You are on page 1of 14

Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.

com atas seijin


pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

Hidup Sederhana sebagai Pilihan


Wilfried Hoffman,[1] Duta Besar (Dubes) Jerman antara 1987-1994 di dua negara Arab,
Aljazair dan Maroko, bercerita bahwa istrinya merasa “malu” setiap kali menghadiri acara
pesta kalangan diplomat atau para pejabat di kedua negara itu. Pasalnya, istri Pak
Hoffman tidak memiliki perhiasan dan baju yang gemerlap, mahal dan mewah seperti
yang biasa dikenakan para ibu-ibu pejabat negara-negara Arab. Kisah kecil yang
dituturkan Wilfried Hoffman—yang juga Diektur Informasi NATO yang berpusat di
Brussels– di atas menggambarkan fenomena yang terasa ironis dan paradoks: seorang
Dubes atau diplomat dari negara maju dan kaya yang hidup sederhana, dan di sisi lain,
para Dubes/diplomat dari negara miskin yg hidup mewah dan glamor. Hidup mewah di
kalangan pejabat, memang tidak hanya terwakili oleh negara-negara Arab saja, tetapi
hampir bisa dilihat menjadi fenomena umum di seluruh negara-negara berkembang yang
miskin, tak terkecuali Indonesia. Kenapa ini terjadi? Ada beberapa faktor yg memotivasi
hal ini: Pertama, faktor mental kuli. Negara-negara berkembang rata-rata baru 5 – 6
dekade menikmati kemerdekaan dari penjajah bule (plus Jepang bagi Indonesia). Mental
dari anak jajahan yang paling kental adalah perasaan minder (inferiority complex) yang
ekstrim yg untuk menutupinya adalah dengan cara hidup mewah dan berkesan kaya raya
seperti gaya para penjajah itu; tak peduli apakah kemewahan itu didapat dari pendapatan
yang halal atau haram.
Kedua, mismanajemen negara. Karena baru bisa mendapat kesempatan mengatur negara
sendiri, maka kemampuan mengorganisir juga kurang. Keluar masuk uang negara juga
kurang terdeteksi. Dan KKN juga menjadi hal yang dianggap wajar dan malah terkadang
“membanggakan”. Sama dengan pelacur yang “bangga” dengan profesinya karena. telah
berhasil mengangkat taraf hidup layak keluarganya.
Fenomena ini semakin diperparah dengan ketidakkritisan masyarakat pada praktik
korupsi yang dilakukan pejabat. Sering kita melihat seorang pejabat yang dielu-elukan
tokoh masyarakat tertentu (Kyai atau pemilik yayasan pendidikan) karena telah
membantu pembangunan gedung-gedung institusi miliknya, tanpa mencari tahu lebih
dahulu dari mana uang bantuan itu berasal. Hal ini selain akan mempermalukan sang
tokoh masyarakat itu sendiri, juga—yang lebih parah—akan semakin memotivasi sang
koruptor untuk melakukan praktik KKN-nya sudah “direstui” walaupun secara tidak
langsung. Ketiga, rata-rata para calon pejabat, termasuk kita-kita para generasi muda ini,
berasal dari keluarga miskin. Hidup miskin itu tidak enak, dan jarang orang yang bisa
“menikmati”-nya. Ciri khas orang miskin umumnya selalu bermimpi jadi kaya dengan
segala kemewahan yang ada di dalamnya. Karena itu, ketika mendapat kesempatan
menjabat posisi basah, kita jadi ibarat singa lapar. Lapar memenuhi mimpi-mimpi waktu
muda dengan segala cara. Seperti ketika kita berpuasa dan makan sepuas-puasnya ketika
waktu berbuka sudah tiba. Sekarang mari kita kembali pada Dubes Wilfred Hoffman. Dia
dubes negara maju, gajinya pasti besar.[2] Tapi kenapa dia hidup sederhana? Apakah dia
tidak punya duit untuk menyenangkan istrinya? Atau apakah dia terlalu pelit untuk
hidup mewah dan glamor? Jawabnya jelas, tidak. Dia hidup sederhana bukan karena
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

