You are on page 1of 19

Mekanisme Miksi (1,2,3,4) Saluran kencing bagian bawah mempunyai 2 fungsi, yaitu: penyimpanan dan pengosongan urine.

Untuk pengisian kandung kencing dan penyimpanannya dibutuhkan : a) Akomodasi dari volume urine yang terus menerus bertambah pada tekanan intra vesika yang rendah dan kondisi yang sesuai. b) Pada saat istirahat, saluran keluar kandung kemih tertutup dan tetap tertutup selama tekanan intra abdominal meningkat. c) Tidak adanya kontraksi otot-otot involunter (tak stabilnya detrusor atau hiper refleksi). Kandung kemih merupakan organ resevoir simultan yang berhubungan langsung dengan uretra sebagai organ ekspulsi. Oleh karena ada interaksi antara serabut simpatis dan parasimpatis, maka stimulasi kholenergik akan menyebabkan perubahan transmisi adrenergik, sebaliknya stimulasi adrenergik akan merubah transmisi parasimpatik. Berdasarkan prinsip ini maka mekanisme kencing terdiri dari: (i) Fase pengisian buli-buli Dimulai dari buli yang kosong, dimana saat ini m. detrusor dan sphinkter uretra dalam keadaan relaksasi dan setelah buli-buli mulai terisi urine maka akan timbul rangsang yang diterima oleh reseptor dari parasimpatik yang dihantarkan ke segmen S2-4 melalui serabut eferen N. pudendus ke sphinkter uretra eksterna dan akan terjadi kontraksi. Bersamaan dengan ini serabut aferen saraf simpatik (Hipogastrikus) membawa rangsang dari reseptor di buli-buli akan bersinap dengan serabut eferennya di segmen thoracolumbal.

Selanjutnya eferen simpatis akan: menghalangi transmisi serabut post ganglion dari parasimpatik sehingga tidak terjadi kontraksi m. detrusor. meningkatkan tonus sphinkter uretra proximal sehingga akan terjadi tekanan uretra lebih tinggi dari dalam buli-buli yang menyebabkan kesempatan bulibuli terisi. (ii) Fase pengosongan buli-buli Setelah buli-buli terisi oleh tetesan urine yang berasal dari ureter yang makin lama makin banyak dan buli-buli membesar tetapi tidak terjadi peningkatan tekanan intravesical sampai volume buli-buli mencapai 350-500 ml. Pada fase ini tekanannya hanya 8-15 cm H20 dan akan meningkat menjadi 40-100cm H2O. Selama pengisian tersebut juga terjadi peningkatan tekanan uretra secara bertahap sehingga urine tetap tertahan dalam buli-buli. Otot-otot detrusor berada dalam inaktif selama pengisian ini tanpa kontraksi involunter. Jika pengisian buli-buli sudah mencapai volume tertentu reseptor tekanan pada buli-buli akan terangsang dan jika saatnya sudah tepat maka reflex berkemih volunter dimulai. Hal ini terjadi oleh karena rangsangan peregangan buli-buli terhadap reseptor parasimpatik yang ada di dinding buli-buli tersebut dan selanjutnya lewat serabut aferen ke pusat, refleks kencing akan terjadi: a) Hambatan terhadap aktifitas N. pudendus, sehingga terjadi relaksasi dari sphinkter uretra externa. b) Hambatan terhadap aktifitas simpatis yang ke sphinkter uretra proximal (melalui serabut eferen post ganglioner) sehingga terjadi relaksasi. Sebagian

