You are on page 1of 27

HUTAN HUJAN TROPIS

OLEH : PUTRI HANDAYANI SITOMPUL 8126174017 PENDIDIKAN BIOLOGI KELAS B

Program Magister Pendidikan Biologi UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2012

BAB I PENDAHULUAN Hutan hujan Tropika (Tropische Regenwald) merupakan istilah yang digunakan pertama-tama oleh Schimper tahun 1903 dalam bukunya Plant Geography, istilah ini sudah dibakukan dan digunakan sampai sekarang (Whitmore dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009). Penyebaran hutan hujan tropika di dunia adalah pada negara-negara yang terletak pada posisi antara 23,5 LU dan 23,5 LS yang meliputi tiga kawasan yaitu : pertama, di Amerika Selatan yang berpusat di lembah sungai Amazon Brazilia, meliputi daerah seluas sekitar 400 juta hektar. Lokasi kedua adalah kawasan hutan Indo-Malaya dengan luas sekitar 250 juta hektar dan lokasi ke tiga adalah kawasan hutan Afrika Barat yang terpusat di Lembah sungai Congo/Zaire sampai teluk Guyana dengan luas kawasan sekitar 180 juta hektar (Myers dan Whitmore dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009). Defenisi klasik mengenai hutan hujan tropis menurut Schimper yang digunakan Richards adalah suatu komunitas tumbuhan yang selalu hijau, tinggi pohon atau tajuk (canopy) paling rendah 30 m, kaya akan laian atau tumbuhan meramnat berkayu dan berbagai bentuk kehidupan (life form) lainnya seperti pohon, herba, dan epifit, di mana pohon merupakan bentuk kehidupan yang paling dominan. Secara geografis hutan hujan tropis terdapat di sepanjang untaian garis katulistiwa. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis dengan berbagai keanekaragaman hayati di dalamnya. Hutan tropis merupakan sebuah contoh kehidupan terkaya di planet bumi. Memiliki kekayaan akan flora dan fauna yang sangat tinggi, tumbuhan berkembang selama berjuta-juta tahun dalam kondisi lingkungan alam dulunya hampir tanpa tekanan berarti. Flora dan fauna beserta habitatnya ini merupakan hasil yang muncul dalam perjalanan sejarah evolusi ekosistem, sehingga hutan tropis merupakan bank dari berbagai genetis (germ plasm) yang terbesar di dunia. Berbagai hasil penelitian botani lapangan di berbagai belahan di dunia, kekayaan jenis tumbuhan (pohon dbh > 10 cm) per ha plot hutan tropis memiliki jumlah jenis pohon 60 350 species/ha (Wright dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009 ). Diperkirakan di Indonesia terdapat lebih kurang 47 tipe ekosistem yang menyimpan pesona kehidupan flora dan faunanya dengan keanekaragaman jenis yang tinggi membuat Indonesia mendaoat julukan sebagai salah satu negara Megabiodiversitas di dunia. Tingginya tingkat variasi ekosistem di Indonesia ini disebabkan oleh oleh karena sejarah geologi pembentukan yang berbeda di antara pulau-pulau di Indonesia, variasi iklim dari bagian barat yang lembab sampai bagian timur yang kering dan distribusi flora dan fauna yang didalammnya.

BAB II PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Hutan Hujan Tropis Secara geografis daerah hutan hujan tropis mencakup wilayah yang terletak di antara titik balik rasi bintang Cancer dan rasi bintang Capricornus, yaitu suatu wilayah yang terletak di antara 23027 LU dan 23027 LS. Menurut Ewusie wilayah hutan hujan tropis mencakup 30 % dari luas permukaan bumi dan terdapat mulai dari Amerika Selatan, bagian tengah dari benua Afrika, sebagian anak benua India, sebagian besar wilayah Asia Selatan dan wilayah Asia Tenggra, gugusan kepulauan di samudra Pasifik, dan sebagian kecil wilayah Australia. Pada umumnya wilayah hutan hujan tropis dicirikan oleh adanya 2 musim dengan perbedaan yang jelas, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Ciri lainnya adalah suhu dan kelembapan udara yang tinngi, demikian juga dengan curah hujan, sedangkan hari hujan merata sepanjang tahun (Walter dalam Wiharto, 2009).
2. Lokasi dan Karakteristik Ekologis Hutan Hujan Tropis

Hutan hujan dapat dijumpai di daerah tropis, daerah di antara Capricorn Tropis dan Cancer Tropis. Di daerah ini, matahari bersinar sangat kuat dan dengan kuantitas waktu yang sama setiap hari sepanjang tahun, menjadikan iklim hangat dan stabil. Banyak negara memiliki hutan hujan. Negara-negara dengan jumlah hutan hujan terbesar adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Brazil Kongo, Republik Demokratik Peru Indonesia Kolombia Papua Nugini Venezuela Bolivia Meksiko

10. Suriname Hutan hujan tropika terbentuk di wilayah-wilayah beriklim tropis, dengan curah hujan tahunan minimum berkisar antara 1.750 millimetre (69 in) dan 2.000 millimetre (79 in). Sedangkan rata-rata temperatur bulanan berada di atas 18 C (64 F) di sepanjang tahun. Hutan basah ini tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian sekitar 1.200 m dpl., di atas

tanah-tanah yang subur atau relatif subur, kering (tidak tergenang air dalam waktu lama), dan tidak memiliki musim kemarau yang nyata (jumlah bulan kering < 2) Hutan hujan tropika merupakan vegetasi yang paling kaya, baik dalam arti jumlah jenis makhluk hidup yang membentuknya, maupun dalam tingginya nilai sumberdaya lahan (tanah, air, cahaya matahari) yang dimilikinya. Hutan dataran rendah ini didominasi oleh pepohonan besar yang membentuk tajuk berlapis-lapis (layering), sekurang-kurangnya tinggi tajuk teratas rata-rata adalah 45 m (paling tinggi dibandingkan rata-rata hutan lainnya), rapat, dan hijau sepanjang tahun. Ada tiga lapisan tajuk atas di hutan ini:
1.

Lapisan pohon-pohon yang lebih tinggi, muncul di sana-sini dan menonjol di atas atap tajuk (kanopi hutan) sehingga dikenal sebagai sembulan (emergent). Sembulan ini bisa sendiri-sendiri atau kadang-kadang menggerombol, namun tak banyak. Pohonpohon tertinggi ini bisa memiliki batang bebas cabang lebih dari 30 m, dan dengan lingkar batang hingga 4,5 m.

2. 3.

Lapisan kanopi hutan rata-rata, yang tingginya antara 2436 m. Lapisan tajuk bawah, yang tidak selalu menyambung. Lapisan ini tersusun oleh pohon-pohon muda, pohon-pohon yang tertekan pertumbuhannya, atau jenis-jenis pohon yang tahan naungan. Kanopi hutan banyak mendukung kehidupan lainnya, semisal berbagai jenis epifit

(termasuk anggrek), bromeliad, lumut, serta lumut kerak, yang hidup melekat di cabang dan rerantingan. Tajuk atas ini demikian padat dan rapat, membawa konsekuensi bagi kehidupan di lapis bawahnya. Tetumbuhan di lapis bawah umumnya terbatas keberadaannya oleh sebab kurangnya cahaya matahari yang bisa mencapai lantai hutan, sehingga orang dan hewan cukup leluasa berjalan di dasar hutan. Ada dua lapisan tajuk lagi di aras lantai hutan, yakni lapisan semak dan lapisan vegetasi penutup tanah. Lantai hutan sangat kurang cahaya, sehingga hanya jenis-jenis tumbuhan yang toleran terhadap naungan yang bertahan hidup di sini; di samping jenis-jenis pemanjat (liana) yang melilit batang atau mengait cabang untuk mencapai atap tajuk. Akan tetapi kehidupan yang tidak begitu memerlukan cahaya, seperti halnya aneka kapang dan organisme pengurai (dekomposer) lainnya tumbuh berlimpah ruah. Dedaunan, buah-buahan, ranting, dan bahkan batang kayu yang rebah, segera menjadi busuk diuraikan oleh aneka organisme tadi. Pemakan semut raksasa juga hidup di sini. Pada saat-saat tertentu ketika tajuk tersibak atau terbuka karena sesuatu sebab (pohon yang tumbang, misalnya), lantai hutan yang kini kaya sinar matahari segera diinvasi oleh berbagai jenis terna, semak dan anakan pohon; membentuk sejenis rimba yang rapat.