tidak punya uang untuk hidup mewah. Tapi karena ia memang “sengaja memilih untuk
hidup sederhana”. Jadi hidup sederhana sebagai pilihan yg membanggakan, bukan
sebagai keterpaksaan. Dan mereka bangga dg kesederhanaan itu! Banyak kalangan orang-
orang di negara maju (pejabat maupun pebisnis) yg memilih hidup sederhana, karena.
mereka merasa hidupnya menjadi lebih bermakna dan bermanfaat: kelebihan uang
mereka disalurkan untuk yayasan-yayasan anak-anak yatim, mengambil anak asuh,
yayasan pemberi beasiswa pada mahasiswa internasional, untuk orang-orang miskin di
negara-negara berkembang, untuk berbagai penelitian keilmuan, dan lain-lain..
Salah satu contohnya yang paling monumental adalah Albert Nobel. Inventor (penemu)
dan pemilik lebih dari 300 hak paten berbagai penemuan teknologi baru. Dia milyarder
yang hidup sederhana dan memiliki komitmen tinggi terhadap keilmuan dan
kemanusiaan. Ketika meninggal, tak sepeserpun hartanya dia wariskan ke anaknya.
Sebaliknya, ia tumpahkan seluruh harta kekayaannya untuk Nobel Foundation, pemberi
hadiah Nobel untuk para ilmuwan dunia yang berhasil meraih prestasi gemilang di
bidang masing-masing. Albert Nobel sudah meninggal puluhan tahun lalu, tapi namanya
selalu dikenang di seluruh dunia sampai sekarang. Kuncinya, karena ia memilih hidup
sederhana, kendati ia lebih dari mampu untuk membeli kemewahan apapun yang
menjadi impian banyak orang.
Menyebut pengusaha kaya raya yang hidup sederhana mengharuskan saya untuk sedikit
membeberkan profil seorang milyarder Muslim asal India bernama Azim Premji.[3]
Pengusaha teknologi informasi ini selama tiga tahun berturut-turut menempati posisi
nomor 30 sebagai pengusaha terkaya dunia versi majalah bisnis Amerika, Forbes.
Hartanya menurut laporan majalah Forbes edisi 2007 diperkirakan sebanyak U$D 30
milyar atau sekitar Rp. 300 milyar. Ini hanya kekayaan pribadinya, tidak termasuk omset
perusahaan.
Apabila simbol kemewahan biasanya ditandai dengan rumah mewah berharga milyaran,
mobil Mercedes Benz (Mercy), BMW, atau Lexus keluaran terbaru (kalau perlu memiliki
pesawat jet pribadi seperti sebagian pengusaha Indonesia) dan baju merk terkenal, maka
kita akan terkejut ketika bertemu Azim Premji. Mobil satu-satunya “hanya” sedan Ford
Escort yang di India berharga tidak sampai 100 juta rupiah, mengenakan baju tanpa merk
yang dijahit penjahit biasa dan rumah yang tidak layak masuk koran.
Azim Premji tidak hidup di zaman dahulu kala. Dia masih segar bugar sampai saat ini di
usia 65-an. Azim juga bukan seorang sufi. Dia pebisnis ulung yang dihormati banyak
pengusaha kelas dunia lain karena kejujuran dan integritas pribadinya.
Apa yang membuat Azim Premji “kuat” untuk tidak hidup mewah di tengah
bergelimangnya harta yang melimpah adalah pemahamannya yang mendalam akan
esensi atau hakikat hidup di dunia yaitu kerja keras[4], disiplin dan kepedulian untuk
membantu sesama yang membutuhkan.[5] Harta yang banyak bagi dia hanyalah buah
dari kerja kerasnya; bukan tujuan itu sendiri.Dengan demikian, kemewahan atau hidup
bersenang-senang tidak ada dalam agenda hidupnya. Selain itu, hidup mewah adalah
identik dengan ketamakan yang sangat berlawanan dengan prinsip kepedulian sosial itu
sendiri.[6]
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

Tulisan ini saya persembahkan buat siapa saja yang membaca tulisan ini termasuk di
dalamnya kalangan ulama (kyai), birokrat, pengusaha dan generasi muda seperti saya
yang mungkin pada sepuluh tahun mendatang sudah menduduki berbagai posisi di
pemerintahan atau menjadi pebisnis besar. Kalau kita beruntung secara materi, pilihlah
hidup sederhana dan bangga dg kesederhanaan itu. Kalau kita kurang beruntung, mari
sama-sama bekerja keras untuk menuju hidup yang lebih baik secara materi dan pola
pikir (mindset).
Jadi, tulisan saya di atas hendaknya tidak disalahpahami secara sempit. Saya bukan
mengajak Anda untuk hidup miskin seperti anjuran sebagian tokoh sufi. Sebaliknya, saya
malah mengajak Anda untuk berusaha sekeras mungkin untuk menjadi kaya (dg cara yg
halal tentunya), tapi tetap menjaga dan memelihara gaya hidup sederhana, bermartabat
dan peduli pada yg membutuhkan bantuan kita.[]
——————-
CATATAN KAKI:
[1] Setelah membaca dan meneliti dengan seksama kandungan Al Quran, Hoffman dan
istrinya akhirnya masuk Islam pada tahun 1980 dan berganti nama menjadi Murad
Wilfried Hoffman. Sampai saat ini Hoffman telah menulis 10 buku berkaitan dengan
Islam, yang terkenal antara lain Journey to Islam: Diary of a German Diplomat dan
Religion on the Rise - Islam in the Third Millennium..
[2] Sekedar perbandingan, gaji diplomat Indonesia saja berkisar antara USD 3,000 – 8,000
atau sekitar Rp. 30 juta – 80 juta/bulan (tergantung senioritas jabatan).
[3] Profil Azim Premji lebih detail lihat di website saya www.fatihsyuhud.com
[4] Dalam setiap kesempatan saya selalu tekankan bahwa esensi ayat dalam Al Quran
surah Al Jum’ah 62:9-10 adalah perintah bekerja keras dan tidak bermalas-malasan yang
kalau dilaksanakan dengan benar akan menjadikan umat Islam sebagai umat yang paling
rajin bekerja. Dalam agama lain seperti Yahudi dan Kristen, masing-masing harus libur
pada hari besar mereka yaitu hari Sabtu dan Minggu. Dalam Islam, bahkan hari Jum’at
pun umat Islam masih diperintahkan untuk bekerja, kendatipun di situ diingatkan untuk
tidak melupakan salat Jum’at. Konsekuensi dari kerja keras adalah keberhasilan secara
materi. Dengan kata lain, apabila ini dilakukan, umat Islam akan menjadi umat yang
secara umum paling berhasil dari sisi materi. Apabila fakta menunjukkan sebaliknya,
maka itu artinya kita belum memenuhi standar kerja keras seperti yang digariskan Islam.
[5] Salat lima waktu dan berzakat yang menjadi pilar pokok (rukun) Islam (QS Maryam
19: 31) adalah esensi pelajaran disiplin di satu sisi dan kerja kerjas serta kepedulian sosial
di sisi lain yang kalau dilaksanakan dengan penuh komitmen akan menjadikan seorang
Muslim sebagai individu ideal yang membawa rahmat di berbagai bidang kehidupan (QS
Al Anbiya` 21:107).

