You are on page 1of 43

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dilalui jalur khatulistiwa dan tentu beriklim tropis sehingga mempunyai ragam jenis flora dan fauna yang cukup banyak. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia sumber daya alam yang melimpah, daratan yang terbentang hutan yang luas, serta laut yang terhampar lebar. Iklim tropis dan kesuburan tanah Indonesia berimplikasi kepada flora khas, yang hanya terdapat di Indonesia. Salah satu contohnya adalah jengkol, petai, kumis kucing serta tanaman lain yang endemik Indonesia. Jengkol termasuk tanaman endemik Indonesia yang banyak diolah menjadi bahan pangan yang terkenal dengan baunya yang menyengat. Dan banyak yang mengangap rendah kandungan jengkol karna tidak mengatahui kandungan zat aktif dalam jengkol, serta minimnya penelitian tentang kandungan zat aktif pada jengkol. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang maka perlunya mengetahui kandungan senyawa aktif, maka hal ini perlu untuk diteliti. 1.3 Hipotesis Jengkol banyak mengandung kandungan zat aktif karena mempunyai bau yang menyengat yang sama halnya dengan tanaman yang mempunyai bau khas berfungsi sebagai perlindungan diri dan atau penarik mangsa. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk memenuhi tugas mata kuliah praktikum Kimia Bahan Alam, serta untuk melatih dan membudayakan penelitian sejak dini di lingkungan prodi kimia. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini untuk memberikan informasi kepada masyarakat umumnya , serta mencari kandungan yang bermanfaat sebagai obat suatu penyakit atau solusi dari suatu masalah yang ada.

Kimia Bahan Alam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jengkol Jengkol merupakan tanaman khas Asia Tenggara yang umumnya bijinya diolah menjadi makanan. Tanaman jengkol termasuk tanaman endemik Indonesia dari berbagai tanaman endemik yang ada. Ciri khas yang jengkol adalah baunya yang cukup menyengat hidung sama halnya dengan buah durian. Di Indonesia setiap daerah mengenal jengkol dengan berbagai nama yang berbeda-beda, hal ini karena keragaman suku, serta budaya Indonesia. 2.1.1 Nama lain dan taksonomi jengkol Jengkol di beberapa daerah di Indonesia dikenal dengan nama jengkol (jawa dan betawi), kicaang, jengkol (sunda), blandingan (bali), jering, jiring (melayu), jaring (banjar), jaawi, jaring (lampung) dan lubi (sulawesi). Sedangkan dalam bahasa latin (nama ilmiah) tanaman ini dinamkan Archidendron pauciflorum. Adapun secara taksonomi diuraikan sebagai berikut: Kerajaan Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies 2.1.2 : Plantae : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Fabales : Fabaceae : Archidendron : Archidendron pauciflorum

Anatomi dan persebaran Tanaman jengkol berupa pohon yang tingginya dapat mencapai 10-26

meter. Jengkol termasuk tanaman polong-polongan, buahnya berupa polong dan bentuknya gepeng berbelit, berwarna lembayung tua. Biji buah berkulit ari tipis dengan warna coklat mengkilat. Setelah tua bentuk buanhya menjadi cembung dan ditempat yang mengandung biji ukurannya membesar. Pada setiap polong dapat berisi 5-7 biji jengkol. Jengkol adalah tumbuhan khass wilayah Asia Tenggara yakni Indonesia, Malaysia, serta Thailand. Tumbuhan ini cocok di daerah khatulistiwa karena jengkol baik di daerah dengan musim kemarau yang sedang sampai keras. 2.1.3 Kegunaan dan manfaat Jengkol umumnya banyak digemari untuk digunakan sebagai bahan pangan di Indonesia, Malaysia dan Thailand. Mentah maupun melalui proses
Kimia Bahan Alam

pengolahan jengkol dapat dimakan menjadi lalapan, semur jengkol, hingga dijadikan kripik. Jengkol memiliki khasiat mencegah diabetes dan baik untuk kesehatan jantung. Berdasarkan penelitian Soemitro (1987) senyawa akti dalam kulit halus buah cenderung menunjukkan efek penurunan kadar gula darah yang besar sehingga baik untuk penderita diabetes. 2.1.4 Kandungan zat aktif dan gizi Dari kandungan gizinya jengkol meruapakn tanaman yang tidak dapat dianggap rendah. Vitamin dapat sebagai sistem imun (kekebalan), fosfor dan kalsium berguna dalam pertumbuhan tulang, serta kandungan zat besi dapat mencegah penyakit animia. Adapun kandungan lainnya yang terdapat dalam jengkol seperti alkoloid, minyak atsiri, steroid, glikosida, tanin dan saponin dalam jumlah yang tidak cukup besar serta asam jengkolat. Kandungan gizi biji jengkol dalam 100 gram biji jengkol Komposisi Gizi per 100 gram Biji Jengkol Zat Gizi Energi (kkal) Protein (gr) Karbohidrat (gr) Vitamin A (SI) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Fosfor (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Air (mg)
Tabel 1

Kadar 133 23,3 20,7 240 0,7 80 166,7 140 4,7 49,5

2.2 Distilasi Distilasi (penyulingan) adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau padatan dari dua macam atau lebih, yang berdasarkan perbedaan titik uapnya dan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut (Guanther, 1987). Terdapat tiga jenis penyulingan air sederhana antara lain penyulingan air (water distillation), penyulingan dengan uap dan air (water and steam distillation) dan penyulingan dengan uap langsung (steam distillation). Proses distilasi banyak dignakan dalam bahan alam untuk mendapatkan kandungan minyak atsiri.

Kimia Bahan Alam

2.3 Ekstraksi Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu komponen yang diinginkan dalam suatu campuran, biasanya digunakan pelarut tetapi juga dapat dengan cara mekanis (pemerasan). Pemisahan terjadi atas dasar kemampuan kelarutan yang berbeda dari komponen-koomponen yang terdapat di dalam campuran (Bernasconi, et.al, 1987). Menurut Lenny (2006), secara umum ekstraksi senyawa metabolit sekunder dari seluruh bagian tumbuhan, seperti bunga, buah, daun, kulit batang, dan akar dapat menggunakan maserasi metanol. Beberapa metode ekstraksi senyawa organik bahan alam yang umum digunakan pada penelitian adalah sebagai berikut : 2.3.1 Maserasi Maserasi merupakan proses ekstraksi yang cukup terkenal, sebelum dikenalnya proses menggunakan pelarut yang bersifat volatil. Menurut Guenther (1987), maserasi adalah proses perendaman sampel dengan pelarut organik yang digunakann pada temperatur ruang. Adapun proses maserasi senyawa bahan alam dapat dilihat pada gamba 2.3.2 Sokletasi Menurut Sudjadi (1986), sokletasi merupakan metode penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara serbuk sampel ditempatkan dalam selongsong berupa kertas saring sedemikian rupa, cairan pelarut dipanaskan dalam labu alas bulat sehingga menguap dan dikondensasikan oleh kondensor menjadi molekul-molekul cairan penyari yang jatuh ke dalam selongsong menyari zat aktif di dalam sampel dan jika pelarut telah mencapai permukaan sifon, maka seluruh cairan akan tturun kembali ke labu bulat melalui pipa kapiler hingga terjadi sirkulasi. Proses ini akan berlangsung terus menerus secara otomatis sampai ekstraksi sempurna. Ekstraksi sempurna ditandai bila cairan di kertas selongsong tidak berwarna, tidak tampak noda jika di KLT, atau sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. 2.3.3 Perkolasi Perkolasi merupakan melewatkan pelrut organik pada sampel sehingga pelarut akan membawa senyawa organik bersama-sama pelarut. Pada prinsipnya, serbuk sampel ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Kemudian cairan pelarut dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut sehingga akan melarutkan zat aktif (Lestari, 2008)

Kimia Bahan Alam

2.4 Minyak Atsiri Minyak atsiri bukanlah senyawa murni, akan tetapi campuran senyawa organik yang kadangkala terdiri dari 25 senyawa atau komponen yang berlainan.penyelidikan kimia menunjukkan bahwa sebagian besar komponen minyak atsiri adalah senyawa yang hanya mengandung karbon dan hidrogen,atau karbon, hidrogen ,dan oksigen yang tidak bersifat aromatik .senyawa ini secara umum disebut terpenoid( achmad,1986) Fraksi yang paling mudah menguap ,hasil penyulingan terfraksi minyak atsiri,terdiri dari senyawa-senyawa terpenoid yang mengandung 10atom karbon,dikenal sebagai kelompok monoterpen dan 15 atom karbon yang dikenal dengan kelompok senyawa seskuiterpen. Kandungan senyawa monoterpen dalam minyak atsiri diantaranya adalah geraniol(1) dan sistronelal(2) dalam minyak sereh (Andropogon nardus),nerol(3) dalam minyak neroli (Nerolia sp),ddan linalol(4) dalam minyak mawar (Rosa gallica) limonen (5) dalam minyak jeruk (Citrus aurantifolia),karvon (6) dalam minyak adas (Funculum vulgarae) dan minyak jintan (Cuminum cyminum ) dan mentol(7) dalam minyak kayu putih (Melalauca leucadendron) Distilasi (penyulingan) adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau padatan dari dua macam atau lebih .berdasarkan perbedaan titik uapnya dan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut(Guenther,1987). Terdapat tiga jenis penyulingan air yang sederhana antara lain penyulingan air (water distillation),penyulingan dengan uap dan air (water and steam distillation) dan penyulingan dengan uap langsung(steam distillation) .
OH CH2OH

COH

CH2OH

OH

Gambar 2 (struktur minyak atsiri)