3. Produktivitas Ekosistem Dunia dan Kaitannya dengan Hutan Hujan Tropis

Jumlah total energi yang terbentuk melalui proses fotosintesis perunit area perunit waktu di sebut produktivitas primer kotor, namun demikian tidak semua energi yang dihasilkan melalui fotosintesis ini diubah menjadi biomassa, tetapi sebagian dibebaskan lagi melalui proses respirasi. Produktivitas primer bersih dengan demikian adalah hasil fotosintesis dikurangi dengan respirasi. Jika Tabel 1 diperhatikan dengan seksama maka dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain produktivitas primer bersih hutan hujan tropis adalah yang tertinggi di banding wilayah lain, yang mencapai 1000-3500 g/m2/tahun, disusul oleh hutan musim tropis yang mencapai 1000-2500 g/m2/tahun. Daerah daratan yang memiliki produktivitas terendah adalah gurun dan semak-gurun yang hanya berkisar 10-250 g/m2/tahun. Tabel 1. Produktivitas Primer Biosfer Tipe Ekosistem Hutan Hutan Tropis Hutan Musim Tropis Hutan Iklim Sedang: Selalu Hijau Luruh Hutan Boreal Savana Padang Rumput Iklim Sedang Tundra dan Alpin Gurun dan Semak Gurun Produktivitas Primer Bersih (Bahan Kering) Kisaran Normal (g/m2/tahun) 1000-3500 1000-2500 600-2500 600-2500 400-2000 200-2000 200-1500 10-400 10-250

Sumber : Whittaker dan Likens dalam Wiharto (2009) 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Hutan Hujan Tropis. Produktivitas merupakan parameter ekologi yang sangat penting. Produktivitas ekosistem adalah suatu indeks yang mengintegrasikan pengaruh kumulatif dari banyak proses dan interaksi yang berlangsung simultan di dalam ekosistem. Jika produktivitas pada suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal ini menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika terjadi perubahan yang dramatis, maka menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme-organisme yang menyusun ekosistem (Jordan, 1985). Produktivitas khususnya di wilayah tropis dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah:

a. Suhu dan Cahaya Matahari Suhu udara di daerah dataran rendah hutan hujan tropis tidak pernah turun sampai pada titik beku. Sebagian besar suhu pada wilayah ini berkisar antara 20-28 0 C, global bervariasi berdasarkan keadaan atmosfer, lintang, dan ketinggian. Suhu Udara di daerah hutan hujan tropis tidak pernah turun sampai sampai mencapai titik beku (00 C) namun pada daerah yang sangat tinggi dimana kadang-kadang tapi sangat jarang suhu turun hampir mencapai titk beku . Suhu rata-rata pada sebagian besar daerah adalah 270C, dan kisaran suhu bulanan berkisar 24-280C, yang dengan demikian kisaran suhu musiman ini jauh lebih kecil dibanding kisaran suhu siang dan malam (diurnal) yang dapat mencapai 100. Suhu maksimum jarang mencapai 380C juga jarang jatuh sampai di bawah 200C. Berdasarkan gradasi suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas akan meningkat dari wilayah kutup ke wilayah ekuator , namun untuk daerah hutan hujan tropis suhu bukanlah faktor dominan yang menentukan produktivitas, tapi lamanya musim tumbuh (Walter, 1981). Wilayah hutan hujan tropis menerima lebih banyak sinar matahari tahunan yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan wilayah iklim sedang. Hal ini disebabkan oleh 3 faktor: (1) Kemiringan poros bumi menyebabkan wilayah tropika menerima lebih banyak sinar matahari dibanding pada atmosfer luarnya dibanding dengan wilayah iklim sedang. (2) Lewatnya sinar matahari pada atmosfer yang lebih tipis (karena sudut yang lebih tegak lurus di daerah tropika), mengurangi jumlah sinaran yang diserap oleh atmosfer. Di wilayah hutan hujan tropis, 56% sampai dengan 59 % sinar matahari pada batas atmosfer dapat sampai di permukaan tanah. (3) Masa tumbuh, yang terbatas oleh keadaan suhu adalah lebih panjang di daerah hutan hujan tropis (kecuali di tempat-tempat yang sangat tinggi) (Sanches, 1992). Jordan (1995) menjelaskan bahwa adanya suhu yang tinggi dan konstan hampir sepanjang tahun dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuh-tumbuhan akan berlangsung lama, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas. Berdasarkan sinar matahari dan lamanya masa tumbuh De Witt dalam Sanches (1992) menaksir hasil tanaman pangan yang mungkin, berdasarkan jalur lintang. Perhitunganya menunjukkan bahwa daerah hutan hujan tropis berkemungkinan memberikan hasil lebih besar per tahun dibanding daerah iklim sedang, dengan mengandaikan tidaknya faktor pembatas. Pada daerah lintang tropika kemampuan panen tahunan rata-rata adalah sebesar 60 ton/ha hasil kering keseluruhan. Kirakira setengah dari jumlah itu dianggap sebagai hasil panen yang menguntungkan dari segi ekonomi.

b. Curah Hujan Di daerah hutan hujan tropis jumlah curah hujan per tahun berkisar antara 1600 sampai dengan 4000 mm (Warsito, 1999) dengan sebaran bulan basah 9,5-12 bulan basah (Sanches, 1992). Kondisi ini menjadi wilayah ini memiliki curah hujan yang merata hampir sepanjang tahun yang akan sangat mendukung produktivitas yang tinggi. Hujan selain berfungsi sebagai sumber air juga berfungsi sebagai sumber hara. Whitmore (1986) mengatakan bahwa banyak nitrogen yang terfiksasi selama terjadi badai dan turun ke bumi bersama dengan hujan. Hara lain yang banyak masuk ke dalam ekosistem melalui curah hujan menurut Kenworty dalam Whitmore (1986) adalah K, Ca, dan Mg. Walaupun memberi dampak positif bagi produktivitas vegetasi menurut Resosoedarmo et al., (1986) curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi oleh vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah dengan cepat. Barbour et al, (1987) mengatakan bahwa sebagai salah satu faktor siklus hara dalam sistem, pencucian adalah penyebab utama hilangnya hara dari suatu ekosistem. Hara yang mudah sekali tercuci terutama adalah Ca dan K. c. Interaksi Antara Suhu dan Curah Hujan. Produktivitas yang tinggi dan kontinyu sepanjang tahun tidak akan berlangsung jika hanya didukung oleh suhu yang tinggi. Banyak wilayah lain di dunia yang memiliki suhu yang jauh lebih tinggi di banding wilayah hutan hujan tropis, tetapi memiliki produktivitas yang rendah. Interaksi antara suhu yang tinggi dan curah hujan yang banyak yang berlangsung sepanjang tahun menghasilkan kondisi kelembapan yang sangat ideal bagi vegetasi hutan hujan tropis untuk meningkatkan produktivitas. Kelembapan atmosfer merupakan fungsi dari lamanya hari hujan, terdapatnya air yang tergenag, dan suhu. Sumber utama air dalam atmosfer adalah hasil dari penguapan dari sungai, air laut, dan genangan air tanah lainnya serta transpirasi dari tumbuhan. Tingginya kelembapan pada gilirannya akan meningkatkan laju aktivitas mikroorganisme. Selain itu, proses lain yang sangat dipengaruhi oleh proses ini adalah pelapukan tanah yang berlangsung cepat. Pelapukan terjadi ketika hidrogen dalam larutan tanah bereaksi dengan mineralmineral dalam tanah atau lapisan batuan, yang mengakibatkan terlepas unsur-unsur hara. Hara-hara ini ada yang dapat dengan segera diserap oleh tumbuhan.

d. Produktivitas Serasah Produktivitas serasah di hutan hujan tropis adalah juga yang tertinggi di banding dengan wilayah-wilayah lain sebagaimana yang terlihat pada Table 2. Oleh karena produktivitas serasah yang tinggi maka akan memberikan keuntungan bagi vegetasi untuk meningkatkan produktivitas karena tersedianya sumber hara yang banyak. Tabel 2. Laju Produktivitas Serasah Di Berbagai Tipe Ekosistem Dunia Ekosistem Hutan hujan tropis Hutan iklim sedang Savana kering Hutan oak Taiga Hutan musim tropis Herba perennial Prairi Lokasi Thailand Di beberapa lokasi Rusia Rusia Rusia Pantai Gading Jepang Amerika Serikat Produktivitas Serasah (g/m/tahun) 2322 1200 290 350 250-300 440 1484 520

