menghasilkan pemimpin-pemimpin ideal. Mereka akan membangun bangsanya agar mencapai kemajuan dan kejayaan.
3

Mereka itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Maidah: 42 adalah, Pemimpin adalah seorang yang mampu memberi manfaat bagi orang-orang yang dipimpinya. Mereka itu berani tampil ke depan, memberi contoh dalam ucapan dan perbuatan, menjadi pembangkit semangat serta meningkatkan kemauan di tengah-tengah mereka, mengikuti dan mengarahkan aspirasi serta tindakan yang dipimpin. Dalam pandangan para ulama klasik, para pemimpin itu harus memenuhi berbagai kriteria. Al-Farab (870-950) menjelaskan bahwa seorang pemimpin negara yang diangkat harus memiliki dua belas syarat, yaitu: mempunyai anggota badan yang sempurna, mempunyai daya nalar yang baik, daya ingat yang kuat, cerdas dan intelegensia tinggi, daya penyampaian yang baik, cinta ilmu dan senang mengajar, menghindari hal-hal yang dilarang dalam hal makanan dan minuman, suka berderma, berjiwa besar, zuhud, adil, dan berani menegakkan kebenaran. Persyaratan itu harus dilengkapi dengan kemampuan mencapai al-sa'dah al-qushw (kebahagiaan tertinggi), dengan cara mempersatukan semua persyaratan tersebut dengan al-aql al-fa'l (akal pikiran aktif). Ibn Ab Rab' mencantumkan ada enam syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang hendak menjadi kepala negara, yaitu: berasal dari keturunan raja, memiliki kemauan yang keras, kuat mentalnya dan mampu mengendalikan emosi, mempunyai pendirian yang teguh, tabah dalam menghadapi tantangan, memiliki ekonomi yang kuat, memiliki pendukung yang setia. Al-Mawardi (995-1059) memberikan 7 syarat yang harus dimiliki bagi kepala negara, yaitu: 1) adil, 2) mempunyai ilmu luas hingga mampu melakukan ijtihd, 3) sehat inderawi; pendengaran, penglihatan, dan lisan, 4) sehat anggota badan tidak cacat, 5) wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum, 6) berani dalam melindungi rakyat dan menentang musuh, 7) berasal dari keturunan Quraisy. Al-Ghazl (1058-1111) memberikan sepuluh persyaratan yang harus dipenuhi seorang kepala negara. Persyaratan itu adalah: dewasa, akal yang sehat, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, sehat mendengaran dan penglihatan, kekuasaan yang nyata, yakni adanya perangkat yang memadai seperti adanya alat negara, hidayah, yakni adanya daya pikir dan perencanaan yang kuat, berilmu dan wara', yakni tidak berbuat hal-hal yang terlarang. Namun Ibn Taimiyyah memandang lebih sederhana tentang kualifikasi calon pemimpin. Karena dianggap kualifikasi-kualifikasi seperti yang disebut para ulama sebelumnya terlalu sulit untuk diwujudkan. Ibn Taimiyyah ingin berpikir
4