dari serabut saraf tersebut menuju ke m.detrusor dan terjadi kontraksi pada otot tersebut juga disertai dengan tekanan intravesical yang meningkat. Kontraksi ini akan mendorong muara uretra ke bawah dan belakang menjadi satu bidang trigonum buli yang membentuk suatu corong hingga mendorong urine ke bawah. Secara bersamaan otot uretra bagian proximal akan terjadi relaksasi yang kemudian urine ke luar mengalir ke uretra dan terjadilah pengosongan buli-buli. Pada fase ini tak akan terjadi apabila kontrol dan otak yang lewat tractus spinothalamicus dan retikulospinal tak dilepas. c) Relaksasi otot-otot dasar panggul dan penurunan tekanan pada uretra yang disertai dengan kontraksi m. detrusor untuk mendorong urine ke luar dari bulibuli. Beberapa refleks yang terjadi pada penyimpanan dan pengosongan urine agar buli-buli bagian bawah dapat berfungsi secara normal, yaitu: Refleks relaksasi dari otot detrusor selama pengisian dilakukan oleh simpatik inhibitor terhadap ganglion parasimpatik. Refleks peningkatan aktifitas otot rhabdosfingter uretra dalam pengisian kandung kemih. Refleks permulaan relaksasi uretra pada permulaan berkemih. Refleks kontraksi otot detrusor pada permulaan berkemih. Refleks pengaliran urine di dalam uretra.

(iii)Pada keadaan tonus otot pubocoxygeal berkurang yang disebabkan oleh terisinya buli-buli penuh, maka penyangga uretra akan kendor dan urine akan lebih mudah

ke luar. Apabila dikehendaki maka secara volunter uretra bagian distal akan terjadi relaksasi dan urine mengalir ke luar. (iv) Setelah keadaan buli-buli kosong, maka m. detrusor tidak lagi terangsang dan akan relaksasi, tetapi sebaliknya uretra proximal akan kontraksi dan aliran urine terhenti dan uretra menjadi tertutup kembali. I. ETIOLOGI (3,5) Etiologi inkontinensia dapat disebabkan oleh karena gangguan yang berhubungan / berkaitan dengan penyimpanan maupun pengosongan urine atau yang berhubungan dengan masalah otot sphinkter. A. Inkontinensia yang berhubungan dengan kandung kemih : 1. Penurunan kapasitas tampung Penyebabnya adalah antara lain: fibrosis, kongenital idiopatik ataupun psikogenik. Fibrosis kandung kemih bisa akibat sekunder dari infeksi kronis, radiasi dan kemoterapi intravesical, tuberculosis, sistitis interstitialis. Kapasitas volume kurang dari 200 ml makin memperkuat dugaan, karena jelas menimbulkan gejala. Hal ini bisa akibat keadaan-keadaan di atas atau mungkin gangguan fungsional yang didapat sejak pertumbuhan masa anak-anak. 2. Disfungsi detrusor Disfungsi detrusor dapat dibagi menjadi 2 kelompok fungsional : hiperefleksia detrusor instabilitas detrusor

Hiperefleksia detrusor dapat didefinisikan sebagai kontraksi kandung kemih involunter atau pada pasien yang mengalami kelainan neurologi, seperti sklerosis multipel, penyakit serebrovaskuler myelitis transversal. Instabilitas detrusor identik dengan kontraksi involunter tanpa etiologi neurologi. Umumnya pasien ini datang dengan inkontinensia urgensi. Penyebabnya bisa oleh karena infeksi, inflamasi atau proses iritasi (misal carsinoma insitu). 3. Komplians buruk Pada pasien dengan komplians buruk, kandung kemih tidak dapat menyimpan urine pada tekanan yang rendah. Karena penurunan komplians mengakibatkan penurunan kemampuan penyimpanan urine. Fibrosis kandung kemih akibat sekunder terapi radiasi atau infeksi kronis seringkali menyebabkan gangguan komplians sehingga menimbulkan inkontinensia. 4. Pengosongan urine yang tak sempurna Pasien dengan gangguan ini tidak mampu menghasilkan kontraksi teratur otot detrusor untuk mengeluarkan semua urine. Keluhan penderita ini adalah perasaan selalu ada urine dalam kandung kemihnya tidak keluar seluruhnya sehingga tidak puas dan merasa perlu sering berkemih. 5. Urgensi Sensoris Sindrome urgensi sensoris ditandai oleh frekuensi dan urgensi tanpa kelainan urodinamika. Seringkali disertai dengan rasa nyeri suprapubik. Pasien sering berkemih terutama karena nyeri sekali bila kandung kemih penuh. Gambaran

diskripsi urgensi sensoris idiopatik antara lain : cystitis interstitialis, trigonitis dan sindroma uretral. B. Inkontinensia yang berhubungan dengan sphinkter Pada jenis ini, leher kandung kemih ataupun sphinkter uretra interna tidak lagi befungsi, seperti sphinkter yang utuh. A. FAKTOR RESIKO INKONTINENSIA URIN 1. Usia Prevalensi inkontinensia meningkat bertahap selama masa dewasa muda. Puncak yang lebar tampak pada usia pertengahan dan kemudian menetap setelah usia 65 tahun (6).