Produktivitas serasah yang tinggi ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Hutan hujan tropis yang selalu hijau dan (2) Iklim, sebagai mana produktivitas tahunan serasah di 4 zone iklim yang berbeda dan menemukan pada hutan hujan tropis, hutan iklim sedang yang hangat, hutan iklim sedang yang sejuk, dan hutan alphin produktivitasnya berturut-turut adalah: 10,2 t/ha/tahun; 5,6 t/ha/tahun; 3,1 ton/ha/tahun; dan 1,1 t/ha/tahun. Hutan hujan tropis adalah ekosistem dengan laju dekomposisi serasah tercepat dibanding ekosistem-ekosistem lainnya sebagaimana yang terlihat pada Tabel 3. hal ini disebabkan karena serasah yang jatuh ke permukaan tanah tidak akan lama tertimbun di lantai hutan tetapi segera mengalami dekomposisi sehingga dapat dengan segera diserap kembali oleh tumbuhan. Laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah. Tabel 3. Laju Dekomposisi Serasah di Beberapa Tipe Ekosistem Dunia Iklim Tropis Sedang Ekosistem dan Lokasi Hutan hujan tropis Padang rumput Hutan oak di : Minnesota Missouri New Jersey . Laju Dekomposisi 0,45 0,30 0,018 0,095 0,018

e. Tahap Suksesi Komunitas

Produktivitas vegetasi juga mengikuti pola perubahan yang terjadi selama suksesi. Pada Gambar 1 terlihat adanya gradasi peningkatan produktivitas vegetasi selama masa awal suksesi, diikuti dengan mulai menurunnya produktivitas vegetasi setelah mencapai puncak Botkin et al. membuat suatu model untuk memprediksi pertumbuhan biomassa tegakan hutan dan menemukan bahwa tegakan mencapai puncak pertumbuhannya pada usia sekitar 200 tahun, dan kemudian berkurang 30-40% setelah usia tersebut. Menurut Barbour at al. penurunan ini disebabkan karena: (1) Proporsi alokasi produktivitas primer bersih yang sangat besar ke struktur biomassa non fosintesis, (2) Keterbatas tajuk pohon dan orientasi daun, (3) Terikatnya hara di dalam struktur biomassa pohon (4) Menurunnya efisiensi fotosintesis dari individu pohon yang telah tua. f. Tanah. Tanah adalah faktor di daerah tropis yang tidak mendukung tingginya produktivitas yang tinggi. Tanah di hutan hujan tropis adalah tanah yang berumur sangat tua, kecuali tanah vulkanik. Periode Pleistocene tidak berpengaruh sama sekali pada tanah disini, dan kemungkinan besar tanah disini berasal dari periode Tertiary). Pencucian terjadi menurut Brady (1974) karena beberapa hara tersimpan di permukaan tanah liat atau pada bahan organik koloid, Permukaan ini bermuatan negatif. Ion-ion bermuatan positif seperti K+, Ca+ +, dan NH4 + akan bergabung dengan permukaan yang memiliki muatan negatif. Kemampuan tanah untuk mempertahankan kation pada permukaan liat maupun humus terutama ditentukan oleh nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK)nya. Tanah yang memiliki kandungan liat atau kandungan organik yang tinggi memiliki KTK yang tinggi yang berarti tanah tersebut memiliki kemampuan tinggi dalam mempertahankan mineral-mineralnya. Namun faktor lain juga turut berperan dalam hal ini, terutama jenis mineral liat yang terdapat di tanah Mineral liat yang mengalami pelapukan yang sangat kuat seperti kaolinit memiliki KTK yang rendah. Ion hara yang bermuatan positif pada permukaan liat dapat digantikan oleh ion hidrogen. Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah tropis disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara kontinu melalui respirasi yang dilangsungkan oleh mikroorganisme tanah dan akar. Respirasi oleh pengurai bersama dengan respirasi oleh akar disebut respirasi tanah. Jika tanah dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO2) dari respirasi tanah beserta air (H2O) akan membentuk asam karbonat (H2CO3) yang kemudian akan mengalami disosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-) dan sebuah ion hidrogen bermuatan positif (H+). Ion hidrogen selanjutnya dapat menggantikan kation hara yang ada pada koloid tanah, kemudian

bikarbonat bereaksi dengan kation yang dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi ini dapat tercuci ke bawah melalui profil tanah. Karakteristik dari lapisan tanah juga menentukan apakan kation akan tercuci dari horizon tanah. Kemasamanlah yang menjadi faktor utama pencucian dan pelapukan, walaupun secara umum kejadian ini dipicu oleh ketersediaan air (Johnson et al. dalam Jordan, 1985). Sumber hidrogen lainnya berasal dari transformasi Nitrogen. Selama masa penguraian bahan organik, nitrogen yang terikat secara organik pada bahan tersebut di konversi menjadi ammonium (NH4) yang kemudian akan diserap oleh tumbuhan atau dikonversi menjadi Nitrat (NO3) melalui proses nitrifikasi. Hidrogen yang dibebaskan dari proses ini dapat menggantikan kation hara yang dapat dipertukarkan pada permukaan tanah, dan ion nitrat yang tersedia kemudain akan bereaksi dengan kation hara tersebut. Hidrogen yang dibebaskan ke tanah sebagai hasil aktivitas biologi, akan bereaksi dengan liat silikat dan membebaskan aluminium. Karena aluminium merupakan unsur yang terdapat dimana-mana di daerah hutan hujan tropis, maka alminiumlah yang lebih dominan berasosiasi dengan tanah asam di daerah ini. Sulfat juga dapat menjadi sumber pembentuk asam di tanah. Sulfat ini dapat masuk ke ekosistem melalui hujan maupun jatuhan kering, juga melalui aktivitas organisme mikro yang melepaskan senyawa gas sulfur. Asam organik juga dapat dilepaskan dari aktivitas penguraian serasah (Jordan, 1985). Laju pelapukan yang tinggi juga berpotensi tinggi untuk terjadi di kawasan hutan hujan tropis yang juga dipicu oleh kelembapan dan panas yang tinggi yang berlangsung sepanjang tahun. Pelapukan terjadi ketika hidrogen di dalam larutan tanah bereaksi dengan mineral di dalam tanah atau lapisan bebatuan, sehingga unsur-unsur hara dapat tersingkirkan. Hal ini misalnya dapat terlihat pada feldspar yang terdapat dalam aluminosilikat (senyawa aluminium dan silikat) yang mengandung hara-hara seperti Na, K, dan Ca. Jika feldspar terhidrolisasi , maka hara-hara tersebut akan di keluarkan dari aluminosilikat. Hara yang terlarut ini kemudian dapat diadsorpsi oleh koloida tanah, dan kemudian digunakan oleh tumbuhan, atau hilang dari ekosistem lewat pencucian. Karakteristik dari tanah seperti tekstur, hara, dan kedalaman telah banyak dibahas sebagai komponen yang penting dalam menentukan hubungan kompetisi dan laju pertumbuhan dari tumbuhan di berbagai kondisi lingkungan. Namun menurut Pastor dan Bockheim merupakan hal yang sulit untuk mentranslasikan pengaruh edafik pada studi-studi produktivitas. Hal ini disebabkan karena tidak semua spesies memiliki kebutuhan hara yang sama untuk memproduksi sejumlah biomassa dengan ukuran yang sama. Pengaruh edafik mungkin akan tertutupi jika spesies yang tumbuh pada lingkungan miskin hara memiliki

