Professional Documents
Culture Documents
com)
Alkisah, hiduplah seorang lelaki tua bersama seorang istri dan tiga orang anak-
nya. Mereka adalah sebuah keluarga yang sangat miskin. Setiap hari, lelaki
tua tersebut mencari nafkah dengan cara mencari ikan. Uniknya, setiap hari
si nelayan tidak pernah menebarkan jaring yang dimilikinya kecuali hanya
empat kali lemparan, tidak lebih.
Sampai pada suatu tengah hari, nelayan ini pergi ke pantai untuk mencari
ikan. Diletakkannya tempat ikan yang dibawanya, dan kemudian dengan
sigap, dilemparkan jaringnya untuk kali pertama. Dengan sabar, dibiarkannya
jaring yang dilemparnya itu masuk ke dalam air. Dan setelah beberapa saat,
ditariknya jaring tersebut perlahan-lahan. Di luar dugaan, ternyata jaring itu
terasa berat. Dia berusaha menarik jaringnya, tapi sia-sia. Jaring itu ternyata
terlalu berat untuk dapat ditarik oleh lelaki setua dirinya. Akhirnya, nelayan
tua itu memasang pasak di bibir pantai, dan diikatnya jaring yang berat itu ke
pasak. Si nelayan kemudian melepas pakaiannya, dan menceburkan dirinya ke
dalam air untuk melihat benda apakah gerangan yang menyangkut di jaringnya
sehingga membuatnya menjadi sedemikian berat.
Dengan susah payah dikeluarkannya benda yang tersangkut di jaringnya
itu dari dalam air. Si nelayan kembali mengenakan pakaiannya, dan melihat
ke bagian dalam jaring. Aneh. Di dalam jaring yang dilemparkannya tadi, si
nelayan tua melihat seekor keledai yang sudah menjadi bangkai!
Demi melihat apa yang didapatkannya, maka dengan muka masam nelayan
tua itu bersenandung:
Namun rupanya sang jin tetap bergeming, 'Sudahlah jangan merajuk, kau
tetap harus mati, katanya.
'Apakah kau sungguh-sungguh akan tetap membunuhku?' nelayan tua
itu kembali bertanya.
'Tentu,' jawab sang jin.
Di ujung keputusasaan, nelayan tua itu berkata, 'Demi nama agung yang
terukir di segel Sulaiman a.s., aku memintamu melakukan sesuatu.'
Pagi datang lagi, Cerita Syahrazad pun terhenti. Satu malam lagi, putri yang
cerdas ini selamat dari mati.
Raja Yunan lalu berkata kepada menterinya itu, "Hai menteri! Ketahuilah bahwa
perasaan iri telah merasuki dirimu atas Orang Pintar itu. Kau tentu ingin agar
aku membunuhnya, dan sesudah itu, aku akan menyesal seperti yang pernah
menimpa Raja Sindbad yang membunuh burung elang kesayangannya."
"Bagaimana ceritanya?" tanya sang menteri.
"Pada zaman dahulu hiduplah seorang raja Persia," Raja Yunan memulai
penuturannya, "Raja Persia ini memelihara seekor elang yang amat disayanginya,
Duban lalu berkata, "Balasan baginda atas jasa hamba adalah seperti bala-
san yang dulu pernah dilakukan oleh seekor buaya."
"Bagaimana kisah tentang buaya yang kau maksud?" tanya sang Raja.
"Raja Yunan telah mati. Jadi, ketahuilah wahai jin seandainya saja dia
membiarkan Duban hidup, tentulah Allah akan membiarkannya hidup.
Akan tetapi sang Raja lebih memilih untuk membunuh Duban yang telah me-
nolongnya, maka Allah membalas kejahatannya. Begitu pula denganmu, jika
kau membiarkan aku hidup, maka Allah akan membiarkanmu hidup," ujar si
nelayan tua kepada jin di dalam botol tembaga yang dibawanya.
Malam hampir lewat. Pagi sudah dekat. Syahrazad menutup mulutnya rapat-
rapat.
Ketika si nelayan tua berkata kepada sang jin, "Sebenarnya, jika kau mau mem-
biarkan aku hidup, maka aku akan membebaskanmu, tetapi rupanya yang
kau inginkan hanyalah membunuhku, oleh sebab itu aku biarkan kau mati di
dalam botol yang akan kulemparkan ke dalam laut."
Ketika mendengar ucapan si nelayan tua, sang jin berkata, "Demi Allah,
jangan kau lakukan itu! Beri aku kesempatan untuk hidup. Janganlah kau mem-
balas kejahatan yang aku lakukan. Wahai nelayan, berbuat baiklah, meski tadi
aku telah berbuat jahat padamu. Janganlah kau mengikuti apa yang pernah
dilakukan oleh Umamah bersama Atikah."
"Apa yang mereka berdua lakukan?" tanya si nelayan.
Seusai mendengar perkataan sang ikan, gadis kecil itu kembali membalikkan
penggorengan dengan menggunakan tongkatnya. Setelah melakukan itu, si
gadis kembali masuk ke tempatnya keluar tadi, dan tembok yang terbelah
pun kembali seperti semula.
Setelah melihat kejadian tersebut dengan mata kepalanya sendiri, sang
menteri lalu berkata, "Masalah ini harus disampaikan kepada Sultan." Sang
menteri pun bergegas menghadap baginda Sultan untuk menyampaikan apa
yang baru terjadi di hadapannya.