Kimia Bahan Alam

2.5 Uji Senyawa Bahan Alam 2.5.1. Uji Fitokimia Fitokimia berasal dari kata phytochemical. Phyto adalah tumbuhan dan

chemical adalah zat kimia. Dengan demikian fitokimia merupakan zat kimia alami yang terdapat di dalam tumbuhan dan dapat memberikan rasa, aroma atau warna pada tumbuhan itu. Senyawa fitokimia tidak termasuk ke dalam zat gizi karena bukan karboohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral maupun air. Sehingga saat ini sudah sekitar 30.000 jenis fitokimia yang ditemukan dan sekitar 10.000 terkandung dalam makanan (Arnelia,2004). Secara garis besar, fitokimia terdiri dari alkoloid, flavonoid, terpenoid, steroid, saponin, kuinon, dan tanin. 2.5.2. Uji Sifat Fisik Minyak Atsiri Indeks bias adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan sinus datang dengan sinus sudut bias yang emlewati suatu media (Hermanto,2006). Jika cahaya melewati media kurang padat ke media lebih padat maka sinar akan membelokkan atau membias dari garis normal. Jika e adalah sudut sinar pantul dan i adalah sudut sinar datang maka menurut hukum pembiasan Sin i = N Sin e n Dimana n adalah indeks bias media kurang padat dan N adalah indeks bias media lebih padat(Guenther,1987) 2.5.2.2 Massa jenis Nilai massa jenis minyak atsiri berkisar antara 0,696-1,188 pada suhu 15C.Nilai massa jenis minyak atsiri pada suhu 15oC/15oC didefinisikan sebagai perbandingan antara berat minyak pada suhu 15o C dengan berat air pada volume air yang sama dengan volume minyak pada suhu 15oC(Guenther,1987) 2.5.2.3 Kelarutan dalm etanol Kelarutan sampel dalam etanol absolut atau etanol yang diencerkan yang menimbulkan kekeruhan dan dinyatakan sebagai larut sebagian atau larut seluruhnya .Hal ini menunjukkan bahwa sampel tersebut membentuk larutan yang bening dan cerah.

2.5.2.1 Indeks bias

Kimia Bahan Alam

2.5.3.

Uji Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan

mencegah terjadinya reaksi oksidasi. Winarno (1992) menyatakan antioksidan adalah senyawa yang dapat menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Mekanisme kerja antioksidan yaitu : a. Pemberi atom hidrogen (antioksidan primer) senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil dibanding radikal bebas b. Memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai makanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil. Contoh antioksidan lainnya adalah vitamin C. Vitamin C merupakan suatu senyawa asam L-askorbat dan memiliki fungsi yang beragam. Selain sebagai antioksidan, vitamin C juga memiliki fungsi sebagai proantioksidan, pengikat logam, pereduksi, dan penangkap oksigen. Vitamin lainnya yang memiliki fungsi antioksidan adalah vitamin E. Vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan memiliki sifat antioksidan yang cukup kuat. Vitamin E berfungsi untuk memproteksi sel-sel membrane dari proses oksidasi, membantu memperlambat penuaan, dan melindungi tubuh dari kerusakan sel yang dapat menyebabkan penyakit kanker (Tuminah 2000). Antioksidan pada umumnya mengandung struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzena tidak jenuh disertai gugusan hidroksi atau gugusan amino (Ketaren 2008). Antioksidan berdasarkan gugus fungsinya dibagi atas tiga golongan yaitu golongan fenol, amin, dan amino-fenol. Adapun penggolongan antioksidan tersebut menurut Ketaren (2008) sebagai berikut: a) Antioksidan golongan fenol Antioksidan yang termasuk dalam golongan ini biasanya mempunyai intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak berwarna. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan sintetis. Beberapa contoh antioksidan yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon, gosipol, katekol, resorsinol, dan eugenol. b) Antioksidan golongan amin Antioksidan yang mengandung gugus amino atau diamino yang terikat pada cincin benzena biasanya mempunyai potensi tinggi sebagai antioksidan, namun beracun dan umumnya menghasilkan warna yang intensif jika dioksidasi atau bereaksi dengan ion logam. Senyawa golongan ini juga stabil terhadap panas serta

Kimia Bahan Alam

ekstraksi dengan kaustik. Beberapa contoh antioksidan golongan ini adalah N,N difenil p-fenilenediamin, difenilhidrazin, difenilguanidin, dan difenil amin. c) Antioksidan golongan amino-fenol Antioksidan golongan ini biasanya mengandung gugus fenolat dan amino yang merupakan gugus fungsional penyebab aktivitas antioksidan. Golongan ini banyak digunakan dalam industry petroleum untuk mencegah terbentuknya gum dalam gasolin. Contoh antioksidan golongan ini yaitu N-butil-p-amino-fenol dan Nsikloheksil-p-amino-fenol. Jenis antioksidan sangat beragam. Menurut Gordon (1990), berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi antioksidan primer (chain breaking antioxidant) dan antioksidan sekunder (preventive antioxidant). Antioksidan primer dapat bereaksi dengan radikal lipid dan mengubahnya menjadi bentuk yang lebih stabil. Sebuah senyawa dapat disebut sebagai antioksidan primer apabila senyawa tersebut dapat mendonorkan atom hidrogennya dengan cepat ke radikal lipid dan radikal antioksidan yang dihasilkan lebih stabil dari radikal lipid atau dapat diubah menjadi produk lain yang lebih stabil. Adapun antioksidan sekunder adalah antioksidan pencegah yang berfungsi menurunkan kecepatan inisiasi dengan berbagai mekanisme, seperti melalui pengikatan ion-ion logam, penangkapan oksigen, dan penguraian hidroperoksida menjadi produk-produk non radikal. Pada dasarnya, tujuan antioksidan sekunder adalah mencegah terjadinya radikal yang paling berbahaya yaitu radikal hidroksil. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi (Ketaren 2008) yaitu: a) Pelepasan hidrogen dari antioksidan. b) Pelepasan elektron dari antioksidan. c) Adisi lemak ke dalam cincin aromatic pada antioksidan. d) Pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan. Antioksidan yang mempunyai fungsi sebagai pemberi atau pelepas atom hidrogen sering disebut sebagai antioksidan primer. Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi dan propagasi. Rasikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipid baru. Radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk produk non radikal
Kimia Bahan Alam

antioksidan (Gordon 1990). Reaksi penghambatan radikal bebas oleh antioksidan pada tahap inisisasi dan propagasi dapat dilihat dibawah ini : Inisiasi Propagasi R* AH A* : Radikal lipida : antioksidan : radikal antioksidan yang terbentuk : R* ditambah AH RH : ROO* ditambah AH ROOH

ROO* : radikal peroksida

ROOH : hiperoksida Aktivitas antioksidan dapatt diukur dengan metode DPPH. Menurut Miller et al.(2000) metode DPPH merupakan salah satu metode untuk menganalisa aktifitas antioksidan yang sederhana dengan menggunakan 1,1-diphenyl-2pircylhidrazil (DPPH) sebagai senyawa pendeteksi. Simanjuntak et al (2000) mengemukakan bahwa DPPH adalah senyawa radikal yang bebas yang dapat bereaksi dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi. Pada metode DPPH free radical scaverging activity, DPPH digunakan sebagai model radikal bebas. Jika senyawa ini masuk ke dalam tubuh manusia dan tak terkendali dapat menyebabkan kerusakan fungsi sel. Dalam uji ini, metanol digunakan sebagai pelarut, antioksidan dalam zat ini diekstrak akan beraksi dengan DPPH dan mengubahnya menjadi 1,1-diphenyl-2-pircrylhydrazine. Perubahan serapan yang dihasilkan oleh antioksidan oleh reaksi ini menjadi ukuran kemampuan antioksidan dari bahan tersebut (Hatano et al.1988). 2.5.4. Uji Antibakteri Antibakteri adalah zat yang menghambat pertumbuahan bakteri dan digunakan secara khusus untuk mengobati infeksi (Giani, 2007). Menurut Suanti (2007), mekanisme kerja antibakteri dapat terjadi melalui lima cara, yaitu penghambatan sintesis dinding sel, perubahan permeabilitas, perubahan molekul asam nukleat, penghambatan kerja enzim, dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein. Pengujian aktivitas antibakteri adalah teknik untuk mengukur berapa besar potensi atau konsentrasi suatu senyawa dapat memberikan efek bagi mikroorganisme (Dart, 1996). Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada zat yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri yang dikenal sebagai bakteriostatik dan yang bersifat membunuh bakteri yang dikenal sebagai bakterisida (Ganiswarna, 1995)

Kimia Bahan Alam

Pengujian antibakteri dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: a. Metode Dilusi Pada metode ini, zat antibakteri yang akan diuji dicampurkan dengan medium yang kemudian diinokulasi dengan bakteri uji. Dasar pengamatannya adalah dengan melihat ada atau tidaknya pertumbuahan bakteri. b. Metode Difusi Agar Metoda difusi agar adalah suatu prosedur yang bergantung pada difusi senyawa antibakteri ke dalam agar. Kerjanya dengan mengamati daerah yang bening, yang mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh antibakteri pada permukaan media agar (Jawetz et al., 2005). Pada metode ini, aktivitas antibakteri ditentukan dengan berdasarkan atas kemampuan berdifusi pada lempengan agar yang telah diinokulasi dengan bakteri. Dasar pengamatannya adalah melihat ada tidaknya zona hambat yang terbentuk pada pertumbuhan bakteri uji. Metoda difusi ini dibagi atas beberapa cara (Pratiwi, 2008): 1. Cara silinder plat Cara ini dengan memakai alat pecadang berupa silinder kawat. Pada permukaan media pembenihan dibiakkan mikroba secara merata lalu diletakkan pencadang silinder harus benar-benar melekat pada media, kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Setelah inkubasi, pencadang silinder diangkat dan diukur daerah hambat pertumbuhan bakteri. 2. Cara cakram Cakram kertas yang berisi antibiotik diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. 3. Cara cup plat Cara ini juga sama dengan cara cakram, dimana dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi antibiotik yang akan di uji. c. Bioautografi Bioautografi merupakan metode untuk mengevaluasi campuran antibakteri yang ebrupa bercak pada kromatogram hasil TLC. Ada dua metode uji bioautografi yaitu: 1. Bioautografi Langsung: Bioautografi TLC pada permukaan media agar. 2. Bioautografi Overlay: Bioautografi yang dilakukan dengan cara menuangkann media agar bakteri di atas permukaan plat TLC. langsung dilakukan dengan cara menyemprotkan plat TLC dengan suspensi bakteri atau dengan menyentuh plat