efisisensi pemanfaatan hara yang tinggi. Pada lingkungan yang demikian ini, baik komposisi spesies maupun produktivitas dapat dipengaruhi dengan modifikasi rezim hara. g. Herbivora Herbivora adalah faktor biotik yang mempengaruhi produktivitas vegetasi. Sekitar 10 % dari produktivitas vegetasi darat dunia dikonsumsi oleh herbivora biofag. Persentase ini bervariasi menurut tipe ekosistem darat (Barbour at al., 1987). Oleh karena produktivitas yang tinggi, maka dapat di antisipasi adanya potensi yang tinggi untuk terjadi serangan insekta. Namun, sedikit bukti yang ada, sekurang-kurangnya di hutan yang tumbuh secara alami, adanya serangan insekta pada areal berskala luas (Lugo et al., dalam Jordan, 1985). Walau pun demikian defoliasi pada individu pohon secara menyeluruh sering sekali terjadi (Jordan, 1985). Menurut penulis yang sama hal ini disebabkan oleh tingginya keanekaragaman di daerah hutan hujan tropis. Banyak pohon mengembangkan alat pelindung terhadap herbivora melalui produksi bahan kimia tertentu yang jika dikonsumsi oleh herbivora memberi efek yang kurang baik bagi herbivora. h. Sistem Konservasi Hara Curah hujan yang sangat tinggi seperti dikemukakan di atas selain memberi dampak positif juga berdampak negatif karena mudahnya hara hilang dari ekosistem akibat pencucian. Tanpa mekanisme konservasi hara yang tepat, ekosistem hutan hujan tropis tidak dapat mempertahankan produktivitasnya yang tinggi. Rupanya mekanisme tersebut telah terdapat pada komponen-komponen yang menyusun ekosistem hutan hujan tropis. Salah satu bentuk adaptasi konservasi hara secara alami di hutan hujan tropis yang memiliki tanah yang miskin hara adalah dengan menghasilkan biomassa akar yang relatif besar dibanding bagian tubuh tumbuhan lainnya, dan konsentrasi dari akar tersebut sebagian besar di atas permukaan tanah. Nye dan Thinker meneliti pentingnya pergerakan hara di dalam tanah, dan mereka menemukan bahwa tumbuhan yang tumbuh di tanah yang miskin hara memiliki konsentrasi akar yang sangat besar di atas permukaan tanah. Keuntungan dari adaptasi ini adalah akar dapat menyerap hara lebih banyak. Konsentrasi akar di atas permukaan tanah juga memungkinkan akar bercampur dengan serasah, berbagai organisme yang telah mati, dan organisme pengurai. Hal ini memungkinkan akar dapat dengan cepat dan lebih banyak menyerap berbagai hasil penguraian yang dilakukan organisme pengurai di sekelilingnya. Selanjutnya kondisi ini juga akan membuat hara terserap ke dalam pohon daripada ke organisme lain atau tercuci keluar dari sistem. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa di daerah hutan hujan tropis, hara jarang sekali tersimpan lama di tanah, namun langsung diserap oleh tumbuhan atau oleh mikroorganisme.

Pergerakan hara yang demikian ini juga ditunjang oleh keberadaan berbagai organisme yang hidup maupun mati seperti bryophyta, lichens, lumut, bromelia, pakupakuan, anggrek, dan epifit lainnya yang sangat banyak terdapat pada tajuk pohon. Organisme-organisme ini mampu menyerap harany sendiri dari lingkungan sekitarnya, terutama dari atmosfer tanpa merusak tumbuhan inangnya. Pada saat organisme penghuni tajuk ini mati, maka hara yang dikandungnya juga akan terurai dan langsung diserap oleh akar-akar udara yang sangat banyak terdapat di hutan hujan tropis. Kemampuan ini ditunjang oleh morfologi akar udara yang memiliki banyak sekali akar-akar halus di permukaannya, juga banyak dari akar ini dapat berasosiasi dengan jamur membentuk endomikoriza, dan memiliki kemampuan untuk memfiksasi nitrogen. Kehadiran mikoriza juga sangat membantu tumbuhan memperoleh hara pada tanah yang miskin. Kimmins (1987) menjelaskan bahwa mikoriza adalah asosiasi antara jamur dan akar tumbuhan tinggi. Jamur-jamur ini menyelimuti akar tumbuhan dengan akar yang disebut hyphae. Hyphae kemudian berhubungan dengan sel-sel akar dan hasil metabolosme pun ditransfer di antara keduanya. Akar tumbuhan secara pasif akan terus-menerus mengeluarkan senyawa-senyawa yang dibutuhkan oleh jamur seperti asam amino yang kemudian diserap oleh jamur. Jamur, sebaliknya menyuplai tumbuhan dengan berbagai hara yang diperlukan. Jamur-jamur ini memperoleh harahara tersebut dari penguraian maupun melalui fiksasi. 5. Tipe Hutan Hujan Tropis Menurut Ketinggian Tempat Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga zona atau wilayah sebagai berikut. 1. Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 0 -1.000 m dari permukaan laut. 2. Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 1.000 - 3.300 m dari permukaan laut. 3. Zona 3 dinamakan hutan hujan atas karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 3.300 - 4.100 m dari permukaan laut. a) Zona Hutan Hujan Bawah Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan bawah meliputi pulaupulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Irian, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku misalnya di pulau Taliabu, Mangole, Mandioli, Sanan, dan Obi. Di hutan hujan bawah banyak terdapat spesies pohon anggota famili Dipterocarpaceae terutama anggota genus Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatiea, Dryobalanops, dan Cotylelobium. Dengan demikian, hutan hujan bawah disebut juga hutan Dipterocarps. Selain spesies pohon anggota famili

Dipterocarpaceae tersebut juga terdapat spesies pohon lain dari anggota famili Lauraceae, Myrtaceae, Myristicaceae, dan Ebenaceae, serta pohon-pohon anggota genus Agathis, Koompasia, dan Dyera. Pada ekosistem hutan hujan bawah di Jawa dan Nusa Tenggara terdapat spesies pohon anggota genus Altingia, Bischofia, Castanopsis, Ficus, dan Gossampinus, serta spesiesspesies pohon dari famili Leguminosae. Adapun eksosistem hutan hujan bawah di Sulawesi, Maluku, dan Irian, merupakan hutan campuran yang didominasi oleh spesies pohon Palaquium spp., Pometia pinnata, Intsia spp., Diospyros spp., Koordersiodendron pinnatum, dan Canarium spp. Spesies-spesies tumbuhan merambat yang banyak dijumpai di hutan hujan bawah adalah anggota famili Apocynaceae, Araceae, dan berbagai spesies rotan (Calamus spp.) b) Zona Hutan Hujan Tengah Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan tengah meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, sebagian daerah Indonesia Timor, di Aceh dan Sumatra Utara. Secara umum, ekosistem hutan hujan tengah didominasi oleh genus Quercus, Castanopsis, Nothofagus, dan spesies pohon anggota famili Magnoliaceae. Di beberapa daerah, tipe ekosistem hutan hujan tengah agak khas. Misalnya di Aceh dan Sumatra Utara terdapat spesies pohon Pinus merkusii, di Jawa Tengah terdapat spesies pohon Albizzia montana dan Anaphalis javanica, di beberapa daerah Jawa Timur terdapat spesies pohon Cassuarina spp., di Sulawesi terdapat kelompok spesies pohon anggota genus Agathis dan Podocarpus. Di sebagian daerah Indonesia Timur terdapat spesies pohon anggota genus Trema, Vaccinium, dan pohon Podocarpus imbricatus, sedangkan spesies pohon anggota famili Dipterocarpaceae hanya terdapat pada daerah-daerah yang memiliki ketinggian tempat 1.200 m dpl. c) Zona Hutan Hujan Atas Penyebaran tipe ekosistem hutan hujan atas hanya di Irian Jaya dan di sebagian daerah Indonesia Barat. Tipe ekosistem hutan hujan atas pada umumnya berupa kelompok hutan yang terpisah-pisah oleh padang rumput dan belukar. Pada ekosistem hutan hujan atas di Irian Jaya banyak mengandung spesies pohon Conifer (pohon berdaun jarum) genus Dacrydium, Libecedrus, Phyllocladus, dan Podocarpus. Di samping itu, mengandung juga spesies pohon Eugenia spp. dan Calophyllum, sedangkan di sebagian daerah Indonesia Barat dijumpai juga kelompokkelompok tegakan Leptospermum, Tristania, dan Phyllocladus yang tumbuh dalam ekosistem hutan hujan atas pada daerah yang memiliki ketinggian tempat lebih dari 3.300 m dpl.