0000000000
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

Diperlukan Paradigma Baru Maskulinitas


Oleh A Fatih Syuhud
Perempuan telah membuat kemajuan cukup cepat di bidang pendidikan dan partisipasi
kerja. Indikator sosial dan ekonomi mereka semakin menunjukkan perbaikan luar biasa
waktu demi waktu. Penyempitan gap gender ini nantinya akan mengarah pada
peningkatan kekerasan pada perempuan, setidaknya dalam jangka pendek. Oleh karena
itu, kita hendaknya dapat mengontrol beberapa konsekuensi dari pemberdayaan gender,
khususnya disfungsional keluarga dan hubungan rumah tangga. Bagaimana membantu
kaum pria merubah pola pikir yang ada agar kemajuan perempuan tidak harus dibayar
mahal tampaknya memerlukan perhatian lebih.
Imej umum lelaki adalah sebagai sosok pencari nafkah yang kuat dan gigih. Dan
perempuan digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang menunggu dengan setia
kepulangan suami dari tempat kerja. Pria sering terjebak dalam imej sebagai pencari
nafkah dan ongkos psikologis dari kegagalan memenuhi peran ini dapat luar biasa. Apa
yang terjadi apabila peran gender yang sudah mentradisi ini di redifinisi kembali,
khususnya di lingkungan kelas menengah ke atas, yang sering ditimbulkan oleh
kebutuhan dan tantangan ekonomi baru? Perempuan sebagai tenaga kerja disukai karena
kesediaan mereka melakukan pekerjaan dengan gaji lebih rendah, adanya komitmen dan
rasa tanggung jawab serta cocoknya pada sejumlah pekerjaan tertentu.

Gerakan kaum feminis dan munculnya sejumlah role model telah membantu memicu
bangkitnya wanita profesional kelas menengah, yang sukses berkarir dan pada waktu
yang sama berhasil sebagai ibu rumah tangga. Kalangan wanita sukses ini terkadang
menyembunyikan rasa tertekan mereka dalam mengemban dua macam tanggung jawab.
Tetapi apa yang akan terjadi saat pembalikan peran rumah tangga terjadi dan perempuan
menjadi pencari nafkah? Seorang rekan saya yang baru lulus S2 Hukum di India dan
sukses sebagai konsultan hukum di perusahaan terkenal di Jakarta mengatakan, “Saya
lebih memilih bekerja dan karir saya diapresiasi suami kendati suami saya sukses, dari
pada hanya berperan sebagai ibu rumah tangga”.
Dengan semakin meningkatnya jumlah perempuan menempati lapangan kerja, maka
sedikitnya akan muncul empat probabilitas tantangan imajiner sosial ke depan.
Pertama, wanita A akan menjalani beban ganda sebagai pencari nafkah dan pengatur
rumah tangga sedang suami tidak berperan apa-apa.
Sang suami menolak menjadi bapak rumah tangga kendati sang istri bekerja keras
sepanjang hari. Akhirnya mereka berpisah tetapi membiarkan pintu tetap terbuka untuk
rujuk kembali suatu hari nanti.
Kedua, perempuan B menikah secara tergesa alias cinta monyet. Istri kemudian
menyadari bahwa mereka secara intelektual maupun emosional tidak serasi. Sementara
itu, dua anak telah lahir dan karena itu sang istri mempertahankan perkawinan. Dia
mengambil langkah berani dengan tetap bekerja mencari nafkah keluarga dan sekaligus
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