Kimia Bahan Alam

10

B. Mikrobiologi Staphylococcus aureus Divisi Subdivision Ordo Familia Genus : Protophyta : Schizomycetea : Eubacteriales : Micrococceae : Staphylococcus

Classes : Schizomycetes

Spesies : Staphylococcus aureus (Salle, 1961). Staphylococcus aureus mudah tumbuh pada kebanyakan pembenihan bakteriologik, dalam keadaan aerobik atau mikroaerobik, tumbuh paling cepat pada suhu kamar 37oC, paling baik membentuk pigmen pada suhu kamar (20oC) dan pada media dengan pH 7,2-7,4. Koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat, halus menonjol dan berkilau-kilau membentuk pigmen (Jawetz et al., 1991). S. aureus berbentuk sferis, bila menggerombol dalam susunannya agak rata karena tertekan. Diameter kuman antara 0,8-1,0 mikron. Susunan gerombolan tidak teratur biasanya ditemukan pada sediaaan yang dibuat dari pembenihan padat, sedangkan dari pembenihan kaldu biasanya ditemukan tersendiri atau tersusun sebagai rantai pendek (Karsinah, dkk.,1994). Setiap jaringan atau alat tubuh dapat diinfeksi oleh bakteri S. aureus dan menyebabkan timbulnya penyakit dengan tanda-tanda khas, yaitu peradangan dan pembentukan abses (Karsinah, dkk.,1994). S. aureus dapat menyebabkan pneumonia, meningitis, endokarditis dan infeksi kulit (Jawetz et al., 2001). 2.5.5. Uji Toksisitas Toksisitas dari suatu senyawa secara umum dapat diartikan kepada potensi dari suatu senyawa kimia untuk dapat menyebabkan kerusakan ketika senyawa tersebut mengenai atau masuk kedalam tubuh manusia. Suatu senyawa kimia dikatakan bersifat racun akut jika senyawa tersebut dapat menimbulkan efek racun dalam jangka waktu yang singkat, dan bersifat kronis jika senyawa tersebut dapat menimbulkan efek racun dalam jangka waktu yang panjang (karena kontak yang berulang-ulang walaupun dalam jumlah yang sedikit). Pengetahuan mengenai toksisitas suatu bahan kimia disimpulkan dengan mempelajari efek-efek dari pemaparan bahan kimia terhadap hewan percobaan, pemaparan bahan kimia terhadap organism tingkat rendah seperti bakteri dan kultur sel-sel dari mamalia di laboratorium dan pemaparan bahan kimia terhadap manusia.

Kimia Bahan Alam

11

Untuk skrining dan fraksionasi fisiologi aktif dari ekstrak tanaman dapat di lakukan uji standar toksisitas akut (jangka pendek). Suatu metode yang digunakan secara luas dalam penelitian bahan alam untuk maksud tersebut adalah adalah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). BSLT merupakan salah satu cara yang cepat dan murah untuk uji aktifitas farmakologi dari ekstrak tanaman dengan menggunakan hewan laut yaitu larva udang Artemia salina Leach. Uji ini mengamati mortalitas larva udang yang di sebabkan oleh senyawa uji. Senyawa yang aktif akan menghasilkan mortalitas yang tinggi. Uji toksisitas dengan metode BSLT ini memiliki spectrum aktifitas farmakologi yang luas, prosedurnya sederhana, cepat dan tidak membutuhkan biaya yang besar, serta hasilnya dapat di percaya. Disamping itu metode ini sering dikaitkan dengan metode penapiasan senyawa antikanker. Dengan alas an-alasan tersebut, maka uji ini sangat tepat digunakan dalam penelitian bahan alam. Peranan antioksidan sangat penting dalam meredam efek radikal bebas yang berkaitan erat dengan terjadinya penyakit degeneratif seperti tekanan darah tinggi, jantung koroner, diabetes dan kanker yang didasari oleh proses biokimiawi dalam tubuh. Radikal bebas yang dihasilkan secara terus menerus selama proses metabolisme normal, dianggap sebagai penyebab terjadinya kerusakan fungsi sel-sel tubuh yang akhirnya menjadi pemicu timbulnya penyakit degeneratif. Reaksi radikal bebas secara umum dapat dihambat oleh antioksidan tertentu baik alami maupun sintetis. Sebahagian besar antioksidan alami berasal dari tanaman, antara lain berupa senyawaan tokoferol, karatenoid, asam askorbat, fenol, dan flavonoid. Senyawa bioaktif hampir selalu toksik pada dosis tinggi, oleh karena itu daya bunuh in vivo dari senyawa terhadap organisme hewan dapat digunakan untuk menapis ekstrak tumbuhan yang mempunyai bioaktivitas dan juga memonitor fraksi bioaktif selama fraksinasi dan pemurnian. Salah satu organisme yang sesuai untuk hewan uji adalah brine shrimp (udang laut). Untuk mengetahui toksisitas ekstrak daun dalam penelitian ini digunakan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) dan untuk mengetahui aktivitas ekstrak daun sebagai antioksidan digunakan metode DPPH (-1,1-difenil-2-pikrilhidrazil). Pengukuran antioksidan secara Efek peredaman radikal bebas DPPH merupakan metode pengukuran antioksidan yang sederhana, cepat dan tidak membutuhkan banyak reagen seperti halnya uji lain (xantin-xantin oksidase, metode Tiosianat, antioksidan total). Hasil pengukuran menunjukkan kemampuan antioksidan sampel secara umum tidak berdasar jenis radikal yang dihambat. Pada metode ini, DPPH berperan sebagai radikal bebas yang diredam oleh antioksidan dari bahan uji, dimana DPPH akan bereaksi dengan antioksidan tersebut membentuk 1,1,-difenil-2Kimia Bahan Alam

12

pikril hidrazin. Reaksi ini menyebabkan terjadinya perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer sinar tampak pada 515 nm, sehingga aktivitas peredaman radikal bebas oleh sampel dapat ditentukan. Uji Toksisitas dengan Metode BSLT. Metode Meyer et al. digunakan untuk mempelajari toksisitas sampel secara umum dengan menggunakan telur udang (Artemia salina Leach). Penetasan Larva Udang, disiapkan bejana untuk penetasan telur udang. Di satu ruang dalam bejana tersebut diletakkan lampu untuk menghangatkan suhu dalam penetasan, sedangkan di ruang sebelahnya diberi air laut. Kedalam air laut dimasukkan ditambah 50-100 mg telur udang untuk ditetaskan. Pada bagian telur ditutup dengan aluminium foil, dan lampu dinyalakan selama 48 jam untuk menetaskan telur. Diambil larva udang yang akan diuji dengan pipet. Prosedur Uji Toksisitas dengan Metode BSLT. Sebanyak 100 L air laut yang mengandung larva udang sebanyak 10-12 ekor dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam wadah uji. Di tambahkan larutan sampel yang akan diuji masing-masing sebanyak 100 L, dengan konsentrasi 10, 100, 200, 500 dan 1000 ppm. Untuk setiap konsentrasi dilakukan 2 kali pengulangan (duplo). Larutan diaduk sampai homogen. Untuk kontrol dilakukan tanpa penambahan sampel. Larutan dibiarkan selama 24 jam, kemudian dihitung jumlah larva yang mati dan masih hidup dari tiap lubang. Angka mati dihitung dengan menjumlahkan larva yang mati dalam setiap konsentrasi. Angka hidup dihitung dengan menjumlahkan larva yang hidup dalam setiap konsentrasi . Perhitungan akumulasi mati tiap konsentrasi dilakukan dengan cara berikut: akumulasi mati untuk konsentrasi 10 ppm = angka mati pada konsentrasi tersebut, akumulasi mati untuk konsentrasi 100 ppm = angka mati pada konsentrasi 10 ppm ditambah angka mati pada konsentrasi 100 ppm, akumulasi mati untuk konsentrasi 200 ppm = angka mati pada konsentrasi 10 ppm ditambah angka mati pada konsentrasi 100 ppm ditambah angka mati pada konsentrasi 200 ppm. Akumulasi angka mati dihitung sampai konsentrasi 1000 ppm. Perhitungan akumulasi hidup tiap konsentrasi dilakukan dengan cara berikut: akumulasi hidup untuk konsentrasi 1000 ppm = angka hidup pada konsentrasi 1000 ppm, akumulasi hidup untuk konsentrasi 500 ppm = angka hidup pada konsentrasi 1000 ppm ditambah angka hidup pada konsentrasi 500 ppm, akumulasi hidup untuk konsentrasi 200 ppm = angka hidup pada konsentrasi 1000 ppm ditambah angka hidup pada konsentrasi 500 ppm ditambah angka hidup pada konsentrasi 200 ppm. Akumulasi angka hidup dihitung sampai konsentrasi 10 ppm. Selanjutnya dihitung mortalitas dengan cara: akumulasi mati dibagi jumlah akumulasi hidup dan mati (total) dikali 100%. Grafik dibuat dengan log konsentrasi
Kimia Bahan Alam