Gambar 1.1 : Prevalence of any (n = 6,170) and significant (n = 1,832) incontinence by age group (From Hannestad, 2000, with permission.)

2. Ras Dulunya wanita Kaukasia diyakini lebih beresiko mengalami inkontinensia urin daripada ras lain. Namun sebaliknya, wanita AfrikaAmerika dipercaya berprevalensi lebih tinggi pada urge incontinence. Namun laporan tersebut tidak berdasar populasi, dan dengan demikian perbedaan ras sejatinya bukan merupakan perkiraan yang terbaik. Sebagian besar studi epidemiologis mengenai inkontinensia urin dilaksanakan dalam populasi Kaukasian. Data yang ada menyangkut perbedaan ras sangat didasarkan pada ukuran sampel yang kecil. Dari catatan terkini, belum jelas apakah perbedaan ini biologis, berkaitan dengan penilaian pelayanan kesehatan, atau dipengaruhi oleh ekspektasi kultural dan ambang toleransi simptom. Dengan demikian, masih diperlukan studi lebih mendalam mengenai studi nonKaukasian.(7) 3. Obesitas Beberapa studi epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan body mass index (BMI) merupakan faktor resiko independen dan signiffikan untuk semua jenis inkontinensia urin (Table 23-1). Bukti menunjukkan bahwa prevalensi urge incontinence dan stress incontinence meningkat berbanding lurus dengan meningkatnya BMI.(8) Secara teoritis peningkatan tekanan intraabdominal yang bersamaan dengan pemingkatan BMI menghasilkan tekanan intravesikal yang secara proporsional lebih tinggi. Tekanan yang lebih tinggi ini menimbulkan urethral closing pressure dan menjurus pada inkontinensia. Deitel and co-workers (1988) melaporkan adanya penurunan yang signifikan pada prevalensi stress urinary incontinence, dari 61 menjadi 11%, pada wanita obese seiring dengan penurunan berat badan setelah pembedahan bariatrik. Sesuai dengan itu, jika proporsi populasi yang overweight dan obese lebih besar, diharapkan kita dapat melihat peningkatan prevalensi inkontinensia urin di Amerika Serikat.(9)

Table 1.1 Faktor Resiko Inkontinensia Urin 4. Menopause Studi-studi yang ada belum konsisten menunjukkan adanya Usia Kehamilan Kelahiran Menopause Histerektomi Obesitas Simptom urinari Gangguan fungsional Gangguan kognitif Tekanan abdominal tinggi yang kronis Batuk kronis Konstipasi Resiko okupasional Merokok

peningkatan disfungsi urin setelah seorang wanita memasuki tahun-tahun postmenopausal. Sukar untuk memisahkan efek hipoestrogenisme dari efek penuaan.(10) Reseptor estrogen afinitas tinggi telah diidentifikasi di uretra, muskulus pubokoksigeal, dan trigonum bladder, namun jarang ditemukan di bladder.(11) Dipercaya bahwa perubahan kolagen yang berkaitan dengan hipoestrogen dan reduksi vaskularisasi serta volume muskulus skeletal secara kolektif berperan pada gangguan fungsi uretra melalui penurunan resting urethral pressure.(12) Lebih jauh lagi, defisiensi estrogen yang menimbulkan atrofi urogenital diperkirakan berperan dalam simptom sensoris urinari yang menyertai menopause.(13) Estrogen memang berperan penting dalam fungsi