meneruskan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Dari waktu ke waktu, sang istri
ingin keluar dari wahana perkawinan, tetapi karena tak ada dukungan, tetap melanjutkan
mahligai rumah tangga. Uang tidak menjadi masalah tetapi sang suami cemburu pada
pekerjaan istri, independensinya, fakta bahwa istri mencapai keberhasilan yang tak bisa
dia raih. Haruskah istri menceraikannya?
Ketiga, perempuan C dan suaminya menikah berdasarkan cinta. Keduanya profesional.
Tetapi lama kelamaan sang suami cemburu melihat istrinya yang lebih berbakat dan
sukses. Suatu hari, suami stress dan mengusir istri, dengan anak kecil yang tidur di
sampingnya. Sang istri pun menjadi single parent, bekerja dan memelihara anak.
Haruskah dia berekonsiliasi dan kembali ke sang suami?
Perempuan D melakukan hubungan gelap dengan kolega kerjanya dan ketika suami
mengetahuinya, maka dia pun menceraikannya. Sang istri meminta maaf dengan
beralasan “di luar kesengajaan” dan memohon untuk rujuk. Haruskah suami rujuk
kembali, kendati kelelakiannya tertantang dan menjadi rendah di mata dunia?
Kasus ketiga itu sudah umum terjadi. Dr. Shirley Glass, seorang psikolog Amerika dan
pakar soal perselingkuhan dalam bukunya Not “Just Friends”: Protect Your Relationship
From Infidelity and Heal the Trauma of Betrayal memberikan data survei menarik.
Menurut Glass:
Selama dua dekade pengalaman prakteknya sebagai psikolog diketahui ada 46
persen istri dan 62 persen suami yang telah melakukan perselingkuhan dengan
kolega kerja. Dan menariknya, perselingkuhan yang dilakukan kalangan istri
justru meningkat secara signifikan - dari 1982 sampai 1990, 38 persen istri
melakukan perselingkuhan dengan rekan kantor berbanding dengan 50 persen
jumlah istri tidak setia dari tahun 1991 sampai 2000.

Di Indonesia, menurut data stastistik dari Direktorat Jendral Pembinaan Peradilan Agama
Tahun 2005 lalu, misalnya,
…ada 13.779 kasus perceraian yang bisa dikategorikan akibat selingkuh; 9.071
karena gangguan orang ketiga, dan 4.708 akibat cemburu. Persentasenya
mencapai 9,16 % dari 150.395 kasus perceraian tahun 2005 atau 13.779 kasus.
Alhasil ,dari 10 keluarga yang bercerai , 1 diantaranya karena selingkuh. Rata-
rata , setiap 2 jam ada tiga pasang suami istri bercerai gara-gara selingkuh.

***
Kajian tentang maskulinitas, sebuah area riset paralel yang berkembang sebagai respons
pada kajian perempuan, perlu dilakukan untuk mengeksplorasi isu-isu seputar keluarga
di mana pasangan seperti yang tersebut di atas terperangkap. Suami dapat saja disalahkan
sebagai pemukul istri, pelaku kekerasan rumah tangga dan terror. Tetapi, apa yang
membuatnya demikian?
Dalam kasus pertama, akankah ibu rumah tangga yang tidak bekerja (dan terkadang tidak
mendukung) didepak dari rumah? Di sini masyarakat akan dengan cepat mengatakan
bahwa sang suami yang kejam telah meninggalkan istrinya. Pada kasus kedua, suami
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

mengalami rasa minder karena dia tidak memiliki kapasitas intelektual dan kecakapan
seperti istrinya untuk berkembang dan mulai menderita kecenderungan depresi. Dalam
kasus ketiga, akankah sang istri yang memahami keadaan suaminya seperti itu karena dia
tumbuh dalam kondisi keluarga yang disfungsional, mencoba pendekatan yang lebih
halus? Apakah sang suami dalam contoh terakhir menyadari bahwa dia hanya korban
dari pembalikan peran (reversal role)—selama ini perempuan biasanya selalu dalam
posisi dikhianati—dan rela menerima kembali istrinya apabila sang istri hendak rujuk?
Sementara kita memfokuskan emansipasi untuk perempuan, kita juga perlu
mengembangkan bentuk baru maskulinitas yang akan memungkinkan kaum lelaki
beradaptasi terhadap realitas baru perempuan.
Untuk itu, diperlukan usaha keras masyarakat yang dapat berlaku adil baik pada lelaki
dan perempuan.[]

Pura Pura Baik

Mana yg lebih Anda pilih antara bersikap baik yg pura-pura dan jahat yg “ikhlas,” antara
dermawan pura-pura atau pelit yg tulus, antara sopan palsu atau tidak beradab yg jujur,
antara sikap etis normatif yg dibuat-buat dg sikap layaknya bagai ‘tidak pernah makan
sekolah’ tapi asli?