13

sebagai sumbu x terhadap mortalitas sebagai sumbu y. Nilai LC50 merupakan konsentrasi dimana zat menyebabkan kematian 50% yang diperoleh dengan memakai persamaan regresi linier y = a ditambah bx. Suatu zat dikatakan aktif atau toksik bila nilai LC50 < 1000 ppm untuk ektrak dan < 30 ppm untuk suatu senyawa. 2.5.6. Identifikasi Bahan Alam dengan TLC Thin Layer Chromatography (TLC) atau kromatografi lapis tipis (KLT) adalah proses pemisahan campuran senyawa berdasarkan perbedaan dua fase, yaitu fase diam (silika gel atau alumunia) dan fase gerak (pelarut). Proses isolasi terjadi berdasarkan perbedaan daya serap dan daya partisi serta kelarutan dari komponenkomponen kimia yang akan bergerak mengikuti kepolaran eluen. Oleh karena daya adsorben terhadap komponen kimia tidak sama, maka komponen bergerak dengan kecepatan yang berbeda sehingga hal inilah yang menyebabkan pemisahan (Carlk, 2007). Pelarut untuk eluen disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis. Silika gel dapat bereaksi dengan pereaksi yang reaktif seperti asam sulfat. Nilai Rf diperoleh dari jumlah perbedaan warna yang telah terbentuk pada plat atau lempengan. Hal ini berguna untuk memudahkan identifikasi senyawasenyawa yang muncul. Pengukuran ini didasarkan pada jarak yang ditempuh oleh pelarut dan jarak yang ditempuh oleh pelarut dan jarak yang tempuh oleh bercak warna masing-masing. Adapun contoh TLC dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2 (TLC)

Keuntungan menggunakan TLC adalah analisis cepat, bahan sangat sedikit baik penyerap maupun cuplikannya, dapat digunakan untuk memisahkan senyawasenyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida-lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. TLC juga dapat berguna untuk mencari eluen pada kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan isolasi senyawa murni skala kecil.

Kimia Bahan Alam

14

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini bertempat di laboratorium kimia, Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dilakukan pada dari tanggal 06-27 September 2012. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah satu set alat destilasi, penangas listrik, timbangan analitik, termometer, labu Erlenmeyer, Refraktor Abbe, piknometer, gelas ukur 10 ml, Ekstraktor Soklet, kertas saring, Rotary Evaporator, tabung reaksi, pipet tetes, dan pipet volume. 3.2.2 Bahan Bahan yang diperlukan pada praktikum ini adalah aquadest, sampel tanaman, etanol 96%, AgNO3 0,1 N, NaCl 0,0002 N, HNO3 25%, metanol, HCl2%, FeCl3 1%, NaOH 2 N, serbuk Mg, reagen Liebermen-Buchard, reagen Mayer, reagen Dragendorff, DPPH, plat hasil TLC. 3.3 Cara Kerja 3.3.1. Distilasi Sampel tanaman yang telah kering dan halus, kemudian ditimbang sebanyak 50 gram dalam gelas piala. Setelah itu sampel dipindahkan ke dalam labu distilasi 500 ml. Ke dalam sampel ditambahkan aquadest sampai seluruh sampel terndam, kira kira 250 ml dan diaduk dengan sempurna. Setelah itu, labu distilasi di pasang. Labu dipanaskan sampai mendidih selama lebih kurang 3 jam. Saat dipanaskan, labu sesekali diaduk dan distilasi dihentikan bila air di dalam labu tinggal sedikit (jangan sampai kering). Dibaca volume minyak atsiri dalam penampung (labu erlenmeyer). Distilasi dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali dan kadar minyak atsiri dinyatakan dalam persentase volume/bobot dengan rumus V/M x 100% dimana V adalah volume minyak (ml) dan M adalah bobot sampel 3.3.2. Uji Sifat Fisik Minyak Atsiri a. Uji Indeks Bias Prisma refraktometer dibersihkan dengan etanol sebelum digunakan. Kemudian sampel diteteskan pada prisma yang kering dan bersih. Prisma
Kimia Bahan Alam

15

dirapatkan dan tunggu sampai suhu sampel tetap. Dengan mengatur slide akan diperoleh garis batas antara bidang yang gelap dan terang kemudian Sampel diteteskan pada prisma yang kering dan bersih. Dibaca nilai yang tertera pada layar bagian bawah dan dicatat suhunya ( Indeks bisa 25 oC = n ditambah 0,0004 (t-25). b. Uji Masa Jenis Piknometer dibersihkan dengan etanol dan eter setelah kering piknometer ditimbang dengan teliti. Kemudian Akuades diisikan sampai batas tera, lalu piknometer dicelupkan pada penanggas air suhu 20
o

c dan ditutup,

ditimbang dengan teliti. Piknometer dikosongkan lalu dicuci dengan etanol dan eter setelah kering piknometer diisikan sampel sampai batas tera. Piknometer dicelupkan ke dalam penanggas air pada suhu 20 oc dan ditutup, ditimbang dengan teliti ( massa jenis pada suhu 25 oc = d ditambah 0,0008 (t-25) ). c. Uji Kelarutan dalam Etanol Uji kelarutan dalam etanol menggunakan etanol 96% dan larutan pembanding. Larutan pembanding tersebut merupakan 0,5 mL AgNO3 0,1 N ke dalam NaCl 0,0002 N dan satu tetes HNO3 (25%). Kemudian 1 mL minyak ditempatkan ke dalam gelas ukur 10 mL dan ditambahkan tetes demi setetes etanol 96%. Setelah itu, larutan dikocok sampai diperoleh larutan bening. Bila tidak bening dibandingkan kekeruhannya dengan dengan larutan pembanding. 3.3.3. Ekstraksi Senyawa Bahan Alam a. Maserasi Sampel tanaman yang sudah kering dan halus,ditimbang sebanyak 150 gram.setelah itu dimaserasi dengan pelarut metanol dan didiamkan selama 3x24 jam.Hasil maserasi sampel kemudian disaring dengan kertas saring sambil ditambah pelarut sampai hasil cairan penyaringan menjadi jernih.Cairan hasil penyaringan (2/3 volume ekstrak) dipekatkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak yang kental(T=40-65oC) b. Sokeltasi Sampel tanaman yang sudah kering dan halus,ditimbang sebanyak 20 gram dan ditempatkan pada selongsong berupa kertas saring.Setelah itu pelarut metanol dimasukkan kedalam 500mL distilation flask .Setelah itu sampel diekstraksi selama beberapa jam.Cairan hasil penyaringan (2/3 volume ekstrak) dipekatkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak yang kental(T=40-65oC)
Kimia Bahan Alam

16

3.3.4. Uji Fitokimia a. Uji Alkaloid Ekstrak tanaman sebanyak 4 ml dimasukan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 0,5 ml HCl 2 % ke dalam tabung tersebut. Setelah itu, divortex dan dibagi ke dalam dua tabung. Pada tabung pertama ditambahkan 2-3 tetes Reagen Dragendorff. (hasil positif menghasilkan endapan jingga) dan tabung kedua ditambahkan 2-3 tetes Reagen Mayer (hasil positif menghasilkan endapan kuning). b. Uji Flavonoid Ekstrak tanaman dimasukan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 ml. Kemudian ditambahkan sedikit serbuk Mg ke dalam tabung tersebut dan 1 ml HCl 2 % (positif jika timbul busa dan berwarna bening-oranye). c. Uji Triterpenoid dan Steroid Ekstrak tanaman sebanyak 2 ml dimasukan ke dalam tabung reaksi. Kemudian Ditambahkan beberapa tetes Reagen Liberman-Burchard ke dalam tabung tersebut (positif jika triterpenoid membentuk cincin kecoklatan atau violet dan steroid berwarna hijau). d. Uji Kuinon Ekstrak tanaman sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian Ditambahkan NaOH 2N ke dalam tabung reaksi tersebut dan dikocok (hasil positif berwarna merah). e. Uji Tanin Ekstrak tanaman sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian Ditambahkan 2-3 tetes FeCl3 1 % ke dalam tabung tersebut dan dikocok (hasil positif berwarna hijau kehitaman atau biru tinta). f. Uji Saponin Sampel tanaman yang telah kering dan halus ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan aquadest sebanyak 5 ml ke dalam tabung tersebut. Setelah itu, dipanaskan dalam penangas air selama 5 menit. Cairan yang diperoleh disaring dan didiamkan sampai agak dingin. Setelah itu dikocok dengan kuat sampai timbul busa (hasil positif jika busa stabil selama 10 menit). 3.3.5. Uji Antioksidan

a. Uji aktivitas DPPH free radical scavenger


Ekstrak hasil pemekatan ditimbang 1 gr dan dilarutkan dalam 20 mL metanol (2000 ppm). Larutan sampel dibuat berbagai konsentrasi (50, 100, 200, 400, 800, dan 1600 ppm). Masing-masing sampel dipipet 2 mL dan
Kimia Bahan Alam

17

dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 2 mL DPPH 0,002% (lakukan dalam ruang gelap). Tiap konsentrasi dibuat duplo. Larutan sampel dikocok sampai homogen dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit, lalu diukur dengan spektrofotometri UV-Vis dengan panjang gelombang DPPH = 517 nm. Dan nilai inhibisi yang mewakili oleh IC50 dihitung dengan rumus :