"Aku harus melihat sendiri," demikian ucapan Sultan ketika mendengar
laporan sang menteri.
Sekali lagi, si nelayan rua diminta datang ke istana dengan membawa
empat ekor ikan seperti sebelumnya. Sultan memberi waktu tiga hari kepada
si nelayan rua untuk memenuhi permintaannya. Sang nelayan pun kembali
mendatangi telaga tempatnya mengambil ikan ajaib. Dan setelah berhasil me-
nangkap empat ekor ikan, sang nelayan langsung menyerahkannya kepada
sang menteri.
Setelah menerima ikan yang diberikan oleh si nelayan rua, Sultan me-
merintahkan menterinya untuk memberi empat ratus dinar kepada si nelayan.
Kemudian baginda Sultan berkata, "Hai menteriku, gorenglah ikan-ikan itu
di hadapanku."
"Baik, Baginda," jawabnya. Lalu sang menteri mengambil sebuah penggore-
ngan dan langsung memasukkan keempat ikan ajaib. Benar. Tembok istana terbelah
dan keluarlah seorang budak hitam yang rupanya seperti kerbau atau orang Ad
yang buruk rupa, sementara tangannya memegang sebatang ranting berwarna
hijau. Budak hitam itu lalu berkata, "Hai ikan, apakah kau menepati janjimu yang
dulu?" Ikan-ikan itu pun mengangkat kepala mereka seraya berkata, "Ya, tentu."
Dan sekali lagi, keempat ikan itu melagukan syair yang telah disebut di atas. Dan
seperti yang dilakukan si gadis cantik, si budak hitam itu pun kembali membalikkan
penggorengan yang digunakan untuk memasak ikan tersebut hingga keempat
ikan yang sedang digoreng di atasnya hangus menjadi arang. Setelah itu, si budak
hitam kembali masuk ke bagian tembok yang tadi terbelah.
Ketika Sultan mendengar suara itu, baginda langsung bangkit dan men-
dekati arah suara itu. Di tempat asal suara itu Sultan melihat sehelai kain pem-
batas yang menutupi sebuah pintu. Sultan segera menyingkapkan kain penutup
itu, dan terlihatlah seorang pemuda yang duduk di sebuah singgasana yang
sangat tinggi. Pemuda itu adalah sesosok pemuda yang tampan, baik tutur
katanya, dengan pipi indah bagai pualam. Seorang pemuda yang sangat mirip
dengan yang diungkapkan oleh sebuah syair:
Begitu gembira Sultan dapat berjumpa dengan pemuda itu. Baginda me-
ngucapkan salam pada pemuda itu, dan pemuda itu pun membalas salamnya
dari atas singgasana. "Wahai tuan, maafkan aku yang tidak bangkit dari sing-
gasanaku," ujar sang pemuda.
Sultan pun berkata, "Wahai pemuda, tolong beritahu aku tentang telaga,
ikan aneka warna, istana ini, dan penyebab mengapa kau berada di tempat ini
seorang diri sambil bersedih?"
Usai mendengar pertanyaan Sultan itu, sang pemuda langsung menangis
tersedu-sedu.
Pemuda itu lalu berkata, "Bagaimana mungkin aku tidak menangis, se-
mentara keadaanku seperti ini." Seraya mengatakan itu, sang pemuda itu
mengangkat bagian bawah bajunya. Tersingkaplah sebuah pemandangan yang
menakjubkan. Ternyata dari kepala sampai perut, pemuda itu memang berwujud
manusia, tetapi dari perut ke bawah tubuh pemuda itu berupa batu!
Pemuda itu berkata, "Ketahuilah wahai Sultan, bahwa ikan yang kau
maksud itu memiliki kisah yang unik. Begini kisahnya," sang pemuda memulai
ceritanya.
Dulu, ayahku adalah raja di negeri ini. Baginda bernama Mahmud, dan
menguasai Kepulauan Hitam. Baginda berkuasa selama tujuh puluh tahun.
Setelah beliau meninggal dunia, kekuasaan jatuh ke tanganku, dan aku pun
menikahi salah seorang sepupuku. Sepupuku yang kunikahi itu adalah seorang
gadis yang sangat mencintaiku, sampai-sampai jika aku pergi, dia akan berhenti
makan dan minum sampai aku pulang.
Aku telah menikahinya selama lima tahun. Sampai pada suatu saat,
istriku itu pergi ke tempat pemandian, dan dia meminta juru masak untuk
menyediakan makan malam. Pada saat itu, aku masuk ke istana dan tidur di
tempatku ini. Aku meminta dua orang selirku untuk menemaniku, salah seorang
dari mereka duduk di dekat kepalaku, sementara yang lain duduk di dekat
kakiku. Di dalam hati aku gelisah karena teringat istriku yang sedang keluar
istana, sehingga meskipun mataku terpejam, namun sebenarnya batinku terus
memikirkannya. Tiba-tiba selirku yang duduk dekat kepalaku mengatakan
kepada selirku yang duduk dekat kakiku, "Hai Mas'udah, sungguh malang
nasib tuan kita ini, dia terus dikhianati oleh istrinya yang bejat itu."
Temannya pun menjawab, "Dasar pezina laknat! Sungguh tuan kita ini
tidak cocok memperistri seorang perempuan bejat pezina seperti dia yang se-
tiap malam tidur dengan laki-laki lain."