Sebagaimana dalam opini apapun, hal yg satu ini juga mengandung kontroversi. Dan itu
dimaklumi namanya juga manusia. Namun demikian, apabila standar umum dipakai,
maka pendapat mayoritas akan berpihak pada yg pertama: lebih bagus berpura-pura baik,
berpura-pura sopan, berpura-pura dermawan, berpura-pura beradab daripada “ikhlas,
jujur dan tulus” dalam kekurangan-ajaran, kepelitan, ketidaketisan, kekurangberadaban
dan keculasan.Mengapa demikian? Banyak fakta yg bisa kita ambil dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam dunia bisnis murni, bisnis hiburan, kehidupan beragama, dll yg
mendukung tesis perlunya berpura-pura baik daripada jujur dalam ketidakbaikan.
Beberapa contoh kecil sbb:
(a) John Robert Powers Jakarta, pimpinan Indayati Oetomo, adalah lembaga
pengembangan kepribadian yg salah satu layanannya adalah ‘mempelajari cara
memahami diri sendiri baik secara fisik, moral maupun kemampuan berpikir.’ Artinya,
setelah mendapat pelatihan yg cukup di JRP ini, peserta diharapkan dapat “berpura-pura”
bersikap dan berperilaku yg sesuai dg norma-norma pergaulan yg standar sehingga dg
demikian diharapkan apapun yg dilakukan oleh peserta JRP dalam berbisnis akan
semakin menarik dan mengesankan siapapun yg berhubungan dengannya baik itu klien,
kolega, atasan, bawahan, dll. JRP Indonesia adalah cabang dari JRP internasional yg
berpusat di Amerika Serikat.
(b) Sejak kecil kita diajari dan diberitahu orang tua kita apa yg baik dan mesti atau
sebaiknya dilakukan; dan apa yg tidak baik atau tabu yg sebaiknya dihindari. Pada
dasarnya ini juga pembelajaran untuk “berpura-pura” baik yg terkadang bertentangan dg
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

insting kita tapi harus kita ikuti.


(c) Semua orang Indonesia adalah pemeluk agama tertentu, baik itu Islam, Kristen, Hindu,
Budha, dll. Dalam kitab-kitab suci kita masing-masing kembali nilai-nilai kebaikan itu
diajarkan dan nilai-nilai keburukan dilarang dan diperintah untuk dijauhi. Intinya, agama
juga memerintahkan kita untuk “berpura-pura” baik.
Mengapa kita harus berbuat dan berperilaku yg baik bahkan kalau perlu dilakukan dg
berpura-pura? Terlalu panjang untuk dianalisa satu-persatu, namun intinya adalah (1)
untuk memelihara tatatan sosial yg baik, dan (2) menghindari anarki (keributan) dan
permusuhan yg apabila dua poin ini dapat diimplementasi, maka diharapkan akan
tercapailah tujuan hidup utama umat manusia yg selalu dicari dan didambakan, yaitu
kebahagiaan.
Karena kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila setiap individu berperilaku sesuai dg
standar norma sosial dan etika, maka berpura-pura baik sangat dianjurkan daripada
ketiakberadaban yg “tulus ikhlas.” Setidaknya ini sebagai langkah pertama menuju
tangga berikutnya di mana berbuat dan berperilaku baik sudah menjadi insting perilaku
keseharian.
Last but not the least, apapun yg sudah dan sedang kita lakukan; baik atau buruk, akan
memiliki konsekuensinya sendiri dan akan menjadi patokan orang-orang sekitar kita akan
kredibilitas kepribadian kita.[]

Membaca Sebagai Life Style

Sumber: www.fatihsyuhud.com
Semua orang tahu, membaca itu perlu dan sangat
bermanfaat. Membaca membuat cewek cakep menjadi
semakin menarik dan “shiny”; dan cewek tidak cantik
pun menjadi terlihat menarik. Membuat cowok keren
menjadi semakin berkarisma; dan cowok yg biasa-biasa
saja menjadi tampak gaya.
Sebaliknya, cewek atau cowok cakep yg tidak brainy
(karena jarang atau tidak pernah membaca) betul-betul
sangat membosankan, baik sebagai pribadi apalagi
sebagai lawan bicara. Sejam atau dua jam berbicara dg
mereka mungkin masih menarik karena periode ini
biasanya dipakai untuk bertukar pengalaman dan kisah.
Namun, tahankah kita berbicara dg bahan yg sama
berulang-ulang? Dan tidak bosankah kita mendengar
kisah atau penuturan lanjutannya yg hanya berupa
gosip-gosip sampah terbaru? Anda pasti tidak akan
tahan, kecuali apabila Anda satu golongan dengan
mereka. Kalau cewek atau cowok cakep yg tidak gemar
baca membuat kita bosan, bagaimana dg cewek atau cowok
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

yg tidak cakep dan tidak gemar baca?