100%

b. Uji aktivitas DPPH secara Bioautografi


Hasil analisa KLC sampel ekstrak/distilat disemprotkan dengan 0,002 % DPPH yang dilarutkan dengan metanol. Hasil positif menunjukkan adanya perubahan warna ungu menjadi jingga. 3.3.6. Uji Antibakteri Uji antimikroba dengan metode Difusi Agar Ekstrak sampel jengkol yang telah dipekatkan ditimbang sebanyak 2 gram. Kemudian dibuat konsentrasi sampel menjadi 25%, 50%, 75%, dan 100% dengan aquades. Disiapkan suspensi bakteri Steptococcus Aureus (Staphylococcus Aureus), NB yang telah berumur fase midblock, diambil 0,1 mL kemudian dimasukkan ke dalam 10 mL Nutrient Agar yang etlah dicairkan, divortex, dan dituangkan ke dalam cawan petri. Setelah agar membeku, dimasukkan kertas cakram (diameter 1 cm) yang telah dibasahi ekstrak jengkol dengan berbagai konsentrasi (25%, 50%, 75%, dan 100%). Bakteri dibiakkan, diinkubasi dengan cara terbalik selama 3 hari pada suhu 37oC. Setelah diinkubasi, diamati diameter daerah hambatan di sekitar kertas cakram. Daerah hambatan yang terbentuk sebagai daerah bening di sekitar kertas cakram diukur dan dibandingkan dengan antibiotic. 3.3.7. Uji Toksisitas a. Penetasan telur Artemia salina Leach Telur udang ditempatkan pada wadah penetasan yang terbuat dari plastik dan telah disekat pada bagian tengahnya dengan steroform, kemudian diberi larutan garam 3,5% secara perlahan sampai setengah dari volume total. Bagian kotak yang berisi telur udang ditutup dengan

Kimia Bahan Alam

18

aluminium foil, sedangkan bagian kotak yang tidak ditutup ditempatkan di bawah sinar lampu neon 18 watt atau sinar UV. Setelah 48 jam,larva siap digunakan untuk uji toksisitas. b. Uji Toksisitas Sebanyak 0,1 gram ekstrak dilarutkan dalam 50 mL aquadest (2000 ppm). Setalah itu larutan sampel dibuat dengan konsentrasi 10, 100, 200, 500, dan 1000 ppm. Setiap konsentrasi dibuat 2 kali pengulangan. Masing-masing larutan sampel dipipet sebanyak 100 L dan dimasukkan ke dalam botol vial. Setelah itu ditambahkan 10 ekor larva Artemina salina Leach. Larutan dibiarkan selama 24 jam dibawah cahaya lampu neon 18 watt. Setalah 24 ja, larva udang yang mati dari masing-masing botol vial dihitung dan dicari nilai LC50. Mortalitas dihitung dengan cara : akumulasi mati dibagi jumlah akumulasi hidup dan mati (total) dikali 100%. Grafik dibuat dengan log konsentrasi sebagai sumbu x terhadap mortalitas sebagai sumbu y. Nilai LC50 merupakan konsentrasi dimana zat menyebabkan kematian 50% yang diperoleh dengan memakai persamaan regresi linear y = a ditambah bx. Suatu zat dikatakan aktif atau toksik bila nilai LC50<1000 ppm unutk ekstrak dan <30 ppm untuk suatu senyawa. 3.3.8. Identifikasi Senyawa Bahan Alam Sampel ekstrak/minyak atsiri ditotolkan pada plat TLC silika gel GF254 dengan bantuan mikropipet garis start berjarak 1,5 cm dari dasar. Setelah itu, spot dikeringudarakan kemudian dielusi dengan pelarut dengan perbandingan tertentu. Selanjutnya, sebanyak 5 ml eluen dengan perbandingan tertentu dimasukkan ke dalam chamber. Setelah itu, dimasukkan plat TLC yang telah diberi spot kemudian wadah ditutup. Lalu, dibiarkan sampai pelarut pada garis akhir. Setelah itu plat TLC dikeringudarakan dan diamati spot pada plat TLC di bawah sinar UV. Untuk mengetahui senyawa yang terdapat pada masing-masing spot di plat TLC, maka dapat disemprotkan cerium sulfat, Lieberman-Burchard, amoniak, FeCl3, dan Dragendoff.

Kimia Bahan Alam

19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 3.3.1. Distilasi Hasil distilasi prosentase x100% jengkol adalah 25 50 x 100% = 50%.

Distilasi jengkol untuk mengambil minyak atsiri pada jengkol dengan pemisahan

perbedaan titik didihnya. Dengan menggunakan pelarut aquadest, maka distilasi diatur suhunya dibawah titik didih air (100oC). Uap yang dihasilkan akan terkondensasi sehingga mendapatkan cairan yang diduga sebagai minyak atsiri. Untuk memastikan bahwa cairan yang didapat itu adalah minyak atsiri maka perlu diuji melalui uji fisik minyak atsiri yang telah ditentukan. 3.3.1. Uji Sifat Fisik Minyak Atsiri Karakteristik Massa Jenis (25oC) Indeks Bias (25oC) Kelarutan dalam alkohol Hasil Uji Destilat Jengkol 0,801 gr/cm3 1,33 Larutan jernih 1:2 Standar Internasional Minyak Atsiri *) 0,90-0,94 gr/cm3 1,46-1,47 Larutan jernih 1: 1-4 *) ISO, 1991 tabel 2

Destilat jengkol yang diduga mengandung minyak atsiri diuji secara fisik dengan karakterisasi berupa massa jenis, indeks bias, dan uji kelarutan dengan alcohol. Pengujian sifat fisik pada hasil destilasi ini ditentukan dengan tujuan untuk mengetahui mutu atau kualitas minyak atsiri yang dikandung jengkol. Bila tidak memenuhi persyaratan mutu, maka nilai jual minyak tersebut akan jauh lebih murah. Dalam pengukuran indeks bias minyak atsiri dengan refraktometer, prinsip dasarnya yaitu perbandingan antara sinus sudut jatuh dan sinus bias jika seberkas cahaya dengan panjang gelombang tertentu jatuh dari udara ke minyak dengan sudut tertentu yang dipertahankan pada suhu tetap. Penentuan indeks bias ini dimaksudkan untuk menentukan kemurnian minyak. Hasil uji menunjukkan bahwa indeks bias minyak jengkol sebesar 1,33 , tidak memenuhi Standar Internasional (ISO, 1991). Sedangkan dalam pengukuran massa jenis minyak atsiri yang dikandung jengkol, prinsip dasarnya yaitu perbandingan antara kerapatan minyak pada suhu 15oC terhadap kerapatan air pada suhu yang sama. Hasil uji menunjukkan bahwa massa jenis minyak jengkol sebesar 0,801 gr/cm3 . hasil ini tidak sesuai dengan Standar Internasional (ISO, 1991) yang menyatakan bahwa massa jenis minyak atsiri pada 25oC sebesar 0,90-0,94 gr/cm3 . Namun berdasarkan literature Buku Petunjuk Praktikum Kimia Bahan Alam, nilai

Kimia Bahan Alam

20

massa jenis minyak atsiri berkisar antara 0,696-1,188 pada suhu 15 oC. Sehingga hasil uji dapat disimpulkan belum memenuhi mutu minyak atsiri Standar Internasional. Pada pengujian kelarutan dalam etanol ditentukan dengan mengamati daya larut minyak dalam alcohol. Sampel minyak jengkol dengan dalam etanol yang diencerkan dapat menimbulkan kekeruhan, hal ini menunjukkan bahwa sampel tersebut membentuk larutan yang bening dan cerah dengan perbandingan larutan jernih 1:2. Dari uji sifat fisik kelarutan dalam etanol ini didapat kesimpulan bahwa kelarutan minyak jengkol dalam alcohol sesuai Standar Internasional (ISO, 1991). Namun jika dibandingkan semua data yang didapat secara keseluruhan, minyak jengkol belum memenuhi mutu minyak atsiri yang sesuai Standar Internasional (ISO, 1991). 3.3.2. Ekstraksi Senyawa Bahan Alam Ektraksi terdapat beberapa metode maserasi, soklatasi dan perkolasi. Pada percobaan ini hanya menggunakan metode maserasi dan soklatasi. Ekstrakasi menggunakan beberapa metode yang paling nudah dan sederhana adalah dengan metode maserasi atau perendaman sampel dalam pelarut. Dan metode sokletasi dengan cara penyarian dengan cairan kondensasi dari pelarut organik. Adapun fungsi ekstraksi adalah untuk mengambil senyawa yang bermanfaat. Pengambilan sari dari sampel disesuaikan dengan kelarutan pada pelarut organik. Hasil dari ekstraksi diuji kandungannya dengan menggunakan uji fitokimia. 3.3.3. Uji Fitokimia Hasil Percobaan Maserasi ditambah (endapan jingga) ditambah (endapan kuning) 2. 3. 4. 5. 6. Triterpenoid/ Steroid Flavonoid Tanin Quinon Saponin
Tabel 3

No 1. Alkoloid

Uji Fitokimia

Sokletasi -

Dregenduf Mayer

ditambah (busa bening orenge) ditambah (hijau kehitaman) - (bening) ditambah (berbusa)