6. Tipe Hutan Tropis Menurut Iklim di Indonesia 1. Hutan Tropis Basah Hutan tropis basah adalah hutan yang memperoleh curah hujan yang tinggi, sering juga kita kenal dengan istilah hutan pamah. Hutan jenis ini dapat dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Bagian Utara dan Papua. Jenis-jenis yang umum ditemukan di hutan ini, yaitu: Meranti (Shorea dan Parashorea), keruing (Dipterocarpus), Kapur (Dryobalanops), kayu besi (Eusideroxylon zwageri), kayu hitam (Diospyros sp). 2. Hutan Muson Basah Hutan muson basah merupakan hutan yang umumnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, periode musim kemarau 4-6 bulan. Curah hujan yang dialami dalam satu tahun 1.250 mm-2.000 mm. Jenis-jenis pohon yang tumbuh di hutan ini antara lain jati, mahoni, sonokeling, pilang dan kelampis. 3. Hutan Muson Kering Hutan muson kering terdapat di ujung timur Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Tipe hutan ini berada pada lokasi yang memiliki musim kemarau berkisar antara 6-8 bulan. Curah hujan dalam setahun kurang dari 1.250 mm. Jenis pohon yang tumbuh pada hutan ini yaitu Jati dan Eukaliptus. 4. Hutan Savana Hutan savana merupakan hutan yang banyak ditumbuhi kelompok semak belukar diselingi padang rumput dengan jenis tanaman berduri. Periode musim kemarau 4 6 bulan dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun. Jenis-jenis yang tumbuh di hutan ini umumnya dari Famili Leguminosae dan Euphorbiaceae. Tipe Hutan ini umum dijumpai di Flores, Sumba dan Timor. 7. Tipe Hutan Hujan Tropis Menurut Physiognomi Pada sistem klasifikasi ini dasar yang dipakai adalah ciri-ciri luar vegetasi yang mudah dikenali dan dibedakan, seperti semak, rumput, pohon dan lain-lain. Ciri lebih lanjut seperti menggugurkan daun, selalu hijau, tinggi dan derajad penutupan tegakan dapat pula diterapkan. Ciri-ciri yang umum digunakan yaitu :
Tinggi vegetasi, yang berkaitan dengan strata yang nampak oleh mata biasa Struktur, berpedoman pada susunan stratum (A, B, C, D dan E), dan

penutupan tajuk (Coverage).


Life-form atau bentuk hidup atau bentuk pertumbuhan, merupakan individu-

individu penyusun komunitas tumbuh-tumbuhan.

Contoh a. Ciri physiognomi hutan tropis dataran rendah : Kanopi Tinggi pohon (emergent) Daun penumpu Elemen daun dominan Akar papan Kauliflori Liana berkayu Liana pada batang Ephyphit : : : : : : : : : 25 45 m Khas, 60 80 m Sering dijumpai Mesophyl Sering dijumpai dan sangat besar Sering dijumpai Sering dijumpai Sering dijumpai Sering dijumpai

b. Ciri physiognomy hutan tropis dataran tinggi/ pegunungan : Kanopi Tinggi pohon (emergent) Daun penumpu Elemen daun dominan Akar papan Kauliflori Liana berkayu Liana pada batang Ephyphit : : : : : : : : : 15 33 m Sering tidak ada Jarang dijumpai Mesophyl Jarang dijumpai dan kecil Jarang dijumpai Jarang dijumpai Sering dijumpai Sangat sering dijumpai

c. Ciri physiognomi hutan tropis pegunungan tinggi : Kanopi : 2 - 18 m Tinggi pohon (emergent) : Pada umumnya tidak ada Daun penumpu : Sangat jarang dijumpai Elemen daun dominan : Microphyl Akar papan : Pada umumnya tidak ada Kauliflori : Tidak ada Liana berkayu : Tidak ada Liana pada batang : Jarang dijumpai Ephyphit : Sering dijumpai Di Indonesia berdasarkan ciri physiognomi tedapat dua tipe hutan yaitu : Hutan Hujan Tropis, hutan yang selalu hijau dan hutan musim atau hutan yang menggugurkan daun. Hutan hujan tropis umumnya dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku bagian Utara dan Papua sedangkan hutan musim yang menggugurkan daun dijumpai di Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku bagian Selatan.

8. Tipe Hutan Hujan Tropis Menurut Sosiologi Vegetasi Tipe hutan berdasarkan sosiologi vegetasi merupakan pengklasifikasian hutan berdasarkan jenis yang dominan pada hutan tersebut atau berdasarkan famili yang dominan di daerah itu. Contoh : a)
b)

Hutan Dipterocarpaceae di Asia Tenggara, merupakan hutan tropis yang Hutan Shorea albida di Serawak, merupakan hutan tropis yang didominasi Hutan Ebony (Diospyros sp) di Sulawesi, merupakan hutan tropis yang Hutan Mahoni di Jawa, meupakan hutan musim yang didominasi oleh mahoni

umum dijumpai dan Famili yang mendominasi adalah Famili Dipterocarpaceae. jenis Shorea albida.
c)

didominasi oleh Ebony atau kayu hitam. d) di pulau Jawa.

9. Tipe-tipe Hutan Hujan Tropis pada Kondisi Khusus (Azonal) Hutan pada tipe azonal umumnya dipengaruhi oleh kondisi tanah dan air serta kondisi tempat tumbuh yang miskin hara. a) Hutan Mangrove Hutan yang berada di tepi pantai, didominir oleh pohon-pohon tropika atau belukar dari genus Rhizophora, Languncularia, Avicennia dan lain-lain. b) Hutan Gambut (Peak Forest) Hutan yang tumbuh pada tanah organosol dengan lapisan gambut yang memiliki ketebalan 50 cm atau lebih, umumnya terdapat pada daerah yang memiliki tipe iklim A atau B menurut klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson. c) Hutan Rawa (Swamp Forest) Hutan yang tumbuh pada daerah-daerah yang selalu tergenang air tawar, tidak dipengaruhi iklim. Pada umumnya terletak dibelakang hutan payau dengan jenis tanah aluvial. Tegakan hutan selalu hijau dengan pohon-pohon yang tinggi bisa mencapai 40 m dan terdiri atas banyak lapisan tajuk. 10. Tumbuhan Penyusun Hutan Hujan Tropis Tumbuhan utama penyusun hutan hujan tropis yang basah (lembab), biasanya terdiri atas tujuh kelompok utama, yaitu: a. Pohon-pohon Hutan

Pohon-pohon ini merupakan komponen struktural utama, kadang-kadang untuk mudahnya dinamakan atap atau tajuk (canopy). Kanopi ini terdiri dari tiga tingkatan, dan masing-masing tingkatan ditandai dengan jenis pohon yang berbeda. Tingkatan A merupakan tingakatan tumbuhan yang menjulang tinggi, dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Pohonpohonnya dicirikan dengan jarak antar pohon yang agak berjauhan dan jarang merupakan suatu lapisan kanopi yang bersambung. Tingkatan B merupakan tumbuhan dengan ketinggian antara 15-30 meter. Kanopi pada tingkatan ini merupakan tajuk-tajuk pohon yang bersifat kontinu (bersambung) dan membentuk sebuah massa yang dapat disebut sebagai sebuahatap (kanopi). Sedangkan tingkatan C merupakan tumbuhan dengan ketinggian antara 5-15 meter. Tingkatan ini dicirikan dengan bentuk pohon yang kecil dan langsing, serta memiliki tajuk yang sempit meruncing. Tingkatan-tingkatan kanopi hutan hujan tropis sebenarnya sukar sekali dtentukan secara pasti. Hal ini disebabkan oleh ketinggian pohon yang tidak seragam seperti telah disebutkan dalam pembagian tingkatan di atas. Pengamatan tingkatan kanopi di atas hanyalah bersifat kausal saja. b. Terna Pada bagian hutan yang kanopinya tidak begitu rapat, memungkinkan sinar matahari dapat tembus hingga ke lantai hutan. Pada bagian ini banyak tumbuh dan berkembang vegetasi tanah yang berwarna hijau yang tidak bergantung pada bantuan dari luar. Tumbuhan yang demikian hidup dalah iklim yang lembab dan cenderung bersifat terna seperti pakupakuan dan paku lumut (Selagenella spp.) dengan bagian dindingnya sebagian besar terdiri dari tumbuhan berkayu. Terna dapat membentuk lapisan tersendiri, yaitu lapisan semaksemak (D), terdiri dari tumbuhan berkayu agak tinggi. Lapisan kedua yaitu semai-semai pohon (E) yang dapat mencapai ketinggian 2 meter. Lapisan semak-semak sering mencakup beberapa terna besar sepertiScitamineae (pisang, jahe, dll.) yang tingginya dapat melebihi 5 meter. Meskipun kondisi iklim mikronya panas dan lembab, namun perkembangan terna dalam wilayah hutan hujan tropis kurang baik. Hal ini disebabkan kurangnya pencahayaan matahari untuk membantu proses fotosintesisnya. Persebaran terna yang baik terdapat pada wilayah terbuka dengan air yang cukup melimpah atau pada tebing-tebing terjal, dimana sinar matahari leluasa mencapai lantai hutan. c. Tumbuhan Pemanjat Tumbuhan ini bergantung dan menunjang pada tumbuhan utama dan memberikan hiasan utama pada hutan hujan tropis. Tumbuhan pemanjat ini lebih dikenal dengan sebutanLiana. Tumbuhan ini dapat tumbuh baik, besar dan banyak, sehingga mampu memberikan salah satu sifat yang paling mengesankan dari hutan hujan tropis. Tumbuhan ini