praktis dan realistis dalam hal ini. Baginya, pemimpin tidak sekedar dipilih kemudian dilantik (dibaiat), tapi harus dipilih dan disepakati oleh mayoritas rakyat. Umar Ibn Khatthab berkata: Siapa yang membaiat seseorang tanpa musyawarah dari kaum muslimin, maka orang itu tidak dibaiat, dan dia tidak membaiat. Mereka itu sah untuk dibunuh. Bagi Ibn Taimiyyah, kriteria utama seorang pemimpin adalah amnah (kejujuran) dan quwwah (kekuatan, kemampuan). Kekuasaan adalah sebuah amnah yang harus ditegakkan. Pemimpin sebuah negara, atau pemimpin-pemimpin lain yang lebih rendah tingkatannya, harus dapat menyampaikan amanat itu kepada pemiliknya. (Q.S. al-Nis/4: 58). Pemimpin hendaknya dipilih karena lejujuran, dan dapat mengemban amanah tersebut. Rasulullah bersabda: Bila amanat telah lenyap, maka tunggu saja saat kehancurannya. Kapan amanat itu lenyap?. Beliau menjawab: Bila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya". (H.R. al-Bukhr). Itulah pemimpin amn (jujur, yang bisa memegang amanat) yang dapat menegakkan keadilan. Pemimpin yang jujur itu hendaklah dipilih dari orang yang dianggap paling alashlah (paling tepat, dan sesuai) dalam mengemban amanah itu. Hanya yang paling tepat dan sesuai dengan bidangnya yang dipilih menjadi pemimpin. Kepemimpinan tidak dipilih atas dasar asal usul (primordial), keluarga (nepotisme), atau untuk kepentingan suatu golongan tertentu. Rasulullah SAW. berkata kepada Abd al-Rahman Ibn Sumrah: Wahai Abd al-Rahman, janganlah kamu meminta jabatan. Bila kamu memegang jabatan tanpa kamu minta, niscya kamu akan diberi pertolongan untuk melaksanakannya. Namun bila jabatan itu diberikan kepadamu karena kamu minta, maka dirimu akan terbebani karenanya. (H.R. Muslim). Tentang pemimpin yang kuat dan amanah, disebutkan dalam al-Quran pada kisah anak perempuan Nabi Syuaib yang meminta ayahnya untuk memilih Musa sebagai pendamping hidupnya: Wahai ayahku pilihlah dia, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu pilih adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Q.S. al-Qashash/28: 26. Dua sosok sahabat, Khlid Ibn Wald dan Ab Dzarr mempunyai karakter yang berbeda. Khlid adalah sosok pribadi yang kuat tapi terkadang tidak sepenuhnya mentaati perintah Rasulullah. Sedangkan Ab Dzarr adalah sosok pribadi yang sangat taat, dipercaya, dan memegang teguh amanat, hanya sayang, badannya lemah. Namun demikian yang selalu ditugaskan Nabi untuk maju memimpin setiap pertempuran adalah Khlid. Membangun Generasi Qurani
5

Kader bangsa calon-calon pemimpin harus dididik menjadi manusia yang memiliki aqidah kuat, tunduk dan patuh kepada Allah. Maka alQuran memerintahkan kepada kita untuk memelihara diri dan keturunan dari siksa api neraka: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. alTahrm/66: 6). Kita secara pribadi, keluarga, lembaga, maupun negara, berkewajiban melindungi generasi dari kehancuran. Kita w a j i b m e m b e r i k a n p e n g gajaran dan pendidikan untuk mewujudkan kebahagiaan. Pembinaan agar terhindar dari siksaan api neraka ini tidak hanya semata-mata diartikan api neraka yang ada di akhirat nanti, melainkan termasuk pula berbagai masalah dan bencana yang menyedihkan, merugikan, dan merusak citra, dan martabat. Anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan dengan baik sehingga terlibat dalam berbagai aksi kejahatan dan perbuatan tercela seperti: mencuri, merampok, membunuh, menipu, berzina, meminum minuman keras, terlibat narkoba dan sebagainya dapat menciptakan neraka dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Mereka akan menjadi fitnah bahkan musuh yang berbahaya bagi kita. Allah berfirman: Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Taghbun/64: 14). Oleh karena itu, betapa peran penting pendidikan agama, supaya generasi muda memiliki perilaku qurani. Allah memerintahkan agar kita baik sebagai kepala keluarga, guru, da'i, dan pemimpin, untuk mengembangkan pendidikan generasi muda agar membangun kemajuan di masa depan. Al-Quran memberikan dasar pendidikan qurani, dengan pertama kali menanamkan nilai keimanan kepada peserta didik. Penegasan Lukmanul Hakim kepada anaknya, sebagaimana disinyalir dalam al-Quran Surat Luqmn/31: 13: L tusyrik billh, innasyirka lazulmun azm (jangan menyekutukan Allah. Sesungguhnya menyekutukan Allah itu benar-benar tindak zalim yang besar). Penanaman aqidah menjadi sangat penting untuk menciptakan pribadi muslim yang teguh iman, tidak mudah digoyang oleh berbagai keyakinan, trend, dan ajaran. Tauhid yang teguh, menjadikan setiap muslim menjadi kehidupan dengan mantap, iyyka nabudu wa iyyka nastan (hanya kepada Engkau kami menyembah, dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan) (Q.S. al-Ftihah/1: 4). Sikap itu menumbuhkan perilaku totalitas ubudiyyah hanya kepada Allah, hidup mati
6