urinari normal, namun masih kurang jelas apakah estrogen berguna dalam terapi atau pencegahan inkontinensia (Estrogen Replacement). (14) 5. Persalinan dan Multipara Banyak studi menemukan bahwa wanita para memiliki prevalensi inkontinensia urin lebih besar dibandingkan dengan yang nullipara. Pengaruh dari melahirkan anak terhadap kejadian inkontinensia dapat timbul dari luka langsung pada otot-otot pelvis dan perlekatan jaringan ikat. Sebagai tambahan, kerusakan syaraf dari trauma atau ketegangan yang ada dapat berdampak pada disfungsi otot pelvis.(15) Secara spesifik, level yang lebih tinggi dari latensi motorik nervus pudendal yang lama setelah melahirkan nampak pada wanita dengan inkontinensia dibanding dengan wanita yang asimtomatis. 6. Kebiasaan merokok dan penyakit paru kronis Ada 2 studi epidemiologis yang menunjukkan peningkatan resiko inkontinensia urin yang signifikan pada wanita usia lebih dari 60 tahun dengan penyakit pulmoner obstruktif kronis.(16,17) Sama pula pada kebiasaan merokok yang diidentifikasi sebagai faktor resiko independen inkontinensia urin pada beberapa studi. Salah satu dari studi tersebut, menyebutkan bahwa baik yang perokok maupun mantan perokok tercatat memiliki resiko 2-3 kali lipat dibanding dengan yang bukan perokok.(18) Secara teoritis, kenaikan persisten tekanan intraabdominal yang timbul karena batuk kronis perokok dan sintesis kolagen, dapat diturunkan dengan efek antiestrogenik merokok. 7. Histerektomi Studi belum menunjukkan hasil yang konsisten bahwa histerektomi merupakan faktor resiko berkembangnya inkontinensia urin. Studi yang menunjukkan hubungan tersebut adalah studi retrospektif, kurangnya grup kontrol yang sesuai, dan sering semata-mata berdasarkan data subyektif.(18) Sebaliknya, Studi yang meliputi tes pre dan post operatif urodinamik

mengungkapkan perubahan fungsi bladder yang secara klinis tidak signifikan. Lebih jauh lagi, bukti tidak mendukung bahwa menghindari histerektomi yang telah diindikasikan secara klinis ataupun menghindari pelaksanaan

histerektomi supracervical menjadi ukuran untuk mencegah inkontinensia urin.(19,20) II. KLASIFIKASI (1,4,5) Ada beberapa macam pembagian jenis inkontinensia urine pada wanita. A. Berdasarkan keluhan, ada 3 varian inkontinensia urine yang sering dijumpai pada wanita yaitu : 1. Inkontinensia Urgensi (tak dapat menahan kencing) Pasien mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah mengadakan kontraksi pada saat kapasitas buli-buli belum terpenuhi. Frekuensi miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan perasaan urgensi. Inkotinensia urge meliputi 22% dari semua inkotinensi pada wanita. Ini disebabkan oleh karena kelainan dari vesika urinaria yang hiperaktif sehingga juga disebut overactive bladder / unstable bladder dan menurunnya komplians buli-buli. Overaktivitas detrusor dapat disebabkan oleh kelainan neurologik, kelainan non neurologis atau kelainan lain yang belum diketahui. Jika disebabkan oleh kelainan neurologis disebut hiperrefleksi detrusor, sedangkan jika penyebabnya adalah kelainan non neurologis disebut instabilitas detrusor. Istilah overaktifitas detrusor dipakai jika tidak dapat diketahui penyebabnya.

Hiperrefleksia detrusor disebabkan oleh kelainan neurologis di antaranya adalah stroke, penyakit Parkinson, cedera korda spinalis, sklerosis multipel, spina bifida atau mielitis transversal. Instabilitas detrusor seringkali disebabkan oleh obstruksi infravesika, pasca bedah intravesika, batu buli-buli, tumor buli-buli dan sistitis. Penurunan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan tekanannya pada saat pengisian urine (komplians) dapat disebabkan karena kandungan kolagen pada matriks detrusor bertambah atau adanya kelainan neurologis. Penambahan kandungan kolagen terdapat pada sistitis tuberkulosa, sistitis pasca radiasi, pemakaian kateter menetap dalam waktu jangka waktu lama atau obstruksi infravesika karena hyperplasia prostat. Tidak jarang inkotinensia urge menyertai sindroma overaktifitas buli-buli. Sindroma ini ditandai dengan frekuensi, urgensi dan kadang-kadang inkotinensia urge. 2. Inkontinensia Stress Keluarnya urine dari uretra pada saat terjadi peningkatan tekanan intraabdominal. Terjadinya inkotinensia ini karena faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intravesika meningkat (buli-buli terisi). Kenaikan tekanan intraabdomen dapat dipengaruhi akibat batuk, bersin, tertawa atau kegiatan fisik yang lain. Kemudian tekanan tersebut diteruskan ke kandung kemih sehingga menaikkan tekanan intravesika tanpa disertai kenaikan intra uretra. Maka terjadi rembesan urine yang diakibatkan oleh perbedaan tekanan tersebut. Inkotinensia stress banyak dijumpai pada wanita