dapat berbentuk tipis seperti kawat atau berbentuk besar sebesar paha orang dewasa. Tumbuhan ini seperti menghilang di dalam kerimbunan dedaunan atau bergantungan dalam bentuk simpul-simpul tali raksasa (ingat dalam film Tarzan, the Adventure). Sering pula tumbuhan ini tumbuh di percabangan pohon-pohon besar. Beberapa diantaranya dapat mencapai panjang sampai 200 meter. d. Epifita Tumbuhan ini tumbuh melekat pada batang, cabang atau pada daun-daun pohon, semak, dan liana. Tumbuhan ini hidup diakibatkan oleh kebutuhan akan cahaya matahari yang cukup tinggi. Beberapa dari tipe ini hidup di atas tanah pada pohon- pohon yang telah mati. Tumbuhan ini pada umumnya tidak menimbulkan pengaruh buruk terhadap inang yang menunjangnya. Tumbuhan ini pun hanya memainkan peran yang kurang berarti dalam ekonomi hutan. Namun demikian, epfita memainkan peranan penting dalam ekosistem sebagai habitat bagi hewan. Epifit pun memainkan peranan penting dan sangat menarik untuk menunjukkan adaptasi struktural terhadap habitatnya. Jumlah jenisnya lebih beraneka ragam, biasanya melibatkan kekayaan jenis-jenis tumbuhan spora, baik dari golongan yang rendah maupun paku-pakuan dan tumbuhan berbunga termasuk diantaranya semak-semak. Kehadiran epifit dalam ukuran yang luas lagi digunakan untuk membedakan antara hutan hujan tropis dengan komunitas hutan di daerah iklim sedang. e. Pencekik Pohon Tumbuhan pencekik memulai kehidupannya sebagai epifita, tetapi kemudian akarakarnya menancap ke tanah dan tidak menggantung lagi pada inangnya. Tumbuhan ini sering membunuh pohon yang semula membantu menjadi inangnya. Tumbuhan pencekik yang paling banyak dikenal dan melimpah jumlahnya, baik dari segi jenis ataupun populasinya, adalahFircus spp. yang memainkan peranan penting baik dalam ekonomi maupun fisiognomi hutan hujan tropis. Biji-biji dari tumbuhan pencekik ini berkecambah diantara dahan-dahan pohon besar yang tinggi atau semak yang merupakan inangnya. Pada stadium ini tumbuhan pencekik masih berupa epifit, namun akar-akarnya bercabang-cabang dan menujam ke bawah melalui batang- batang inangnya hingga mencapai tanah. Kemudian batang-batang pohon itu tertutup dan terjalin oleh akar-akar tumbuhan pencekik dengan sangat kuat. Setelah beberapa waktu tertentu inang pohon pun akan mati dan membusuk meninggalkan pencekiknya. Sementara itu tajuk tumbuhan pencekik menjadi besar dan lebat. f. Saprofita

Tipe tumbuhan ini mendapatkan zat haranya dari bahan organik yang telah mati bersama-sama denganparasit-parasit. Tumbuhan ini merupakan komponen heterotrof yang tidak berwarna hijau di hutan hujan tropis. Jenis tumbuhan ini terdiri atas cendawan atau jamur (fungi), dan bakteri. Tumbuhan ini dapat membantu terjadinya penguraian organik, terutama yang hidup di dekat permukaan lantai hutan. Namun beberapa jenis anggrek tertentu, suku Burmanniaceae dan Gentianaceae, jenis-jenis Triuridaceae dan Balanophoraceae yang sedikit mengandung klorofil dapat hidup dengan cara saprofit yang sama. Tumbuhan ini banyak ditemukan pada lantai hutan yang memiliki rontokkan daundaun yang cukup tebal dan terjadi pembusukkan yang nyata. Tumpukan dedaunan tersebut dapat dijumpai pada rongga-rongga atau sudut-sudut diantara akar-akar banir pohon-pohon. g. Parasit Jenis tumbuhan ini biasanya mengambil unsur hara dari pohon inangnya untuk kelangsungan hidupnya. Tumbuhan ini hidupnya hanya untuk merugikan tumbuhan inangnya. Tumbuhan ini dapat berupa cendawan dan bakteria yang digolongkan dalam 2 sinusia penting. Pertama adalah parasit akar yang tumbuh di atas tanah dan yang kedua adalah setengah parasit (hemiparasit) yang tumbuh seperti epifita di atas pohon. Parasit akar jumlahnya sangat sedikit dan tidak seberapa penting artinya, namun bila dikaji secara mendalam akan sangat menarik sekali. Hemiparasit yang bersifat seperti epifit jenisnya sangat banyak sekali dan jumlahnyanya pun melimpah ruah serta banyak dijumpai di seluruh hutan hujan tropis. Kebanyakan hemiparasit adalah dari suku benalu (Loranthaceae). 11. Komponen Penyusun Hutan Hujan Selain Tumbuhan a. Hewan Hutan hujan menyediakan makanan untuk hewan, sehingga hutan hujan tropis di jadikan rumah bagi berbagai jenis hewan di antarnya mamalia, reptile, burung, amphibi, serangga dan ikan yang hidup di perairan hutan hujan tropis. Perairan hutan hujan tropis termasuk sungai, anak sungai, danau, dan rawa-rawa adalah rumah bagi mayoritas spesies ikan air tawar. Lembah sungai Amazon sendiri memiliki 3000 spesies yang diketahui dan kemungkinan spesies yang tidak teridentifikasi dalam jumlah yang sama. Banyak ikan tropis yang dipelihara di akuarium air tawar berasal dari hutan hujan. Ikan seperti Angelfish, Neon Tetras, Discus, dan lele pemakan ganggang berasal dari hutan hujan tropis di Amerika Selatan, sedangkan Danios, Gurameh, Siamese Fighting Fish (atau Betta), dan Clown Loach berasal dari Asia.

Kebanyakan dari hewan yang ditemukan di hutan hujan adalah serangga. Sekitar seperempat dari seluruh spesies hewan yang telah diberi nama dan dideskripsikan oleh ilmuwan adalah kumbang. Hampir 500.000 jenis kumbang diketahui ada. Karena pohonpohon yang terdapat di hutan tropis rata-rata tinggi dan permukaan tanahnya relatif sering tergenang oleh air, maka hewan yang banyak hidup di daerah hutan basah ini adalah hewanhewan pemanjat sejenis primata, seperti; gorilla, monyet, simpanse, siamang, dan primata lainnya. b. Manusia Hutan Hujan Hutan hujan tropis merupakan rumah bagi manusia pedalaman yang bergantung pada sekitar mereka untuk makanan, tempat berlindung, dan obat-obatan. Saat ini hanya sedikit manusia hutan yang hidup dengan cara tradisional; kebanyakan telah digantikan dengan para penetap dari luar atau telah dipaksa oleh pemerintah untuk menyerahkan gaya hidup mereka. Dari sisa-sisa manusia hutan yang ada, Amazon memiliki jumlah populasi yang terbesar, walau orang-orang tersebut juga telah dipengaruhi oleh dunia modern. Sementara mereka masih menggunakan hutan sebagai tempat untuk berburu dan mengumpulkan makanan, kebanyakan Ameridian, panggilan yang biasa ditujukan pada mereka, menanam hasil bumi (seperti pisang, manioc, dan beras), menggunakan barang-barang dari Barat (seperti panci, penggorengan, dan perkakas metal), dan melakukan kunjungan reguler ke kota-kota untuk membawa makanan dan barang ke pasar. Walau begitu, manusia-manusia hutan ini dapat mengajarkan banyak tentang hutan hujan pada kita. Pengetahuan mereka tentang tanaman-tanaman obat yang digunakan untuk merawat orang sakit tidak ada tandingannya dan mereka memiliki pemahaman yang luar biasa mengenai ekologi dari hutan hujan Amazon. Di Afrika terdapat penghuni hutan asli yang kadang dikenal dengan nama pygmies. Ukuran tertinggi dari orang-orang ini, juga dikenal sebagai Mbuti, jarang yang tingginya lebih dari 5 kaki. Ukuran mereka yang kecil membuat mereka dapat bergerak di dalam hutan dengan lebih efisien bila dibandingkan dengan orang yang lebih tinggi. 12. Potensi Indonesia dan Keanekaragaman Hayati Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia (The Malay Archipelago) yang memiliki 17.000 buah pulau baik yang berukuran besar ataupun kecil termasuk 6.000 yang berpenghuni dan sebagian besar lain tidak ada penduduknya. Terbenang kira-kira 5.100 km dari lautan Hindia hingga Pasifik dan memilki total luas daratan 191 juta ha yang