Kimia Bahan Alam

21

Rendemen = 3% Pada percobaan ini praktikan menguji fitokimia dari buah jengkol yang diekstraksi dengan cara maserasi. Berdasarkan hasil percobaan didapat bahwa pada uji alkaloid dengan pereaksi dragendoff, didapat hasil yang positif dimana terdapat endapan jingga. Endapan tersebut adalah kaliumalkaloid. Pada pembuatan pereaksi Dragendorff,bismut nitrat dilarutkan dalam HCl agar tidak terjadi reaksi hidrolisis karena garam-garam bismut mudah terhidrolisis membentuk ion bismutil (BiOditambah), Bi3++ H2O BiO+ + 2H+ Agar ion Bi3+ tetap berada dalam larutan, maka larutan itu ditambah asam sehingga kesetimbangan akan bergeser ke arah kiri. Selanjutnya ion Bi3+ dari bismut nitrat bereaksi dengan kalium iodida membentuk endapan hitam Bismut(III) iodida yang kemudian melarut dalam kalium iodida berlebih membentuk kalium tetraiodobismutat (Svehla, 1990). Pada uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff, nitrogen digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang merupakan ion logam. Reaksi pada uji Dragendorff ditunjukkan reaksi dibawah ini :

Selain menggunakan pereaksi dragendoff untuk uji alkaloid dapat digunakan pereaksi mayer. Berdasarkan hasil percobaan didapat hasil positif dengan ditandai terbentuknya endapan kuning. Diperkirakan endapan tersebut adalah kompleks kaliumalkaloid. Pada pembuatan pereaksi Mayer, larutan merkurium(II) klorida ditambah kalium iodida akan bereaksi membentuk endapan merah merkurium(II) iodida. Jika kalium iodida yang ditambahkan berlebih maka akan terbentuk kalium tetraiodomerkurat(II) (Svehla, 1990).
Kimia Bahan Alam

22

Alkaloid mengandung atom nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion logam (McMurry, 2004). Pada uji alkaloid dengan pereaksi Mayer, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat(II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap. Perkiraan reaksi yang terjadi pada uji mayer sebagai berikut :

Untuk uji fitokimia selanjutnya yaitu menguji adanya senyawa flavonoid. Pada uji ini menggunakan sedikit serbuk Mg dan HCl 2%, uji ini disebut uji wilstater. Uji ini memberikan hasil yang positif yaitu terbentuknya warna bening orange. Ini membuktikan bahwa terdapat flavanoid. Adapun warna yang dihasilkan disebabkan karena terbentuknya garam flavilium.

Untuk uji Tanin yaitu ekstrak yang ditambahkan dengan FeCl 1 % berdasarkan hasil percobaan memberikan hasil yang positif yaitu membentuk warna hijau kehitaman. Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

Kimia Bahan Alam

23

Untuk uji kuinon berdasarkan hasil percobaan didapatkan hasil negatif. Hasil positif ditandai dengan warna merah akan tetapi berdasarkan percobaan tidak berwarna merah. Ini menandakan bahwa pada jengkol tidak terdapat senyawa kuinon. Pada uji saponin berdasarkan hasil percobaan menunjukkan hasil positif. Ini ditandai dengan timbulnya busa yang stabil. Saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga ketika direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter. Saponin memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir. Saponin merupakan racun yang dapat menghancurkan butir darah atau hemolisis pada darah. Saponin bersifat racun bagi hewan berdarah dingin dan banyak diantaranya digunakan sebagai racun ikan. Saponin yang bersifat keras atau racun biasa disebut sebagai Sapotoksin. Adapun Sifat-sifat Saponin adalah: 1) Mempunyai rasa pahit , 2)Dalam larutan air membentuk busa yang stabil, 3) Menghemolisa eritrosit, 4) Merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi, 5)Membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid lainnya, 6) Sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi, 7) Berat molekul relatif tinggi, dan analisis hanya menghasilkan formula empiris yang mendekati. Toksisitasnya mungkin karena dapat merendahkan tegangan permukaan (surface tension). Dengan hidrolisa lengkap akan dihasilkan sapogenin (aglikon) dan karbohidrat (hexose, pentose dan saccharic acid). Adapun struktur dari saponin adalah sebagai berikut :

Kimia Bahan Alam

24

Untuk uji triterpenoid dan steroid , berdasarkan hasil percobaan didapatkan hasil yang negatif. Ini terjadi karena tidak terbentuknya cincin kecoklatan atau violet dan juga untuk uji steroid tidak berwarna hijau melainkan warna kuning bening pudar. Ini menandakan bahwa tidak terdapat senyawa tripernoid ataupun steroid pada buah jengkol. Tetapi terdapat hasil yang berbeda pada uji fitokimia hasil sokletasi. Sokletasi merupakan penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara serbuk sampel ditempatkan dalam selongsong berupa kertas saring sedemikian rupa,cairan penyari atau pelarut dipanaskan dalam labu alas bulat sehingga menguap dan dikondesasikan oleh kondensor menjadi molekul-molekul cairan penyari yang jatuh kedalam selongsong menyari zat aktif didalam sampel dan jika pelarut telah mencapai permukaan sifon,maka seluruh cairan akan turun kembali kelabu las bulat melalui pipa kapiler hinga terjadi sirkulasi. Pada uji fitokimia buah jengkol yang telah disokletasi terdapat hasil yang negative pada ujibtroterpenoid dan steroid,uji kuinon,uji tannin,namun positif pada uji flavonoid.hal ini dikarenakan kertas saring yang digantungkan dalam selongsong tidak seluruhnya berbentuk serbuk,sehingga uap alcohol yang masuk kedalam kertas saring tersebut tidak mampu mengikat zat yang berada di dalam buah jengkol secara sempurna karena luas permukaan pada buah jengkol besar dan interaksi antara keduanya sangat kecil .sedangkan pada uji flavonod terdapat hasil yang positif dikarenakan adanya factor penambaham mg dan Hcl sehingga fungsi kedua zat tersebut mampu berinteraksi dengan larutan hasil sokletasi walaupun hanya sedikit dengan demikian hasil positif didapat oleh uji flavonoid.

Kimia Bahan Alam

25

Senyawa yang terikat mg inilah yang mampu mengidentifikasi adanya flavonoid atau tidak dalam larutan jengkol tersebut. 3.3.4. Uji Antioksidan Konsentrasi 25 50 100 200 400 y = 0,150x ditambah 18,23 IC50 (ekstrak jengkol) = 211,8 ppm Pada uji aktivitas antioksidan diukur dengan metode DPPH. Metode DPPH merupakan salah satu metode untuk menganalisa aktifitas antioksidan yang sederhana dengan menggunakan 1,1-diphenyl-2-pircylhidrazil (DPPH) sebagai senyawa pendeteksi. Hasil pemekatan ekstrak jengkol menunjukkan uji positif pada kisaran 200-400 ppm atau lebih tepatnya pada 211,8 ppm. Hasil ini didapatkan dari uji absorbansi dengan membandingkan antioksidan lainya yakni asam askorbat (vitamin C). Pada ekstrak jengkol pada uji fitokimia menunjukkan adanya senyawa flavonoid, maka senyawa flavonoid ini yang berperan penting dalam antioksidan dalam jengkol. Adapun senyawa antioksidan alami adalah senyawa antioksidan yang diperoleh dari hasil ekstraksi bahan alami seperti tumbuh-tumbuhan. Antioksidan alami antara lain tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, karoten, dan asam askorbat yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan. Antioksidan alami yang paling banyak ditemukan dalam minyak
Kimia Bahan Alam

Absorbansi Innhibisi 0,223 26,5 0,207 26,9 0,2035 27,8 0,152 46,09 0,0555 80,49
Tabel 4

26

nabati adalah tokoferol yangmempunyai keaktifan vitamin E dan terdapat dalam bentuk , , , -tokoferol . Menambahkan senyawa kimia lainnya yang tergolong antioksidan dan berasal dari tumbuhan adalah golongan flavonoid dan polifenol. Flavonoid dalam tanaman berfungsi sebagai pigmen yang memberikan warna pada bunga,buah, dan daun tanaman., contohnya adalah antosianin. Flavonoid dapat berperan sebagaiantioksidan dalam tubuh manusia. Senyawa ini tidak terlalu beracun dibanding alkaloid sehinggaflavonoid dapat dikonsumsi dalam jumlah besar. Contoh flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan adalah quercetin, xanthohumol, isoxanthohumol, dan genistein. Ada tiga tahap reaksi antara DPPH dengan zat antioksidan yang dapat dicontohkan dengan reaksi antara DPPH dengan senyawa monofenolar (antioksidan). Tahap pertama meliputi delokalisasi satu elektron pada gugus yang tersubtitusi oleh senyawa tersebut, kemudian memberikan atom hidrogen unutk mereduksi DPPH. Tahap berikutnya meliputi dimerisasi antara radikal fenoksil yang akan mentransfer radikal hidrogen dan akan beraksi lkembali dengan radikal DPPH. Tahap terakhir adalah pembentukan kompleks antara radikal aril dengan radikal DPPH. Pembentukan dimer maupun kompleks antara zat antiksidan dengan DPPH bergantung pada kestabilan dan potensial reaksi dari struktur molekulnya.
O2N Ph NO2 N Ph O2N N Ph O2N Ph N N O2N NO2

R- +

3.3.5. Uji Antibakteri Konsentrasi 25% 50% 75% 100% Zona hambat/ bening 1,2 cm 1,2 cm 1,2 cm 1,2 cm
Tabel 5

Pada pengujian antibakteri ini dilakukan dengan tujuan dapat mengetahui aktivitas antibakteri pada ekstrak sampel jengkol. Uji antibakteri dilakukan untuk mengukur berapa besar potensi atau konsentrasi suatu senyawa dapat memberikan efek bagi mikroorganisme (Dart, 1996). Metode yang digunakan dalam pengujian antibakteri ini adalah metode difusi agar. Pada metode ini, aktivitas antibakteri ditentukan berdasarkan atas kemampuan berdifusi pada lempengan agar yang telah diinokulasi dengan bakteri. Dasar pengamatannya adalah dengan melihat ada tidaknya zona hambat yang terbentuk pada pertumbuhan bakteri uji.