dan merupakan jenis inkotinensia urine paling banyak prevalensinya, yakni kurang lebih 8-33%. Pada wanita penyebab kerusakan uretra dibedakan dalam dua keadaan, yakni hipermobilitas uretra dan defisiensi intrinsik uretra. Hipermobilitas uretra disebabkan kelemahan otot-otot dasar panggul yang berfungsi sebagai penyanggah uretra dan buli-buli. Kelemahan otot ini menyebabkan terjadinya penurunan (herniasi) dan angulasi leher buli-buli-uretra pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Herniasi dan angulasi itu terlihat sebagai terbukanya leher buli-buli-uretra sehingga menyebabkan bocornya urine dari buli-buli meskipun tidaak ada peningkatan tekanan intravesika. Kelemahan otot dasar panggul dapat pula menyebabkan terjadinya prolapsus uteri, sistokel dan enterokel. Penyebabnya bisa karena trauma persalinan, histerektomi, perubahan hormonal (menopause) atau kelainan neurologi. Akibat defisiensi estrogen pada masa menopause, terjadi atrofi jaringan genitourinaria. Klasifikasi yang dikemukakan oleh Blaivas dan Olsson berdasarkan pada penurunan letak leher buli-buli dan uretra setelah pasien diminta melakukan manuver valsava. Penilaian ini dilakukan berdasarkan pengamatan klinis berupa keluarnya (kebocoran) urine dan dengan bantuan video urodinamik. Tipe 0 : pasien mengeluh tentang inkotinensia stress tetapi pada pemeriksaan tidak diketemukan adanya kebocoran urine. Pada video-urodinamika setelah manuver valsava, leher buli-buli dan uretra menjadi terbuka Tipe I : jika terdapat penurunan <2cm dan kadang-kadang disertai dengan sistokel yang masih kecil.

Tipe II : jika penurunan >2cm dan seringkali disertai dengan adanya sistokel; dalam hal ini sistokel mungkin berada di dalam vagina (tipe IIa) atau diluar vagina (tipe IIb) Tipe III : leher buli-buli dan uretra tetap terbuka meskipun tanpa adanya kontraksi detrusor maupun manuver valsava, sehingga urine selalu keluar karen faktor gravitasi atau penambahan tekanan intravesika (gerakan) yang minimal. Tipe ini disebabkan defisiensi sfingter intrinsic (ISD) 3. Inkontinensia Totalis Pasien mengeluh terus menerus basah baik saat istirahat maupun kegiatan fisik lain yang menimbulkan stress. B. Jenis inkontinensia urine yang, lain yang terjadi pada wanita baik berdasarkan keluhan maupun adanya kelainan anatomi pada bagian tractus urinarius bagian bawah adalah sebagai berikut : 1. Overflow Incontinence ( Inkotinensia paradoksa) Keluarnya urine tanpa dapat dikontrol pada keadaan volume urine di buli-buli melebihi kapasitasnya. Vesika urinaria bisa penuh oleh karena pengosongannya yang tidak sempurna akibat obstruksi intravesikal atau karena kontraksi otot-otot detrusor yang tidak sempurna seperti pada atonia atau arefleksia vesika urinaria. Keadaan ini ditandai dengan overdistensi buli-buli (retensi urine) tetapi karena buli-buli tidak mampu lagi mengosongkan isinya, tampak urine selalu menetes dari meatus uretra. Kelemahan otot detrusor ini dapat disebabkan karena obstruksi uretra, neuropati diabetikum, cedera spinal, defisiensi vitamin B12 atau pasca