***
Membaca membuat otak yg awalnya cuma berisi “batu”
berubah jadi zamrud; otak yg awalnya berbentuk kerang
berubah menjadi mutiara; otak yg awalnya berbentuk
pasir berubah menjadi emas. Isi otak kita adalah
representasi dan akan meresonansi (menggaung) pada
kepribadian dan perilaku keseharian kita dalam
merespons terhadap sesuatu hal. Dan respons kita pada
suatu atau banyak hal itu akan menentukan apakah kita
pribadi yg brainy atau dummy.
Kendati begitu pentingnya gemar baca, tapi secara
faktual membaca tidak menjadi tradisi generasi muda
kita. Generasi muda Indonesia yg pengangguran atau yg
sibuk bekerja kasar seharian di lapangan mungkin dapat
dimaklumi apabila tidak suka atau tidak sempat
membaca. Bagaimana dg mahasiswa atau masyakarat
Indonesia yg bekerja “santai” di kantor tapi tidak
suka membaca? Mengapa membaca tidak menjadi trend di
kalangan mereka, khususnya di kalangan mahasiswa,
termasuk mahasiswa Indonesia di India? Bukankah
mahasiswa identik dg tradisi intelektual yg tak dapat
dicapai tanpa gemar membaca?
Ada beberapa faktor, pertama, sikap malas. Insting
awal manusia umumnya pemalas. Namun, ego manusia –yg
ingin eksistensinya diakui manusia lain–telah memaksa
manusia untuk berbuat sesuatu untuk melawan insting
malas tadi. Sayangnya, jalan menuju “pengakuan
eksistensi” itu tidak dilakukan dg membaca.
Kedua, membaca dianggap sebagai suatu hal yang “tidak
trendy” dan “tidak keren”. “Kutu buku” adalah julukan
bagi mereka yang suka baca. Istilah ini membuat yg
gemar baca jadi defensif dan terpojok. Sebaliknya,
kalangan yg tidak suka baca semakin menjauh bukan
malah mendekat.
Istilah memojokkan seperti itu hendaknya diganti dg
istilah lain yg dapat lebih menarik generasi muda dan
siapa saja yg belum menjadikan gemar baca sebagai
life-style.
***
Apa yg harus dibaca? Menurut dr. Kartono Mohamad–
mantan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kolomnis di
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

berbagai media cetak dan anggota milis nasional


ppiindia– mengatakan: “Bacalah apa saja yg Anda
suka!” Koran, majalah, buku, komik, milis, dll.
Membaca membuat kita tidak kekurangan bahan untuk
berbicara dan menulis. Membaca membuat kita bisa
berbicara dg siapa saja sesuai dg profesi lawan bicara
kita. Bukan lawan bicara kita yg harus beradaptasi dg
kita.
Salah satu perbedaan antara pribadi yg civilized dg yg
masih “tribal (kampungan)” adalah yg pertama bisa
beradaptasi dg yg kedua; sementara yg kedua–disadari
atau tidak– selalu menuntut agar orang lain
beradaptasi dg dia.
Mahasiswa yg kuliah dan selalu naik tingkat itu indah.
Dan mahasiswa yg gemar membaca dan tidak kampungan
dalam bersikap dan merespons fenomena yg terjadi di
sekitarnya–di level lokal, nasional dan
internasional–akan lebih indah lagi.***

Membaca Sebagai Gaya Hidup

Hari Senin memang hari kurang tepat untuk mengunjungi


FRRO (Foreign Regional Registration Officer). Tapi
berhubung resident permit saya sudah tinggal sekian
hari lagi, saya terpaksa datang. Benar. Suasana ramai
sekali di kantor imigrasi itu. Persis seperti di
lounge ruang tunggu bandara. Saya mengambil posisi
duduk di sudut belakang supaya bisa agak bebas
“memata-matai” yg baru datang maupun yg sudah duduk
menunggu namanya dipanggil.
Duduk di samping saya sebuah keluarga bule, suami
istri dan dua anaknya yg masih kecil, antara usia 10
dan 12 tahun. Berbeda dg kalangan bangsa lain termasuk
NRI (non-resident of India) yg sibuk ngobrol dan
ribut, keluarga bule ini duduk tenang di kursi
masing-masing. Anehnya, semua sibuk membaca. Suami
tampak sedang membaca “My Life”-nya Bill Clinton, si
istri membaca novel karya novelis favorit saya, John
Grisham. Sedang kedua anak mereka asik membaca komik
Archie. Rencana untuk mengajak mereka ngobrol saya
urungkan, takut mengganggu; dan saya pun jadi membuka
buku karya Edward W. Said “the End of the Peace
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