hanya untuk Allah. Tumbuh sikap keikhlasan berbuat semata untuk Allah, tidak untuk mendapatkan sanjungan atau pujaan dari orang. Al-Quran kemudian memberikan nilai ketaatan sebagai hal penting dalam menjalani kehidupan. Undang-undang dan aturan-aturan tanpa ketaatan menjadi sia-sia belaka. Struktur ketaatan itu dimulai dari ketaatan kepada Allah, mengikuti aturan dan hukumnya menjadi mutlak tak terbantahkan. Maka Syariah-Nya wajib dijalankan dan ditegakkan oleh siapa saja yang mengakui Allah sebagai Tuhannya. Diikuti kemudian ketaatan kepada Rasulullah Muhammad SAW. sebagai penerima ajaran dari Allah dan yang menjelaskan makna-maknanya kepada seluruh ummat manusia. Ketaatan kepada manusia menjadi penting karena setiap orang membutuhkan orang lain dan di dalam berhubungan itu ada komitmen dan aturan yang harus ditaati. Namun ketaatan kepada manusia itu hanya berlaku ketika mereka mentaati Allah dan Rasul-Nya. Itulah makna ketaatan kepada ulil amri (pemegang otoritas kekuasaan) sebagaimana disebut dalam Q.S. al-Nis/4: 59. Begitu pula ketaatan kepada kedua orangtua, menjadi mutlak ketika mereka taat kepada Allah. Namun ketika orangtua mengajak untuk menyekutukan Allah, sang anak tidak lagi berkewajiban mentaatinya. (Q.S. Luqmn/31: 14-15). Al-Quran menanamkan nilai kejujuran. Nilai itu ditanamkan sedemikian rupa oleh Lukmanul Hakim kepada anaknya dengan membuat perumpamaan bahwa jika ada suatu perbuatan seberat biji sawi, dan berada di dalam batu, di langit, atau di dalam bumi, niscaya Allah mendatangkannya (membalas) perbuatan itu. (Q.S. Luqmn/31: 26). Bila sebiji sawi itu adalah kebaikan maka akan dibalas dengan kebaikan, tapi bila itu adalah kejelekan maka akan dibalas dengan kejelekan pula. Penanaman nilai itu menjadi sangat penting agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan dalam perilaku kehidupan karena hakekatnya tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah. Al-Quran juga menanamkan nilai pengabdian kepada Allah secara vertikal dalam bentuk komunikasi langsung berupa shalat, maupun secara horizontal dalam bentuk saling ingat mengingatkan, menegur yang bersalah, memerintah kepada kebaikan dan mencegah yang mungkar. (Q.S. Luqman/31: 17). Jadi semua aktifitas seorang muslim diarahkan kepada kesadaran akan pengabdian kepada Allah, hingga yang bersifat duniawi pun sesungguhnya dalam rangka pengabdian kepada-Nya. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata untuk mengabdi kepada Tuhan sekalian alam. (Q.S. al-Anm/6: 162). Al-Quran juga menanamkan nilai kewajaran, tidak sombong dan congkak ketika berhasil mendapatkan prestasi tertentu. Dilukiskan dalam pendidikan Lukmanul Hakim kepada anaknya sebagai Wa l tushair khaddaka linns wa l tamsy fi al-ardhi marah (jangan kamu memalingkan muka dan jangan berjalan di muka bumi dengan congkak) (Q.S. Luqmn/31: 18). Seringkali manusia itu sudah mencapai tingkat keberhasilan lantas sombong, membusungkan dada, menginjak yang lemah, merendahkan orang di
7

bawahnya. Pendidikan nilai kewajaran menciptakan seorang semakin merunduk ketika ilmunya banyak, semakin dermawan ketika tambah harta, dan semakin mengulurkan tangan pertolongan ketika kekuasaannya bertambah. Kewajaran itu dilukiskan agar sederhana ketika berjalan dan lembut ketika berbicara. Karena suara keras itu suara binatang semacam keledai. (Q.S. Luqmn/31: 19). Dalam membangun kader pemimpin bangsa, tidak cukup hanya mewariskan kekayaan materi untuk masa depan mereka, tapi mereka harus diberi bekal pendidikan yang tinggi, berlandaskan nilai qurani, agar mereka mampu mengelola kekayaan untuk menghantarkan mereka menuju kejayaan. Warisan kekayaan yang ditinggalkan nenek moyang tanpa bekal ilmu dan nilai qurani, bukan saja akan menyesatkan mereka, tapi akan menghancurkan bangsa secara keseluruhan. Maka Allah mewanti-wanti kita agar benar dalam mendidik, yaitu pendidikan berdasarkan taqwa kepada Allah (fal yattaqullh) dan dengan kata-kata yang benar (wal yaqulu qawlan sadid), seperti bunyi ujung dari ayat 9 surat al-Nis' itu.. Jangan pernah berharap bangsa ini maju bila para pemimpinnya lemah. Jangan pernah bermimpi memiliki pemimpin yang kuat bila generasi muda lemah pendidikan dan lemah mental.

You might also like