bedah pada daerah pelvik. Bisa juga disebabkan oleh karena persarafan, obatobatan atau kadang stress psikis. 2. Functional / Transient Urinary Incontinence Kebocoran urine yang mendadak yang diakibatkan oleh karena gangguan atau faktor yang bukan dari tractus urinarius. Oleh karena adanya hambatan tertentu, pasien tidak mampu menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul sehingga kencingnya keluar tanpa dapat ditahan. Hambatan itu dapat berupa gangguan fisis, gangguan kognitif, maupun pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Hal ini sering terjadi pada orang tua dan sangat penting untuk diketahui karena mudah di atasi. Penyebabnya bermacam-macam antara lain (untuk membantu mengingat dengan singkatan DIAPPERS) D = Dellirium I = Infect ion of urinary (symptonlatic)

A = Atropic urethritis/vaginistis P = Pharmaceuticals P = Psychologic E = Excessive urine out put R = Restricted mobility S = Strol impaction 3. Continuos Incontinence Inkotinensia kontinua adalah urine yang selalu keluar setiap saat dan dalam berbagai posisi. Keadaan ini paling sering disebabkan oleh fistula sistem

urinaria yang menyebabkan urine tidak melewati sfingter uretra. Pada fistula vesikovagina terdapat lubang yang menghubungkan buli-buli dan vagina. Jika lubangnya cukup besar, buli-buli tidak pernah terisi dengan urine, karena urine yang berasal dari kedua ureter tidak sempat tertampung di buli-buli dan keluar melalui fistula ke vagina. Fistula vesikovagina seringkali disebabkan oleh operasi ginekologi, trauma obstetri atau pasca radiasi di daerah pelvik. Fistula sistem urinaria yang lain adalah fistula uterovagina yaitu terdapat hubungan langsung antara ureter dengan vagina. Keadaan ini juga disebabkan karena cedera ureter pasca operasi daerah pelvis. Penyebab lain inkotinensia kontinua adalah muara ureter ektopik pada anak perempuan. Pada kelainan bawaan ini, salah satu ureter bermuara pada uretra di sebelah distal dari sfingter uretra eksternum. Urine yang disalurkan melalui ureter ektopik langsung keluar tanpa melalui hambatan sfingter uretra eksterna sehingga selalu bocor. Gejala khas muara ureter ektopik sama dengan fistula uterovagina, yaitu urine selalu merembes keluar tetapi pasien masih bisa melakukan miksi seperti orang normal. 4. Neurophatic Incontinence Inkontinensia yang disebabkan oleh penyakit atau kerusakan pada saraf dan kadang disertai dengan kehilangan sensasi vesica urinaria. Hal ini disebabkan oleh karena refleks yang hiperaktif, sehingga terjadi kontraksi otot detrusor, pada waktu dan tempat yang tak diinginkan. Biasanya terjadi pada orang-orang paraplegi, tetraplegi dan penderita dengan sklerosis multipel.

C. Mixed Incontinence Bila terdapat motor urge incontinence sebagai hasil detrusor activity dan sekaligus didapatkan stress incontinence juga. Pada jenis mixed incontinence, keluhan penderita sering dialami atau terjadi bersama-sama. Untuk itu pendekatan harus dilakukan berdasarkan keluhan yang lebih mengganggu karena pada mixed incontinence pengelolaannya sering tumbuh kontroversi dan komplikasi. Pendekatan operasi harus melalui pertimbangan dengan teliti kasus perkasus dan harus dilengkapi dengan pemeriksaan klinis dan urodinamik yang menyeluruh. D. Sebab lain Inkontinensia Di sini tennasuk yang dinamakan true incontinence yaitu kondisi dimana terdapat fistula antara vesika urinaria dengan dinding perut, fistula vesicovaginal dan fistula uretrovaginal. Penyebahnya bisa kongenital, iatrogen atau idiopatik. E. Stress Inkontinensia Pada Wanita Sebagian besar sebagai akibat kelemahan mekanisme sphinter. Keadaan ini meningkat dengan semakin banyak melahirkan anak pervaginam, dan prevalensi puncak terjadi pada periode perimenopause. Pada wanita tua, stress inkontinensia adalah umum terjadi tetapi jarang hanya satu type inkontinensia lebih sering terjadi kombinasi stress dan urge inkontinensia. Adapun stress inkontinensia pada wanita dibagi 3 grade yaitu : Grade I : Pasien dengan gejala klasik inkontinensia dengan kenaikan tekanan intraabdominal tiba-tiba, tapi tidak pernah terjadi inkontinensia di tempat tidur pada malam hari.