berasosiasi wilayah perairan317 ha dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) kira-kira 473 juta ha (KMNLH dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009). Diperkirakan di Indonesia terdapat lebih kurang 47 tipe ekosistem yang menyimpan pesohan kehidupan flora dan faunanya dengan keanekaragaman jenis yang tinggi membuat Indonesia mendapat julukan sebagai salah satu negara Megabiodiversitas di dunia. Tingginya tingkat variasi ekosistemnya di Indonesia ini disebabkan oleh karena sejarah geologi pembentukan yang berbeda di antara pulau-pulau di Indonesia, variasi iklim dari berbagai timur yang kering dan distribusi flora dan fauna yang ada di dalamnya. Hasil proses ini tercermin dalam keragaman ekosustem dan taksa tumbuhan yang terdapat di wilayahnya. Menurut berbagai publikasi ilmiah yang ada hingga saat ini jumlah spesies hewan untuk taksa yang sudah diketahui dan jumpal spesies endemik untuk masing-masing taksa tercermin dalam beberapa fakta sebagai berikut : 515 spesies mamalia besar (39 % endemik) 511 spesies reptilia (29 % endemik) 1.531 spesies avifauna (26 % endemik) 270 spesies amfibia (37 % endemik) 35 spesies primata (18 % endemik) 121 spesies kupu-kupu (44 % endemik) (Sumber BAPPENAS dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009) Secara biogeografi, Indonesia bersama Filipina, Malaysia, Singapore, Papua New Guinea, Kepulauan Pasifik termasuk ke dalam kawasan ini dirumuskan berdasarkan perhitungan statistik penyebaran marga tumbuhan. Banyak marga yang batas penyebarannya berhenti pada tempat-tempat tertentu yang disebut simpul demarkasi yang membatasi kawasan Malesia. Sumpul utama terletak antara Australia dan Irian. Sisini penyebaran 964 marga tidak daoat menyebrang Selat Torres. Dari jumlah ini 2/3 (644 marga) terletak di Irian, dan hanya sepertiganya (375) terletak di Australia. Hal ini menunjukkan bahwa flora Malesia mengandung lebih banyak unsur-unsur flora Asia dari pada Flora Australia. Simpul-simpul lainnya terletak antara Filipina dan Taiwan (686 marga) dan antara Malesia dan Taiwan (575 marga). Sehingga demikian Malesia adalah kawasan fitogeografi yang khas, yang 40% dari marga yang dikandungnya tidak terdapat di luar kawasan ini. Dalam hal keanekaragaman jenis tmbuhan Indonesia menduduki peringkat lima besar di dunia yaitu menduduki peringkat lima besar di dunia yaitu memiliki lebih dari 38.000 species tumbuhan (55% endemik) jumlah ini sama dengan 10% flora di dunia, menenpati

urutan pertama dalam daftar keanekaragaman jenis Palm (477 spesies : 225 spesies endemik) di dunia, lebih dari setengah dari seluruh spesies (350) pohon penghasil kayu bernilai ekonomi penting dari famili Dipterocarpaceaea terdapat di Indonesia, 267 jenis diantaranya di Kalimantan (60% endemik). 106 jenis (10% endemik) di Sumatera. Suku tumbuhan yang lainnya yang terbesar adalah Orchidaceae (angrek-anggrejan) yang diperkirakan yang diperkirakan mempunyai 3.000-4.000 soesies. Marga lainnya adalah Eugenia (Myrtaceae) yang mengandung sekitar 500 jenus dan Rhododendron 287 jenis (van Balgooy dan Jacobs dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009). Keunikan lainnya dari Indonesia adalah tingginya tingkat endemisitas di beberapa wilayah seperti Kepulauan Mentawai dan Sulawesi. Pulai Sulawesi merupakan pulau pentinf di Indonesia karena secar biogeografi pulau ini terletak dalam subregion biogeografi Wallacea yaitu suatu wilayah yang unik karena merupakan kawasan peralihan antara Benua Asia dan Australia dan memiliki keanekaragaman hayato dengan tingkat endemisitas yang tinggi. Diperkirakan 15% dari tumbuhan berbunga di Sulawesi adalah endemik (Whitten, Ramadhanil dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009). Kekayaan jenis total Sulawesi endemisitasnya dapat dibandingkan dengan pulaupulau lainnya di Indonesia seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Papua New Guinea walauun sangat berbeda dari segi sejarah geologi Sulawesi terletak pada jarak yang paling jauh dari daratan Utama. Sedangkan pulau-pulau seperti Sumatra, Jawa, dan Kalimantan diperkirakan pernah bersatu dengan daratan utama Asia. Sementara itu Sulawesi sudah terisolasi dalam waktu yang lama dari dataran utama dan pulau tersebut oleh selat yang sangat dalam. Diperkirakan 15% dari total tumbuhan berbunga Sulawesi adalah endemic. 13. Hutan Tropis Indonesia, Keanekaragaman Hayatinya, dan Hubungannya dengan Pemenasan Global, dan Perubahan Iklim Proses deforestasi (penghancuran) dan berukuran luas hutan tropis akibat ulah manusia sudah berada pada titik uang amat membahayakan. Diperkirakan antara tahun 1990 dan 1997, sebanyak 5,8 +/- 1,4 juta ha (0.5%) dari hutan hujan tropis hilang setiap tahunnya (Laurence dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009). Berdasarkan pemetaan terakhir terhadap tutupan kanopi hutan di Indonesia, Ministry of Forestry (MOF) mengatakan bahwa laju deforestation di Indonesia diperkirakan berlipat ganda antara tahun 1985 dan 1997 dari kurang 1 (satu) juta ha hingga 1,7 juta ha tiap tahun, dimana Sulawesi kehilangan 20% dari hutannya dalam periode ini (Holmes, dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009).

Kerusakan hutan tropis di dunia sangat menghawatirkan, sebab hutan tropis merupakan paru-paru dunia yang mampu mentransformasikan karbondioksida dan merubahnya menjadi oksigen dan gula glukosa. Bila hutan tropis hancur, maka nisa dibayangkan seluruh dunia akan terkena dampaknya. Dewasa ini tiap tahun menurut World Bank 10 sampai 20 juta Ha hutan tropis hancur, sedangkan di Indonesia sendiri diperkirakan antara 600-2,5 juta ha hutan tropis Indonesia musnah, padahal hutan tropis merupakan ekosistem yang sangat penting bagi bumi, karena sebagai besar makhluk hidup di bumi berada pada hutan tropis. Rusak dan hancurnya hutan tropis terutama di Indonesia adalah disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia yang merupakan biang penyebabnya. Aktivitas manusia tersebut adalah adanya kegiatan pembalakan (logging) baik yang legal ataupun melalui pencurian (pembalakan liar) yang sering dikenal sebagai illegal logging. Menurut Alikodra dalam dalam Ramadanil dan Elijonnahdi (2009) bahwa akhir-akhir ini di Indonesia tak ada lagi hutan yang terbebas dari pencurian kayu, tak terkecuali hutan lindung dan hutan konservasi. Salah satu penyebab maraknya pencurian kayu atau penebangan liar di negara tercinta ini adalah rendahnya kualitas moral/karakter bangsa (akhlak). Selanjutnya dicontohkan oleh Alikodra dalam Ramadanil dan Elijonnahdi (2009) pencurian kayu secara besar-besaran yang terjadi di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur yang penadanya adalah oknum pengusaha dari negara tetangga Malaysia. Tercatat sebesar 690.000 meter kubik tiap tahun kayu liar hasil jarahan yang diseludupkan secara ilegal ke negeri jiran tersebut. Penyebab lain hilangnya hutan tropis Indonesia dan keanekaragaman hayati adalah akibat kegiatan perubahan fungsi hutan misalnya adanya pertambangan, maraknya dan pesatnya konversi hutan menjadi peruntukan lain seperti Perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran. Sebagai sebuah perbandingan Sumatra dan Kalimantan telah kehilangan sebagian besar hutan tropis dataran rendahnya dan dikonversi menjadi kebun sawit dan karet. Disamping itu faktor kebakaran baik yang terjadi secara alami ataupun yang sengaja juga merupakan salah satu penyebab hancurnya hutan. Hasil atau musnahnya hutan tropis sudah pasti akan menimbulkan dampak yang besar terhadap kehidupan misalnya punahnya keanekaragaman hayati, terjadinya bencana alam banjir, longsor, terbatasnya kesediaan air bersih, kekeringan air bersih, kekeringan, dan lain sebagainya. Secara global akhir-akhir ini disarankan pula terjadi fenomena yang disebut pemansan global (global warning) yang disebabkan oleh terjadi kenaikan suhu bumi. Dalam peringatan hari bumi tanggal 22 April 200, majala Time menurunkan edisi khusus tentang bumi yang makin panas dan rusak. Meningkatnya pemanasan global sungguh sangat memprihatinkan