Process” yg sudah sebulan lebih saya pinjam dari Qisai


tapi belum beres juga bacanya.
Pemandangan orang bule yg lagi asik membaca juga
sering kita lihat di mana-mana: di bandara, dalam
pesawat, dalam bis, dll.
Membaca (dan menulis) merupakan tradisi masyarakat
modern dan civilized. Sebaliknya, berbicara (dan
jarang membaca) menjadi ciri tipikal masyarakat yg
belum modern dalam arti hakiki. Walaupun secara
artifisial (phisical appearance) sudah “modern dan
civilized”: berbaju dan berperilaku dg mengikuti trend
dan model mutakhir, kacamata ala Britney Spears,
Rambut ala Beckham, John Farrell, Brad Pitt, dll.
Seorang rekan pernah bertanya pada saya, “Apa beda
antara masyarakat modern (Barat) dan masyarakat
agraris?” Saya jawab singkat, “Yg pertama sebagai
penggembala, yg kedua sebagai dombanya.”
***
Sebenarnya pertanyaan terpenting adalah mengapa Barat
jadi “penggembala” dan kita dg suka rela menjadi
“domba gembalaan” di segala bidang? Bukankah kita
sama-sama manusia yg memiliki ego dan ambisi untuk
menjadi penggembala? Secara historik, jawabannya bisa
dikronologikan dari awal abad ke-11 sampai terjadinya
revolusi ‘Renaissance’ Prancis dan berlanjut sampai
sekarang. Sangat panjang.
Namun, semua itu berakar dari satu hal: pendidikan.
Semakin unggul dan meratanya pendidikan suatu bangsa,
maka akan semakin independen bangsa itu dari
ketergantungan pada bangsa lain. Barat plus Jepang
saat ini memimpin dunia. Mereka yg “menggembala” kita
di segala bidang: dari pesawat, komputer, game,
kosmetik, baju, telpon genggam, sampai merek pembalut
wanita dan underwear.
Begitu juga, dalam konteks kompetisi “penggembala”
dalam negeri ditentukan oleh mutu pendidikan. Mutu
pendidikan di Jawa, misalnya, lebih unggul dari luar
Jawa. Konsekuensinya, penggembala kita kebanyakan
berasal dari Jawa atau orang luar Jawa yg mengenyam
pendidikan di Jawa.
Dalam konteks kompetisi mahasiswa Indonesia di luar
negeri, lulusan Amerika dan negara Barat lain lebih
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

banyak mendominasi posisi di pusat maupun daerah–baik


sebagai pejabat maupun sebagai intelektual–di
banding, misalnya, lulusan negara-negara berkembang
seperti Mesir, Pakistan dan India.
Pertanyaan penting ketiga, mengapa pendidikan yg
unggul dapat menciptakan manusia yg berkualitas
sebagai penggembala? Banyak faktor. Salah satunya
adalah karena pendidikan yg bermutu dapat menciptakan
suasana kondusif bagi anak didik untuk selalu banyak
membaca (dan menulis); dan menjadikan kebiasaan
membaca itu sebagai gaya hidup (life-style)
kesehariannya.
Sayangnya, saya tidak melihat hal itu (membaca dan
menulis sebagai gaya hidup) sebagai kultur yg inheren
dalam diri mahasiswa maupun masyarakat Indonesia di
India. Tradisi mahasiswa India yg gigih dan
hard-working–sehingga mereka mendominasi
dunia–tampaknya tidak menular dan ‘memberkahi’ kita.
Yg menular ke kita justru kultur tukang Rikshaw yg
pemalas, yg kalau lagi asik merokok atau ngobrol
sampai menolak penumpang.
Dg demikian, timbul pertanyaan keempat dan terakhir,
apakah mahasiswa Indonesia di India, mampu
berkompetisi dg mahasiswa Indonesia dari negara lain
atau dg yg di tanah air? Apabila “tradisi tukang
rikshaw” masih menjadi kultur kita, maka jawabnya
jelas: “No Way!”
Ketidaksukaan membaca (dan menulis), membuat status
akademis dan gelar kita dipertanyakan, karena hal itu
akan tergambar secara jelas saat kita berbicara. Semua
akan tampak salah. Omongan kita jadi terasa hambar.
Ada pepatah Inggris yg cukup tepat dalam soal ini,
“Three days without reading, talking become
flavorless.” Ketika bicara kita terasa hambar di mata
orang lain, maka kita pun menjadi manusia yg hambar
dan tidak menarik.
Saya tutup refleksi ini dg sebuah kutipan dari buku
‘Now and Then’ (199 karya Joseph Heller, “Some men
are born mediocre, some men achieve mediocrity, and
some men have mediocrity thrust upon them.”[]
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

Kesenioran, Kesarjanaan dan Jabatan Kita1


Sun, 27 Jun 2004
Oleh A. Fatih Syuhud (fatihsyuhud.com)
Sedikitnya ada tiga hal yang kalau kita tidak bijak
dalam menyikapinya akan menghambat laju perkembangan
dan progresifitas kita, khususnya progresifitias
keilmuan, skill dan kepribadian. Yaitu, kesenioran,
gelar kesarjanaan, dan jabatan kita.
Kesenioran dalam konteks mahasiswa di India bermakna
lamanya tinggal di India dan “banyaknya” usia yg sudah
dilewati. Dalam konteks birokrat berkaitan dg hirarki
senioritas dalam jabatan dan posisi yg dipegang.
Sedang kesarjanaan dan jabatan tentu kita sudah
maklumi maksudnya.
Ketiga unsur di atas sering membuat kita terlena dan
terhanyut oleh perasaan superior dan unggul yg
sebenarnya sering tak lebih dari sekedar fatamorgana
yg artifisial. Tidak riil. Dan sering menggiring kita
ke dalam perasaan aneh yg sebenarnya tidak perlu dan
malah menyesatkan: pola pikir kita jadi sering
terbuai, terbebani dan dipenuhi dg sikap gengsi,
“martabat”, harga diri dan arogansi.
Senioritas
Konvensi atau definisi tradisional kuno menyebutkan
bahwa yg dimaksud dg senior adalah orang yg lebih tua
dalam segi usia (dan dg demikian dianggap banyak
pengalaman dan lebih bijak). Definisi lama ini saya
anggap sudah lapuk dan tak perlu membebani mindset
otak kita. Benar, pengalaman yg banyak memang akan
membawa kita pada sikap yg lebih bijak. Tetapi itu
berlaku bagi “orang2 yg mau belajar dari pengalaman
itu”. Di sini, intinya yg dihargai dari seorang senior
adalah “sikapnya yg bijak” bukan kesenioran itu
sendiri. Dg kata lain, siapapun yg bersikap bijaksana,
kreatif dan memiliki visi ke depan lebih maju, baik
itu yunior atau senior bahkan anak kecil sekalipun,
patutlah mendapat respek yg sewajarnya di bidang di
mana dia lebih mampu dari kita. Inilah esensi dari
kesenioran.
Dengan kata lain, definisi kesenioran adalah mereka yg