Grade II : Inkontinensia memburuk, kurang adanya stress fisik seperti berjalan, berdiri dari posisi duduk dan atau sebaliknya. Grade III : Terjadi inkontinensia tanpa hubungan dengan aktifitas fisik atau posisi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Yunizaf H. Overactive Bladder. 2001. Satelit Simposium Inkontinensia. Kumpulan Makalah. Denpasar, Bali: KOGI. 2. Petrou SP, Baract F. Evaluation of Urinary Incontinence in Women. Braz J Urol;27:165-0, 2001. 3. Siddiqi S, Kausar S.Urinary Incontinence in Women. Medicine Today;3 (4):1649, 2000. 4. Purnomo, B Basuki. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Malang: Sagung Seto. 5. Santoso, B Iman. 2008. Inkotinensia Urin pada Perempuan. Jakarta: Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI. 6. Hannestad YS, Rortveit G, Sandvik H, et al. A community-based epidemiological survey of female urinary incontinence: the Norwegian EPINCONT study. Epidemiology of Incontinence in the County of Nord-Trondelag. J Clin Epidemiol 53:1150, 2000. 7. Bump RC, McClish DK. Cigarette Smoking and Urinary Incontinence in Women. Am J Obstet Gynecol 167:1213, 2005.

8. Hannestad YS, Rortveit G, Daltveit AK, et al. Are Smoking and Other Lifestyle Factors Associated with Female Urinary Incontinence? The Norwegian EPINCONT Study. BJOG 110:247, 2003. 9. Bai SW, Kang JY, Rha KH, et al. Relationship of Urodynamic Parameters and Obesity in Women with Stress Urinary Incontinence. J Reprod Med 47:559, 2002. 10. Fantl JA, Cardozo L, McClish DK. Estrogen Therapy in The Management of Urinary Incontinence in Postmenopausal Women: a Meta-analysis. First report of the Hormones and Urogenital Therapy Committee. Obstet Gynecol 83:12,2004. 11. Iosif CS, Batra S, Ek A, et al. Estrogen receptors in the human female lower urinary tract. Am J Obstet Gynecol 141:817, 2010. 12. Carlile A, Davies I, Rigby A, et al: Age changes in the human female urethra: a morphometric study. J Urol 139:532, 2008. 13. Raz R, Stamm WE: A controlled trial of intravaginal estriol in postmenopausal women with recurrent urinary tract infections. N Engl J Med 329:753, 1993. 14. Fantl JA, Bump RC, Robinson D, et al: Efficacy of estrogen supplementation in the treatment of urinary incontinence. The Continence Program for Women Research Group. Obstet Gynecol 88:745, 2006. 15. Snooks SJ, Swash M, Henry MM, et al: Risk factors in childbirth causing damage to the pelvic floor innervation. Int J Colorectal Dis 1:20, 2006. 16. Brown JS, Seeley DG, Fong J, et al: Urinary incontinence in older women: who is at risk? Study of Osteoporotic Fractures Research Group. Obstet Gynecol 87(5 Pt 1):715, 2006.

17. Diokno AC, Brock BM, Herzog AR, et al: Medical correlates of urinary incontinence in the elderly. Urology 36:129, 2010. 18. Bump RC, Norton PA. Epidemiology and natural history of pelvic floor dysfunction. Obstet Gynecol Clin North Am 25:723, 2008. 19. Vervest HA, van Venrooij GE, Barents JW, et al: Non-radical hysterectomy and the function of the lower urinary tract. II: Urodynamic quantification of changes in evacuation function. Acta Obstet Gynecol Scand 68:231, 2008. 20. Wake CR: The immediate effect of abdominal hysterectomy on intravesical pressure and detrusor activity. Br J Obstet Gynaecol 87:901, 2007.

You might also like