masa depan bumi dan kehidupan manusia sebagai mahluk utama penghuni bumi. Seperti diberitahukan bahwa pemanasan global adalah meningkatnya konsentrai gas-gas yang dapat menimbulkan efek rumah kaca (green house effect) seperti karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NO), metana (CH4) dan chlorofluorocarbon (CFCs). Meningkatnya konsentarasi gas-gas tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi pertambangan penduduk bumi (baca : meningkatnya pula kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang harus dipenuhi, yang kesemuanya akibat meningkatnya konsentrasi ketiga gas terbebut). Sedangkan meningkatnya CFCs semata-mata karena makin meningkatnya kebutuhan tersier manusia seperti alat pendingin (kulkas), AC, plastik dan lain-lain. Di sisi lain gas CFC sangat membahayakan bumi karena dapat menghancurkan lapisa ozon di stratosfir yang berfungis menahan sinar ultraviolet yang dipancarkan matahari. Dalam kaitannya dengan keanekaragaman hayati, pemanasan global akan berdampak pada perubahan dalam kisaran penyebaran, meningkatnya tingkat kelangkaan, perubahan waktru reproduksi dan lamanya musim tanam. Laporan IPCC (International Panel on Climate Change) pada april 2007 tentang dampak, kerentanan dan adaptasi perubahan iklim mengemukakan bahwa kurang lebih 20-3-$ tumbuhan dan hewan akan mengalami resiko kepunahannya jika terjadi kenaikan temperatur global rata-rata di atas 1,5 2,5 C, yang diperkirakan pada tahun 2100, 2/3 ari spesies yang ada di bumi akan hilang. Pada belahan bumi lain, para ilmuan melihat adanya penciran salju di puncak gunung dan kutub, padahal puncak gunung dan kutub berperan penting dalam menstabilkan musim dan ekologi bumi. Pencairan es di kedua tempat tersebut akan menaikkan permukaan air laut. Akibatnya dapat mengacaukan sirkulasi angin, dan akhirnya mengacaukan iklim (perubahan iklim). Tim ahli juga menunjukkan daerah-daerah paling rawan diterjang banjir adalah sepanjang pantai selatan Mediterania, pantai barat Afrika, Asia Selatan (India, Bangladesh, Srilangka, Meldives), Asia Tenggara, pantai Pasifik dan laut Indonesia. Sebagian besar kawasan tersebut merupakan negara-negara miskin yang padat penduduknya dalam (Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009). 14. Upaya Penyelamatan Ekosistem Hutan Tropis dan Keanekaragaman Hayati Berbagai upaya baik pada skala lokal, nasional ataupun internasional telah dilakukan untuk mengatasi persolana konservasi semberdaya alam dan lingkungannya. Di Indonesia sendiri upaya konservasi sudah dimulai sejak 1880, yaitu sejak masa penjajahan dengan ditetapkan sebuah cagar alam di Depok. Namim konsepsi secara menyeluruh bagi usahausaha konservasi sumberdaya alam termasuk hutan hidup baru dimuial pada Pelita III dua

bulan sebelum diumumkannya Strategi Konservasi dunia, yaitu dengan dibentuknya Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pertanian dan Menteri Negara PPLH pada tanggal 20 Agustus 1980 tentang pembentukan Tim Pengarah Alam (Direktoral Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam RI 1998). Dengan dikeluarkan Strategi Konservasi Dunia (World Conservasion Strategy/WCS) oleh IUCN (International Union of Conservasion Nation) tahun 1980, Indonesia menyusun strategi konservasinya sejalan, dengan strategi konservasi dunia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor Tahun 1990, strategi konservasi yang ada sekarang ini dapat diikhtisiarkan sebagai berikut : 1. Perlindungan proses-proses ekologis yang penting dalam menyangga kehidupan Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi usaha-usaha dan tindakantindakan yang berkaitan dengan : a. Perlindungan daerah-daerah pegunungan yang belereng curam dan mudah tererosi yaitu dengan membentuk hutan-hutan b. Perlindungan daerah pantai dengan pengelolaan yang terkendali bagi daerah hutan bakau dan hutan pantai serta daerah hamparan karag c. Perlindungan daerah aliran sungai, lereng perbukitan dan tepi-tepi sungai, danau, ngarai, dengan pengelolaan yang terkendali terhadap vegetasi d. Pengembangan daerah-daerah hutan luas seperti misalnya dijadikan mintaka rimba di dalam Taman Nasional, Suaka Margasatwa, dan Cagar Alam e. Perlindungan tempat-tempat yang memiliki nilai unik, keindahan alam yang sangat menarik atau ciri-ciri khas alam atau budaya daerah tersebut f. Mengadakan analisa mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai suatu syarat mutlak untuk melaksanakan semua rencana pembangunan 2. Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah dan habitatnya Terdiri dari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Unsur-unsur hayati (manusia, tumbuhan, satwa, dan jasad renik) dan unsur-unsur non hayati (air, udara, tanah, dan zat hara). Upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan habitatnya telah dilakukan berupa : a. Di dalam kawasan Konservasi (in-situ) : perlindungan yang diberikan untuk semua habitatnya berupa kawasan Suaka Alam, Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Lindung, Taman Hutan Raya, dan lain-lain.
b.

Di luar kawasan (esk-situ) : upaya konservasi yang dilakukan di luar habitat

aslinya seperti : Kebun raya, Arboretum, Kebun Binatang, dan Taman Safari (Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009).

BAB III KESIMPULAN Hutan hujan Tropika (Tropische Regenwald) merupakan istilah yang digunakan pertama-tama oleh Schimper tahun 1903 dalam bukunya Plant Geography, istilah ini sudah dibakukan dan digunakan sampai sekarang (Whitmore dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009). Penyebaran hutan hujan tropika di dunia adalah pada negara-negara yang terletak pada posisi antara 23,5 LU dan 23,5 LS yang meliputi tiga kawasan yaitu : pertama, di Amerika Selatan yang berpusat di lembah sungai Amazon Brazilia, meliputi daerah seluas sekitar 400 juta hektar. Lokasi kedua adalah kawasan hutan Indo-Malaya dengan luas sekitar 250 juta hektar dan lokasi ke tiga adalah kawasan hutan Afrika Barat yang terpusat di Lembah sungai Congo/Zaire sampai teluk Guyana dengan luas kawasan sekitar 180 juta hektar (Myers dan Whitmore dalam Ramadanil dan Elijonnahdi, 2009). Tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari pantai. Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau. Keanekaragaman spesies tumbuhan dan binatang yang ada di hutan hujan tropis sangat tinggi. Jumlah spesies pohon yang ditemukan dalam hutan hujan tropis lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada ekosistem yang lainnya. Misalnya, hutan hujan tropis di Amazonia mengandung spesies pohon dan semak sebanyak 240 spesies. Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tumbuh-tumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan. Itu semua merupakan ciri umum bagi ekosistem hutan hujan tropis. Selain ciri umum yang telah dikemukakan di atas, masih ada ciri yang dimiliki ekosistem hutan hujan tropis, yaitu kecepatan daur ulang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan unsur hara. Jadi, faktor pembatas di hutan hujan tropis adalah cahaya, dan itu pun hanya berlaku bagi tumbuh-tumbuhan yang terletak di lapisan bawah. Dengan demikian, herba dan semak yang ada dalam hutan adalah spesies-spesies yang telah beradaptasi secara baik untuk tumbuh di bawah naungan pohon.

DAFTAR PUSTAKA http://muherda.blogspot.com/2011/12/ekosistem-hutan-hujan-tropis.html 29/01/2013 diakses tanggal

http://muazgacui.blogspot.com/2011/06/makalah-ekologi-umum-bioma-hutan-hujan.html diakses 29/01/2012 Pitopang, R., Elijonnahdi, (2009), Hutan Tropis Indonesia, Keanekaragaman Hayati, dan Kaitan dengan Pemanasan Global, Biocelebes, Juni 2009, hl.01-09, vol. 01-03 Wiharto, M., (2010), Produktivitas Vegetasi Hutan Hujan http://world.mongabay.com/indonesian/indonesian.pdP diakses 29/01/2012 Tropis.

You might also like