1
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

memiliki kemampuan (skill), visi ke depan,


progresifitas dan sikap bijak (wisdom) yg lebih dari
kita dalam bidang2 tertentu. Tanpa perlu memandang
kepada usia atau jabatan yg dia pegang.
Sebaliknya, walaupun kita senior dalam berbagai
bidang: jabatan, gelar kesarjanaan maupun usia, tapi
kalau tidak memenuhi esensi di atas, maka
berlapangdadalah untuk memberi jalan pada yg lebih
mampu, dan bersikaplah besar hati untuk belajar dari
mereka pada bidang di mana mereka lebih mampu dari
kita.
Gelar Kesarjanaan
Saat ini rekan2 di India sedang bergembira karena
telah berhasil lulus dalam ujian akhir. Baik gelar S1
(B.A), S2 (M.A, M.Com, M.Th, dll), dan S3 (Ph.D).
Tentu saja wajar, kalau kelulusan itu disyukuri dan
disambut dg gembira. Ibarat kita naik gunung, kita
telah berhasil mencapai “puncak”. Akan tetapi dalam
konteks kesarjanaan, satu hal yg perlu diingat, bahwa
dalam dunia keilmuan yg namanya “puncak” itu bukan
hanya satu tapi banyak sekali. Dan kita hanya berhasil
mencapai salah satu puncak gunung ilmu itu. Dan ini
mesti kita sadari betul dg penuh rasa rendah hati.
Seorang yg mencapai gelar S2 atau S3 dibidang sastra
Arab misalnya, maka dia adalah “pakar” di bidang
sastra dan budaya Arab tapi dia tak lebih dari “anak
TK” di bidang lain. Saya yg mengambil jurusan politik
boleh dibilang “pakar” di bidang politik, tapi saya
betul2 “masih TK” di bidang sastra Arab, sastra
Inggris apalagi ilmu komputer dan ekonomi, dll.
Dengan pola pikir semacam ini, maka kita tidak perlu
pongah dan arogan karena kita telah lulus S2 (”master
boy..!” kata beben) atau telah selesai Ph.D.
Sebaliknya, dg menyadari keterbatasan gelar2 kita itu,
kita masih bisa terus belajar dg rekan2 dari jurusan
lain atas ilmu/skill yg tidak kita miliki. Saya ingin
belajar mengaji lagi pada Ustadz Mukhlis Zamzami, MA
(sastra Arab), saya masih ingin belajar ttg keislaman
pada Zamhasari (B.A. Islamic Studies), saya juga ingin
belajar hardware komputer pada Juber Marbun alias
Michael Stellar (B.A Komputer) dan memperdalam skill
bahasa Inggris saya pada Malik Sarumpaet (M.A.
English). Dan belajar menulis artikel pada kolumnis
Artikel ini milik www.ainuddin.co.cc. Di ambil dari www.fatisyuhud.com atas seijin
pemilik. Silahkan sebarkan dalam bentuk soft ataupun hard dengan menyertakan
catatan kaki ini serta dengan tujuan bukan komersial

dan redaktur situs Pesantren Virtual yaitu Rizqon


Khamami. Serta belajar real-politik administrasi
negara pada Bapak-bapak di KBRI yg jelas lebih mampu
di bidang ini. Sebaliknya, saya juga siap membantu
siapa saja yg membutuhkan kemampuan saya.
Tidak ada beban pikiran dan rasa gengsi dalam hati
untuk belajar apa yg tidak atau kurang saya ketahui
pada rekan2 yg usianya lebih muda dari saya. Karena
memang saya menyadari betul bahwa gelar strata S2 saya
cuma terbatas pada satu bidang dan saya betul2 bodoh
di bidang lain. Saya ingin menjadi manusia modern yg
selalu haus belajar pada siapa saja yg mampu dan mau
mengajari saya, tanpa mesti ada beban faktor usia,
ketinggian gelar atau jabatan.***

You might also like