You are on page 1of 3

GAPRI (Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia) Problem Ketahanan Pangan dan Nasib Petani

Hasan Asqolani
Senin, January 07, 2008 12:33:27

Akhir-akhir ini, rakyat Indonesia sering dikejutkan dengan berita banyaknya anak-anak yang menderita gizi buruk atau bahkan busung lapar di beberapa wilayah. Sebagai contoh, 66.685 anak di Nusa Tenggara. Sekitar 49.000 anak di Nusa Tenggara Barat, 425 anak di Boyolali, dan 11.368 anak di Sumba Barat, menderita gizi buruk yang sangat memprihatinkan, dan sebagian dari mereka meninggal dunia karena orangtuanya tidak bisa memenuhi kebutuhan gizi anaknya. Dan berdasarkan peta orang lapar yang dibuat oleh Food and Agricultural Organization (FAO), hampir di seluruh wilayah Indonesia termasuk daerah rawan pangan. Kenapa hal ini sampai terjadi? Padahal, Indonesia dikenal dengan negeri yang subur dan makmur. Sebelum melihat persoalan dibalik gizi buruk dan busung lapar, ada baiknya dilihat dulu definisi dari ketahanan pangan. Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, pada pasal 1 ayat 17, menyebutkan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dalam UU ini, ketahanan pangan ditujukan kepada kebutuhan rumah tangga, karena asumsi bahwa rumah tangga adalah bentuk kesatuan masyarakat terkecil di Indonesia. Bandingkan definisi ini dengan pengertian food security (ketahanan pangan) yang tertera dalam Rome Declaration and World Food Summit Plan of Action, yaitu food security exists when all people, at all times, have access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs for an active and healthy life. Dalam definisi ini, sangat jelas bahwa ketahanan pangan harus dimiliki oleh setiap individu (all people), tidak saja yang berada dalam kesatuan rumah tangga (seperti yang disebutkan dalam UU no. 7 th 1996). Untuk konteks Indonesia, definisi ini bisa mencakup para gelandangan, anak jalanan, orang miskin kota yang hidup dibawah jembatan, di perkampungan kumuh, dan orang yang hidup menyendiri. Jadi, definisi yang diberikan oleh Rome Declaration adalah lebih sesuai untuk menjamin hak asasi rakyat untuk mendapatkan pangan yang layak, daripada definisi yang diberikan UU no.7 th 1996. Ketersediaan Pangan Terjadinya rawan pangan diakibatkan oleh tidak terpenuhinya target ketersediaan pangan bagi rakyat. Hal ini bisa dilihat dari jumlah produksi beras nasional. Produksi gabah pada tahun 2004 adalah sebesar 54,06 juta ton (BPS, 2004). Dengan asumsi produksi sebesar 55 %, maka akan dihasilkan 29,733 juta ton beras. Apabila menggunakan asumsi kebutuhan beras rakyat Indonesia adalah 133 kg perkapita, maka beras yang dibutuhkan untuk 220 juta penduduk adalah 29,26 juta ton per tahun. Tentunya, berdasarkan produksi gabah pada tahun 2004, bisa dikatakan bahwa kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia dapat tercukupi dengan baik. Bahkan perhitungan ini menggunakan asumsi bahwa seluruh penduduk memakan nasi, padahal masih ada yang memakan jagung, ketela, sagu, atau kacang-kacangan. Tetapi, fakta menunjukkan lain. Sepanjang awal 2005 kasus gizi buruk dan busung lapar bermunculan. Bahkan diyakini, masih banyak rakyat yang menderita busung lapar, tetapi tidak sempat terekpose oleh media massa. Ada apa dibalik ketersediaan pangan ini? Pangan (beras, kedelai, jagung, ketela, dll) di Indonesia, tidak serta merta disediakan oleh pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (BULOG). Tetapi, petani (hampir 60 % dari seluruh