Kimia Bahan Alam

27

Dari hasil pengamatan didapat data zona hambat/bening ekstrak sampel jengkol pada konsentrasi 25%; 50%; 75%; dan 100% adalah 1,2cm. Hal ini menunjukkan bahwa jengkol diduga mengandung antibakteri. Kemungkinan ini diperkuat oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tanaman jengkol banyak mengandung zat, antara lain adalah sebagai berikut : protein, kalsium, fosfor, asam jengkolat, vitamin A dan B1, karbohidrat, minyak atsiri, saponin, alkaloid, flavonoid, terpenoid, steroid, tannin dan glikosida. Karena kandungan zat-zat tersebut di atas, maka jengkol memberikan petunjuk dan peluang sebagai bahan obat, seperti yang telah dimanfaatkan orang pada masa lalu (Pitojo, 1994). Bahan obat disini bisa dikatakan sebagai antibakteri. Antibakteri adalah zat yang menghambat pertumbuhan bakteri dan digunakan secara khusus untuk mengobati infeksi (Giani, 2007). Kandungan kimia dalam jengkol yang diduga bersifat antibakteri adalah flavonoid. Menurut Fatmawaty et al., (2009), mekanisme kerja flavonoid sebagai antibakteri yaitu dengan membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut dan dengan dinding mikroba. Kemungkinan lain adalah flavonoid berperan secara langsung dengan mengganggu fungsi sel mikroorganisme dan penghambatan siklus sel mikroba. Selain flavonoid, terpenoid yang dikandung jengkol juga memungkinkan sebagai antibakteri. Naim, R. (2004) menyatakan bahwa terpen atau terpenoid aktif terhadap bakteri, virus dan protozoa. Mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri oleh senyawa terpenoid diduga senyawa terpenoid akan bereaksi dengan porin (protein transmembran) pada membran luar dinding sel bakteri membentuk ikatan polimer yang kuat sehingga mengakibatkan rusaknya porin. Rusaknya porin yang merupakan pintu keluar masuknya substansi, akan mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri yang akan mengakibatkan sel bakteri akan kekurangan nutrisi sehingga pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Gunawan, 2008). Dari hasil pengamatan terdapat keganjilan data, dimana zona hambat/bening yang dihasilkan tiap konsentrasi sama, yakni 1,2 cm. Padahal semakin tinggi konsentrasi dari antibiotika maka akan semakin besar zona yang terbentuk (Dwidjoseputro., 2003). Hal ini terjadi karena beberapa factor, diantaranya terjadi kesalahan dalam penimbangan dan pengenceran sehingga konsentrasi yang dihasilkan tidak sesuai. 3.3.6. Uji Toksisitas Ekstrak Jengkol Daun jeruk Daun Binahong Daun Kelengkeng LC50 (ppm) 1,41 77 49,99

Tabel 6

Uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) merupakan uji toksisitas yang digunakan sebagai uji permulaan untuk mengetahui aktivitas dari suatu zat atau senyawa yang
Kimia Bahan Alam

28

terkandung dalam suatu ekstrak atau suatu isolat murni. Pada praktikum kali ini larva udang yang digunakan adalah jenis Artemia salina yang telah berumur 48 jam dan proses pembenihan telur udang yang digunakan adalah sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan dalam air garam dengan kadar 38% (38 gram dalam 1liter air) hal ini dilakukan sebagai simulasi dari habitat asli udang yaitu air laut.Adapun ekstrak yang digunakan adalah ekstrak buah jengkol yang dibuat larutan dengan konsentrasi yang berbeda-beda yaitu mulai dari 1000, 500, 200, 100, dan 10 ppm. Hal ini bertujuan untuk mengetahui LC50 dari masing - masing ekstrak tersebut dengan berbagai konsentrasi. Pada hakikatnya uji toksisitas adalah untuk mengetahui kadar toksik (racun) suatu senyawa pada suatu bakteri atau mikrorganisme yang mengganggu proses metabolisme ataupun mengganggu kesehatan. Toksisitas juga ditentukan oleh struktur senyawa dan zat aktif yang terdapat pada bahan alam. Senyawa yang mengandung struktur fenolik atau struktur yang mampu mendonorkan atom hidrogen.Mekanisme senyawa toksik terdapat berbagai mekanisme penghambatan, yakni menghambat sintesis dinding sel, membran sel, sintesis asam nukleat, fungsi ribasom dan asm folat. Pada ekstrak jengkol didapatkan LC50 1,41 ppm, maka hal ini menunjukkan bahwa uji toksisitas ini merupakan senyawa jengkol bukan ekstrak karena <30 ppm. Ekstrak jengkol yang didapatkan masih banyak terdapat campuran, belum mendapatkan isolat murni. Dibandingkan dengan ekstrak daun jeruk 77 ppm, ekstrak daun kelengkeng 49,99 ppm yang masuk dalam kriteria isolat. 3.3.7. Identifikasi Senyawa Bahan Alam Pada percobaan ini praktikan melakukan percobaan dengan menggunakan teknik TLC. Percobaan ini berdasarkan pada perbedaan daya serap dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-komponen kimia yang mengikuti kepolaran eluen. Untuk itu praktikan melakukan beberapa percobaan dengan beberapa komposisi eluen dan perbandingan tertentu. Adapun hasil percobaannya sebagai berikut : Etil asetat + kloroform (1:1) (gambar 1)

Gambar 3 Rf : 4/4,5 = 0,89

Kimia Bahan Alam

29

Kloroform + aseton (1:1) (gambar 2)

Gambar 4 Rf : 1/4,5 = 0,22 N- Heksan + Etanol (1:1)

Gambar 5 Rf : 2/4,5 = 0,44 Berdasarkan hasil percobaan tersebut dapat diamati bahwa dari berbagai komposisi pelarut yang digunakan menghasilkan nilai Rf yang berbeda. Ini dikarenakan pelarut memiliki daya serap dan daya partisi yang berbeda sehingga kemampuan untuk memisahkan komponen-komponen kimia akan berbeda mengikuti kepolaran dari jenis eluennya. Pada percobaan teramati bahwa pemisahan terbaik pada ekstrak buah jengkol adalah dengan menggunakan eluen etil asetat dengan kloroform (1 : 1) dengan nilai Rf sebesar 0,89. Untuk komposisi eluen yang lain yaitu N-Heksan + etanol (1 : 1) memiliki nilai Rf sebesar 0,44, dan kloroform + aseton (1 :1) nilai Rf sebesar 0,22. Ekstrak jengkol tidak terdapat spot yang dapat dibedakan karena tidak terbentuk spot dan warna. Hal ini dikarenakan ekstrak jengkol kurang pekat dan belum murni. Sehingga tidak terdapat spot yang terbentuk, dan kemungkinan lainnya adalah belum menemukan eluen yang optimal mampu memisahkan senyawa pada ekstrak jengkol di TLC.

Kimia Bahan Alam

30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil percobaan-percobaan maka : a. Uji fitokimia dapat disimpulkan bahwa jengkol mengandung senyawasenyawa sebagai berikut Jengkol mengandung senyawa alkoloid Jengkol mengandung senyawa flavonoid Jengkol mengandung senyawa tanin Jengkol mengandung senyawa saponin b. Hasil uji fisik minyak atsiri dari jengkol masih belum memenuhi standar internasional tentang minyak atsiri. Massa jenis yang dihasilkan 0,801 gr/ml dan uji indeks bias 1,329. c. Uji antioksidan menunjjukkan bahwa IC50 jengkol 211,8 ppm, masih jauhh dibandingkan dengan antioksidan dari vitamin C. d. Ekstrak jengkol kurang begitu optimal sebagai antibakteri e. Toksisitas ekstrak jengkol sebesar 1,41 ppm f. Identifikasi senyawa bahan alam dengan menggunakan TLC tidak terbentuk spot 5.2. Saran Dalam melakukan penelitian ini, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan dalam pembuatan paper ini. Dan yang terpenting adalah kekurangan kemampuan kami dalam mengisolasi bahan alam karena masih minimnya pengettahuan kami . Oleh karena itu, kami membutuhkan saran dan kritikan untuk masukan dan penyempurnaan paper ini. Kami mengharapkan paper ini bermanfaat bagi pembaca. Tak ada gading yang tak retak

Kimia Bahan Alam

31

DAFTAR PUSTAKA Arifin A, Prof. Dr. Sjamsul. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta : Karunika Universitas Terbuka. Dwidjoseputro, D. 2003. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta. Fessenden & fessenden. 1982. Kimia Organik Jilid II.. Jakarta: Erlangga Gunawan, 2008, Antibakteri pada herba Meniran (Phylanthus niruri Linn), Jurnal Kimia, Vol II (22), hal. 31-39 Hart, Harold. 1990. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga KPH KENDAL.2011. Moniitoring & Evaluasi Jenis Tanaman Rimba Eksotik. Pertanian. Kendal Naim, R., 2004, Senyawa antibakteri dari tanaman, http://www.kompas.com., Pitojo, S., 1994, Jengkol: Budidaya dan Pemanfaatannya, Penerbit: Kanisius, 13, 17, 18, Yogyakarta Sukandar, Dede dan Eka R A, dkk. 2012. Petunjuk Praktikum Kimia Bahan Alam . Jakarta : Kimia FST UIN Syarif Hidayatullah

Kimia Bahan Alam

32

LAMPIRAN Hasil Perhitungan Percobaan 1. Uji Sifat Fisik Minyak Atsiri dan Rendemen a. Uji Sifat Fisik Minyak Atsiri >> Indeks bias Nsampel= 1,329 Suhu= 29,7oC Indeks bias pada 25oC = Nsampel ditambah 0,0004 (T-25) = 1,329ditambah 0,0004 ( 29,7-25) = 1,3308 >> Uji Massa Jenis G1 (piknometer kosong) = 23,7135 gram G2 (piknometerditambahaquades)= 48,2203 gram G3 (piknometerditambahsampel)= 43,4310 gram d= G3-G1/ G2-G1 = 0,805 Massa jenis= dditambah 0,0008 (T-25) = 0,805 ditambah 0,0008 ( 30-25) = 0,801 gr/cm3 >> Uji Kelarutan dengan alcohol Kekeruhan sampel lebih keruh dibanding dengan larutan pembanding. Larutan jernih 1: 2. b. Rendemen % % % % %

Kimia Bahan Alam

33

2. IC50 jengkol uji antioksidan

Innhibisi
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 100 200 300 400 500 Konsentrasi (ppm) y = 0,150x + 18,23 R = 0,971 innhibisi Linear (innhibisi)

IC50 (x) maka y = 0,150x ditambah 18,23 =

Inhibisi (%)

3. Uji Toksisitas

= . Akumulasi Mati Botol Sampel Konsentrasi (ppm) A B 10 9 3 100 18 11 200 27 20 500 33 29 1000 40 39
3 100% 311

. .