penduduk) yang telah bersusah-payah menyediakan pangan tersebut. Ironisnya, sebagai produsen pangan, petani juga sekaligus menjadi korban dari rawan pangan. Apabila dilihat dari kasus yang terjadi di NTT, NTB, Sumba, dll, maka sebagian besar korban adalah petani miskin yang hidup di pedesaan. Ternyata, 56,5 % dari 25,4 juta keluarga petani yang ada di Indonesia adalah petani gurem, yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha (BPS, 2003). Padahal, untuk sekedar survive petani minimal harus memiliki lahan 1 Ha. Maka tidak heran, bahwa hampir 60 % dari petani Indonesia adalah masuk dalam kategori miskin (pendapatan di bawah $US 2 per hari). Bagaimana mungkin, petani yang miskin akan menjadi penyangga utama penyedia pangan untuk seluruh rakyat Indonesia. Dari analisa ini, maka ada 2 hal yang harus menjadi perhatian utama pemerintah untuk menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat. Pertama, petani sebagai produsen pangan harus dijamin kesejahteraannya. Hal ini sangat penting untuk memotivasi kinerja petani agar secara sungguh-sungguh mewujudkan ketersediaan pangan. Petani akan enggan menanam padi misalnya, kalau hal itu tidak akan memberikan keuntungan bagi mereka. Kedua, kalau dilihat dari perhitungan diatas, ternyata produksi pangan mencukupi, tetapi busung lapar masih terjadi, maka masalahnya adalah distribusi. Peta produksi pangan (wilayah surplus dan minus) secara akurat harus dimiliki oleh pemerintah, untuk memastikan pendistribusiannya ke berbagai tempat yang kekurangan. Disini sebenarnya fungsi BULOG harus dijalankan dengan sesungguhnya. Solusi dari Rawan Pangan Untuk menjamin kesejahteraan petani dan distribusi pangan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pertama, agenda land reform yang diamanatkan oleh Undangundang Pokok Agraria no. 5 tahun 1960, dan dikuatkan dengan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, harus segera dilaksanakan. Hal ini untuk menjamin bahwa petani bisa memperoleh lahan yang layak untuk produksi pangan. Kedua, karena banyak petani yang hanya memiliki lahan sempit, maka perlu dibangun corporate farming. Dalam konsep ini, petani-petani kecil akan bergabung dalam satuan areal yang luas untuk memproduksi pangan secara bersama-sama. Hal ini akan menjadikan proses produksi lebih efektif dan efisien waktu, biaya dan tenaga. Disamping itu, petani juga bisa melakukan bargaining dengan pembeli (tengkulak), karena mereka menjualnya dalam jumlah yang banyak secara kolektif. Ketiga, pemerintah harus bisa menjamin akses pasar dan modal bagi petani. Seringkali, kedua hal tersebut menjadi kendala bagi petani untuk melangsungkan proses produksinya. Akses modal akan menjamin selesainya proses produksinya dengan baik, sedangkan akses pasar akan menjamin harga yang layak bagi petani. Keempat, sebenarnya fungsi BULOG sebagai pengaman ketersediaan pangan adalah sangat strategis. Hanya saja, BULOG tidak berhubungan langsung dengan petani, tetapi menggunakan perantara kontraktor sebagai pemasok gabah dengan berbagai persyaratannya. Hal ini menimbulkan lemahnya akses petani terhadap program pengadaan pangan BULOG. Dan akhirnya, yang menikmati keuntungan tetap saja para pedagang besar. Disisi lain, BULOG kadangkala melakukan impor beras, dimana produksi petani cukup berlimpah. Tentunya, harga gabah di petani menjadi jatuh, yang kemudian dimanfaatkan oleh pedagang untuk keperluan memenuhi kebutuhan BULOG. Dalam hal ini, sebagai BUMN, BULOG harus secara tegas memposisikan diri sebagai mitra petani untuk pemenuhan ketersediaan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima, keragaman pangan yang dimiliki oleh rakyat, sebaiknya dipelihara dengan baik. Keragaman pangan akan membantu petani untuk bebas menentukan jenis tanaman pangan

yang akan ditanamnya. Disisi lain, keragaman pangan juga akan mempermudah rakyat untuk mencari alternatif pangan, apabila pangan pokoknya sedang langka. Tentunya, hal ini akan lebih menjamin berkurangnya kelaparan yang diderita oleh rakyat. Apalagi, saat ini dibeberapa kota besar, masyarakat sudah mulai terbiasa dengan tidak makan nasi, tetapi menggantinya dengan roti, mie, atau sayuran. Jadi, dengan melakukan kelima hal diatas, pemerintah bisa menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat melalui peningkatan kesejahteraan petani dan pendistribusian pangan secara merata. Tentunya, bangsa ini tidak ingin melihat gizi buruk dan busung lapar akan berlarut-larut menjadi masalah yang berkepanjangan.

You might also like