Akumulasi Hidup Botol Sampel Kosentrasi (ppm) A B 10 10 11 100 9 4 200 8 2 500 7 1 1000 3 0 Prosentase Mortalitas udang Mati Sampel A 10 ppm = 47,36% 100 ppm = 66,66% 200 ppm = 77,14% 500 ppm = 82,5% 1000ppm= =93,03%
9 100% 910

Sampel B = 10 ppm = 21,43% 18 100% = 100ppm = 189 73,33% 27 100% = 200ppm = 278 90,01% 33 100% = 500ppm= 3327 96,67% 40 100% 1000ppm= 403 =100%

29 100% 129

20 100% 220

11 100% 114

= = = =

39 100% 039

Kimia Bahan Alam

34

Rata-rata akumulasi mati 10 ppm = 100 ppm = 200 ppm = 500 ppm = 1000 ppm=

Kurva Mortalitas dengan log konsentrasi

47,36% 21,43% = 34,39 % 2 66,66%73,33% = 69,96 % 2 77,14%90,01% = 83,57 % 2 82,5%96,67 = 89,58 % 2 93,03%100% = 96,51 % 2

LC 50 Jengkol
120

% Mortalitas Mati

100 80 60 40 20 0 0 1 2 log konsentrasi 3 4

y = 31,55x + 5,386 R = 0,977

Series1 Linear (Series1)

y = 31,55x ditambah 5,386 LC50 = 1,41 ppm LC50 (ppm) 1,41 77 49,99

505,386 = 31,55

Ekstrak Jengkol Daun jeruk Daun Binahong Daun Kelengkeng

4. Uji Anti Bakteri Konsentrasi 25% 50% 75% 100% Zona hambat/ bening 1,2 cm 1,2 cm 1,2 cm 1,2 cm

Kimia Bahan Alam

35

5. Identifikasi Senyawa Bahan Alam Etil asetat + kloroform (1:1) (gambar 1)

Gambar 3 Rf : 4/4,5 = 0,89 Kloroform + aseton (1:1) (gambar 2)

Gambar 4 Rf : 1/4,5 = 0,22 N- Heksan + Etanol (1:1)

Gambar 5 Rf : 2/4,5 = 0,44

Kimia Bahan Alam

36

LAMPIRAN 2 Prosedur Kerja a. Maserasi

b. Sokletasi

Kimia Bahan Alam

37

Distilasi

Sampel tanaman y an g telah kering d an halus, kemudian ditimbang sebanyak 50 gram dalam gelas piala. Setelah itu sampel dipindahkan ke dalam labu distilasi 500 ml.

Ke dalam sampel ditambahkan aquadest sampai seluruh sampel terndam, kira kira 250 ml dan diaduk dengan sempurna.

Setelah itu, labu distilasi di pasang. Labu dipanaskan sampai mendidih selama lebih kurang 3 jam. Saat dipanaskan, labu sesekali diaduk dan distilasi dihentikan bila air di dalam labu tinggal sedikit (jangan sampai kering).

Dibaca volume minyak atsiri dalam penampung (labu erlenmeyer). Distilasi dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali dan kadar minyak atsiri dinyatakan dalam persentase volume/bobot dengan rumus V/M x 100% dimana V adalah volume minyak (ml) dan M adalah bobot sampel.

3.3.3 Uji-uji 3.3.3.1 Uji Fitokimia g. Uji Alkaloid

Ekstrak tanaman sebanyak 4 ml dimasukan ke dalam tabung reaksi.

Ditambahkan 0,5 ml HCl 2 % ke dalam tabung tersebut. Setelah itu, divortex dan dibagi ke dalam dua tabung.

Tabung pertama ditambahkan 2-3 tetes Reagen Dragendorff. (hasil positif endapan jingga) dan tabung kedua ditambahkan 2-3 tetes Reagen Mayer (hasil positif endapan kuning).

Kimia Bahan Alam

38

h. Uji Flavonoid

Ekstrak tanaman dimasukan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 ml.

Ditambahkan sedikit serbuk Mg ke dalam tabung tersebut dan 1 ml HCl 2 % (positif jika timbul busa dan berwarna bening-oranye).

i.

Uji Triterpenoid dan Steroid

Ekstrak tanaman sebanyak 2 ml dimasukan ke dalam tabung reaksi.

Ditambahkan beberapa tetes Reagen Liberman-Burchard ke dalam tabung tersebut (positif jika triterpenoid membentuk cincin kecoklatan atau violet dan steroid berwarna hijau).

j.

Uji Kuinon

Ekstrak tanaman sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

Ditambahkan NaOH 2N ke dalam tabung reaksi tersebut dan dikocok (positif berwarna merah).

k. Uji Tanin

Ekstrak tanaman sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

Ditambahkan 2-3 tetes FeCl3 1 % ke dalam tabung tersebut dan dikocok (positif berwarna hijau kehitaman atau biru tinta).

Kimia Bahan Alam

39

l.

Uji Saponin

Sampel tanaman yang telah kering dan halus ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

Ditambahkan aquadest sebanyak 5 ml ke dalam tabung tersebut. Setelah itu, dipanaskan dalam penangas air selama 5 menit.

Cairan yang diperoleh disaring dan didiamkan sampai agak dingin. Setelah itu dikocok dengan kuat sampai timbul busa (positif jika busa stabil selama 10 menit).

3.3.3.2 Uji Fisik a. Uji Indeks Bias


Prisma refraktometer dibersihkan dengan etanol Sampel diteteskan pada prisma yang kering dan bersih Prisma dirapatkan dan tunggu sampai suhu sampel tetap

Dibaca nilai yang tertera pada layar bagian bawah dan dicatat suhunya ( o Indeks bisa 25 C = n ditambah 0,0004 (t-25)

Sampel diteteskan pada prisma yang kering dan bersih

Denganmengatur slide akan diperoleh garis batas antara bidang yang gelap dan terang

Kimia Bahan Alam

40

b. Uji Masa Jenis


Piknometer dibersihkan dengan etanol dan eter Setelah kering piknometer ditimbang dengan teliti

Akuades diisikan sampai batas tera, lalu piknometer dicelupkan pada penanggas air o suhu 20 c dan ditutup

Setelah kering piknometer diisikan sampel sampai batas tera

Piknometer dikosongkan lalu dicuci dengan etanol dan eter

Ditimbang dengan teliti

Piknometer dicelupkan ke dalam penanggas air o pada suhu 20 c dan ditutup

Ditimbang dengan teliti ( massa jenis pada o suhu 25 c = d ditambah 0,0008 (t-25) )

c. Uji kelarutan dalam Etanol


Larutan pembanding merupakan 0,5 mL AgNO3 0,1 N ke dalam NaCl 0,0002 N dan satu tetes HNO3 (25%) 1 mL minyak ditempatkan ke dalam gelas ukur 10 mL dan ditambahkan tetes demi setetes etanol 96%

Uji kelarutan dalam etanol menggunakan etanol 96% dan larutan pembanding

Bila tidak bening dibandingkan kekeruhannya dengan dengan larutan pembanding

Dikocok sampai diperoleh larutan bening.

Kimia Bahan Alam

41

3.3.3.2 Uji Antioksidan

a. Uji aktivitas DPPH free radical scavenger


Ekstrak hasil pemekatan ditimbang 1 gr dan dilarutkan dalam 20 mL metanol (2000 ppm) Larutan sampel dibuat berbagai konsentrasi (50, 100, 200, 400, 800, dan 1600 ppm) Masing-masing sampel dipipet 2 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

Diukur dengan spektofotometer UVVis (panjang gelombang DPPH = 517 nm)

Larutan sampel dikocok sampai homogen dan diinkubasi pada suhu o 37 C selama 30 menit

Ditambahkan 2 mL DPPH 0,002% (lakukan dalam ruang gelap). Tiap konsentrasi dibuat duplo

Nilai inhibisi yang mewakili oleh IC50 dihitung dengan rumus :


100%

b. Uji aktivitas DPPH secara Bioautografi

Hasil analisa KLC sampel ekstrak/distilat

Disemprotkan dengan 0,002 % DPPH yang dilarutkan dengan metanol

Hasil positif menunjukkan adanya perubahan warna ungu menjadi jingga

Kimia Bahan Alam

42

Kimia Bahan Alam

43

You might also like